BAB II LANDASAN TEORI A. Optimisme 1. Definisi Optimisme - Rindy Destriana Tita BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Optimisme 1. Definisi Optimisme Optimis dalam KBBI diartikan sebagai orang yang selalu

  berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal sedangkan optimistis didefenisikan sebagai bersifat optimis atau penuh harapan. Menurut Wardyah (2005) optimis merupakan individu yang memperkirakan hal baik yang terjadi pada dirinya, sedangkan pesimis adalah individu yang memperkirakan dirinya akan mengalami hal buruk. Optimisme menurut KBBI adalah paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan atau sikap selalu mempunyai harapan baik di segala hal.

  Optimisme merupakan expectancy (ekspektasi) bahwa akan lebih banyak hal baik yang terjadi daripada hal buruk di masa depa 2013).). Individu optimis saat menghadapi kesulitan akan terus berusaha mencapai tujuan dan akan menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi dengan menggunakan strategi coping yang efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

  Individu yang optimis dan pesimis, berbeda caranya dalam mengatasi masalah dan menghadapi tantangan, cara dan hasil yang diperoleh dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. Optimis ketika

  

8 menghadapi tantangan akan menghadapinya dengan percaya diri dan gigih, meskipun kemajuan dalam menyelesaikan tantangan tersebut lambat karena mereka percaya kesulitan dapat ditangani. Berbeda dengan optimis, pesimis cenderung akan menyerah ketika menghadapi kondisi yang sulit dan menantang, selain itu mereka juga cenderung memiliki perasaan negatif dan membayangkan kalau suatu kejadian yang buruk akan terjadi.

2. Teori Tentang Optimisme

  Konsep optimisme berkaitan dengan teori motivasi atau yang lebih dikenal dengan teori expectancy-value (Carver & Scheier, 2001).

  Teori ini berpandangan bahwa perilaku individu disusun oleh dua aspek:

  a. Goal (Tujuan) Tujuan adalah state atau tindakan yang dianggap diinginkan atau tidak diinginkan. Individu mencoba untuk menyesuaikan perilaku sesuai dengan yang dia inginkan dan menjauhkan diri dari apa yang tidak diinginkan. Semakin penting tujuan tersebut bagi seseorang, semakin besar nilainya dalam memberi motivasi pada individu. Tanpa memiliki tujuan, seseorang tidak memiliki alasan untuk bertindak.

  b. Expectancy (Ekspektasi) Ekspektasi merupakan confidence (kepercayaan) ataupun doubt (keraguraguan) dalam pencapaian tujuan. Jika individu ragu-ragu, tidak akan ada tindakan. Keraguan dapat mengganggu usaha untuk mencapai tujuan baik sebelum tindakan dimulai atau saat sedang berlangsung. Hanya individu dengan ekspektasi yang cukup yang mampu melanjutkan usahanya.

3. Dampak Optimisme

  Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan terhadap optimisme, disimpulkan bahwa optimisme sangat membantu individu dalam berbagai bidang. Optimis akan lebih cepat menerima kenyataan akan kondisi yang dihadapinya sekarang dibandingkan dengan individu yang pesimis (Carver & Scheier, 2004). Optimisme berkaitan dengan kondisi kesehatan yang lebih baik. Individu dengan optimis yang rendah lebih membutuhkan psikoterapi dibandingkan dengan individu dengan optimisme yang tinggi (Karlsson, 2011).

  Ketika individu memiliki ekspektasi, maka individu akan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan mencari penyelesaian dari masalah tersebut meskipun sulit (Carver & Scheier, 2001). Individu yang memiliki kepercayaan tentang masa depan akan terus mengeluarkan usaha walaupun menghadapi masa sulit, sedangkan individu yang ragu akan berhenti mengeluarkan usahanya. Ketika menghadapi kondisi yang sulit, akan muncul perasaan sedih, cemas dan stress (Sarafino & Smith, 2011), kondisi ini menuntut individu untuk melakukan coping. Coping diartikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dinilai berat atau melebihi batas kemampuan individu (Lazarus & Folkman, 1984). Coping dilihat dari fungsinya dibagi menjadi dua sebagai berkut: a. Emotion-focused coping Berfokus pada cara mengontrol respons emosional saat kondisi stress. Individu dapat meregulasi respon emosional mereka melalui pendekatan kognitif dan perilaku. Pendekatan kognitif berkaitan dengan cara individu berpikir terhadap situasi stress yang dihadapi. Individu dapat mendefenisikan kembali situasi sehingga dapat menghadapinya dengan lebih baik. Proses kognitif dari emotion-focused coping yang lain adalah dengan strategi

  

defense mechanism . Individu cenderung menggunakan pendekatan

emotion-focused ketika tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk

  mengatasi kondisi yang penuh stress tersebut.

  b. Problem-focused coping Berfokus pada masalah bertujuan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan dari keadaan stress atau mengembangkan sumber daya untuk menghadapinya. Coping ini akan digunakan saat kondisi masih mungkin untuk berubah. Pendekatan yang berfokus pada masalah cenderung digunakan ketika adanya perubahan dari sumber daya atau tuntutan situasi.

  Optimisme mempengaruhi strategi coping yang lebih adaptif, Individu bisa melakukan pencegahan ataupun meminimalisasikan stress. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah ataupun meminimalkan stress disebut proactive coping. Individu yang optimis yang biasanya menggunakan metode yang berfokus pada masalah.

  Terdapat beberapa bentuk proactive coping, seperti: meningkatkan dukungan sosial, meningkatkan kontrol personal, mengorganisir lingkungan sendiri, melakukan olahraga, dan menyiapkan diri untuk situasi yang menyebabkan stress.

4. Paradigma Optimisme

  Sikap optimis disebut dengan optimisme. Optimisme adalah kepercayaan bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang positif (Scheier, 2000).

  Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, “the

  

explanatorystyle”dan “the dispositional optimism view,” yang juga

  disebut sebagai

  “thedirect belief view” (Caver, 2002). Kedua pandangan

  tersebut menekankan pendekatan yang berbeda. Perbedaan paradigma tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Explanatory Style

  Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa

  dalam menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan pengalaman masa lampau. Pandangan ini didasarkan pada person's

  attributional style (Scheier, Carver, & Bridges, 2000). Attributional style dibentuk oleh cara kita mempersepsikan, menjelaskan pengalaman

  masa lampau. Jika persepsi atau penjelasan yang dipegang adalah negatif maka kita akan mengharapkan hasil yang negatif pada masa depan. Perasaan learned helplessness berlebihan dan kita percaya bahwa kita tidak dapat merubah pandangan kita terhadap dunia. secara khusus diukur dengan dengan menggunakan

  Attributional style Attributional Style (ASQ). Dengan ASQ, individu merespon terhadap

  apa penyebab yang mereka yakini munculnya kejadian yang berbeda.

  Respon mereka dirating berdasarkan persepsi mereka terhadap penyebab (internal vs external, stable vs unstable, global vs specific) (Seligman, 1988). Masalah dengan menggunakan attributional theory dalam memahami optimisme adalah bahwa hal tersebut dapat menjadi sangat kompleks dan bersifat subjektif didasarkan pada self report pengalaman masa lampau (Scheier, 2000).

  Berdasarkan explanatory style, individu yang percaya pengalaman masa lampaunya positif dan ingatan-ingatan negatif adalah di luar kontrol mereka (faktor eksternal) dikatakan bahwa mereka mereka memiliki positive explanatory style atau orang yang optimistic.

  Sedangkan orang yang menyalahkan diri sendiri terhadap kemalangan (faktor internal) dan percaya bahwa mereka tidak akan pernah mendapat sesuatu dikatakan memiliki negative explanatory style atau orang yang pessimistic.

  b. Dispositional Optimism or Direct Belief Model Konstruk ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan.

  Pendekatan ini lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa depan, dibanding dengan attributional theory yang berusaha memahami mengapa individu optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu Scheier & Carver (2002) menyatakan bahwa optimisme adalah kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam kehidupan.

  Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver & Scheier 1993). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan- harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002)

  Konsep optimisme dan pesimisme fokus kepada ekspektasi individu terhadap masa depan. Konsep ini memiliki ikatan dengan teori psikologi mengenai motivasi, yang disebut dengan expectancy-value

  

theories . Beberapa teori juga menyatakan optimisme dan pesimisme

  mempengaruhi perilaku dan emosi seseorang. Expectancy-value

  

theories, yaitu teori yang dimulai dengan ide bahwa perilaku ditujukan

  untuk pencapaian tujuan (goal) yang dinginkan (Carver & Scheier, 1998).

  Goal adalah tindakan, state akhir, atau nilai yang individu lihat

  sebagai sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu akan akan mencoba mencocokkan perilaku, mencocokkan dengan diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka lihat yang mereka inginkan, dan mereka akan mencoba untuk menghindari yang tidak mereka inginkan. Konsep utama lainnya adalah expectancies: perasaan percaya diri atau ragu-ragu mengenai kemampuan meraih tujuan (goal). Hanya dengan kepercayaan diri yang cukup yang individu berusaha mencapai tujuan. Optimisme akan mengarahkanindividu untuk selalu memiliki hasil yang baik dan menyenangkan akan masa depannya.

  Dari prinsip ini, muncul beberapa prediksi mengenai orang yang optimis dan orang yang pesimis. Ketika berhadapan dengan sebuah tantangan, orang yang optimis lebih percaya diri dan persisten, meskipun progresnya sulit dan lambat. Orang yang pesimis lebih ragu- ragu dan tidak percaya diri. Perbedaan juga jelas terlihat dalam menghadapi kesengsaraan. Orang yang optimis percaya bahwa kesengsaraan dapat ditangani dengan berhasil. Orang yang pesimis menganggap sebagai bencana.

  Hal ini dapat mengarahkan pada perbedaan tingkah laku yang berhubungan dengan resiko kesehatan, mengambil pencegahan pada lingkungan yang beresiko, kegigihan dalam mencoba mengatasi ancaman kesehatan. Hal ini juga dapat mengarahkan pada perbedaan respon coping apa yang individu lakukan ketika berhadapan dengan ancaman seperti diagnosa kanker (Carver et al., 1993; Stanton & Snider, 1993) Selain respon perilaku, individu juga mengalami pengalaman emosi pada kejadian dalam kehidupan. Kesulitan-kesulitan merangsang beberapa perasaan, perasaan yang merefleksikan baik distres dan tantangan. Keseimbangan antara perasaan-perasaan tersebut berbeda antara orang yang optimis dan pesimis. Karena orang yang optimis mengharapkan good outcome, mereka cenderung mengalami perpaduan emosi yang lebih positif. Karena orang yang pesimis mengharapkan bad outcome, mereka mengalami perasaan-perasaan yang lebih negatif

  • –kecemasan, kesedihan, keputusasaan (Scheier, 2001)

  Penelitian juga menunjukkan, optimisme memiliki efek moderasi terhadap bagaimana individu menghadapi situasi baru atau sulit. Ketika berhadapan dengan situasi sulit, orang yang optimis akan lebih memiliki reaksi emosi dan harapan yang positif, mereka berharap akan memperoleh hasil yang positif meskipun hal tersebut sulit, mereka cenderung menunjukkan sikap percaya diri dan persisten. Orang yang optimis juga cenderung untuk menganggap kesulitan dapat ditangani dengan berhasil dengan suatu cara atau cara lain dan mereka lebih melakukan active dan problem-focus edcoping strategy dari pada menghindar atau menarik diri (Carver & Scheier, 1985; Chemers, Hu, & Garcia, 2001; Scheier et al., 1986). Optimisme hampir mirip dengan beberapa konstruk, tetapi sesungguhnya berbeda. Dua konstruk yang memiliki hubungan dekat adalah sense of control (Thompson, 2002) dan sense of personal efficacy (Bandura, 1997).

  Konsep-konsep ini memiliki nada yang sama kuat dalam mengharapkan hasil yang diinginkan, seperti optimisme. Tetapi perbedaannya terletak pada asumsi yang dibuat (atau tidak dibuat) mengenai bagaimana hasil yang diinginkan tersebut diekspektasikan terjadi. Self efficacy adalah konsep dimana self sebagai agen penyebab adalah yang terpenting. Jika individu memiliki high self-efficacy

  

expectancies , mereka kiranya percaya usaha personal mereka (atau

  personal skill) adalah yang menentukan hasil. Contohnya, seandainya kamu percaya kamu memiliki ketabahan personal untuk mengatasi efek samping chemotherapy, kamu akan lebih berjuang keras untuk mengatasinya. Sama halnya dengan konsep control. Ketika individu melihat diri mereka sendiri terkontrol, mereka percaya bahwa hasil yang baik akan terjadi lewat usaha personal mereka. Sebaliknya, optimisme mengambil pandangan yang lebih luas atas penyebab potensial yang menjadi kekuatan. Individu dapat menjadi optimistis karena mereka berbakat sekali, karena mereka pekerja keras, karena mereka diberkahi, karena mereka beruntung, karena mereka memiliki teman yang tepat, atau kombinasi yang lain atau faktor lain yang menghasilkan hasil yang baik (Murphy et al., 2000).

  Contohnya, seseorang dapat menjadi optimistis, dapat mengatasi efek samping chemotherapy salah satu karena ketabahannya personalnya atau karena tim medisnya memiliki trik yang berguna mengatasi efek samping. Yang terakhir dapat menjadi optimistis, tetapi bukan karena peran self sebagai agen hasil. Konstruk yang lain yang mirip dengan optimism adalah hope (berharap) (Snyder, 1994, 2002).

  Hope (berharap) dikatakan memiliki dua bagian. Bagian pertama

  adalah persepsi individu pada kehadiran pathways (jalur) yang dibutuhkan individu untuk mencapai tujuannya. Kedua adalah tingkat percaya diri individu dalam kemampuannya menggunakan pathways (jalur) untuk mencapai tujuan. confidence Dimensi (percaya diri) sama dengan yang di optimisme, dengan lebih dulu menekankan pada agen personal.

  Komponen pathway (jalur) adalah sebuah kualitas dimana konsep optimisme tidak beralamat. Dapat dilihat terlebih dahulu, bahwa seseorang yang melihat beberapa jalan untuk hasil spesifik yang diharapkan akan terus mencoba cara yang tersisa jika salah satu cara tidak bisa. Dicatat juga bahwa pesimisme juga mirip dengan konstruk

  

neurotism (Smith, Pope, Rhodewalt, & Poulton, 1989). Neorotism

  (emotional instability) didefinisikan sebagai kecenderungan untuk cemas, mengalami emosi yang tidak menyenangkan, dan pesimistik.

  Dari penjelasan dua konsep mengenai optimisme tersebut, dalam penelitian ini, konsep optimisme yang digunakan adalah optimisme disposissional yaitu kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam kehidupan. Rasa optimis yang muncul dari dalam diri seseorang ditunjukkan dengan adanya sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver &Scheier 1993).

  Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat optimisme individu terhadap masa depannya daripada menjelaskan penyebab individu menjadi optimis.

5. Aspek Optimisme

  Seligman (1995) menjelaskan bahwa bagaimana cara individu memandang suatu peristiwa di dalam kehidupannya berhubungan erat dengan sikap individu dalam menjelaskan suatu peristiwa (explanatory

  

style). Dengan sikap penjelasan itu, seseorang yang optimis akan dapat

  menghentikan rasa ketidakberdayaannya. Ditinjau dari perspektifnya, orang yang optimis menjelaskan suatu kejadian atau pengalaman negatif diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal, bersifat sementara, atau faktor- faktor khusus. Sementara itu, orang pesimis menjelaskan bahwa kejadian negatif dikarenakan oleh faktor internal, bersifat stabil, dan diakibatkan oleh faktor-faktor global. Seligman (2001) mengemukakan ada tiga macam aspek optimsime yaitu permanence, pervasiveness dan personalization .

  a.

   Permanence (hal yang menetap)

  Sikap ini menggambarkan bagaimana individu melihat peristiwa yang bersifat sementaran (temporary) atau menetap (permanence).

  Orang-orang yang pesimis melihat peristiwa yang buruk sebagai sesuatu yang menetap dan mereka cenderung menggunakan kata-kata ”selalu” dan ”tidak pernah”.

  Orang pessimis melihat hal yang baik hanyalah sebagau hal yang bersifat sementara, misalnya: ”saya bisa sembuh dari penyakit karena rajin berobat

  ”. Sebaliknya orang yang optimis melihat peristiwa buruk sebagai suatu hal yang hanya bersifat sementara, mi salnya: ”penyakit yang saya derita pasti bisa disembuhkan

  ”. Sementara orang yang optimis melihat hal yang baik sebagai suatu hal yang bersifat permanen, misalnya: ”Saya putus asa dengan penyakit yang saya derita”.

  b.

   Pervasiveness (hal yang mudah menyebar)

  Sikap ini berkaitan dengan ruang lingkup dari peristiwa tersebut, yang meliputi universal (menyeluruh) dan spesifik (khusus). Orang yang optimis bila dihadapkan pada kejadian yang buruk akan membuat penjelasan yang spesifik dari kejadian itu, bahwa hal buruk terjadi diakibatkan oleh sebab-sebab khusus dan tidak akan meluas kepada hal- hal yang lain.

  Sementara orang yang pesimis akan melihat kejadian yang baik sebagai suatu hal yang spesifik dan berlaku untuk hal-hal tertentu saja.

  Sedangkan, jika menemui kejadian buruk pada satu sisi hidupnya ia akan menjelaskannya sebagai suatu hal yang universal, dan akan meluas keseluruh sisi lain dalam hidupnya, dan biasanya akibat hal ini ia menjadi mudah menyerah terhadap segala hal meski ia hanya gagal dalam satu hal.

  Misalnya: ”saya tidak akan menjadi juara kelas karena ulangan matematika saya kemarin jelek”.

  Menurut Seligman (1995), karakteristik orang yang pesimis adalah mereka cenderung meyakini peristiwa buruk akan bertahan lama dan akan menhancurkan segala yang mereka lakukan dan itu semua adalah kesalahan mereka sendiri. Sedangkan, orang yang optimis jika berada dalam situasi yang sama, akan berpikir sebaliknya mengenai ketidakberuntungannya. Mereka cenderung meyakini bahwa kekalahan hanyalah kegagalan yang sementara, dan itu karena terbatas pada satu hal saja. Orang yang optimis yakin kekalahan bukanlah karena kesalahan mereka : keadaan, keberuntungan atau orang lain yang menyebabkannya. Orang yang seperti itu tidak akan merasa terganggu dengan kekalahannya. Mereka menganggap situasi yang buruk adalah sebagai suatu tantangan dan mereka akan berusaha keras menghadapinya.

  c.

   Personalization (hal yang yang berhubungan dengan pribadi)

  Personalisasi merupakan sikap yang berkaitan dengan sumber dari penyebab kejadian tersebut, meliputi internal dan eksternal. Ketika mengalami hal yang buruk, orang yang pesimis akan menganggap bahwa hal itu terjadi karena faktor dari dalam dirinya. Bila dihadapkan pada peristiwa baik ia akan menganggap bahwa hal itu disebabkan oleh faktor luar dirinya.

  Di lain pihak orang optimis akan menganggap hal yang baik merupakan hal yang disebabkan oleh faktor dalam dirinya. Dan akan menjelaskan suatu hal yang buruk sebagai hal yang disebabkan oleh faktor eksternal. Misalnya: ”saya mendapat nilai yang jelek dalam ulangan kemarin karena waktu yang disediakan terlalu sempit.

6. Bentuk-bentuk Optimisme Ada beberapa ciri dari optimisme yang diungkapkan oleh para ahli.

  Seligman (1995) mengatakan bahwa orang yang optimis percaya bahwa kegagalan hanyalah suatu kemunduran yang bersifat sementara dan penyebabnya pun terbatas, mereka juga percaya bahwa hal tersebut muncul bukan diakibatkan oleh faktor dari dalam dirinya, melainkan diakibatkan oleh faktor luar. Bentuk optimisme meliputi (Kerley, 2006) :

  a. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok.

  b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa ditangani. c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka.

  Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah lainlainnya menyerah.

  d. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.

  e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan.

  f. Meningkatkan kekuatan apresiasi. Yang orang ketahui bahwa dunia ini, dengan semua kesalahannya yaitu dunia besar yang penuh dengan hal- hal baik untuk dirasakan dan dinikmati.

  g. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya.

  Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.

  h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis. i. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai. j. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati kita. k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme. l. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustrasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai.

  Mereka berprinsip “Ubahlah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda ubah”.

B. Kanker Serviks 1. Defenisi kanker Serviks

  Kanker serviks adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah leher rahim, yaitu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dengan (vagina) liang senggama wanita (Wijaya, 2010).

  2. Menurut Kamus Kedokteran

  Kanker serviks adalah kanker di bagian atas vagina dalam yang disebabkan infeksi virus HPV (Human PapillomaVirus) yang menyerang skuamosa DNA.

  3. Faktor Penyebab Penyakit Kanker Serviks

  HPV adalah kelompok virus yang terdiri dari 150 jenis virus yang dapat menginfeksi sel-sel pada permukaan kulit. Ada 30 hingga 40 jenis HPV yang menyebabkan penyakit kelamin. Beberapa jenis HPV menyebabkan kulit pada kelamin. Jenis lain menyebabkan kanker serviks.

  13 jenis HPV (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 69) yang menyebabkan kanker disebut HPV resiko tinggi yang ditularkan melalui hubungan seks. Tipe yang paling berbahaya adalah jenis HPV 16 dan 18 yang menyebabkan 70% penyakit kanker serviks (Nurwijaya, 2002).

4. Pasien dengan Kanker Serviks

  Pasien dengan kanker serviks umumnya mengalami tekanan psikologi sebagai akibat adanya anggapan bahwa kanker serviks termasuk di antara penyakit yang berbahaya. Oleh karena itu tidak mudah seorang pasien untuk terhindar dari depresi kecuali pada pasien dengan optimisme tinggi. Robinson dkk (1997), menyatakan individu yang memiliki sikap optimis jarang menderita depresi dan lebih mudah mencapai kesuksesan dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah kearah yang lebih baik, adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih, dan selalu berjuang dengan kesadaran penuh.

  Ketidak mampuan yang dialami oleh penderita kanker juga akan menimbulkan perasaan bersalah pada penderitanya. Terdapat kasus penderita kanker serviks yang mengalami depresi, tidak bisa menyesuaikan diri, baik secara individual maupun sosial, tidak bisa menerima diri sendiri, dan bergantung pada orang lain dalam berbagai pemenuhan kebutuhan fisiologis dan psikologis.

C. Kerangka Berfikir

  Ada bermacam-macam penyakit yang seringkali meresahkan individu, baik penderita maupun orang lain yang berada di dekatnya. Salah satu penyakit didunia yang dipandang menakutkan dan membuat orang cemas adalah penyakitkanker karena dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Kematian akibat penyakit kanker merupakan suatu stimulus yang mengancam bagi individu.

  Penyakit kanker dapat disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat, kurang mengonsumsi buah dan sayuran, pecemaran udara, air, kimia, polusi, dan kebiasaan merokok. Penyakit kanker merupakan jenis penyakit yang umumnya meresahkan individu karena walaupun dengan berkembangnya teknologi pengobatan, penyakit kanker masih sulit disembuhkan, terutama yang telah memasuki stadium lanjut. Reaksi orang dalam menghadapi kanker berbeda satu sama lain dan sifatnya individual. Hal ini tergantung pada sampai berapa jauh kemampuan individu yang bersangkutan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya. Berbagai reaksi penderita kanker di bidang kejiwaan antara lain kecemasan, ketakutan dan depresi. Faktor psikososial yang ada dalam diri penderita akan dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan tersebut diatas. Faktor-faktor tersebut yaitu usia, pola perilaku, dukungan keluarga dan keadaan ekonomi (Kanker serviks dimensi Psikoreligi penderita kanker, Fakultas kedokteran UI).

  Optimisme tidak dibawa sejak lahir, tapi dipelajari lewat orang tua, guru, dan media massa. Orang yang optimis mempunyai beberapa keuntungan karena orang yang optimis lebih terhindar dari gangguan depresi, hal ini disebabkan karena depresi muncul dari pikiran-pikiran yang negatif serta orang optimis akan memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, orang optimis mempunyai cara hidup yang sehat dan mengikuti anjuran dokter.

  Dibandingkan dengan orang pesimis yang percaya bahwa penyakitnya menetap, semua tubuhnya sakit, dan penyebab sakit tersebut adalah dirinya sendiri, sehingga ia beranggapan tidak ada gunanya mengikuti anjuran dokter.

  Berbeda dengan orang optimisme yang akan mencegah penyakit serta akan melakukan treatment untuk mencegah penyakit. (Seligman,1990).

  Optimisme dalam arti mempunyai harapan akan kesembuhan penyakit yang dideritanya. Sedangkan penderita kanker yang pesimisme berarti kurang memiliki harapan terhadap kesembuhan dari kanker yang dideritanya. Penderita kanker yang optimisme percaya bahwa keadaan buruk yang dialaminya berlangsung sementara waktu dan peristiwa yang dialaminya disebabkan oleh lingkungan dan bukan karena dirinya.

  Seligman (1990) mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai kebiasaan dalam berpikir tentang penyebab dari suatu keadaan, kebiasaan ini disebut sebagai Explanatory style. Explanatory style berkembang pada masa kanak-kanak dan masa remaja, kebiasaan ini tanpa dapat dijelaskan secara eksplisit akan menetap seumur hidup. Explanatory

  

style terbagi menjadi tiga dimensi utama yang digunakan dalam berpikir

  tentang sebab dari situasi atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, yaitu Permanence, Pervasiveness dan Personalization.