Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis.

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi
Pada Rinosinusitis Kr onis
Bestari Jaka Budiman, Rossy Rosalinda
Bagian Telinga Hidung Tenggor ok Bedah Kepala Leher
Fakult as Kedokt er an Univer sit as Andalas/ RSUP Dr . M. Djamil Padang

Abstr ak
Rinosinusitis kr onis mer upakan inflamasi kr onis pada hidung dan sinus paranasal yang sering ter jadi, terutama
pada usia antar a 30-69 tahun. Etiologi dari r inosinusitis kr onis adalah multifaktorial. Penatalaksanaan rinosinusitis kr onis
meliputi terapi medikamentosa yang maksimal dan bedah sinus endoskopi fungsional. Sekitar 5-15% kasus membutuhkan
tindakan bedah sinus endoskopi fungsional revisi.
Satu kasus r inosinusitis kr onis dengan r iwayat oper asi sinus sebelumnya dilapor kan pada laki-laki usia 59 tahun
dan telah dilakukan ter api medikamentosa dan bedah sinus endoskopi fungsional r evisi.

Kata kunci: Rinosinusitis kr onis, riwayat operasi sinus sebelumnya, bedah sinus endoskopi fungsional revisi
Abstract
Chr onic r hinosinusit is is a common chr onic inflammat ion of t he nose and t he par anasal sinuses, par t icular ly in age
bet ween 30-69 years old. The et iology of chr onic r hinosinusit is ar e mult ifact or ial. The management of chr onic r hinosinusit is

include maximal medical t her apy and funct ional endoscopic sinus sur ger y. Appr oximat ely 5-15% of cases need r evision
funct ional endoscopic sinus sur ger y.
One case of chr onic r hinosinusit is wit h hist or y of pr imar y sinus sur ger y was r epor t ed in 59 year s old man and has been
done medical t her apy and r evision funct ional endoscopic sinus sur ger y.

Key wor ds: Chr onic r hinosinusit is, hist or y of pr imar y sinus sur ger y, r evision funct ional endoscopic sinus sur ger y

PENDAHULUAN
Rinosinusitis kr onis merupakan inflamasi
kr onis pada hidung dan sinus par anasal yang ser ing
ter jadi, ter utama pada usia antara 30-69 tahun.1
Prevalensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada jenis
kelamin wanita dibandingkan laki-laki.2 Etiologi
r inosinusitis kr onis ber sifat multifaktorial meliputi faktor
penjamu ( host ) baik sistemik maupun lokal dan faktor
lingkungan.2,3,4 Namun pada rinosinusitis kr onis yang
per sisten meskipun telah diberikan terapi yang adekuat
biasanya berhubungan dengan adanya obstr uksi
mekanik, r iwayat aler gi dan asma, inflamasi dari
super antigen bakteri dan jamur ser ta adanya polutan

seper ti r okok.2,5,6
Diagnosis r inosinusitis kronis didapatkan
melalui anamnesis, pemeriksaan THT dengan rinoskopi
anterior dan poster ior , nasoendoskopi kaku atau
fleksibel, pemer iksaan radiologi (Röntgen ataupun
tomografi komputer sinus paranasal) dan pemer iksaan
mikr obiologi.7,8 Kriteria rinosinusitis kr onis dapat
ditegakkan berdasarkan kr iter ia menur ut The Eur opean
Posit ion Paper on Rhinosinusit is and Nasal Polyps (EPOS)
2007.2
Penatalaksanaan rinosinusitis kr onis adalah
ter api medikamentosa dan tindakan bedah sinus
endoskopi fungsional.9 Sekitar 5-15% pasien yang telah
menjalani
bedah
sinus
endoskopi
fungsional
membutuhkan tindakan operasi sinus revisi. Indikasi
operasi sinus ini adalah ketidaklengkapan operasi sinus

sebelumnya,
adanya
komplikasi
operasi
sinus
sebelumnya, infeksi sinus yang rekuren atau per sisten
dan ter dapat bukti histologis suatu keganasan pada

sinus.10 Angka kesembuhan dengan
endoskopi revisi ber kisar 50-70%.2

bedah

sinus

KEKERAPAN
Rinosinusitis kr onis mer upakan
kondisi
inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang ser ing
dilapor kan pada kunjungan ber obat baik pada dokter

umum maupun ahli THT. Prevalensi r inosinusitis kr onis
di Amer ika Ser ikat pada tahun 2000 adalah sebesar 14%
dan hampir 75% ter jadi pada usia antara 30-69 tahun.1
Prevalensi ini meningkat seiring dengan peningkatan
usia, dengan prevalensi rata-rata 2,7% dan 6,6%
ber tur ut-tur ut pada kelompok usia 20-29 tahun dan 5059 tahun. Namun setelah usia 60 tahun, prevalensi ini
mengalami penur unan mencapai r ata-rata 4,7%.
Rinosinusitis kr onis lebih sering dijumpai pada wanita
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan sebesar
6:4.2
Di Indonesia, prevalensi rinosinusitis kr onis
pada tahun 2004 dilapor kan sebesar 12,6% dengan
perkir aan sebanyak 30 juta penduduk menderita
r inosinusitis kr onis.11
Pada kunjungan r awat jalan ke poli Rinologi
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada satu tahun terakhir ,
didapatkan kejadian r inosinusitis kr onis sebesar 34,7%
dan ter banyak ter jadi pada usia antar a 25-44 tahun
(26,2%) diikuti usia antar a 45-64 tahun (23,8%) ser ta
lebih ser ing ditemukan pada wanita (60,7%)

dibandingkan laki-laki (39,3%). Sebanyak 19,0% kasus
membutuhkan tindakan bedah sinus endoskopi
fungsional dan hanya didapatkan 1 kasus dengan
tindakan bedah sinus endoskopi fungsional revisi.

1

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

Dari berbagai sinus yang ter libat pada
r inosinusitis kr onis, sinus maksila mer upakan sinus yang
paling sering ter libat (79,1%), diikuti sinus etmoid
anterior (48,2%), sinus sfenoid (27,2%) dan sinus fr ontal
(11,2%). Namun secara keseluruhan, 82,7% kasus
menunjukkan kelainan patologis pada kompleks
ostiomeatal.12

ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Sinus paranasal dibedakan menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok anterior yang terdir i dari
sinus fr ontal, sinus maksila dan sinus etmoid anter ior
yang bermuara pada meatus media, dan kelompok
poster ior yang terdir i dari sinus ethmoid poster ior
ber muara pada meatus super ior dan sinus sfenoid yang
ber muara pada resesus sfenoethmoidalis.13

panjang 38-45 mm, tinggi 36-45 mm dan lebar 25-33
mm.14

Kompleks Ostiomeatal ( KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) ter dir i dar i sel-sel
udar a dar i etmoid anterior dan ostiumnya, infundibulum
etmoid, ostium sinus maksila, ostium sinus fr ontal dan
meatus media, seperti ter lihat pada gambar 2.9
Str uktur lain yang juga mer upakan KOM adalah
sel agger nasi, pr osesus unsinatus, bula etmoid, hiatus
semilunaris infer ior dan konka media. Secar a fungsional,
KOM ber peran sebagai jalur dr ainase dan ventilasi untuk
sinus fr ontal, maksila dan etmoid anter ior .13


Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal
ter besar ber bentuk piramid yang berada di dalam tulang
maksila.13,14 Tulang ini ter diri dari satu kor pus ber bentuk
piramid kuadr ilateral dan empat prosesus yaitu pr osesus
fr ontalis, zigomatikus, alveolaris dan palatina. Sinus
maksila dengan apeks ber hubungan langsung dengan
pr osesus zigomatikus os maksila dibatasi oleh lima
dinding, yaitu dinding medial, anter ior , poster olateral,
super ior dan inferior. Dinding medial sinus maksila
ber batasan dengan dinding lateral kavitas nasi setinggi
meatus media dan inferior yang secar a ver tikal dibagi
menjadi tiga bagian (gambar 1).14

Gambar 2 . Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan
kor onal 9

Gambar 1 . Sinus maksila dengan tiga bagian secara
vertikal, potongan kor onal 14

Dinding anterior sinus mer upakan dinding
anterior os maksila. Dinding poster olateral sinus
dibentuk oleh os zigomatikus dan alar mayor os sfenoid.
Dinding super ior sinus ber batasan dengan lantai or bita
dan dinding inferior dibentuk oleh pr osesus alveolar is os
maksila. Ostium sinus maksila kebanyakan ter letak pada
seper tiga poster ior infundibulum ethmoid, dengan
ukuran rata-r ata 2-3 mm.14 Ostium sinus asesorius juga
ditemukan pada 15-40% kasus, yang kebanyakan ter letak
di super ior dan poster ior pr osesus unsinatus.15 Volume
r ata-rata sinus maksila dewasa adalah 14,25 ml dengan

Fisiologi Sinus Par anasal
Peranan sinus par anasal hingga saat ini masih
belum diketahui secara pasti. Namun fungsi yang paling
penting dari sinus paranasal adalah meningkatkan fungsi
nasal. Fungsi sinus par anasal antara lain fungsi ventilasi,
penghangatan, humidifikasi, filtr asi, dan per tahanan
tubuh.7,16,17
Faktor yang ber peran dalam memelihara fungsi

sinus paranasal adalah patensi KOM, fungsi tr anspor
mukosiliar dan pr oduksi mukus yang nor mal. Patensi
KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat
dr ainase mukus dan debr is serta memelihara tekanan
oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah
tumbuhnya bakter i. Faktor transpor mukosiliar sangat
ber gantung kepada kar akteristik silia yaitu str uktur ,
jumlah dan koor dinasi gerakan silia. Pr oduksi mukus juga
ber gantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus
yang dapat mempengar uhi tr anspor mukosiliar.4,18
ETIOPATOFISIOLOGI
Berbagai faktor ber peran penting dalam
perkembangan
r inosinusitis
kr onis,
meskipun
mekanismenya belum diketahui secara pasti.19 Faktor
ter sebut meliputi faktor intrinsik (penjamu/ host ) yang
ter dir i dari faktor sistemik dan lokal ser ta faktor
ekstr insik (lingkungan) . Faktor sistemik yang memicu

ter jadinya rinosinusitis kr onis adalah kelainan genetik/
kongenital (seper ti fibr osis kistik, gangguan silia primer),

2

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

gangguan imunodefisiensi (seper ti infeksi HIV, akibat
kemoterapi), penyakit autoimun (seperti Wegener
granulomatosis dan penyakit eritematosus lupus
sistemik), kondisi atopik (seper ti riwayat alergi dan
asma), refluks laringofaringeal, gangguan endokr in dan
kehamilan serta idiopatik (seperti sindr om Samter ).4,20
Faktor lokal yang ber hubungan dengan rinosinusitis
kr onis adalah kelainan anatomi (seperti deviasi septum,
konka bulosa, sel Haller , defleksi lateral dar i pr osesus
unsinatus), kelainan anatomi iatrogenik (malposisi dan
jaringan parut pada str uktur sinonasal), ter dapat kista,
mukosil dan neoplasma pada sinonasal ser ta inflamasi

per sisten tulang sinus paranasal (osteitis).4 Adapun
faktor ekstr insik yang ber peran dalam per kembangan
r inosinusitis kr onis meliputi infeksi bakteri, jamur dan
polusi udara baik di luar r umah (ozon, sulfur dioksida
dan nitr ogen dioksida) dan di dalam rumah (r okok
tembakau, formaldehida dan benzene).2,18 Kuman
patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis kr onis
adalah bakteri anaer ob yaitu Pept ost r ept ococcus (34%),
spesies Bact er oides (23%), Cor ynebact er ium (23%) dan
Vellionella
(17%)
ser ta kuman
aer ob
seper ti
St aphylococcus aur eus (17%), St r ept ococcus vir idans
(14%) dan Haemophillus influenza (10%).2,4,21
Faktor risiko yang paling ser ing berhubungan
dengan r inosinusitis kr onis yang per sisten meskipun
telah diberikan terapi medikamentosa dan tindakan
pembedahan yang adekuat adalah adanya obstr uksi
mekanik, r iwayat alergi, asma dan inflamasi yang
diinduksi oleh superantigen bakter i dan reaksi imun
ter hadap jamur serta adanya polutan seper ti r okok .
Faktor r isiko lain meliputi refluks laringofaringeal,
imunodefisiensi, dan penyakit yang jarang seper ti
diskinesia silia pr imer , fibr osis kistik dan Churg-St r auss
Syndr ome.5,6,22
Mekanisme
paling
sering
ter jadinya
r inosinusitis kr onis yang per sisten dengan r iwayat
operasi sinus sebelumnya adalah ter dapatnya r esirkulasi
mukus dari ostium sinus maksila primer melalui
antr ostomi yang telah dibuat saat operasi sebelumnya
sehingga meningkatkan r isiko untuk ter jadinya infeksi
sinus.2
Dari
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Bhattachar yya N (2007) 23 terhadap pasien dengan
sekresi sinus paranasal per sisten setelah BSEF ditemukan
kombinasi neutr ofil dan eosinofil (52%), diikuti
pr edominan infiltrasi eosinofil (24%). Hanya sekitar 14%
kasus ditemukan infiltr asi neutr ofil dan 10% kasus tidak
ditemukan sel inflamasi. Oleh kar ena hiper sekresi pasca
BSEF diduga ber hubungan dengan beberapa faktor
inflamasi ini, pendekatan ter api ter hadap tipe inflamasi
dinilai lebih efektif.23

GAMBARAN KLINIS
Secar a keseluruhan, gejala rinosinusitis kr onis
dapat dibagi menjadi gejala lokal, regional dan sistemik.
Gejala lokal dari rinosinusitis kr onis adalah hidung
ter sumbat, hidung berair, nyer i/ rasa penuh pada wajah,
nyeri kepala, gangguan penciuman hingga anosmia.
Gejala regional meliputi nyeri tenggor ok, disfonia, batuk,
halitosis, bronkospasm, rasa penuh/ nyeri pada telinga
dan nyeri gigi. Gejala sistemik ber upa kelelahan, demam,
bahkan anor eksia.24

DIAGNOSIS
Diagnosis rinosinusitis kr onis dapat ditegakkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik THT dengan
r inoskopi anterior dan poster ior , nasoendoskopi kaku
ataupun fleksibel, pemeriksaan r adiologi seper ti Röntgen
ataupun tomografi komputer sinus paranasal dan
pemer iksaan mikr obiologi untuk identifikasi kuman
patogen, yang paling baik didapatkan dari aspirasi sinus
maksila.7,8
Namun evaluasi pasien rinosinusitis kronis yang
per sisten dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah
kompleks dan per lu digali faktor etiologi yang ber peran
penting dalam per kembangan penyakit. Aspek yang
penting dalam evaluasi rinosinusitis kr onis ini adalah
faktor aler gi dengan pemeriksaan alergi seper ti uji cukit
kulit, adanya disfungsi silia dengan tes transit sakarin,
mengetahui adanya intoler ansi aspirin, imunodefisiensi,
r eaksi imunologi ter hadap jamur dan bakter i yang
r esisten ter hadap antibiotik yang diber ikan ser ta
pemer iksaan radiologi untuk melihat kelainan anatomi.25
Ber dasarkan anamnesis, Amer ican Academy of
Ot olar yngology (AAO) memberikan suatu kr iter ia
diagnosis untuk r inosinusitis kr onis yaitu dengan
menegakkan kr iter ia mayor dan minor. Kriteria mayor
r inosinusitis kr onis meliputi nyer i wajah, r asa penuh
pada wajah, hidung ter sumbat, hidung berair, sekret
pur ulen, hiposmia atau anosmia dan demam (pada
kondisi akut). Kriteria minor meliputi nyeri kepala,
demam, halitosis, kelelahan, nyer i gigi, batuk, nyeri atau
r asa penuh pada telinga. Diagnosis ditegakkan bila
ter dapat dua kriteria mayor atau satu kr iter ia mayor dan
dua kriteria minor selama sekur ang-kurangnya 12
minggu. Kecur igaan sinusitis didapatkan bila ditemukan
satu kr iter ia mayor atau dua kriteria minor.7,21,26
Namun The Eur opean Posit ion Paper on
Rhinosinusit is and
Nasal
Polyps (EPOS)
2007
mendefinisikan rinosinusitis kr onis dengan atau tanpa
polip dari munculnya dua atau lebih gejala, salah satunya
harus ber upa hidung ter sumbat/ obstr uksi/ kongesti
atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior) dan
nyeri/ tekanan wajah atau penur unan/ hilangnya fungsi
penciuman yang dir asakan lebih dar i 12 minggu. Selain
itu, pada pemeriksaan THT ter masuk nasoendoskopi
ditemukan salah satu dari polip dan/ atau sekret
mukopurulen dar i meatus medius dan/ atau edema/
obstruksi mukosa di meatus medius. Sebagai tambahan,
pada pemer iksaan radiologi ditemukan gambaran
perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal dan/ atau
sinus.2,26
KOMPLIKASI
Meskipun komplikasi rinosinusitis kr onis telah
jarang dilapor kan setelah ditemukannya antibiotik,
komplikasi yang ber at masih tetap dilapor kan.
Komplikasi rinosinusitis kr onis ber dampak pada
morbiditas, bahkan mor talitas bila tidak diberi ter api
dengan tepat. Komplikasi yang ser ing ter jadi pada
r inosinusitis kr onis adalah komplikasi lokal ber upa
ter bentuknya mukosil pada sinus dan osteomielitis
( Pot t ’s puffy t umor ), komplikasi or bita menurut
klasifikasi Chandler yaitu selulitis perior bita/ preseptal,
selulitis orbita, abses subper iosteal, abses orbita dan
tr ombosis sinus kaver nosus, dan komplikasi intr akranial

3

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

meliputi meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
intraserebral, tr ombosis sinus dura. Selain itu, juga
ter dapat komplikasi sistemik ber upa sepsis dan syok
toksik.27,28

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan rinosinusitis kr onis adalah
ter api medikamentosa yang maksimal dan tindakan
pembedahan. Terapi medikamentosa ber tujuan untuk
mengurangi inflamasi mukosa, meningkatkan drainase
sinus dan mengeradikasi bakteri dan/ atau jamur . Ter api
ini meliputi antibiotik spektrum luas atau ber dasar kan
kultur dar i meatus media, ster oid oral (dimulai dari dosis
60 mg/ har i dan tapper ing off selama 3 minggu), ir igasi
salin hipertonik, ster oid sempr ot nasal, antihistamin oral
atau sempr ot nasal (bila terdapat kecurigaan aler gi),
mukolitik dan desensitisasi aspirin (bila ter dapat
intoleransi aspirin).7 Untuk r inosinusitis kr onis dapat
diberikan ter api antibiotik ber upa amoksisilin klavulanat,
golongan quinolon (seper ti levofloksasin), atau ter api
kombinasi seperti klindamisin dan tr imetoprimsulfametoksazol.29 Namun untuk rinosinusitis kr onis
yang per sisten meskipun telah dilakukan operasi sinus
sebelumnya dapat diberikan terapi irigasi antibiotik
topikal, antibiotik nebulisasi dan intravena.30 Selain itu,
dapat diber ikan ster oid topikal dan sistemik ser ta
antihistamin sistemik.25
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional ( BSEF)
Indikasi absolut tindakan BSEF adalah
r inosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas,
r inosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan
neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip
nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren
simptomatik yang tidak respon dengan ter api
medikamentosa.2 Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis
kr onis telah dilakukan tindakan BSEF.5
Prinsip tindakan BSEF adalah membuang
jaringan yang menghambat KOM dan memfasilitasi
dr ainase dengan tetap memper tahankan str uktur
anatomi nor mal (gambar 3).5

Gambar 3 . Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM31

meliputi

Teknik bedah sinus endoskopi fungsional
unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi

dengan
etmoidektomi, bedah
resesus fr ontalis,
antr ostomi maksila, konkotomi dan septoplasti.2
Komplikasi pasca tindakan BSEF dapat
dibedakan menjadi komplikasi awal dan lanjut.
Komplikasi awal meliputi hematoma or bita, penur unan
penglihatan, diplopia, kebocor an cairan ser ebr ospinal,
meningitis, abses otak, cedera ar teri kar otis dan epifora.
Komplikasi lanjut yang dapat ter jadi adalah r ekurensi,
mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan
dan benda asing. Komplikasi or bita dan intrakr anial juga
dapat ter jadi sebagai komplikasi lanjut.12,32

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional ( BSEF) Revisi
Sekitar 5-15% pasien yang telah menjalani BSEF
mempunyai respon terapi yang rendah sehingga tidak
jarang membutuhkan tindakan oper asi sinus kedua yang
dikenal dengan BSEF revisi.2,5
Alasan Kegagalan Bedah Sinus Sebelumnya
Adanya hiper sekr esi pasca BSEF mer upakan
gejala paling penting yang ber hubungan dengan
kegagalan setelah operasi.23
Pasien
yang
menjalani
oper asi
sinus
sebelumnya mengalami per ubahan histologi seper ti
ker usakan dan metaplasi pada mukosa sinus ser ta
perubahan pada silia. Mukosa sinus memiliki fase
penyembuhan yang lambat dan kondisi patologi masih
sering ditemukan, bahkan selama 6 bulan pasca operasi.
Transpor mukosilia juga dapat mengalami gangguan,
ter utama pada tindakan unsinektomi tunggal tanpa
dikombinasikan dengan antr ostomi meatus media.33
Lateralisasi konka media, pembentukan sinekia dan
jaringan parut pada meatus media, reseksi pr osesus
unsinatus yang tidak lengkap dan adanya sisa sel ethmoid
sering ditemukan pada pasien yang menjalani bedah
sinus r evisi.2 Kondisi lain yang juga sering ditemukan
adalah stenosis ostium sinus maksilar is dan ter jadinya
osteoneogenesis pada sinus yang ditandai dengan
penebalan
tulang pada pemer iksaan
tomografi
komputer.6,34
Pada studi yang dilakukan oleh Jackman AH, et
al (2008) 35 dengan menggunakan sistem tomografi
komputer por tabel intraoperatif menemukan dar i 20
pasien yang menjalani BSEF sebanyak 6 pasien (30%)
membutuhkan tindakan BSEF revisi. Salah satu kasus
menunjukkan adanya sisa pr osesus unsinatus setelah
bedah sinus yang ber hubungan dengan peningkatan
jaringan parut dan risiko ter jadinya sinusitis per sisten,
meskipun telah dibuat antr ostomi yang besar . Beberapa
sisa pr osesus unsinatus tampak di anterior yang
memberikan menunjukkan gambar an mukopus dan
edema sinus maksila.35
Richtsmeier WJ (2001) 36 mengidentifikasi 10
alasan kegagalan bedah sinus maksila sebelumnya
meliputi obstr uksi ostium maksila sejati (33,6%),
penyakit pada sinus etmoid anterior dan frontal (24,2%),
r esistensi mikr oor ganisme (13,3%), adanya benda asing
pada sinus (5,4%), penyakit mukosa yang sulit
disembuhkan (7,0%), pasien yang tidak patuh (7,0%),
diagnosis primer yang salah (4,7%), osteitis maksilaris
(2,4%), gangguan transpor mukus (1,6%) dan
imunodefisiensi (0,8%).36 Kepustakaan lain menyebutkan
beberapa penemuan pasca operasi yang ser ing

4

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

ditemukan akibat kegagalan operasi sinus sebelumnya
yaitu lateralisasi konka media (78%), etmoidektomi
anterior yang tidak lengkap (64%), jaringan par ut pada
r esesus fr ontal (50%), sisa sel agger nasi (49%),
etmoidektomi poster ior yang tidak lengkap (41%), sisa
pr osesus unsinatus (37%), stenosis antr ostomi meatus
media (39%) dan poliposis rekuren (37%).10
Indikasi Bedah Sinus Revisi
Indikasi bedah sinus revisi secar a umum dibagi
empat, yaitu tidak lengkapnya operasi sebelumnya,
adanya komplikasi oper asi sebelumnya, timbulnya infeksi
sinus yang rekuren atau per sisten dan ter dapat bukti
histologis suatu neoplasma pada sinus.10
Teknik Bedah Sinus Revisi
Sebelum operasi dimulai, kavum nasi diberikan
dekongestan dan vasokonstr iktor dengan oksimetazolin
topikal dan injeksi silokain 1% dengan epinefrin
1:100.000 atau 1:200.000. Kemudian sinus maksila dan
etmoid dievaluasi dengan endoskop kaku sudut 30 0 dan
dilakukan kultur sekr et yang diambil dengan penghisap
( suct ion). Penanda penting pada bedah sinus maksila
r evisi adalah konka media/ sisa konka media, atap sinus
maksila, dinding medial orbita dan dasar otak. Jika konka
media ter dor ong ke lateral dan menghambat akses ke
sinus etmoid, maka secar a per lahan har us dimedialisasi.
Sinekia dan jaringan par ut dilepas dengan pisau sabit
( sickle knife) atau thr ough-cut t ing for ceps dengan tetap
memper tahankan mukosa normal.
Jika atap sinus maksila (lantai or bita) dapat
dilihat melalui antr ostomi maksila sebelumnya, maka
lamina papirasea dapat dievaluasi dan sinus dilihat
dengan endoskop kaku sudut 30 0. Jika antr ostomi
mengalami patensi, pencarian ostium maksila dapat
dibantu dengan ost ium seeker . Sisa pr osesus unsinatus
yang ter lihat har us direseksi ke arah medial dengan
for sep Blakesley 90, micr odebr ider , back-bit t ing for cep
atau down-bit t ing for cep. Har us dihindar i pengangkatan
yang ter lalu ke anterior karena dapat menceder ai duktus
nasolakrimalis.
Jika ter dapat stenosis ostium maksila sejati,
maka dilebar kan dengan angled-t hr ough cut t ing for cep
atau for sep Blakesley. Ostium asesor ius harus disatukan
dengan ostium sejati menggunakan t hr ough-cut t ing
for cep untuk menginsisi jaringan lunak di antara ostium
asesor ius dan sejati. Per lu diingat bahwa posisi ostium
sejati adalah oblik dan tidak sejajar dengan dinding
lateral kavum nasi sehingga visualisasi pada ostium sejati
dengan menggunakan endoskop kaku sudut 70 0.37
Komplikasi Bedah Sinus Revisi
Komplikasi bedah sinus maksila revisi ini dapat
dibagi menjadi lokal, or bita, dasar otak dan intrakr anial.
Komplikasi lokal meliputi per darahan dan ter bentuknya
sinekia. Komplikasi or bita ber upa cedera pada lamina
papirasea, dengan per darahan orbita atau ceder a otot
r ektus medial, cedera pada arter i etmoid anter ior yang
menghasilkan per darahan atau hematoma orbita dan
ceder a pada ner vus optikus. Cedera dasar otak dapat
ter lihat saat operasi atau pasca operasi yang ditandai
dengan
kebocor an
cair an
serebr ospinal
dan
pembentukan meningokel atau ensefalokel. Selanjutnya,

ceder a
intrakranial
dapat
ber upa
per darahan
subaraknoid, pseudoaneurisma, perdar ahan parenkim
atau intraventr ikular .37

PROGNOSIS
Angka kesembuhan r inosinusitis kr onis telah
dilapor kan sebesar 75-95% dengan tindakan BSEF dan
sekitar 5-15% kasus membutuhkan BSEF revisi.33
Sementara itu, angka kesembuhan dengan tindakan BSEF
r evisi dilapor kan ber kisar antar a 50-70%.2
LAPORAN KASUS
Seor ang laki-laki dengan usia 59 tahun, telah
menikah, peker jaan pensiunan dinas perikanan, datang
ke poliklinik THT-KL Sub Bagian Rinologi RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 19 Maret 2010 dengan
keluhan utama hidung berair , terutama hidung kiri sejak
1 bulan yang lalu, kental ber warna kekuningan, kadangkadang encer ber war na putih. Keluhan ini telah
ber langsung selama 1 tahun dan hampir dirasakan ter usmener us. Pasien juga mengeluhkan dahak mengalir di
belakang tenggor ok dan pipi kir i terasa agak ber at,
ter utama saat menunduk.
Pasien mengeluhkan kadang-kadang ter dapat
batuk ber dahak, tetapi tidak diser tai sesak nafas. Hidung
ter sumbat, nyer i pada wajah dan nyer i kepala tidak
dikeluhkan pasien. Pasien tidak per nah mengalami
hidung ber dar ah dan nyeri pada hidung. Tidak ter dapat
gangguan penciuman, gangguan penglihatan, sakit gigi
ataupun gigi ber lubang, dan aler gi. Tidak ter dapat
r iwayat maag, nyer i menelan dan keluhan pada telinga.
Pasien memiliki riwayat mer okok selama lebih
dari 30 tahun sebanyak rata-r ata satu bungkus per hari
dan telah ber henti sejak 11 tahun yang lalu.
Sebelumnya pasien telah menjalani oper asi
sinus sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2000 dan 2003
dengan spesialis THT-KL di Padang dan pada tahun 2008
dengan spesialis THT-KL di Jakar ta. Namun keluhan
dirasakan sedikit membaik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum pasien baik, komposmentis kooperatif dan gizi
cukup. Pada pemeriksaan telinga didapatkan kedua liang
telinga lapang, membr an timpani utuh dengan refleks
cahaya normal. Pada pemeriksaan rinoskopi anter ior
didapatkan kedua kavum nasi sempit, konka infer ior
dekstra edema dengan konka media sulit dinilai, konka
infer ior sinistra eutr ofi, septum deviasi ke sinistr a dan
konka media sinistr a sulit dinilai ser ta dijumpai sekret
ser omukous ber war na putih kekuningan pada kedua
kavum nasi. Pada pemer iksaan rinoskopi poster ior
didapatkan post nasal dr ip ber upa sekret ser omukous
ber war na putih kekuningan. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan nasal flow met r y didapatkan nilai tertinggi
sebesar 70 L/ menit. Tidak didapatkan kelainan pada
pemer iksaan tenggorok dan laringoskopi tidak langsung
ser ta tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
pada leher . Pada pemer iksaan gigi tidak ditemukan
gangren atau karies dentis.
Pasien
didiagnosis
sementara
sebagai
r inosinusitis kr onis dan deviasi septum sinistra dengan
r iwayat operasi sinus sebelumnya dan diber i ter api
dengan antibiotik tablet klindamisin 3x300 mg, kapsul
lor atadin 5 mg dan pseudoefedrin 120 mg 2x1, tablet

5

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

ambroksol 3x1 dan tablet prednison 5 mg tapper ing off
selama 2 minggu. Namun keluhan hidung berair hanya
sedikit mengalami perbaikan.
Pada tanggal 3 Apr il 2010 dilakukan
pemer iksaan konfirmasi dengan nasoendoskopi dan
didapatkan kelainan ber upa edema konka infer ior
dekstra, deviasi septum sinistra, meatus media dekstra
dan sinistr a sempit, ter dapat sekret ser omukous
ber war na putih kekuningan pada kedua kavum nasi dan
post nasal dr ip. Pasien didiagnosis sementar a sebagai
r inosinusitis kr onis dan deviasi septum sinistra dengan
r iwayat operasi sinus sebelumnya dan terapi dilanjutkan.
Pada tanggal 24 Apr il 2010 dilakukan
pemer iksaan tomogr afi komputer sinus paranasal
(gambar 4 dan 5) dengan hasil tampak per selubungan
pada sinus maksila dekstra dan sinistra ser ta sinus
paranasal yang lain dalam batas normal. Tampak
hipertr ofi konka nasalis dekstra dan tampak deviasi
septum sinistra. Kesan: sinusitis maksilaris bilateral dan
hipertr ofi konka nasalis dekstra ser ta deviasi septum
sinistra.
Pasien
didiagnosis
sebagai
rinosinusitis
maksilaris bilateral dan deviasi septum sinistr a dengan
r iwayat operasi sinus sebelumnya dan direncanakan
untuk dilakukan tindakan bedah sinus endoskopi
fungsional r evisi. Dar i pemeriksaan labor atorium
didapatkan hasil leukositosis (leukosit 15.200/ mm 3) dan
nilai yang lain dalam batas normal.

Gambar 4. Tomogr afi
(potongan aksial)

komputer

sinus

paranasal

Gambar 5. Tomogr afi
(potongan kor onal)

komputer

sinus

paranasal

Dari hasil pemeriksaan Röntgen dada dan
elektr okar diomiografi didapatkan hasil dalam batas
nor mal. Dar i hasil konsultasi dengan bagian Penyakit
Dalam didapatkan tanda vital, jantung, pulmo dan
abdomen dalam batas normal ser ta disimpulkan tidak
didapatkan kontr aindikasi untuk dilakukan tindakan
operasi dalam narkose umum. Pada pasien diberikan
ter api preoperatif injeksi seftriakson 2x1 gr (iv).
Pada tanggal 3 Mei 2010 dilakukan oper asi
bedah sinus endoskopik fungsional revisi. Oper asi
dimulai dengan pasien tidur telentang di meja oper asi
dalam narkose umum menggunakan endot r acheal t ube
ukuran no. 8,5. Dipasang pack di mulut. Dilakukan
tindakan asepsis dan antisepsis di lapangan operasi.
Dilakukan pemasangan tampon hidung KNDS dengan
lidokain:epinefr in (4:1) dan ditunggu selama 10 menit.
Kavum nasi dekstra dievaluasi dengan scope 0 0, tampak
konka infer ior dan media eutr ofi, meatus media ter tutup
sekret ser omukous ber war na putih kekuningan,
kemudian dihisap dan tampak sisa pr osesus unsinatus
dan stenosis ostium sinus maksila. Kavum nasi sinistra
dievaluasi dengan scope 0 0, tampak konka inferior dan
media eutr ofi, deviasi septum, sisa pr osesus unsinatus
dan stenosis ostium sinus maksila. Dilakukan
unsinektomi pada kedua kavum nasi, pelebar an ostium
sinus (sinusotomi) maksila dekstra dan sinistra ser ta
septoplasti. Dilakukan pungsi dan irigasi sinus maksila
sinistra, tampak sekret ser omukous ber war na putih
kekuningan dan setelah dievaluasi kembali tampak
mukosa sinus ber sih. Per darahan diatasi. Dipasang
tampon hidung handscoon yang telah dioleskan antibiotik
kamisetin dan betadin ser ta pack di mulut dikeluar kan.
Operasi selesai.
Pada tanggal 5 Mei 2010 tampon hidung dibuka,
tidak ter dapat per dar ahan dari hidung dan pasien
dibolehkan pulang. Terapi yang diber ikan saat pulang
adalah tablet levofloksasin 1x500 mg, kapsul loratadin 5
mg dan pseudoefedrin 120 mg 2x1, tablet ambr oksol 3x1,
tablet asam mefenamat 3x500 mg dan cuci hidung
dengan NaCl 0,9%.
Satu minggu pasca oper asi (tanggal 11 Mei
2010) pasien datang untuk kontrol dan mengeluhkan
hidung kadang-kadang keluar darah bercampur ingus
dan hidung kir i terasa nyeri. Pada pemer iksaan rinoskopi
anterior didapatkan kedua kavum nasi sempit, ditemukan
kr usta dan sekret mukoid putih kekuningan pada kedua
kavum nasi. Pada pemeriksaan rinoskopi poster ior tidak
ditemukan post nasal dr ip. Dilakukan pemer iksaan
konfirmasi dengan nasoendoskopi dan didapatkan hasil
kedua kavum nasi sempit dan ditemukan kr usta. Kr usta
diangkat dengan for sep Har tmann dan tampak konka
infer ior dan media pada kedua kavum nasi eutrofi ser ta
tidak terdapat deviasi septum. Tampak sekr et ser ous
ber war na putih minimal pada meatus media. Sekret
dihisap dan ter lihat meatus media dan ostium sinus
lapang. Pada pemeriksaan dengan nasal flow met r y
didapatkan nilai ter tinggi sebesar 90 L/ menit.
Pasien diberikan terapi tablet levofloksasin
1x500 mg, kapsul lor atadin 5 mg dan pseudoefedr in 120
mg 2x1, tablet ambr oksol 3x1 dan cuci hidung dengan
NaCl 0,9%.
Pada tanggal 21 Mei 2010 pasien datang untuk
kontr ol kedua dan mengeluhkan hidung kir i masih

6

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

mengeluar kan cairan encer ber war na putih. Pada
pemer iksaan r inoskopi anterior didapatkan kedua kavum
nasi lapang, konka inferior dan media eutr ofi, ditemukan
kr usta minimal pada kavum nasi dekstra dan sekret
ser ous ber war na putih pada kedua kavum nasi. Pada
pemer iksaan rinoskopi posterior tidak ditemukan post nasal dr ip. Pada pemeriksaan konfirmasi dengan
nasoendoskopi didapatkan hasil kedua kavum nasi
lapang, konka inferior dan media eutr ofi dan kr usta
minimal pada kavum nasi dekstra diber sihkan, tampak
meatus media lapang pada kedua kavum nasi dan tidak
ter dapat deviasi septum. Pada pemer iksaan dengan nasal
flow met r y didapatkan nilai tertinggi sebesar100 L/ menit.
Pasien diberikan terapi tablet levofloksasin
1x500 mg, kapsul lor atadin 5 mg dan pseudoefedr in 120
mg 2x1, tablet ambr oksol 3x1 dan cuci hidung dengan
NaCl 0,9%.
Pada tanggal 26 Mei 2010 pasien datang untuk
kontr ol ketiga dan mengeluhkan hidung kiri berair
kadang-kadang, ter utama setelah
makan. Pada
pemer iksaan r inoskopi anterior didapatkan kedua kavum
nasi lapang, konka inferior dan media eutr ofi, tidak
didapatkan krusta ataupun sekr et dan septum di tengah.
Pada pemeriksaan dengan nasal flow met r y didapatkan
hasil nilai tertinggi sebesar 120 L/ menit. Pasien
diberikan terapi tablet levofloksasin 1x500 mg dan tablet
ambroksol 3x1.
Pada tanggal 31 Mei 2010 pasien datang untuk
kontr ol dan mengatakan keluhan hidung berair tidak
dirasakan lagi. Pada rinoskopi anterior dan konfirmasi
dengan nasoendoskopi didapatkan kedua kavum nasi
lapang, konka inferior dan media eutrofi, meatus media
lapang dan septum di tengah. Tidak terdapat kr usta dan
sekret pada kavum nasi. Pasien disarankan untuk kontr ol
setiap tiga bulan.

DISKUSI
Dilapor kan satu kasus rinosinusitis kronis yang
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan THT dengan
r inoskopi anterior dan poster ior , nasoendoskopi kaku
dan pemeriksaan penunjang radiologi dengan tomografi
komputer (TK) sinus paranasal.
Rinosinusitis kr onis pada kasus ini ditemukan
pada pasien laki-laki ber usia 59 tahun. Pada kepustakaan
disebutkan bahwa rinosinusitis kr onis lebih sering ter jadi
pada wanita dibandingkan laki-laki pada usia 50-59
tahun.1,2
Pada pasien ini didapatkan riwayat mer okok
dan operasi sinus sebelumnya sebanyak tiga kali. Jenis
dua operasi per tama kemungkinan pungsi dan ir igasi
sinus dan yang ketiga bedah sinus endoskopi fungsional.
Pasien menyangkal adanya r iwayat aler gi dan infeksi
pada gigi. Penyebab rinosinusitis kr onis pada pasien ini
dapat diduga akibat faktor mer okok yang dapat
mengganggu fungsi mukosa sinus18 dan faktor
iatr ogenik.2
Keluhan yang dirasakan oleh pasien adalah
hidung berair yang kadang-kadang kental ber war na putih
kekuningan dan dahak yang mengalir di belakang
tenggor ok ser ta r asa berat pada pipi yang dir asakan
hampir ter us-mener us dalam satu tahun ini. Keluhan
yang sama telah dirasakan pasien selama 10 tahun yang
lalu dan tidak mengalami per baikan meskipun telah

mendapatkan ter api medikamentosa dan juga tindakan
pembedahan. Pada pemeriksaan r inoskopi anterior dan
poster ior
ser ta konfirmasi dengan pemer iksaan
nasoendoskopi didapatkan konka media edema dan
septum deviasi unilateral ke arah sinistra ser ta ter dapat
sekret ser omukosa ber war na putih kekuningan dan
post nasal dr ip. Pada pemer iksaan
radiologi ber upa
tomografi komputer sinus par anasal didapatkan
gambar an sinusitis maksilar is bilater al dengan deviasi
septum sinistra. Diagnosis r inosinusitis kr onis pada
pasien ini ditegakkan ber dasar kan The Eur opean Posit ion
Paper on Rhinosinusit is and Nasal Polyps 2007.2 Pada
pasien ini, tidak dilakukan pemeriksaan alergi yang
ter dapat di Sub Bagian Alergi-Imunologi Bagian THT-KL
yaitu skin pr ick t est kar ena pasien memiliki usia tua dan
memiliki respon yang r endah ter hadap tes ini.
Terapi r inosinusitis kr onis dengan r iwayat
pengobatan sebelumnya pada pasien ini dimulai dengan
ter api medikamentosa berupa antibiotik, mukolitik,
dekongestan dan ster oid oral. Pada pasien ini tidak
langsung dilakukan ter api pembedahan dengan tujuan
untuk mengur angi r espon inflamasi preoperasi.25 Namun
selama lebih satu bulan pengobatan tidak didapatkan
perbaikan
gejala yang bermakna dan
pasien
direncanakan untuk dilakukan tindakan bedah sinus
endoskopi fungsional. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
yang menyebutkan salah satu indikasi r elatif dilakukan
tindakan bedah sinus endoskopi fungsional adalah
r inosinusitis kr onis simptomatik yang tidak respon
ter hadap terapi medikamentosa.9,37
Jenis oper asi yang dilakukan pada pasien ini
adalah bedah sinus r evisi. Pada penemuan intr aoper atif
didapatkan sisa pr osesus unsinatus, stenosis ostium
sinus maksila dan deviasi septum unilateral. Dilakukan
pengangkatan sisa pr osesus unsinatus, pelebaran
stenosis ostium maksila (sinusotomi) dan septoplasti.
Untuk mencegah ter jadinya stenosis ostium sinus
maksila, maka dilakukan sinusotomi yang tidak
melingkar . Teknik sinusotomi maksila dibagi ke dalam
tiga tipe, yaitu tipe I dilakukan pelebar an ostium ke arah
poster ior dengan diameter tidak lebih dar i 1 cm, tipe II
dilakukan pelebaran ke ar ah posterior dan infer ior
dengan diameter lebih kurang 2 cm dan tipe III dilakukan
pelebaran ke arah posterior hingga batas poster ior
antr um maksila, ke anterior hingga sakus lakr imalis dan
ke inferior hingga dasar dari konka infer ior .38 Pada
pasien ini dilakukan sinusotomi maksila tipe I. Selain itu,
juga dilakukan pungsi dan irigasi sinus. Hal ini sesuai
dengan prinsip bedah sinus endoskopi fungsional yaitu
untuk membuang jaringan yang dapat menghambat
kompleks ostiomeatal sehingga dapat memperbaiki
aerasi dan drainase sinus ser ta meningkatkan tr anspor
mukosiliar .31 Secara umum indikasi bedah sinus revisi
dibagi empat yaitu tidak lengkapnya operasi sebelumnya,
adanya komplikasi oper asi sebelumnya, timbulnya infeksi
sinus yang rekuren atau per sisten dan ter dapat bukti
histologis suatu neoplasma pada sinus.10 Adapun indikasi
bedah sinus endoskopi fungsional revisi pada pasien ini
adalah adanya inflamasi sinus yang per sisten dan
ter dapat sisa dari operasi sinus sebelumnya seper ti
adanya deviasi septum, sisa pr osesus unsinatus dan
stenosis ostium sinus maksila.

7

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

Daftar Pustaka
1.

Macdonald KI, et al. The Health and Resource
Utilization
of
Canadians
with
Chronic
Rhinosinusitis. Lar yngoscope 2009; 119:184-9
2.
Fokkens W, et al. Eur opean Position on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007. Rhinology
2007; suppl 45:1-139
3.
Clerico DM. Medical Tr eatment of Chr onic Sinus
Disease. In: Kennedy DW, Bolger W, Zinreich SJ,
editor s. Diseases of the Sinuses Diagnosis and
Management. Ontario: BC Decker Inc; 2001. p. 15566
4.
Jackman AH, Kennedy DW. Patophysiology of
Sinusitis. In: Br ook Itzhak, editor. Sinusitis: Fr om
Micr obiology to Management. New Yor k: Taylor &
Fr ancis; 2006. p. 109-29
5.
Mayr S, Schick B. Role of Aetiology in Revision
Endoscopic Sinus Sur ger y. In: Stucker FJ, de Souza
C, Kenyon GS, Lian TS, Draf W, Schick B, editor s.
Rhinology and Facial Plastic Sur ger y. London:
Springer- Ver lag Ber lin Heidelberg; 2009. p. 607-15
6.
Stankiewics J, Hanjo NA, Chow JM. Revision
Endoscopic Sinus Sur ger y. In: Levine HL, Clemente
MP, editor s. Sinus Sur ger y: Endoscopic and
Micr oscopic Appr oaches. New Yor k: Thime; 2005. p.
260-8
7.
Becker DG. Sinusitis. J Long-Term Effects Med
Implant 2003; 13(3):175-94
8. Cr ombruggen KV, Br uaene NV, Holtappels, Bachert
C. Chr onic sinusitis and r hinitis: Clinical
ter minology “Chr onic Rhinosinusitis” fur ther
suppor ted. Rhinology 2010; 48:54-58
9.
Kennedy DW. Functional Endoscopic Sinus Sur gery:
Concepts, Surgical Indications, and Instrumentation.
In: Kennedy DW, Bolger W, Zinr ech SJ, editor s.
Diseases of the Sinuses Diagnosis and Management.
Ontario: BC Decker Inc; 2001. p. 197-210
10. Tewfik MA, Desr osier s M. Indications for Revision
Endoscopic Sinus Surger y. In: Kountakis SE, Jacobs
J, Gosepath J, editor s. Revision Sinus Sur ger y.
Leipzig,
Germany:
Spr inger -Ver lag
Ber lin
Heidelber g; 2008. p. 13-8
11. US Census Bur eau. Inter national Data Base 2004:
Chr onic Sinusitis in Asia. [updated 2003 June 16;
cited 2010 June 27] Available fr om:
http:/ / www.cureresear ch.com/ c/ chr onic_sinusitis/ s
tats-countr y.htm
12. Nair LCS, Bhadaur ia CRS, Sharma LCS. Impact of
endoscopic
sinus
sur ger y
on
symptom
manifestation of chr onic r hinosinusitis. MJAFI 2010;
66(1):41-5
13. Kamel R. Endoscopic Anatomy of the Lateral Nasal
Wall, Ostiomeatal Complex and Anterior Skull Base:
A Step by Step Guide. Tuttlingen: Endo Press; 2003.
p. 8-11
14. Clemente MP. Surgical Anatomy of the Paranasal
Sinus. In: Levine HL, Clemente MP, editor s. Sinus
Surger y: Endoscopic and Micr oscopic Appr oaches.
New Yor k: Thime; 2005. p. 27-58
15. Walsh WE, Ker n RC. Sinonasal Anatomy, Function,
and Evaluation. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands
SD, editor s. Head & Neck Sur ger y-Otolar yngology.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
p. 307-19
Passali D, Passali GC, Passali FM, Bellussi L.
Physiology of the Paranasal Sinuses. In: Levine HL,
Clemente MP, editor s. Sinus Sur ger y: Endoscopic
and Micr oscopic Appr oaches. New Yor k: Thime;
2005. p. 57-63
Kr ouse JH, Stachler RJ. Anatomy and Physiology of
the Paranasal Sinuses. In: Br ook Itzhak, editor.
Sinusitis: Fr om Micr obiology to Management. New
York: Taylor & Francis; 2006. p. 95-108
Clerico DM. Medical Tr eatment of Chr onic Sinus
Disease. In: Kennedy DW, Bolger W, Zinrech SJ,
editor s. Diseases of the Sinuses Diagnosis and
Management. London: BC Decker Inc; 2001. p. 15566
Nacler io RM, Gungor A. Etiologic Factor s in
Inflammator y Sinus Disease. In: Kennedy DW,
Bolger W, Zinrech SJ, editor s. Diseases of the
Sinuses Diagnosis and Management. London: BC
Decker Inc; 2001. p. 47-54
Abuzaid W, Thaler ER. Etiology and Impact of
Rhinosinusitis. In: Thaler ER, Kennedy DW, editor s.
Rhinosinusitis: A Guide for Diagnosis and
Management. New Yor k: Springer ; 2008. p. 1-12
Levine HL. Diagnosis and Management of
Rhinosinusitis. In: Levine HL, Clemente MP editor s.
Sinus Surger y: Endoscopic and Micr oscopic
Approaches. New Yor k: Thime; 2005. p. 90-9
Fokkens WJ, Rinia B, Geor galas C. Pathophysiology
of Inflammation in the Sur gically Failed Sinus
Cavity. In: Kountakis SE, Jacobs J, Gosepath J,
editor s. Revision Sinus Sur ger y. Leipzig, Germany:
Springer-Ver lag Ber lin Heidelber g; 2008. p. 25-36
Bhattachar yya N. The cytology and micr obiology of
per sistent paranasal sinus secretions after
endoscopic sinus sur ger y: A contr olled study.
Lar yngoscope 2007; 117:2041-4
Schlosser RJ, Har vey RJ. Diagnosis of Chronic
Rhinosinusitis. In: Thaler ER, Kennedy DW, editor s.
Rhinosinusitis: A Guide for Diagnosis and
Management. New Yor k: Springer ; 2008. p. 41-59
Gosepath J. Medical Management after Primar y
Surger y Failure and Preoperative Medical
Management. In: Kountakis SE, Jacobs J, Gosepath J,
editor s. Revision Sinus Sur ger y. Leipzig, Germany:
Springer-Ver lag Ber lin Heidelber g; 2008. p. 37-42
Agius AM. Chr onic sinusitis in Malta-cor relation
between symptoms and CT scan. Rhinology 2010;
48:59-64
Choi SS, Gr undfast KM. Complications in Sinus
Disease. In: Kennedy DW, Bolger W, Zinrech SJ,
editor s. Diseases of the Sinuses Diagnosis and
Management. London: BC Decker Inc; 2001. p. 16978
Bleier
BS, Thaler
ER. Complications
of
Rhinosinusitis. In: Thaler ER, Kennedy DW, editor s.
Rhinosinusitis: A Guide for Diagnosis and
Management. New Yor k: Springer ; 2008. p. 239-49
Chandr a RK. Medical Management of Chronic
Rhinosinusitis. In: Thaler ER, Kennedy DW, editor s.
Rhinosinusitis: A Guide for Diagnosis and
Management. New Yor k: Springer ; 2008. p. 75-89

8

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

30. Chiu AG, Becker DG. Medical Management of Chr onic
Rhinosinusitis. In: Br ook Itzhak, editor . Sinusitis:
Fr om Micr obiology to Management. New York:
Taylor & Francis; 2006. p. 219-29
31. Al-Mujaini A, Wali U, Alkhabori M. Functional
Endoscopic Sinus Surger y: Indications and
Complications in the Ophthalmic Field. OMJ 2009;
24:70-80
32. Rudert H. Complications, Management and
Avoidance. In: Levine HL, Clemente MP, editor s.
Sinus Surger y: Endoscopic and Micr oscopic
Approaches. New Yor k: Thime; 2005. p. 269-84
33. Myller J, et al. Effect of endoscopic sinus surger y on
antr al mucociliary clearance. Rhinology 2006;
44:193-6
34. Cullen MM, Bolger WE. Revision Endoscopic Sinus
Surger y for Recur rent Rhinosinusitis. In: Kennedy
DW, Bolger W, Zinrech SJ, editor s. Diseases of the
Sinuses Diagnosis and Management. London: BC
Decker Inc; 2001. p. 245-54
35. Jackman AH, et al . Use of intraoperative CT scanning
in endoscopic sinus surger y: A preliminar y r epor t.
Am J Rhinol 2008; 22(2):170-4
36. Richtsmeier WJ. Top 10 Reasons for Endoscopic
Maxillary Sinus Sur ger y Failur e. Lar yngoscope
2001; 111:1952-6
37. Lason BG, et al. Revision Endoscopic Surger y of the
Ethmoid and Maxillar y Sinus. In: Kountakis SE,
Jacobs J, Gosepath J, editor s. Revision Sinus Sur ger y.
Leipzig,
Germany:
Spr inger -Ver lag
Ber lin
Heidelber g; 2008. p. 101-7
38. Simmen D, Jones N. Manual of Endoscopic Sinus
Surger y and its Extended Applications. New York:
Thieme; 2005. p. 50-63

9

Dokumen yang terkait

Perbandingan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Penderita Rinosinusitis Kronis Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

1 30 110

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional dengan Teknik Hipotensi Terkendali pada Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis.

0 1 12

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 0 16

Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta

0 0 13

Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta

0 0 2

Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta

0 1 4

Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta Chapter III VI

0 0 17

Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta

0 1 4

Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta

1 1 16

SKRIPSI PETA JENIS BAKTERI DAN SENSITIFITAS ANTIBIOTIK PADA PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS YANG DILAKUKAN OPERASI BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL DI SMF THT-KL RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013-2014

0 1 28