PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA JAYAPURA DIKAITKAN DENGAN UU NO.23 TAHUN 2004.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
DI KOTA JAYAPURA DIKAITKAN DENGAN UU NO.23
TAHUN 2004
ABSTRAK
Kota Jayapura merupakan ibukota provinsi Papua yang memiliki
tingkat
kekerasan dalam rumah tangga yang cukup tinggi dan
terakumulasi dari tahun ke tahun. 265 suku - suku di papua yang memiliki
sifat dan karakter yang berbeda dan pada umum memiliki temperamen
emosional yang cukup tinggi sebagai akibat dari sistem adat yang masih
sangat kental sehingga berdampak pada keharmonisasian hubungan
dalam suatu ikatan rumah tangga dalam keluarga. Adanya anggapan
kedudukan wanita telah dibeli setelah dibayar dengan maskawin atau
mahar dalam pernikahan oleh pihak laki-laki atas permintaan yang
diajukan oleh keluarga dari pihak mempelai wanita maka wanita tersebut
resmi telah di beli dan telah sah menjadi milik laki-laki yang meminangnya
sehingga wanita bisa diperlakukan semaunya termasuk menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Anggapan seperti inilah yang telah
mendarah daging dalam sistem kebudayan masyarakat adat papua
khususnya kota Jayapura.
Penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah tangga melalui
jalur hukum yang yang berbelit-belit mulai dari proses pelaporan, proses
penyelidikan dan penyidikan serta pengajuan ke pengadilan, dan proses
peradilan di pengadilan membuat tidak banyak korban mengadu kepada
penegak hukum. Masih langkanya women’s crisis centre dan
ketidaktahuan
korban
tentang
lembaga-lembaga
yang
dapat
membantunya mengatasi masalahnya membuat para korban kekerasan
dalam rumah tangga lebih memilih untuk mendiamkan nya.
Sesuai dengan tujuan UU PKDRT NO.23 tahun 2004 yaitu
menciptakan kondisi yang harmonis dlm kehidupan berumah tangga,
maka untuk wilayah papua khususnya kota Jayapura pihak kepolisian,
LSM, dan berbagai lembaga-lembaga soial yang perduli terhadap
kekerasan dalm rumah tangga mencoba Mengakomodir kearifan lokal
yang papua punya yaitu adanya mediasi tiga tungku yakni penyelesaian
persoalan KDRT tidak harus melalui ranah hukum atau litigasi akan tetapi
lebih mengedepankan mediasi keluarga karena tujuannya untuk
keharmonisan rumah tangga.
DALAM RUMAH TANGGA
DI KOTA JAYAPURA DIKAITKAN DENGAN UU NO.23
TAHUN 2004
ABSTRAK
Kota Jayapura merupakan ibukota provinsi Papua yang memiliki
tingkat
kekerasan dalam rumah tangga yang cukup tinggi dan
terakumulasi dari tahun ke tahun. 265 suku - suku di papua yang memiliki
sifat dan karakter yang berbeda dan pada umum memiliki temperamen
emosional yang cukup tinggi sebagai akibat dari sistem adat yang masih
sangat kental sehingga berdampak pada keharmonisasian hubungan
dalam suatu ikatan rumah tangga dalam keluarga. Adanya anggapan
kedudukan wanita telah dibeli setelah dibayar dengan maskawin atau
mahar dalam pernikahan oleh pihak laki-laki atas permintaan yang
diajukan oleh keluarga dari pihak mempelai wanita maka wanita tersebut
resmi telah di beli dan telah sah menjadi milik laki-laki yang meminangnya
sehingga wanita bisa diperlakukan semaunya termasuk menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Anggapan seperti inilah yang telah
mendarah daging dalam sistem kebudayan masyarakat adat papua
khususnya kota Jayapura.
Penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah tangga melalui
jalur hukum yang yang berbelit-belit mulai dari proses pelaporan, proses
penyelidikan dan penyidikan serta pengajuan ke pengadilan, dan proses
peradilan di pengadilan membuat tidak banyak korban mengadu kepada
penegak hukum. Masih langkanya women’s crisis centre dan
ketidaktahuan
korban
tentang
lembaga-lembaga
yang
dapat
membantunya mengatasi masalahnya membuat para korban kekerasan
dalam rumah tangga lebih memilih untuk mendiamkan nya.
Sesuai dengan tujuan UU PKDRT NO.23 tahun 2004 yaitu
menciptakan kondisi yang harmonis dlm kehidupan berumah tangga,
maka untuk wilayah papua khususnya kota Jayapura pihak kepolisian,
LSM, dan berbagai lembaga-lembaga soial yang perduli terhadap
kekerasan dalm rumah tangga mencoba Mengakomodir kearifan lokal
yang papua punya yaitu adanya mediasi tiga tungku yakni penyelesaian
persoalan KDRT tidak harus melalui ranah hukum atau litigasi akan tetapi
lebih mengedepankan mediasi keluarga karena tujuannya untuk
keharmonisan rumah tangga.