Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Teknik Scaffolding Terhadap Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

oleh Reski Meidasari (1110017000060)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

i

dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Juli 2015.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kemampuan berpikir logis matematis siswa yang diajarkan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding dan yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Penelitian dilakukan di SMP Al-Hasra Tahun pelajaran 2014/2015. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan desain penelitian randomized control group posttest only. Sampel penelitian sebanyak 82 siswa terdiri dari 40 siswa kelas eksperimen dan 42 siswa kelas kontrol yang diperoleh dengan teknik cluster random sampling pada siswa kelas VII. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes kemampuan berpikir logis matematis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir logis matematis siswa yang menggunakan pedekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pembelajaran kovensional (thitung = 4,59 dan ttabel = 1,99). Hal ini juga dapat dilihat dari capaian kemampuan berpikir logis matematis, dilihat dari setiap indikator yaitu, siswa yang diajarkan melalui pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding pada indikator mengidentifikasi 62,5%, memberikan alasan 83,44%, dan membuat kesimpulan 68,75%, sedangkan capaian kemampuan berpikir logis matematis yang diajarkan pembelajaran konvensional pada indikator mengidentifikasi 52,58%, memberikan alasan 66,37%, dan membuat kesimpulan 56,85%. Kesimpulan penelitian ini bahwa pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan berpikir logis matematis siswa daripada pembelajaran konvensional.

Kata kunci: pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding, kemampuan berpikir logis matematis siswa.


(6)

ii ABSTRACT

RESKI MEIDASARI (1110017000060). “The Effect of Problem Based Learning Approach Using Scaffolding Technique through Student’s Mathematical Logical Thinking Skills”,Thesis Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, July 2015. The purpose of this research is to analyze the mathematical logical thinking skill who are taught by problem based learning approach using scaffolding technique and conventional learning. The research was conducted at SMP Al-Hasra, for academic year 2014/2015. The method used is quasi-experimental method with randomized control group posttest only. The samples are 56 students, they are 40 students in experimental class and 42 students in conventional class that chosen by cluster random sampling technique, in grade VII. The collecting after treatment conducted with test of the student’s mathematical logical thinking skill.

The result of this research showed that student’s mathematical logical thinking skills who taught by problem based learning approach using scaffolding technique is higher than students who taught by conventional learning (tcount = 4,59 and ttable = 1,99). This matter visible from the gain of student’s mathematical logical thinking skills, visible from every indicators who taught experiential learning model on indicators are identifies is 62,5%, give reason is 83,44%, and make conclusion is 68,75%, whereas the gain of

student’s mathematical logical thinking skills who are taught by conventional learning

are identifies is 52,58%, give reason is 66,37%, and make conclusion is 56,85%. The conclusion of this research that the student’s mathematical logical thinking skills who taught by problem based learning approach using scaffolding technique is more effective influence on student’s mathematical logical thinking skills than conventional teaching. Keywords: problem based learning approach using scaffolding technique,


(7)

iii

telah memberikan karunia, nikmat, kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam senantiasa kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas. Namun, berkat dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abdul Muin, S.Si., M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Lia Kurniawati, M. Pd., Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, pengarahan, waktu, nasihat dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Ramdani Miftah, M.Pd., Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, pengarahan, waktu, nasihat dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Khairunnisa, S.Pd., M.Si., Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan, motivasi, dan semangat baik dalam penulisan skripsi maupun selama proses perkuliahan.


(8)

iv

7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

8. Staf Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

9. Bapak Andi Suhandi, S.Pd., Kepala SMP Al-Hasra yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan Bapak Sopian Hadi, S.Si. selaku ketua kurikulum.

10.Seluruh dewan guru SMP Al-Hasra, khususnya Bapak Wasta, S.Pd. dan Ibu Nurfarida Fikrotusshosihah, S.Pd. selaku guru mata pelajaran matematika yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Siswa dan siswi SMP Al-Hasra, khususnya kelas VII-3 dan VII-4.

11.Keluarga tercinta Ayahanda Irmansyah, S.Hut. dan Ibunda Eli Suryawati, S.Pd.I. yang tak henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Adikku tersayang M. Faqih Arsalan dan M. Fadzlan Biridollah, serta semua keluarga yang selalu mendoakan, mendorong penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan meraih cita-cita.

12.Sahabat tersayang Dio Sandy, Hendro Prasetyo dan Fajari Mutaqin yang selalu memberi semangat, hiburan, dukungan, serta menjadi tempat berbagi tawa dan cerita. My partners in crime Dozen (Ai, Ucy, Rici, Dentika, Donna, Sinta, Mimi, Rahma, Eillen, Fela, Indri) yang telah memberikan semangat, bantuan, saling mengingatkan, memberi masukan, hiburan dan dukungan kepada penulis. Sahabatku Anis, Mustika, Syita dan Anna, keluarga kosan Allisan (Ucy, Bias, Aulia, Laila, Teh Mega, Nia, Aida, Devi, Fifit, Dina, Nehta). Terimakasih atas kebersamaan dan segala bentuk dukungan yang diberikan pada penulis. Kepada Alm. Fitri Yadi, terimakasih atas pelajaran hidup yang di beri, semoga Yadi tenang selalu di sisi Allah.


(9)

v

14.Kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya atas segala jasa dan amal kebaikan yang diberikan kepada penulis.

Demikianlah skripsi ini disusun dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih banyak ditemui kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat dibutuhkan penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya baik kepada penulis maupun pembaca.

Jakarta, Juli 2015

Penulis Reski Meidasari


(10)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 8

D.Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI ... 10

A.Landasan Teoritis ... 10

1. Pembelajaran Matematika ... 10

a. Belajar dan Pembelajaran ... 10

b. Matematika dan Pembelajaran Matematika ... 11

2. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Teknik Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika ... 13

3. Pembelajaran Konvensional... 21

4. Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 22

a. Pengertian Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 22

b. Indikator Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 25


(11)

vii

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

B. Metode dan Desain Penelitian ... 30

C. Populasi dan Sampel ... 31

D.Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 31

E. Uji Instrumen Tes Penelitian ... 33

F. Teknik Analisis Data ... 37

G.Hipotesis Statistik ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

A.Deskripsi Data ... 42

1. Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 42

2. Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... .. 43

3. Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Berdasarkan Indikator Berpikir Logis Matematis ... 45

B. Analisis Data ... 48

1. Hasil Pengujian Persyaratan Analisis ... 48

1) Uji Normalitas Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa 48 2) Uji Homogenitas Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa ... 49

2. Hasil Pengujian Hipotesis ... 49

3. Hasil Pengujian Hipotesis Berdasarkan Indikator Berpikir Logis Matematis... 51

a. Mengidentifikasi dan memeriksa hubungan antar fakta dalam menyelesaikan masalah ... 51

b. Menyelesaikan permasalahan dengan memberikan alasan ... 53

c. Membuat kesimpulan berdasarkan keserupaan dua proses ... 54


(12)

viii

a. Mengidentifikasi dan memeriksa hubungan antar fakta dalam

menyelesaikan masalah ... 61

b. Menyelesaikan permasalahan dengan memberikan alasan ... 62

c. Membuat kesimpulan berdasarkan keserupaan dua proses ... 64

D.Keterbatasan Penelitian ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A.Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68


(13)

ix

Tabel 3.2 Rubrik Penskoran Soal Tes Kemampuan Berpikir Logis ... 32

Tabel 3.3 Klasifikasi Indeks Reliabilitas Soal ... 34

Tabel 3.4 Klasifikasi Tingkat Kesukaran Soal ... 35

Tabel 3.5 Klasifikasi Daya Pembeda Soal ... 36

Tabel 3.6 Rekapitulasi Hasil Uji Instrumen Penelitian ... 36

Tabel 4.1 Kemampuan Berpikir Logis Kelas Eksperimen ... 42

Tabel 4.2 Kemampuan Berpikir Logis Kelas Kontrol ... 43

Tabel 4.3 Perbandingan Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol………..…… 44

Tabel 4.4 Perbandingan Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 46

Tabel 4.5 Uji Normalitas Kemampuan Berpikir Logis Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 48

Tabel 4.6 Rekapitulasi Hasil Uji Homogenitas ... 49

Tabel 4.7 Hasil Uji Hipotesis ... 50

Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Indikator Mengindentifikasi ... 52

Tabel 4.9 Hasil Uji Perbedaan dengan Statistik Uji Mann-Whitney Indikator Mengindentifikasi ... 52

Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Indikator Memberikan Alasan . 53 Tabel 4.11 Hasil Uji Perbedaan dengan Statistik Uji Mann-Whitney Indikator Memberikan Alasan ... 54

Tabel 4.12 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Indikator Membuat Kesimpulan ... 55

Tabel 4.13 Hasil Uji Perbedaan dengan Statistik Uji Mannn-Whitney Indikator Membuat Kesimpulan ... 56


(14)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian... 29

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Sebaran Data Hasil Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol. ... 45

Gambar 4.2 Presentase Skor Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Berpikir Logis ... 47

Gambar 4.3 Kurva Uji Perbedaan Data Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 50

Gambar 4.4 Contoh LKS Kelas Eksperimen ... 59

Gambar 4.5 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 3 ... 61

Gambar 4.6 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 3 ... 62

Gambar 4.7 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 7 ... 63

Gambar 4.8 Contoh Jawaban Siswa Kelas Kontrol Soal Nomor 7 ... 63

Gambar 4.9 Contoh Jawaban Siswa Kelas Eksperimen Soal Nomor 2 ... 64


(15)

xi

Lampiran 2 Hasil Tes Observasi Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 75

Lampiran 3 Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi dan Mean Tes Awal Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 76

Lampiran 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen. ... 78

Lampiran 5 Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol ... 118

Lampiran 6 Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelas Eksperimen ... 121

Lampiran 7 Kisi-Kisi Uji Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 156

Lampiran 8 Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 158

Lampiran 9 Kunci Jawaban Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis ... 160

Lampiran 10 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa ... 163

Lampiran 11 Langkah-langkah Perhitungan Uji Validitas ... 164

Lampiran 12 Hasil Uji Validitas ... 166

Lampiran 13 Langkah-langkah Perhitungan Uji Reliabilitas ... 168

Lampiran 14 Hasil Uji Reliabilitas ... 169

Lampiran 15 Langkah-langkah Perhitungan Uji Tingkat Kesukaran ... 171

Lampiran 16 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Soal ... 172

Lampiran 17 Langkah-langkah Perhitungan Uji Daya Pembeda Soal ... 174

Lampiran 18 Hasil Uji Daya Pembeda Soal ... 175

Lampiran 19 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 176

Lampiran 20 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Kontrol 177 Lampiran 21 Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan dan Kurtosis Kelas Eksperimen ... 178 Lampiran 22 Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi, Mean, Median,


(16)

xii

Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan dan Kurtosis Kelas

Kontrol ... 182

Lampiran 23 Skor Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 186

Lampiran 24 Skor Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 188

Lampiran 25 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 190

Lampiran 26 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 192

Lampiran 27 Perhitungan Uji Homogenitas ... 194

Lampiran 28 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik... 195

Lampiran 29 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen Indikator Mengidentifikasi ... 197

Lampiran 30 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol Indikator Mengidentifikasi 199 Lampiran 31 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik Indikator Mengidentifikasi ... 201

Lampiran 32 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen Indikator Memberikan Alasan ... 203

Lampiran 33 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol Indikator Memberikan Alasan ... 205

Lampiran 34 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik Indikator Memberikan Alasan…. 207 Lampiran 35 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen Indikator Membuat Kesimpulan ... 209

Lampiran 36 Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol Indikator Membuat Kesimpulan ... 211

Lampiran 37 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik Indikator Membuat Kesimpulan.. 213

Lampiran 38 Tabel Nilai Koefisien Korelasi Product Moment Pearson ... 215

Lampiran 39 Tabel Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (Chi Square) ... 217

Lampiran 40 Tabel Nilai Kritis Distribusi F ... 219


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan ilmu yang penting dikuasai manusia, karena matematika akan mengembangkan kemampuan berpikir manusia itu sendiri, dan dalam pembelajaran matematika, berpikir merupakan kegiatan yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan definisi matematika menurut Johnson dan Rising yang menyatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasi pembuktian yang logik, dan matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat.1

Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efesien dan efektif. Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika.2 Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika tersebut, kemampuan penalaran matematika merupakan salah satu tujuan yang mesti dicapai.

Penalaran adalah proses berpikir yang menggunakan argumen, pernyataan, premis-premis, atau aksioma-aksioma untuk menentukan benar-salahnya suatu kesimpulan. Penalaran bersifat logis jika kesimpulan dihasilkan oleh argumen, pernyataan, atau premis-premis yang benar. Sebaliknya, kesimpulan yang dihasilkan dari argumen-argumen atau premis-premis yang salah akan menghasilkan penalaran yang tidak logis. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan

1 Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA-UPI, 2001), h. 19.

2 Dian Usdiyana, “Meningkatkan Kemampuan Berpikir logis Siswa SMP melalui pembelajaran Matematika Realistik”, Jurnal Pengajaran MIPA. Vol 13 No. 1 April 2009, h. 1-2.


(18)

2

berdasarkan sejumlah informasi yang tersedia. Penalaran berangkat dari sesuatu yang sudah ada atau apa yang sudah diketahui, dari sana kemudian ditarik suatu kesimpulan. Apa yang sudah diketahui itu disebut premis, fakta, bukti, dasar, atau alasan.3

Perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar.4 Materi matematika dan penalaran merupakan dua hal yang sangat terkait. Materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dilatih melalui matematika. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan, penalaran juga merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.5 Dari pernyataan tersebut dapat simpulkan bahwa penalaran tidak terlepas dari suatu kegiatan berpikir.

Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis dan penalaran bersifat analitik dari proses berpikirnya.6 Demikian pula matematika sebagai proses yang aktif, dinamik dan generatif melalui kegiatan matematika, memberikan sumbangan yang penting kepada siswa dalam pengembangan nalar, berpikir logis, sistematik, kritis, cermat, dan bersikap obyektif serta terbuka dalam menghadapi permasalahan.

Kemampuan bernalar tercemin melalui kegiatan berpikir, salah satunya yaitu kemampuan berpikir logis. Melalui pembelajaran matematika maka diharapkan siswa memperoleh kemampuan bernalar yang tercermin melalui kegiatan berpikir. Salah satu kemampuan yang erat kaitannya dengan hasil belajar siswa adalah kemampuan berpikir logis yaitu kemampuan menemukan suatu kebenaran berdasarkan aturan, pola atau logika tertentu.7 Kemampuan berpikir logis dapat terlihat ketika seseorang mampu menyimpulkan hasil tertentu yang dicapai dengan menerapkan argumentasi dari dasar pemikiran yang digunakan.

3 Kasdin Sihotang, Critical Thinking, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2012), Cet. 2, h. 94-95. 4 Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: 2001), h. 18. 5 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: 1990), h .42. 6Ibid,h. 43.

7 Dian Usdiyana, “Meningkatkan Kemampuan Berpikir logis Siswa SMP melalui pembelajaran Matematika Realistik”, Jurnal Pengajaran MIPA. Vol 13 No. 1 April 2009, h. 2.


(19)

Oleh karena itu kemampuan berpikir terutama kemampuan berpikir logis ini perlu dikembangkan untuk memperbaiki kemampuan penalaran matematis siswa.

Agar dapat menghantar siswa pada kegiatan berpikir logis, hendaknya kepada siswa dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencoba menjawab pertanyaan mengapa, apa, dan bagaimana. Sebagai contoh, pada siswa diberikan pertanyaan , siswa dapat menjawab hasilnya adalah 42. Lalu diberikan pertanyaan lanjutan, apakah sama hasilnya dengan atau lebih besar. Selanjutnya siswa dituntun untuk dapat mengemukakan alasan berdasarkan fakta yang sebelumnya diberikan, mengapa lebih besar atau mengapa lebih kecil. Jawaban siswa pasti akan menghubungkan antar fakta yang sebelumnya diberikan, membandingkannya, selanjutnya siswa mengerti dengan alasan yang ia buat. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut siswa dapat menarik kesimpulan atau membuat perkiraan atau prediksi berdasarkan hubungan antara kedua perkalian tersebut. Jika siswa dapat menjawab dengan benar, maka siswa sudah dapat memahami makna atau pengertian dari soal tersebut yang didalamnya terkandung pertanyaan untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis matematisnya.

Pada kenyataannya kemampuan berpikir matematis siswa masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil survey Trend Third International Mathematics and Science Study (TIMSS), pencapaian prestasi belajar siswa Indonesia di bidang sains dan matematika rendah, kemampuan siswa masih dominan dalam level awal atau lebih pada kemampuan menghafal dalam pembelajaran sains dan matematika. Untuk bidang Matematika, Indonesia berada di urutan ke-38 dengan skor 386 dari 42 negara. Pada TIMSS matematika kelas VIII tersebut, peringkat pertama diraih siswa Korea (613), selanjutnya diikuti Singapura dengan nilai rata-rata yang ditetapkan 500 poin.8 Data tersebut menyatakan bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia sebagian besar berada pada level rendah, siswa hanya mampu menyelesaikan masalah matematika yang sederhana. Akan tetapi, siswa belum mampu mengembangkan konsep matematika untuk masalah yang

8Towards Equity and Excellence Highlights from TIMSS 2011 The South African perspective,


(20)

4

kompleks. Siswa belum mampu mengkomunikasikan masalah secara logis, siswa belum mampu menyimpulkan serta menggunakan informasi dari masalah yang kompleks untuk menyelesaikan masalah matematika yang diberikan.

Fakta lain yang menunjukan kemampuan penalaran siswa Indonesia rendah adalah hasil tes PISA (Programme for International Student Assesment), sebagai berikut: Programmme for International Student Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2012 mengeluarkan survei bahwa Shanghai-Cina memiliki nilai tertinggi dalam matematika diikuti oleh Singapura dan Hongkong-Cina. Siswa top performer dalam matematika berada pada Level 5 atau 6 yaitu mereka mampu mengembangkan dan bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, dan bekerja secara strategis menggunakan luas, pemikiran dan penalaran keterampilan berkembang dengan baik. Shanghai-Cina, Singapura dan Hongkong-Cina menjadi negara-negara top performer dengan perolehan nilai diatas rata-rata OECD. Indonesia menduduki peringkat kedua terbawah, dalam pemetaan kemampuan matematika dengan skor 375, Indonesia berprestasi rendah dalam matematika di bawah Level 2 yaitu siswa belum mampu bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, kemampuan berpikir dan penalaran matematis siswa Indonesia belum berkembang dengan baik.9

Dari data TIMSS dan PISA tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran dan berpikir siswa Indonesia masih sangat rendah. Oleh karena itu, rendahnya kemampuan matematika peserta didik pada domain penalaran yang juga berkaitan dengan kemampuan berpikir logis perlu mendapat perhatian. Sehubungan dengan hal tersebut maka proses pembelajaran harus diperbaiki. Ini menunjukan bahwa proses pembelajaran matematika yang diterapkan di Indonesia masih sangat lemah. Ternyata proses pembelajaran saat ini masih kurang mendorong perkembangan berpikir dan bernalar siswa.

Observasi yang dilakukan di SMP Al-Hasra mengenai kemampuan berpikir logis siswa pada materi segi empat diwakili dengan 4 soal. Tes dilakukan


(21)

di kelas 7, dengan jumlah siswa 42 orang. Rata-rata nilai yang diperoleh adalah 49, sangat kecil untuk kemampuan berpikir logis (lampiran 3).

Tabel 1.1

Observasi Kemampuan Berpikir Logis

No. Interval Frekuensi %

1 19-28 4 9,52

2 29-38 8 19,05

3 39-48 9 21,43

4 49-58 9 21,43

5 59-68 6 14,29

6 69-78 6 14,29

Jumlah 42 100

Berdasarkan Tabel 1.1 hasil kemampuan tes berpikir logis matematis pada saat observasi bahwa siswa masih rendah dalam kemampuan berpikir logis matematisnya. Dapat terlihat dari perolehan persentase pada sampel kelas yang di ambil untuk dilakukan tes kemampuan berpikir logis. Dari hasil tes yang dilakukan menunjukan bahwa kemampuan berpikir logis matematis siswa masih rendah. Rendahnya kemampuan berpikir matematis siswa salah satunya dipengaruhi oleh proses pembelajaran.

Proses pembelajaran sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah peranan guru yang sangat berpengaruh dalam mendorong terjadinya proses belajar secara optimal. Ketepatan pendekatan dalam pembelajaran yang digunakan oleh guru juga yang mempengaruhi pembelajaran tersebut. Pada kenyataannya pendekatan pembelajaran yang digunakan guru di Indonesia pada umumnya cenderung yang berpusat pada guru, dalam proses pembelajaran guru yang secara keseluruhan memberikan materi sedangkan siswa hanya pasif menerima penjelasan guru. Proses pembelajaran seperti ini menyebabkan rendahnya perkembangan kemampuan berpikir siswa, karena siswa hanya dijadikan objek dalam pembelajaran. Oleh karena itu usaha perbaikan proses pembelajaran ini dilakukan dengan memilih pendekatan pembelajaran serta teknik yang tepat dan inovatif untuk mendukung pembelajaran ini agar berjalan lancar sesuai yang diharapkan.


(22)

6

Berkenaan dengan pembelajaran, beberapa pakar membahas suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa lebih aktif belajar dalam memperoleh pengetahuan dan mengembangkan berpikir melalui penyajian masalah dengan konteks yang relevan, para pakar di atas menamakan pendekatan tersebut dengan istilah problem-based learning (PBL) atau diterjemahkan sebagai Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM).10 Pada pembelajaran matematika, salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis matematika siswa adalah dengan pembelajaran matematika melalui model PBM atau PBL.

Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, dengan pendekatan ini siswa dituntut untuk berpikir secara aktif, logis, dan kritis. Proses pembelajaran ini memberikan permasalahan di awal, sehingga merangsang siswa untuk lebih memahami permasalahan yang dihadapi, tidak semata-mata hanya menghafal seperti biasanya. Bahkan, siswa mempunyai alasan juga kesimpulan terhadap apa yang dijawabnya.

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah pada dasarnya sudah sangat baik digunakan untuk pembelajaran, karena sudah banyak para peneliti yang sukses dalam meneliti dengan pendekatan ini, namun dalam penelitiannya masih terdapat kelemahan. Salah satu kelemahannya yaitu jika siswa tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Teknik scaffolding membimbing siswa untuk memahami tujuan serta masalah yang dihadapi, mengarahkan mereka hingga mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri dan mencapai kemampuan berpikir tingkat tingginya.

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan tentang pembelajaran berbasis masalah, siswa yang langsung diawali dengan soal akan kebingungan karena ia belum mendapatkan materi. Oleh karena itu pendekatan pembelajaran ini diiringi dengan teknik scaffolding, sebagai bantuan secukupnya agar siswa pun tetap terawasi dengan baik saat menyelesaikan permasalahannya,

10Utari Sumarmo, “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”, Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya”, jurnal kajian filosofi, teori, kualitas, dan manajemen pendidikan, Vol. 1 No.2, 2007, h.147-148.


(23)

tidak semata-mata di lepas begitu saja untuk menghadapi persoalan yang diberikan.

Pada penelitian ini, rendahnya kemampuan berpikir logis matematis akan diatasi oleh pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding. Melalui masalah yang diberikan, siswa akan mampu meningkatkan kemampuan berpikir logis matematis. Pembelajaran ini diawali dengan pemberian masalah kepada siswa berdasarkan data dan fakta yang ada. Siswa merumuskan masalah yang diberikan, lalu menganalisis masalah tersebut. Dari hipotesis yang di buat siswa mengumpulkan data untuk selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis, setelah semua tahap dilakukan langkah terakhir merumuskan pemecahan masalah dari semua data yang ada. Siswa akan terbiasa memecahkan masalah dengan melakukan identifikasi antar fakta, memberikan alasan, dan membuat kesimpulan. Siswa akan diberikan arahan secukupnya hanya sampai siswa sudah mampu mencapai kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Menurut hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti, pendekatan berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Pada pembelajaran ini siswa berpikir secara aktif untuk mengatasi masalah matematika yang diberikan, menemukan penyelesaian permasalahan tersebut dengan bekerja sama kemudian mampu menyimpulkan secara logis hasil atau solusi yang didapat dari masalah tersebut dengan argumen dari dasar pemikiran yang digunakan. Berdasarkan uraian pendekatan dan teknik pembelajaran diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Teknik Scaffolding Terhadap Kemampuan Berpikir Logis Matematis Siswa”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Rendahnya kemampuan berpikir logis matematis siswa.


(24)

8

3. Proses pembelajaran yang kurang mendorong perkembangan kemampuan berpikir siswa.

4. Pendekatan pembelajaran matematika yang digunakan oleh guru kurang mendorong siswa untuk berinteraksi secara aktif.

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari agar permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka hanya dibatasi permasalahan yang hendak diteliti pada:

1. Kemampuan berpikir logis matematis siswa di SMP Al-Hasra pada materi Segitiga.

2. Penelitian ini menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif memperoleh pengetahuan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri dengan diberikan bantuan dari guru ataupun bekerja dengan teman sebaya yang lebih cakap untuk mencapai tingkat kemampuan kognitif yang lebih tinggi.

D. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan berpikir logis matematis siswa yang diajarkan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding?

2. Bagaimana kemampuan berpikir logis matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional?

3. Apakah kemampuan berpikir logis matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah menggunakan teknik scaffolding lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?


(25)

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis kemampuan berpikir logis matematis siswa yang diajarkan melalui pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding.

2. Menganalisis kemampuan berpikir logis matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.

3. Menganalisis kemampuan berpikir logis matematis antara siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah menggunakan teknik scaffolding dan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang bersangkutan:

1. Bagi guru mata pelajaran matematika, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih baik. 2. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat membantu dalam memahami pelajaran

matematika, meningkatkan kemampuan berpikir logis, tanggung jawab, dan kemampuan siswa dalam kegiatan belajar menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding.

3. Bagi sekolah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi sekolah dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan pembelajaran Matematika dengan pendekatan pembelajaran yang tepat demi terwujudnya kualitas lembaga pendidikan yang lebih baik.

4. Bagi para peneliti dapat memperluas wawasan tentang proses pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding di bidang matematika.


(26)

10

BAB II

KAJIAN TEORI

G. Landasan Teoritis

1. Pembelajaran Matematika a. Belajar dan Pembelajaran

Belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Belajar merupakan kegiatan yang menjadi inti pokok dalam proses pendidikan di lembaga pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya tujuan dari pencapaian proses pendidikan banyak bergantung dari bagaimana proses belajar yang dialami siswa sebagai anak didik. Melalui belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya, sehinggga tingkah laku manusia dapat berkembang. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari.11 Belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal.12 Kegiatan belajar mengajar dapat dilakukan dimana saja, karena dari lingkungan sekitar pun merupakan pengalaman yang dapat dijadikan pengetahuan.

Kata pembelajaran adalah terjemahan dari Instruction, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti bahan-bahan

11 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 8, h. 112.

12 Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA-UPI, 2001), h. 8.


(27)

cetak, program televisi gambar, audio dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.13 Siswa dapat memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber media, terlebih sekarang dengan teknologi yang semakin canggih sehingga memudahkan siswa untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan.

Menurut Yusuf Hadi Miarso, pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha tersebut dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan atau kompetensi dalam merancang dan atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan.14

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang terjadi dan dilakukan oleh individual itu sendiri, sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan yang sengaja diciptakan atau direncanakan dengan pihak-pihak lain seperti guru, lingkungan atau pendidikan formal seperti sekolah.

b. Matematika dan Pembelajaran Matematika

Cockroft yang mengemukakan tentang mengapa matematika diajarkan. Hal ini disebabkan matematika sangat dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari, bagi sains, perdagangan dan industri, karena matematika itu menyediakan suatu daya, alat komunikasi yang singkat dan tidak ambigius serta berfungsi sebagai alat untuk mendeskripsikan dan memprediksi. Matematika mencapai kekuatannya melalui simbol-simbolnya, tata bahasa dan kaidah bahasa pada dirinya, serta mengembangkan pola berpikir kritis, aksiomatik, logis dan deduktif.15

13 Wina Sanjaya, op. cit., h. 102.

14 Martinis Yamin, Strategi & Metode dalam Model Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Group), Cet. 1, h. 15.

15 Hamzah B. Uno, Mengelola Kecerdasan Dalam Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. 2, h. 108.


(28)

12

Matematika berasal dari akar kata mathema artinya pengetahuan, mathenein artinya berpikir atau belajar. Pada kamus Bahasa Indonesia diartikan matematika adalah ilmu tentang bilangan hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan (Depdiknas).16 Definisi lain dikatakan bahwa matematika adalah cara atau metode berpikir dan bernalar, bahasa lambang yang dapat dipahami oleh semua bangsa berbudaya, seni seperti pada musik penuh dengan simetri, pola, dan irama yang dapat menghibur, alat bagi pembuat peta arsitek, navigator angkasa luar, pembuat mesin, dan akuntan.17 Matematika merupakan ilmu yang sangat penting bagi semua bidang ilmu maupun kehidupan sehari-hari, oleh karena itu matematika ada di setiap bidang studi. Belajar matematika merupakan belajar dalam usaha membantu siswa untuk membangun konsep-konsep matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kembali, mentransformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep baru.

Beberapa orang mendefinisikan matematika berdasarkan struktur matematika, pola pikir matematika, pemanfaatannya bagi bidang lain, dan sebagainya. Atas dasar pertimbangan itu maka ada beberapa definisi tentang matematika yaitu:18

1. Matematika adalah cabang pengetahuan eksak dan terorganisasi. 2. Matematika adalah ilmu tentang keluasan atau pengukuran dan letak.

3. Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya.

4. Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis.

5. Matematika adalah ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan pada observasi (induktif) tetapi diterima generalisasi yang didasarkan kepada pembuktian secara deduktif.

16 Ali Hamzah, Perencanaandan Strategi Pembelajaran Matematika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Cet. 1, h. 48.

17Ibid. 18Ibid, h.47-48.


(29)

6. Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat akhirnya ke dalil atau teorema. 7. Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan besaran,

dan konsep-konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

Jadi belajar matematika adalah proses belajar melalui upaya memahami arti, simbol-simbol, hubungan antar konsep yang menerapkan konsep tersebut dalam pemecahan masalah secara tepat, sistematik, cermat ke dalam pelajaran maupun kehidupan sehari-hari.

2. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Teknik Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika

Pembelajaran berbasis masalah merupakan terjemahan dari istilah problem-based learning. Rangkuman dari pendapat para penulis, merumuskan pengertian pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah yang dirancang dalam konteks yang relevan dengan materi yang akan dipelajari untuk mendorong siswa memperoleh pengetahuan dan pemahaman konsep, mencapai berpikir kritis, memiliki kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja kelompok, dan kemampuan pemecahan masalah.19

Dilihat dari aspek psikologi belajar, pembelajaran berbasis masalah bersandarkan kepada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi belajar bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata-mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi secara sadar anatara individu dengan lingkungannya.20 Sebagaimana tercantum dalan kurikulum Matematika Sekolah bahwa tujuan diberikannya matematika antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan di dunia yang

19Utari Sumarmo, “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”, Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas dan manajemen pendidikan, Vol 1. No.2, 2007, h. 150.

20 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 8, h. 112.


(30)

14

selalu berkembang, melalui latihan dapat bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, kreatif, dan efektif. Untuk menjawab tuntutan tujuan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi serta proses pembelajarannya yang sesuai.

Boud dan Feletti mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan. Untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. Kurikulum pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan yang lain.21 Tujuan yang ingin dicapai oleh pembelajaran berbasis masalah adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.22

Perbedaan penting antara PBM dan pembelajaran konvensional terletak pada tahap penyajian masalah. Dalam pembelajaran konvensional, penyajian masalah diletakkan pada akhir pembelajaran sebagai latihan dan penerapan konsep yang dipelajari. Pada PBM, masalah disajikan pada awal pembelajaran, berfungsi untuk mendorong pencapaian konsep melalui investigasi, inkuiri, pemecahan masalah, dan mendorong kemandirian belajar.23 Terdapat 3 ciri utama dari pembelajaran berbasis masalah, yaitu:24

1) Pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa.

2) Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari

21 Rusman, Model-model Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 5, h.230. 22 Wina Sanjaya, op.cit, h. 216.

23Utari Sumarmo, “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”, Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas dan manajemen pendidikan, Vol 1. No.2, 2007, h. 151.


(31)

proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran.

3) Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif, proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris.

Pemberian masalah pada proses pembelajaran merupakan ciri utama yang ada pada pembelajaran berbasis masalah ini, karena siswa dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah. Untuk itu, banyak keunggulan dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah ini, yaitu:25

a. Pembelajaran berbasis masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.

b. Dapat menantang kemampuan siswa, sehingga memberikan keleluasaan untuk menentukan pengetahuan baru bagi siswa.

c. Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa, membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.

d. Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. Di samping itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.

e. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.

f. Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

g. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.

25 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), Cet. 1, h. 142.


(32)

16

Disamping keunggulan, pembelajaran berbasis masalah juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:26

a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.

b. Keberhasilan pembelajaran melalui berbasis masalah membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.

c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Artinya, perlu dijelaskan manfaat menyelesaikan masalah yang dibahas pada siswa.

Pembelajaran berbasis masalah ini masih terdapat beberapa kelemahan, oleh karena itu pada penelitian yang akan dilakukan pendekatan berbasis masalah dengan teknik scaffolding yang akan menutupi kekurangan pada pendekatan berbasis masalah. Agar tidak menghabiskan waktu yang cukup lama karena kebingungan siswa yang langsung diberikan masalah tanpa mendapatkan materi sebelumnya. Teknik scaffolding juga membimbing siswa untuk memahami tujuan serta masalah yang dihadapi, mengarahkan mereka hingga mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri dan mencapai kemampuan berpikir tingkat tingginya.

Berdasarkan teori belajar konstruktivisme oleh Lev Semenovich Vygotsky mengatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan dilakukan secara bersama-sama dengan bantuan yang diistilahkan dengan scaffolding, misalnya dengan memberikan petunjuk, pedoman, bagan/gambar, prosedur, atau balikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan contoh, demonstrasi, atau praktik dari yang lebih dewasa. Teori ini melandasi munculnya pembelajaran kolaboratif/koperatif, PBM, dan pembelajaran kontekstual.27 Menurut teori ini, pengetahuan ada dalam pikiran manusia dan merupakan interpretasi manusia terhadap pengalamannya tentang dunia, bersifat perspektif, konvensional, tentatif, dan evolusioner.

26 Ibid, h. 143


(33)

Pengetahuan/konsep baru dibangun secara bertahap dari waktu ke waktu dalam konteks sosial. Scaffolding yaitu peserta didik diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistis untuk kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.28

Teknik adalah salah satu cara yang ditempuh guru untuk mengimplementasikan metode pembelajaran tertentu, dengan kata lain teknik adalah cara penerapan metode agar proses pembelajaran dapat berjalan efektif dan efisien.29 Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bamboo, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif.30 Bimbingan ini diberikan agar tidak menyita waktu dan menjadi efisien dalam belajar, seperti yang dipaparkan pada kelemahan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.

Jika siswa belum mampu mengembangkan kapasitas kognitifnya untuk beranjak dari tingkat kognitif yang lebih rendah, perlu scaffolding dari guru atau teman sebaya yang lebih cakap. Jika ia sudah mampu membangun struktur kognitifnya pada level yang lebih tinggi dengan bantuan scaffolding, scaffolding tersebut tidak lagi diperlukan.31 Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development (ZPD), yakni daerah tingkat pekembangan seseorang saat ini. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian

28 Ibid, h. 20-21.

29 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), Cet. 1, h. 16.

30 Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), Cet. 1 , h. 165.

31 Warsono, Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), Cet.1, h. 60-61.


(34)

18

diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas itu.32 Scaffolding adalah salah satu cara yang dapat memaksimalkan ZPD seseorang.

ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan actual dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan yang dimaksud terdiri atas empat tahap:33

1) More dependence to other stage, yakni tahapan di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli dan lain-lain. Dari sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.

2) Less dependence external assistance stage, dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada asistensi diri, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.

3) Internalization and automatization stage, dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kesadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain, walaupun demikian, anak pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.

4) De-automatization stage, dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, rekursi. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatization sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya.

Prinsip-prinsip konstruktivis sosial dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:34

1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.

32 Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), Cet. 1, h. 27.

33 Martinis Yamin, Strategi & Metode dalam Model Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Group, 2013), Cet. 1, h. 67.


(35)

2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar.

3) Siswa aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.

4) Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi belajar lancar.

5) Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.

6) Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. 7) Mencari dan menilai pendapat siswa.

8) Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi siswa.

Dapat di lihat prinsip dari scaffolding bahwa teknik ini tidak sepenuhnya melepas siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri, namun tidak pula di bimbing sepenuhnya. Terdapat variasi tahapan PBM yang dikembangkan oleh Moust dan kawan-kawan adalah:35

1) Mengklarifikasi konsep yang belum jelas. 2) Mendefinisikan permasalahan.

3) Menganalisis permasalahan. 4) Diskusi.

5) Merumuskan tujuan belajar. 6) Belajar mandiri.

7) Evaluasi.

Selain tahapan yang dikemukakan oleh Moust dan kawan-kawan, adapula menurut Fogarty. Tahap-tahap pendekatan belajar berbasis masalah menurut Fogarty adalah sebagai berikut:36

1) Menemukan masalah. 2) Mendefinisikan masalah. 3) Mengumpulkan fakta.

4) Menyusun hipotesis (dugaan sementara). 5) Melakukan penyelidikan.

35 Ridwan Abdullah Sani, Inovasi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Cet. 1, h. 142 36 Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. 1, h. 92.


(36)

20

6) Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. 7) Menyimpulkan alternatif pemecahan secara kolaboratif. 8) Melakukan pengujian hasil (solusi) pemecahan masalah.

Selanjutnya untuk teknik scaffolding, Lange menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam scaffolding pembelajaran:37

1. Pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing siswa dalam memahami materi baru.

2. Pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada siswa di setiap langkah dari proses pembelajaran.

Mengacu pada teori yang telah diuraikan sebelumnya, secara umum langkah pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Orientasi siswa pada masalah.

Guru memberikan permasalahan yang diangkat dari latar kehidupan sehari-hari siswa berkaitan dengan materi dalam bentuk LKS yang dikerjakan bersama teman sekelompok.

2. Mengorganisasikan siswa belajar.

Siswa secara bertahap untuk mendefinisikan masalah dengan bimbingan guru. 3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok.

- Siswa dibimbing untuk melakukan pengumpulan fakta, pencarian informasi dengan berbagai cara/metode, lalu mengelola informasi.

- Siswa menyusun jawaban/hipotesis (dugaan sementara) terhadap permasalahan yang dihadapi.

- Pada proses menyusun jawaban, siswa di berikan kata kunci untuk memahami materi, dan pertanyaan yang dapat mengantarkan pada materi selanjutnya.

- Siswa melakukan penyelidikan terhadap informasi dan data yang telah diperoleh bersama teman sekelompoknya dengan pengawasan guru.

4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

37 Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), Cet. 1 , h. 167.


(37)

- Siswa menyimpulkan alternatif pemecahan masalah secara kolaboratif. - Siswa melakukan pengujian hasil (solusi) pemecahan masalah bersama

teman kelompoknya.

5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

- Guru menguji siswa dengan beberapa pertanyaan untuk mengetahui kemampuan berpikir logis matematis siswa telah sampai pada kemampuan berpikir logis matematis yang lebih tinggi.

- Guru dan siswa bersama membuat kesimpulan mengenai solusi dari sebuah permasalahan yang diberikan dan materi yang dipelajari.

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini masih banyak diterapkan oleh guru ketika mengajar. Pembelajaran konvensional pada umumnya merupakan pembelajaran yang berpusat pada guru. Siswa hanya menjadi penerima sepenuhnya materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Pembelajaran ini lebih mengutamakan hapalan dari pada pemahaman dan lebih mengutamakan hasil dari pada proses. Guru biasanya mengajar hanya dengan beracuan pada buku teks yang digunakan sekolah, dengan mengutamakan metode ceramah.

Pembelajaran konvensional yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan strategi ekspositori. Strategi pembelajaran ekspositori merupakan aplikasi dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada guru. Melalui strategi ini, guru atau pendidik menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama strategi ini adalah kemampuan akademik.38 Jadi dalam strategi pembelajaran ekspositori guru memberikan materi secara langsung kepada siswa, dan siswa menerima materi tanpa harus menemukan menggali pengetahuan mereka.

38 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), Cet. 1, h. 146-147.


(38)

22

Beberapa karakteristik strategi ekspositori diantaranya adalah sebagai berikut:39

1. Penyampaian materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini.

2. Materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berfikir ulang.

3. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahami materi pelajaran dengan benar.

Pembelajaran konvensional menenkankan siswa pada pemahaman yang disampaikan oleh guru, segala materi yang disampaikan oleh guru diharapkan dapat dipahami oleh siswa. Secara garis besar, prosedur atau tahap-tahap untuk menerapkan pembelajaran dengan strategi ekspositori adalah sebagai berikut:40 a. Persiapan. Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk

menerima pelajaran.

b. Penyajian dan penjelasan materi. Langkah penyajian adalah menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan secara jelas. c. Korelasi. Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran

dengan pengalaman siswa dengan hal-hal lain yang memungkinkan mereka dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang utuh. d. Menyimpulkan. Menyimpulkan adalah tahap akhir dalam proses

pembelajaran. Kegiatan menyimpulkan dimaksudkan untuk memahami inti dari seluruh materi yang dibahas atau disajikan.

e. Mengaplikasikan atau mengaktualisasikan materi pelajaran. Artinya, siswa harus mampu mengaplikasikan atau mengaktualisasikan materi yang disampaikan guru dalam kehidupan sehari-hari.

39 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: 2009), Cet. 6, h.179.


(39)

4. Kemampuan Berpikir Logis Matematis

a. Pengertian Kemampuan Berpikir Logis Matematis

Berpikir merupakan aktifitas seseorang untuk mengumpulkan ide-ide atau informasi-informasi yang ada dengan cara menghubungkan antara bagian-bagian informasi yang ada tersebut dengan masalah yang sedang dihadapi pada diri seseorang. Poedjawijatna mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan logika.41 Jadi kemampuan berpikir logis dalam matematika erat kaitannya dengan logika, kegiatan berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Logika sendiri berasal dari kata Yunani, yaitu Logos yang berarti ucapan, kata, dan pengertian. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan aturan-aturan atau patokan-patokan yang perlu diperhatikan untuk dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional.42 Berpikir adalah proses umum untuk menentukan sebuah isu dalam pikiran, sementara logika adalah ilmu berpikir, walaupun dua orang dapat berpikir tentang hal yang sama, kesimpulan mereka keduanya diraih melalui pemikiran mungkin berbeda, yang satu logis, yang lain tidak logis. Pemikiran logis merupakan salah satu ciri-ciri yang harus dimiliki seseorang yang bernalar.

Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika atau dapat disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari berpikirnya.43 Berpikir logis adalah proses berpikir yang menggunakan penalaran secara konsisten untuk menghasilkan kesimpulan. Masalah atau situasi yang melibatkan berpikir logis memerlukan struktur, hubungan antar fakta, argumentasi dan rangkaian penalaran yang dapat dimengerti. Oleh karena itu ketika berbicara

41 Sahat Saragih, “Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan sikap Positif terhadap Matematika melalui Pendektan Matematika Realistik”, Jurnal Pendidikan dan kebudayaan, No.061, tahun ke-12, juli 2006, h. 555.

42Ibid.

43 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1990), h.43.


(40)

24

berpikir logis tidak akan bisa lepas dari penalaran, karena bisa dikatakan bahwa berpikir logis dan penalaran saling beririsan.

Berpikir logis berarti mendapat pemahaman dan pengetahuan dengan mempergunakan teknik berpikir yang telah ditetapkan dalam aturan logika formal.44 Logika formal adalah bidang ilmu yang membahas tentang pernyataan-pernyataan atau posisi dalam hubungannya dengan penalaran secara deduksi. Proses deduksi, yaitu penarikan kesimpulan bersifat individual dari pernyataan/ kerangka berpikir logis yang bersifat umum. Bidang ilmu tertua yang menerapkan deduksi berdasarkan logika formal adalah matematika.45

Piaget mendefinisikan berpikir logis sebagai langkah-lagkah internal yang digunakan seseorang ketika suatu masalah terjadi. Sheehan berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget mengembangkan tes kemampuan berpikir logis untuk mengklasifikasi siswa pada kelompok tahap operasional konkrit dan tahap operasinal formal.46 Pada tahap operasional konkrit umumnya anak-anak telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berpikir reversibel.47 Pada tahap operasional formal, tahap ini mulai dialami oleh anak dalam usia belasan tahun (saat pubertas), dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang diberikan.48 Menurut Albercht agar seseorang

44 Conny R. Semiwan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (Bandung: Remadja Karya, 1988), h. 47.

45 Sudrajat,Peranan Matematika dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, disampaikan pada seminar sehari”, The Power of Mathematics for all Aplications, HIMATIKA-UNISBA : januari 2008. (

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/peranan_matematika_dlm_perkembangan_iptek.pdf).

46 Utari Sumarmo, “Pendidikan Karakter dan Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya, Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya”, disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di Kupang NTT 25 Februari 2012, h. 350.

47 Erman Suherman, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), Cet. 1, h. 42-43.

48 Wowo Sunaryo Kusuma, Taksonomi Bepikir, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 158.


(41)

sampai pada berpikir logis, dia harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian dan menunjukan gagasan progresif, yaitu: (1) Dasar pemikiran atau realitas tempat berpijak, (2) Argumentasi atau cara menempatkan dasar pemikiran bersama, dan (3) Simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada dasar pemikiran.49

Dari beberapa penjelasan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa berpikir logis adalah kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu sehingga mampu menyimpulkan hasil yang diperoleh dengan menerapkan argumen pada dasar pemikiran.

Contoh soal kemampuan berpikir logis yang di modifikasi oleh Utari Sumarmo:

Untuk membuat dua gelas jeruk diperlukan lima buah jeruk segar. Jawablah pertanyaan berikut dan sertakan sifat matematik apa yang digunakan

a. Berapa buah jeruk segar yang harus disediakan untuk membuat lima gelas jus jeruk?

b. Berapa gelas jus jeruk dapat dibuat dari 30 buah jeruk? b. Indikator Kemampuan Berpikir Logis Matematis

Kemampuan berpikir logis dapat dilihat dari beberapa aspek atau indikator, berikut indikator yang dikemukakan oleh Sumarmo:50

a) Menarik kesimpulan atau membuat perkiraan dan interpretasi berdasarkan proporsi yang sesuai.

b) Menarik kesimpulan atau membuat perkiraan dan prediksi berdasarkan peluang.

c) Menarik kesimpulan atau membuat perkiraan atau prediksi berdasarkan korelasi antara dua variabel.

d) Menetapkan kombinasi beberapa variabel.

e) Analogi adalah menarik kesimpulan berdasarkan keserupaan dua proses.

49 Sahat Saragih, Menumbuh kembangkan Berpikir Logis….., h.556.

50 Utari Sumarmo, “Kemampuan dan Disposisi Berpikir Logis, Kritis, dan Kreatif Matematik, Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya”, Jurnal pengajaran MIPA, Vol 17. No.1, 17-33, April 2012, h. 374.


(42)

26

f) Melakukan pembuktian.

g) Menyusun analisa dan sintesa beberapa kasus.

Indikator tersebut lebih spesifik pada indikator menarik kesimpulan, mengetahui secara rinci apa yang ingin di tuntut dari siswa. Siswono mengatakan berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan siswa untuk menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan kesimpulan itu benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui. Ni’matus menyatakan karakteristik dari berpikir logis, yaitu:51

a. Keruntutan Berpikir

Siswa dapat menentukan langkah yang ditempuh dengan teratur dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan dari awal perencanaan hingga didapatkan suatu kesimpulan.

b. Kemampuan Beragumen

Siswa dapat memberikan argumennya secara logis sesuai dengan fakta atau informasi yang ada terkait langkah perencanaan masalah dan penyelesaian masalah yang ditempuh.

c. Penarikan Kesimpulan

Siswa dapat menarik suatu kesimpulan dari satu permasalahan yang ada berdasarkan langkah penyelesaian yang telah ditempuh.

Pemikiran logis adalah proses penggunaan penalaran secara konsisten untuk mengambil sebuah kesimpulan. Permasalahan melibatkan pemikiran logis, hubungan antara fakta-fakta, dan menghubungkan penalaran yang bisa dipahami.

Berdasarkan uraian di atas, untuk kepentingan penelitian ini digunakan instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir logis dengan indikator:

1. Mengidentifikasi hubungan antar fakta dalam menyelesaikan masalah. 2. Menyelesaikan permasalahan dengan memberikan alasan.

3. Membuat kesimpulan berdasarkan keserupaan dua proses.

51 Budi Andriawan. Identifikasi Kemampuan Berpikir Logis Dalam Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa Kelas VIII-1 SMP Negeri 2 Sidoarjo, Volume 3 No. 2 Tahun 2014. (


(43)

H. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Abdul Muin dan Ita Falina Hafsari, (2011). Hasil penelitian menunjukan bahwa presentase pencapaian kemampuan pemecahan masalah pada kelompok eksperimen yang dalam pembelajaran menggunakan teknik scaffolding yaitu 60,16% lebih tinggi daripada presentase pencapaian pada kelompok kontrol yang menggunakan teknik latihan/drill yaitu 50,58%.

2. Yanto Permana dan Utari Sumarmo, (2007). Presentase pencapaian penalaran matematis kelompok eksperimen dengan pembelajaran berbasis masalah (sebesar 72,5% dari pencapaian ideal) lebih besar dibandingkan dengan presentase pencapaian kelompok kontrol (sebesar 63,7% dari pencapaian ideal), terjadi perbedaan sebesar 8,8%. Presentase pencapaian pada koneksi matematis kelompok eksperimen dengan pembelajaran berbasis masalah (sebesar 69,27% dari pencapaian ideal) lebih besar dibandingkan dengan presentase pencapaian kelompok kontrol (sebesar 58% dari pencapaian ideal), terjadi perbedaan sebesar 11,27%. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa dan kemampuan koneksi matematik siswa melalui pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada pembelajaran biasa.

3. Dian Usdiyana, Tia Purniati, Kartika Yulianti, dan Eha Harningsih, (2009). Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa peningkatan kemampuan bepikir logis siswa di kelas eksperimen lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh siswa dikelas kontrol.

4. Gusnita Roza Putri, Syahrul R, Erizal Gani, (2012). Hasil penelitian menunjukan bahwa kelas eksperimen lebih tinggi kemampuan berpikir logisnya dari pada kelas kontrol.

I. Kerangka Berpikir

Rendahnya kemampuan berpikir logis matematis yang juga menunjukan rendahnya kemampuan berpikir siswa merupakan permasalahan yang dapat menjadi penghalang terwujudnya tujuan dari pembelajaran matematika itu sendiri. Salah satu upaya untuk meningkatkan berpikir logis matematis siswa yaitu dengan


(44)

28

pendekatan pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding. Matematika dapat dipahami melalui kemampuan bernalar yang baik, begitu sebaliknya kemampuan bernalar yang baik dapat dilatih melalui proses pembelajaran matematika. Penalaran memiliki karakteristik yaitu berpikir logis dan berpikir analitis. Kegiatan berpikir logis merupakan kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan kata lain menurut logika tertentu.

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang diterapkan dalam proses pembelajaran dengan mengembangkan keterampilan berpikir siswa. Oleh karena itu kemampuan berpikir logis matematis siswa dapat dipengaruhi dengan pembelajaran berbasis masalah ini. Sebuah teknik yang menggunakan pemecahan masalah, melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran yang juga mengutamakan keterampilan berpikir siswa yaitu teknik scaffolding.

Menurut prinsip-prinsip konstruktivis sosial, yaitu pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri. Siswa dituntut mampu membangun pengetahuan sendiri secara aktif, karena pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar. Siswa secara aktif mengkonstruksi secara terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah. Disinilah siswa dapat mencapai tingkatan berpikir logis ke tahap yang lebih tinggi. Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran agar proses kontruksi belajar berjalan lancar.

Sesuai dengan namanya pembelajaran ini diawali dengan pemberian masalah kepada siswa berdasarkan data dan fakta yang ada. Siswa merumuskan masalah yang diberikan, lalu menganalisis masalah tersebut. Dari hipotesis yang di buat siswa mengumpulkan data untuk selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis, siswa diberikan bantuan oleh guru atau teman sebaya yang kemampuannya lebih tinggi, namun hanya sampai siswa tersebut dapat mandiri tidak sepenuhnya diberikan bantuan. Setelah semua tahap dilakukan langkah terakhir merumuskan pemecahan masalah dari semua data yang ada.


(45)

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian J. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan deskripsi teoretik dan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: kemampuan berpikir logis matematis siswa dengan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding lebih tinggi dari pada kemampuan berpikir logis matematis siswa yang pembelajaran matematikanya dilakukan secara konvensional.

 Proses pembelajaran yang pasif

Rendahnya kemampuan berpikir logis matematis Siswa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran  Siswa tidak terbiasa memecahkan masalahnya sendiri

Mengembang kan dan menyajikan hasil karya Mengorga nisasikan siswa belajar Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Matematis Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Teknik scaffolding

Mengidentifikasi hubungan antar fakta dalam menyelesaikan masalah Menyelesaikan permasalahan dengan memberikan alasan Membuat Kesimpulan kasus yang diberikan Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Orientasi siswa pada masalah


(46)

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Al-Hasra Bojongsari, Depok. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2014/2015 di kelas VII selama satu bulan yaitu bulan Mei 2015.

B. Metode dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi eksperimen). Pada metode ini terdapat kelas kontrol, hanya saja kelas kontrol tersebut tidak dapat berfungsi secara penuh untuk mengontrol variabel-variabel luar yang dapat mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.52 Sampel penelitian ini dibagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen diterapkan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding, sedangkan pada kelas kontrol diterapkan pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

Desain penelitian yang digunakan adalah Post Test Only Control Design. Pada desain penelitian ini dua kelas dipilih secara acak dan diberikan perlakuan yang berbeda dengan tes yang sama diberikan di akhir perlakuan. Desain penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.53

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelas Perlakuan Postest

Eksperimen XE Y

Kontrol XK Y

52 Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), cet. 11, h. 112.


(47)

Keterangan:

XE : Perlakuan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah

dengan teknik scaffolding.

XK : Perlakuan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

Y : Tes kemampuan berpikir logis yang sama pada kedua kelas. C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Al-Hasra pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015. Pengambilan sampel pada penelitian dilakukan menggunakan teknik simple cluster random sampling.

D. Teknik dan Alat Penggumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah skor tes kemampuan berpikir logis matematis siswa dalam belajar matematika. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes, yaitu tes kemampuan berpikir logis matematis. Tes kemampuan berpikir logis matematis diberikan kepada kelas eksperimen yang dalam proses pembelajarannya diterapkan model pembelajaran berbasis masalah dengan teknik scaffolding, dan kelas kontrol yaitu kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal tes untuk mengukur kemampuan berpikir logis matematis siswa berupa soal-soal uraian yang diberikan dalam bentuk post test. Instrumen tes ini diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, dimana tes yang diberikan kepada kedua kelas tersebut adalah sama. Instrumen yang digunakan dibuat sesuai dengan indikator kemampuan berpikir logis matematis yang akan diukur pada penelitian ini. Penskoran diberikan berdasarkan pencapaian kemampuan siswa pada setiap indikatornya dengan skor tertinggi 4, dan skor terendah adalah 0.

Adapun rubrik penskoran yang akan diukur melalui tes uraian berdasarkan masing-masing indikator akan dijelaskan sebagaimana terdapat pada tabel dibawah ini:


(48)

32

Tabel 3.2

Rubrik Penskoran Soal Tes Kemampuan Berpikir Logis

Skor

Mengidentifikasi hubungan antar fakta dalam

menyelesaikan masalah Menyelesaikan permasalahan dengan memberikan alasan Membuat kesimpulan berdasarkan

keserupaan dua proses

4

Menunjukan

pengidentifikasian dan pemeriksaan hubungan antar fakta secara keseluruhan dengan tepat sesuai pertanyaan dan prosesnya juga benar, jelas dan lengkap berdasarkan pengetahuan matematika dari pokok bahasan bangun datar segitiga.

Menunjukan penyelesaian dengan memberikan alasan secara secara keseluruhan dengan benar, jelas dan lengkap, jawaban sesuai dengan pertanyaan berdasarkan pengetahuan matematika dari pokok bahasan bangun datar segitiga.

Menunjukan kesimpulan secara keseluruhan dengan tepat sesuai pertanyaan dan prosesnya juga benar, jelas dan lengkap berdasarkan pengetahuan matematika dari pokok bahasan bangun datar segitiga.

3

Jawaban hampir lengkap dan benar. Dapat menunjukan pengidentifikasian dan pemeriksaan hubungan antar fakta yang sesuai dengan pertanyaan tetapi dalam prosesnya ada beberapa kesalahan atau kurang lengkap.

Jawaban hampir lengkap dan benar. Dapat

menunjukan penyelesaian dengan memberikan alasan yang sesuai dengan

pertanyaan tetapi dalam prosesnya ada beberapa kesalahan atau kurang lengkap.

Jawaban hampir lengkap dan benar. Dapat

menunjukan kesimpulan berdasarkan keserupaan dua proses dari

pertanyaan tetapi dalam prosesnya ada beberapa kesalahan atau kurang lengkap.

2

Menunjukan

pengidentifikasian dan pemeriksaan hubungan antar fakta (hanya sebagian) dengan benar, jawaban kurang memberikan gambaran terhadap pertanyaan.

Menunjukan penyelesaian dengan memberikan alasan (hanya sebagian) dengan benar, jawaban kurang memberikan gambaran terhadap pertanyaan.

Menunjukan kesimpulan (hanya sebagian) dengan benar, jawaban kurang memberikan gambaran terhadap pertanyaan.

1

Beberapa usaha dicoba untuk mengemukakan identifikasi, tetapi belum menunjukkan hubungan matematis. Jawaban tidak memberikan gambaran terhadap

pertanyaan.

Beberapa usaha dicoba untuk mengemukakan alasan, tetapi belum menunjukkan hubungan matematis. Jawaban tidak memberikan gambaran terhadap pertanyaan.

Beberapa usaha dicoba untuk mengemukakan kesimpulan, tetapi belum menunjukkan hubungan matematis. Jawaban tidak memberikan gambaran terhadap pertanyaan.


(49)

Untuk memperoleh data kemampuan berpikir logis matematis, diperlukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penskoran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skor rubrik yang dimodifikasi dari Achmad Nizar.54

E. Uji Instrumen Tes Penelitian

Sebelum soal-soal tes digunakan, dilakukan uji coba instrumen. Soal-soal tes diujicobakan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah instrumen tersebut memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas, selain itu juga untuk mengetahui tingkat kesukaran dan daya pembeda soal.

1. Validitas

Validitas adalah derajat ketetapan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur. Suatu tes dikatakan valid jika hasilnya sesuai dengan kriteria, artinya tes tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas dihitung dengan menggunakan rumus product moment dari Pearson. Perhitungan validitas dilakukan dengan menggunakan rumus product moment sebagai berikut:55

 

 

  2 2 2 2 Y Y N X X N Y X XY N rxy Keterangan:

= koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y, dua variabel yang

dikorelasikan N = Jumlah responden X = Skor item

Y = Skor total

Kriteria pengujian validitas soal adalah : Jika , maka soal tersebut valid

54 Achmad Nizar, “Kontribusi Matematika Dalam Membangun Daya Nalar dan Komunikasi Siswa”, Jurnal Pendidikan Inovatif Volume 2, No. 2, Balikpapan, 2007, h.78, tidak dipublikasikan. 55 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. VI, h. 72.


(50)

34

Jika , maka soal tersebut tidak valid

Setelah dilakukan uji validitas, dari 7 butir soal yang diujicobakan pada 38 siswa dengan semua soal valid diperoleh 7 butir soal (lampiran 12).

2. Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui keterpercayaan hasil tes. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Rumus yang digunakan untuk mengukur reliabilitas suatu tes yang berbentuk uraian adalah dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach, yaitu:56

             

2

2 11 1 1 t i n n r  

dengan ∑

Keterangan:

= reliabilitas instrumen

= banyaknya butir soal (item)

∑ = jumlah varians skor tiap-tiap item = varians total

= skor tiap soal

Kriteria koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut:57 Tabel 3.3

Klasifikasi Indeks Reliabilitas Soal Kisaran Koefisien Reliabilitas Tafsiran

0,90 1,00 Derajat reliabilitas sangat baik 0,70 0,90 Derajat reliabilitas baik 0,40 0,70 Derajat reliabilitas cukup 0,20 0,40 Derajat reliabilitas rendah 0,00 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah Berdasarkan kriteria koefisien reliabilitas, nilai = 0,71 berada diantara kisaran 00,70 0,90, maka dari 7 butir soal yang valid, memiliki derajat reliabilitas baik (lampiran 14).

56Ibid, h. 108-109.


(51)

3. Taraf Kesukaran

Cara mengetahui apakah soal tes yang diberikan tergolong mudah, sedang, atau sukar, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:58

Keterangan:

= indeks/tingkat kesukaran

∑ = jumlah skor yang diperoleh siswa = skor maksimum

= jumlah peserta tes

Kriteria yang digunakan untuk menafsirkan tingkat kesukaran adalah: Tabel 3.4

Klasifikasi Tingkat Kesukaran Soal Kisaran Indeks Kesukaran Tafsiran

Soal sukar

Soal sedang

Soal mudah

Berdasarkan uji taraf kesukaran diperoleh 5 butir soal dengan kriteria sedang, yaitu soal nomor 1, 2, 3, 4, 7, dan terdapat 2 butir soal dengan kriteria sukar, yaitu soal nomor 5 dan 6 (lampiran 16).

4. Daya Pembeda

Perhitungan daya pembeda soal dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana soal yang diberikan dapat menunjukkan siswa yang mampu dan yang tidak mampu menjawab soal. Untuk mengetahui daya pembeda tiap butir soal digunakan rumus:59

58 Sumarna Surapranata, Analisis, Validitas, Reliabilitas, dan Interpretasi Hasil Tes, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 12.


(1)

221 Lampiran 41


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)