Studi Deskriptif Mengenai Komponen-Komponen School Engagement pada Siswa LSP SMA "X" di Bandung.
v
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk memeroleh gambaran mengenai komponen-komponen school engagement pada siswa Life Skill Programme (LSP) SMA “X” di Bandung. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode desktriptif dengan jumlah responden 173 siswa. Alat ukur yang digunakan disusun oleh tim penelitian berdasarkan teori School Engagement dari teori Fredricks,et al (2004) dan terdiri dari 39 item bersifat forced choice.7)
Data hasil penelitian diolah dengan teknik deskriptif. Sebanyak 54,3% responden memiliki behavioral engagement yang engaged dan 45,7% lainnya disengaged. Sebanyak 57,2% responden memiliki emotional engagement yang disengaged dan 42,8% lainnya engaged. Kemudian, sebanyak 56,6% responden memiliki cognitive engagement yang engaged dan 43,4% lainnya disengaged. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara behavioral engagement, emotional engagement and cognitive engagement dengan tugas akademik yang mengembangkan siswa, namun ketiganya tidak memiliki kaitan dengan ukuran sekolah. Kemudian, pilihan sukarela, tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten, kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di sekolah, teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, task characteristic, need for relatedness, need for autonomy,dan need for competence terkait dengan hanya salah satu atau dua komponen.
Berdasarkan penelitian ini, disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk menggunakan teori dan alat ukur terbaru serta melakukan penelitian konstribusi antar faktor yang memengaruhinya. Peneliti juga memberi saran kepada guru-guru yang mengajar, kepala sekolah, guru BK dan siswa LSP sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas dalam kegiatan belajar mengajar, pengembangan program dan evaluasi diri agar siswa lebih berminat untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran di sekolah.
(2)
vi Abstract
This descriptive research conducted with 173 students to obtain an overview of school engagement in Life Skill Programme’s (LSP) students in “X” High School, Bandung. Measurement instrument is made by team research based on Fredricks’ School Engagement theory (2004) which consists of 39 items forced choice.
School Engagement research shows that 54,3% respondents have engaged behavioral engagement, and the rest 45,7% disengaged. 57,2% have disengaged emotional engagement and 42,8 % engaged. Then, 56,6% respondents have engaged cognitive engagement and 43,4% disengaged. Behavioral engagement, emotional engagement and cognitive engagement have tendency relatedness with academic work that allows for the development of products, but those components do not have any relation with school size. Then, voluntary choice, clear and consistent goals, opportunities for staff and students to be involved in cooperative endeavors teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, task characteristic, need for relatedness, need for autonomy,and need for competence have tendency relatedness with only one or two components.
Based on this study, it is suggested for further researchers to using the latest theory and measurement and also conduct research contribution studies among the influence factors. Researcher also give suggestions for teachers, principals, counseling teachers and LSP students as considerations for increasing quality of teaching and learning activities, developing programme and self-evaluation that we hope, more students are interested to be actively involved in the learning process in school.
(3)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR ORISINALITAS ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 4
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 5
(4)
1.3.2 Tujuan Penelitian... 5
1.4 Kegunaan Penelitian ... 5
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 5
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 5
1.5 Kerangka Pikir ... 6
1.6 Asumsi ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18
2.1 School Engagement ... 18
2.1.1 Definisi School Engagement ... 18
2.1.2 Komponen-komponen dalam School Engagement ... 18
2.1.2.1 Behavioral Engagement ... 18
2.1.2.2 Emotional Engagement ... 19
2.1.2.3 Cognitive Engagement ... 19
2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi School Engagement ... 20
2.1.3.1 School-Level Factors ... 20
2.1.3.2 Classroom Context (Konteks Kelas) ... 21
2.1.3.2.1 Teacher Support (Dukungan Guru) ... 21
2.1.3.2.2 Peers (Teman Sebaya) ... 22
2.1.3.2.3 Classroom structure (Struktur Kelas) ... 23
2.1.3.2.4 Autonomy Support (Dukungan Kemandirian) ... 24
(5)
xi
2.1.3.3 Individual needs ... 25
2.1.3.3.1 Need for Relatedness (Kebutuhan Berelasi) ... 25
2.1.3.3.2 Need for Autonomy (Kebutuhan Otonomi) ... 25
2.1.3.3.3 Need for Competence (Kebutuhan Kompetensi) ... 26
2.2 Remaja ... 26
2.2.1 Pengertian Remaja ... 26
2.2.2 Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja ... 27
2.2.2.1 Proses biologis ... 27
2.2.2.2 Proses kognitif ... 27
2.2.2.3 Proses sosial-emosional ... 28
2.2.2.4 Pembagian Masa Remaja ... 28
2.2.2.4.1 Remaja awal ... 28
2.2.2.4.2 Remaja akhir ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30
3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 30
3.2 Bagan dan Prosedur Penelitian ... 30
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 31
3.3.1 Variabel Penelitian ... 31
3.3.2 Definisi Operasional ... 31
3.4 Alat Ukur ... 31
(6)
3.4.2 Data Penunjang ... 33
3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 33
3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 33
3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 34
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 34
3.5.1 Populasi Sasaran ... 34
3.6 Teknik Analisis Data ... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1 Gambaran Responden ... 36
4.1.1 Berdasarkan Jenis kelamin ... 36
4.1.2 Berdasarkan Usia ... 37
4.1.3 Berdasarkan Kelas ... 37
4.2 Gambaran Hasil Penelitian ... 38
4.2.1 Gambaran Komponen-Komponen School engagement ... 38
4.3 Pembahasan ... 39
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 53
5.1 Simpulan ... 53
5.2 Saran ... 54
5.2.1 Saran Teoritis ... 54
(7)
xiii
DAFTAR PUSTAKA ... 56 DAFTAR RUJUKAN ... 57 LAMPIRAN
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Komponen School Engagement ... 32
Tabel 3.2 Kriteria Jawaban Alat Ukur ... 32
Tabel 3.3 Kriteria Validitas ... 33
Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas ... 34
Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36
Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 37
Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Kelas ... 37
(9)
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 16 Bagan 3.1 Bagan Prosedur Penelitian ... 30
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kisi-kisi kuesioner komponen school engagement ... L-1 Lampiran 2 Kisi-kisi alat ukur faktor-faktor yang memengaruhi school engagement... L-4 Lampiran 3 Kuesioner komponen-komponen school engagement ... L-6 Lampiran 4 Profil Sekolah ... L-11 Lampiran 5 Hasil Pengambilan Data ... L-13 Lampiran 6 Hasil Tabulasi Silang ... L-17 Lampiran 7 Biodata Peneliti ... L-33
(11)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa menuju pembangunan negara yang lebih berkualitas. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu bentuk jenjang pendidikan formal di Indonesia adalah sekolah menengah atas (SMA).
SMA “X” merupakan SMA swasta favorit di Kota Bandung yang memfasilitasi
berbagai minat siswa yang beragam. Visi SMA “X” adalah menjadi lembaga pendidikan Kristen unggul dalam iman, ilmu, dan pelayanan. Misinya adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal melalui pendidikan dan pengajaran bermutu berdasarkan nilai-nilai Kristiani. Kekhasan sekolah ini dibandingkan dengan sekolah lain, yaitu memiliki program-program berbeda untuk memersiapkan masa depan siswanya sesuai dengan variasi minat dan potensi mereka. Program yang ada di SMA “X” terdiri atas dua bagian, yakni program reguler (national programme) dan program khusus (special programmes).
Program reguler (national programme) merupakan program sekolah yang menggunakan kurikulum nasional dengan pemilihan jurusan IPA dan IPS. Sedangkan program khusus (special programmes) terdiri atas empat program berbeda yaitu Program Bilingual, Program Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CIBI), Dual Certificate Programme
(12)
(DCP), dan Life Skill Programme (LSP). Penelitian ini berfokus pada siswa yang berada di program khusus LSP.
LSP merupakan program terbaru di SMA”X” yang baru dibentuk tiga tahun silam, yaitu
pada tahun 2012. Program ini menggunakan kurikulum national plus dengan pemilihan jurusan IPA dan IPS. Siswa belajar dalam kurun waktu tiga tahun dan mengikuti Ujian Nasional sebagai ujian kelulusannya. Bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah Bahasa Indonesia. Kekhasan LSP dibandingkan program lainnya adalah selain memelajari mata pelajaran wajib, siswa diberikan kesempatan mengembangkan bakat dan minatnya yang beragam dengan memilih kelas life skill pilihan sebanyak tiga kelas, dan siswa akan menerima sertifikat sebagai tanda kelulusannya.
Mata pelajaran wajib pada LSP yaitu Pendidikan Agama Kristen, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Olahraga (untuk jurusan IPA dan IPS), Fisika, Kimia, dan Biologi (untuk jurusan IPA) serta Sejarah, Sosiologi dan Geografi (untuk jurusan IPS). Siswa juga memelajari empat mata pelajaran secara bergantian setiap minggunya (collaboration
subjects), yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Sunda, Seni Budaya dan Teknik Ilmu
Komunikasi (TIK).
Pilihan kelas life skill yang ada di LSP yaitu kelas Life Skill Architecture, Ilustration &
Entertainment Design, Desain Komunikasi Visual, Fashion Design, Modelling, Photography, Aerobic and Modern Dance, Medical Education, Information Technology, Medical Education, Business & Entrepreneurship, Japanese Language & Culture Photography, Mandarin Language & Culture Photography, Public Speaking, Band, Vocal, Event Organizer, Film Production, Cullinary, Fashion Graphics, dan Commercial Cookery.
Untuk masuk ke dalam kelas life skill yang ada, mereka mengikuti tes seleksi yang meliputi tes kemampuan sesuai pilihannya dan wawancara, yang disesuaikan dengan guru pengajarnya masing-masing. Siswa kelas 10 memelajari mata pelajaran wajib pada hari Senin
(13)
3
sampai Kamis dan mengikuti kelas life skill pada hari Jumat, sedangkan siswa kelas 11 memelajari mata pelajaran wajib pada hari Senin, Selasa, Kamis, Jumat serta mengikuti kelas
life skill pada hari Rabu. Sedangkan kelas 12 tidak dijaring datanya karena sekolah
menghendaki agar mereka mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional dan Ujian Sekolah. Pembagian waktu pelajaran untuk 1 hari di kelas life skill yaitu sebagai berikut : kelas life skill pertama pada pukul 06.30-09.30 (termasuk pembacaan renungan dan doa melalui speaker di kelas masing-masing sekitar 10-15 menit) kemudian istirahat 20 menit. Lalu kelas life skill kedua pada pukul 09.50-12.05, kemudian istirahat 20 menit dan kelas life skill ketiga pada pukul 12.25-14.40.
Siswa-siswi yang memilih kelas LSP memiliki alasan-alasan tertentu, antara lain ialah ingin mengembangkan bakat dan minat, sebagai sarana persiapan saat berkuliah nanti, serta karena pelajaran yang diberikan lebih sedikit daripada program lain; Dengan demikian membuat siswa lebih fokus saat belajar dan lebih santai. Ada juga siswa yang memilih masuk ke LSP karena agar sekelas dengan teman yang mengambil program yang sama.
Dalam kegiatan belajar mengajar, keterlibatan siswa terhadap kegiatan-kegiatan sekolah atau yang dikenal dengan istilah school engagement memiliki peranan penting agar mereka dapat belajar secara aktif, antusias dan memeroleh manfaat pembelajaran dengan maksimal di sekolah. School engagement adalah seberapa besar tindakan siswa melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks, Blummenfeld, Paris, 2004).
Komponen pertama yaitu behavioral engagement, merupakan tindakan siswa yang positif, terlibat aktif dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Komponen kedua yaitu
(14)
dan teman sekelas. Komponen ketiga yaitu cognitive engagement, menekankan pada pembelajaran juga literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri.
Survei awal dilakukan pada 20 orang siswa LSP di kelas 10 dan kelas 11 SMA”X”. Dilihat dari behavioral engagement yang berkenaan dengan keaktifan siswa, sebanyak 65% (13 siswa) mengaku bahwa mereka terlibat aktif ketika belajar di kelas, seperti membantu teman atau guru yang memerlukan bantuan, aktif bertanya, aktif berdiskusi dengan teman, mengerjakan tugas yang diberikan, dan menjawab pertanyaan dari guru. Sedangkan 35% (7 siswa) lainnya mengaku pasif saat pembelajaran berlangsung, seperti malas, jarang bertanya mengenai pelajaran, tidur, atau memainkan alat tulis. Siswa yang engaged secara behavioral mendapatkan kesempatan yang lebih besar dalam pembelajaran seperti dipercaya mengikuti perlombaan dan penilaian yang lebih positif dari gurunya daripada siswa yang disengaged secara behavioral.
Emotional engagement siswa merupakan reaksi emosi siswa terhadap guru, teman,
mata pelajaran dan sekolah, ditemukan beragam. Sebanyak 50% (10 siswa) antusias terhadap sebagian besar mata pelajaran yang ada, sedangkan 50% (10 siswa) lainnya menganggap sebagian besar pelajaran di kelas tidak penting, monoton, dan melelahkan. Siswa yang
engaged secara emotional akan merasa senang dan nyaman ketika belajar di sekolah.
Sedangkan siswa yang disengaged secara emotional akan merasa enggan bersekolah dan membuatnya merasa stres.
Cognitive engagement siswa dilihat dari upaya siswa mencari informasi yang lebih
dalam. Ditemukan bahwa 65% (13 siswa) mencari informasi lebih lanjut mengenai mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Sebaliknya, 35% siswa (7 siswa) lainnya tidak mencari informasi lebih lanjut mengenai mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Hal ini membuat siswa berusaha memahami ide-ide kompleks, menguasai keterampilan yang memerlukan latihan dan menggunakan strategi kognitif untuk menguasai materi pelajaran.
(15)
5
Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti gambaran komponen-komponen
school engagement yang dimiliki siswa LSP SMA “X” di Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Ingin mengetahui bagaimanakah gambaran komponen-komponen school engagement pada siswa LSP SMA “X” di Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Memeroleh gambaran mengenai komponen-komponen school engagement pada siswa
LSP SMA “X” di Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Memeroleh gambaran mengenai derajat komponen-komponen school engagement pada siswa LSP SMA “X” di Bandung yaitu engaged atau disengaged, dan keterkaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis
1. Memberikan informasi bagi bidang Psikologi Pendidikan mengenai komponen-komponen school engagement pada siswa.
2. Memberi masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai komponen-komponen school engagement.
(16)
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada pihak sekolah yaitu kepala sekolah, guru-guru serta guru BK siswa LSP SMA “X” mengenai gambaran komponen-komponen school
engagement siswa LSP, yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengevaluasi
dan merancang metode belajar-mengajar.
2. Memberikan informasi kepada siswa LSP mengenai gambaran komponen-komponen
school engagement mereka untuk evaluasi diri dalam rangka mencapai hasil belajar
yang optimal.
1.5 Kerangka Pemikiran
Siswa SMA merupakan remaja akhir yang pada umumnya berusia 15-18 tahun. Masa remaja adalah masa perkembangan transisi dari masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Proses biologis (biological processes) mencakup perubahan-perubahan dalam fisik individu. Gen yang diwariskan orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi dan berat badan, keterampilan motorik, dan perubahan hormonal pada pubertas, semuanya merefleksikan proses biologis dalam perkembangan remaja. Proses kognitif (cognitive processes) meliputi perubahan dalam pikiran, inteligensi, dan bahasa individu. Proses sosial-emosional
(socio-emotional processes), meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain,
dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran konteks sosial. Proses biologis, kognitif, dan sosial saling terjalin secara erat. (Santrock, 2003).
Salah satu sekolah di Indonesia yang ada di kota Bandung, SMA “X”, merupakan sekolah yang memiliki program-program berbeda untuk memersiapkan masa depan siswa-siswanya. Salah satu program yang memfasilitasi berbagai minat dan bakat siswa adalah Life
(17)
7
yang dikenal dengan istilah school engagement sangat diperlukan agar mereka dapat belajar secara aktif, antusias dan memeroleh manfaat pembelajaran dengan maksimal di sekolah.
School engagement adalah seberapa besar tindakan siswa melibatkan dirinya di dalam
aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks et al., 2004). School engagement secara akademik dapat dilihat dari kegiatan siswa LSP ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas baik mata pelajaran wajib maupun kelas
life skill pilihan mereka, sedangkan secara non-akademik, dapat dilihat ketika siswa LSP
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler serta berpartisipasi pada perlombaan, acara-acara tertentu di sekolah dan OSIS.
Komponen pertama yaitu behavioral engagement, merupakan tingkah laku siswa LSP
SMA “X” yang positif, terlibat dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Siswa LSP
yang engaged secara behavioral akan terlihat pada kontribusi siswa dalam kegiatan kelas seperti tidak membolos, mengikuti setiap pelajaran wajib dan kelas life skill di sekolah, mengikuti kegiatan belajar dengan baik, aktif bertanya kepada guru dan terlibat dalam aktivitas kelas seperti diskusi. Siswa LSP yang disengaged dalam behavioral engagement kurang memerlihatkan kontribusi dalam kegiatan sekolah seperti sering membolos, jarang mengerjakan tugas, kurang berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, lebih sering melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, tidak memerhatikan pelajaran yang diberikan.
Komponen kedua yaitu emotional engagement, mencakup reaksi emosi siswa terhadap sekolah, guru juga teman-teman seperti ketertarikan, kebosanan, kesenangan, dan kecemasan. Siswa LSP yang engaged secara emotional akan memerlihatkan ketertarikan terhadap pelajaran yang diajarkan baik dalam mata pelajaran wajib maupun dalam kelas life skill pilihan mereka, merasa senang dan menyukai teman, guru serta sekolah, antusias dalam kegiatan dan merasa menjadi bagian dari sekolah, serta menganggap sekolahnya itu penting
(18)
(belonging) dan bangga terhadap prestasi sekolahnya (value), siswa juga memiliki hubungan sosial yang baik. Mereka berminat terhadap pelajaran yang diberikan sehingga menikmati pembelajaran di kelas.
Siswa LSP yang disengaged secara emotional kurang memerlihatkan ketertarikan terhadap pelajaran yang diajarkan baik dalam mata pelajaran wajib maupun dalam kelas life
skill pilihan mereka. Mereka akan mudah bosan dalam belajar baik dalam mata pelajaran,
kurang bersemangat, tidak antusias dalam belajar, cemas, takut, sedih ketika bersekolah dan merasa sekolah sebagai beban. Mereka acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi pada guru, teman, kelas maupun sekolahnya.
Komponen ketiga yaitu cognitive engagement, menekankan pada pembelajaran juga literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri. Siswa LSP yang
engaged secara cognitive menghadapi masalah atau kegagalan dengan pikiran yang lebih
optimis, lebih fleksibel dalam mencari pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, menyukai tantangan yang melebihi standar yang telah ditetapkan, mengerahkan kemauannya untuk menguasai lebih banyak pelajaran, mencari strategi belajar yang sesuai dengan dirinya, berupaya yang diperlukan untuk memahami ide-ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang memerlukan latihan serta tidak akan menghiraukan distraksi di sekeliling mereka. Siswa LSP yang disengaged secara cognitive akan menghadapi masalah atau kegagalan dengan pikiran yang pesimis sehingga mudah menyerah, cenderung menghindari tugas yang diberikan, mudah teralihkan ketika belajar, hanya memelajari apa yang diajarkan di kelas tanpa mengusahakan pengetahuan yang lebih dalam.
Ada tiga faktor yang memengaruhi school engagement, yaitu school level factors,
classroom context dan individual need. School level factors terdiri atas pilihan sukarela
(19)
9
ukuran sekolah, tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten, serta usaha kooperatif terhadap sekolah (Fredricks et al., 2004).
School level factors yang pertama, pilihan sukarela (voluntary choice) menyangkut
kebebasan siswa dalam memilih apa yang disukainya. Pilihan sukarela memengaruhi
behavioral, emotional dan cognitive engagement. Pilihan sukarela pada siswa LSP dapat
dilihat ketika mereka memilih mata pelajaran life skill yang diberikan. Siswa LSP memiliki kesempatan memilih tiga mata pelajaran life skill secara sukarela yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Mata pelajaran life skill yang dipelajari sesuai dengan pilihannya pribadi yang membuat mereka belajar dengan antusias dan tanpa paksaan – emotional engagement. Kemudian siswa juga cenderung memiliki keinginan untuk memelajari lebih dari sekedar yang diterangkan di kelas – cognitive engagement. Selain itu, siswa cenderung lebih berpartisipasi dalam memperhatikan dan menjawab pertanyaan dari guru – behavioral
engagement.
School level factors yang kedua, partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan
sekolah menyangkut keikutsertaan siswa dalam menyalurkan pendapat mengenai peraturan sekolah. Dalam penelitian ini, school level factors kedua tidak dijaring datanya karena siswa tidak memiliki kewenangan untuk memberi masukan atau perbaikan terhadap peraturan sekolah. School level factors yang ketiga, tugas akademik yang mengembangkan siswa menyangkut tugas yang mengembangkan kemampuan dan prestasi siswa. Tugas akademik yang mengembangkan siswa memengaruhi komponen behavioral, emotional, dan cognitive
engagement. Siswa LSP mendapatkan tugas akademik yang mengembangkan kemampuannya
untuk berprestasi. Tugas-tugas akademik yang diberikan antara lain tugas sekolah, PR, kuis, presentasi di kelas serta diskusi kelompok.
School level factors yang keempat yaitu ukuran sekolah, menyangkut besar atau
(20)
(Fredricks et al., 2004). Kesempatan siswa untuk berpartisipasi dan mengembangkan hubungan sosial lebih besar di sekolah yang berukuran kecil daripada sekolah yang ukurannya besar (Barker dan Gump, 1964 dalam Fredricks et al., 2004).
Ukuran sekolah yang dihayati kecil cenderung membuat para siswa saling mengenal teman dari berbagai kelas, jurusan maupun angkatan. Hal ini dapat meningkatkan valuing
learning dan belongingness mereka yang berdampak pada emotional engagement mereka.
Selain itu, hal ini dapat meningkatkan behavioral engagement mereka. Sedangkan ukuran sekolah yang dihayati besar cenderung membuat para siswa yang tidak saling mengenal teman dari berbagai kelas, jurusan maupun angkatan. Hal ini dapat menurunkan valuing
learning dan belongingness mereka yang berdampak pada emotional engagement mereka.
Selain itu, hal ini dapat menurunkan skor behavioral engagement mereka.
School level factors yang kelima yaitu tujuan yang jelas dan konsisten menyangkut
peraturan yang ditetapkan oleh pihak sekolah. Natriello (1984) menemukan siswa yang mendapat perilaku kurang adil dalam penerapan aturan yang ada cenderung lebih disengaged secara behavioral. Namun, Finn dan Voelkl menemukan bahwa aturan yang ketat dan penekanan terhadap disiplin tidak berdampak buruk terhadap behavioral engagement (Fredricks et al., 2004). SMA “X” mensosialisasikan peraturan sekolah beserta sanksinya secara lisan dan tertulis. Siswa yang kedapatan melanggar peraturan akan diberi hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Tujuan yang jelas dan konsisten menyangkut peraturan yang ditetapkan oleh SMA ”X” dapat mengurangi resiko siswa LSP disengaged secara behavioral atau tidak berdampak buruk terhadap behavioral engagement.
School level factors yang keenam, kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di
sekolah menyangkut keikutsertaan siswa dalam mendukung usaha yang dikelola sekolah. Subfaktor ini memengaruhi behavioral, emotional dan cognitive engagement. Dalam acara-acara yang diadakan oleh sekolah, siswa memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di
(21)
11
dalamnya. Acara yang memungkinkan siswa turut serta di dalamnya antara lain berpartisipasi dalam persembahan pujian di kebaktian sekolah, perlombaan maupun bazaar.
Classroom context terdiri atas teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, dan task characteristic. Classroom context yang pertama, teacher support
menyangkut dukungan guru terhadap siswa dalam kegiatan belajar. Dukungan guru dapat memengaruhi behavioral, emotional dan cognitive engagement. Dukungan dan perhatian guru berkorelasi dengan berbagai aspek behavioral engagement, termasuk partisipasi yang lebih tinggi dalam pembelajaran dan perilaku mengerjakan tugas, perilaku mengganggu yang lebih rendah, dan kemungkinan yang lebih rendah untuk drop out (putus sekolah). Jika guru hanya berfokus pada akademik, tetapi menciptakan lingkungan sosial yang negatif, siswa akan mengalami emotional disengagement dan lebih khawatir dalam membuat kesalahan. Sebaliknya, jika guru hanya fokus pada dimensi sosial tetapi gagal untuk menghadiri ke dimensi intelektual, siswa secara cognitive akan cenderung kurang engaged dalam pembelajaran (Fredricks et al., 2004).
Dukungan guru LSP di SMA”X” dapat berupa pujian dan bantuan kepada siswa. Guru memberikan pujian ketika siswa LSP mau berusaha dan mampu untuk menyelesaikan tugas atau mendapat prestasi memuaskan. Dukungan dan perhatian guru dapat meningkatkan
behavioral engagement siswa LSP, termasuk partisipasi yang lebih tinggi dalam pembelajaran
dan perilaku mengerjakan tugas, perilaku mengganggu yang lebih rendah, dan kemungkinan yang lebih rendah untuk drop out (putus sekolah). Jika guru hanya berfokus pada akademik, tetapi menciptakan lingkungan sosial yang negatif, siswa LSP akan mengalami emotional
disengagement dan lebih khawatir dalam membuat kesalahan. Sebaliknya, jika guru hanya
fokus pada dimensi sosial tetapi gagal untuk menghadiri ke dimensi intelektual, siswa LSP secara cognitive akan cenderung kurang engaged dalam pembelajaran.
(22)
Classroom context yang kedua, yaitu peers. Peers menyangkut relasi dengan
teman-teman sekelas. Penerimaan teman-teman sebaya pada anak-anak dan remaja berhubungan dengan kepuasan di sekolah, yang merupakan komponen emotional engagement, dan perilaku sosial yang sesuai dan usaha akademik, yang merupakan aspek behavioral engagement (Berndt & Keefe, 1995; Ladd, 1990; Wentzel, 1994 dalam Fredricks et al., 2004). Cognitive engagement meningkat ketika anggota kelas aktif mendiskusikan ide-ide, mendebatkan sudut pandang, dan saling mengkritik tugas mereka. (Guthrie, McGough, Bennett, & Rice, 1996 dalam Fredricks et al., 2004)
Relasi siswa LSP yang baik dengan teman-teman sekelasnya membuat siswa merasa diterima, sehingga menumbuhkan rasa senang dalam belajar di kelas. Hal ini menunjang siswa LSP engaged secara emotional. Relasi yang baik juga membuat siswa bekerja kelompok secara kooperatif serta dapat memberikan atau meminta bantuan kepada teman-teman mereka. Hal ini menunjang siswa LSP engaged secara emotional. Sebaliknya, ketika siswa LSP memiliki relasi yang kurang baik dengan teman sekelasnya, siswa merasa tidak nyaman ketika belajar di kelas, siswa merasa tidak menyukai atau tidak disukai teman-temannya. Hal ini mengakibatkan siswa disengaged secara emotional. Beberapa siswa dengan relasi yang kurang baik berperilaku mengganggu, seperti tidak menghormati guru, berkelahi dengan teman sebaya atau mengejek teman lainnya (Fredricks et al., 2004). Hal ini membuat siswa disengaged secara behavioral. Cognitive engagement siswa SLP dapat meningkat ketika anggota kelas LSP aktif berdiskusi dalam mengerjakan tugas kelompok serta berdebat dalam memberikan pandangan terhadap suatu masalah.
Classroom context yang ketiga, classroom structure menyangkut aturan yang dibuat
oleh guru. Fredricks, Blumenfeld, Friedel, dan Paris (2002 dalam Fredricks et al., 2004) menemukan bahwa persepsi siswa tentang aturan di kelas berkorelasi positif dengan
(23)
13
guru dalam menangani kelas dan membuat siswa LSP patuh serta tidak melakukan tindakan yang mengganggu suasana kelas yang membuat siswa menjadi engaged secara behavioral. Ketika guru memberikan norma dan aturan dalam kelas yang jelas dan efisien bagi siswa LSP, pengaturan kelas baik dan harapan terhadap siswa jelas, dapat mengurangi masalah kedisiplinan, harapan yang jelas akan memengaruhi performa dan tujuan belajar siswa. Persepsi siswa LSP mengenai norma pembelajaran yang jelas di kelas menunjang siswa untuk
engaged secara behavioral, emotional, dan cognitive.
Classroom context yang keempat, autonomy support menyangkut kebebasan yang
diberikan guru bagi siswa untuk menentukan pilihan dan berpendapat di kelas. Konteks yang mendukung kemandiran berpengaruh untuk dapat meningkatkan engagement (Connell, 1990 dalam Fredricks et al., 2004). Ruang kelas yang mendukung kemandirian dikarakteristikkan berdasarkan pilihan, pengambilan keputusan bersama, dan alasan untuk melakukan tugas sekolah atau berperilaku baik bukan karena nilai atau imbalan dan hukuman, melainkan motivasi diri sendiri (Connell, 1990; Deci & Ryan, 1985 dalam Fredricks et al., 2004).
Siswa LSP memiliki kesempatan memilih kelas life skill secara mandiri sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini dapat membuat mereka mengerahkan usaha sebaik mungkin dalam mengerjakan tugas karena mereka menyukai tugas tersebut. Di samping itu, siswa LSP berkesempatan berdiskusi mengenai acara kelas apa yang ingin ditampilkan saat diadakan kegiatan di sekolah. Hal ini membuat siswa merasa dihargai dan dipercaya oleh guru. Hubungan yang positif ini membuat siswa menjadi engaged.
Classroom context yang kelima, task characteristic menyangkut jenis tugas yang
diberikan oleh guru. Tugas-tugas menantang terkait dengan behavioral, emotional, dan
cognitive engagement yang engaged. (Blumenfeld, dalam Pers; Fredricks, 2002; Marks, 2000
dalam Fredricks et al., 2004). Ketika tipe tugas yang diberikan menuntut siswa mengerti dan memahami lebih mendalam, dapat membuat siswa mengasumsikan konsep, mengeksekusi
(24)
dan mengevaluasi tugas juga meningkatkan perilaku belajar yang lebih positif, daripada tugas yang hanya memerlukan menghafal dan mengingat kembali.
Tugas yang sulit yang diberikan guru melatih siswa LSP berpikir dan mencari jalan keluar dalam menyelesaikannya. Hal ini menunjang siswa engaged secara cognitive. Ketika siswa mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang cukup sulit, siswa akan merasa puas. Hal ini menunjang siswa engaged secara emotional. Tugas-tugas yang diberikan ini membuat mereka berpartisipasi dalam belajar, berdiskusi dengan teman ataupun bertanya kepada guru. Hal ini menunjang siswa engaged secara behavioral.
Individual needs terdiri atas need for relatedness, need for autonomy dan need for competence. Need for relatedness menyangkut kebutuhan mereka untuk merasa diterima dan
menjadi bagian dari sekolah. Furrer dan Skinner (2003) dalam Fredricks, et al (2004) menemukan bahwa relatedness dengan guru, orang tua, dan teman sebaya merupakan kontribusi yang unik terhadap emotional engagement, memiliki perasaan positif terhadap relasi yang dimilikinya dan juga memberikan peningkatan positif pada engagement siswa di sekolah.
Need for autonomy menyangkut kebutuhan untuk mandiri, atau keinginan untuk
melakukan sesuatu berdasarkan kehendak pribadi, daripada melakukan sesuatu karena dikendalikan oleh orang lain (Ryan & Connell, 1989 dalam Fredricks et al., 2004). Siswa yang memiliki pilihan sendiri dan mampu mengambil keputusan atau mengeluarkan pendapat tanpa ada paksaan membuat mereka terlibat. Diasumsikan bahwa kebutuhan mandiri kemungkinan besar harus dipenuhi dalam konteks dimana siswa memiliki pilihan, pengambilan keputusan bersama, dan kebebasan relatif dari kontrol eksternal. Ketika siswa LSP memilih kelas life skill berdasarkan keputusan sendiri, SMA “X” membantu memenuhi
(25)
15
Need for competence menyangkut siswa percaya bahwa mereka dapat menentukan
keberhasilan mereka (kontrol keyakinan), dan dapat memahami apa yang diperlukan untuk melakukannya dengan baik (kepercayaan strategi), dan berhasil (keyakinan kapasitas). Ketika
need for competence siswa LSP terpenuhi, mereka akan merasa yakin akan kemampuannya
sendiri dan dapat memutuskan apa yang harus dilakukan atau diperbuat, sehingga membuat mereka menjadi engaged. Ketika kebutuhan individu untuk berkompetensi terpenuhi, mereka percaya bahwa mereka dapat menentukan keberhasilan mereka (kontrol keyakinan), dapat memahami apa yang diperlukan untuk melakukannya dengan baik (kepercayaan strategi), dan berhasil (keyakinan kapasitas) sehingga meningkatkan peran kognitif siswa dalam mencapainya. SMA”X” memfasilitasi need for competence siswa LSP dengan cara memberikan berbagai tugas, Ujian Tengah Semester (UTS) maupun Ujian Akhir Semester (UAS). Selain itu, sebelum masuk kelas life skill, siswa LSP diseleksi terlebih dahulu sehingga ketika siswa diterima dalam kelas life skill, secara tidak langsung mereka dipercaya bahwa mereka mampu memelajari mata pelajaran tersebut.
(26)
Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir
1.6 Asumsi
1. Kesediaan siswa untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sekolah (school engagement) berperan penting dalam optimalisasi belajar siswa.
Siswa LSP SMA “X” di Bandung
Faktor yang memengaruhi :
1. School level factors
a. Pilihan sukarela (voluntary choice)
b. Partisipasi siswa dalam kebijakan dan peraturan sekolah c. Tugas akademik yang mengembangkan siswa
d. Ukuran sekolah
e. Tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten f. Kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di
sekolah
2. Classroom context a. Teacher support b. Peers
c. Classroom structure d. Autonomy support e. Task characteristic 3. Individual needs
a. Need for relatedness b. Need for autonomy c. Need for competence
Emotional Engagement
Behavioral
Engagement Disengaged
Engaged Engaged Disengaged Engaged Disengaged Cognitive Engagement
(27)
17
2. School engagement siswa LSP SMA “X” di Bandung terdiri atas komponen
behavioral, emotional dan cognitive engagement.
3. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi school engagement siswa LSP SMA “X” di Bandung adalah school-level factors, classroom context dan individual needs.
(28)
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini, akan dipaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai komponen school engagement pada siswa LSP SMA “X” Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut :
1. Lebih banyak siswa SMA “X” di Bandung memiliki behavioral engagement yang engaged, emotional engagement yang disengaged, dan cognitive engagement yang engaged.
2. Komponen behavioral engagement memiliki keterkaitan dengan subfaktor voluntary
choice, tugas akademik yang mengembangkan siswa, teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, need for relatedness, need for competence.
3. Komponen emotional engagement memiliki keterkaitan dengan subfaktor tugas akademik yang mengembangkan siswa serta kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di sekolah.
4. Komponen cognitive engagement memiliki keterkaitan dengan subfaktor voluntary
choice, tugas akademik yang mengembangkan siswa, tujuan yang jelas dan konsisten, kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di sekolah, classroom structure, autonomy support, task characteristic, need for relatedness, need for autonomy, need for competence.
(29)
54
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
5.2.1 Saran Teoretis
1. Peneliti lain dapat melihat dan menggunakan teori dan alat ukur mengenai School
Engagement terbaru untuk mendapatkan gambaran mengenai School Engagement yang
lebih disempurnakan.
2. Peneliti lain dapat melakukan penelitian mengenai studi kontribusi faktor-faktor yang memengaruhi school engagement.
5.2.2 Saran Praktis
1. Bagi guru-guru yang mengajar di SMA”X” Bandung, dapat mengetahui gambaran umum mengenai komponen-komponen school engagement siswa LSP SMA ”X” di Bandung sebagai pertimbangan untuk mengembangkan emotional engagement serta mempertahankan behavioral engagement dan cognitive engagement pada siswa LSP. Cara untuk mengembangkan komponen-komponen tersebut dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan siswa memilih jenis tugas yang akan mereka kerjakan secara sukarela, mengaitkan pelajaran dan tugas dengan kehidupan sehari-hari yang membuat siswa lebih mudah memahami materi serta menganggapnya penting untuk dipelajari, memberikan kebebasan pada siswa untuk mengerjakan tugas tertentu dengan pemikiran dan keinginannya, bersabar dengan siswa yang lebih lambat dalam mengerti pelajaran baru, mendukung siswa yang lebih cepat dan memberikan aturan belajar di kelas yang sejalan dengan visi dan misi sekolah, tidak terlalu banyak dan dapat ditaati oleh siswa serta menerapkannya dengan konsisten di kelas.
(30)
2. Bagi kepala sekolah dan guru BK di SMA”X” Bandung, dapat mengetahui gambaran umum mengenai komponen-komponen school engagement siswa LSP sebagai sarana evaluasi program LSP dan pengembangan program ke depannya. Kepala sekolah dan guru BK dapat mengevaluasi mata pelajaran atau kelas life skill apa saja yang kurang diminati oleh siswa, kemudian mencari tahu penyebabnya : apakah karena isi materinya, cara penyampaian materi, atau penyebab lainnya. Setelah diketahui penyebabnya, dapat dilakukan usaha pengembangan, misalnya dengan memberikan informasi dan pelatihan kepada staf pengajar mengenai cara mengemas isi materi atau penyampaian yang lebih menarik perhatian siswa, dan diharapkan siswa lebih berminat untuk mengikuti proses pembelajaran dengan aktif dan antusias di kelas.
3. Bagi siswa LSP, mengetahui gambaran umum mengenai komponen school engagement siswa LSP pada umumnya untuk mengembangkan emotional engagement serta mempertahankan behavioral engagement dan cognitive engagement yang dapat dijadikan evaluasi diri dalam rangka mencapai hasil belajar yang optimal. Siswa dapat mengembangkannya dengan belajar menganggap bahwa pelajaran dan tugas yang diberikan dapat menjadi bekal ilmu dan keterampilan bagi masa depannya yang merupakan suatu keuntungan pribadi, dengan demikian diharapkan siswa antusias dalam kegiatan belajar mengajar dan terdorong untuk memelajari lebih lanjut pelajaran yang telah dibagikan guru di kelas. Siswa juga dapat menggunakan kesempatan yang ada selama belajar di SMA “X” LSP untuk terlibat aktif di kelas seperti datang ke kelas tepat waktu, menjawab pertanyaan dari guru, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, dan mengikuti perlombaan dengan tujuan untuk mengasah keterampilannya yang telah dipelajari di kelas life skill, bukan sekedar karena kewajiban dari sekolah.
(31)
DAFTAR PUSTAKA
Christenson, L. Sandra. And Amy L. Reschly. 2012. Handbook of Research on Student
Engagement. New York: Dordrecht Heidelberg London.
Fredricks, J.A., Phyllis Blumenfeld, Alison H. Paris. 2004. School Engagement: Potential of the
Concept, State of the Evidence (Review of Educational Research : Spring 2014; Vol. 74
No. 1 : ProQuest Psychology Journals pg. 59 - 109).
Friedenberg, Lisa, 1995. Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Boston: Allyn & Bacon.
Kaplan, Robert M. And Dennis P. Saccuzzo. 2008. Psychological Testing: Principal Application
and Issues Seventh Edition. Wadsworth. USA
Nazir, Moh. 2009. Metodologi Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
Prameswari, Irene dan Vida Handayani. 2011. Pengantar Psikologi Perkembangan. Edisi kesatu. Grafika : PT. Danamartha Sejahtera Utama.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Lembaran Negara RI Tahun 2003, nomor 78. Sekertariat Negara. Jakarta.
Santrock, John W. 2003. Adolescence Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabet
(32)
57
DAFTAR RUJUKAN
Denny. 2014. Hubungan antara Persepsi Siswa terhadap Penerapan Student Centered Learning
dan School Engagement di SMA “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha.
Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi-Juli 2015. Bandung: Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha.
Yuniarti, Stevanie Henny. 2014. Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa SMP
(1)
17
2. School engagement siswa LSP SMA “X” di Bandung terdiri atas komponen behavioral, emotional dan cognitive engagement.
3. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi school engagement siswa LSP SMA “X” di Bandung adalah school-level factors, classroom context dan individual needs.
(2)
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini, akan dipaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai komponen school engagement pada siswa LSP SMA “X” Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut :
1. Lebih banyak siswa SMA “X” di Bandung memiliki behavioral engagement yang engaged, emotional engagement yang disengaged, dan cognitive engagement yang engaged.
2. Komponen behavioral engagement memiliki keterkaitan dengan subfaktor voluntary choice, tugas akademik yang mengembangkan siswa, teacher support, peers, classroom structure, autonomy support, need for relatedness, need for competence.
3. Komponen emotional engagement memiliki keterkaitan dengan subfaktor tugas akademik yang mengembangkan siswa serta kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di sekolah.
4. Komponen cognitive engagement memiliki keterkaitan dengan subfaktor voluntary choice, tugas akademik yang mengembangkan siswa, tujuan yang jelas dan konsisten, kesempatan siswa dan staf dalam usaha bersama di sekolah, classroom structure, autonomy support, task characteristic, need for relatedness, need for autonomy, need for competence.
(3)
54
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut :
5.2.1 Saran Teoretis
1. Peneliti lain dapat melihat dan menggunakan teori dan alat ukur mengenai School Engagement terbaru untuk mendapatkan gambaran mengenai School Engagement yang lebih disempurnakan.
2. Peneliti lain dapat melakukan penelitian mengenai studi kontribusi faktor-faktor yang memengaruhi school engagement.
5.2.2 Saran Praktis
1. Bagi guru-guru yang mengajar di SMA”X” Bandung, dapat mengetahui gambaran umum mengenai komponen-komponen school engagement siswa LSP SMA ”X” di Bandung sebagai pertimbangan untuk mengembangkan emotional engagement serta mempertahankan behavioral engagement dan cognitive engagement pada siswa LSP. Cara untuk mengembangkan komponen-komponen tersebut dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan siswa memilih jenis tugas yang akan mereka kerjakan secara sukarela, mengaitkan pelajaran dan tugas dengan kehidupan sehari-hari yang membuat siswa lebih mudah memahami materi serta menganggapnya penting untuk dipelajari, memberikan kebebasan pada siswa untuk mengerjakan tugas tertentu dengan pemikiran dan keinginannya, bersabar dengan siswa yang lebih lambat dalam mengerti pelajaran baru, mendukung siswa yang lebih cepat dan memberikan aturan belajar di kelas yang sejalan dengan visi dan misi sekolah, tidak terlalu banyak dan dapat ditaati oleh siswa serta menerapkannya dengan konsisten di kelas.
(4)
55
2. Bagi kepala sekolah dan guru BK di SMA”X” Bandung, dapat mengetahui gambaran umum mengenai komponen-komponen school engagement siswa LSP sebagai sarana evaluasi program LSP dan pengembangan program ke depannya. Kepala sekolah dan guru BK dapat mengevaluasi mata pelajaran atau kelas life skill apa saja yang kurang diminati oleh siswa, kemudian mencari tahu penyebabnya : apakah karena isi materinya, cara penyampaian materi, atau penyebab lainnya. Setelah diketahui penyebabnya, dapat dilakukan usaha pengembangan, misalnya dengan memberikan informasi dan pelatihan kepada staf pengajar mengenai cara mengemas isi materi atau penyampaian yang lebih menarik perhatian siswa, dan diharapkan siswa lebih berminat untuk mengikuti proses pembelajaran dengan aktif dan antusias di kelas.
3. Bagi siswa LSP, mengetahui gambaran umum mengenai komponen school engagement siswa LSP pada umumnya untuk mengembangkan emotional engagement serta mempertahankan behavioral engagement dan cognitive engagement yang dapat dijadikan evaluasi diri dalam rangka mencapai hasil belajar yang optimal. Siswa dapat mengembangkannya dengan belajar menganggap bahwa pelajaran dan tugas yang diberikan dapat menjadi bekal ilmu dan keterampilan bagi masa depannya yang merupakan suatu keuntungan pribadi, dengan demikian diharapkan siswa antusias dalam kegiatan belajar mengajar dan terdorong untuk memelajari lebih lanjut pelajaran yang telah dibagikan guru di kelas. Siswa juga dapat menggunakan kesempatan yang ada selama belajar di SMA “X” LSP untuk terlibat aktif di kelas seperti datang ke kelas tepat waktu, menjawab pertanyaan dari guru, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, dan mengikuti perlombaan dengan tujuan untuk mengasah keterampilannya yang telah dipelajari di kelas life skill, bukan sekedar karena kewajiban dari sekolah.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Christenson, L. Sandra. And Amy L. Reschly. 2012. Handbook of Research on Student Engagement. New York: Dordrecht Heidelberg London.
Fredricks, J.A., Phyllis Blumenfeld, Alison H. Paris. 2004. School Engagement: Potential of the Concept, State of the Evidence (Review of Educational Research : Spring 2014; Vol. 74 No. 1 : ProQuest Psychology Journals pg. 59 - 109).
Friedenberg, Lisa, 1995. Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Boston: Allyn & Bacon.
Kaplan, Robert M. And Dennis P. Saccuzzo. 2008. Psychological Testing: Principal Application and Issues Seventh Edition. Wadsworth. USA
Nazir, Moh. 2009. Metodologi Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
Prameswari, Irene dan Vida Handayani. 2011. Pengantar Psikologi Perkembangan. Edisi kesatu. Grafika : PT. Danamartha Sejahtera Utama.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara RI Tahun 2003, nomor 78. Sekertariat Negara. Jakarta. Santrock, John W. 2003. Adolescence Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
(6)
DAFTAR RUJUKAN
Denny. 2014. Hubungan antara Persepsi Siswa terhadap Penerapan Student Centered Learning
dan School Engagement di SMA “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha.
Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi-Juli 2015. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Yuniarti, Stevanie Henny. 2014. Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa SMP Kristen di Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.