Tinjauan hukum Islam terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

(1)

i

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SITI MUTHIA NIM: 107043202231

K

O

N

S

E

N

T

R

A

S

I

P

E

R

B

A

N

D

I

N

G

A

N

H

U

K

U

M

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

ii

TINDAK KEKERASAN PSIKIS DALAM UNDANG-UNDANG

NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : SITI MUTHIA NIM: 107043202231 Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Dedy Nursamsi, SH., M. Hum NIP. 197412132003121002 NIP. 196111011993031002

K

O

N

S

E

N

T

R

A

S

I

P

E

R

B

A

N

D

I

N

G

A

N

H

U

K

U

M

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI'AH

DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1432 H / 2011 M


(3)

iii

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Jakarta, 26 September2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (...) NIP. 196511191998031002

Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (...) NIP. 197412132003121002

Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (...) NIP. 197412132003121002

Pembimbing II: Dedy Nursamsi, SH., M. Hum (...) NIP. 196111011993031002

Penguji I : Dra. Hj.Afidah Wahyuni. M.Ag (...) NIP. 196804081997032002

Penguji II : Drs. H. Ahmad Yani, M.A (...) NIP. 196404121994031004


(4)

iv Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Syawal 1432 H 13 September 2011


(5)

v

Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si NIP. 197412132003121002 Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH., M. Hum

NIP. 196111011993031002

SITI MUTHIA. NIM 107043202231. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembuktian Tindak Kekerasan Psikis Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH), Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1432 H / 2011 M. Isi :

Isi: xii + 90 halaman + 2 lampiran

Penulisan ini untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, yang bertujuan untuk mengetahui putusan hakim dalam memutuskan perkara pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri telah sesuai dengan hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, pengumpulan data melalui studi dokumenter yaitu UU No.23 Tahun 2004 dan buku-buku lain. Adapun teknik analisis data pada penelitian ini adalah analisis kualitatif, analisis data dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola.

Hasil penulisan memperlihatkan bahwa pembuktian tindak kekerasan psikis dalam Pengadilan Agama telah sesuai dengan hukum Islam. Terbukti bahwa alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan sama seperti yang ada dalam hukum Islam. Sedangkan dalam Pengadilan Negeri tidak sesuai dengan hukum Islam, alat bukti keterangan ahli tidak dijadikan alat bukti oleh hakim dalam memutuskan perkaranya.

Kata Kunci: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembuktian Tindak Kekerasan Psikis Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


(6)

vi

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Allhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan umatnya yang selalu membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Syari’ah pada Konsentrasi Perbandingan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan, waktu dan kemampuan penulis dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu saran dan kritik dari segenap pembaca sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Dengan segala kerendahan hati, melalui skripsi ini penulis ingin menyampaikan terimakasih atas bimbingan dan bantuannya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

Muslimin, MA., pembantu dekan bidang Kemahasiswaan.

3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab & Hukum. 4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., dan Dedy Nursamsi, SH., M.Hum.,

selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak memberikan bimbingan, kritik, saran dan telah meluangkan waktunya dalam membimbing dengan penuh kesabaran.

5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.A dan ibu Dra. Hj.Afidah Wahyuni. M.Ag., selaku penguji dalam sidang munaqosah penulis yang telah memberikan kritik, saran, dan penilaian.

6. Segenap bapak dan ibu dosen Program Studi Perbandingan Mazhab & Hukum, khususnya pada konsentrasi Perbandingan Hukum angkatan 2007 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Pimpinan serta seluruh staf karyawan akademik Universitas dan Fakultas Syariah, berikut staf Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah & Hukum.


(8)

viii

yang telah memberikan bantuan dan kerjasamanya kepada penulis.

9. Kedua orang tua tercinta bapak dan ibu, Asmad Effendi dan Romlah yang telah banyak mendoakan dan memberikan dorongan moril maupun materil bagi penulis untuk memberikan yang terbaik dalam penulisan skripsi ini.

10.Kakak Siti Amaliah S.Sos, Muhammad Iqbal Basith S.Kom, Muhammad Iqdam S.Kom, Desi Monavidia S.Kom, Siti Nurlaila Sakinah, Adik Muhammad Adji Akasyah, Ahmad Sulton Naba serta keluarga besar yang telah banyak membantu dan memberikan motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Kak Mansiah, S.Hi., yang telah banyak membantu memberikan doa, semangat, perhatian, dan meluangkan waktunya dalam membimbing kepada penulis.

12.Untuk teman terdekat yang telah banyak membantu memberikan dorongan dan

semangat dalam penulisan skripsi ini Ahmad Nafi’i S.Hi, Miftahul Rohmah,

terima kasih atas segala bantuan, semangat dan waktunya, tidak pernah terlupakan pengorbanan yang kita lakukan bersama sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Marissa, Amalucky Tadzkiroh, Andita Wulandari, Merry Zaimarni, Widya, Rima Indriasari S.E, Fitriah, Yani Suryani, Nurlaela, serta keluarga besar Perbandingan Hukum angkatan 2007.


(9)

ix

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut serta membantu dan mendorong penulis menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan tak lupa penulis mohon maaf bila ada kesalahan dan kekurangan.

Jakarta, 12 Syawal 1432 H 13 September 2011 M


(10)

x

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Review Kajian Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian KDRT ... 14


(11)

xi

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2004

A. Gambaran Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian KDRT ... 41 2. Bentuk - bentuk KDRT ... 44 B. Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian, Bentuk dan Dampak ... 48 2. Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Sanksi Bagi Pelaku ... 51 3. Pengertian Pembuktian Kekerasan Psikis dan Macam-macam Alat

Bukti ... 57 C. Putusan Hakim Terhadap Pembuktian Kekerasan Psikis

1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 62 2. Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen ... 65

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI

A. Putusan Pengadilan Negeri di tinjau dari hukum Islam ... 71 B. Putusan Pengadilan Agama dalam tinjauan hukum Islam ... 76


(12)

xii

tentang pembuktian kekerasan psikis ... 78 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah salah satu proses kehidupan yang harus dilalui oleh setiap manusia, di samping proses kelahiran dan kematian. Pernikahan dilaksanakan karena manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya untuk keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Pernikahan yang sah untuk seorang muslim adalah pernikahan yang dilakukan sesuai dengan hukum Islam, Undang-undang atau norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia.

Dalam Udang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 “perkawinan adalah

ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Isi dari pasal di atas memberikan pemahaman bahwa tujuan dari suatu pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal, sesuai dengan ikatan-ikatan agama, kedua belah pihak haruslah menjunjung tinggi nilai agama dan harus dapat menjalankan sebagaimana mestinya, dan harus dapat juga menjadi suri tauladan yang baik bagi keluarga dan masyarakat.

1

RI. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, cet. I, (Jakarta: Visi Media, 2007), h. 2.


(14)

Tentu tujuan tersebut tidak bisa dicapai begitu saja tanpa ada satu kemauan berarti yang dapat diwujudkan dalam sebuah aturan. Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam memasuki perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui akad nikah (ijab dan kabul) dengan tujuan membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera.2 Dalam KHI pasal 3 perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan wa rahmah.3

Pada hakikatnya, seorang yang melakukan akad pernikahan adalah saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya. Sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan. Islam sendiri menghendaki dicapainya suatu makna rumah tangga yang mulia dari suatu perkawinan atau kehidupan berumah tangga.4Setiap orang yang telah melangsungkan pernikahan pastinya sangat mengharapkan pernikahan itu berjalan dengan baik, mempunyai keturunan dan saling setia sampai akhir hayat yang memisahkan.

Sesudah terjadinya pernikahan, suami isteri mempunyai tanggung jawab dalam membina rumah tangga. Dimana masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kelebihan dari isterinya dan masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda

2Sidi Nazar Bakry “

Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Keluarga yang Sakinah” cet. I, (T.tp., Pedoman Ilmu Jaya, 2001), h. 2.

3

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. V, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2007), h. 114.

4

Abduttawab Haikal Ilyas Ismail Al Sendany, et. Al (pent) “Rahasia Rasullullah Saw, Poligami Dalam Islam Versus Monogamy Barat”, (Jakarta: Pedoman Ilu Jaya, 1988), h. 7.


(15)

dalam membangun rumah tangganya itu, di samping ada yang sama pula.5 Seperti salah satu contoh suami mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah dan memberikan nafkahnya kepada anak dan isterinya, sedangkan isteri berkewajiban mengurus rumah tangga serta anak-anaknya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup di masyarakat, tidak lepas dari perselisihan antara anggota keluarga tersebut terlebih antara suami dan isteri. Keadaan kehidupan berumah tangga yang demikian mengakibatkan pasangan suami isteri yang terikat dalam tali perkawinan tidak bisa mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa dianggap sebagai suatu permasalahan dan bisa menimpa siapa saja termasuk bapak, suami, istri, dan anak.

Kata kekerasan sudah akrab di telinga kita, ditambah lagi dengan banyaknya tindak kekerasan yang terjadi pada reformasi ini, yang semakin bebas diberitakan oleh media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Rumah tangga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari suami dan isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah dengan ataupun tanpa anak. Namun secara umum pengertian KDRT di sini oleh penulis dipersempit artinya hanya penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa dimengerti, karena kebanyakan korban dalam KDRT adalah istri.

5

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, cet. I, (Jakarta: Siraja, 2003), h. 152.


(16)

Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan bahwa memelihara kelestarian kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dalam kehidupan yang harmonis antara suami dan isteri tidak dapat diwujudkan. Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami dan isteri, dapat menimbulkan perselisihan pendapat antara keduanya. Berubah kecenderungan hati pada masing-masing memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokkan, kasih sayang menjadi kebencian. Perselisihan yang terjadi tersebut adalah suatu hal yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan rumah tangga, dimana hal tersebut adalah sesuatu yang wajar selama tidak disertai dengan tindak kekerasan. Biasanya dalam perselisihan tersebut, pihak isteri lebih banyak diam dan mengalah karena status isteri yang harus tunduk dan patuh terhadap suami.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34:

















Artinya: “Maka wanita baik-baik ialah yang taat kepada Allah dan mematuhi suami, serta memelihara rahasia hubungan intim persuami-isterian sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah”.

Allah SWT menciptakan manusia terdiri atas laki-laki dan perempuan, di hadapan Allah SWT laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama, yang membedakan hanyalah bahwa kaum laki-laki adalah seorang pemimpin.


(17)

Contoh dalam kehidupan berumah tangga, dimana laki-laki atau suami mempunyai tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk melindungi isteri dan anaknya. Dalam sebuah rumah tangga suami mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada perempuan, dan tujuan dari berumah tangga adalah saling melaksanakan hak dan kewajiban suami isteri, yang mana kewajiban isteri adalah patuh terhadap suami. Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa isteri haruslah mematuhi suami, karena suami bertanggung jawab memimpin, dan melindunginya dari perkara yang dapat menimbulkan bahaya dan kejahatan. Tetapi pada kenyataannya seorang suami terkadang menyalahartikan kekuasaan dirinya terhadap istri. Suami lebih bersikap semena-mena atas statusnya sebagai suami dan kepala rumah tangga. Hal tersebut dijadikan argumen bahwa isterinya adalah miliknya dan tanggung jawabnya, oleh karena itu isteri harus patuh terhadap suami. Hal ini tentu sangat merugikan pihak isteri. Karena dalam sebuah rumah tangga, suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.

Kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi, seperti kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun kekerasan psikis. Di antara ketiga kekerasan itu, kekerasan secara fisik, ekonomi, dan seksual mudah untuk dibuktikan dengan cara divisum atau dengan cara medis, tetapi kekerasan psikis sulit untuk dibuktikan karena menyangkut perasaan seseorang atau batin seseorang.

Tidak ada yang dapat mengetahui bagaimana perasaan seseorang, jika orang tersebut mengalami kekerasan psikis, hanya orang yang mempunyai


(18)

keahlian khususlah yang dapat mengetahui korban kekerasan psikis. Berbeda dengan kekerasan fisik, yang lebih mudah untuk dibuktikan karena tidak perlu orang yang mempunyai keahlian khusus untuk mengetahuinya, sebab semua orang dapat melihat dan mengetahui korban kekerasan fisik hanya dengan melihat bekas luka seperti memar atau luka lainnya yang membekas di tubuh korban. Kasus yang ada mengenai pembuktian kekerasan psikis, penulis mengambil dua putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Negeri Kepanjen.

Dalam putusan Pengadilan Agama nomor 1167/Pdt.G/2010/PA.JT, dijelaskan bahwa pembuktian tindak kekerasan psikis dapat dilakukan dengan cara mengajukan alat bukti tertulis, baik berupa surat asli maupun berupa photo copy yang bermaterai yang telah dicocokkan dengan aslinya. Seperti photo copy kutipan akte nikah, kartu keluarga, dan surat keterangan dokter dari rumah sakit. Serta menghadirkan bukti saksi-saksi di muka sidang, baik dari pihak keluarga ataupun dari orang yang dipercaya. Sedangkan pada putusan Pengadilan Negeri nomor 1010/Pid.B/2009/PN.Kpj. Pembuktian kekerasan psikis dapat dilakukan dengan cara hanya menghadirkan bukti saksi-saksi yaitu istri (korban), atau keluarga korban, dan keterangan dari terdakwa.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian tentang “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK KEKERASAN PSIKIS DALAM UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”


(19)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, perlu dibatasi masalah yang akan diteliti agar dalam pembahasan ini tidak meluas. Maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga, serta analisis hukum Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama mengenai pembuktian kekerasan psikis dalam rumah tangga.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas penulis agar dalam pembahasan ini tidak meluas, maka penelitian ini penulis terfokus pada pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga.

Rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga?

b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama?


(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam membuktikan tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga.

b. Untuk mengetahui apakah putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama terhadap tindak kekerasan psikis telah sesuai dengan hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

a. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan golongan akademisi pada khususnya dalam memahami tentang masalah pembuktian kekerasan psikis dalam rumah tangga.

b. Bermanfaat bagi penulis guna menambah wawasan dan pemahaman tentang masalah kekerasan psikis dalam rumah tangga.

c. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) program strata satu (S1) pada prodi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum.


(21)

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis. Sedangkan penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

2. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Sumber Data Primer, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan dokumen yang diperlukan dalam hal ini yaitu Al-Quran dan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. b. Sumber Data Sekunder, yaitu data pendukung dan pelengkap data

penelitian yang dapat diperoleh dari literatur-literatur lain yang memiliki relevansi dengan pembahasan skripsi ini, seperti buku-buku, internet, dan referensi lainnya yang mendukung judul skripsi ini.


(22)

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, yaitu proses pengumpulan data yang dilakukan melalui penggunaan bahan dokumen yang diperlukan, dalam hal ini adalah Undang-undang No.23 Tahun 2004 sebagai rujukan utama dan buku pedoman hidup berumah tangga dalam Islam, hukum pembuktian serta buku-bukudan literatur-literatur lain yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. 4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.6 Dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data yang telah diperoleh dan disusun lalu kemudian dideskripsikan.

Sedangkan dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada

“Buku Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh tim penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

6

Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 248.


(23)

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Mengenai masalah yang akan penulis bahas dalam skripsi ini, sebelumnya sudah ada beberapa skripsi terdahulu yang membahas dengan tema yang sedikit mirip dengan apa yang penulis tulis, yaitu sama-sama membahas kekerasan dalam rumah tangga, tetapi penulis lebih memfokuskan masalah KDRT mengenai pembuktian kekerasan psikis.

Pertama, skripsi dari Samsul Mu’min dengan judul, “Kekerasan Dalam

Rumah Tangga Ditinjau Dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Analisa Putusan Perkara 1376/pid. b/2005/PA. Jaksel)”. Penelitian dari skripsi ini difokuskan pada kekerasan dalam rumah tangga dalam pandangan Al- Qur’an, Social Cultural dan kajian jender, sejauh mana peran putusan perkara No. 1376/pid. b/2005/PA. Jakarta Selatan dalam menangani dan mencegah tindakan KDRT dan sudahkah putusan perkara No. 1376/pid. b/2005/PA.Jaksel, di pengadilan Jakarta Selatan sesuai dengan acuannya yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Kedua yaitu, skripsi dari Sopiani dengan judul, “Pandangan Masyarakat Terhadap Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga (Studi Pada Masyarakat Desa Parung Serab, Kec. Ciledug, Tangerang)”.Penelitian dari skripsi ini difokuskan pada hukum kekerasan fisik dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif dan bagaimana pandangan masyarakat Desa Parung Serab, Kec. Ciledug Tangerang terhadap kekerasan fisik yang terjadi dalam rumah tangga.


(24)

Ketiga yaitu, dari Rina Septiani dengan judul skripsi, “Penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PDKRT dalam Kasus Gugat Cerai Dengan Alasan KDRT (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama No. 078/Pdt. G/ 2007/PA. JP)”. Dalam skripsi ini yang dibahas yaitu apa pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara No.078/Pdt. G/ 2007/PA. JP.

Sedangkan yang keempat yaitu dari Dhiaul Fajri dengan judul

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Perceraian”. Penelitian dari skripsi ini difokuskan pada jenis dan pola KDRT bagaimana yang sering muncul dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Tanggamus Lampung dan apa pertimbangan hakim dalam menentukan putusan perceraian dengan alasan KDRT di Pengadilan Agama Tanggamus Lampung. Dari keempat judul skripsi di atas yang membedakan dengan judul yang dibahas penulis adalah mengenai pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga menurut UU KDRT dan hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini ditulis dalam lima bab, dengan penjelasan pada masing-masing bab tersebut. Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.


(25)

Bab II Tinjauan Umum Tentang KDRT Menurut Hukum Islam. Dalam bab ini dibahas tentang pengertian, bentuk-bentuk, faktor penyebab, dan dampak dari KDRT dalam hukum Islam.

Bab III Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU No. 23 Tahun 2004. Dalam bab ini membahas tentang gambaran umum tentang kekerasan dalam rumah tangga, pengertian, bentuk dari KDRT. Kekerasan psikis dalam rumah tangga, pengertian, bentuk, dan dampak. Perlindungan hukum bagi korban KDRT dan Sanksi bagi pelaku. Pengertian pembuktian kekerasan psikis, dan macam-macam alat bukti. Putusan hakim terhadap pembuktian kekerasan psikis, putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen.

Bab IV Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Negeri ditinjau dari hukum Islam, putusan Pengadilan Agama dalam tinjauan hukum Islam, relevansi hukum Islam dan hukum positif tentang pembuktian kekerasan psikis.

Bab V Penutup. Merupakan tahap akhir dari penulisan ini yang berisi kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai akhir, juga terdiri dari saran-saran penulis tentang persoalan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.


(26)

14

TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam

Dalam perkawinan, bersikap aniaya pada salah satu pasangan bukan hanya akan merusak tujuan perkawinan itu sendiri, tetapi juga meruntuhkan fondasi sosial peradaban masyarakat yang dibangun mulai dari sebuah keluarga. Hal yang penting bahwa sikap aniaya merupakan bentuk pengkhianatan seseorang hamba kepada Tuhannya.

Sebagaimana yang tertuang dalam surat At-Tahriim ayat 6:















































66

6

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S. at-Tahriim/66: 6)

Salah satu bentuk aniaya yang masih dialami sebagian besar pasangan perkawinan, khususnya pihak perempuan adalah kekerasan-kekerasan baik fisik maupun psikis. Hal tersebut disebabkan kedudukan relasi yang tidak seimbang


(27)

antara suami isteri.1 Suami beranggapan bahwa dirinya yang paling berkuasa karena kedudukan suami lebih tinggi dari pada isteri, dan suami adalah pemimpin dalam rumah tangga.

Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah)

pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditentukan oleh syariat Islam dan termasuk ke dalam kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela. (al qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara, bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap wanita, dengan anggapan wanita telah menjadi korbannya.2 Bentuk–bentuk kekerasan baik kekerasan fisik atau kekerasan psikis merupakan suatu tindakan yang telah melanggar ketentuan yang telah disyariatkan dalam Islam, jelas sekali mengenai ketentuan hak dan kewajiban suami isteri, yang mana suami seharusnya menjadi pelindung bagi isterinya.

Rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang di dalamnya ditegakkan adab-adab Islam. Baik yang menyangkut individu maupun ke seluruhan anggota rumah tangga. Rumah tangga Islami adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah. Mereka saling berkumpul karena Allah, saling

1

Nasruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, cet. I, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 85-86.

2

Mufidah ch, Penghapusanya Kekerasan TerhadapPerempuan dan Anak Dalam Perspektif


(28)

menasehati, dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang

ma’rufdan mencegah dari yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah. Rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang di dalamnya terdapat

sakinah, mawadah, dan wa rahmah (perasaan tenang, cinta, dan kasih sayang) perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh

anggota merasakan suasana “surga” di dalamnya inilah ciri khas rumah tangga

Islami. Mereka berserikat dalam rumah tangga itu untuk berkhidmat pada aturan Allah SWT. Mereka bergaul dan “ta’abbudiyah” (peribadatan) yang jauh dari dominasi nafsu, bekerja sama di dalamnya untuk saling menguatkan dalam beribadah kepada Nya.3 Bagi calon suami isteri yang akan menikah dan membangun rumah tangga, hendaklah mengetahui lebih dulu apa tujuan dari sebuah pernikahan, agar dalam menjalani sebuah pernikahan itu dapat tercapai tujuan pernikahan.

Pada umumnya setiap orang berumah tangga mereka sama-sama mengimpikan dan mendambakan kebahagiaan seperti yang digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, sering sekali terjadi kebalikannya, timbul percekcokkan dan perbedaan pendapat antara suami istri yang mengakibatkan pertengkaran, kekerasan, bahkan bisa berakhir dengan perceraian.4 Sebenarnya perbedaan pendapat dan percekcokkan dalam berumah tangga itu bisa di hindari oleh suami isteri, dengan cara keduanya saling menghargai, menghormati dan

3

http://www.docstoc.com/docs/37753855/BAB-II-KDRT.

4

Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (keluarga yang sakinah), cet. I, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 1.


(29)

masing-masing dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya.

Untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis haruslah saling menghargai keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri, karena hak dan kewajiban merupakan kunci keberhasilan dalam membangun sebuah rumah tangga. Hak adalah sesuatu yang harus diterima sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik. Begitulah kehidupan antara suami istri dalam setiap rumah tangga.

Oleh karena itu antara suami istri haruslah tahu dan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Kewajiban suami terhadap istri antara lain yaitu: 1. Memperlakukan istri dengan cara yang baik dan bijaksana.

Firman Allah SWT, surat An Nisa ayat 19:





4

19

Artinya: “Dan bergaulah dengan mereka (isterimu) menurut patut (secara

baik)”.

2. Jangan menyakiti istri dan mensia-siakannya, baik jasmani maupun rohaninya. Sabda Rasulullah SAW:


(30)

Artinya: “Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: ”Cukuplah seseorang itu berdosa jika dia menyia-nyiakan orang yang seharusnya dia beri nafkah”.(Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya).5

3. Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan yang ada secara tulus ikhlas, sesuai dengan sabda Rasulullah:

Artinya: “Dari Abu Umamah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

Barang siapa yang memberi nafkah kepada isterinya, anak-ananya, dan keluarganya maka itu adalah sedekah”. (H.R. Thabrani)6

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 7:





















































65

7

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

Sedangkan pelaksanaan kewajiban antara suami dan istri harus seimbang dan sejalan, kewajiban dilaksanakan dan yang hak diterima. Kewajiban istri terhadap suami antara lain adalah sebagai berikut:

5

Syaikh Salim, Syarah Riyadhush Shalihin. Penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M, cet. II, (T.tp, PT. Pustaka Imam asy- Syafi’i, 2005), h. 661.

6


(31)

a. Setia dan patuh kepada suami, baik waktu senang maupun waktu susah, dalam suka dan duka. Firman Allah SWT. Dalam surat An Nisa ayat 34:















4

34

Artinya: “Perempuan-perempuan yang saleh ialah yang taat (patuh), yang memelihara kehormatannya waktu gaib (suaminya tidak ada), sebagaimana Allah telah memeliharakan dirinya.”

b. Berwajah cerah dan simpatik (setia), hindarilah bermuka masam dan sering menggerutu atau suka cemberut.

c. Tidak berpergian tanpa ijin suami, bila ada suatu keperluan untuk berpergian ke luar rumah mintalah ijin kepada suami, untuk menghindari fitnah dan lainnya.

d. Memegang rahasia suami dan rumah tangganya.7 Selain memegang rahasia suami dan rumah tangga, isteri juga harus memelihara dan menjaga harta benda suami dari segalam macam pemborosan. Jadi isteri harus pandai-pandai dalam mengatur kebutuhan rumah tangga.

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan menurut hukum Islam ini paling sulit dideteksi karena umumnya terjadi di lingkungan domestik yang mencakup hubungan perkawinan seperti poligami, kekerasan seksual, talak dan sebagainya. Al-Qur’an sumber hukum Islam memang tidak mencakup seluruh persoalan kekerasan terhadap

7


(32)

perempuan, namun banyaknya ayat yang berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberi perhatian terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Adapun kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga perspektif hukum Islam sebagai berikut:

1. Kekerasan Fisik

Al-Qur’an dan hadist diyakini semua umat Islam sebagai sumber

acuan utama dalam semua tindakan. Kedua sumber tersebut dipelajari dan dikaji di lembaga pendidikan dan lapisan masyarakat sehingga lumrah jika terjadi banyak penafsiran.

Al-Qur’an memberi perhatian bagi istri yang nusyuz hal ini dijadikan

dasar pemikiran Surat An-Nisa ayat 34. Dalam ayat ini yang dijadikan dasar memberi pelajaran bagi istri yang nusyuz yaitu terdapat pada ayat:





























4

34

Artinya: “wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka”.

Dalam hal memukul, janganlah sampai melukai badannya, jauhilah muka dan tempat-tempat lain yang membahayakan, karena tujuan memukul bukanlah untuk menyakiti, tetapi untuk memberi pelajaran (ta’zir). Meskipun surat An-Nisa ayat 34 membolehkan suami memukul istri dalam rangka


(33)

mendidik, akan tetapi tidak asal memukul, melainkan dengan syarat, batasan dan ketentuan, antara lain:

Pertama, ia dilakukan kepada istri ketika nusyuz, yakni durhaka dengan tidak menaati suami dalam batas-batas tertentu. Jika istri belum terbukti nusyuz maka suami belum boleh melakukannya. “Nusyuz” artinya

artinya meninggalkan, contoh nusyuz seorang istri misalnya meninggalkan rumah tanpa seizin suami.

Kedua, setelah sang istri terbukti nusyuz maka tidak otomatis suami langsung boleh memukulnya. Suami terlebih dulu harus melakukan dua tahapan terlebih dahulu yaitu menasihatinya. Jika sang istri adalah muslimah yang shalihah dan dia terbukti nusyuz, maka sebuah nasihat sudah baginya, untuk menyadari kekeliruannya dan mengulangi kesalahannya. Dengan demikian selesailah persoalannya tanpa ada kekerasan.

Ketiga, kalaupun dengan nasihat belum cukup maka masih ada langkah kedua yang mesti dilalui yaitu berpisah darinya di tempat tidur. Pada tahap ini, kalau sang istri adalah muslimah shalihah yang terbukti dia nusyuz, maka dengan sanksi ini dia akan menyadari kesalahannya.

Keempat, kalau tahap-tahap tersebut belum cukup untuk menyadarkan sang istri, maka diperbolehkan melakukan sanksi pemukulan dalam rangka mendidik, memperbaiki, dan meluruskan. Karena tujuannya untuk mendidik, bukan menyakiti, misalnya meninju dengan kepalan tangan hingga terluka berdarah-darah untuk melampiaskan amarah dan dendam kesumat. Memukul


(34)

yang dibolehkan adalah pukulan ghairu mubarrihi, yaitu yang tidak melukai dan tidak mematahkan, tidak melukai daging dan tidak mematahkan tulang. Dan yang terpenting, tidak boleh memukul anggota badan yang diharamkan, misalnya memukul wajah.

Jadi, memukul istri adalah hanya sebuah alternatif terakhir sebagai sarana untuk mendidik seorang istri. Tak ada yang perlu dipersoalkan dari tahapan-tahapan pendidikan terhadap istri pembangkang dalam ayat tersebut.

Islam mengajarkan bahwa kedudukan suami dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga (Qs An-Nisa’ 34) yang salah satu tugasnya adalah mengurus dan mendidik istri. Ketika menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga yang mendidik istri dengan cara yang halus hingga cara pemukulan

yang syar’i, sang suami tidak bisa dihukumi sebagai pelaku KDRT. Karena

ketegasan dalam mendidik dan nahi munkar berbeda kasus maupun konsekuensinya dengan KDRT.8 Maksud dari cara mendidik isteri dengan cara yang halus adalah memberitahu kepadanya dengan kata-kata yang halus, tidak membentak atau berkata-kata kasar kepadanya. Karena isteri mempunyai sifat yang lemah lembut, sehingga jika suami berkata-kata kasar kepada isterinya ditakutkan isteri itu tersinggung atau bahkan menyakiti perasaan isteri tersebut.

8

http://www.voa-islam.com/counter/christology/2011/07/21/15630/alquran-atau-bibel-pemicu-kdrt-menjawab-gugatan-forum-murtadin-kafirun.


(35)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa durhakanya sang isteri (nusyuz) ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya, suami berhak memberi nasihat kepadanya, sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak berpisah tidur dengannya, kalau dia masih durhaka, suami berhak memukulnya.9 Memukul di sini juga tidak boleh asal memukul, tetapi ada tempat yang dibolehkan suami untuk memukul isterinya.

Dalam tafsir al azhar dijelaskan tindakan–tindakan yang patut dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz yaitu dengan cara “maka ajarilah

mereka” beri mereka petunjuk dan pengajaran, ajarilah mereka dengan baik, sadarkan mereka akan kesalahanya. Suami hendaklah menunjukan pimpinan yang tegas dan bijaksana, cara yang kedua yaitu dengan cara “pisahkan

mereka dari tempat tidur” Kerapkali istri menjadi hilang kesombongannya karena pengajaran demikian. Tetapi ada pula perempuan yang harus dihadapi dengan cara yang lebih kasar, maka pakailah cara yang ketiga “dan pukulah

mereka” tentu saja cara yang ketiga ini hanya dilakukan kepada perempuan yang sudah memang patut dipukul.10 Di dalam tafsir itu dijelaskan tahap-tahap atau cara yang memang patut dilakukan suami dengan tujuan mendidik isteri.

Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, dijelaskan bahwa pemukulan yang

dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, dan juga harus disertai dengan rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang

9

M.A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 186-187.

10


(36)

ayah terhadap anak-anaknya, dan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Semua tindakan itu boleh dilakukan kalau kedua belah pihak berada dalam kondisi harmonis. Tindakan itu hanya boleh dilakukan untuk menghadapi ancaman kerusakkan dan keretakkan, karenanya tindakan seperti pemukulan terhadap isteri tidak boleh dilakukan kecuali kalau terjadi kesalahan yang hanya dapat diselesaikan dengan cara tersebut.11 Dari kesalah pemahaman surat An-Nisa inilah banyak suami yang melakukan kekerasan terhadap istri dalam segala bentuknya.

Sebagian Ulama menafsirkan al-Qur’an tentang pemukulan ini.

Pertama, pemukulan tidak boleh diarahkan ke wajah, kedua, pemukulan tidak boleh sampai melukai, dianjurkan dengan benda yang paling ringan, seperti sapu tangan. Ketiga pemukulan dilakukan dalam rangka mendidik. Keempat,

pemukulan dilakukan dalam rangka sepanjang memberikan efek bagi keutuhan dan keharmonisan kembali relasi suami istri.12

Nabi Muhammad melarang seseorang melakukan kekejaman dan penyiksaan. Rasulullah SAW bersabda:

13

11

Sayyid Quth, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 244.

12

Husen Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, cet. I, (Yogjakarta: Lkis, 2004), h. 242.


(37)

Artinya: “Dari Abdur Rohman Abdillah bin Mas’ud dari ayahnya berkata :

Rasulullah SAW bersabda : Tidak seorangpun boleh dijatuhi hukuman dengan Api”. (H.R. Ibnu Abi Saibah)

Dalam hukum pidana, beberapa hukuman mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Hukuman berat diancam bagi beberapa kejahatan seperti perzinaan. Islam memandang kejahatan tersebut adalah perbuatan yang keji dan konsekuensinya sangat menyakitkan. Contoh lainnya adalah pencurian yang dikatagorikan dalam hukuman hudud, hukuman bagi kejahatan ini adalah potong tangan.14

2. Kekerasan Psikis

Selain kekerasan fisik Islam juga memperhatikan kekerasan psikis, sebagaimana kisah Khaulah binti Tsalabah mengadu kepada Rasulullah karena selalu dicaci maki oleh suaminya Aus bin Samit, Khaulah seorang muslimah yang taat beribadah dan taat pada suami. Sehingga walaupun dicaci ia tetap bersabar, tetapi pada suatu hari hilanglah kesabarannya karena dizhihar suaminya, lantaran marah hanya karena pulang tidak ada makanan. Malam harinya Khaulah menolak dicampuri suaminya. Peristiwa ini diajukan pada Rasulullah lalu turunlah surat al Mujadah ayat 1-6 tentang zhihar ayat ini mengandung makna agar para suami tidak mudah menzhihar istrinya.15

Ada sebuah hadist yang menjelaskan apabila seseorang telah mengilla

istrinya, mereka harus membayar kafarah ketika ia akan mengauli istrinya.

14

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 73.

15

Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Praktis; Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga, cet. I, (T.tp., STAIN Press, 2006), h. 111.


(38)

:

Artinya: Dari Aisyah ra. Mengatakan “Rasulullah SAW bersumpah illa’

terhadap istri-istrinya dan mengharamkan mereka, kemudian menjadikan yang haram menjadi halal dan menyebar kafarah tebusan sumpahnya”. (HR. Tirmidzi)

Dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa illa’ itu merupakan sumpah suami terhadap istrinya bahwa dia tidak akan menggauli istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan masa. Apabila seorang suami bersumpah sebagai sumpah yang tersebut itu, hendaklah ditunggu sampai 4 bulan. Kalau dia kembali baik, kepada isterinya sebelum 4 bulan, maka suami diwajibkan membayar dengan kafarat saja. Tetapi kalau sampai 4 bulan suami tidak kembali baik dengan isterinya, maka hakim berhak menyuruh memilih diantara dua perkara: membayar kafarat serta kembali baik kepada isterinya, atau menthalaq isterinya. Jika suami tetap tidak mau menjalankan salah satu dari pekara tersebut, maka hakim berhak menceraikan isterinya dengan paksa.

Para ulama sepakat ketika suami mengilla istrinya selama 4 bulan berturut-turut maka tidak boleh menjima istrinya. Suami ketika akan menjima’ istrinya lagi ia harus membayar kifarat yaitu memerdekakan budak jika ada. Apabila tidak menemukan budak, maka puasa dua bulan berturut-turut,


(39)

apabila tidak mampu, maka memberi makan 60 orang miskin.16Dalam hal ini suami haruslah menyadari perkataannya, agar tidak sembarang mengucap untuk tidak menggauli isterinya.

Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa antara perempuan dan laki-laki itu sama atau setara misalnya tentang kesempatan mendapatkan pahala, hubungan perempuan dengan laki-laki dan juga kerabatnya. Dalam hal memilih pasangan hidup, Islam memberi hak bagi perempuan untuk memilih pasangannya. Semula hak itu ditentukan oleh wali, setelah Islam datang tuntutan Islam anak gadis yang akan dinikahkan, diajak bicara dan ikut menentukan pilihannya.

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan ini adalah pemaksaan aktivitas seksual oleh satu pihak terhadap pihak lain, suami terhadap istri atau sebaiknya yang biasa disebut dengan marital rape. Dengan demikian marital rape merupakan tindak kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk melakukan aktifitas seksual tanpa pertimbangan kondisi istri.17 Dalam berhubunggan suami isteri, suami tidak boleh melakukan pemaksaan atau bahkan sampai melakukan kekerasan terhadap isterinya, karena akan mengakibatkan penyiksaan terhadap isteri.

16

Ibnu Hajar al Asqolani, Bulughul Maram, (Semarang: PT. Toha Putra), T.th), h. 237.

17

Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, cet. I, (Yogjakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2007), h. 11.


(40)

Bentuk-bentuk marital rape dapat berupa hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri dalam bentuk fisik dan psikis, hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri, misalnya dengan oral atau anal. Hubungan seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat.18 Salah satu contohnya seperti memaksakan isteri untuk bergaul pada saat isteri dalam keadaan haid.

Terkait dengan masalah suami istri, ada beberapa statemen al-Qur’an yang bisa dikemukakan di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 187 yaitu:













2

187

Artinya: “Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”

Ayat lain juga menyatakan bahwa suami harus menggauli istrinya dengan cara yang ma’ruf, ma’rufdi sini berati suami haruslah memperlakukan isteri tidak seperti budak belian, bersikap kasar tanpa memperhatikan dan menghargai hak dari seorang isteri, karena dalam hubungan suami isteri, isteri juga mempunyai hak untuk menolak apabila isteri dalam keadaan sakit atau karena alasan lain yang menyebabkan isteri itu tidak dapat menerima ajakan suami. Suami tidak boleh memaksakan isteri untuk bergaul, ini tentunya tidak diperbolehkan adanya kekerasan baik pemukulan, penganiayaan dan lain sebagainya. Al Syirazi mengatakan meskipun pada dasarnya istri wajib

18


(41)

melayani permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang untuk melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya, dan bagi istri yang sedang sakit atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang. Jika suami tetap memaksa pada hakekatnya ia telah melanggar prinsip muasyaroh bil ma’ruf dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi.19 Jadi dalam hubungan suami isteri, suami memang harus menghargai isteri apakah isteri mau untuk diajak bergaul atau tidak. Agar kedua belah pihak tidak ada yang merasa di rugikan.

Ulama Mazhab memandang „azl (coitus interruptus) yakni menarik kemaluan laki-laki keluar dari kemaluan wanita pada saat-saat mau keluar mani. Tiga dari empat Mazhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali sepakat bahwa azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri. Umar berkata:

.

Artinya: “Dan dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata: Rasulullah SAW

melarang azl terhadap perempuan merdeka kecuali dengan izinnya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)20

19

Masdar F. Ma’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. II, (Bandung : PT. Mizan Hazanah Ilmu-ilmu Islam, 1997), h. 113.

20Mu’ammal Hamidy, dkk,

Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum, cet. III, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), h. 2275-2276.


(42)

Sejalan dengan prinsip melindungi hak istri untuk menikmati hubungan seksnya. Dengan merujuk pada hadits di atas jelas bagi kita bahwa dalam hubungan seks dan justru pada detik-detik kenikmatannya istri sama sekali bukan hanya objek tapi juga menjadi subjek.21 Yang mana dalam berhubungan suami isteri, pada saat melakukan azl, suami harus bisa mengerti isteri atau dengan cara komunikasi, agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan kenikmatan. Dari sini jelaslah perspektif al-Qur’an melarang adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau marital rape, ia bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang seksualitas dalam perkawinan.

4. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi ialah apabila suami tidak memberi nafkah, perawatan atau pemeliharaan sesuai dengan hukum yang berlaku atau perjanjian antara suami dan istri tersebut. Selain itu juga yang termasuk dalam katagori penelantaran ekonomi adalah membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali orang tersebut. Islam mengatur secara jelas melalui pengalaman-pengalaman masa kenabian Muhammad, jelaslah bahwa Islam tidak menoleransi penelantaran dan kekerasan dari segi ekonomi.

Islam menetapkan kewajiban nafkah kepada istri, karena itu seorang suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya telah berdosa kepada


(43)

istrinya dan Tuhan. Para istri yang menuntut suami untuk membelikan keperluan-keperluan pokok yang menjadi tanggung jawab suami harus benar-benar dipertimbangkan apakah menurut ajaran agama sesuatu yang dimintanya itu merupakan pemborosan ataukah benar-benar menjadi tanggung jawab suami, seperti keperluan makan dan minum, pakaian, pengobatan serta pemeliharaan kesehatan. Seorang istri juga hendaknya mempertimbangkan hal-hal yang akan diminta kepada suaminya, sehingga tidak membebani dengan tuntutan diluar kewajibannya.22Isteri tidak boleh menuntut kepada suami, isteri haruslah mengerti kemampuan suami agar tidak menjadi beban bagi suami.

Adapun dasar kewajiban suami menafkahi istri tersebut dalam firman Allah Q.S. Al Baqarah ayat 233:

































2

233

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyususan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”.

Dari beberapa paparan di atas jelas sekali bahwa Islam benar-benar telah melarang bertindak kekerasan terhadap istri, termasuk juga penelantaran pemberian nafkah. Bahkan ketika terjadi cerai pun Islam masih memberi

22

Muhammad Thalib, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, cet. I, (Bandung: PT. Irsyad Baitus Salam), h. 21-22.


(44)

perhatian terhadap perempuan, salah satunya adalah dengan adanya Iddah, dan larangan mengambil kembali sesuatu yang telah diberikan kepadanya, hal ini dijelaskan dalam surat al- Baqarah ayat 229:































2

229

Artinya:“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah”23.

C. Faktor-faktor Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dalam kehidupan berumah tangga pasti ada saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan, secara garis besar faktor-faktor kekerasan dalam rumah tangga dapat dirumuskan menjadi dua, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal ini berkaitan erat hubungannya dengan kekuasaan suami dan diskriminasi di kalangan masyarakat. Diantaranya :

a. Budaya patriarki yang menempatkan pada posisi laki-laki dianggap lebih unggul dari pada perempuan dan berlaku tanpa perubahan, seolah-olah itulah kodrati.

b. Kesalahan dalam interpretasi agama, yang tidak sesuai dengan universal agama, misalnya seperti nusyuz, yakni suami boleh memukul istri dengan

23

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, 1997, h. 37.


(45)

alasan mendidik atau istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami, maka suami berhak memukul dan istri dilaknat malaikat. Pandangan-pandangan seperti ini yang menyebabkan kerugian bagi pihak isteri, karena dalam Islam ada beberapa tahapan yang harus dilakukan suami, sebelum suami berhak memukul iserinya, suami memang boleh memukul isterinya apabila isteri sudah tidak bisa lagi menjalankan kewajibannya sebagai isteri dan sudah tidak bisa lagi di nasehati. Pukulan ini juga dimaksudkan untuk mendidik bukan untuk menyakiti isteri.

Tetapi ada juga faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain:

1) Pemberian cap atau labelisasi perempuan dengan kondisi fisik yang lemah cenderung menjadi anggapan objek pelaku kekerasan sehingga pengkondisian lemah ini dianggap sebagai pihak yang kalah dan dikalahkan. Hal ini sering kali dimanfaatkan laki-laki untuk mendiskriminasikan perempuan sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam berbagai peran strategis. Akibat dari labeling ini, sering kali laki-laki memanfaatkan kekuatannya untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Pemberian labeling bahwa perempuan lemah, mengakibatkan pihak perempuan merasa dirugikan dan dianggap tidak mempunyai kemampuan di hadapan laki-laki. Pemberian labeling terhadap perempuan itu harus dihapuskan, agar peran perempuan tidak dianggap lemah dan rendah di hadapan laki-laki,


(46)

karena perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama dalam berbagai peran strategis.

2) Kekuasaan yang berlindung di bawah kekuatan jabatan juga menjadi sarana untuk melakukan kekerasan. Jika hakekat kekuasaan sesungguhnya merupakan kewajiban untuk mengatur, bertanggung jawab dan melindungi pihak yang lemah, namun sering kali kebalikannya bahwa dengan sarana kekuasaan yang legitimate, penguasa sering kali melakukan terhadap warga atau bawahannya. Dalam kontek ini misalnya negara terhadap rakyat dalam berbagai bentuk kebijakan yang tidak sensitif pada kebutuhan rakyat kecil.

3) Sistem ekonomi juga menjadi sebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dalam sistem ekonomi kapitalis dengan prinsip ekonomi cara mengeluarkan modal sedikit untuk mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya, maka memanfaatkan perempuan sebagai alat dan tujuan ekonomi akan menciptakan pola eksploitasi terhadap perempuan dan berbagai perangkat tubuhnya. Oleh karena itu perempuan menjadi komoditas yang dapat diberi gaji rendah atau murah.24 Sistem ekonomi ini tidak menggambarkan keadilan bagi perempuan. Ada upaya yang harus dilakukan agar pihak perempuan tidak lagi terpojok dan di anggap lemah.

24

Mufidah et al, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula Untuk Pendampingan Korban Kekereasan Terhadap Perempuan dan Anak, (PT. PSG dan Pilar Media, 2006), h. 8-10.


(47)

Sehingga mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam sistem perekonomian.

Sedangkan faktor internal timbulnya kekerasan terhadap istri adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan yaitu: 1) sakit mental, 2) pecandu alkohol, yang kerap kali melakukan kekerasan terhadap isteri dalam keadaan mabuk tanpa menyadari perbuatannya tersebut, 3) kurangnya komunikasi, antara pihak suami isteri masing-masing mempunyai kesibukkan di luar rumah seperti bekerja, sehingga menyebabkan kurang perhatian terhadap anak, dan menimbulkan kurangnya komunikasi yang berakibat kekerasan 4) penyelewengan seks, 5) citra diri yang rendah, terkadang suami menggangap dirinya rendah, karena tidak mempunyai pekerjaan dan tidak bisa memberikan kebutuhan pokok hidup kepada keluarganya, 6) frustasi, bisa saja terjadi karena himpitan ekonomi, ataupun masalah pekerjaan yang di bawa ke dalam rumah, 7) perubahan situasi dan kondisi, 8) kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (pola kebiasaan dari keluarga atau orang tua).25 Anggapan seperti itu sungguh tidak baik, karena kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan sebuah masalah, banyak cara lain yang dapat dijadikan solusi seperti kedua pihak suami isteri harus saling mengerti satu sama lain, dan dapat melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing agar tidak terjadi kekerasan.

25

Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Patriarkhis, Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga, cet. I, (T.tp., STAIN Press, 2006), h. 103.


(48)

Salah satu indikasi permasalahan sosial yang berdampak negatif pada keluarga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga keluarga, hampir semua bentuk kekerasan dalam keluarga oleh laki-laki misalnya pemukulan terhadap istri pemerkosaan dalam keluarga dan lain sebagainya semua itu jarang menjadi bahan pemberitaan masyarakat karena dianggap tidak ada masalah, sesuatu yang tabu atau tidak pantas dibicarakan korban, dari berbagai bentuk kekerasan yang umumnya adalah perempuan lebih khususnya lagi adalah istri cenderung diam karena merasa sia-sia. Para korban biasanya malu bahkan tidak berani menceritakan keadaannya kepada orang lain. Karena takut dianggap membuka aib keluarganya sendiri.

D. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Terjadinya KDRT tidak lepas dari dampak KDRT. Korban kekerasan biasanya bisa mengenali fakta kekerasan psikis sementara waktu, sebagai pengenalan awal untuk menyadari seseorang diketahui menjadi korban atau sedang menderita gangguan psikologis, seperti ketakutan (fear). Diantara gejala yang muncul seperti jika seseorang berada dalam keadaan kecemasan berkelanjutan karena relasi dirasa tidak berimbang. Seseorang sama sekali tidak bisa mengambil keputusan terutama dalam situasi mendesak. Selalu khawatir bersikap karena ketergantungan permanen. Rasa tidak percaya diri (PD), rasa tidak PD dapat berarti orang tidak bisa membuat konsep diri positif orang kemudian terjangkit dan didominasi oleh konsep diri negatif hingga tidak


(49)

menemukan cara menghargai diri. Gejala ini ditandai dengan sikap merendah terus menerus atau minder, selalu menyerahkan urusan kepada orang lain, dan merosotnya eksistensi diri hingga tidak lagi memiliki harapan untuk membuat nilai positif dalam hidupnya. Hilangnya kemampuan untuk bertindak. Orang dengan situasi trauma atau mengalami kejenuhan permanen akibat harga dirinya lemah akan jatuh pada situasi pesimis dalam memandang hidup dan hingga enggan melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang diharapkannya. Efek kekerasan psikis menimbulkan trauma degenetatif (mematahkan semangat berkembang generasi). Adanya situasi tidak berdaya (helplessness) situasi ini juga merupakan gangguan pribadi dan dikatakan orang sakit secara psikologis. Ciri-ciri helplessness antara lain putus asa, menyerah sebelum berbuat, fatalistik, dan selalu menggantung diri, pada otoritas. Orang yang tidak berdaya akan sulit melakukan komunikasi.

Seperti kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, stress, minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, gangguan mensturasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian.

Dampak psikologis lainnya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat dirinya negatif, banyak menyalahkan


(50)

diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.26 Biasanya dampak psikologis dari hubungan intim, korban malu untuk bertemu dengan orang lain, merasa dirinya rendah.

Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa menggalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual.

Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya, ada kalanya seorang anak berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan kejam. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah sering gugup, suka menyendiri, cemas, sering ngompol, gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala dan asma, kejam

26

Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2000), h. 283.


(51)

pada binatang, ketika bermain meniru bahasa dan prilaku kejam, suka memukul teman.27 Dampak yang terjadi pada si anak sangat sekali disayangkan, jika anak kecil yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang justru tidak mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan dari kedua orang tuannya. Dampak itu tentu tidak baik untuk masa depan si anak, manakala pada masa anak-anaknya sudah mengalami atau menyaksikan KDRT.

Dampak KDRT terhadap anak juga bisa terjadi seperti penurunan prestasi akademik, serta hilangnya keinginan untuk melanjutkan pendidikan, menyimpan rasa dendam dan sakit hati terhadap pelaku KDRT biasanya anak menjadi benci kepada pelaku KDRT, merasakan trauma yang berkepanjangan karena melihat tindak pidana KDRT, sulit untuk dapat mempercayai orang lain, tidak merasa nyaman untuk tinggal di rumah dan terkadang bersikap melanggar hukum dan norma sosial, pergaulan bebas karena tertekan melihat kondisi rumah dan merasa kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tua, akibat dari kekerasan yang dilakukan orang tua, juga dapat mempengaruhi perilaku dan emosional serta sering kali berkata-kata kasar.28

Kekerasan dalam rumah tangga memberikan anggapan pada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan

27

Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (belajar dari kehidupan Rasulullah SAW) , h. 35-37.

28

http://putriraturetno.blogspot.com/2010/05/Dampak-Kekerasan-Rumah-Tangga-Terhadap.html.


(52)

anak sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. KDRT memberikan pelajaran pada anak laki-laki untuk tidak menghormati kaum perempuan. Masalah seperti ini harus mendapatkan perhatian khusus karena anak merupakan penerus keluarga, agama, maupun bangsa yang harus mendapatkan pendidikan yang baik untuk menjadikan dirinya manusia yang lebih baik. Jika dilihat dari dampak kekerasan diatas, maka perlu adanya penanganan khusus dalam hal KDRT, agar tidak banyak kasus-kasus KDRT yang timbul di masyarakat.


(53)

41

UU NO. 23 TAHUN 2004

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan) yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik ataupun non fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada objek kekerasan.1

Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti padat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah.

Sedangkan kata “kekerasan” itu sendiri adalah perihal (yang bersifat) keras,

perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik. Secara terminologi yang dimaksud dengan kekerasan atau violence pada dasarnya merupakan suatu konsep yang makna isinya sangat bergantung kepada masyarakat sendiri.2

1

Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, cet. I, (Malang: UIN, 2008), h. 267.

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar edisi ke 2, cet. VII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 484-485.


(54)

Menurut Ensiklopedia Nasional jilid ke-1, yang di maksud dengan

“rumah” adalah tempat tinggal atau bangunan untuk tinggal manusia.

Sementara rumah tangga memiliki pengertian tempat tinggal beserta penghuninya dan apa-apa yang ada di dalamnya.3 Pengertian lain dari rumah tangga adalah masyarakat kecil sekurang-kurangnya terdiri dari pasangan suami istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka. Jadi setidak-tidaknya rumah tangga adalah pasangan suami istri baik mempunyai anak atau tidak mempunyai anak.

Kekerasan terhadap perempuan telah tumbuh sejalan dengan pertumbuhan kebudayaan manusia. Namun hal tersebut baru menjadi perhatian dunia internasional sejak 1975. Kekerasan terhadap perempuan menurut perserikatan bangsa-bangsa dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan pasal 1 kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik terjadi di area publik atau domestik.4

Menurut Herkunanto, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis. Tujuan tertentu itu bisa

3

Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid ke-1.

4“Kekerasa Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”,

Paket Informasi, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Jogyakarta, h. 2.


(55)

saja karena suami beranggapan bahwa dirinya sebagai kepala rumah tangga dan paling berkuasa sehingga dia dapat melakukan segala hal yang dikehendakinya tanpa memikirkan bahwa isterinya adalah seseorang yang harus dilindungi dan disayangi bukan untuk disakiti ataupun mendapat perlakuan kekerasan.

Dari berbagai macam pengertian kekerasan di atas, tidak menunjukkan bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan hanya kaum laki-laki saja, sehingga kaum perempuanpun dapat dikategorikan sebagai pelaku kekerasan.5 Namun, kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki lebih sering terjadi, dari pada kekerasan yang dilakukan oleh seorang perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita.6 Dampak kekerasan terhadap anak sangatlah dikhawatirkan, karena ditakutkan di kemudian hari anak tersebut akan melakukan kekerasa terhadap oranglain, atau bahkan terhadap keluarganya sendiri.

5

Herkunanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: PT. Alumni, 2000), h. 267-268.

6

Ciciek Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (belajar dari kehidupan Rasulullah SAW), cet. I, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), h. 22.


(56)

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman unuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.7 (Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004).

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan segala bentuk jenis kekerasan (baik fisik maupun psikis) yang dilakukan oleh anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain (yang dapat dilakukan oleh suami kepada istri dan anaknya, atau oleh ibu kepada anaknya, atau bahkan sebaliknya). Meskipun demikian, korban yang dominan adalah kekerasan terhadap istri dan anak yang dilakukan oleh sang suami. 8 Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa segala perbuatan tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia dan merampas kemerdekaan orang lain yang dapat dikenakan sanksi hukum pidana maupun hukum perdata

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Masalah kekerasan (khususnya dalam rumah tangga) merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan.

7

RI. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. I, (Jakarta: Visimedia, 2009), h. 46.

8

http://www.masbied.com/2011/02/23/tinjauan-umum-tentang-kekerasan-dalam-rumah-tangga.


(57)

Oleh karena itu kekerasan patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan yang melawan hukum kemanusiaan.

Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk penganiayaan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Seperti kekerasan fisik (kekerasan ini biasanya terjadi akibat dari perbuatan-perbuatan seseorang kepada orang lain dengan cara memukul, menampar, menendang atau dengan perbuatan lain yang menyebabkan orang lain menderita patah tulang, kulit tersayat, memar) biasanya perlakuan ini akan nampak seperti biru-biru, luka lebam, atau luka lainnya. Kekerasan psikologis atau emosional (kekerasan ini berupa penghinaan, komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, dan mengancam orang lain), hal ini dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan), atau pasif (menelantarkan) dan pelanggaran seksual.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut Undang-undang PDKRT tertuang dalam pasal 5-9. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Sebab di dalam sebuah keluarga haruslah satu sama lain saling menghormati dan melindungi agar dalam rumah tangga tersebut tercipta kenyamanan dan keharmonisan.

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan


(58)

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual dapat berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dan penelantaran dalam rumah tangga adalah menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya.

Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah persoalan domestik yang tidak boleh diketahui orang lain. Karena KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.

Jadi Undang-undang PKDRT ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT. Undang-undang ini juga tidak bertujuan untuk mendorong perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang. UU PDKRT ini justru bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang benar-benar harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

Semua pihak perlu sekali mengetahui dan mematuhi Undang-undang ini, sebab persoalan ini bukanlah persoalan biasa yang hanya harus diketahui oleh pasangan suami isteri tetapi semua orang haruslah sadar bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan


(59)

bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Semua orang haruslah tanggap dalam masalah ini, meskipun masalah rumah tangga merupakan masalah internal tetapi apabila sudah terjadi suatu kekerasan yang menyebabkan orang lain menderita maka menjadi masalah eksternal yang harus mendapatkan perhatian dari pihak lain.

Menurut Herkunanto, bentuk-bentuk kekerasan dapat berupa kekerasan psikis, bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitifitas emosi seseorang sangat berfariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada istri agar terpenuhi kebutuhan emosionalnya. Hal ini penting untuk perkembangannya jiwa seseorang identifikasi yang timbul pada kekerasan psikis lebih sulit diukur dari pada kekerasan fisik. Karena kekerasan psikis merupakan kekerasan yang mengakibatkan penderitaan batin dalam diri seseorang, jadi sulit sekali orang lain untuk mengetahui bahwa seseorang mengalami kekerasan psikis.

Kekerasan fisik, bila didapati perlakuan bukan karena kecelakaan pada perempuan. Perlakuan itu dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan yang tunggal atau berulang, dari yang ringan hingga yang fatal. Penelantaran perempuan, penelantaran adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan pada pihak lain khususnya pada lingkungan rumah tangga.


(60)

Pelanggaran seksual, setiap aktifitas yang dilakukan oleh orang dewasa atau perempuan. Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau dengan tanpa pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan akan mengakibatkan trauma yang dalam bagi perempuan.9 Biasanya perempuan korban kekerasan seksual akan mengalami depresi, sering menganggap dirinya kotor dan tidak suci, oleh karenanya banyak korban yang mengurung diri di rumah untuk menghindari dari omongan masyarakat sekitar.

B. Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Kekerasan Psikis

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam deklarasi peghapusan kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik yang terjadi di area publik atau domestik.10 Kekerasan psikologis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan

9

Herkunanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, h. 268-270.

10

Rifka Annisa, “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”, Paket Informasi, (Jogyakarta: Women’s Crisis Center, t.th), h. 2.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

0 9 31

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA (PRT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2 16 40

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga - [PERATURAN]

0 11 19

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 5 18

SKRIPSI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 4 20

PENUTUP IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 2 9

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DAN PSIKIS TERHADAP ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.

0 0 12

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi di Wilayah Hukum Polres Grobogan).

0 3 93

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Batam

0 0 16