Studi Deskriptif Mengenai School Engagement Pada Siswa Kelas X SMA "X" Bandung.

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan guna mengetahui gambaran mengenai derajat School Engagement pada siswa kelas X SMA “X” Bandung. Penentuan sampel menggunakan metode nonprobality dengan teknik convenience sampling dan dalam penelitian ini berjumlah 112 orang.

Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori School Engagement dari J.A. Fredricks, P.C. Blumenfeld, & A.H. Paris (2004) yang disesuaikan dengan konteks penelitian yaitu di SMA “X” Bandung. Validitas alat ukur diuji dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment dan diperoleh validitas alat ukur berkisar dari 0.300-0.522. Reliabilitas alat ukur diuji dengan menggunakan uji reliabilitas Alpha Cronbach dan diperoleh reliabilitas sebesar 0.879. Data hasil penelitian diolah dengan menghitung distribusi frekuensi data primer melalui kuesioner.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa siswa kelas X SMA “X” Bandung memiliki derajat school engagement yang hampir seimbang. Sebanyak 51.8% siswa memiliki school engagement yang tinggi dan 48.2% siswa memiliki school engagement yang rendah.

Peneliti menyarankan untuk meneliti kontribusi faktor kontekstual dan individual needs dengan setiap komponen school engagement, selain itu mempertimbangkan penelitian dengan memperhatikan kontribusi ketiga komponen school engagement terhadap derajat school engagement.


(2)

iv

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This research was conducted to describe the degree of School Engagement at X grade students of “X” high school Bandung. Sample was selected using nonprobality method with convenience sampling technique and samples in this research amounted to 112 people.

A measuring instrument made by researcher based on theory of School Engagement by J.A. Fredricks, P.C. Blumenfeld, & A.H. Paris (2004) then adapted to the context of the research at “X” high school Bandung. The validity of measuring instrument using Pearson Product Moment correlation with a value of validity from 0.300 to 0.522. Reliability of measuring instrument using Cronbach Alpha formula and test value is 0.879. Data were processed by calculate the frequency distribution of primary data from questionnaire.

Based on the result of this research obtained that X grade students of “X” high school Bandung has a degree of school engagement that were almost equal. A total of 51.8% students had a high school engagement and 48.2% students had a low school engagement.

Reseacrher suggested researching about the contribution of contextual factors and individual needs on each components of school engagement, furthermore consider research by notice on the contribution of school engagement’s components on the degree of school engagement.


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ...ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR BAGAN... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... .1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian... 9

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pemikiran ... 10

1.6 Asumsi... 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 22

2.1 Teori School Engagement ... 22


(4)

viii

Universitas Kristen Maranatha

2.1.2 Komponen School Engagement... 24

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi School Engagement ... 26

2.1.4 Hasil Engagement ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 36

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 36

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 36

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi ... 36

3.3.1 Definisi Konseptual ... 37

3.3.2 Definisi Operasional ... 37

3.4 Alat Ukur ... 38

3.4.1 Alat Ukur Variabel ... 38

3.4.2 Prosedur Kuesioner... 39

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 40

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 41

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 41

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 42

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 43

3.5.1 Populasi Sasaran ... 43

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 43

3.6 Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1 Gambaran Umum Responden ... 45


(5)

4.2 Gambaran Hasil Penelitian ... 46

4.2.1 Gambaran Hasil Penelitian Mengenai School Engagement ... 46

4.2.2 Tabulasi Silang School Engagement dan Komponen ... 48

4.3 Pembahasan ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1 Kesimpulan ... 57

5.2 Saran ... 58

5.2.1 Saran Teoritis ... 58

5.2.2 Saran Praktis ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

DAFTAR RUJUKAN ... 61 LAMPIRAN


(6)

x

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran... 20 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 36


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 38

Tabel 3.2 Kriteria Jawaban Alat Ukur ... 40

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 45

Tabel 4.2 Gambaran School Engagement ... 46

Tabel 4.3 Gambaran Behavioral Engagement ... 46

Tabel 4.4 Gambaran Emotional Engagement ... 47

Tabel 4.5 Gambaran Cognitive Engagement ... 47

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Antara School Engagement dan Behavioral Engagement, Emotional Engagement, dan Cognitive Engagement ... 48


(8)

xii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 ... Kuesioner Pengambilan Data Lampiran 2 ... Hasil Uji Validitas Item dan Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 3 ... Tabulasi Silang Faktor Penunjang dan School Engagement Lampiran 4 ... Data Mentah


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang kehidupan, maka Indonesia memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas yang memiliki keterampilan dan daya saing dalam menghadapi persaingan global yang tinggi. Salah satu usaha pengembangan sumber daya manusia di Indonesia adalah melalui pendidikan.

Pendidikan dianggap penting sebagai sarana pengembangan masyarakat dalam pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian. Dalam era globalisasi, pendidikan masih dianggap sebagai kekuatan utama dalam komunitas sosial untuk mengimbangi laju perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Elhida, 2009). Pendidikan yang disediakan terbagi dalam beberapa jalur pendidikan yaitu pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan non formal. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 17 Tahun 2010 disebut bahwa pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Kemendiknas, 2010).

Perhatian terhadap pendidikan ditunjukkan dengan jumlah sekolah maupun universitas yang bertambah banyak sebagai sarana pengajaran pengetahuan kepada siswa. Berdasarkan hasil rekap data nasional, terdapat


(10)

2

Universitas Kristen Maranatha 345.055 sekolah dari jenjang SD, SMP, SMA/SMK, hingga perguruan tinggi pada tahun 2011 (Rekap Data Nasional, 2011).

Meskipun terdapat jumlah sekolah yang banyak, data dari survei yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultant) pada tahun 2009 menyebutkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia (Sampoerna Foundation, 2012). Salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan terlihat dari banyaknya lulusan sekolah ataupun perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena kecakapan yang dimiliki tidak memadai untuk digunakan secara mandiri (Tribunnews.com, 2012).

Dalam pembelajaran tidak cukup jika siswa hanya hadir di sekolah namun perlu memandang pendidikan sebagai hal yang penting dan berarti baginya. Siswa yang memandang pendidikan sebagai hal yang penting akan menampilkan usaha dalam mempelajari, memahami, ataupun menguasai pengetahuan dan keterampilan. Namun saat ini seringkali ditemui siswa-siswa yang datang ke sekolah dengan tujuan hanya untuk memperoleh nilai dan bukan untuk menguasai ilmu yang diberikan (Rustijono, 2011). Cenderung ditemui siswa-siswa yang menunjukkan perilaku bermasalah di sekolah seperti membolos, menyontek, tidak mengerjakan tugas yang diberikan, tidak mendengarkan guru, melanggar peraturan sekolah, dan tidur di dalam kelas (Perwitasari, 2012). Perilaku membolos, menyontek, dan perilaku bermasalah lain yang tidak sesuai dengan tuntutan sekolah dapat dipicu oleh penolakan siswa untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan akademik lainnya di sekolah (Janowitz, 1978; Modell & Elder, 2002 dalam Fredricks, Blumenfeld, & Paris, 2004).


(11)

3

Menurut Finn (1995 dalam Fredricks et al., 2004), tidak adanya partisipasi siswa dalam kegiatan sekolah, dapat membuat siswa berhadapan pada kegagalan akademik berupa prestasi yang rendah dan tinggal kelas. Kegiatan sekolah tidak terbatas hanya pada kegiatan akademik namun juga non-akademik berupa partisipasi siswa pada kegiatan sosial organisasi dan ekstrakurikuler di sekolah. Organisasi dan kegiatan ekstrakurikuler merupakan wadah yang memberikan kesempatan pada siswa untuk mencapai prestasi di bidang non akademik.

Kegiatan organisasi kesiswaan yang ada di sekolah adalah OSIS, yang terdiri dari siswa-siswa yang terlibat sebagai pengurus dan anggota OSIS. Melalui organisasi, siswa akan dibina untuk mengembangkan kemampuan diri guna menjalankan organisasi dengan baik, membangun tanggung jawab, dan membangun relasi yang baik di lingkungan sekolah. Kegiatan pembinaan siswa juga diberikan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang dapat membantu pengembangan siswa sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka. Kegiatan ekstrakurikuler pada umumnya berupa kegiatan dalam bidang olahraga, dan seni dimana siswa dapat memilih kegiatan yang akan diikuti sesuai keinginan mereka. Kompetensi yang dapat dicapai melalui organisasi maupun kegiatan ekstrakurikuler adalah meningkatnya kemampuan sosial dimana siswa mampu membangun relasi sosial dan mampu bertanggung jawab secara sosial, keterampilan yang meningkat sesuai bakat dan minat siswa, dan pengembangan diri sebagai persiapan karir.

Keterlibatan siswa yang beragam dalam menghadapi kegiatan sekolah dapat ditemui salah satunya pada sekolah “X” yang dikenal sebagai salah satu


(12)

4

Universitas Kristen Maranatha sekolah swasta favorit di Bandung. Sekolah “X” merupakan sekolah swasta yang memiliki akreditasi A dan menghasilkan siswa-siswa yang memiliki prestasi yang cukup baik. Sekolah “X” memiliki misi untuk unggul dalam pembentukan manusia yang utuh meliputi aspek-aspek intelektual, emosi, psikomotorik, humaniora dan religiositas. Upaya yang dilakukan sekolah untuk mengembangkan siswa adalah dengan membentuk menjadi siswa yang mandiri disertai dengan kedisplinan. Contoh salah satu upaya tersebut adalah dengan memberi tugas yang menuntut siswa mencari tahu lebih banyak informasi dari fakta yang ada di lingkungan sehingga siswa dapat berusaha menambah wawasannya melebihi materi di sekolah. Selain melalui upaya meningkatkan kognitif siswa, SMA “X” juga mengembangkan siswa dalam segi konatif dimana siswa dapat memahami pentingnya materi dan bagaimana penerapan materi yang diperoleh dengan memberi kesempatan pada siswa untuk mempresentasikan tugas yang telah dikerjakan.

Selain melalui tugas sekolah, pengembangan siswa dilakukan melalui program sekolah berupa kegiatan ilmu kehidupan, edufair, pekan ilmiah, study tour dan malam gembira. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan untuk membimbing siswa dalam berbagai segi mengembangkan relasi, menentukan tujuan pendidikan pada tahap selanjutnya, dan mengembangkan potensi secara akademik maupun kesenian. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan sekolah setelah kegiatan dilaksanakan, diketahui siswa tertarik serta terlibat aktif sebagai panitia dalam kegiatan-kegiatan sekolah tersebut, dan hanya ditemukan satu atau dua siswa yang tidak tertarik. Kegiatan SMA “X” tidak terbatas hanya pada


(13)

5

kegiatan rutin, namun juga ekstrakurikuler yang tersedia cukup banyak dan dapat dipilih oleh siswa seperti fotografi, klub komputer, paskibra, basketball, volleyball, taekwondo, paskibra, paduan suara, sains club, tata boga, softball, PMR dan lainnya.. Siswa kelas X wajib mengikuti satu kegiatan ekstrakurikuler namun terdapat siswa-siswa yang mengikuti lebih dari satu kegiatan. Menurut guru BP, siswa menyenangi kegiatan ekstrakurikuler dengan rutin hadir dalam kegiatan meskipun tidak terlepas terkadang siswa merasa tidak puas dengan ekstrakurikuler yang tersedia dan menginginkan kegiatan lain.

Dalam menerapkan kedisiplinan, sekolah “X” memiliki peraturan tertulis yang mengatur serta meliputi sanksi-sanksi bagi yang melanggar. Berdasarkan informasi dari guru BP SMA “X”, tidak terdapat keringanan dari setiap pelanggaran yang dilakukan siswa dan kebijakan SMA memang disiplin dalam menerapkan peraturannya. Dengan peraturan tersebut diharapkan siswa dapat menunjukkan kedisiplinan sehingga dapat diperoleh pembelajaran yang optimal. Namun, ditemukan adanya beberapa pelanggaran yang dilakukan siswa, misalnya pelanggaran yang cukup sering ditemui adalah siswa yang tidak membawa buku pelajaran dengan sanksi siswa tidak dapat mengikuti pelajaran. Pelanggaran lain yang ditemukan berupa pelanggaran ringan seperti pakaian yang tidak rapi atau membawa handphone dan akan mendapat teguran. Dengan berbagai upaya yang dilakukan sekolah, diharapkan siswa dapat berkembang sesuai dengan tujuan sekolah.

Untuk memperoleh gambaran mengenai perilaku dan usaha siswa dalam mengikuti kegiatan di sekolah maka dilakukan survei pada 20 orang siswa. Dari


(14)

6

Universitas Kristen Maranatha hasil survei pada siswa kelas X sekolah “X” diperoleh sebanyak 20% siswa pernah melanggar peraturan dan mendapat teguran hingga peringatan dari sekolah. Ketika pelajaran berlangsung di dalam kelas, sebagian besar siswa terkadang menunjukkan aktivitas lain disamping memperhatikan guru seperti menggambar, mengobrol, tidur, dan melamun yang ditemui pada 70% siswa. Sebagian besar siswa terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler maupun OSIS, dapat ditemui 90% siswa yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler dan 33% diantaranya mengikuti lebih dari satu ekstrakurikuler, selain itu terdapat 55% siswa yang terlibat dalam kegiatan OSIS. Terkait dengan perilaku belajar, diperoleh siswa-siswa yang menunjukkan cara dan perilaku yang beragam untuk memahami materi pelajaran dan siswa yang menyerah ketika mengalami kesulitan belajar. Hal itu terlihat pada 80% siswa yang berusaha mencari tahu terkait materi yang dipelajari melalui sumber lain seperti internet, buku, bertanya pada guru, orangtua, dan berdiskusi dengan teman, 25% diantaranya mengulang materi di rumah hingga dipahami dan 13% diantaranya menyerah jika tidak dapat mengatasi kesulitan dalam memahami materi atau mengerjakan tugas.

Berdasarkan wawancara terkait relasi siswa di sekolah, siswa kelas X memiliki hubungan yang baik dengan sebagian besar guru. Hubungan tersebut digambarkan seperti hubungan pertemanan dengan tetap memiliki rasa hormat pada guru. Terdapat pula siswa yang tidak menyukai guru karena dipandang galak atau memiliki cara mengajar yang tidak jelas. Selain terhadap guru, siswa memiliki hubungan yang baik dengan teman-teman sekolah dan cukup sering berkumpul untuk belajar kelompok. Jika terdapat konflik, hal tersebut seputar


(15)

7

kejahilan yang dilakukan siswa laki-laki terhadap siswa perempuan dan siswa yang tidak ingin membantu temannya dalam menyelesaikan tugas.

Hasil survei juga diperoleh siswa-siswa memiliki penghayatan perasaan yang berbeda-beda ketika berhadapan dengan anggota sekolah berupa guru dan teman, terhadap akademik dan bahkan sekolahnya. Ditemui 95% siswa menyukai sekolahnya karena merasa nyaman dan memiliki fasilitas sekolah yang bagus dan cukup lengkap. Meskipun sebagian besar siswa menyukai sekolahnya, banyak diantaranya menganggap pelajaran yang diberikan sulit untuk dipelajari dan dipahami yaitu sebanyak 60% siswa. Siswa juga menampilkan perasaan yang beragam terhadap guru dan temannya yaitu sebanyak 65% siswa merasa senang dan nyaman untuk berinteraksi dengan teman-teman sekolahnya dan 20% siswa senang terhadap gurunya, dan sebaliknya terdapat 80% siswa merasa tegang dan takut terhadap guru.

Usaha siswa yang tampak melalui partisipasi dan keterlibatan dalam kegiatan sekolah menunjukkan adanya school engagement. Engagement diartikan sebagai investasi psikologis siswa dan usaha yang dicurahkan pada pembelajaran, pemahaman, dan penguasaan pengetahuan, keterampilan, atau keahlian untuk meningkatkan tugas akademik (Newmann, 1992 dalam Christenson, Reschly, & Wylie, 2012). Pengertian lain menyatakan engagement terdiri dari partisipasi dan identifikasi (Finn, 1989 dalam Christenson et al., 2012). Finn menjelaskan partisipasi sebagai perilaku yang ditunjukkan melalui keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan indentifikasi merupakan perasaan siswa sebagai bagian dari sekolah dan sejauh mana siswa menghargai keberhasilan. Melalui definisinya,


(16)

8

Universitas Kristen Maranatha engagement terkait dengan usaha baik melalui perilaku, penguasaan pengetahuan maupun perasaan siswa di sekolah. Melalui pengertian-pengertian engagement yang telah dijabarkan, maka disimpulkan bahwa school engagement adalah besarnya usaha yang dicurahkan dalam proses pembelajaran pada kegiatan akademik dan non-akademik meliputi perilaku, perasaan, dan kognisi.

Fredricks et al. (2004) melihat engagement sebagai konstruk multidimensional yang melibatkan komponen behavioral, emotional dan cognitive engagement. Behavioral engagement mengacu pada usaha berupa partisipasi dalam proses pembelajaran dan non-akademik misalnya bertanya kepada guru, mengerjakan tugas, menampilkan perilaku baik di sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler atau organisasi. Emotional engagement mengacu pada usaha berupa reaksi emosi siswa dalam hubungannya dengan guru, teman, pelajaran, dan sekolah secara positif berupa ketertarikan dan kebahagiaan. Contohnya siswa senang bertemu dan berinteraksi dengan guru serta menjalin relasi dengan teman dengan bermain dan berdiskusi, dan perasaan senang dalam mengikuti pelajaran.

Cognitive engagement mengacu pada usaha siswa berupa investasi kognitif dimana terdapat perubahan kognitif dan strategi yang digunakan siswa yang ditunjukkan dengan mengulang pelajaran ketika di rumah, merangkum materi untuk bahan belajar, dan menggunakan kemampuan penyelesaian masalah yang beragam baik dalam pembelajaran maupun kegiatan non-akademik.

Pentingnya engagement siswa di sekolah yang dapat berkontribusi pada peningkatan akademik maupun kemampuan sosial siswa dan dapat ditemui dalam


(17)

9

bentuk keterlibatan yang bervariasi pada setiap siswa dalam komponennya menjadikan engagement sebagai topik yang menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui mengenai school engagement pada siswa kelas X SMA “X” di Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana school engagement pada siswa kelas X SMA “X” di Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai derajat school engagement siswa kelas X SMA “X” di Bandung.

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai derajat school engagement melalui komponen behavioral, emotional, dan cognitive engagement serta keterkaitan school engagement dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pada siswa kelas X SMA“X” di Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Memberikan informasi mengenai school engagement siswa SMA dalam bidang ilmu psikologi pendidikan.

Memberikan masukan mengenai school engagement kepada peneliti lain yang berminat melakukan penelitian.


(18)

10

Universitas Kristen Maranatha

1.4.2 Kegunaan Praktis

Memberikan informasi mengenai gambaran school engagement siswa pada pihak sekolah, sehingga diharapkan dapat membantu sekolah dalam meningkatkan atau mempertahankan engagement siswa dalam rangka meningkatkan kualitas akademik di sekolah.

Memberikan informasi mengenai gambaran school engagement siswa kepada guru, sehingga dapat menjadi pedoman menyusun langkah-langkah untuk meningkatkan engagement siswa yang mendorong meningkatnya mutu prestasi sekolah.

1.5 Kerangka Pemikiran

Memasuki jenjang SMA, siswa berada pada tahap remaja dimana mereka memiliki minat yang lebih nyata pada karir dan eksplorasi identitas (Santrock, 2003). Sehingga siswa SMA memiliki tuntutan yang lebih besar daripada jenjang sebelumnya karena kemampuan dan keterampilan siswa semakin diasah untuk siap masuk dalam lingkup kehidupan yang lebih luas yaitu di perguruan tinggi maupun lingkup pekerjaan. Untuk memperoleh hasil yang optimal maka siswa SMA perlu melibatkan dirinya dalam menjalani proses pendidikan di sekolah. Keterlibatan siswa ditampilkan melalui usaha yang dicurahkan dalam kegiatan di sekolah dan dapat menunjang siswa untuk memperoleh kemampuan yang siswa butuhkan untuk berhasil dalam lingkup hidup saat ini, baik di jenjang pendidikan berikutnya maupun di lingkungan pekerjaan (Fredricks et al., 2004).


(19)

11

Besarnya usaha yang dicurahkan siswa dalam proses pembelajaran pada kegiatan akademik dan non-akademik meliputi perilaku, perasaan, dan kognisi disebut sebagai school engagement. Engagement yang dimiliki siswa dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu school level factor dan classroom context (Fredricks et al., 2004). School level factor merupakan karakteristik sekolah yang dapat mempengaruhi tingkat engagement siswa. Kualitas dan karakteristik sekolah yang mempengaruhi tingginya engagement siswa meliputi tersedianya pilihan yang dapat dipilih oleh siswa, tujuan sekolah yang jelas dan konsisten, kesempatan siswa dan staff sekolah untuk bekerjasama, ukuran sekolah yang kecil, partisipasi siswa dalam kebijakan sekolah, dan tugas akademik yang mengembangkan siswa. Sekolah yang memberi kesempatan pada siswa untuk memilih kegiatan yang akan dilakukan di sekolah seperti memilih kegiatan bidang ekstrakurikuler maupun organisasi dapat meningkatkan ketertarikan terhadap sekolah dan kegiatan yang diikutinya. Hal tersebut dikarenakan siswa dapat mengikuti kegiatan yang sesuai dengan minat dan bakatnya tanpa diatur oleh kontrol dari luar berupa kewajiban atau imbalan seperti nilai dan sebagainya sehingga siswa akan semakin aktif untuk memperoleh dan menguasai keterampilan yang diminatinya.

Tujuan sekolah yang jelas dan konsisten dimana terdapat tujuan yang ingin dicapai, dapat dipahami sehingga siswa tidak kebingungan dengan pencapaian tujuan sekolah sehingga siswa dapat menentukan perilaku yang sesuai dan berkontribusi pada pencapaian tujuan sekolah terkait dengan peningkatan akademik maupun non-akademik. Untuk dapat mencapai tujuan, sekolah memiliki


(20)

12

Universitas Kristen Maranatha kebijakan dan aturan yang berguna untuk mengatur dan mengarahkan anggota sekolah. Sekolah yang memberikan kesempatan pada siswa dengan melibatkan pendapat siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah serta menyertakan siswa dalam kerjasama dengan guru/anggota sekolah dalam pelaksanaannya dapat meningkatkan ketertarikan dan keterlibatan siswa. Siswa terdorong untuk menaatinya dan berusaha berpartisipasi dalam melancarkan kebijakan dengan memberikan masukkan ataupun ide-ide karena siswa merasa diterima dan menjadi bagian dari sekolah.

Ukuran sekolah turut mempengaruhi engagement siswa. sekolah dengan ukuran yang kecil yang memungkinkan sekolah menyediakan kontrol sosial yang efektif. Kontrol sosial yang efektif memungkinkan siswa mengembangkan interaksi sosial, meningkatkan sikap positif terhadap sekolah dan kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan ekstrakurikuler yang merupakan indikator yang dapat mendorong school engagement yang tinggi.

Pembelajaran akademik yang dimiliki sekolah turut mempengaruhi engagement siswa. Pembelajaran dengan tugas-tugas autentik yaitu tugas yang relevan dengan fakta yang ada dan menuntut siswa untuk melakukan pemecahan masalah melalui analisis hingga evaluasi berdasarkan konsep yang dipelajari. Tugas autentik dapat mendorong ketertarikan siswa karena tugas dapat dipahami secara nyata dalam fenomena yang ada di sekitar siswa. Melalui tugas autentik maka siswa tertarik dan terdorong untuk mencari sumber bahan yang lebih banyak dan melibatkan proses berpikir yang lebih mendalam seperti menganalisis,


(21)

13

mengolah, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh sehingga engagement siswa dapat lebih tinggi.

Faktor yang mepengaruhi engagement berikutnya adalah classroom context yang terdiri dari pengaruh dukungan guru, teman sebaya, struktur kelas, dukungan memperoleh kemandirian (autonomy support), dan karakteristik tugas.

Dukungan guru dapat berupa dukungan secara akademik maupun interpersonal pada siswa dengan memberi bantuan dalam memahami materi dan membangun interaksi yang baik dengan siswa. Guru yang memperhatikan siswa, menciptakan lingkungan yang mendukung, mendorong kemandirian siswa, dan menyediakan tugas-tugas yang menantang dan menekankan pada pemahaman siswa dapat mendorong siswa untuk memiliki strategi dalam belajar, menunjukkan perilaku belajar yang optimal dan perasaan yang lebih positif.

Selain peran guru, siswa yang diterima dan didukung oleh teman-temannya di sekolah dapat meningkatkan perilaku yang baik, kepuasan terhadap sekolah, motivasi untuk belajar, dan upaya dalam pembelajaran yang mendorong engagement siswa dalam kegiatan di sekolah. Sebaliknya, siswa yang mengalami penolakan sehingga tidak memiliki teman yang mendukung dan saling membantu cenderung menunjukkan perilaku yang buruk, tidak terlalu berpartisipasi dengan kegiatan sekolah, dan tidak tertarik berada di sekolah sehingga mempengaruhi rendahnya engagement siswa. Dengan lingkungan sosial yang mendukung, menerima, dan perhatian maka siswa dapat lebih engaged terutama secara emotional.


(22)

14

Universitas Kristen Maranatha Siswa pada kelas dengan struktur dimana harapan guru disampaikan dengan jelas, menawarkan dukungan dan bantuan melalui informasi mengenai tata penilaian ataupun sistem pembelajaran yang akan diterapkan, dan menyesuaikan strategi pembelajaran. Hal tersebut dapat ditampilkan ketika guru menyampaikan dengan jelas cara pengajaran yang akan dilaksanakan di kelas dan bagaimana proses yang diinginkan selama pembelajaran sehingga siswa mengetahui proses pembelajaran yang akan diikutinya. Selain menciptakan rasa nyaman melalui struktur kelas yang baik, hal tersebut dapat mendorong siswa untuk aktif mengikuti kegiatan di kelas.

Selanjutnya, pada lingkungan kelas yang memiliki dukungan pada siswa dalam memperoleh kemandirian (autonomy support) dimana kelas memberikan kesempatan pada siswa untuk memiliki pilihan, dapat menyampaikan keputusan yang diambil, dan terlepas dari kontrol di luar diri siswa berupa reward dan punishment. Kesempatan bagi siswa untuk memperoleh kemandirian dapat meningkatkan ketertarikan siswa untuk bertahan dalam proses pembelajaran yang mendorong engagement siswa. Lingkungan yang terlalu mengatur siswa dapat mengurangi ketertarikan, keinginan untuk tertantang dalam pembelajaran, dan mengurangi ketekunan siswa sehingga siswa cenderung memiliki engagement yang rendah.

Karakteristik tugas dimana tugas relevan yang diberikan dapat berarti bagi siswa dan mendorong siswa untuk dapat menguasainya. Siswa yang tidak dihadapkan pada tugas yang menantang dan relevan yang dapat diselesaikan hanya dengan mengingat materi namun tidak menggunakan strategi yang


(23)

15

mendalam dan mengurangi ketertarikan siswa untuk memahami materi yang dipelajari sehingga siswa cenderung memiliki engagement yang lebih rendah. Sebaliknya, tugas yang menantang dan relevan dapat meningkatkan engagement siswa di kelas dimana siswa menunjukkan pemahaman yang mendalam dan mengerahkan upaya dan kemampuan dalam menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Menurut Connell (1990 dalam Fredricks, 2004), individu memiliki tiga need yaitu, need for relatedness, need for autonomy, dan need for competence. Needs siswa diasumsikan dapat turut menentukan seberapa engaged atau ketidakpuasan siswa di sekolah. Need for relatedness adalah kebutuhan siswa untuk merasa diterima dan menjadi bagian dari relasi sosial di sekolah. Siswa yang memperoleh dukungan guru dan teman, lingkungan yang membantu ketika siswa membutuhkan mereka, dan guru yang bersedia mengerti siswa dapat membuat siswa menjadi lebih engaged terutama secara emotional dan behavior karena siswa merasa diterima, bernilai, dan merasakan dorongan dari orang lain.

Need for autonomy adalah kebutuhan untuk bertindak melakukan hal-hal berdasarkan alasan pribadi daripada berdasarkan kontrol dari luar diri atau orang lain. Siswa yang memperoleh kesempatan untuk membuat pilihan baik dalam pembelajaran maupun kegiatan sekolah lainnya, kesempatan untuk mengambil keputusan, dan terlepas dari kontrol luar berupa hukuman ataupun reward memungkinkan pemenuhan pada need for autonomynya. Hal tersebut juga membuat siswa menjadi lebih engaged karena siswa akan lebih aktif guna memperoleh kesenangan dalam melakukan kegiatan. Need for competence


(24)

16

Universitas Kristen Maranatha merupakan kebutuhan siswa untuk mencapai pemahaman kognitif dan menguasai materi pembelajaran. Siswa dapat memperoleh pemenuhan need for competence pada lingkungan kelas yang memiliki informasi yang efektif dalam pencapaian keberhasilan di sekolah dan mendorong kemampuan kognitif siswa, seperti pemilihan tugas yang tepat oleh guru sehingga dapat mendorong siswa untuk aktif dalam belajar dan memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai materi yang didasari pemahaman pentingnya menguasai materi. Dengan demikian dapat meningkatkan engagement siswa secara behavior, emotional, dan cognitive dimana siswa akan tertarik untuk aktif dalam belajar guna menguasai materi sehingga dapat mencapai keberhasilan akademik di sekolah.

Menurut Fredricks (2004), school engagement terdiri dari tiga komponen yaitu behavior, emotional, dan cognitive engagement. Siswa dengan derajat school engagement yang tinggi adalah siswa yang sering menunjukkan keterlibatan melalui perilaku, perasaan, dan kognisinya. Dan sebaliknya, siswa dengan derajat school engagement yang rendah adalah siswa yang tergolong jarang menunjukkan keterlibatan melalui perilaku, perasaan, dan kognisinya.

Behavioral engagement mengacu pada usaha yang dicurahkan siswa SMA kelas X melalui perilaku dalam mengikuti pembelajaran dan kegiatan non-akademik. Fredricks et al. (2004) menjelaskan behavioral engagement melalui tiga definisi, definisi pertama adalah perilaku yang positif, seperti mengikuti aturan dan mengikuti norma-norma kelas, serta tidak adanya perilaku mengganggu seperti bolos sekolah dan terlibat dalam masalah disiplin seperti


(25)

17

mengikuti pelajaran, menjaga kebersihan sekolah dan berpakaian serta berperilaku baik di sekolah.

Definisi kedua memperhatikan keterlibatan dalam tugas pembelajaran dan akademik, termasuk perilaku seperti besarnya usaha, ketekunan, konsentrasi, dan perhatian yang diberikan pada kegiatan akademik. Misalnya memperhatikan guru saat menjelaskan di kelas, mengajukan pertanyaan pada guru, ikut berperan dalam diskusi kelas dengan berbagi keputusan dan menyuarakan pendapat, dan menyelesaikan tugas yang diberikan guru.

Definisi ketiga melibatkan partisipasi dalam kegiatan sekolah seperti ekstrakurikuler atau organisasi sekolah dengan terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler kesenian maupun olahraga dengan aktif, membantu memberikan keputusan bagi kegiatan, bersedia mengambil tanggung jawab dalam kegiatan, dan disiplin mengikuti kegiatan yang dipilih.

Sebaliknya, siswa yang engagement rendah, secara behavioral menunjukkan perilaku yang melanggar aturan sekolah seperti membolos, membuat keributan di dalam kelas, tidak menjaga kebersihan sekolah dan kelas, atau melawan guru. Selain itu juga pada siswa yang tidak tekun dalam proses belajar mengajar, seperti tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan melakukan kegiatan lain (menggambar, tidur, berbicara, dan melamun) ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung, serta tidak melibatkan diri dalam kegiatan ekstrakurikuler maupun OSIS.

Emotional engagement mengacu usaha siswa berupa reaksi emosi SMA terhadap guru, teman, akademik, dan sekolah. Siswa yang memiliki engagement


(26)

18

Universitas Kristen Maranatha tinggi sering memiliki dan menunjukkan emosi yang positif seperti ketertarikan dan kebahagiaan dimiliki siswa yang tertarik menghadapi materi pelajaran yang diberikan, senang berada di kelas untuk mengikuti pembelajaran, tertarik dan senang mengikuti kegiatan yang diadakan organisasi maupun ekstrakurikuler, dan senang berelasi dengan teman dan guru. Dengan emosi yang positif maka siswa akan semakin tertarik untuk terlibat dalam kegiatan sekolah yang mendorong siswa dalam menyelesaikan tugas sekolah dan membangun relasi sosial yang luas.

Sebaliknya, siswa dengan engagement rendah, secara emotional sering memiliki emosi yang negatif seperti rasa bosan, cemas maupun sedih yang tampak ketika siswa merasa bosan mengikuti kegiatan di kelas, di organisasi, maupun ketika berhadapan dengan guru, tampak juga pada siswa yang merasa cemas saat menghadapi materi pelajaran, sedih terhadap relasinya dengan teman maupun guru.

Selanjutnya cognitive engagement mengacu pada usaha siswa dalam investasi kognitif dimana terdapat perubahan kognitif dan terdapat strategi belajar yang digunakan baik dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Perubahan kognitif ditunjukkan oleh siswa yang bersedia dan berusaha memahami ide-ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang sulit. Misalnya, siswa berusaha menemukan penyelesaian masalah pada soal pembelajaran dan bersedia dihadapkan pada tugas-tugas sekolah yang sulit dan menantang, berusaha menemukan pemecahan masalah yang dihadapai dan ide-ide dalam membantu perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan yang diadakan organisasi dan ekstrakurikuler.


(27)

19

Pada siswa yang memiliki strategi berpikir dalam usaha belajar ditampilkan dalam kegiatan mengulang pelajaran, merangkum, dan menjabarkan materi guna mengingat, mengatur serta memahami materi pelajaran, dan siswa bersedia ikut merencanakan dan mengevaluasi kegiatan yang diadakan baik di organisasi maupun di ekstrakurikuler. Siswa yang engagement rendah, secara cognitive jarang atau tidak memberikan usaha secara kognitif dan jarang melibatkan strategi dalam belajar. Misalnya, siswa jarang atau tidak berusaha memahami materi.

School engagement yang dimiliki siswa dikaitkan dengan prestasi dan terjadinya putus sekolah (Fredricks et al, 2004). Siswa akan mengerjakan tugas melebihi tuntutan yang diberikan atau memiliki dorongan untuk membahas materi dengan guru sehingga memperoleh pemahaman yang dibutuhkan untuk berhasil dalam bidang akademik. Demikian pada bidang non-akademik, siswa yang lebih engaged melalui partisipasi aktif dan berkontribusi pada kemajuan organisasi maupun ekstrakurikuler dengan mengerahkan usahanya membantu pelaksanaan kegiatan melalui kesediaan waktu dan tenaga atau memberi pendapat dan ide-ide terhadap kegiatan cenderung memperoleh prestasi melalui kompetensi sosial dan keterampilan.

Sebaliknya, siswa yang memiliki school engagement rendah dan menampilkan perilaku seperti tidak mengerjakan tugas, kurang berusaha dalam pembelajaran maupun kegiatan non-akademik di sekolah, tidak memiliki ketertarikan untuk berada di sekolah, tidak berusaha menggunakan kemampuan kognitifnya dan memiliki masalah dengan peraturan sekolah cenderung


(28)

20

Universitas Kristen Maranatha

Siswa kelas X SMA “X”

mengalami tinggal kelas. Penjelasan mengenai school engagement pada siswa SMA dapat dilihat dalam bagan kerangka berpikir.

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Faktor kontekstual:

- School Level Factors

Voluntary choice

Ukuran sekolah

Tujuan yang jelas dan konsisten

Partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah

• Kesempatan staff dan siswa dalam upaya bersama di dalam struktur sekolah

Tugas akademik yang mengembangkan siswa

- Classroom Context

Teacher Support

Peers

Classroom Structure

Autonomy Support

Task Characteristic

Tinggi

School Engagement

Rendah

Individual Needs Need For Autonomy

Need For Relatedness

Need For Competence

Behavioral Engagement Emotional Engagement Cognitive Engagement


(29)

21

1.6 Asumsi

1. School engagement siswa kelas X SMA “X” Bandung meliputi komponen behavioral, emotional, dan cognitive engagement.

2. Siswa kelas X SMA “X” Bandung dipengaruhi oleh individual needs yang terdiri dari need for autonomy, need for relatedness, dan need for competence.

3. Siswa kelas X SMA “X” Bandung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terdiri dari school level factor dan classroom context.

4. Siswa kelas X SMA “X” Bandung memiliki derajat school engagement yang berbeda-beda, yaitu school engagement tinggi dan rendah.


(30)

57

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan data hasil penelitian mengenai school engagement yang dilakukan terhadap 112 siswa kelas X SMA “X” Bandung, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Jumlah siswa kelas X SMA “X” Bandung yang memiliki school engagement yang tinggi dan school engagement yang rendah berimbang.

2. Dari ketiga komponen school engagement, behavioral engagement dan emotional engagement memiliki persentase yang seimbang antara yang tinggi dan rendah. Namun pada cognitive engagement masih lebih banyak siswa yang memiliki cognitive engagement yang tinggi daripada yang rendah.

3. Faktor kesempatan siswa dan guru untuk berupaya bersama dalam struktur sekolah, tugas akademik yang mengembangkan siswa, need for autonomy, dan need for competence menunjukkan adanya keterkaitan dengan school engagement. Sedangkan voluntary choice, ukuran sekolah, tujuan yang jelas dan konsisten, partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah, teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, task characteristic, dan need for relatedness tidak menunjukkan keterkaitan.


(31)

58

5.2 Saran

Berdasarkan data hasil penelitian, maka dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

5.2.1 Saran Teoritis

1. Peneliti yang ingin meneliti school engagement dapat melakukan penelitian mengenai studi kontribusi komponen school engagement terhadap derajat school engagement.

2. Peneliti yang ingin meneliti mengenai school engagement dapat meneliti kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi dengan setiap komponen school engagement sehingga dapat ditemukan kaitan yang lebih spesifik.

3. Peneliti yang ingin meneliti mengenai school enagagement dapat memaparkan hasil data penelitian dalam bentuk profil hasil penelitian.

4. Peneliti yang ingin meneliti mengenai school engagement dapat memperbanyak gambaran umum responden seperti nilai sekolah responden. 5. Peneliti yang ingin meneliti school engagement pada jenjang sekolah

menengah dapat memperbanyak jumlah responden, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang digeneralisasikan pada kelompok sampel yang lebih luas.


(32)

59

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis

1. Informasi mengenai gambaran school engagement siswa kelas X yang diberikan kepada kepala sekolah dan guru BP SMA “X” Bandung dapat dijadikan bahan pertimbangan mengadakan program bagi guru guna meningkatkan wawasan guru mengenai metode mengajar dan membimbing yang optimal untuk mempertahankan ataupun meningkatkan school engagement siswa. Misalnya, meningkatkan metode pengajaran guru melalui aktivitas belajar yang menantang dan menyenangkan sehingga dapat meningkatkan ketertarikan siswa untuk terlibat.

2. Informasi mengenai derajat komponen school engagement yang diberikan kepada kepala sekolah dan guru BP SMA “X” Bandung dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membimbing siswa meningkatkan school engagement. Misalnya, membimbing siswa meningkatkan rasa antusias, ketertarikan, dan kesediaan untuk menghadapi tantangan dalam pembelajaran melalui konseling atau program training.

3. Informasi mengenai gambaran school engagement yang diberikan kepada guru untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi siswa guna meningkatkan school engagement. Dapat dilakukan guru dengan cara menjalin hubungan positif dengan siswa melalui komunikasi dan berbagi pendapat mengenai metode pembelajaran, tugas, dan kegiatan sekolah.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Appleton J.J., Christenson S.L., Furlong M.J. 2008. Psychology in the Schools : Student Engagement With School: Critical Conceptual and Methodological Issues of The Construct. Vol. 45(5), 2008. Wiley Periodicals, Inc.

Christenson S. L., Reschly A. L., & Wylie C. 2012. Handbook of Reseacrh on Student Engagement. New York : Springer.

Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. B., & Paris, A. H. 2004. School Engagement : Potential of the Concept, State of the Evidence. Review of Educational Research. Vol. 74, No. 1 (pp. 59-109).

───────. 2011. Measuring Student Engagement in Upper Elementary

Through High School: A Description of 21 Instrument. Institute of Education Sciences.

Freidenberg, Liza. 1995. Psychological Testing, Design, Analysis, and Use. Boston : Allyn & Bacon.

Gilman. R., Huebner E. S., & Furlong M. J. 2009. Handbook of Positive Psychology in Schools 1st Edition.. New York : Routledge.

Gulo W. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo.

Kaplan R. M & Saccuzzo D. P. 1993. Psychological Testing : Principles, Applications, and Issues Third Edition. California : Cole Publishing Company.

Moore K.A & Lippman L.H. 2005. Conceptualizing and Measuring Indicators of Positive Development (pp. 305-321). New York : Springer.

Nazir, Moh Ph.D. 2003. Metode Penelitian. Surabaya : Ghalia Indonesia. Santrock J.W. 2003. Perkembangan Remaja Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga. Trowler V. 2010. Student Engagement Literature Review. The Higher Education


(34)

61

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Aswani, Yahya. 2009. Kajian Teoritis Prestasi Belajar. (Online).

(http://www.scribd.com/doc/17318020/Prestasi-Belajar-Kajian-Teoritis , diakses 30 September 2012).

Elhida. 2009. Menjadi Manusia Soliter Dalam Samudra Ilmu. (Online).

(http://elhidaakhwat.blogspot.com/2009/04/menjadi-manusia-soliter-dalam-samudra.html?m=1, diakses 2 Juni 2012).

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. B., & Paris, A. H. 2003. School Engagement. Child Trend.

Kemendiknas. 2010. PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan. (Online).

(http://dikdas.kemdiknas.go.id./application/media/file/PP%20No_17%20T ahun%202010%ttg%20PENGELOLAAN%20DAN%20PENYELENGGA RAAN%20PENDIDIKAN.pdf, diakses 1 Juli 2012).

Perwitasari, Lyta. 2012. Mengatasi Budaya Mencontek pada Remaja. (Online). (http://lperwitasari.blogspot.com/2012/06/mengatasi-budaya-mencontek-pada-remaja.html, diakses 4 Mei 2012).

Rustijono, Imanuel. 2011. Kualitas Pendidikan Indonesia dan Permasalahannya. (Online).

(http://imanuelmrustijono.wordpress.com/2011/09/10/kualitas-pendidikan-indonesia-dan-permasalahannya/, diakses 2 Juni 2012).

Sampoerna Foundation. 2012. Selamatkan Remaja dari Putus Sekolah, Save a Teen Rangkul 19 Mitra. (Online).

(http://www.sampoernafoundation.org/?q=id/news/selamatkan-remaja-dari-putus-sekolah-save-teen-rangkul-19-mitra-0, diakses 30 Mei 2013). Tribunnews. 6 Mei 2012. Kesalahan Paradigma Pendidikan di Indonesia.

(Online).

(http://www.tribunnews.com/2012/05/06/kesalahan-paradigma-pendidikan-di-indonesia, diakses 10 Juni 2012).


(1)

21

1.6 Asumsi

1. School engagement siswa kelas X SMA “X” Bandung meliputi

komponen behavioral, emotional, dan cognitive engagement.

2. Siswa kelas X SMA “X” Bandung dipengaruhi oleh individual needs yang terdiri dari need for autonomy, need for relatedness, dan need for competence.

3. Siswa kelas X SMA “X” Bandung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terdiri dari school level factor dan classroom context.

4. Siswa kelas X SMA “X” Bandung memiliki derajat school engagement yang berbeda-beda, yaitu school engagement tinggi dan rendah.


(2)

57

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan data hasil penelitian mengenai school engagement yang dilakukan terhadap 112 siswa kelas X SMA “X” Bandung, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Jumlah siswa kelas X SMA “X” Bandung yang memiliki school engagement yang tinggi dan school engagement yang rendah berimbang.

2. Dari ketiga komponen school engagement, behavioral engagement dan emotional engagement memiliki persentase yang seimbang antara yang tinggi dan rendah. Namun pada cognitive engagement masih lebih banyak siswa yang memiliki cognitive engagement yang tinggi daripada yang rendah.

3. Faktor kesempatan siswa dan guru untuk berupaya bersama dalam struktur sekolah, tugas akademik yang mengembangkan siswa, need for autonomy, dan need for competence menunjukkan adanya keterkaitan dengan school engagement. Sedangkan voluntary choice, ukuran sekolah, tujuan yang jelas dan konsisten, partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah, teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, task characteristic, dan need for relatedness tidak menunjukkan keterkaitan.


(3)

58

5.2 Saran

Berdasarkan data hasil penelitian, maka dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

5.2.1 Saran Teoritis

1. Peneliti yang ingin meneliti school engagement dapat melakukan penelitian mengenai studi kontribusi komponen school engagement terhadap derajat school engagement.

2. Peneliti yang ingin meneliti mengenai school engagement dapat meneliti kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi dengan setiap komponen school engagement sehingga dapat ditemukan kaitan yang lebih spesifik.

3. Peneliti yang ingin meneliti mengenai school enagagement dapat memaparkan hasil data penelitian dalam bentuk profil hasil penelitian.

4. Peneliti yang ingin meneliti mengenai school engagement dapat memperbanyak gambaran umum responden seperti nilai sekolah responden. 5. Peneliti yang ingin meneliti school engagement pada jenjang sekolah

menengah dapat memperbanyak jumlah responden, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang digeneralisasikan pada kelompok sampel yang lebih luas.


(4)

59

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis

1. Informasi mengenai gambaran school engagement siswa kelas X yang diberikan kepada kepala sekolah dan guru BP SMA “X” Bandung dapat dijadikan bahan pertimbangan mengadakan program bagi guru guna meningkatkan wawasan guru mengenai metode mengajar dan membimbing yang optimal untuk mempertahankan ataupun meningkatkan school engagement siswa. Misalnya, meningkatkan metode pengajaran guru melalui aktivitas belajar yang menantang dan menyenangkan sehingga dapat meningkatkan ketertarikan siswa untuk terlibat.

2. Informasi mengenai derajat komponen school engagement yang diberikan kepada kepala sekolah dan guru BP SMA “X” Bandung dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membimbing siswa meningkatkan school engagement. Misalnya, membimbing siswa meningkatkan rasa antusias, ketertarikan, dan kesediaan untuk menghadapi tantangan dalam pembelajaran melalui konseling atau program training.

3. Informasi mengenai gambaran school engagement yang diberikan kepada guru untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi siswa guna meningkatkan school engagement. Dapat dilakukan guru dengan cara menjalin hubungan positif dengan siswa melalui komunikasi dan berbagi pendapat mengenai metode pembelajaran, tugas, dan kegiatan sekolah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Appleton J.J., Christenson S.L., Furlong M.J. 2008. Psychology in the Schools : Student Engagement With School: Critical Conceptual and Methodological Issues of The Construct. Vol. 45(5), 2008. Wiley Periodicals, Inc.

Christenson S. L., Reschly A. L., & Wylie C. 2012. Handbook of Reseacrh on Student Engagement. New York : Springer.

Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. B., & Paris, A. H. 2004. School Engagement : Potential of the Concept, State of the Evidence. Review of Educational Research. Vol. 74, No. 1 (pp. 59-109).

───────. 2011. Measuring Student Engagement in Upper Elementary Through High School: A Description of 21 Instrument. Institute of Education Sciences.

Freidenberg, Liza. 1995. Psychological Testing, Design, Analysis, and Use. Boston : Allyn & Bacon.

Gilman. R., Huebner E. S., & Furlong M. J. 2009. Handbook of Positive Psychology in Schools 1st Edition.. New York : Routledge.

Gulo W. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo.

Kaplan R. M & Saccuzzo D. P. 1993. Psychological Testing : Principles, Applications, and Issues Third Edition. California : Cole Publishing Company.

Moore K.A & Lippman L.H. 2005. Conceptualizing and Measuring Indicators of Positive Development (pp. 305-321). New York : Springer.

Nazir, Moh Ph.D. 2003. Metode Penelitian. Surabaya : Ghalia Indonesia. Santrock J.W. 2003. Perkembangan Remaja Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga. Trowler V. 2010. Student Engagement Literature Review. The Higher Education


(6)

61

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Aswani, Yahya. 2009. Kajian Teoritis Prestasi Belajar. (Online).

(http://www.scribd.com/doc/17318020/Prestasi-Belajar-Kajian-Teoritis , diakses 30 September 2012).

Elhida. 2009. Menjadi Manusia Soliter Dalam Samudra Ilmu. (Online).

(http://elhidaakhwat.blogspot.com/2009/04/menjadi-manusia-soliter-dalam-samudra.html?m=1, diakses 2 Juni 2012).

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. B., & Paris, A. H. 2003. School Engagement. Child Trend.

Kemendiknas. 2010. PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan. (Online).

(http://dikdas.kemdiknas.go.id./application/media/file/PP%20No_17%20T ahun%202010%ttg%20PENGELOLAAN%20DAN%20PENYELENGGA RAAN%20PENDIDIKAN.pdf, diakses 1 Juli 2012).

Perwitasari, Lyta. 2012. Mengatasi Budaya Mencontek pada Remaja. (Online). (http://lperwitasari.blogspot.com/2012/06/mengatasi-budaya-mencontek-pada-remaja.html, diakses 4 Mei 2012).

Rustijono, Imanuel. 2011. Kualitas Pendidikan Indonesia dan Permasalahannya. (Online).

(http://imanuelmrustijono.wordpress.com/2011/09/10/kualitas-pendidikan-indonesia-dan-permasalahannya/, diakses 2 Juni 2012).

Sampoerna Foundation. 2012. Selamatkan Remaja dari Putus Sekolah, Save a Teen Rangkul 19 Mitra. (Online).

(http://www.sampoernafoundation.org/?q=id/news/selamatkan-remaja-dari-putus-sekolah-save-teen-rangkul-19-mitra-0, diakses 30 Mei 2013). Tribunnews. 6 Mei 2012. Kesalahan Paradigma Pendidikan di Indonesia.

(Online).

(http://www.tribunnews.com/2012/05/06/kesalahan-paradigma-pendidikan-di-indonesia, diakses 10 Juni 2012).