PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MULTIMEDIA MELALUI ”VALUING PROCESS” MENUJU MASYARAKAT MELEK MEDIA :Studi Etnografis pada Pengguna Internet di HU Pikiran Rakyat Bandung.

(1)

i

DAFTAR ISI

ABSTRAK

i

ABSTRACT

ii

KATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR BAGAN

xv

DAFTAR GAMBAR

xvi

BAB I PENDAHULUAN

1

A.

Latar Belakang Masalah

1

B.

Rumusan Masalah

13

C.

Tujuan Penelitian

15

D.

Manfaat Penelitian

16

E.

Paradigma Penelitian dan Diagram Alir Penelitian

17

F.

Metode Penelitian

21

G.

Lokasi Penelitian dan Informan

25

BAB II TEORI PENGEMBANGAN MODEL

PEMBELAJARAN MULTIMEDIA

MELALUI ”VALUING PROCESS”

MENUJU MASYARAKAT MELEK MEDIA

26

A.

Penelitian Multimedia Terdahulu

26

B.

Definisi Operasional

46

a.

Pengembangan Model

46

b.

Pembelajaran Multimedia

47

Media Massa dan Media Baru

49

(1) Media Massa

51

(2) Media Baru dan Internet

58

c.

”Valuing Process”

73

d.

Masyarakat Melek Media

75

C.

Multimedia, Studi tentang Ilmu Komunikasi

76

D.

Valuing Process, Lima Pintu Menuju Berinternet yang Bernilai

82

1.

Pintu Dimensi Pikir

86

2.

Pintu Dimensi Rasa

90

3.

Pintu Dimensi Memilih

94

4.

Pintu Dimensi Komunikasi

98

5.

Pintu Dimensi Berbuat

105

E.

Kaitan Antara Studi Pendidikan Nilai dan Internet

111

1.

Nilai Internet

112

2.

Internet yang Bernilai

121

3.

Internet yang Tidak Bernilai

127

a.

Pornografi

128

b.

Kecanduan Game

133

c.

Berjudi Secara Online

138


(2)

F.

Literasi Media, Solusi Menuju Media yang Bernilai

146

a.

Literasi Media dan Yang Bukan Literasi Media

149

b.

Mengapa Literasi Media Begitu Penting?

152

c.

“Inquiry”, Jantungnya Literasi Media

154

d.

Pertanyaan Esensial bagi Guru

157

e.

Lima Pertanyaan Kunci Literasi Media

157

f.

Lima Dogma dalam Literasi Media

158

g.

Proses “Inquiry”

159

h.

Lima ”dogma” Media Literasi dan Lima Pertanyaan Kunci

158

i.

Kemampuan Proses = Sukses Dalam Hidup

171

j.

Melakukan "Analisis Mendalam" pada Teks Media

174

k.

Tips Mengajar Literasi Media

177

G.

Mengintegrasikan Literasi Media dengan Pembelajaran Nilai

179

1.

Klarifikasi Nilai = ”Bebas Nilai” = ”Nilai Relatif”

181

2.

Menghadapi Nilai Mutlak

182

3.

Dasar Teoretis Klarifikasi Nilai

181

a.

Teknik Klarifikasi Nilai

186

b.

Integrasi Media Literasi dan dan Klarifikasi Nilai

189

BAB III METODE PENELITIAN

195

A.

Metode Etnografi

195

1.

Etnografi Baru

201

2.

Budaya Menurut Etnografi Baru

202

3.

Untuk Apa Etnografi?

206

B.

Informan

212

C.

Prinsip Etika dalam Etnografi

215

D.

Alur Penelitian Maju Bertahap

217

-

Langkah Pertama: Menetapkan Informan

218

-

Langkah Kedua: Mewawancarai Informan

221

-

Langkah Ketiga: Membuat Catatan Etnografis

224

-

Langkah Keempat: Mengajukan Pertanyaan Deskriptif

228

-

Langkah Kelima: Melakukan Analisis Wawancara Etnografis

230

-

Langkah Keenam: Membuat Analisis Domain

233

-

Langkah Ketujuh: Mengajukan Pertanyaan Struktural

235

-

Langkah Kedelapan: Membuat Analisis Taksonomik

239

-

Langkah Kesembilan: Mengajukan Pertanyaan Kontras

241

-

Langkah Kesepuluh: Membuat Analisis Komponen

241

-

Langkah Kesebelas: Menemukan Tema Budaya

242

-

Langkah Kedua Belas: Menuliskan Etnografi

243

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

245

A.

Hasil Penelitian

245

1.

Gambaran Umum tentang Pikiran Rakyat

245

2.

Pikiran Rakyat Era Multimedia

251

3.

Budaya Multimedia di HU Pikiran Rakyat

258

B.

Analisis Etnografis

311

1.

Analisis Secara Umum

312


(3)

iii

(b)

Budaya Penggunaan Internet Secara Kontraproduktif

336

2.

Analisis Perspektif ”Valuing Process”

343

(a)

Analisi Domain Dimensi Berpikir

343

(b)

Analisis Domain Dimensi Rasa

353

(c)

Analisis Domain Dimensi Memilih

365

(d)

Analisis Domain Dimensi Berkomunikasi

371

(e)

Analisis Domain Dimensi Berbuat

377

3.

Temuan Tambahan

384

(a)

Tingkatan Melek Media

384

(b)

Pencapaian Melek Media

387

C.

Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia

391

1.

Model Pembelajaran Multimedia di HU Pikiran Rakyat

391

2.

Pengembangan Model Pembelajaran Multimedia

394

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

398

A.

Kesimpulan

398

B.

Rekomendasi

404

DAFTAR PUSTAKA

410

LAMPIRAN:

414

Lampiran 1: Daftar Pertanyaan untuk Informan

414

Lampiran 2: Cara Pengajaran Literasi Media yang Dilakukan Islaminur Pempasa 451

Lampiran 3: Cara Pelatihan Internet Berbasis Nilai

468

VALIDASI

474


(4)

DAFTAR TABEL

TABEL 1.1

BEDA PENGAJARAN ABAD IXX-XX DENGAN ABAD XXI

21

TABEL 2.1


(5)

v

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1.1 Paradigma Penelitian

20

Diagram 1.2 Diagram Alir Penelitian

21


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1

Metode Penelitian

24

Gambar 3.1

Kertas Kerja Analisis Domain

233


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Masyarakat saat ini berada dalam zona mabuk teknologi (Naisbitt,

2001:9), yaitu zona yang ditunjukkan oleh adanya hubungan yang rumit dan

seringkali bertentangan antara teknologi dan pencarian makna. Gejala zona

mabuk teknologi ditandai dengan, (1) Masyarakat lebih menyukai

penye-lesaian masalah secara kilat dari masalah agama sampai masalah gizi. (2)

Masyarakat takut sekaligus memuja teknologi. (3) Masyarakat mengaburkan

perbedaan antara yang nyata dengan yang semu. (4) Masyarakat menerima

kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. (5) Masyarakat mencintai teknologi

dalam wujud mainan. (6) Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak

dan terenggut (Naisbitt, 2001:13). Amerika, kata dia merupakan negara

yang secara teknologi paling maju di dunia, dari bidang militer hingga

me-dia.

Manusia dimabuk oleh kegairahannya yang menggebu. Mereka tidak

ba-nyak berbicara tentang hal lain. Coba saja dengarkan percakapan mereka

se-hari-hari. Mereka menggembar-gemborkan dan mengoceh perihal teknologi

yang merasuki kehidupan dari segala arah. Mereka mencintai teknologi

tat-kala teknologi itu berfungsi. Tapi mereka membencinya tattat-kala teknologi itu

tak jelas, bagaikan buku panduan yang tak pernah dibaca. Mereka mencintai

teknologi tatkala teknologi itu terasa seperti mainan baru, namun mereka

membencinya begitu mainan itu rusak. Masyarakat berbicara perihal acara


(8)

televisi, berbagai peristiwa yang diberitakan media, dan aneka humor

inter-net, seolah-olah semuanya itu kisah hidup mereka sendiri. Ketakutan

atau-pun kecintaan akan teknologi kerap menjadi landasan kisah film yang

mere-ka tonton, buku yang meremere-ka baca, cerita di majalah, berita utama surat mere-

ka-bar, dan menjadi pemicu bagi perbincangan yang terjadi kemudian.

(Nais-bitt, 2001:10).

Oleh karena itu, pesan iklan yang tercetak yang tampil di papan iklan

maupun televisi sarat dengan janji teknologi. Teknologi tak henti-hentinya

menawarkan cara penyelesaian kilat. Teknologi berikrar akan membuat

ke-hidupan menjadi lebih baik, membuat manusia lebih pintar, meningkatkan

kinerja, dan membuat manusia bahagia. Teknologi berjanji akan lebih cepat,

lebih murah, dan lebih mudah daripada segala sesuatu yang sudah pernah

ada sebelumnya. Teknologi bersumpah akan menyediakan keamanan,

stabi-litas, privasi, serta kontrol dan sekaligus melimpahkan kedamaian pikiran

serta menjaga manusia agar terbebas dari rasa cemas. Teknologi berjanji

akan menghubungkan manusia dengan dunia luar namun akan tetap menjaga

mereka agar tetap dekat dengan para sahabat dan keluarga yang dicintai.

Teknologi merekam dan mengingatkan tentang saat kehidupan manusia

yang berharga. Teknologi berjanji menjadi landasan ekonomi dunia yang

ba-ru dan penyeimbang yang kuat. Teknologi berjanji menjadikan umat

manu-sia kaya. Semua janji teknologi itu terdengar bak buluh perindu. Manumanu-sia

dibuat percaya bahwa semua solusi bisa diperoleh cukup dengan

membe-linya.


(9)

Di Indonesia, belum ada penelitian yang mengukur seberapa besar

pe-ngaruh teknologi informasi, baik berupa media elektronik maupun media

cetak, terhadap kepribadian dan struktur nilai moral pada diri anak bangsa.

Ini menjadi tantangan bagi para ilmuwan di bidang pendidikan umum,

khu-susnya bidang nilai. Kalau penelitian itu dilakukan, diperkirakan, media

me-miliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap pembentukan tingkah laku,

kepribadian, gaya hidup, selera makan, bahkan dapat dikatakan pengaruhnya

sangat besar terhadap kehidupan umat manusia di Indonesia.

Dilihat dari kacamata pendidikan, bisa jadi, pengaruh media elektronik

dan media cetak, lebih besar daripada pengaruh pendidikan tradisional yang

selama ini dikenal seperti pendidikan dalam keluarga (informal), pendidikan

di sekolah (formal), dan pendidikan dalam lembaga masyarakat (nonformal).

Pengaruh (pendidikan) yang berasal dari TV, internet, alat portabel, PDA,

radio, barang cetakan seperti koran, buku, komik, majalah, tabloid, dan

lain-nya, mungkin bisa dimasukkan sebagai pendidikan nonformal, akan tetapi

dalam hal ini sementara dipisahkan dari berbagai istilah pendidikan yang

la-zim digunakan itu, yaitu pendidikan informal, formal, dan nonformal. Sebut

saja pendidikan media. Media terdiri atas media massa seperti televisi, radio,

koran, majalah dll., dan media personal seperti internet, CD, DVD, video

game, blog, telefon genggam, PDA, dll.

Pantas dicuriga, pengaruh pendidikan yang dilakukan media itu lebih

be-sar daripada pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak, atau

pendi-dikan yang dilakukan guru kepada siswanya, atau pengaruh ustaz di musala


(10)

atau masjid kepada para santrinya. Arus informasi masuk ke seluruh pelosok

tanah air dengan sangat deras. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki

anak kecil seringkali “menitipkan” anaknya kepada TV selagi ia

menyelesai-kan pekerjaan rumah tangganya atau pergi arisan, berbelanja, dll. Pembantu

rumah tangga tidak mustahil menghabiskan waktuya di depan TV daripada

membantu keluarga membereskan rumah, mencuci atau menyelesaikan

pe-kerjaan rumah lainnya. Tidak sedikit pelajar yang menghabiskan harinya di

warung internet (warnet) sekadar untuk chatting atau main game elektronik.

Tidak jarang pula masyarakat yang memanfaatkan radio sebagai

pemben-tukan komunitas pengajian, meski sebagian besar radio hanya digunakan

un-tuk cekakak-cekikik membicarakan gosip selebritis, memesan lagu, dan

sebagainya.

Pengaruh televisi tampaknya memegang rekor paling tinggi

dibanding-kan media radio dan media cetak, apalagi kalau disambungdibanding-kan dengan CD

atau DVD player. Dapat disaksikan betapa membludaknya remaja yang

an-tre ingin masuk sebagai peserta Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar

(AFI), Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Mamamia dan sebagainya. Seleksi

di tingkat daerah saja sedemikian antre selama berhari-hari, sementara

kon-tes pada tingkat nasional berkurang karena sudah diseleksi di daerah.

Penga-ruh tayangan sinetron juga sedemikian besar terhadap gaya hidup remaja.

Dapat disaksikan bagaimana pemuda masa kini mengatur rambutnya dengan

istilah lancung with gel. Di masa lalu, rambut yang awut-awutan disebut

ti-dak rapih, tapi saat ini justru menjadi tren.


(11)

Selera makan anak juga menjadi semakin aneh. Jajanan tradisional

se-perti peuyeum, getuk, awug, bajigur, leupeut, lupis, dan sebagainya semakin

tidak dikenal lagi dalam khazanah jajanan anak. Makanan yang diiklankan

TV lah yang menjadi referensi keluarga berkonsumsi. Dapat disaksikan

bah-wa pizza semakin akrab dalam keluarga kelas menengah ke atas, apalagi

ayam goreng gaya Amerika, sosis, snack, minuman ringan, mie instan dan

sebagainya. Apa yang dikonsumsi para selebritis di iklan TV diburu

masya-rakat. Kafe yang menyajikan makanan yang ada di TV diserbu. Tayangan

wisata kuliner semakin menjamur dan digemari masyarakat.

Cara masyarakat bersikap pun semakin berubah. Dalam percakapan

se-hari-hari, remaja yang bertengkar tidak sungkan mengucapkan kata

“Mam-pus lho...! Bego lho...” sebagaimana mereka saksikan di sinetron. Saat

me-reka dimarahi orang tuanya karena bolos belajar atau nilai rapornya melorot,

misalnya, reaksinya sama. Mereka lari ke kamar, pintu dikunci, dan

kemu-dian menangis di atas bantal, persis seperti yang mereka saksikan di

teleno-vela dan sinetron remaja. Belum lagi soal pakaian. Apa pun baju yang

dike-nakan para selebritis pujaan, itulah yang dikedike-nakan remaja masa kini.

Berbaju dengan pusar kelihatan atau pantat terbuka menjadi semakin

”lazim” di kalangan remaja. Demikian pula remaja putra, mengenakan

an-ting atau kalung menjadi semakin akrab.

Dengan semakin populernya telefon seluler yang dapat merekam

gam-bar, mobile itu justru digunakan untuk merekam berbagai macam adegan

persenggamaan, ketelanjangan, dan segala macam kegiatan seronok lainnya.


(12)

Maka di internet, dapat disaksikan ratusan, bahkan ribuan adegan porno,

baik berupa foto maupun film pendek yang berisi adegan persenggamaan

yang dilakukan pelajar, mahasiswa Indonesia dari berbagai sekolah dan

per-guruan tinggi, baik tingkat SMP, SMA, mahasiswa maupun pemuda lainnya.

Jika di tahun 2001 dapat disaksikan sedemikian hebohnya reaksi masyarakat

terhadap kasus VCD porno mahasiswa Itenas Bandung, saat ini film seperti

itu sudah menjadi ”lazim”. Rupanya, kasus Itenas hanyalah fenomena

gu-nung es di tengah lautan, di mana ia hanyalah permukaan, sedangkan di

ting-kat bawah sedemikian menggurita.

Dalam waktu lima tahun setelah kasus beredarnya VCD berisi hubungan

persenggamaan mahasiswa Itenas dan mahasiswi Unpad berjudul ”Bandung

Lautan Asmara”, ternyata kemudian beredar lebih dari 500 buah film porno

amatiran (Set, 2007:9-10). Jumlah tersebut semakin bertambah setelah

dite-mukannya bukti bahwa setiap hari, minimal dua film porno lokal baru

di-upload ke internet. Sebagian besar dibuat menggunakan handphone

berka-mera berisi cuplikan hubungan seks dalam durasi yang singkat (kurang dari

10 menit). Cuplikan video porno tersebut dikonversi menjadi file berukuran

kecil, yang tersebar di handphone dan pemutar film mini (MP4 player) yang

harganya semakin murah. Kini, dapat dengan mudah disaksikan sekumpulan

anak muda menikmati berbagai jenis film porno di mana saja. Pemutar film

portable digunakan untuk menikmatinya di mana saja; di mal, di pinggir


(13)

Hampir di setiap sudut kota, film tersebut dapat dinikmati, tanpa harus

merasa takut dan malu lagi.

Set (2007:10), mengungkapkan, 90% pelaku dan pembuat film video

porno amatiran tersebut adalah pelajar dan mahasiswa. Sebagian besar berisi

hubungan seksual sepasang kekasih yang dilakukan dengan ”sukarela” dan

”riang gembira”. Hubungan seks telah menjadi hal yang tidak serius. Mereka

membuka rahasia ke ruang publik atas nama cinta dan keisengan belaka, dan

akhirnya terperosok dalam jebakan industri pornografi. Korban terbesar

ada-lah remaja putri. Kebanyakan dari mereka tidak sadar teada-lah dijebak dan

di-eksploitasi. Direkam ketelanjangan tubuhnya atas nama cinta dan kasih

sa-yang dan ditipu habis-habisan dengan ancaman ”diputus” oleh kekasih

be-ngalnya. Sayangnya, kata cinta kerap dijadikan senjata untuk membutakan

logika. Selanjutnya, dimulailah fenomena penyimpangan dunia hiburan

paling dahsyat dengan korban yang kebanyakan adalah anak muda di negeri

ini. Penyimpangan atas nama cinta, kasih sayang, dan seks tersebut

dibung-kus dengan teknologi telekomunikasi multimedia terkini.

Menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU

ITE), pemerintah pun bermaksud memblokir situs porno di internet.

Pem-blokiran dilakukan di tingkat masyarakat, tingkat institusi/perkantoran, dan

tingkat internet service providers (ISP). Metode menggunakan piranti lunak

software filter.

UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Bab VII tentang Perbuatan yang

Di-larang Pasal 27 menyebutkan:


(14)

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang

melanggar kesusilaan.

Sementara Bab XI tentang Ketentuan Pidana Pasal Pasal 45 ayat (1)

me-nyebutkan:

(1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Meski demikian, Sodikin (2008) berpendapat bahwa langkah pemerintah

melakukan sensor seperti itu sebagai sesuatu yang tidak mungkin

(impos-sible). Memang, gertakan pemerintah ini membuat beberapa situs porno

yang dibangun orang Indonesia sementara ”tutup warung”. Situs yang tutup

biasanya karena pemilik situs itu alamatnya sudah diketahui banyak orang.

Warung internet juga khawatir dengan wacana pemblokiran yang dimulai

April-Mei 2008 ini. Dari sisi perekonomian, warung internet dan

penyeleng-gara ISP-lah yang terkena dampak langsung secara permanen (jika memang

sungguh-sungguh dilakukan filterisasi pornografi).

Pemilik situs porno Indonesia juga terkena dampak, tetapi hanya dalam

waktu dekat. Dalam jangka panjang, mereka mengganti alamat kontak di

data whois kepemilikan domain dari nama dia ke nama orang lain atau

seka-lian diubah ke mode privacy protect yang disediakan di kontrol domain.

Do-main adalah nama alamat website seperti www.google.com. Dengan privacy


(15)

Dari sisi hosting (kapasitas server untuk meletakkan data atau file

web-site) mereka dengan singkat (hanya hitungan menit) juga bisa memindahkan

ke hosting luar negeri (terutama Amerika Serikat) yang lebih aman. Di

Ame-rika SeAme-rikat tersedia banyak layanan hosting yang secara legal membolehkan

adult content. Dari sisi inilah, pemerintah mustahil memburu para pemilik

situs porno asal Indonesia. Lalu, apakah perangkat lunak yang akan

mem-filter isi website itu akan bisa berjalan mulus?

Maka Sodikin (2008) berkesimpulan, dari sisi teknologi, mustahil 100

persen bisa menjalankan skenario internet nyaman menggunakan perangkat

lunak semacam itu. Para pelanggan ISP, baik rumahan atau warung internet,

akan mengeluh sulitnya mengakses situs yang diinginkan. Situs yang

sebe-narnya tidak dalam ketegori porno bisa saja tersaring tak dimunculkan jika

di dalam isinya memuat kata tertentu yang kebetulan sama dengan kata yang

difilter.

Purbo (2003) juga mengemukakan, UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE

ini masih berasumsi bahwa pemerintah Indonesia superpower dan serbabisa.

Ada kecenderungan, pemerintah mengambil alih tanggung jawab yang

be-sar. Sialnya, yang terjadi di lapangan, pemerintah lebih sering bermain

power (bedil dan kekuasaan) daripada memberdayakan rakyat serta

mem-fasilitasi pembangunan untuk kemajuan rakyat. Ini yang terjadi di dunia

internet.

Teknologi informasi kini sedemikian berpengaruh, dan tidak mustahil

dapat menjadi “tuhan” baru (thaghut), menggantikan Tuhan yang diajarkan


(16)

para nabi yang mengajak menyembah Allah, sehingga pada gilirannya

ma-syarakat menyembah selera dan nafsu. Mama-syarakat akan berubah secara

drastis menjadi masyarakat yang hedonistis, ingin senantiasa

bersenang-senang, pendek akal, sangat mencintai dunia dan takut mati (wahn).

Mul-timedia tidak dapat dibendung lagi. Arus informasi sedemikian deras

bagai-kan air laut yang menerjang daratan seperti tsunami. Negara maju terus

mengganti satelit lama dengan yang baru, sehingga tidak ada lagi sudut

du-nia yang tidak terjangkau informasi. Bangsa Indonesia yang sempat

mem-buat regulasi seperti penerbitan surat izin untuk penerbitan pers (SIUPP),

membuat sensor TV, radio, dan sensor bagi surat kabar dan lain-lain tidak

populer lagi. Kebijakan open sky tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Persoalannya, bagaimana bangsa Indonesia bisa selamat agar tidak

teng-gelam dalam arus informasi yang kontraproduktif, sebaliknya informasi

yang melimpah tersebut justru menjadikan bangsa ini semakin bernilai dan

bahkan memberikan nilai tambah (value added)? Sebab, tidak mustahil, arus

informasi memang didesain oleh negara maju sebagai alat penjajahan baru

(neokolonialisme). Dengan membanjiri berbagai informasi, selera bangsa

Indonesia dapat dikendalikan, sehingga ujungnya, bangsa ini menjadi bangsa

yang konsumtif. Sementara negara Barat yang kreatif mampu menciptakan

berbagai macam produk yang senantiasa terjamin pemasarannya.

Model pembelajaran multimedia menawarkan bahwa jalan keluar

mem-bendung derasnya arus informasi multimedia itu, bukan dengan cara

meng-hentikan informasi media tersebut, melainkan justru membuat masyarakat


(17)

semakin melek media. Dengan asumsi bahwa, membendung arus informasi

sudah tidak mungkin lagi. Membuat regulasi yang bermaksud menyensor

pengaruh buruk media juga tidak efektif, sebab multimedia sudah

sedemi-kian beragam, sehingga dibendung sebagian akan bocor di bagian lain.

Regulasi yang disusun pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) mengarah untuk memberikan kebebasan yang luas bagi masyarakat

untuk mendapatkan informasi. Simak Rancangan Undang-Undang tentang

Kebebasan Memperoleh Informasi (KMI), dalam menimbang yang

menye-butkan:

(a) bahwa kebebasan memperoleh informasi merupakan hak asasi

manusia dan merupakan salah satu ciri terpenting dalam negara hukum

yang demokratis untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka. (b)

bahwa hak anggota masyarakat untuk memperoleh informasi publik

me-rupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas keterlibatan

masya-rakat dalam proses pengambilan keputusan publik. (c) Bahwa hak

ang-gota masyarakat untuk memperoleh informasi merupakan faktor penting

dalam meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses

peng-ambilan keputusan publik (public policy making process). (d) Bahwa

pe-libatan masyarakat (public involvement) tidak akan banyak berarti

apabi-la tanpa jaminan kebebasan memperoleh informasi.

RUU KMIP dalam Bab I, Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan, informasi

adalah segala sesuatu yang dapat dikomunikasikan, fakta, data atau segala

sesuatu yang dapat memperoleh suatu hal dengan sendirinya atau melalui

segala sesuatu yang telah diatur melalui bentuk dokumen dalam format apa

pun atau pejabat publik yang berwenang.

Melihat draf RUU KMIP tersebut, dapat diduga informasi tidak boleh

dibendung dan disensor lagi. Walaupun informasi yang dapat merusak nilai

moral tidak masuk dalam informasi yang dimaksudkan dalam RUU KMIP


(18)

tersebut, namun pada kenyataannya, informasi itu akan masuk bersama

in-formasi yang lain. Maka, satu-satunya cara adalah membuat masyarakat agar

menjadi melek media (media literate). Orang yang melek media akan imun

terhadap informasi multimedia. Artinya, bangsa Indonesia (generasi muda)

butuh pengetahuan dan keterampilan menggunakan kemajuan teknologi

multimedia, sehingga mereka mampu memfilter diri terhadap beragam

informasi yang masuk. Saringan yang dipasang dalam individu bangsa

Indonesia adalah berupa saringan nilai agama dan nilai luhur bangsa.

De-ngan memiliki imunitas terhadap arus informasi yang masuk, maka

infor-masi apa pun yang diperoleh bangsa Indonesia, mereka akan mampu

menya-ringnya, sehingga bangsa ini dapat memilih informasi yang bermanfaat bagi

diri, keluarganya, dan lingkungannya serta membuang informasi yang tidak

berguna.

Model pembelajaran literasi media menawarkan berbagai keterampilan

proses, dari mulai bagaimana mengakses media, menganalisis media,

meng-evaluasi, bahkan sampai menciptakan media. Dengan pembelajaran literasi

media, masyarakat tidak diasingkan dari multimedia, melainkan justru

dilibatkan sekaligus ke dalamnya. Meski demikian, pengetahuan dan

keterampilan masyarakat harus ditingkatkan, tidak hanya pasif menerima

apa pun yang disajikan media, melainkan mereka harus mampu

meng-analisis arus informasi yang masuk, sehingga bangsa ini menjadi bangsa

yang cerdas dan kritis terhadap media, bahkan suatu waktu, generasi baru

bangsa Indonesia diharapkan mampu menciptakan media sendiri yang


(19)

menjadi alternatif dari media yang dinilai tidak sehat dan kontraproduktif

serta menjadi alternatif sebagai media yang sehat, edukatif, dan menjunjung

nilai dan martabat bangsa Indonesia.

Sergiovanni (1992) menyebutnya sebagai kepemimpinan moral (moral

leadership). Artinya, di dalam diri manusia terdapat berbagai macam

do-rongan. Orang yang bernilai adalah orang yang dipimpin oleh moralnya

untuk menjadi orang yang berkeadaban. Orang yang melek media berarti

orang yang menggunakan moralnya saat mengakses, mengunduh, maupun

mengunggah informasi dari dan ke dalam internet.

Model pembelajaran multimedia ini bisa dilakukan melalui lima pintu,

yaitu pintu berpikir, pintu berasa, pintu kemampuan memilih, pintu

berko-munikasi, dan pintu berbuat. Kirschenbaum (1977) menyebut kelima pintu

itu dengan valuing process, yaitu proses seseorang menjadi bernilai.

Pene-litian ini menggunakan perspektif yang ditawarkan Kirschenbaum ini. Oleh

karena itu, rumusan masalah pun disusun berdasarkan urut-urutan pengertian

valuing process dalam perspektif Kirschenbaum tersebut.

B.

Rumusan Masalah

Sebagai panduan berikut dikemukakan rumusan masalah dalam daftar

pertanyaan berikut ini:

1.

Bagaimana pemikiran lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat

Ban-dung agar mereka semakin bernilai saat menggunakan multimedia. Apa

alasan mereka mengakses informasi yang bernilai dan menghindari

infor-masi yang kontraproduktif?


(20)

2.

Bagaimana perasaan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat

Ban-dung saat akan, sedang, dan sesudah menggunakan multimedia, sehingga

mendorong mereka mengakses informasi yang bernilai dari internet.

Pera-saan seperti apakah yang mampu mendorong mereka mengakses informasi

yang bernilai tersebut, dan perasaan seperti apa yang mampu menghalangi

mereka mengakses informasi yang kontraproduktif?

3.

Bagaimana proses lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat Bandung

dalam memilih informasi yang bernilai. Apakah mereka menetapkan

tu-juan dan mengumpulkan data terlebih dahulu saat mengakses informasi.

Apakah mereka mempertimbangkan konsekuensinya. Apakah mereka

me-milih informasi secara bebas. Adakah orang yang mendorong mereka

da-lam memilih informasi tersebut?

4.

Bagaimana lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat Bandung

ber-komunikasi dengan orang lain berkaitan dengan penggunaan internet,

se-hingga mengakses informasi yang bernilai. Apakah mereka mengirimkan

pesan atau memperluas pengetahuan dengan melakukan sharing dengan

orang lain?

5.

Bagaimana perbuatan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat

Ban-dung dalam meyakinkan diri agar mampu mengakses informasi di internet

yang bernilai dan menghindari informasi yang kontraproduktif?

6.

Pengembangan model pembelajaran multimedia yang bagaimana yang

da-pat menjadikan pengguna internet mampu mengakses informasi yang

ber-nilai dan menghindari informasi yang kontraproduktif?


(21)

C.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan ini adalah:

1.

Untuk mengetahui pemikiran lima pengguna internet di HU Pikiran

Rak-yat Bandung agar mereka semakin bernilai dalam menggunakan

multime-dia. Penelitian juga untuk mengetahui alasan mereka mengakses informasi

yang bernilai dan menghindari informasi yang kontraproduktif.

2.

Untuk mengetahui perasaan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat

Bandung saat akan, sedang, dan sesudah menggunakan multimedia,

se-hingga mereka mengakses informasi yang bernilai. Penelitian ini juga

dimaksudkan untuk mengetahui perasaan yang mampu mendorong mereka

mengakses informasi yang bernilai dan menghalangi mereka mengakses

informasi yang kontraproduktif.

3.

Untuk mengetahui proses lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat

Bandung dalam memilih informasi yang bernilai, apakah mereka

menetap-kan tujuan dan mengumpulmenetap-kan data terlebih dahulu saat mengakses

infor-masi. Apakah mereka mempertimbangkan konsekuensinya. Apakah

ka memilih informasi secara bebas. Adakah orang yang mendorong

mere-ka dalam memilih informasi tersebut.

4.

Untuk mengetahui komunikasi yang dilakukan lima pengguna internet di

HU Pikiran Rakyat Bandung dengan orang lain berkaitan dengan

penggu-naan internet, sehingga mereka mengakses informasi yang bernilai.

Peneli-tian ini ingin mengetahui apakah mereka mengirimkan pesan atau

mem-perluas pengetahuan dengan melakukan sharing dengan orang lain.


(22)

5.

Untuk mengetahui perbuatan lima pengguna internet di HU Pikiran Rakyat

Bandung dalam meyakinkan dirinya bahwa informasi yang diperoleh di

internet benar-benar bernilai sehingga mendorongnya untuk mengakses

in-formasi yang produktif. Penelitian ini juga untuk mengetahui bagaimana

mereka meyakinkan dirinya bahwa informasi yang akan diperolehnya

kon-traproduktif, sehingga mendorongnya menghindar mengaksesnya.

6.

Untuk mengembangkan model pembelajaran multimedia yang dapat

men-jadikan pengguna internet mampu mengakses informasi yang bernilai dan

menghindari informasi yang kontraproduktif.

D.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis

mau-pun praktis.

1.

Manfaat Teoretis. Penelitian ini diharapkan mampu melahirkan konsep

baru tentang kiat memperoleh nilai tertinggi dan menghindari nilai yang

kontraproduktif yang dihadirkan multimedia. Konsep tersebut diperoleh

dari hasil analisis terhadap informasi yang diperoleh dari para informan

yang telah berhasil mengalami melek media (media literacy.) Kiat dan

konsep tersebut kemudian disusun menjadi konsep model pembelajaran

untuk mengembangkan model pembelajaran yang selama ini ada, sehingga

dapat menjadi panduan bagi generasi berikutnya agar mereka tidak lagi

terjebak ke dalam akses informasi yang kontraproduktif.

2.

Manfaat Praktis. Secara praktis, konsep yang disusun dari pengalaman

para informan dapat menjadi bahan ajar bagi para pengguna internet dan


(23)

pengguna multimedia yang lain untuk tidak terjebak ke dalam arus

infor-masi yang tidak bermanfaat, sehingga pengguna multimedia dapat

meng-akses informasi secara lebih efektif tanpa harus melewati fase trial and

error sebagaimana para pendahulunya.

Bagi HU Pikiran Rakyat, penemuan penelitian ini dapat menjadi

ma-sukan bagi pengembangan perusahaan media, khususnya dalam

pengem-bangan media konvergensi yang memadukan antara media cetak dengan

media digital.

Di samping itu, kiat yang disusun dari hasil pengalaman para informan

dapat disusun menjadi model pembelajaran multimedia. Model ini

kemu-dian dapat disusun menjadi model pembelajaran dalam bentuk kursus

mul-timedia, workshop, atau bahkan dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum

sekolah.

E.

Paradigma Penelitian dan Diagram Alir Penelitian

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan Thomas Kuhn (1962) dan

kemudian dipopulerkan Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma

adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi mode of thought atau

mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang

spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan

yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok

per-soalan yang semestinya dipelajari (Siregar, 2008).

Patton sebagaimana dikutip Lincoln dan Guba (1985:15) mendefinisikan

paradigma dengan:


(24)

A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking

down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply

embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms

tell them what is important, legitimate, and rasionable. Paradigms are

also normative, telling the practitioner what to do without the necessity of

long existential or epistemological consideration. But it is this aspect of

paradigms that constitutes both their strength and their weakness –their

strength in that it makes action possible, their weakness in that the very

reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the

para-digm. (Patton, 1978:203)

Bagi Patton, paradigma merupakan pandangan tentang dunia, perspektif

umum, cara memecahkan kompleksitas persoalan dunia yang sebenarnya.

De-ngan demikian, paradigma tertanam secara mendalam dalam sosialisasi para

pengikut dan praktisi. Paradigma menyatakan apa yang penting, boleh, dan

beralasan. Paradigma bersifat normatif, memberi tahu praktisi apa yang harus

dilakukan tanpa harus mempertimbangkan epistemologi ektensial. Namun

ini-lah yang merupakan kekuatan dan kelemahan paradigma. Kekuatannya,

me-mungkinkan suatu kegiatan terlaksana, kelemahannya adalah bahwa alasan

kegiatan itu tersembunyi di balik asumsi yang tidak perlu dipertanyakan

kebe-narannya.

Implikasinya, penelitian memiliki dua paradigma besar yang seringkali

di-pertentangkan, naturalistik atau kualitatif dan konvensional atau

eksperimen-tal. (Alwasilah: 2003:78). Penelitian berjudul ”Pengembangan Model

Pembe-lajaran Multimedia Melalui ’Valuing Process’ Menuju Masyarakat Melek

Me-dia” ini termasuk penelitian naturalistik atau kualitatif. Oleh karena itu,

para-digma yang digunakan mengikuti aturan main yang digunakan dalam

peneliti-an kualitatif.


(25)

Mengutip Lincoln dan Guba, Alwasilah (2003:78-79) mengungkapkan 14

poin paradigma penelitian kualitatif. Yaitu, (1) natural settings (latar tempat

dan waktu penelitian yang alamiah, (2) humans as primary data-gathering

instruments (manusia atau peneliti sendiri sebagai instrumen pengumpul data

primer), (3) use of tacit knowledge (penggunaan pengetahuan yang tidak

eksplisit), (4) qualitative methods (metode kualitatif), (5) purposive sampling

(pemilihan sampel penelitian secara purposif), (6) inductive data analysis

(analisis data secara induktif atau buttom up), (7) grounded theory (teori

dari-dasar yang dilandaskan pada data secara terus menerus), (8) emergent design

(cetak biru penelitian yang mencuat dengan sendirinya), (9) negotiated

out-comes (hasil penelitian yang disepakati oleh peneliti dan responden), (10)

case-study reporting modes (cara pelaporan penelitian gaya studi kasus), (11)

idiographic interpretation (tafsir idiografik atau kontekstual), (12) tentative

aplication of findings (penerapan tentatif dari hasil penelitian), (13)

focus-determined boundaries (batas dan cakupan penelitian ditentukan oleh fokus

penelitian, (14) dan special criteria for trustworthiness (mengikuti kriteria

khusus untuk menentukan keterpercayaan dan mutu penelitian).


(26)

PENELITIAN ETNOGRAFI

VALUING PROCESS

TEORI MODEL

PEMBELAJARAN /TREATMEN

PENDUDUK ASLI

Paradigma penelitian ini dapat dijelaskan dalam diagram berikut:

DIAGRAM 1.1

Paradigma Penelitian


(27)

Sedangkan diagram alir penelitian digambarkan sebagai berikut:

DIAGRAM 1.2

Diagram Alir Penelitian

F.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode

et-nografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan.

Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari

sudut pandang penduduk asli. (Spradley:1979:3). Menurut Malinowski

(da-lam Spradley, 1979:3), tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang

penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan


(28)

pan-dangan mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan

aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat,

mende-ngar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Tidak

hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari

masyarakat.

Informan yang menjadi penelitian etnografi ini adalah lima orang yang

sudah melek media (media literate) yang mampu menghindari mengakses,

mengunduh, dan mengunggah informasi yang tidak bermoral, seperti

porno-grafi dan informasi yang kontraproduktif lainnya yang bekerja di HU

Pikiran Rakyat Bandung, Jawa Barat. Dengan penelitian etnografi, peneliti

berupaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa

orang yang ingin peneliti pahami. Sebagaimana dikemukakan Spradley

(1979:5), beberapa makna ini terekspresikan secara langsung dalam bahasa;

dan banyak yang diterima dan disampaikan hanya secara tidak langsung

melalui kata dan perbuatan. Tetapi dalam setiap masyarakat, orang tetap

menggunakan sistem makna yang kompleks untuk mengatur tingkah laku

mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan untuk memahami orang

lain, serta untuk memahami dunia di mana mereka hidup. Sistem makna

merupakan kebudayaan mereka, apalagi etnografi selalu mengimplikasikan

teori kebudayaan.

Konsep kebudayaan sendiri, menurut Marvin Harris, (dalam Spradley,

1979:5) ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan

de-ngan kelompok masyarakat tertentu seperti adat (custom), atau cara hidup


(29)

masyarakat. Menurut Spradley (1979:5), pola tingkah laku, adat, pandangan

hidup masyarakat, semua dapat didefinisikan, diinterpretasikan dan

dides-kripsikan dari berbagai perspektif. Karena tujuan dalam etnografi adalah

”memahami sudut pandang penduduk asli”, maka perlu didefinisikan konsep

kebudayaan dengan cara yang merefleksikan tujuan itu.

Spradley (1979:5) pun mendefinisikan kebudayaan ini merujuk pada

pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk

menginterpretasi-kan pengalaman dan melahirmenginterpretasi-kan tingkah laku sosial.

Penelitian terhadap para pengguna internet yang sudah melek media ini

menggunakan alur penelitian maju bertahap (developmental research

pro-cess). Sebagaimana dikemukakan Spradley (1979:45-216), terdapat 12

lang-kah dalam melakukan penelitian etnografi ini. Langlang-kah 1, menetapkan

infor-man; Langkah 2, mewawancarai inforinfor-man; Langkah 3, membuat catatan

et-nografis; Langkah 4, mengajukan pertanyaan deskriptif; Langkah 5,

melaku-kan analisis wawancara etnografis; Langkah 6, membuat analisis domain;

Langkah 7, mengajukan pertanyaan struktural; Langkah 8, membuat analisis

taksonomik; Langkah 9, mengajukan pertanyaan kontras; Langkah 10,

mem-buat analisis komponen; Langkah 11, menemukan tema budaya; dan langkah

12, menulis etnografi.


(30)

Berikut digambarkan metodologi penelitian etnografis tersebut:

Sumber: Spradley, 1979 (Diadaptasi)

GAMBAR 1.1

Metode Penelitian

Salah satu strategi paling penting dalam penelitian etnografi adalah

mulai menulis sejak awal, kata Spradley (1997:42). Sebab, menulis di

sam-ping merupakan tindakan komunikasi, juga melibatkan proses berpikir dan

menganalisis. Begitu peneliti menulis, peneliti memperoleh wawasan,

meli-hat hubungan, dan memunculkan berbagai pertanyaan untuk penelitian. Jika

etnografer baru memulai menulis sampai data sudah terkumpul, maka terlalu

terlambat untuk mengikuti beberapa pedoman penting dalam membuat


(31)

tu-lisan. Alasan lain untuk menulis sejak awal adalah untuk menyederhanakan

tugas. Kebanyakan orang merenungkan tugas menulis sebuah laporan yang

terdiri atas tiga puluh halaman sebagai hal yang berat; menulis laporan yang

terdiri atas tiga halaman tampaknya jauh lebih mudah.

G.

Lokasi Penelitian dan Informan

1.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terhadap penduduk asli yang sudah melek media

dilak-sanakan di lingkungan karyawan HU Pikiran Rakyat Bandung.

Pemilih-an terhadap lokasi ini didasarkPemilih-an pada pertimbPemilih-angPemilih-an:

(a)

HU Pikiran Rakyat Bandung merupakan perusahaan yang bergerak

di bidang media dan terus mengembangkan geraknya di bidang

mul-timedia.

(b)

HU Pikiran Rakyat Bandung menyediakan perangkat multimedia,

khususnya internet yang dapat diakses selama 24 jam.

2.

Informan

Penelitian ini dilakukan terhadap lima orang informan yang sudah melek

media di lingkungan karyawan HU Pikiran Rakyat. Mereka adalah:

a.

Lina Nursanty (Wartawan)

b.

Samuel Lantu (Redaktur)

c.

Muzakir (Senior Administrator Network Produksi dan Editorial HU

Pikiran Rakyat)

d.

Islaminur Pempasa (Redaktur Pelaksana)

e.

Budhiana (Wakil Pemimpin Redaksi)


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Metode Etnografi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode etnografi. Studi

etno-grafi merupakan salah satu dari lima tradisi kualitatif (Creswell, 1998:65), yaitu bioetno-grafi,

fe-nomenologi, grounded theory, etnografi, dan studi kasus. Penelitian ini disebut juga dengan

penelitian alamiah (naturalistic) (Moleong:1995), naturalistic inquiry (Lincoln dan Guba:

1985), atau qualitative inquiry (Creswell :1998).

Contoh penelitian menggunakan metode etnografi pernah dilakukan Wolcott (1994,

da-lam Creswell, 1998:34-35). Penelitian yang dilakukannya bertujuan menguji proses

wawan-cara dalam pemilihan kepala sekolah baru. Wolcott menggunakan pendekatan etnografi. Dia

mengumpulkan data yang terdiri atas dokumen, hasil pengamatan terhadap partisipan, dan

hasil wawancara. Penelitian ini dimulai dengan perincian mengenai keberadaan komite

pemi-lihan kepala sekolah (principal selection committee) dan petunjuk mengenai konteks formal

penelitian tersebut.

Pembahasan mengenai permasalahan prosedural, seperti apakah para kandidatnya dipilih

dari wilayah tersebut dan tata cara memulai wawancaranya, sudah termasuk di dalam diskusi

tersebut. Kemudian, Wolcott memberikan deskripsi dari beberapa kandidat, dimulai dari

”orang ketujuh”. Dalam hal ini, Wolcott tidak menggunakan aturan wawancara tertentu, tapi

cenderung memilih para kandidat dari peringkat terakhir pada proses tersebut kecuali untuk

kandidat keenam (dengan kata lain, dimulai dari ketujuh, kelima, keempat, ketiga, kedua, dan

pertama). Berdasarkan deskripsi dari proses wawancara dengan tiap kandidat, Wolcott

meng-analisis cara kerja dan mengembangkan tiga tema. Yaitu, kekurangan pengetahuan


(33)

profesio-196

nal dihubungkan dengan peranannya, penghargaan terhadap perasaan pribadi, dan

kecende-rungan terhadap tingkah laku ”kekurangberagaman”. Tema terakhir memiliki arti khusus,

sebagaimana Wolcott mendiskusikan manfaatnya bagi ”perubahan” di sekolah.

Dalam hal ini, aspek etnografi yang dilakukan Wolcott adalah menulis secara jelas dan

meyakinkan, sehingga membawa pembaca ke perjalanan yang menarik. Keseluruhan

mak-sudnya adalah untuk melihat budaya sekolah pada saat dilaksanakan pemilihan komite

pemi-lihan kepala sekolah. Secara kreatif ia menyusun cerita naratif mulai dari kandidat terakhir

(orang ketujuh), sehingga pemenang yang terpilih pada proses tersebut. Kemudian ia

menam-bahkan penangguhan pada bagian akhir cerita.

Menurut Creswell (1998:35), penelitian yang dilakukan Wolcott memiliki banyak elemen

penting etnografi, yaitu:

Penulis menggunakan deskripsi dan detail tingkat tinggi.

Penulis menyampaikan ceritanya secara informal, sebagaimana seorang ”pendongeng”.

Penulis menjelajahi tema kultural dari peranan dan tingkah laku komite.

Penulis mendeskripsikan ”kehidupan sehari-hari tiap orang”.

Keseluruhan formatnya adalah deskriptif (pendeskripsian fakta dari tiap kandidat),

anali-tis (tiga ”dimensi”, dan interpretasi (”catatan dari refleksi”).

Hasil penelitian Wolcott menyimpulkan bahwa kepala sekolah bukanlah agen perubahan,

tetapi mereka lebih seperti ”pembela tindak pemaksaan” (Wolcott, 1994a:146).

Menurut Harris (1968, dalam Creswell, 1998:58), etnografi adalah deskripsi dan

interpre-tasi atas suatu budaya, kelompok sosial, atau sistem. Peneliti menguji suatu kelompok dan

mempelajari pola perilaku, adat, dan gaya hidup, baik sebagai satu proses maupun hasil dari

penelitian. Bagi Agar (1980 dalam Creswell, 1998:58), etnografi merupakan produk


(34)

peneliti-an, biasanya ditemukan dalam bentuk buku. Sebagai suatu proses, etnografi melibatkan

ob-servasi panjang terhadap kelompok tertentu, biasanya melalui "obob-servasi peserta", di mana

peneliti melebur dalam kehidupan sehari-hari orang dalam kelompok atau melalui

wawanca-ra owawanca-rang perowawanca-rang dari anggota kelompok. Peneliti mempelajari arti dari perilaku, bahasa, dan

interaksi budaya kelompok.

Etnografi memiliki asalnya sendiri dalam antropologi kebudayaan melalui para

antropo-log abad ke-20, seperti Boas, Malinowski, Radcliffe-Brown, dan Mead, serta studi mereka

tentang kebudayaan perbandingan. Meskipun mengambil ilmu alam sebagai model

peneliti-an, mereka membedakannya dengan pendekatan keilmuan tradisional, melalui data dari

orang pertama yang budayanya masih "primitif" (Atkinson & Hammersley, 1994 dalam

Creswell, 1998:59).

Sekitar tahun 1920 dan 1930, para sosiolog, seperti Park, Dewey, dan Med, di Universitas

Chicago, mengadaptasikan metode antropologi untuk mempelajari kelompok budaya di

Amerika Serikat (Bogdan & Biklen, 1992 dalam Creswell, 1998:59). Sekarang, pendekatan

keilmuan terhadap etnografi meluas, meliputi "sekolah" atau subtipe dari etnografi dengan

orientasi teoretis yang berbeda dan tujuan, seperti fungsionalisme struktural, interaksisme

simbolis, antropologi kebudayaan dan kognitif, feminisme, Marxisme, metodologi etno, teori

kritis, studi kebudayaan, dan postmodernisme (Atkinson & Hammersley, 1994 dalam

Cres-well, 1998:59). Hal ini mengarah pada kurang jelasnya sifat ortodoks dalam etnografi sebagai

pendekatan umum terhadap penjelasan dan interpretasi atas suatu budaya atau kelompok

so-sial. Para penulis pun harus menjelaskan secara eksplisit mengenai sekolah yang mereka pilih

ketika mendiskusikan pendekatan ini, apalagi hal ini telah digunakan oleh banyak peneliti di

berbagai bidang di luar antropologi dan sosiologi, seperti ilmu kesehatan dan pendidikan.


(35)

198

Sementara pendekatan yang dilakukan Hammersley dan Atkinson (1995, dalam Creswell,

1998:58) bergantung pada prosedur yang selama ini digunakan dalam pendekatan sosiologis

serta mendekati antropologi pendidikan Wolcott (1994b) dan Fetterman.

Para etnografer belajar dengan mengamati orang dengan cara berinteraksi dalam keadaan

wajar dan dengan berusaha menilai pola penyebaran, seperti perputaran hidup, peristiwa, dan

topik kebudayaan (Wolcott, personal communication, 10 Oktober 1996 dalam Creswell,

1998:59). Sebab, kata Wolcott, kebudayaan adalah istilah yang berubah-ubah, bukan sesuatu

mati, tetapi lebih kepada sesuatu di mana peneliti menghubungkan satu kelompok

sebagai-mana dia mencari pola kehidupan sehari-hari. Hal itu ditunjukkan dengan ucapan dan

tin-dakan anggota kelompok dan ditentukan bagi kelompok itu oleh peneliti. Terdiri atas,

men-cari tahu apa yang orang lakukan (perilaku), apa yang mereka katakan (bahasa), dan

bebera-pa kesenjangan antara abebera-pa yang mereka lakukan dan abebera-pa yang seharusnya dilakukan

sebagai-mana mereka membuat dan menggunakan (artefak) (Spradley,1980 dalam Creswell,

(1998:-59).

Dengan demikian, para etnografer mengumpulkan artefak dan bukti fisik; mencari cerita,

ritual, dan mitos; dan/atau membuka tabir topik budaya. Beberapa topik tertentu

berbeda-be-da, sebagaimana yang diilustrasikan Winthrop (1991 dalam Creswell, 1998:59) dalam

Dictio-nary of Concepts In Cultural Anthropology. Fetterman (1989 dalam Creswell, 1998:59),

mi-salnya, menyebutkan bahwa topik struktur dan fungsi membimbing pada penelitian

organisa-si soorganisa-sial. Struktur mengacu pada struktur soorganisa-sial atau konfiguraorganisa-si kelompok. Seperti

kekera-batan atau struktur politik dari kelompok sosial-budaya. Fungsi mengacu pada pola hubungan

sosial antaranggota kelompok yang mengatur perilaku mereka.


(36)

Untuk menentukan pola ini, etnografer melakukan kerja tambahan dalam wilayahnya,

di-sebut kerja lapangan, yaitu mengumpulkan informasi melalui observasi, wawancara, dan

ba-han yang berguna untuk mengembangkan gambaran dan menentukan "aturan budaya" dari

kelompok budaya. Seperti komentar Wolcott (1996 dalam Creswell, 1998:60), “They

(re-searcher) establish with a stranger would have to know in order to understand what is going

on here or, more challenging still, what a stranger would have to know in order to be able to

participate in a meaningful way.” Para penelitilah yang menentukan apa yang orang asing

harus tahu agar memahami apa yang terjadi atau, yang lebih menantang, apa yang seorang

asing harus tahu agar mampu berpartisipasi dengan cara yang benar.

Sebab, etnografer adalah orang yang sensitif terhadap masalah kerja lapangan

(Hammer-sley & Atkinson, 1995 dalam Creswell, 1998:60), seperti memperoleh akses ke kelompok

melalui para penjaga pintu masuk, yaitu orang yang bisa memberikan izin menuju situs

pe-nelitian. Seorang etnografer mencari informan kunci, yaitu individu yang mampu

memberi-kan pandangan yang berguna tentang kelompok dan dapat mengarahmemberi-kan si peneliti menuju

informasi dan hubungan. Peneliti lapangan pun harus peduli tentang pertukaran antara

penye-lidik dan subjek yang sedang dipelajarinya, di mana ada timbal baliknya bagi orang yang

di-pelajari sebagai ganti atas informasi. Reaktivitas, yaitu dampak dari peneliti terhadap situs

dan orang yang dipelajarinya. Menurut standar etika, keberadaan etnografer perlu diketahui

sehingga kebohongan, tujuan, atau maksud dari studinya dilakukan.

Etnografer mensyaratkan seorang yang peka terhadap masalah di lapangan, di mana

pro-sedur dalam etnografi membutuhkan penjelasan yang detail mengenai kelompok budaya atau

individual, yaitu satu analisis tentang kelompok budaya berdasarkan pada topik atau

pers-pektif, dan beberapa interpretasi atas kelompok budaya berupa interaksi sosial dan


(37)

genera-200

lisasi tentang kehidupan sosial manusia (Wolcott, 1994b dalam Creswell, 1998:60). Produk

akhir dari usaha ini adalah gambaran budaya secara holistik mengenai kelompok sosial yang

mempersatukan, baik pandangan para aktor dalam kelompok (emic) maupun interpretasi

peneliti atas pandangan tentang kehidupan sosial manusia dalam perspektif ilmu sosial (etic).

Secara holistik, seorang etnografer berusaha menjelaskan sebanyak mungkin tentang sistem

budaya atau kelompok sosial, meliputi sejarah kelompok, agama, politik, ekonomi, dan

ling-kungan (Fetterman,1989 dalam Creswell, 1998:60).

Berdasarkan gambaran budaya, Creswell (1998:61) merujuk pada satu pandangan dari

seluruh peristiwa budaya dengan mengumpulkan semua aspek yang telah dipelajari mengenai

kelompok dan menunjukkan kerumitannya. Ia menyimpulkan bahwa etnografer akan

meng-gunakan beberapa alasan sebagai berikut:

Peneliti harus memiliki pengetahuan dasar tentang antropologi kebudayaan dan arti dari

sistem sosial-budaya sesuai dengan konsep yang telah diteliti para etnografer.

Waktu yang digunakan untuk mengumpulkan data diperluas, dengan memperpanjang waktu

di lapangan.

Dalam banyak etnografi, cerita sering ditulis dalam bentuk sastra, hampir mendekati

pende-katan mendongeng, yaitu pendepende-katan yang membatasi audiens atas hasil kinerja dan

mung-kin mengharuskan para penulis untuk menyesuaikannya dengan pendekatan tradisional

da-lam menulis penelitian sosial dan ilmu kemanusiaan.

Terdapat satu kemungkinan bahwa peneliti akan "menjadi penduduk asli" dan tidak dapat

menyelesaikan studi atau mengambil kesepakatan dalam studi tersebut. Ini merupakan

sa-lah satu dari sederet masasa-lah yang kompleks dalam kerja lapangan yang dihadapi para


(38)

et-nografer yang berani mengambil risiko dengan masuk ke kelompok budaya atau sistem

yang tidak dikenal.

1.

Etnografi Baru

Menurut Marzali (dalam Spradley, 1997:xv), etnografi ditinjau secara harfiah, berarti

tulisan atau laporan tentang suatu suku-bangsa, yang ditulis seorang antropolog atas hasil

penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan, atau sekian tuhun. Penelitian

antro-pologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian istilah

et-nografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan

la-poran tersebut. Buku karangan Spradley ini khusus membicarakan etnografi sebagai

sua-tu jenis metode penelitian yang khas.

Namun etnografi baru, sebagaimana yang dianut Spradley, merupakan tipe yang khas,

yang mulai berkembang sekitar tahun 1960. Metode ini bersumber dari satu aliran baru

dalam ilmu antropologi, yang disebut cognitive anthropology, atau ethnoscience, atau

et-nografi baru. Penelitian ini juga merupakan upaya melakukan etet-nografi yang

dikemuka-kan Spradley.

Berbeda dari etnografi modern yang dipelopori Radcliffe-Brown dan Malinowski,

yang memusatkan perhatian pada organisasi internal suatu masyarakat yang

memban-dingkan sistem sosial, dalam rangka mendapatkan kaidah umum tentang masyarakat.

Et-nografi baru memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat

mengorganisasikan budaya dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya

tersebut dalam kehidupan.

Dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat dibangun dan

kripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti. Struktur sosial dan budaya yang


(39)

dides-202

kripsikan adalah stuktur sosial dan budaya masyarakat tersebut menurut interpretasi sang

peneliti. Sedangkan dalam etnografi baru, bentuk tersebut dianggap merupakan susunan

yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut. Tugas peneliti adalah

mengoreknya keluar dari dalam pikiran mereka. Cara mengorek dan mendeskripsikan

pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaitu melalui metode folk

taxono-my, yaitu langkah ke-10 dalam etnografi yang dikemukakan Spradley.

2.

Budaya Menurut Etnografi Baru

Metode etnografi Spradley ini adalah khas aliran antropologi kognitif. Kata Marzali.

(dalam Spradley, 1997:xix), metode ini pada mulanya bertolak dari definisi budaya

me-nurut Ward Goodenough, salah seorang toko besar dalam teori antropologi. Meme-nurut dia,

”Budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau

diperca-yai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh

masya-rakat. Budaya bukanlah suatu fenomena material, tidak terdiri atas benda, manusia,

peri-laku, atau emosi. Dia adalah sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut. Dia adalah

satu bentuk hal-ihwal yang dipunyai manusia dalam pikiran (mind), model yang mereka

punya untuk mempersipkan, menghubungkan, dan seterusnya menginterpretasikan

hal-ihwal tersebut.” Dalam usaha menciptakan definisi ini, Goodenough banyak terpengaruh

oleh kajian linguistik.

Definisi budaya menurut Goodenough ini kemudian dioperasionalkan ke dalam

pene-litian etnografi oleh generasi antropologi kognitif yang pertama, seperti Harold C.

Conklin, Charles O. Frake dan Stephen A. Tyler. Antropologi aliran kognitif ini

berasum-si bahwa setiap masyarakat mempunyai satu berasum-sistem yang unik dalam mempersepberasum-sikan

dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda, kejadian, perilaku, dan emosi.


(40)

Oleh karena itu, objek kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi

tentang cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia.

Sing-katnya, budaya itu ada dalam pikiran (mind) manusia, dan bentuknya adalah organisasi

pikiran tentang fenomena material. Tugas etnografi adalah menemukan dan

menggam-barkan organisasi pikiran tersebut.

Jalan yang paling mudah dan paling tepat untuk memperoleh budaya tersebut adalah

melalui bahasa, atau lebih khusus lagi, melalui daftar kata yang ada dalam satu bahasa.

Studi bahasa suatu masyarakat adalah titik masuk, sekaligus aspek utama dalam etnografi

aliran antropologi kognitif ini. Kata Spradley (1997:xx), ”Pendekatan apa pun yang

digu-nakan etnografer, pengumpulan riwayat hidup, atau satu strategi campuran, bahasa

mun-cul pada setiap fase dalam proses penelitian.”

Pengertian kebudayaan, dalam penelitian ini juga merujuk pada pengetahuan yang

di-peroleh, yang digunakan orang untuk menginterprestasikan pengalaman dan melahirkan

tingkah laku sosial. Budaya yang dimaksudkan adalah budaya multimedia di mana orang

yang sudah melek media (media literate) memiliki pemikiran (mind) yang kritis terhadap

setiap media yang mereka akses.

Definisi kebudayaan dalam terminologo etnografi baru ini semakin gamblang

dijelas-kan Spradley dengan menggunadijelas-kan gambaran dalam sebuah berita di Minneapolis

Tribu-ne (1973), dengan judul, Kerumunan Orang Salah.

Hartford, Connecticut, 23 November 1973. Tiga orang anggota polisi yang sedang

memberikan pertolongan pijatan jantung dan bantuan oksigen kepada seorang korban

serangan jantung, Jumat, diserang segerombolan orang yang terdiri atas 75 sampai 100


(41)

204

Sejumlah anggota polisi menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa

Spa-nyol sampai sebuah ambulans datang. Para anggota polisi itu berusaha menjelaskan

ke-pada kerumunan orang tersebut mengenai apa yang mereka kerjakan. Tapi, kerumunan

tersebut menganggap bahwa anggota polisi memukuli wanita itu. Meskipun upaya keras

telah dilakukan para anggota polisi, namun korban serangan jantug itu, Evangelica

Echecvacria, 59 tahun, meninggal dunia.

Berita di atas menunjukkan bagaimana orang menggunakan kebudayaannya. Anggota

dua kelompok yang berbeda mengamati kejadian yang sama, tapi interpretasi mereka

sangat berbeda. Kerumunan orang itu menggunakan kebudayaan mereka untuk (1)

meng-interpretasikan tingkah laku polisi itu sebagai perbuatan jahat, dan (2) untuk bertindak

atas nama wanita itu guna menghentikan hal yang mereka pandang sebagai kebrutalan.

Mereka telah memperoleh prinsip budaya untuk bertindak dan menginterpretasikan

ber-bagai hal dengan cara seperti ini melalui suatu pengalaman bersama yang bersifat khusus.

Di lain pihak, polisi menggunakan kebudayaan mereka untuk (1) menginterpretasikan

kondisi wanita itu sebagai gangguan jantung dan menginterpretasikan tingkah laku

mere-ka sebagai usaha menyelamatmere-kan hidup wanita itu, dan (2) untuk memberimere-kan pijatan

jan-tung serta memberikan oksigen kepada wanita itu. Dengan demikian, mereka

menginter-pretasikan tindakan kerumunan orang itu dengan cara yang sama sekali berbeda dengan

kerumunan orang itu melihat tingkah laku mereka. Kedua kelompok ini, masing-masing

mempunyai aturan budaya yang terinci untuk menginterpretasikan pengalaman mereka

dan untuk bertindak dalam situasi yang mendesak. Konflik itu, paling tidak sebagian,

muncul karena aturan budaya yang berbeda ini.


(42)

Dengan membatasi definisi kebudayaan dengan pengetahuan yang dimiliki bersama,

etnografer tidak menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek, atau emosi.

Et-nografer sekadar mengubah penekanan dari berbagai fenomena ini menjadi penekanan

pada makna berbagai fenomena itu. Etnografer mengamati tingkah laku, tetapi lebih dari

itu, dia menyelidiki makna tingkah laku itu. Etnografer melihat berbagai artefak dan

objek alam, tetapi lebih dari itu dia juga menyelidiki makna yang diberikan orang

terhadap berbagai objek itu. Etnografer mengamati dan mencatat berbagai kondisi

emo-sional, tetapi lebih dari itu dia juga menyelidiki makna rasa takut, cemas, marah, dan

berbagai perasaan lain.

Konsep kebudayaan ini (sebagai suatu sistem simbol yang mempunyai makna)

ba-nyak yang mempunyai persamaan dengan interaksionalisme simbolik, sebuah teori yang

berusaha menjelaskan tingkah laku maanusia dalam kaitannya dengan makna

interaksio-nisme simbolik berakar dari karya ahli sosiologi seperti Cooley, Mead, dan Thomas.

Blu-mer yang mengidentifikasikan tiga premis sebagai landasan teori ini (1969).

Premis pertama, ”Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan

oleh berbagai hal itu kepada mereka” (1969:2 dalam Spradley, 1997:7)”. Para anggota

polisi dan kerumunan orang itu berinteraksi atas dasar makna yang terkandung dalam

berbagai hal itu bagi mereka. Lokasi geografis, tipe orang, mobil polisi, gerakan polisi,

tingkah laku wanita yang sedang sakit, dan berbagai aktivitas para penonton, semua

me-rupakan simbol yang mempunyai makna khusus. Orang tidak bertindak terhadap berbagai

hal ini, tetapi terhadap makna yang dikandungnya.

Premis kedua, yang mendasari interaksionisme simbolik adalah bahwa ”Makna


(43)

206

(Blumer 1969:2, dalam Spradley, 1997:7). Kebudayaan, sebagai suatu sistem makna yang

dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks

orang yang berinteraksi. Kerumunan itu mempunyai definisi yang sama mengenai

ting-kah laku polisi melalui interaksi satu sama lain dan melalui hubungan dengan polisi pada

waktu yang lalu. Para anggota polisi memperoleh makna budaya yang mereka gunakan

melalui interaksi dengan sesama pejabat polisi lainnya dan dengan para anggota

komuni-tas itu. Budaya masing-masing kelompok, tak dapat disangkal lagi, terikat dengan

kehi-dupan sosial komunitas mereka yang khas.

Premis ketiga, dari interaksionisme simbolik adalah bahwa, ”Makna ditangani atau

dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yan digunakan oleh orang dalam kaitannya

dengan berbagai hal yang dia hadapi” (Blumer 1969:2, dalam Spradley, 1997:7). Baik

ke-rumunan orang itu maupun anggota polisi bukanlah robot yang dikendalikan oleh

kebu-dayaan mereka untuk bertindak sebagaimana yang mereka lakukan. Namun, mereka

menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasikan situasi itu. Pada suatu saat, seorang

anggota kerumunan itu mungkin menginterpretasikan tingkah laku anggota polisi dengan

cara yang agak berbeda sehingga memunculkan reaksi yang berbeda pula.

3.

Untuk Apa Etnografi

Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi

me-rupakan bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi dan

ber-bagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi bermakna untuk membangun suatu

pe-ngertian yang sistematis mengenai semua kebudayaan manusia dari perspektif orang yang

telah mempelajari kebudayaan itu (Spradley, 1997:12).


(44)

Etnografi didasarkan pada asumsi berikut: Pengetahuan dari semua kebudayaan

sa-ngat tinggi nilainya. Asumsi ini membutuhkan pengujian yang cermat. Untuk tujuan apa

etnografer mengumpulkan informasi? Untuk alasan apakah seseorang berusahaa

mene-mukan apa yang harus diketahui orang untuk melintasi salju di kutub dengan kereta

lun-cur yang ditarik anjing, hidup di desa-desa di Melanesia yang jauh, atau bekerja di

ber-bagai pencakar langit di New York? Siapa saja yang harus melakukan etnografi?

Memahami Rumpun Manusia. Tujuan antropologi sosial, yaitu untuk

mendeskrip-sikan dan menerangkan keteraturan serta berbagai variasi tingkah laku sosial. Mungkin

gambaran yang paling menonjol dari manusia adalah diversitasnya. Mengapa satu

rum-pun ini menunjukkan variasi semacam itu, menciptakan pola perkawinan yang berbeda,

memegang nilai yang berbeda, mengonsumsi makanan yang berbeda, mengasuh anak

dengan cara yang berbeda, mempercayai tuhan yang berbeda, serta mengejar tujuan yang

berbeda pula? Jika etnografer memahami diversitas ini, maka ia harus mulai dengan

men-deskripsikannya secara hati-hati. Kebanyakan diversitas dalam rumpun manusia muncul,

karena diversitas yang diciptakan oleh masing-masing kebudayaan dan diteruskan dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Deskripsi kebudayaan, sebagai tugas utama dari

et-nografi, merupakan langkah pertama dalam memahami rumpan manusia.

Deskripsi kebudayaan di satu sisi mendeskripsikan perbedaan itu, dan di sisi yang

lain menerangkannya. Penjelasan perbedaan kebudayaan, sebagian bergantung pada

pem-buatan perbandingan lintas budaya. Tetapi tugas ini pada gilirannya bergantung pada

stu-di etnografis yang tepat, kebanyakan stustu-di komparatif dalam antropologi telah stu-dihambat

oleh etnografi yang buruk, oleh penelitian yang menerapkan berbagai konsep Barat ke

dalam kebudayaan non-Barat, sehingga mengakibatkan penyimpangan hasil yang


(45)

diper-208

oleh. Perbandingan tidak hanya mengungkapkan perbedaan, tetapi juga kemiripan, yaitu

hal-hal yang sama di dalam semua kebudayaan di dunia. Oleh kerena itu dalam

penger-tian yang paling umum, etnografi memberikan sumbangan secara langsung dalam

des-kripsi dan penjelasan keteraturan serta evaluasi dalam tingkah laku sosial manusia.

Banyak ilmu sosial memiliki tujuan yang lebih terbatas. Dalam studi tingkah laku

mana pun etnografi mempunyai peranan yang penting. Beberapa sumbangannya yang

khas dapat diidentifikasi. (1) Menginformasikan teori ikatan-budaya. Setiap kebudayaan

memberikan cara untuk melihat dunia. Kebudayaan memberikan kategori, tanda, dan

ju-ga mendefinisikan dunia di mana orang itu hidup. Kebudayaan meliputi berbaju-gai asumsi

mengenai sifat dasar realitas dan juga informasi yang spesifik mengenai realitas itu.

Ke-budayaan mencakup nilai yang menspesifikasikan hal yang baik, benar dan bisa

diper-caya. Apabila orang mempelajari kebudayaan, maka sampai batas tertentu dia terpenjara

tanpa mengetahuinya. Para ahli antropologi mangatakan hal ini sebagai “ikatan-budaya”

(culture-bound), yaitu hidup dalam realitas tertentu yang dipandang sebagai “realitas”

yang benar.

Para ilmuan sosial dengan berbagai teori mereka tidak kurang merupakan

ikatan-budaya manusia lain. Sistem pendidikan Barat memberi semua cara menginterpretasikan

pengalaman. Berbagai asumsi implisit mengenai dunia muncul dalam berbagai teori dari

setiap displin akademik-kritik sastra, ilmu alam, sejarah, dan semua ilmu sosial. Etnografi

sendiri berupaya mendokumentasikan berbagai realitas alternatif dan mendeskripsikan

realitas itu dalam batasan realitas itu sendiri. Dengan demikian, etnografi dapat berfungsi

korektif tehadap teori yang muncul dalam ilmu sosial Barat.


(46)

Sebagai contoh, teori ketercerabutan badaya (culture deprivation). Ide ini muncul

dalam bentuk yang konkret pada tahun 1960-an untuk menerangkan kegagalan

pendidik-an ypendidik-ang dialami kebpendidik-anyakpendidik-an pendidik-anak. Dalam upaya menerpendidik-angkpendidik-an tidak adpendidik-anya prestasi pada

anak itu, maka dikemukakan bahwa mereka mengalami “ketercerabutan budaya”

(cultu-rally deprived). Studi mengenai ketercerabutan badaya dilaksanakan dengan

memfokus-kan pada kelompok budaya Indian, Chicano, kulit hitam dan berbagai kelompok budaya

lainnya. Teori ini dapat dikonfirmasikan dengan mempelajari anak dari budaya melalui

sekat pelindung teori ini. Bagaimanapun, penelitian etnografi terhadap budaya “anak”

yang mengalami “ketercerabutan budaya” mengungkapkan suatu kisah yang berbeda.

Mereka telah mengelaborasi kebudayaan yang canggih dan adaptif yang sama sekali

ber-beda dengan kebudayaan yang didukung oleh sistem pendidikan. Walaupun masih

didu-kung di beberapa tempat, teori ini merupakan cara untuk mengatakan bahwa orang

terce-rabut dari “kebudayaan saya”. Tentu saja tak seorang pun akan berpendapat bahwa anak

itu tidak berbicara dalam bahasa Spanyol atau bahasa Inggris dengan baik, bahwa mereka

tidak melakukan dengan baik hal-hal yang menurut kebudayaan mereka dipandang

berni-lai. Tetapi sifat dasar ikatan-budaya teori psikologi dan sosiologi jauh di luar gagasan

ke-tercerabutan budaya. Semua teori yang yang dikembangkan dalam ilmu perilaku Barat

didasarkan pada premis implisit kebudayaan Barat, yang biasanya merupakan versi

pa-ling khas profesional kelas menengah.

Etnografi tidak lepas dari ikatan-budaya. Namun, etnografi memberikan deskripsi

yang mengungkapkan berbagai model penjelasan yang diciptakan oleh manusia.

Etno-grafi dapat berperan sebagai penunjuk yang menunjukan sifat dasar ikatan-budaya teori

ilmu sosial. Etnografi mengatakan kepada semua peneliti perilaku manusia, “Sebelum


(1)

408 Pendidikan literasi media ini juga bisa dilakukan oleh warung internet. Warnet ini selain menyewakan komputer untuk digunakan untuk mengakses, mengunduh, dan mengunggah data juga dapat menyelenggarakan pelatihan kilat selama beberapa jam. Pelatihan dilakukan berupa petunjuk teknis mengakses, mengunduh dan mengunggah data dari dan ke internet, sekaligus melakukan pendidikan nilai dalam berinternet. Kursus ini sekaligus menjadi media pembelajaran bagi masyarakat yang belum mengenal kom-puter dan internet, sekaligus melakukan proses pembelajaran nilai.

Pendidikan berinternet yang bernilai juga dapat dilakukan dalam lembaga pendidik-an formal. Pelajarpendidik-an internet ypendidik-ang bernilai ini dapat dilakukpendidik-an dalam pelajarpendidik-an ekstra-kurikuler atau masuk ke dalam mata pelajaran berinternet yang reguler. Setiap pendidikan internet yang bernilai ini dapat disusun kurikulumnya secara lebih rinci.


(2)

409 DAFTAR PUSTAKA

Afdjani, A. (2008). ”Efek Psikologis Pemberitaan Media Massa Terhadap Khalayak Ditinjau Dari Teori Peluru, Agenda Setting dan Uses And Gratification” [online], makalah pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur.

Affandi, I. (1996). Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda Dalam Pendidikan Politik. Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung: tidak diterbitkan.

Alwasilah, A.C. (2003). Pokoknya Kualitatif – Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya. Jakarta

Alwi, H. at.all. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Balai Pustaka, Jakarta

Ancok, Dj. (2009). Persiapan Manusia Menghadapi Masa Depan. Tersedia:http://ancok.staff.-ugm.ac.id/h-14/persiapan-manusia-menghadapi-masa-depan.html. 10 Maret 2009)

Bertens, K. (2001). Etika –Seri Filsafat Atma Jaya:15. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi –Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Fajar Interpratama Offset. Jakarta.

Cohen, M.S.; (2009). A Theory of Critical Thinking. Tersedia: http://www.cog-tech.com/-Images/three-layer-theory.gif, 7 Juli 2009

Covey, S.R. (1997). The 7th Habits of Highly Effective People, Binarupa Aksara. Jakarta .

Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions. Sage Publications. Thousand Oaks. London.


(3)

410 Furqon, A. (2008). “Media dan Ideologi Pornografi” Pikiran Rakyat, (15 Mei 2008)

Hetami, T. (2007). Koran dan Masa Depan CyberMedia. Suara Merdeka.(12 Februari 2007).

Hidayat, T. (2007). Langkah Mudah Meraup Dollar Lewat Internet. Mediakita. Jakarta

Hilton Jr. (2009). Kecanduan Pornografi Rusak Otak. Pikiran Rakyat (3 Maret 2009)

Ilma, L.N. (2008). Soal Sex, Indonesia Peringkat Tujuh. (Online). Tersedia: http://www-.initehsusu.com/2007/03/28/soal-sex-indonesia-peringkat-tujuh/.[26 Juni 2008]

Karindam S. dan Cahyanam A.B. (2008). Kaca: Cari Pacar Lewat Chatting..Ih..Nggak Deh!! (Online). Tersedia: http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=156360&actmenu=-46 18/03/2008 08:57:56 [26 Juni 2008)

Kirschenbaum, H. (1977). Advanced Value Clarification. University Associates, United State of America.

Luthan, R. (2007) ”Kuda pun Bisa Lulus Bila Sekolah”. Pikiran Rakyat, (2 Mei 2007)

Magnum, (2008). Judil Togel (Online). Tersedia: http://www.indoforum.org/archive/index-.php/t-4711.html. [19 Juni 2008]

Makyun. (2008). Komunikasi dalam Teori Kritis (Online). Tersedia: http://tulisanmakyun.-blogspot.com/2007/12/teori-komunikasi.html. [6 September 2008].

Mulyana, A. (2008). Komponen Konseptual dan Jenis-jenis Teori Komunikasi. (Online). Tersedia: http://kuliah.dagdigdug.com/2008/04/22/komponen-konseptual-dan-jenis-jenis-teori-komunikasi/(6September 2008)

Mulyana, D. (2004). Komunikasi Populer—Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Pustaka Bani Quraisy. Bandung


(4)

411 Munir, M.M. (2009). Berhidup harus memilih? (Online) Tersedia: http://epat.songolimo.net/

2005/09/08/berhidup-harus-memilih/7 Juli 2009

Naisbitt, J., Naisbit, N., dan Philips, D. (2001). High Tech High Touch – Technology and our Accelerated Search for Meaning. Nicholas Brealey Publishing. London.

Nuryanti, L. (2008). Potensi Diri - Semangat Kerja (Online). Tersedia: http://sad-ewing.staff.ugm.ac.id/hikmahdetail.php?id=167 [19 Juni 2008]

Oni, at all. (2007). “Internet Merambah Masyarakat Pedesaan”. Kompas. 29 Oktober 2007

Pardosi, M. (2008). Chatting. (Online). Tersedia: http://www.geocities.com/mico.pardosi-/chatting.html. [26 Juni 2008]

Prasetyo, A.H. (2007). Meraup Dollar Lewat Blog. Gradien Mediatama, Yogyakarta

Purbo (2003). Komentar Terhadap RUU Informasi, Komunikasi, dan Transaksi Elektronik. (Online). Tersedia: http://onno.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/[19 April 2009].

Ratnasari, A. (2007). Pengaruh Komunikasi Antarpribadi Bermedia Internet Terhadap Persahabatan Mahasiswa di Dunia Maya (Studi Terhadap Mahasiswa Pengguna Fasilitas Chat di Kubus Net Bandung). Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Unpad Bandung: tidak diterbitkan.

Reddick, R. dan King, E. (1996). Internet Untuk Wartawan – Internet Untuk Semua Orang. (Terjemahan). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Regina (2008) Pegawai Telkom Dilarang Chatting (Online). Tersedia: http://regina.telkom.-us/2008/03/11/pegawai-telkom-dilarang-chatting/. [25 Juni 2008]

Rukun, K. (2000). Model Sistem Informasi Manajemen Berbasis Komputer dan Internet – Studi Pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Bidang Dikmenjur Kanwil


(5)

412 Depdiknas Provinsi Sumatera Barat. Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: tidak diterbitkan.

Sepia. (2009). Tersedia: http://sepia.blogsome.com/2006/04/24/bahagia-subyektif-dan-obyek-tif/3 Maret 2009)

Sergiovanni, TJ. (1992). Moral Leadership – Getting to The Heart of School Improvement. Jossey-Bass Publishers – San Francisco..

Set. S. (2007) 500 + Gelombang Video Porno Indonesia – Jangan Bugil di Depan Kamera! Penerbit Andi. Yogyakarta.

Severin, W.J. and Tankard, J.W. (2005). Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in the Massa Media – Teori Komunikasi, Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa (Terjemah), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Siregar, P. (Online). Tersedia: http://www.litagama.org/Metode/paradigma.htm. (7 Maret 2008)

Sodikin, A. “Internet Aman -- Blokir Situs Porno, Mampukah?” Kompas, (3 April 2008)

Spradley, J.P. (1997) Metode Etnografi (terjemah). PT Tiara Wacana. Yogyakarta.

Suchaini (2008). Teori Berpikir Kreatif Pendidikan. Tersedia:http://suchaini.wordpress.com/-2008/12/15/teori-berfikir-kreatif-pendidikan/. 11 Maret 2009)

Susanto, A.S. (1976). Filsafat Komunikasi. Penerbit Binacitra. Bandung.

Tersedia: http://www.kpi.go.id/index.php?categoryid=10&p2000_articleid=25

Tersedia: http://www.medialit.org/reading_room/article165.html


(6)

413 Thoman, E, and Jolls, T. (2005). Literacy for the 21th Century—An Overview and Orientation Guide To Media Literacy Education. MediaLit KIT. Center for Media Literacy.

Umar, S. (2008). “Pikiran Rakyat” dalam Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta. Persatuan Wartawan Indonesia. Jakarta

Weha, A. (2008). Ngerinya Kecanduan Game! (Online). Tersedia: http://www.wikimu.-com/News/DisplayNews.aspx?ID=8139 [19 Juni 2008]

Wikipedia Indonesia (Online). Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Pembelajaran (6 Maret 2008)

Wikipedia Indonesia (Online). Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Multimedia (6 Maret 2008)

Wolton, D. (2007). Teori Atas Teori Komunikasi – Kajian Dari Media Konvensional Era Internet, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Zalta, E.N. (2009). Feeling Theories. (On Line). Tersedia: http://plato.stanford.edu/entries-/emotion/(7 Juli 2009)