Nyastra Dalam Lomba, Sebuah Evaluasi Kritis.
1
NYASTRA DALAM LOMBA: SEBUAH EVALUASI KRITIS*
OLEH :
I NYOMAN DARSANA
PRODI SASTRA BALI
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
(2)
2
NYASTRA DALAM LOMBA: SEBUAH EVALUASI KRITIS*
Oleh: I Nyoman Darsana
1. Pendahuluan
Pesta Kesenian Bali yang dikenal dengan singkatan PKB merupakan pesta seni terbesar di Bali. PKB sudah menjadi ikon kumpulnya para seniman Bali dengan segala kreativitasnya. Di sini ada pagelaran seni baik seni tradisional maupun modern, ada eksibisi, dan ada pula lomba. Hiruk pikuknya pesta seni yang sudah menjadi ajang tahunan yang telah mampu menyedot perhatian dunia. Tidak sedikit kesenian dari manca negara juga ikut memeriahkan PKB walaupun hanya pada level eksibisi.
Salah satu mata acara dalam PKB yang tidak pernah terhapuskan yaitu lomba nyastra. Barangkali masih ada pertanyaan kenapa nyastra itu selalu dilombakan? Apa sesungguhnya nyastra tersebut? Bagaimana kualitas lomba nyastra setelah berjalan 29 tahu n? Pertanyaan seperti itu terasa wajar-wajar saja karena mungkin bagi mereka masih gamang. Pertanyaan itu masih terasa wajar bagi mereka yang sering menyaksikan lomba nyastra, yang melihat hasilnya dari tahun ke tahu n belum signifikan.
Satuan bahasa nyastra lahir dari kata dasar sastra yang berarti 1. Pengetahuan, ajaran; ajaran tentang agama; ajaran tentang ketatanegaraan; 2. huruf (Tim Penyusun Kamus Dinas Kebudayaan Bali, 2008:626; Zoetmulder, 2009:1052). Satuan bahasa sastra
(3)
3
** Staf Dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Udayana identik dengan aksara (Bagus, 1980:6). Dari kata sastra kemudian memiliki kata turunan
yakni nyastra yaitu bentuk aktif dari kata sastra yang artinya melakukan aktivitas terkait dengan arti kata sastra yang diacu. Mengacu kepada arti kata sastra kemudian menjadi kata nyastra, lahirlah perluasan makna kata nyastra yaitu segala aktivitas manusia Bali yang berhubungan dengan bahasa, sastra, dan aksara Bali (Suarka, 2008:1).
Bahasa, sastra, dan aksara Bali tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan Bali. Dari sisi budaya, bahasa dan sastra serta aksara Bali merupakan pendukung budaya Bali. Di samping itu bahasa, sastra, dan aksara Bali itu sudah merupakan budaya Bali itu sendiri. Jika demikian halnya berarti bahasa, sastra, dan aksara Bali sebagai budaya daerah tidak boleh hilang atau punah. Lebih-lebih lagi budaya daerah telah diakui sebagai pendukung budaya nasional (Ardika, 2001:4).
Signifikasi eksistensi bahasa, sastra, dan aksara Bali membuat pemerintah Bali merasa perlu melindungi sehingga pada tahun 1992 nomor 3 lahir Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Di sana disebutkan bahwa bahasa, aksara, dan sastra Bali merupakan aspek dari kebudayaan Daerah dan juga bagian dari Kebudayaan Nasional. Selanjutnya dipandang perlu untuk melakukan upaya melestarikan, membina dan mengembangkan Bahsa, Aksara, dan Sastra Bali (Perda Propinsi Daerah Tk. I Bali, 1992: 126).
(4)
4
Berbicara masalah tanggung jawab pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali adalah semua masyarakat Bali yang menjadikan bahasa Bali sebagai bahasa ibu. Di rumah, orang tua bertanggu ngjawab kepada anaka-anaknya. Di sekolah, para guru bahasa Bali bertanggungjawab terhadap siswanya. Dengan adanya kurikulum KTSP melalui Dinas Pendidikan telah memilih Bahasa Bali sebagai muatan lokal wajib. Konsekuensinya, guru Bahasa Daerah Bali harus betul-betul pintar berbahasa Bali dan berapresiasi sastra (Kepala Dinas Pendid ikan Provinsi Bali, 2007:7).
Untuk mengakomodasi hal-hal yang terkait dengan pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali, pemerintah mengadakan lomba nyastra baik secara berkala maupun secara insidental. Demikian pula pihak swasta banyak yang sangat konsen terhadap budaya Bali sehingga sering pula ikut mengadakan lomba nyastra. Ada yang secara rutin berperan aktif seperti PWII Bali dan ada yang hanya insidental.
Di atas telah disinggung salah satu ajang pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali secara rutin yaitu pada lomba nyastra di PKB. Dalam kesempatan ini ada beberapa mata lomba dalam lomba nyastra setelah dievaluasi, kualitasnya masih perlu ditingkatkan. Adapun mata lomba tersebut yaitu: Masatua, Macecimpedan, Pidarta, dan Dharma Wacana.
(5)
5
2. Evaluasi Beberapa Mata Lomba Nyastra 2.1 Masatua
Pada umumnya lomba masatua pesertanya melibatkan anak-anak siswa SD. Sebelum lomba sudah pasti para peserta dilatih dan dibina oleh gurunya di sekolah. Artinya keberhasilan anak didik dalam lomba, peranan guru sebagai pelatih dan pembina cukup dominan. Mengingat lomba masatua sudah sering dilakukan, maka konsekuensi logis kualitasnya sudah pasti ada peningkatan. Realitasnya masih sering terjadi kesalahan atau kekurangatepatan orang masatua sesuai dengan persyaratan.
Kriteria dalam lomba masatua meliputi penampilan, suara/vokal, gaya/teknik penyajian cerita, dan ekspresi. Pada saat lomba, anak-anak sering kurang percaya diri. Hal ini terlihat seperti gugup, sering salah ucap, dan sering terjadi kevakuman akibat isi satua kurang dimengerti. Anak-anak terlihat menghafal cerita dan bukan mengerti cerita. Akibat dari semua itu, waktu yang disediakan 10-15 menit tidak dapat dimanfaatkan dengan baik atau satua diselesaikan secara tergesa-gesa dan singkat. Semestinya satua harus hafal dan mengerti sehingga anak-anak tidak terkungkung dengan hafalannya, Artinya si pencerita bebas dan lepas.
Kriteria yang berhubungan dengan suara atau vokal memang tidak terlalu masalah. Hanya saja yang perlu diingat, manfaatkan alat pengeras suara dengan baik. Jangan menjauhi mikrofon karena berakibat suara
(6)
6
menjadi kecil atau mikrofon jangan terlalu dekat dengan mulut, akibatnya suara besar dan tidak jelas.
Kriteria yang berhubungan dengan gaya/teknik penyajian cerita; pencerita berdiri dengan baik (baiknya memang duduk seperti aslinya). Ngomong yang jelas, pakai intonasi yang baik (kelengutan basd). Kenyataannya masih banyak pencerita gradag-grudug (kesana kemari), menari, dramatisasi, bahkan deklamasi. Semuanya ini bukan persyaratan orang bercerita, ini kesannya over acting (lihat Jirnaya, 2005:11).. Konsekuensinya, pendengar (penonton) tidak dapat menyimak isi cerita karena konsenterasinya dikacaukan oleh gaya over acting tersebut.
Kriteria yang berhubungan dengan ekspresi; kalau isi cerita dikuasai maka biasanya anak-anak percaya diri. Pencerita masatua dengan santai, lepas tidak ada beban. Mimik (ekspresi) terlihat santai, senyum dan tidak tegang. Dengan demikian bebanyolan (lelucon) yang sangat penting dalam masatua untuk menguasai audiens bisa diperoleh. Bebanyolan merupakan salah satu alat untuk mengingat audiens agar tetap mau mendengarkan cerita yang dibawakan. Di samping itu ju ga kontak audiens melalui menanyakan sesuatu kepada pendengar. Selama ini sering si pencerita asik ngomong sendiri, lebih-lebih pandangannya hanya tertuju pada satu atau dua titik pandang saja. Ini akan membosankan pendengar atau penonton sehingga cenderung meninggalkan tempat atau ngobrol kesana kemari.
(7)
7 2.2 Macecimpedan
Lomba macecimpedan tidak ada kriteria penilaian karena sifatnya mencari jawaban yang benar dan salah seperti tebak-tebakan atau cerdas cermat. Walaupun demikian ada syarat dalam lomba seperti cecimpedan haras berhubungan dengan hal-hal tradisional, dan tidak boleh mengeluarkan pertanyaan di luar konteks cecimpedan. Umpamanya raos ngempelin, bebungklingan, dan sebagainya.
Di sini peranan guru sebagai pelatih dan pembina dominan untuk mensuplai soal-soal cecimpedan sehingga anak-anak tidak kekurangan stok seal ketika lomba. Dalam cecimpedan justru diharapkan selalu muncul soal baru sehingga kreativitas berdasarkan wawasan budaya Bali tradisional akan muncul dari guru sebagai pelatih atau pembina. Ini yang masih kurang sehingga anak-anak pada saat lomba dapat dikalahkan oleh musuhnya karena kekurangan stok soal yang baru, yang tidak diketahui jawabannya o leh musuhnya. Akibatnya soal yang dikeluarkan sudah umum dan hanya diambil dari buku. Ini jelas jawabannya sudah dihafal oleh musuhnya.
2.3 Pidarta
Kata pidarta dalam bahasa Indonesia sama dengan pidato yang berarti 1. Pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak; 2. wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
(8)
8
Bahasa, 2005:871).. Kalau demikian berarti ada pidarta lisan dan ada pidarta tertulis yang telah disiapkan lebih dahulu. Namun ketika pidarta basa Bali dilombakan ada salah satu persyaratan tidak boleh membaca teks. Mengacu pada arti pidato di atas berarti lomba pidarta basa Bali termasuk tengah-tengah. Artinya pidarta disiapkan terlebih dahulu namun dibawakan secara lisan.
Kriteria penilaian lomba pidarta basa Bali meliputi penampilan, pengolahan tema, penguasaan materi, bahasa, dan amanat. Kriteria penampilan dan kekurangannya sampai saat ini serta kriteria penguasaan materi yang sama dengan teknik penyajian, silakan baca kriteria penilaian masatua di atas. Pengolahan tema maksudnya apabila panitia lomba lebih dahulu sudah menentukan tema pidarta. Dalam hal ini peserta tinggal mengolah. Kriteria bahasa, sudah jelas maksudnya ketepatan pemakaian anggah-ungguh basa Bali, intonasi (kelengutan basa), dan vokal. Kenyataannya dalam hal pemakaian anggah-ungguh basa masih sering terjadi kesalahan.
Realitas dalam lomba pidarta basa Bali sampai saat ini masih banyak yang kurang memahami pidarta sehingga pidarta dikacaukan dengan Dharma Wacana. Pidarta yang baik harus memperhatikan vokalitas kapan nada suara sedang dan kapan vocal itu perlu diangkat. Sering peserta lomba kurang memperhatikan hal ini sehingga orang mapidarta kedengarannya datar-datar saja. Kondisi ini berimplikasi pada kesan yang diperoleh oleh audiens. Umpamanya ketika mereka pulang
(9)
9
tiada kesan dan apa isi dari pidarta tersebut. Vokal tinggi diperlukan ketika ada poin penting yang ingin disampaikan kepada audiens. Di tambah lagi gerak tangan serta ekspresi. Tujuannya agar jelas didengar dan mampu membakar spirit serta emosi pendengar.
Pidarta basa Bali jelas bukan Dharma Wacana. Kenyataannya masih ada peserta pidarta basa Bali membawakan pidartanya dengan menyelip i sloka, bahkan tembang gita santi. Hal ini sudah termasuk kesalahan dan seharusnya tidak terjadi lagi mengingat perjalanan lomba nyastro, sudah cukup lama. Kriteria amanat atau pesan dari keseluruhan isi pidarta biasanya disampaikan pada akhir pidarta. Tujuannya menegaskan kembali pentingnya wacana yang terkait dengan tema. Bentuknya dapat berupa kesimpulan.
2.4. Dharma Wacana
Sebelum sampai pada pembicaraan lomba Dharma Wacana, perlu dipahami dulu perbedaannya dengan lomba Pidarta. Dharma berarti kebajikan, kewajiban, dan kebenaran menurut perspektif agama Hindu. Wacana (discourse) berarti satuan bahasa terlengkap; dalam hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar; Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seni ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap (Kridalaksana, 1982:179). Di samping itu wacana berarti
(10)
10
pula rekaman yang utuh tentang suatu peristiwa dalam komunikasi yang menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis (Djajasudarma, 1994:2 -3). Mengacu pada pengertian dharma dan wacana di atas beararti ada karangan tuturan yang membawa amanat yang lengkap mengenai kebajikan, kebenaran, dan kewajiban menurut perspektif Hindu. Dari fungsinya dapat dikatakan sebagai pencerahan terhadap umat dalam hal pemahaman nilai-nilai agama Hindu, dan nantinya dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.
Kriteria penilaian dalam lomba sama dengan kriteria lomba pidarta. Materinya jelas bersumber dari kitab -kitab suci agama Hindu. Intinya bagaimana mengatakan sesuatu itu salah dalam aplikasi kehidupan sehari-hari karena tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu. Solusinya, apa yang patut dikerjakan atau diperbuat menurut ajaran agama Hindu. Untuk menambah keyakinan bagi pendengar maka perlu acuan yang dikutip pada sastra atau kitab suci agama Hindu.
Kenyataan lomba Dharma Wacana sampai saat ini masih banyak ada kekurangan atau kesalahan. Adapun kekurangannya,
(1) dalam hal vokalitas; masih banyak suara peserta terlalu tinggi, kencang, dan bersemangat seperti orang berpidato. Sesungguhnya vocal orang berdharma wacana sedang-sedang saja yang penting kelengutan (intonasi) baik dalam arti tidak datar karena dapat menimbulkan kebosanan.
(11)
11
(2) terlalu banyak mengutip acuan; lomba sudah pasti ada pembatasan waktu. Sering peserta tidak memperhatikan waktu sehingga isi Dharma Wacana prosentasenya sedikit dan waktunya lebih banyak dipakai membaca kutipan Weda, Sarasamuscaya, dan sebagainya. Bahkan ada yang mengutip satu bait kakawin dengan menembangkannya. Ini yang sering berakibat fatal. Fatal dalam arti menghabiskan waktu, fatal dalam arti guru-lagu wirama tidak tepat ditambah lagi suara kacau.
(3) Penguasaan audiens; kriteria ini secara tersurat memang tidak ada, tetapi sudah masuk ke dalam teknik/gaya penyajian. Pada umumnya ketika kita berbicara di depan khalayak, penguasaan audiens merupakan hal yang penting. Dalam lomba Dharma Wacana belum ada yang mampu atau mencoba menguasai audiens dengan teknik banyolan. Teknik ini berpeluang diterapkan dalam memberikan contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
3. Penutup
Kita sebagai penutur yang menjadikan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu wajib melestarikan bahasa Bali agar tidak punah. Indikasi kepunahan sudah tampak yaitu makin banyaknya generasi muda tidak bisa berbahasa Bali dengan baik, membaca aksara Bali dengan baik, dan mengenal karya sastra Bali yang merupakan asset budaya Bali.
(12)
12
Bahasa Bali kini sudah masuk dalam kurikulum sebagai muatan local. Artinya para guru bahasa Bali harus tetap meningkatkan d iri dalam pemahaman bahasa, aksara, dan sastra Bali dalam signifikasi pengajaran. Untuk percepatan dan menambah kegairahan anak-anak belajar bahasa, aksara, serta sastra Bali. Pemerintah telah mengakomodasi dalam bentuk kegiatan lomba nyastra. Guru sebagai pembina dan pelatih nyastra yang berwawasan baik akan membawa anak-anak ke prestasi puncak dalam lomba. Artinya para guru telah berhasil melestarikan bahasa, aksara, dan sastra Bali.
Daftar Pustaka
Ardika, I Gede. 2001. "Bahasa Daerah sebagai Pendukung Kebudayaan Nasional". Makalah dipresentasikan dalam Kongres Bahasa Bali V di Denpasar 13-16 November 2001.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1980. "Aksara dalam Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Antropologi". Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Budaya. Denpasar: Universitas Udayana.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Eresco.
Jirnaya, I Ketut. 2005. "Teknik Masatua Bali". Makalah diseminarkan dalam Seminar Nyastra. Denpasar: PWII Korwil Bali, 27 April 2005.
Kepala Dinas Pend idikan Provinsi Bali. 2007. "Peran Guru Bahasa Bali dalam Upaya Peningkatan Kompetensi Berbahasa di Lingkungan Pendidikan pada Era Global". Makalah disampaikan dalam Lokakar ya Kurikulum Jurusan Sastra Daerah. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 26 Oktober 2007.
(13)
13
Tim Penyusun Kamus Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Kerjasama Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Diterjemahkan Darusuprapta dan Sumarti Sup rayitna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
(14)
14
NYASTRA DALAM LOMBA : SEBUAH EVALUASI KRITIS
OLEH :
I NYOMAN DARSANA
JURUSAN SASTRA BALI
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
(1)
9
tiada kesan dan apa isi dari pidarta tersebut. Vokal tinggi diperlukan ketika ada poin penting yang ingin disampaikan kepada audiens. Di tambah lagi gerak tangan serta ekspresi. Tujuannya agar jelas didengar dan mampu membakar spirit serta emosi pendengar.
Pidarta basa Bali jelas bukan Dharma Wacana. Kenyataannya masih ada peserta pidarta basa Bali membawakan pidartanya dengan menyelip i sloka, bahkan tembang gita santi. Hal ini sudah termasuk kesalahan dan seharusnya tidak terjadi lagi mengingat perjalanan lomba nyastro, sudah cukup lama. Kriteria amanat atau pesan dari keseluruhan isi pidarta biasanya disampaikan pada akhir pidarta. Tujuannya menegaskan kembali pentingnya wacana yang terkait dengan tema. Bentuknya dapat berupa kesimpulan.
2.4. Dharma Wacana
Sebelum sampai pada pembicaraan lomba Dharma Wacana, perlu dipahami dulu perbedaannya dengan lomba Pidarta. Dharma berarti kebajikan, kewajiban, dan kebenaran menurut perspektif agama Hindu. Wacana (discourse) berarti satuan bahasa terlengkap; dalam hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar; Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seni ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap (Kridalaksana, 1982:179). Di samping itu wacana berarti
(2)
10
pula rekaman yang utuh tentang suatu peristiwa dalam komunikasi yang menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis (Djajasudarma, 1994:2 -3). Mengacu pada pengertian dharma dan wacana di atas beararti ada karangan tuturan yang membawa amanat yang lengkap mengenai kebajikan, kebenaran, dan kewajiban menurut perspektif Hindu. Dari fungsinya dapat dikatakan sebagai pencerahan terhadap umat dalam hal pemahaman nilai-nilai agama Hindu, dan nantinya dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.
Kriteria penilaian dalam lomba sama dengan kriteria lomba pidarta. Materinya jelas bersumber dari kitab -kitab suci agama Hindu. Intinya bagaimana mengatakan sesuatu itu salah dalam aplikasi kehidupan sehari-hari karena tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu. Solusinya, apa yang patut dikerjakan atau diperbuat menurut ajaran agama Hindu. Untuk menambah keyakinan bagi pendengar maka perlu acuan yang dikutip pada sastra atau kitab suci agama Hindu.
Kenyataan lomba Dharma Wacana sampai saat ini masih banyak ada kekurangan atau kesalahan. Adapun kekurangannya,
(1) dalam hal vokalitas; masih banyak suara peserta terlalu tinggi, kencang, dan bersemangat seperti orang berpidato. Sesungguhnya vocal orang berdharma wacana sedang-sedang saja yang penting kelengutan (intonasi) baik dalam arti tidak datar karena dapat menimbulkan kebosanan.
(3)
11
(2) terlalu banyak mengutip acuan; lomba sudah pasti ada pembatasan waktu. Sering peserta tidak memperhatikan waktu sehingga isi Dharma Wacana prosentasenya sedikit dan waktunya lebih banyak dipakai membaca kutipan Weda, Sarasamuscaya, dan sebagainya. Bahkan ada yang mengutip satu bait kakawin dengan menembangkannya. Ini yang sering berakibat fatal. Fatal dalam arti menghabiskan waktu, fatal dalam arti guru-lagu wirama tidak tepat ditambah lagi suara kacau.
(3) Penguasaan audiens; kriteria ini secara tersurat memang tidak ada, tetapi sudah masuk ke dalam teknik/gaya penyajian. Pada umumnya ketika kita berbicara di depan khalayak, penguasaan audiens merupakan hal yang penting. Dalam lomba Dharma Wacana belum ada yang mampu atau mencoba menguasai audiens dengan teknik banyolan. Teknik ini berpeluang diterapkan dalam memberikan contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
3. Penutup
Kita sebagai penutur yang menjadikan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu wajib melestarikan bahasa Bali agar tidak punah. Indikasi kepunahan sudah tampak yaitu makin banyaknya generasi muda tidak bisa berbahasa Bali dengan baik, membaca aksara Bali dengan baik, dan mengenal karya sastra Bali yang merupakan asset budaya Bali.
(4)
12
Bahasa Bali kini sudah masuk dalam kurikulum sebagai muatan local. Artinya para guru bahasa Bali harus tetap meningkatkan d iri dalam pemahaman bahasa, aksara, dan sastra Bali dalam signifikasi pengajaran. Untuk percepatan dan menambah kegairahan anak-anak belajar bahasa, aksara, serta sastra Bali. Pemerintah telah mengakomodasi dalam bentuk kegiatan lomba nyastra. Guru sebagai pembina dan pelatih nyastra yang berwawasan baik akan membawa anak-anak ke prestasi puncak dalam lomba. Artinya para guru telah berhasil melestarikan bahasa, aksara, dan sastra Bali.
Daftar Pustaka
Ardika, I Gede. 2001. "Bahasa Daerah sebagai Pendukung Kebudayaan Nasional". Makalah dipresentasikan dalam Kongres Bahasa Bali V di Denpasar 13-16 November 2001.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1980. "Aksara dalam Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Antropologi". Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Budaya. Denpasar: Universitas Udayana.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Eresco.
Jirnaya, I Ketut. 2005. "Teknik Masatua Bali". Makalah diseminarkan dalam Seminar Nyastra. Denpasar: PWII Korwil Bali, 27 April 2005.
Kepala Dinas Pend idikan Provinsi Bali. 2007. "Peran Guru Bahasa Bali dalam Upaya Peningkatan Kompetensi Berbahasa di Lingkungan Pendidikan pada Era Global". Makalah disampaikan dalam Lokakar ya Kurikulum Jurusan Sastra Daerah. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 26 Oktober 2007.
(5)
13
Tim Penyusun Kamus Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Kerjasama Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Diterjemahkan Darusuprapta dan Sumarti Sup rayitna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
(6)
14
NYASTRA DALAM LOMBA : SEBUAH EVALUASI KRITIS
OLEH :
I NYOMAN DARSANA