TINJAUAN HUKUM MARITAL RAPE DALAM UU PERKAWINAN DAN UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA - Test Repository
TINJAUAN HUKUM MARITAL RAPE DALAM UU
PERKAWINAN DAN UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Aida Berliana Cahyaningrum Arifin
NIM : 21213007
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
MOTTO
٠٤ ٠٤ ٩٣ اَم َّلَّأ َُٰىَزُۡيُ َّ ُثُ إ ِنَٰ َسو ۡلِۡم َسۡيَّم نَأَو ٰ َفَ ۡوَ ۡلۡ أ َءٓإَزَجۡم ٰىَرُي َفۡو َس ۥََُيۡؼ َس َّنَأَو ٰىَؼ َس ِ
ِ
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling
sempurna” – QS. An-Najm (39-41)PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada : ♥ Almamater tercinta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga ♥ Orang tua, kakak dan adik-adikku tersayang ♥ Orang-orang terdekat dan terkasih ♥ Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selaga puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang senantiasa melimpahan rahmat taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM
DALAM UU PERKAWINAN DAN UU NO. 23 TAHUN 2004
MARITAL RAPE TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”.
Solawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak perjuangannya.
Penulis menyadari bahwa selama menimba ilmu dan dalam penyusunan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari beberapa pihak terkait yang telah banyak memberikan arahan bimbingan serta saran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Sukron Ma’mun, S.H.I., M.Si. selaku ketua Jurusan Hokum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
4. M. Yusuf Khummaini, S.Hi.,M.H, selaku dosen pembimbing skripsi maupun dosen pembimbing akademik. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingannya dalam menyelesaikan penulisan skripsi.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, yang telah memberikan ilmu-ilmu yang luas kepada penulis serta kepada staf karyawan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
6. Teristimewa kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai Mama Nur Faizah dan Ayah Zainul Arifin yang sudah menjadi orang tua terbaik bagi penulis yang selalu memberikan kasih sayang, mendoakan dan memberikan segalanya yang terbaik bagi penulis.
7. Kepada kakakku Irma Farida Arifin dan ketiga adikku Sofya Nadya Salma Arifin, Achmad Akbar Pria Rajaby Arifin dan Ilham Ridho Putra Arifin yang selalu memberikan dukungan semangat dan selalu ada untuk penulis.
8. Kepada segenap keluarga Tante Nur Tahlis, Tante Indri, Tante Umi, Om Hamid Syuyuti, Om Nurul dan Om Faizin yang banyak memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan. Dan tak lupa keponakanku Aulia Maulida, Laila Fauziah, Adinda Ziana Walida Anwar, Naufal Uday Muzakka, dan Regan Marzuk yang selalu memberikan keceriannya dan banyak menghibur penulis.
9. Kepada teman terdekat Farikhatul Ulya yang merupakan sosok inspiratif bagi penulis yang sudah memberikan semangat dan dorongan untuk kemajuan penulis dan teman terkasih Danang Wicaksono yang sudah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk penulis, serta teman-teman seperjuangan lainnya mahasiswa jurusan Hukum Keluarga Islam.
Semoga amal kebaikan yang diberikan mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah SWT. Pada akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat khususnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan pengetahuan serta ketajaman analisis yang penulis miliki. Oleh karenanya, koreksi serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh .
Salatiga, 25 September 2017 Penulis,
Aida Berliana Cahyaningrum Arifin
ABSTRAK
Arifin, Aida Berliana Cahyaningrum. 2017. Tinjauan Hukum Marital Rape Dalam UU Perkawinan Dan UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
. Fakultas Syari’ah. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing M. Yusuf Khummaini, S.Hi.,M.H.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kata Kunci : Marital Rape,
Perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Adanya anggapan bahwa akad perkawinan merupakan akad kepemilikan yang menyebabkan seorang laki-laki (suami) memiliki hak penuh atas seorang perempuan (istri). Lemahnya kedudukan istri dan peran dominasi suami membuatnya bisa mempengaruhi dan memaksa terkait dalam hal apapun. Termasuk memaksa dalam berhubungan seksual. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin menjelaskan mengenai bagaimana konsep marital rape dapat terjadi dalam sebuah ikatan perkawinan. Selain itu bagaimana tinjauan hukum marital rape dalam perspektif UU Perkawinan dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library
research). Dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan yuridis
yang peneliti gunakan adalah melihat objek hukum yang berkaitan dengan produk perundang-undangan yaitu UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilai Hukum Islam (KHI), UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun pendekatan normatif dilakukan dengan berdasarkan Al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi yang menjelaskan tentang masalah- masalah yang terjadi dalam rumah tangga. Marital rape diartikan sebagai pemerkosaan yang terjadi dalam sebuah ikatan perkawinan. Disebut sebagai pemerkosaan karena terdapat unsur-unsur pemaksaan, ancaman, kekerasan yang berdampak buruk terhadap istri baik dari segi fisik maupun psikis. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tindakan marital rape bertentangan dengan ketentuan Bab IV mengenai hak dan kewajiban suami istri dan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 77. Bahwasanya hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang, namun dalam tindakan marital rape mencerminkan adanya ekspresi dominasi suami. Sedangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tidak terdapat pasal yang menyinggung secara langsung terkait marital rape, Marital rape termasuk dalam kekerasan seksual dalam pasal 8 poin (a). Sehingga pasal 8 UU No.23 Tahun 2004 dapat dijadikan landasan yuridis untuk menindaklanjuti dijalur hukum. Adapun sanksi pidana berdasarkan ketentuan pidana dalam pasal 46. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 53 marital
rape merupakan delik aduan yang tidak akan memperoleh tindakan hukum tanpa
adanya pengaduan dari korban sendiri.DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING….……………………………………………. ii HALAMAN
PENGESAHAN.……………………………………………………… iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……………………………. iv HALAMAN MOTO…………………………………...……………………………. v HALAMAN PERSEMBAHAN…………………..………………………………… vi KATA PENGANTAR………………………………………………………………. vii x ABSTRAK………………………………………………………………………….. DAFTAR ISI………………………………………………………………………... xi BAB. I : PENDAHULUAN A.
Latarbelakang Masalah……………………………………….. 1
B. Rumusan
6 Masalah.…………………………………………....
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ……………………………. 6
D. Telaah Pustaka………………………………………………... 7
E. Kerangka Teoritik…………………………………………….. 9
F. Metode Penelitian…………………………………………….. 13
G. Sistematika Penulisan ……………………………………….... 15
BAB. II : HUBUNGAN SUAMI ISTRI DALAM UU PERKAWINAN DAN UU NO. 23 TAHUN 2004 A.
Latar Belakang Lahirnya UU Perkawinan…...……..………... 17 B. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam UU Perkawinan…...... 19 C. Relasi Suami Istri Dalam UU Perkawinan…………………… 33
D. Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004…………… 43 E.
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga……..…………. 46 F. Lingkup Rumah Tangga Dalam UU No. 23 Tahun 2004……. 50
BAB. III : MARITAL RAPE SEBAGAI BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Bentuk- Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………... 51
B. Marital Rape Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah
55 Tangga………………………………………………………...
C.
Faktor Penyebab Marital Rape Dalam Rumah Tangga………. 57 D. Dampak Marital Rape…………………………………….….. 59
BAB. IV : ANALISIS TINJAUAN HUKUM MARITAL RAPE
A. Marital Rape Dalam Perspektif UU Perkawinan…………….. 62 B.
Marital Rape Dalam Perspektif UU Nomor 23 Tahun 2004…. 67 BAB. V : PENUTUP A.
Kesimpulan…………………………………………………… 75 B. Saran………………………………………………………….. 76
77 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. LAMPIRAN-
LAMPIRAN………………………………………………………….. 83
BAB. I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perkawinan sejatinya merupakan ikatan luhur antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri dan membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Melalui perkawinan itu pula terjadi sebuah akad yang menghalalkan pergaulan dan merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Adanya anggapan bahwa akad perkawinan merupakan akad kepemilikan yang menyebabkan seorang laki-laki (suami) memiliki hak penuh atas seorang perempuan (istri), termasuk didalamnya adalah hak untuk mendapatkan ketaatan mutlak, pelayanan atas kebutuhan seksual dan kontrol atas seksualitas perempuan. Istri dituntut untuk taat dan patuh dalam melayani kepentingan dan keinginan suami bagaimanapun keadaanya. Jika istri menolak atau tidak melaksanakan maka istri dianggap nusyuz sehingga suami patut untuk memukulnya. Anggapan demikian justru memarginalkan perempuan dan mengesampingkan hak-hak mereka atas tubuhnya sendiri. Bahkan ada sebuah hadist riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa :
٫ ٫ ٫ ٫
ُاللهإ ِضِ َرَةَرْيَرُُ ِبِٔأ ْنَغ ٍمِزاَح ِبَِأ ْنَغ َناَمْيَو ُس ْنَغ ةَبْؼ ُش ْنَغ ِّيِدَػ ِبَِأ ُنْبِٔأ اَيَزَّدَحِرا َّشَب ُنْبُدَّمَحُم اَيَزَّدَح ٫ ٫٫ َُْيَغ َّتََّحْةَكِئ َلَۡلمإَا ْتَْيَؼَم َ ْيَِتَ ْنَأ ْتَبَأَف َِ ِشإَرِف َلَِإ ََُثَإَرْمْإ ُلُجَّرمإاَػَدإَذِٔأ؛َلاَك ََّلَّ َسَو َِْيَوَػ اللهإ َّل َص ِّ ِبَّيمإ ِنَغ
)ربح ٍإور( َحِب ْصُث
Artinya : “Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Ibnu Abi „Adi menceritakan kepada kami dari Syu‟bah dari Sulaiman dan Abi Hazim, dari Abu Hurayrah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu istrinya mengabaikannya hingga membuat suaminya tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi hari.” (Al-Bukhari,
tt: 461) Selain itu bahkan Al-
Qur’an dalam surat An-Nisa’ ayat 34 dijadikan sebagai alasan pembenaran suami melakukan kekerasan terhadap istri. Firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 34:
ٌتَٰ َخٌَِٰ َك ُتَٰ َحِوَٰ َّصم أَف ۡمِِِمََٰوۡمَأ ۡنِم ْإوُلَفهَأ ٓاَمِبَو ٖضۡؼَب ٰ َلََػ ۡمُِ َضۡؼَب َُّللَّ أ َلَّضَف اَمِب ِءٓا َسًِّم أ َلََػ َنوُمََّٰوَك ُلاَجِّرم أ ۡن اَف ََّّۖنُُوُبِ ۡضۡ أَو ِعِجا َضَمۡم أ ِفِ َّنُُو ُرُ ۡهۡ أَو َّنُُو ُظِؼَف َّنَُُزو ُشُو َنوُفاَ َتَ ِتََّٰ َّم أَو َُّللَّ أ َغِفَح ا َمِب ِبۡيَغۡوِّن ٞتَٰ َظِفَٰ َح
ِ
٩٠
إّٗيرِبَك اّّٗيِوَػ َن َكَ َ َّللَّ أ َّنِإ ۗ ًلۡيِب َس َّنِۡيَۡوَػ ْإوُغۡبَث َلَۡف ۡ ُكَُيۡؼَظَأArtinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Lemahnya kedudukan istri dan peran dominasi suami membuatnya bisa mempengaruhi dan memaksa terkait dalam hal apapun. Termasuk memaksa istri dalam melakukan hubungan seksual. Pada prinsipnya dalam hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri) idealnya adalah persetubuhan yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah satu pihak dalam hal ini adalah suami, sehingga hanya pihak suami saja yang dapat menikmati sedangkan istri tidak bahkan malah tersakiti. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar hak istri. (Kurniawan, 2004:11)
Tindak kekerasan terhadap istri merupakan masalah sosial yang serius yang kurang mendapatkan penanganan yang memadai. Karena dianggap persoalan diranah domestik (privat) yang bersifat tertutup dan dirahasiakan dari pandangan publik (Saraswati, 2006:3). Membicarakan persoalan pribadi dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keabsahan baik dari segi tradisi, budaya, sosial, dan ajaran agama. Oleh sebab itu istri lebih memilih bungkam sehingga tindak kekerasan menjadi jarang terungkap. Menurut Moerti Hadiati Soeroso (2012:86) hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu,
1. Hampir dalam semua budaya mengajarkan agar perempuan merahasiakan persoalan keluarga dari orang lain karena hal itu merupakan suatu aib.
2. Budaya menanamkan keyakinan bahwa istri adalah hak milik suami, mahar pada intinya dianggap oleh pihak laki-laki sebagai harga untuk membeli perempuan. Sehingga setelah terjadi pernikahan dianggap telah dibeli dan anggapan wajar bila suami boleh melakukan apa saja terhadap istri.
3. Istri takut mendapat ancaman atau penyiksaan lebih berat bila ia meninggalkan rumah atau menceritakan pada orang lain, terlebih kepada polisi.
4. Istri biasanya masih mencintai suaminya dan berharap kekerasan yang dilakukan hanyalah kekhilafan sesaat yang tidak akan dilakukan lagi.
5. Kekerasan terhadap istri memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat keprivasinya karena persoalannya terjadi di dalam keluarga.
6. Kekerasan terhadap istri sering dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga.
7. Kekerasan terhadap istri terjadi dalam lembaga yang legal yaitu perkawinan.
Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka mengenai persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali hanya dianggap sebagai kejahatan kesusilaan. Pandangan demikian bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam KUHP. Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual berdasarkan pendokumentasian Komnas Perempuan dari pengalaman perempuan terhadap kekerasan terdiri atas 15 jenis yaitu : (1) Perkosaan; (2) Pelecehan seksual; (3) Eksploitasi seksual; (4) Penyiksaan seksual; (5) Perbudakan seksual; (6) Intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; (7) Prostitusi paksa; (8) Pemaksaan kehamilan; (9) Pemaksaan aborsi; (10) Pemaksaan perkawinan; (11) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12) Kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminatif perempuan; (15) Pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi.
Kekerasan seksual dalam rumah tangga dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dikenal dengan istilah Marital rape. Bentuk tindakan
marital rap e tidak hanya dalam bentuk hubungan seksual yang dilakukan
suami secara paksa terhadap istri, tetapi tidak menutup kemungkinan seorang suami pun bisa menjadi korban tindakan marital rape. Namun pada umumnya korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dalam hal ini adalah istri. Istri sebagai pihak yang dirugikan cenderung diam bahkan malu atau tidak berani menceritakan keadaanya kepada orang lain. Dalam kondisi yang demikian akan sangat merugikan korban (istri).
Menurut hukum positif, dalam perkawinan tidak ada yang namanya perkosaan karena perkosaan terjadi disaat terjadi penetrasi dan dapat terjadi terhadap mereka yang tidak terikat dalam perkawinan. Dalam KUHP belum ada pasal yang menyentuh masalah marital rape. Dalam pasal 285 KUHP, pemaksaan terhadap perempuan untuk melakukan hubungan seksual hanya ditujukan pada perempuan yang bukan istri. Pasal 288 KUHP membahas pelanggaran seksual, namun dibatasi dengan umur mempelai perempuan jika umurnya tidak sesuai dengan syarat yang terdapat dalam undang-undang baru dapat dikatakan berindikasi kekerasan. Dengan demikian, pemaksaan hubungan dalam ikatan perkawinan bukan termasuk dalam kategori perkosaan yang diatur dalam KUHP. Jika perkara marital rape diadukan maka akan diproses sebagai perkara penganiayaan dan bukan perkosaan (Tridianto, tt:127).
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut kedalam sebuah skripsi yang berjudul “MARITAL
RAPE SEBAGAI BENTUK EKSPLOITASI DALAM PERKAWINAN
(TINJAUAN HUKUM MARITAL RAPE DALAM UU PERKAWINAN
DAN UU NO.23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA)”.B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka perlu dibatasi dengan masalah yang akan diteliti sehingga pembahasan permasalahan yang akan dibahas tidak keluar dari sasaran yang hendak dicapai. Untuk memperjelas dan mempertegas kajian penelitian pokok masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut, 1.
Bagaimana konsep marital rape sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga ?
2. Bagaimana tinjauan hukum marital rape dalam perspektif UU
Perkawinan? 3. Bagaiamana tinjauan hukum marital rape dalam UU No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? C.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1.
Tujuan a.
Menjelaskan mengenai marital rape sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga diantaranya definisi, faktor dan dampak yang ditumbulkan dari marital rape.
b.
Mendeskripsikan bagaimana tinjauan hukum marital rape dalam perspektif UU Perkawinan.
c.
Mendeskripsikan bagaimana tinjauan hukum marital rape dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2. Kegunaan a.
Memberikan kontribusi bagi kelengkapan khazanah keilmuan hukum Islam, khususnya hukum keluarga islam (Ahwal Al-Syakhshiyyah) dan juga menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
b.
Menambah kepustakaan mengenai tindakan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk marital rape (pemerkosaan dalam perkawinan), sehingga dapat menjadi sebuah wacana serta pemahaman bagi masyarakat mengenai tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk pemerkosaan dalam perkawinan.
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka ini dimaksudkan untuk menyediakan informasi tentang penelitian-penelitian/karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian agar tidak terjadi duplikasi/pengulangan. Di samping itu dapat memberikan rasa percaya diri dalam melakukan penelitian yang penulis lakukan sebab dengan telaah pustaka semua konstruksi yang berhubungan dengan penelitian yang telah tersedia dapat diketahui dan juga informasi yang berhubungan sengan penelitian yang akan dilakukan penulis.
Adapun karya ilimiah yang dimaksud diantaranya buku Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis karya Moerti Hadiati
Soeroso, S.H.,M.H.. Buku ini menerangkan mengenai pemahaman dasar mengenai KDRT dan memberikan berbagai solusi hukum untuk mengatasi masalah seputar KDRT. Namun dalam buku ini tidak secara terperinci menjelaskan mengenai KDRT dalam bentuk marital rape (pemerkosaan dalam perkawinan).
Buku Marital rape: Kekerasan Seksual Terhadap Istri karya Milda Marlia. Buku ini menjelaskan secara lengkap mengenai definisi marital rape, dampak negatif dari marital rape beserta analisis mengenai sejauh mana aturan KUHP dan hukum Islam menanggapinya.
Buku hukum perkawinan I karya Khoirudin Nasution membahas mengenai kajian terhadap perkawinan berdasarkan Al- Qur’an dan Sunnah.
Memuat mengenai landasan yang dijadikan pegangan suami istri untuk mencapai tujuan perkawinan yang semestinya. Namun dalam buku ini belum menjelaskan mengenai bagaimana posisi istri ketika menolak atas paksaan suami untuk melayaninya berhubungan seksual.
Sedangkan skripsi yang pernah membahas diantaranya adalah penelitian dalam bentuk skripsi yang dibuat oleh Farid Kurniawan dengan judul
“Bentuk-Bentuk Hubungan Seksual Terhadap Istri Perpektif UU No.23 Tahun
2004 dan Fiqh Islam”. Skripsi ini hanya menjelaskan mengenai bentuk-
bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri menurut pandangan UU No.23 tahun 2004 dan perspektif fiqh menurut ke-empat para Ulama Madzab (Iman Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i).
Penelitian dalam bentuk skripsi lainnya dibuat oleh Andi Syafi’i Noor Akhmad dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Larangan Pemaksaan Hubungan
Seksual. Dalam skripsi ini secara khusus hanya menganalis pasal 8 UU No.23 Tahun 2004 mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Penelitian dalam bentuk skripsi lainnya dibuat oleh Aulia Puspita dengan judul Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Istri (Studi Komparatif Antara
Hukum Perkawinan Islam Dan UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Meskipun dalam judul terlihat serupa
dengan yang penulis teliti, namun terdapat perbedaan yang terletak pada Hukum Perkawinan Islam yang menggunakan hukum perkawinan berdasarkan konsep fiqih tanpa merujuk pada UU Perkawinan seperti UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berbeda dengan tulisan-tulisan dan skripsi yang ada, penulis ingin memfokuskan pemasalahan tentang bagaimana marital rape dapat dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana tinjauan hukum dalam perspektif UU Perkawinan dan UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengenai marital rape.
E. Kerangka Teoritik
Badriyah Khaleed (2015) dalam bukunya mendefinisikan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Bentuk-bentuk tindak kekerasan yang termasuk dalam kekerasan seksual meliputi:
1. Pengisolasian istri dari kebutuhan batin; 2.
Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau disetujui oleh istri;
3. Pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki, istri sedang sakit atau menstruasi;
4. Memaksa istri menjadi pelacur dan sebagainya.
Perbedaan antara pemerkosaaan di dalam dan di luar perkawinan terletak pada ada tidaknya status perkawinan antara pelaku dan korban. Oleh karena itu bentuk pemerkosaaan di luar perkawinan dapat juga terjadi di dalam perkawinan. Menurut kriminolog Mulyana W. Kusuma sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2011:46) menyebutkan macam- macam bentuk pemerkosaan antara lain:
1. Sadistic Rape, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Dimana pelaku perkosaan menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksnya melainkan serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korbannya.
2. Angea Rape, penganiayaan seksual ini bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan marah yang tertahan. Tubuh korban seakan-akan menjadi objek terhadap siapa yang pelaku proyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3. Dononation Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku
mencoba gigih atas kekuasaan dan superioritasnya terhadap korban dan bertujuannya untuk penakhlukan seksual.
4. Seductive Rape, yaitu suatu perkosaan yang terjadi pada situas-situasi
yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak namun karena alasan teretntu, seperti tidak siap hamil korban tidak menghendaki persetubuhan. Karena adanya penolakan tersebut sehingga terjadi pemaksaan yang dilakukan oleh suami kepada istri.
5. Victim Precipitatied Rape, yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
6. Eksploitation Rape yaitu perkosaan yang menunjukkan bahwa setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa suaminya (marital rape). Secara harfiah marital rape mempunyai komposisi yaitu marital yang berarti berhubungan dengan perkawinan. Rape atau dalam bahasa latin disebut repere yang berarti perkosaan, mencuri, memaksa ataupun merampas. Secara luas perkosaan didefinisikan oleh
Rifka Annisa Women‟s Crisis Center
sebagai segala bentuk pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Sedangkan secara terminologi marital rape didefinisikan sebagai pemaksaan dalam melakukan hubungan seksual yang titik pelanggarannya karena tidak memperhatikan kepuasan istri, karena istri tidak siap dan tidak menghendaki berhubungan seksual atau dengan memakai obat terlarang sebagai perangsang sehingga kebablasan.
Sejatinya marital rape adalah salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang sangat serius yang masuk dalam kategori kekerasan seksual.
Kekerasan dalam pernikahan dapat diartikan sebagai hubungan atau penetrasi yang tidak diinginkan disertai dengan kekerasan, ancaman, atau ketika istri sedang berhalangan. Bentuk dari tindakan marital rape dapat berupa (Hannah, akses pada 27 November 2016) : 1.
Pemaksaan hubungan seksual sesuai selera seksual suami. Istri dipaksa melakukan anal seks, oral seks dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak dikehendaki istri.
2. Pemaksaan hubungan seksual saat istri tertidur.
3. Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupi.
4. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan intim tanpa persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya.
5. Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah seksual.
6. Pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang haid/menstruasi.
7. Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki.
8. Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri seperti memasukkan benda-benda ke dalam vagina istri, mengoleskan balsam ke vagina istri, menggunting rambut kemaluan istri dan bentuk kekerasan fisik lainnya.
Dampak marital rape tidak hanya terjadi dalam jangka temporer (short
term effect)
melainkan berkelanjutan (long term effect). Milda Marlia (2007:24-26) menyebutkan dampak dari marital rape antara lain : 1.
Dampak medis, dapat menimbulkan lecet pada alat kelamin perempuan atau luka fisik lain yang menyakiti. Ini terjadi ketika hubungan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dan suami dalam pengaruh minuman keras atau obat atau suami melakukan kekerasan fisik saat berhubungan intim. Lebih tragis ketika istri akan melakukan proses persalinan, tidak menutup kemungkinan istri akan mengalami kesulitan, bayi lahir prematur bahkan terjadi keguguran.
2. Dampak psikis, dapat menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan atau ketakutan dan trauma untuk berhubungan intim. Pada jenjang yang parah istri akan mengalami ketakutan yang luar biasa sampai merasa terancam oleh lingkungannya. Dalam kasus ini, eksistensi istri terbukti lebih lemah sehingga tidak bisa menolak sebagai objek perkosaan dalam rumah tangga. Secara teoritis ajaran Islam melihat seksualitas perempuan dan laki-laki secara seimbang yaitu sama-sama dihargai sebagai dorongan kebutuhan yang manusiawi. Adanya bias gender dalam pemahaman ajaran berdampak pada penempatan perempuan sebagai objek seksual. Pandangan stereotype yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual menjadi salah satu penyebab tindakan kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah haknya. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasan. Hubungan seks yang dilakukan dibawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan.
Di Indonesia sendiri, penanganan marital rape masih belum serius. Walaupun sudah terdapat undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga yakni UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimana pasal 5 mengatur mengenai larangan tindakan kekerasan seksual (lebih jelasnya kekerasan seksual diatur dalam pasal 8), yaitu pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan. Tetapi nyatanya sangat sulit untuk menegakkan keadilan dalam kasus marital rape.
Sulitnya menegakkan keadilan dalam kasus ini juga disebabkan oleh definisi pemaksaan yang bias. Banyaknya kasus marital rape yang tidak ditangani juga diakibatkan karena minimnya laporan dari korban mengenai pemerkosaan yang mereka alami. Di Indonesia budaya patriarki masih sangat kental, dimana dalam masyarakat masih sering muncul paham dimana istri harus tunduk dan patuh untuk memenuhi permintaan suami dan memuaskan suami.
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penyusun adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang mempunyai objek sumber-sumber tertulis, mencakup buku-buku, jurnal, ensiklopedi dan sumber tertulis lainnya yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas (Kartono, 1996:33).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu menggambarkan dan menguraikan pokok permasalahan yang akan diteliti secara proporsional.
Tidak hanya sekedar menyimpulkan dan menyusun data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi dari data-data yang berhubungan dengan marital
rape .
3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan yuridis yang peneliti gunakan adalah melihat objek hukum yang berkaitan dengan produk perundang-undangan yaitu UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilai Hukum Islam (KHI), UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun pendekatan normatif dilakukan dengan berdasarkan Al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi yang menjelaskan tentang masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga.
4. Sumber Data Oleh karena penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka penulis mengklasifikasikan sumber data menjadi dua yaitu, a.
Sumber Data Primer Data primer atau data tangan pertama adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar, 1997:91). Adapun data primer penelitian ini adalah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KUHP, KUHAP, Deklarasi Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. b.
Sumber Data Sekunder Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitian (Azwar, 1997:93). Diantaranya buku-buku literatur, internet, jurnal ilmiah, arsip, dokumen resmi lembaga-lembaga yang terkait yang memiliki keterkaitan dengan topik yang akan dibahas.
5. Analisis Data
Adapun analisis yang digunakan penulis adalah kualitatif dengan kerangka berfikir induktif, yaitu cara berfikir yang diawali dari prinsip- prinsip khusus kemudian diapikasikan pada peristiwa yang bersifat umum.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian suatu sistem pembahasan dalam suatu karya ilmiah. Kaitannya dengan penulisan ini secara keseluruhan terdiri atas lima bab yang disusun secara sistematuis sebagai berikut,
Bab pertama, yaitu pendahuluan sebagai gambaran tentang pembahasan penelitian ini. Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian serta sistematika penelitian.
Bab dua, mencakup pembahasan mengenai relasi suami istri dalam perkawinan diantaranya dijelaskan mengenai sejarah dibuatnya UU Perkawinan, tentang hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan serta mengenai bagaimana hubungan atau relasi suami istri dalam hukum perkawinan.
Bab tiga, berisi mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Diantaranya mencakup pembahasan mengenai definisi dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu dalam bab ini juga mulai membahas kaitannya dengan marital rape diantaranya definisi dan faktor penyebab dilakukannya marital rape dalam rumah tangga.
Bab empat, mencakup pembahasan mengenai analisis tinjauan hukum dalam perspektif UU Perkawinan dan dalam perspektif UU
marital rape
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Bab lima, dalam bab ini mencakup kesimpulan dari berbagai permasalahan yang telah dibahas sebelumnya disertai dengan saran-saran yang berkaitan dengan topik masalah baik secara langsung maupun tidak langsung yang penyusun dapatkan dari persoalan marital rape terhadap analisis tindakan marital rape yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
BAB. II HUBUNGAN SUAMI ISTRI DALAM UU PERKAWINAN DAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG OENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A.
Latar Belakang Lahirnya UU Perkawinan
Jauh sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan, pemerintah Belanda mengelompokkan warga negara Indonesia menjadi tiga golongan yaitu golongan Eropa, Pribumi, dan Timur Asing. Selama periode penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia bersifat dualistis dan pluralistis. Dikatakan dualistis karena hukum yang berlaku terhadap golongan Eropa atau Timur Asing adalah hukum perdata barat, sedangkan bagi golongan pribumi adalah hukum adat.
Sementara sifat pluralistis, karena dalam hukum perdata beberapa macam hukum yang berbeda yang berlaku bagi orang-orang Eropa, Tionghoa, orang yang beragama Kristen dan bagi perkawinan campuran. Selain itu hukum yang berlaku bagi pribumi dibedakan menjadi dua yaitu bagi WNI asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi dalam hukum adat; dan bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat yang tersebar dalam 19 wilayah hukum adat. Dampak dari kebijakan tersebut adalah masyarakat Indonesia hidup dibawah system hukum yang berbeda. Akibatnya muncul konflik dan kecemburuan antara orang-orang antar golongan dalam masyarakat (Hamsin. Vol 20 No.1 Juni 2013:127).
Bagi suatu negara seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang- undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia (Sudarsono.
1991:6). Sehingga pada tanggal 2 Januari 1974 disahkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penyusunan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan usaha untuk mencapai kesatuan hukum dalam bentuk tertulis.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 suatu undang-undang harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1874 tentang Perkawinan ketentuan mengenai prinsip-prinsip atau asas-asas dalam perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun dasar dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan diantaranya dalam UUD 1945 pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 27 ayat (1) dan pasal 29. Undang-undang no.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal.
Setelah berhasilan dibentuknya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan disusul dengan terbentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Impres No. 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam merupakan unifikasi hukum yang dijadikan sebagai panduan tetap yang menjadi sumber hukum bagi para hakim Peradilan Agama. KHI adalah kumpulan hukum Islam produk pemerintah Indonesia masa orde baru yang isinya diambil dari sejumlah kitab fiqih yang umumnya diambil di abad pertengahan. Materi dalam KHI mencakup mengenai aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Secara keseluruhan KHI terdiri atas 229 pasal dan porsi terbanyak menyangkut hukum perkawinan yaitu 170 pasal.
Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 KHI dikukuhkan sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim dilingkungan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. KHI merupakan respon pemerintah terhadap masalah beragamnya keputusan di Pengadilan Agama dalam kasus yang sama. Hal tersebut merupakan konsekwensi dari beragamnya pandangan fiqih yang menjadi referensi para hakim agama dalam memutus perkara. Sehingga tujuan dari lahirnya KHI adalah untuk penyeragaman sumber hukum (Mulia, 2006:141-142)