BAB II LANDASAN TEORI A. PENYESUAIAN DIRI 1. Definisi Penyesuaian Diri - Penyesuaian Diri Lansia Pasca Bercerai

BAB II LANDASAN TEORI A. PENYESUAIAN DIRI

1. Definisi Penyesuaian Diri

  Penyesuaian diri sebagaimana dimaksudkan oleh Schneiders (1964) ialah: “a process involving both mental and behavioral responses by which an

  individual strive to cope successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives.”

  Sesuai dengan definisi di atas, maka pengertian penyesuaian diri menurut Schneiders adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku pada individu untuk menghadapi kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, serta konflik-konflik. Penyesuaian diri nantinya berdampak pada keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dan lingkungan di sekitarnya (Schneiders, 1964).

  Selaras dengan pernyataan Schneiders, penyesuaian diri menurut Calhoun dan Acocella (1990) adalah sebuah interaksi yang kontinyu antara diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Penyesuaian diri merupakan sebuah proses timbal balik dan saling mempengaruhi antara individu dan lingkungannya.

  Schneiders (1964) membagi penyesuaian diri ke dalam tiga sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation) yang lebih menyoroti penyesuaian diri dalam hal fisik, fisiologis, dan biologis. Sudut pandang yang kedua adalah penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity) dimana individu menyesuaikan diri agar sesuai dengan norma yang ada di lingkungan dan menghindari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional. Sudut pandang yang terakhir adalah penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) dimana individu mampu untuk merencanakan dan mengorganisasikan suatu respon untuk mengatasi konflik, kesulitan, dan rasa frustrasi yang dialami.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan penyesuaian diri adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku atas tuntutan yang berasal dari dalam diri seperti kebutuhan internal maupun konflik, ketegangan, dan frustrasi. Selain itu, penyesuaian diri juga sebagai proses timbal balik antara diri dan lingkungan sekitar.

2. Bentuk Penyesuaian Diri

  Schneiders (1964) juga mengemukakan bahwa ada empat macam bentuk penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu berdasarkan pada kontak situasional respon, yaitu: a.

  Penyesuaian diri personal Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Penyesuaian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1)

  Penyesuaian Diri Fisik dan Emosi Dikatakan oleh Schneiders bahwa kesehatan fisik berhubungan erat dengan kesehatan emosi. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam kesehatan emosi dan penyesuaian diri, yaitu: adekuasi emosi, kematangan emosi, dan kontrol emosi.

  2) Penyesuaian Diri Seksual

  Merupakan kapasitas yang bereaksi terhadap realitas seksual (impuls- impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan salah dan perbedaan seks). Kapasitas tersebut memerlukan perasaan, sikap sehat yang berkenaan dengan seks, kemampuan menunda ekspresi seksual, orientasi heteroseksual yang adekuat, kontrol yang ketat dari pikiran dan perilaku, identifikasi diri yang sehat.

  3) Penyesuaian Moral dan Religi

  Moralitas adalah kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara efektif dan bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam kehidupan individu.

  b.

  Penyesuaian Diri Sosial Dikatakan Schneiders bahwa rumah, sekolah dan masyarakat merupakan aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola-pola hubungan diantara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral diantara ketiganya.

  c.

  Penyesuaian Diri Marital atau Perkawinan Penyesuaian diri marital pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab, hubungan dan harapan yang terdapat pada keadaan suatu perkawinan. d.

  Penyesuaian Diri Jabatan atau Vokasional Berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis dimana kesuksesan dalam penyesuaian diri akademik akan membawa keberhasilan seseorang di dalam penyesuaian diri karir atau jabatan.

3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal

  Istilah “penyesuaian yang normal” yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) mengarah kepada perilaku yang umum dan tidak memiliki kesulitan serta karakteristik negatif yang diasosiasikan dengan respon maladjustive dan abnormal. Berikut ini merupakan indikator dari penyesuaian diri yang normal menurut Schneiders (1964).

  a.

  Tidak adanya emosi yang berlebihan.

  Individu dapat merespon suatu situasi atau permasalahan dengan tenang dan terkontrol yang memungkinkan mereka untuk berpikir dan mencari jalan keluarnya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak memiliki emosi, yang mana mengindikasikan abnormalitas, tapi lebih mengarah kepada kendali diri yang positif.

  b.

  Tidak adanya mekanisme psikologis.

  Penyesuaian diri yang normal juga dikarakteristikkan dengan tidak adanya mekanisme psikologis. Melakukan pendekatan secara langsung terhadap permasalahan atau konflik dinilai sebagai respon yang lebih normal dibandingkan dengan melakukan mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi, ataupun kompensasi. c.

  Tidak adanya rasa frustrasi.

  Perasaan frustrasi dapat mempersulit individu untuk berperilaku secara normal terhadap suatu situasi atau permasalahan. Individu yang merasa frustrasi akan menemui kesulitan dalam mengorganisasikan pemikiran, perasaan, motif, serta perilakunya secara efektif.

  d.

  Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri.

  Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri sangat bertolak belakang dengan mekanisme psikologis. Dasar dari kemampuan manusia ketika berpikir dan mempertimbangkan permasalahan, konflik, dan frustrasi merupakan sebuah penyesuaian yang normal. Sebaliknya, ketiadaan dari karakteristik-karakteristik ini merupakan pertanda sulitnya melakukan penyesuaian.

  e.

  Mampu untuk belajar.

  Penyesuaian yang normal dikarakteristikkan dengan pembelajaran berkelanjutan yang menghasilkan perkembangan dari kualitas personal yang diperlukan di kehidupan sehari-hari.

  f.

  Memanfaatkan pengalaman masa lalu.

  Penyakit mental, seperti neurotik dan kenakalan, dikarakteristikkan oleh ketidakmampuan untuk belajar dari masa lalu. Sebaliknya, penyesuaian yang normal memerlukan pembelajaran dari masa lalu.

  g.

  Sikap yang realistis dan objektif.

  Sikap yang realistis dan objektif merupakan sesuatu yang didasari oleh pembelajaran, pengalaman masa lalu, dan pemikiran rasional, yang memungkinkan individu untuk menyadari situasi, permasalahan, atau keterbatasan diri sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk memandang diri sendiri secara realistis dan objektif merupakan pertanda jelas dari sebuah kepribadian dengan penyesuaian yang normal.

  Berdasarkan penjabaran mengenai indikator-indikator di atas, maka yang individu yang dikatakan telah melakukan penyesuaian diri yang normal adalah inidividu yang tidak memiliki emosi yang berlebihan, pertahanan psikologis, perasaan frustrasi, rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis dan objektif. Di lain pihak, karakteritik yang negatif diasosiasikan dengan perlikau maladjustive.

  Schneiders (1964) menjelaskan semakin banyak respon-respon yang memenuhi indikator ini, semakin tinggi tingkat penyesuaiannya. Lebih lanjut Schneiders juga menjelaskan bukan hanya jumlah penyesuaiannya yang menentukan tingkat penyesuaian seseorang, tetapi juga kualitas dari penyesuaian tersebut. Menentukan penyesuaian merupakan hal yang relatif, tergantung pada kapasitas seseorang dalam menghadapi masalah yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

  Schneiders (1964) menjabarkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Faktor-faktor ini merupakan yang berasal secara biologis dari dalam diri individu maupun lingkungan di sekitar individu. a.

  Kondisi fisik Kondisi fisik merupakan kesatuan jasmaniah individu yang merupakan bawaan lahir yang terdiri dari hereditas, susunan syaraf, sistem kelenjar, otot, dan sebagainya. Kondisi fisik yang baik dapat mengarah kepada penyesuaian diri yang baik. Bagi individu yang menderita cacat fisik ataupun penyakit kronis akan sedikit menghambat proses penyesuaian diri.

  b.

  Perkembangan dan Kematangan Tingkat perkembangan dan kematangan individu yang berbeda-beda akan membutuhkan penyesuaian diri yang berbeda pula. Kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosi dapat mengarah kepada penyesuaian diri yang baik.

  c.

  Determinan Psikologis Yang termasuk di dalam determinan psikologis merupakan pengalaman, hasil belajar, determinasi diri, konsep diri, frustrasi, dan konflik. Semua hal ini akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Pengalaman, baik yang baik maupun yang buruk, akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Begitu pula dengan proses belajar yang dapat membantu individu untuk memahami hal- hal apa saja yang membantunya dalam menyesuaikan diri.

  d.

  Lingkungan Lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat juga memberikan pengaruh terhadap penyesuaian diri. Kekohesifan maupun permasalahan dalam keluarga memberi dampak dalam penyesuaian diri individu. Sedangkan lingkungan sekolah berpengaruh terhadap penyesuaian diri karena di sinilah perkembangan intelektual, nilai, sikap, dan moral individu terbentuk.

  Konsistensi nilai, sikap, peraturan, dan moral yang dianut dalam masyarakat akan diidentifikasi oleh individu sehingga juga dapat mempengaruhi penyesuaian diri.

  e.

  Agama dan budaya Agama berkaitan erat dengan budaya. Agama memberikan sumbangan nilai- nilai dan keyakinan yang sangat mendalam sehingga mempengaruhi tujuan, kestabilan, serta keseimbangan hidup individu.

  Berdasarkan penjabaran di atas, kita dapat melihat bahwa faktor pendukung penyesuaian diri meliputi area personal dan sosial. Faktor personal seperti kondisi fisik, psikologis, dan kematangan perkembangan. Faktor sosial seperti lingkungan, agama, dan budaya.

5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik

  Schneiders (1964) mengatakan individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah yang memiliki respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan juga baik (wholesome). Baik (wholesome) memiliki arti respon penyesuaiannya sesuai dengan lingkungan, dalam hubungan kemasyarakatan, dan juga dalam hubungan dengan Tuhan.

  Individu yang memiliki penyesuaian yang baik juga merupakan seseorang yang memiliki keterbatasan namun dapat diatasi dengan kepribadian dan kapasitas dirinya; telah belajar bagaimana berinteraksi dengan dirinya dan lingkungan dengan cara yang dewasa, baik, efisien, dan memuaskan; dan mampu mengatasi konflik mental, frustrasi, serta kesulitan diri maupun sosial tanpa mengembangkan perilaku symptomatis. Dengan kata lain, individu yang menyesuaikan diri dengan baik relatif tidak mengalami gejala-gejala seperti kecemasan yang kronis, obsesi, fobia, tidak mampu untuk membuat keputusan, dan gangguan psikosomatis lainnya yang mengganggu moral, sosial, keyakinan, dan pekerjaan dari individu tersebut.

  Lebih lanjut, Schneiders mengklasifikasikan kriteria penyesuaian diri yang baik ke dalam 16 poin sebagai berikut:

  1. Pengetahuan dan pemahaman diri sendiri.

  2. Objektivitas dan penerimaan diri.

  3. Kendali dan perkembangan diri.

  4. Integrasi personal.

  5. Tujuan yang baik dan terarah.

  6. Perspektif yang adekuat.

  7. Selera humor.

  8. Tanggung jawab.

  9. Kematangan respon.

  10. Pengembangan kebiasaan diri yang baik.

  11. Mampu beradaptasi.

  12. Bebas dari respon simtomatis atau cacat.

  13. Mampu berinteraksi dan menaruh minat terhadap orang lain.

  14. Keluasan minat dalam bekerja dan bermain.

  15. Kepuasan dalam bekerja dan bermain.

  16. Orientasi pada kenyataan yang adekuat.

6. Penyesuaian Diri Lansia

  Setiap tahap perkembangan mewajibkan individu untuk melakukan penyesuaian diri, baik itu terkait kondisi fisik maupun psikologis. Hal ini tak terkecuali bagi lansia. Terdapat berbagai kriteria dalam menilai penyesuaian diri yang dilakukan oeh lansia. Empat kriteria di bawah ini merupakan yang paling umum menurut Hurlock (1996).

  a.

  Kualitas pola perilaku Penyesuaian diri yang baik pada diri lansia hendaknya sesuai dengan teori aktivitas (activity theory) dimana teori ini menjelaskan jika seharusnya pria dan wanita tetap beraktivitas di masa tuanya sebagaimana yang ia lakukan di masa muda ataupun mencari aktivitas pengganti apabila sudah pensiun, terlibat masalah keuangan, maupun pindah ke lingkungan baru. Penyesuaian diri yang buruk adalah penyesuaian diri yang karakteristiknya seperti teori pelepasan teori (disengagement theory). Teori mengatakan bahwa individu lebih memilih untuk membatasi kegiatannya baik secara sukarela maupun tidak. Penyesuaian diri yang baik juga dapat terlihat dalam diri lansia jika ia mampu menyesuaikan diri di masa mudanya.

  b.

  Perilaku emosional Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia lebih apatis dalam kehidupan dan juga kurang responsif. Lansia juga sulit untuk mengekspresikan perasaan kasih sayang kepada orang lain. Di lain sisi, perasaan emosional lansia semakin kuat sehingga lansia sangat mudah untuk marah. Dibandingkan dengan orang-orang yang lebih muda, lansia umumnya tidak memiliki wadah untuk menyalurkan emosi mereka sehingga mereka menjadi cemas dan tertekan dalam waktu yang lama.

  c.

  Kepribadian Banyak yang mengatakan semakin tua seseorang maka ia akan bertingkah seperti anak-anak. Sebenarnya pola kepribadian yang terbentuk di masa tua merupakan manifestasi dari sifat yang sudah ada di dalam diri dan kemudian menjadi semakin tampak di masa tua karena adanya tekanan-tekanan di hari tua.

  d.

  Derajat kepuasan atau kebahagiaan Kriteria yang dipakai untuk mengukur kebahagiaan lansia adalah rentang antara keadaan diri yang sebenarnya (real selves) dan keadaan pribadi yang ideal (ideal selves). Jika jarak di antara keduanya kecil, maka lansia akan memandang kehidupannya sebagai suatu hal yang memuaskan dan memberikan kebahagiaan. Namun jika terdapat perbedaan yang cukup besar di antara keduanya, maka lansia akan memandang kehidupannya dengan kekecewaan dan ketidakbahagiaan. Kebahagiaan lansia di masa tua juga dipengaruhi oleh “Tiga A Kebahagiaan” (Three A’s of Happiness) yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Bila seseorang tidak mampu memenuhi salah satu dari ketiga hal tersebut, kecil kemungkinan bagi lansia untuk bisa bahagia di masa tuanya. Barrett (dalam Hurlock 1996) menjelaskan hal lain yang dapat membuat lansia bahagia yaitu kesiapan lansia dalam menghadapi masa pensiun dan memandangnya sebagai masa kejayaan (the golden years).

  Tidak semua penyesuaian diri yang dilakukan lansia merupakan penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa kriteria yang menunjukkan penyesuaian diri lansia yang buruk. Namun terlebih dahulu kita akan membahas penyesuaian diri yang baik menurut Hurlock (1996), kemudian diikuti oleh kriteria penyesuaian diri yang buruk.

  Penyesuaian Diri yang Baik 1.

  Minat yang kuat dan beragam 2. Kemandirian dalam hal ekonomi, yang memungkinkan untuk hidup mandiri 3. Membangun hubungan sosial dengan segala umur dan tidak terbatas pada orang-orang lanjut usia saja

  4. Kenikmatan kerja yang menyenangkan dan bermanfaat tetapi tidak memerlukan banyak biaya

  5. Berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan 6.

  Kemampuan untuk memelihara rumah tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga fisik

  7. Kemampuan untuk menikmati berbagai kegiatan masa kini tanpa menyesali masa lampau

  8. Mengurangi kecemasan terhadap diri sendiri maupun orang lain 9.

  Menikmati kegiatan dari hari ke hari walaupun aktivitas tersebut dilakukan berulang-ulang

10. Menghindari kritik dari orang lain, terutama dari orang yang lebih muda 11.

  Menghindari kesalahan khususnya tentang kondisi tempat tinggal dan perlakuan dari orang lain

  Penyesuaian Diri yang Buruk 1.

  Kurang memiliki minat dan kurang berpartisipasi dalam lingkungan 2. Menarik diri dalam dunia khayalan 3. Selalu mengenang masa lalu 4. Selalu cemas karena didorong perasaan menganggur 5. Kurang bersemangat dan produktivitas rendah 6. Menganggap bahwa melakukan suatu aktvitas berarti membuang waktu 7. Merasa kesepian karena hubungan dalam keluarga sangat kaku 8. Terisolasi secara geografis 9. Tinggal di panti jompo maupun bersama anak yang telah dewasa 10.

  Selalu mengeluh dan mengkritik sesuatu 11. Menolak mengikuti kegiatan orang-orang lansia karena menganggapnya membosankan.

B. LANSIA

1. Definisi Lansia Usia tua merupakan tahap akhir dalam rentang kehidupan manusia.

  Budaya dan agama sangat berpengaruh dalam menentukan usia seseorang sehingga definisi untuk seseorang yang lanjut usia merupakan suatu hal yang relatif.

  Dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2007), peneliti membagi istilah lansia ke dalam tiga bagian, yaitu young old, old old, dan oldest old. Ketiga istilah ini secara kronologis dibagi berdasarkan kelompok usia dan jenis kegiatan yang dilakukan para lansia. Young old merujuk kepada seseorang yang berumur 65-74 tahun yang biasanya masih beraktivitas dengan aktif. Istilah old old diberikan kepada seseorang yang berusia 75-84 tahun, kemudian istilah oldest old merujuk kepada seseorang yang berusia 85 tahun ke atas dan biasanya memiliki kesulitan untuk beraktivitas sehari-hari.

  Levinson (dalam Colarusso & Nemiroff, 1981) mendeskripsikan masa paruh baya mulai dari usia 40 hingga 60 tahun dimana masa ini merupakan periode aktualisasi serta masa untuk berkontribusi kepada masyarakat. Selanjutnya masa dewasa akhir yang dimulai dari usia tujuh puluhan yang digambarkan sebagai masa kemunduran, namun juga merupakan masa dimana muncul kebijaksanaan melalui pengalaman dari konflik antara keinginan dan moral, antara diri sendiri dan orang lain, dan antara individu dan masyarakat.

  Secara kronologis, usia tua dimulai dari usia enam puluh tahun. Hurlock (1996) membagi tahap lansia ke dalam dua bagian; usia lanjut dini bagi seseorang yang berusia enam puluh tahun, dan usia lanjut bagi seseorang yang berusia tujuh puluh tahun ke atas. Usia lanjut dini merupakan peralihan dari masa dewasa madya menuju masa dewasa akhir. Selanjutnya, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012) serta Komisi Nasional Lanjut Usia (2010) juga menentukan batas usia lansia dimulai dari umur 60 tahun.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka individu yang tergolong ke dalam usia lanjut adalah yang berusia 60 tahun ke atas dimana masa dewasa akhir atau lansia diidentikkan dengan masa kemunduran dan juga kebijaksanaan yang didapatkan dari pengalaman semasa hidup.

2. Tugas Perkembangan Lansia

  Tugas perkembangan menurut Havighurst (dalam Lindgren, 1959) adalah permasalahan atau situasi yang pada umumnya muncul di suatu rentang kehidupan individu. Jika individu berhasil melakukan tugas perkembangannya, maka ia juga akan berhasil di dalam kehidupannya. Namun jika ia gagal, maka ia akan merasa tidak bahagia, tidak memiliki harapan, mendapat penolakan dari masyarakat, dan sulit untuk melakukan tugas perkembangan di tahap berikutnya.

  Pada tahap perkembangan dewasa akhir, tugas perkembangan yang harus dilakukan lansia adalah proses penyesuaian baik terhadap diri maupun lingkungan di sekeliling lansia. Havighurst (dalam Hurlock, 1996) menguraikan beberapa tugas perkembangan pada masa lansia, di antaranya: a.

  Penyesuaian diri terhadap menurunnya kondisi fisik dan kesehatan.

  b.

  Penyesuaian diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga.

  c.

  Menyesuaikan diri dengan kehilangan pasangan hidup.

  d.

  Membentuk hubungan dengan orang yang seusia.

  e.

  Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.

  f.

  Menyesuaikan diri dengan peran sosial dengan luwes.

  Dengan segala perubahan yang dialami oleh lansia, lansia perlu melakukan penyesuaian diri terhadap diri dan lingkungannya. Menurunnya kondisi fisik dan kesehatan pada lansia menuntut lansia agar melakukan perubahan dan perbaikan peran baik di dalam maupun di luar rumah. Kondisi ini juga berdampak terhadap kehidupan sosial lansia dimana penurunan kondisi fisik lansia cenderung menghambat lansia dalam aktivitas sosial yang dulu pernah dilakukan. Pada usia lanjut, orang tua akan berpisah dengan anak-anaknya. Selain perpisahan dengan anak, lansia juga harus menyesuaikan diri terhadap kepergian pasangan, baik karena perceraian maupun kematian. Untuk menghindari rasa kesepian dari serangkaian peristiwa yang umum terjadi pada lansia, membentuk hubungan sosial dengan teman sebaya merupakan cara yang paling baik untuk meningkatkan kesejahteraan lansia (Hurlock, 1996).

C. PERCERAIAN

1. Definisi Perceraian

  Jika pernikahan merupakan suatu peristiwa yang membahagiakan, maka perceraian menurut Landis dan Landis (1960) adalah sebuah peristiwa tidak bahagia yang berlawanan dengan pernikahan. Perceraian merupakan perpisahan dari suami dan istri sebagai akhir dari rusaknya pernikahan (Burgess & Locke, 1960). Perceraian merupakan cara yang legal untuk mengakhiri pernikahan dan sebagai pengumuman ke masyarakat luas bahwa suami dan istri yang telah bercerai sudah tidak mampu untuk mengatasi kesulitan dalam pernikahan mereka (Landis & Landis, 1960; Burgess & Locke, 1960). Berdasarkan definisi di atas, perceraian merupakan suatu peristiwa legal yang tidak bahagia yang menandakan berakhirnya suatu hubungan suami istri.

2. Perceraian di Masa Lansia

  Perceraian juga dialami oleh individu yang memasuki ataupun yang sudah berada di masa lansia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hal-hal yang menjadi penyebab perceraian lansia. Gottman dan Levenson (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) mengembangkan dua model yang memprediksi perceraian yang dibagi menjadi early divorce dan later divorce. Perceraian yang digolongkan ke dalam early divorce adalah pernikahan yang berusia sekitar 7 tahun. Emosi negatif yang ditunjukkan ketika pasangan memiliki masalah dikatakan dapat memprediksi perceraian di usia awal pernikahan. Di lain pihak, perceraian yang digolongkan ke dalam later divorce jika anak pertama sudah berusia 14 tahun. Kurangnya emosi positif ketika pasangan berdiskusi dikatakan dapat memprediksi perceraian.

  Dilihat dari ilmu sosiologi, meningkatnya perceraian di masa lansia disebabkan oleh fenomena baby boomers yang mencapai puncaknya pada tahun 1970 hinggan 1996-an (Brown dan Lin, 2012). Dari sini dapat diketahui bahwa jumlah lansia yang bercerai akan semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya jumlah lansia akibat fenomena baby boomers.

  Di Indonesia, penyebab perceraian di masa lansia menurut Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (2012) adalah ketidakcocokan atau disharmonis antara pasangan suami dan istri. Selain itu pertambahan usia juga secara alami dapat menurunkan kondisi fisik maupun psikologis lansia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya ketegangan di antara suami dan istri yang membuat mereka tidak dapat menerima pendapat satu sama lain sehingga timbulah perceraian.

  Berdasarkan penjelasan di atas, penyebab terjadinya perceraian di usia lansia menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers sehingga meningkatkan jumlah lansia. Sedangkan dari sisi psikologis faktor penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta kemunduran kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya permasalahan pada pasangan.

3. Penyebab Perceraian

  Perceraian dapat bermula dari beberapa permasalahan di dalam pernikahan yang terjadi sejak lama. Permasalahan yang timbul merupakan manifestasi dari konflik dan ketegangan yang lebih mendalam. Burgess dan Locke (1960) menjelaskan beberapa permasalahan dalam pernikahan, dimana jika dibiarkan terlalu lama akan berujung pada perceraian. Dalam studi yang dilakukan oleh Burgess dan Locke (1960), pria dan wanita mengalami permasalahan pernikahan yang berbeda. Pria umumnya memiliki permasalahan pernikahan di area hubungan percintaan dengan pasangan, seks, perdebatan yang berlangsung sejak lama, campur tangan dari pihak keluarga pasangan, masalah keuangan, minuman keras, dan tidak adanya teman. Sama halnya dengan pria, wanita juga mengalami permasalahan pernikahan di area hubungan percintaan dengan pasangan, seks, perdebatan dengan pasangan, tidak memiliki teman, serta kesulitan keuangan dan memiliki perilaku yang kurang diterima masyarakat.

  Burgess dan Locke (1960) juga melakukan studi terhadap permasalahan pernikahan kepada pasangan yang telah bercerai. Subjek pria mengatakan mereka mengalami kesulitan pernikahan karena hubungan seks yang tidak memuaskan, tidak memiliki anak, campur tangan dari keluarga pasangan, perdebatan dengan pasangan, dan kurang memiliki teman. Sedangkan bagi wanita, permasalahan yang terjadi selama ia pernah menikah adalah penyakit menular seksual, tidak adanya dukungan, minuman keras, perjudian, dan suami yang ditahan di penjara.

  Burgess dan Locke (1960) menjabarkan beberapa faktor yang dapat menimbulkan konflik di dalam pernikahan, yaitu:

  a.

   Genic and Psychogenic Tensions Genic dan psychogenis tensions ini sering disebut juga dengan

  ketidaksesuaian tempramen. Hal ini dapat berkembang dari suami dan istri yang memiliki tempramen yang sama ataupun berbeda. Ketidaksesuaian tempramen yang dimilliki pasangan dapat mengarah kepada konflik pernikahan, bahkan perceraian.

  b.

  Budaya Konflik pernikahan dapat bermula dari budaya. Di dalam pernikahan, suami dan istri pasti memiliki kebiasaan yang beragam dalam berbicara, bersikap, berpikir, dan dalam nilai yang dimiliki pasangan tersebut. Semua hal tersebut tanpa sadar tercipta sejak awal pernikahan. Faktor yang mempengaruhinya adalah nilai agama dan budaya yang dimiliki masing-masing pasangan. c.

  Peran Sosial Konflik dalam keluarga dapat muncul ketika anggota keluarga memiliki status dan peran sosial yang berbeda. Perbedaan ini akan menciptakan konflik dalam keluarga jika dianggap lebih penting melebihi pendidikan, agama, dan kemampuan intelektual.

  d.

  Ekonomi Sikap pasangan terhadap keuangan dapat memprediksi munculnya konflik di dalam pernikahan atau tidak. Pasangan hendaklah memiliki kesamaan sikap dalam melihat tujuan dan peran ekonomi di dalam keluarga. Jika terjadi perbedaan dalam tujuan menggunakan uang, maka kemungkinan terjadinya konflik akan lebih besar.

  e.

  Kasih Sayang dan Hubungan Seksual Konflik antara suami dan istri dapat muncul ketika keduanya tidak mampu mengekspresikan rasa kasih sayang dan kepuasan dalam hubungan seksual.

  Dalam hubungan seksual, konflik tidak akan muncul jika pasangan memiliki sikap yang sama dalam tujuan melakukan hubungan seksual, misalnya dengan sama-sama berpikir bahwa hubungan seksual adalah hanya untuk kegiatan prokreasi atau kegiatan hiburan. Namun jika pasangan memiliki pandangan yang berbeda, maka akan timbul konflik.

  Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa penyebab perceraian dapat dilihat melalui perspektif gender. Selain itu perceraian juga terjadi karena perbedaan tempramen, budaya, sosial, ekonomi, atau hanya karena sudah tidak memiliki kasih sayang.

4. Dampak Perceraian

  Perceraian tidak menghilangkan masalah. Masih ada dampak yang ditimbulkan setelah bercerai. Dampak dari perceraian lebih traumatik dibandingkan dengan kematian karena sebelum dan sesudah perceraian akan timbul rasa sakit dan tekanan emosional dalam diri seseorang. Dampak lainnya adalah cela sosial yang diberikan oleh masyarakat. Perceraian juga memberikan pengaruh kepada anak-anak. Mereka akan merasa malu karena merasa berbeda.

  Hal ini dapat merusak konsep diri anak. Lebih lengkapnya, berikut penjabaran mengenai masalah yang umum dihadapi pria dan wanita setelah bercerai oleh Hurlock (1996): a.

  Masalah ekonomi. Setelah bercerai, baik istri maupun suami mengalami kurangnya pendapatan keluarga karena harus menghidupi dua rumah tangga.

  Seringkali istri harus bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

  b.

  Masalah praktis. Suami dan istri melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama. Namun setelah bercerai mereka harus mengerjakan semua rutinitas terebut masing-masing.

  c.

  Masalah psikologis. Individu akan merasa tidak menentu dan identitasnya “kabur” setelah bercerai. Hal ini khususnya terjadi pada wanita karena selama menikah identitasnya sangat tergantung pada suaminya.

  d.

  Masalah emosional. Setelah perceraian akan timbul rasa bersalah, kemarahan, benci, dendam, dan cemas mengenai hari ke depannya, sehingga mengakibatkan perubahan kepribadian. e.

  Masalah sosial. Permasalahan sosial biasanya terjadi kepada wanita karena kehidupan sosialnya hanya terbatas kepada sanak saudara dan teman dekat saja. Kehidupan sosial pria lebih baik dibandingkan wanita, walaupun ia akan merasa tersisih juga.

  f.

  Masalah kesepian. Pria akan merasa lebih kesepian dibandingkan wanita, khususnya di hari libur. Hal ini karena pria biasa menyerahkan urusan anak- anak kepada istrinya pada saat-saat seperti itu.

  g.

  Masalah pembagian tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak. Masalah penyesuaian diri akan timbul pada orang tua dan anak setelah pembagian hak asuh. Terlebih lagi jika kedua orang tua mendapatkan hak asuh. Bila hak asuh jatuh di salah satu pihak (ayah atau ibu), maka ia akan menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan anak yang tidak patuh dan tanggung jawab.

  h.

  Masalah seksual. Bercerai dapat menyebabkan aktivitas seksual terhenti. Cara untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menikah kembali. Jarak antara bercerai dan menikah kembali relatif lebih panjang pada wanita dibandingkan dengan pria. i.

  Masalah perubahan konsep diri. Rasa kebencian akan timbul setelah bercerai, tidak peduli siapa yang menyebabkan perceraian terjadi. Perasaan ini akan selalu mewarnai konsep diri mereka yang dapat mengarah kepada perubahan kepribadian.

  Lebih lanjut, Landis dan Landis (1960) mengungkapkan enam masalah yang timbul sebagai dampak dari perceraian, di antaranya: a.

  Seseorang harus menerima dirinya sendiri setelah perceraian. Rasa tidak aman dan tidak percaya terhadap orang lain timbul setelah bercerai. Hal ini hanya akan menambah masalah.

  b.

  Menyesuaikan diri setelah terkejut secara emosional akibat perceraian.

  c.

  Perubahan dalam kehidupan sosial.

  d.

  Permasalahan keuangan yang umumnya terjadi pada pria dan wanita. Wanita harus mencari dukungan finansial baru setelah perceraian. Sedangkan pria harus tetap menghidupi anak dan istrinya meskipun telah bercerai.

  e.

  Bagi wanita, ia harus mengatur kembali seluruh hidupnya setelah bercerai.

  f.

  Permasalahan emosional.

5. Penyesuaian Perceraian

  Penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan penyesuaian pernikahan. Hal ini dikarenakan penyesuaian pernikahan dilakukan secara bersama-sama oleh dua individu sedangkan penyesuaian perceraian hanya dilakukan oleh satu individu saja (Landis & Landis, 1960).

  Penyesuaian terhadap perceraian dapat berbeda antara pria dan wanita; anak muda dan orang tua; dan antara seseorang yang menjalani pernikahan dalam waktu yang singkat atau lama. Penyesuaian terhadap perceraian akan lebih mudah bagi orang yang berusia muda. Penyesuaian pernikahan nantinya akan berbeda antara seseorang yang mendapatkan hak asuh anak dan yang tidak mendapatkan hak asuh anak sama sekali. Bagi seseorang yang lebih terikat secara emosional kepada pasangan, lebih bergantung, dan lebih mengalami gangguan emosional akibat perceraian, penyesuaian perceraian akan dirasa lebih sulit (Burgess & Locke, 1960).

  Selanjutnya, Burgess dan Locke (1960) dan DeGenova (2008) juga mengemukakan beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan setelah bercerai.

  Penyesuaian-penyesuaian ini dibagi ke dalam delapan kategori, seperti: a.

  Mengatasi trauma akibat perceraian.

  Perceraian merupakan peristiwa yang dapat mengganggu secara emosional akibat kehilangan pasangan secara tiba-tiba. Perasaan trauma lebih besar ditunjukkan oleh pihak yang tidak berinisiatif memulai perceraian. Berbicara dengan orang lain merupakan suatu cara untuk melampiaskan emosi setelah bercerai. Dalam studi yang dilakukan oleh Locke, wanita-wanita yang bercerai lebih memilih tinggal di lingkungan yang sama dan saling berbagi.

  b.

  Mengatasi sikap dari masyarakat.

  Masyarakat memandang perceraian sebagai suatu kegagalan moral ataupun kegagalan seseorang dalam mempertahankan rumah tangganya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kini perceraian dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Bagi orang-orang yang memandang perceraiannya dalam cara yang positif, maka mereka akan cenderung cepat untuk menyesuaikan diri. Lain halnya dengan individu yang memandang perceraiannya sebagai hal yang negatif, maka ia cenderung akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri. c.

  Kesepian dan penyesuaian kembali di kehidupan sosial.

  Kesepian akan sangat terasa bagi pihak yang tidak mendapatkan hak asuh anak. Membangun hubungan sosial dengan orang lain dapat memberikan dukungan dan juga membantu individu untuk menyesuaikan diri setelah bercerai. Selain itu, menikah kembali juga dapat membantu penyesuaian.

  Bagi individu yang tidak menikah kembali, maka akan merasa kesepian. Penyesuaian setelah bercerai juga terasa lebih sulit bagi orang yang lebih tua, terutama wanita. Wanita yang bercerai di atas 40 tahun memiliki kesulitan keuangan bagi dirinya sendiri serta anak-anaknya.

  d.

  Penyesuaian terhadap hak asuh anak.

  Perceraian dapat mengurangi kedekatan antara anak dan orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak. Ibu, sebagai pihak yang lebih sering diberi hak asuh anak, pada umumnya masih mengizinkan mantan pasangan untuk mengunjungi anak-anaknya. Jika ibu puas dengan keputusan hak asuh anak ini, maka kesejahteraan anak akan semakin meningkat.

  e.

  Keuangan Masalah keuangan umumnya dialami oleh wanita, terlebih jika ia mendapatkan hak asuh anak. Meskipun sudah diatur oleh pengadilan, tetapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang tidak diberi bantuan finansial dari mantan suaminya.

  f.

  Mengatur kembali tanggung jawab dan peran kerja Bagi pihak yang mendapatkan hak asuh anak, maka ia harus menyesuaikan diri dengan peran yang dulu dilakukan oleh mantan pasangannya. Ia juga harus bekerja lebih keras untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri serta anak-anak. Sebagai konsekuensinya, waktu untuk berkumpul dengan anak akan menjadi lebih sedikit.

  g.

  Berhubungan dengan mantan pasangan Banyak pasangan yang masih menyimpan kemarahan kepada mantan pasangan bahkan setelah bertahun-tahun bercerai. Padahal jika hubungan dengan mantan pasangan masih terjaga, maka kedua pihak akan mendapatkan keuntungan di antaranya menjaga hubungan dengan anak atau mendapatkan dukungan finansial. Semakin buruk hubungan dengan mantan pasangan, maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri.

  f.

  Menikah kembali Seseorang yang telah bercerai dapat menemukan kepuasan dan penyesuaian setelah bercerai dengan cara menikah kembali. Pernikahan kembali dapat membuat seseorang melupakan pernikahannya terdahulu.

  h.

  Interaksi dengan keluarga Keluarga dapat membantu penyesuaian setelah bercerai dengan cara memberikan dukungan. Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam meminta dukungan dari orang tua atau keluarga. Pria umumnya bergantung pada keluarga sesaat setelah bercerai dan periode yang dibutuhkan wanita dalam bergantung pada keluarganya lebih lama dibandingkan dengan pria. Wanita lebih suka menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan dengan pria. Pihak yang mendapatkan hak asuh anak lebih sering menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan dengan pihak yang tidak mendapatkan hak asuh. i.

  Pindah ke lokasi baru Pindah ke lokasi baru dapat menjadi salah satu bentuk penyesuaian. Biasanya di awal perceraian seseorang akan pindah ke rumah orang tuanya, lalu kemudian pindah ke tempat baru dan meninggalkan teman-temannya. Hal ini dilakukan untuk melupakan kenangan bersama mantan pasangan.

  Dampak dari perceraian tidak hanya mempengaruhi individu namun juga orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Untuk itu penyesuaian perceraian tidak hanya meliputi aspek personal, tetapi juga sosial. Walaupun melakukan penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan penyesuaian pernikahan, tetapi hal ini akan terasa lebih mudah jika didukung oleh lingkungan sekitar individu.

D. PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI

  Perceraian yang terjadi di masa lansia dapat dijelaskan dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis. Penyebab terjadinya perceraian di usia lansia menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers sehingga meningkatkan jumlah lansia (Brown & Lin, 2012). Sedangkan dari sisi psikologis faktor penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta kemunduran kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya permasalahan pada pasangan (Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan BKKBN, 2012).

  Perceraian tersebut pun berdampak terhadap permasalahan emosional dan sosial lansia (Hurlock, 1996; Burgess & Locke, 1960). Perceraian tentu saja berpengaruh pada tugas perkembangan lansia dalam menyesuaikan diri terhadap hubungan sosial dengan teman sebaya dan peran sosial yang dimilikinya.

  Setelah perceraian terjadi, individu hendaklah melakukan penyesuaian. Penyesuaian diri dapat membantu individu untuk menyelaraskan tuntutan dari dalam diri individu dan lingkungan sekitarnya. Tidak mampu menyesuaikan diri dapat mengarahkan seseorang berperilaku maladjustive seperti frustrasi maupun munculnya konflik mental (Schneiders, 1964).

  Burgess dan Locke (1960) serta Hurlock (1996) mengemukakan penyesuaian-penyesuaian yang banyak berfokus pada penyesuaian personal dan sosial, seperti misalnya mengatasi rasa trauma, mengatur keuangan, dan melakukan penyesuaian baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.

  Berinteraksi dengan keluarga dapat memberikan lansia dukungan. Selain itu berbicara dengan orang lain dinilai Locke (dalam Burgess & Locke, 1960) sebagai suatu cara lansia untuk meluapkan perasaan kepada orang lain.

  Penyesuaian diri didukung oleh beberapa faktor, di antaranya faktor kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, dan agama serta budaya (Schneiders, 1964). Faktor-faktor ini dapat berpengaruh terhadap penyesuaian diri lansia. Faktor lingkungan dapat membantu lansia untuk meningkatkan kualitas pola perilaku lansia dimana penyesuaian diri lansia yang baik adalah jika lansia terlibat dalam berbagai kegiatan (activity theory). Selain itu faktor kematangan, terutama kematangan emosional, dapat membantu lansia untuk mengatur perilaku emosionalnya. Bagi lansia yang memandang poositif perceraiannya maka akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian (Burgess & Locke, 1960).

  Seluruh faktor penyesuaian diri di atas mengarah kepada indikator penyesuaian diri yang normal. Schneiders (1964) mengemukakan indikator dari individu yang mampu melakukan penyesuaian diri adalah tidak memiliki emosi yang berlebihan, tidak mempunyai pertahanan psikologis, tidak ada perasaan frustrasi, berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman, serta bersikap realistis dan objektif. Sikap yang realistis merupakan faktor penunjang kebahagiaan lansia seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1996).

E. DINAMIKA PENELITIAN

  Keterangan:

  Menghasilkan Dipengaruhi oleh

  Penyesuaian Diri (Schneiders, 1964)

  Indikator penyesuaian diri yang normal (Schneider, 1964):

  Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

  Tidak memiliki emosi berlebihan

  Tidak ada mekanisme pertahanan psikologis

  Tidak frustrasi Rasional

  Memanfaatkan pengalaman masa lalu

  Mampu untuk belajar

  Bersikap realistis dan objektif

  Lansia Bercerai Dampak Bercerai

  Penyebab