MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920

  Sripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

  Nama : Audy Bramara Nim : 07 4314 007

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011

  Sripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

  Nama : Audy Bramara Nim : 07 4314 007

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis benar-benar merupakan

karya saya sendiri dan tidak diambil dari karya orang lain, kecuali

disebutkan dalam kutipan, catatan kaki, dan daftar pustaka.

  Yogyakarta, 9 Agustus 2011 Penulis

  Audy Bramara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata

  Dharma: Nama : Audy Bramara Nomor Mahasiswa : 07 4314 007

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul ‘MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1877-1920.’ Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, dan mengalihkan dalam bentuk media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantum nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

  Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 14 September 2011

  Yang menyatakan, Audy Bramara

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  MOTTO Kesadaran adalah matahari.

  Kesabaran adalah Bumi. Keberanian menjadi cakrawala. dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

  (W. S. Rendra)

  PERSEMBAHAN

  Karya ini saya persembahkan untuk masyarakat Tionghoa di Yogyakarta, dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta

1877-1920

  Tulisan ini membahas mengenai sejarah yang berhubungan dengan dinamika kelompok masyarakat Tionghoa di Yogyakarta dalam kurun waktu antara tahun 1877-1920. Keberadaan masyarakat Tionghoa sudah diketahui jauh sebelum Kasultanan Yogyakarta berdiri yaitu tahun 1755. Bahkan keberadaan masyarakat Tionghoa sudah diketahui sebelum kedatangan bangsa Belanda di Nusantara. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa proses interaksi sosial antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta sudah terjadi sejak lama.

  Demi kepentingan politik dan ekonomi yang menguntungkan Belanda, melalui pemerintahan kolonialnya, Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan yang secara langsung telah mempengaruhi interaksi sosial kelompok masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Pengaruh yang ditimbulkan oleh kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda cenderung membawa pada perpecahan sosial. Konstruksi sosial yang dibangun oleh Belanda terhadap kelompok masyarakat Tionghoa melahirkan jarak dan kesenjangan diantara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa. Walaupun di satu sisi Belanda membutuhkan keberadaan orang-orang Tionghoa untuk menjadi mitra dagangnya, namun di sisi lain, populasi masyarakat Tionghoa yang semakin besar dan hubungan yang baik dengan masyarakat pribumi dikhawatirkan akan mengancam dominasi Belanda di segala bidang.

  Peraturan-peraturan pemerintah kolonial telah membangun konstruksi sosial yang cenderung mengkotak-kotakkan kelompok masyarakat. Hal tersebut tentu mengancam integrasi sosial yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa. Sebagai akibatnya, kerusuhan rasial antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa sering terjadi. Akan tetapi di wilayah Yogyakarta hampir tidak dirasakan adanya konflik rasial. Integrasi dapat terjadi diantara kelompok masyarakat Tionghoa dengan kelompok masyarakat Jawa di Yogyakarta. Kerusuhan rasial yang terjadi akibat konflik antar kelompok masyarakat tidak terjadi. Integrasi yang terjadi di Yogyakarta tersebut terjadi karena adanya beberapa faktor yang mendukung.

  Sultan sebagai raja yang berkuasa di Yogyakarta mengambil peranan yang menentukan dalam dinamika kehidupan seluruh masyarakat Yogyakarta. Kondisi kultural yang sangat kuat membawa masyarakat Yogyakarta untuk menjadikan sosok Sultan sebagai sosok panutan. Sultan sebagai penguasa lokal di wilayah Yogyakarta telah menjadi pengawal dari kehidupan kolektif di Yogyakarta, dalam hal ini terutama adalah kehidupan yang plural.

  Kata Kunci : Integrasi, Sultan, elite masyarakat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

  The Subject of this writing is the history which related to the dynamics of the Chinese community in Yogyakarta in the period of 1877 – 1920. The Chinese has already been in existence long before the Kingdom of Yogyakarta was established in the year of 1755. The existence of Chinese even had been recognized long before the arrival of the Dutch in the Archipelago. Thus, it is be sure that the interaction process within the Chinese and the Javanese in Yogyakarta had been done since very long time ago

  For the political and economical benefit of the Dutch, the colonial government of the Netherlands-Indies issued a rules that generally influenced the relationship between the Chinese and the Javanese. The influence of a policy of divide and rule that brought social conflicts. Social construction built by the Dutch for the Chinese has made a gap among the Chinese community and the Javanese. Even though in one side the Dutch needed the Chinese as a trading partner, but in the other side, the population which got bigger and the good relationship with the indigenous threatened the domination of the Dutch. The rules that created by the colonial government was shaped a social construction that made separation among people. Thus, it would threat social integration between Chinese and Javanese. Racial riot between the Chinese and the Javanes had happened very often. But seemingly, in the region of Yogyakarta, that kind of conflict has never been heard. In Yogyakarta integration could be built between the Chinese community and the Javanese. Racial riot has not been happened in Yogyakarta.

  Sultan as a king who controlled the region of Yogyakarta took an important role to the dynamics of life for the people of Yogyakarta. Cultural conditions has made the Sultan became a central figure. Sultan as the King of the local region of Yogyakarta has become a communal guard, moreover in the plurality of the people in Yogyakarta. Kata kunci : Integration, Sultan, elite. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  KATA PENGANTAR Setelah melewati proses yang cukup panjang, pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Sehingga puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan

  Yang Maha Esa, atas berkatNya yang melimpah. Tulisan ini sudah barang tentu tidak bisa terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya layak dan pantas jika dalam kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dan mendukung penulis.

  Ucapan terima kasih dialamatkan kepada:

  1. Dosen Pembimbing, Drs. Heribertus Hery Santosa, M.Hum yang juga sekaligus merupakan pembimbing akademik. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang besar atas kesabaran dalam membimbing saya selama proses pengerjaan skripsi ataupun selama proses perkuliahan.

  2. Pak Silverio R. L. A. S., yang menjabat sebagai kepala Indonesiana.

  Terimakasih atas saran dan kritikan yang telah manjadikan saya menjadi lebih baik.

  3. Pak Sandiwan yang telah banyak memberikan saya masukan dalam penulisan skripsi, serta terimakasih pula untuk semua ilmu yang diberikan selama proses perkuliahan. Pak Anton Haryono, terimakasih untuk kuliah-kuliah yang banyak membantu saya terutama ketika memulai penulisan skripsi ini, serta lokalitas yang bapak tawarkan dalam pemikiran-pemikiran bapak, membuat belajar sejarah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Prof. Dr. PJ. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  Suwarno, terimakasih atas semangat bapak dalam mengajar, sehingga banyak menginspirasi saya untuk tetap semangat dalam menghadapi segala sesuatu.

  4. Pak Manu terima kasih atas buku-buku yang dipinjamkan kepada saya.

  Terima kasih juga atas semua dorongan dan motivasi untuk menulis tentang sesuatu yang ada di daerah dalam hal ini Yogyakarata. Terima kasih juga karena telah memperkenalkan saya dengan kebudayaan Jawa, sehingga saya terpicu untuk lebih giat belajar lagi.

  5. Rm. G. Budi Subanar, SJ yang telah memberikan masukan refrensi kepada saya, serta mengajari saya untuk berpikir secara kritis. Terima kasih juga untuk Rm. FX. Baskara T. Wardaya, SJ yang telah membantu saya untuk berpikir secara lebih sistematis dan membantu saya untu dapat melihat sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas. Karena dengan begitu subjektifitas dapat direduksi.

  6. Mas Tri yang di Sekretariat Fakultas Sastra USD, terima kasih untuk semua bantuan administratif sewaktu saya kuliah.

  7. Terima kasih atas dorongan semangat dari keluarga: Papa, Mama, Elang, Gunung, dan Puri. Juga saudara-saudara yang terus mengikuti perkembangan kuliah saya dalam semester akhir: Ibu Emawati, Bapak Suhendro Djayusman.

  8. Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada teman-teman di Jurusan Ilmu Sejarah USD. terutama angkatan 2007: Benedito Savio, Ligia, Krisna, Wahyu, Adi Siswanto, Irawan, Andriawan, Aryo Baskara, Tian. Trima kasih juga untuk teman teman sastra atas dukungan dan bantuan: Denty Piawai Nastitie, Herman Marhindi, Alwi, Damar Purnomo. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  9. Teman-teman Salt 2011, terima kasih atas dukungan serta toleransi yang sudah teman-teman berikan: Mas Anton, Andre, Yosan, Dias.

  Semoga apa yang telah diberikan kepada saya diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada akhirnya harus diakui bahwa hasil karya ini tidak sempurna, oleh karenanya saran dan kritik sangat diharapkan demi kepentingan bersama.

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i

  2. Praktis 7

  BAB II MASYARAKAT BELANDA DAN MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA SERTA KRATON KASULTANAN PASCA PERJANJIAN GIYANTI TAHUN 1755 16

  13 H. Sistematika 13

  11 G. Metode Penelitian

  9 F. Kerangka Teoritis

  8 E. Tinjauan Pustaka

  2. Manfaat Praktis

  8

  1. Manfaat Teoritis

  D. Manfaat

  1. Akademis 7

  HALAMAN PERSETUJUAN ii

  C. Tujuan

  1 B. Permasalahan 6

  1 A. Latar Belakang

  BAB I PENDAHULUAN

  DAFTAR ISI xiii

  ABSTRACT ix KATA PENGANTAR x

  HALAMAN PERSEMBAHAN vii ABSTRAK viii

  HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS v HALAMAN MOTTO vi

  HALAMAN PENGESAHAN iii

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  A. Masyarakat Belanda

  16 B. Sejarah Kedatangan Etnis Tionghoa

  20

  1. Migrasi ke Nusantara

  20

  2. Menetap di Yogyakarta

  24 C. Pekerjaan orang-orang Tionghoa di Yogyakarta

  25 D. Dualisme Pemerintah Hindia Belanda atas Orang-Orang Tionghoa di Jawa

  29 E. Kedekatan dengan Kraton

  33 BAB III MENJADI BANGSAWAN DAN ELITE MASYARAKAT

  37 A. Menjadi Bagian dari Kraton

  42 B. Elite Masyarakat

  48 BAB IV MASYARAKAT TIONGHOA DIANTARA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN

  56 A. Hubungan Baik yang Terjalin

  57

  1. Pembangunan Klenteng

  57

  2. Menjadi Bagian dari Kraton Kasultanan Yogyakarta

  59

  3. Stabilitas Ekonomi dalam Perdagangan

  61

  4. Pendidikan 65

  5. Pers 68

  B. Ancaman Disintegrasi

  72

  1. Perdagangan 73

  2. Industri 75

  BAB V PENUTUP

  77 Kesimpulan

  77 DAFTAR TABEL xv

  DAFTAR PUSTAKA

  82

  

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  DAFTAR TABEL

  1. Jumlah pengusaha Tionghoa

  26

  2. Pola-pola pekerjaan masyarakat Tionghoa di Yogyakarta tahun 1808

  28

  3. Perbandingan Pekerjaan Pedagang dengan Non-pedagang Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta tahun 1808

  29

  4. Jumlah Kerugian Harta benda Akibat Gempa Bumi di Yogyakarta Tanggal 10 Juni 1867

  63 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedatangan orang-orang Tionghoa di Nusantara berada pada puncaknya

  terjadi pada abad ke-19 dan ke-20. Perkembangan teknologi pada kapal motor, serta telah dicabutnya larangan bepergian ke luar daerah China pada masa dinasti Ching, memberi pengaruh besar terhadap migrasi orang-orang Tionghoa dari daratan China ke wilayah Nusantara. Banyak di antara orang-orang Tionghoa itu datang ke Nusantara dengan tujuan ingin memperbaiki nasib mereka, karena pada waktu itu situasi di daratan China sangat sulit. Di Nusantara sebagian dari mereka bekerja sebagai buruh, dan juga petani. Walaupun demikian, banyak di antara orang-orang Tionghoa di Nusantara itu yang menjadi pedagang. Pada awalnya, kedatangan orang-orang dari negeri China ke Nusantara terjadi karena adanya motif perdagangan. Sehingga, dalam masa-masa sesudahnya perdagangan banyak digeluti orang-orang Tionghoa, terutama orang Tionghoa dari sub suku bangsa Hokkien. Hubungan perdagangan dengan negeri China sendiri telah terjadi sekitar

  1 abad ke-16.

  Pada masa kolonial Belanda, hubungan sosial antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa pada dasarnya berjalan secara harmonis. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya akulturasi antara mereka. Perkawinan antara orang

                                                              

1 Peter Carey. Orang Jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825). 1986.

  Jakarta: Pustaka Azet. Hal.15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  Tionghoa dengan penduduk setempat, merupakan wujud dari proses akulturasi yang terjadi.

  Pada dasarnya, dalam mata pencaharian orang-orang Tionghoa di Nusantara, tidak melulu menjadi pedagang. Banyak di antara orang-orang Tionghoa yang ada di Nusantara menjadi petani, tukang atau buruh, atau bahkan menduduki jabatan pada sistem birokrasi lokal. Dalam perkembangannya, keberadaan orang-orang Tionghoa itu dianggap membahayakan dominasi ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Selain bidang ekonomi, dalam bidang politik etnis Tionghoa juga dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda. Jumlah populasi mereka yang semakin berkembang, dan hubungan mereka yang sangat baik dengan orang-orang Jawa kelas atas, adalah ancaman yang dapat membahayakan dominasi pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda banyak mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang cenderung merugikan masyarakat Tionghoa. Salah satunya adalah peraturan

  2 Zoning Stelsel yang dikeluarkan pada tahun 1863. Peraturan ini memaksa semua

  penduduk Tionghoa di wilayah Nusantara menetap pada area yang secara khusus diperuntukkan bagi orang Tionghoa. Area khusus bagi orang Tionghoa itu biasanya berada di dekat pasar. Wilayah inilah yang kemudian dikenal dengan nama pecinan. Peraturan Pemerintah kolonial Belanda ini jelas mengganggu proses asimilasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Peraturan tersebut telah membentengi terjadinya asimilasi antara masyarakat

                                                              

2 Siauw Tiong Djin. Siauw Giok Tjha: Perjuangan seorang Patriot membangun Nasion Indonesia dan -Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. 1999.

  Jakarta: Hata Mitra. Hal. 17-18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  Tionghoa dengan masyarakat Jawa dan melahirkan citra eksklusivisme pada masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa diarahkan hanya untuk hal-hal yang bersifat ekonomi saja. Zoning Stelsel telah membentuk kehidupan masyarakat Tionghoa bahkan sampai masa sesudahnya. Sampai saat ini, banyak muncul stereotip dari masyarakat Indonesia yang mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa sangat eksklusif, suka berkelompok-kelompok, menjauhkan diri dari

  3

  pergaulan sosial dan tinggal di lingkungan yang tersendiri pula. Di sisi lain, peraturan tersebut mempunyai nilai positif bagi masyarakat Tionghoa sendiri.

  Sadar atau tidak, peraturan inilah yang telah melesatarikan kebudayaan masyarakat Tionghoa. Dengan adanya Zoning Stelsel, kebudayaan Tionghoa berpeluang untuk tetap eksis. Wilayah Zoning Stelsel di Yogyakarta dapat ditemui di kampung Ketandan dan Pajeksan, yang terletak di sebelah utara pasar Beringharjo.

  Menariknya, peraturan yang dibuat Belanda untuk etnis Tionghoa itu, tidak menimbulkan suatu konflik sosial yang mengarah pada kerusuhan rasial dengan penduduk setempat di daerah Kasultanan Yogyakarta. Bahkan dampak dari Peristiwa ’65 yang banyak menempatkan orang-orang Tionghoa sebagai korban dari strategi politik pemerintah Orde Baru hampir tidak dirasakan di Yogyakarta.

  Di Yogyakarta, etnis Tionghoa dapat hidup harmonis berdampingan dengan masyarakat sekitar.

                                                              

3 Charles A. Coppel. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. 1994. Jakarta:

  Pustaka Sinar Harapan. Hal. 26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  Pada tahun 1812, jumlah orang Tionghoa di daerah Kasultanan

  4 Yogyakarta mencapai 758 orang laki-laki. Mereka yang datang di Kasultanan

  pada awalnya adalah laki-laki saja. Orang-orang Tionghoa yang hidup di daerah Kasultanan Yogyakarta ini secara sosial berada di tempat yang dapat mendukung Harmonisasi. Di antara orang-orang Tionghoa itu, ada yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Jawa dari kalangan atas di Yogyakarta, baik dalam hubungan ekonomi maupun sosial.

  Dalam perkembangannya hubungan baik yang terjadi antara Kasultanan Yogyakarta dengan orang-orang Tionghoa yang tinggal di Yogyakarta menjadi sebuah kesempatan bagi budaya Tionghoa untuk tetap menjaga eksistensinya.

  Wujud dari hubungan baik itu terlihat dari berdirinya klenteng-klenteng di tanah milik Kasultanan Yogyakarta. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk mendirikan sebuah bangunan yang berhubungan erat dengan budaya non-Jawa seperti kelenteng, tanpa ijin atau campur tangan penguasa tanah, dalam hal ini pihak Kasultanan Yogyakarta.

  Salah satu wujud dari kebudayaan adalah kebudayaan fisik. Kebudayaan fisik merupakan sebuah hasil dari aktifitas, atau karya manusia dalam

  5

  masyarakatnya. Klenteng merupakan manifestasi sebuah kebudayaan fisik yang berhubungan erat dengan proses lahirnya kebudayaan yang memuat ideologi dan adat-istiadat. Proses akal budi manusia yang akhirnya melahirkan apa yang

                                                              

  4 Peter Carey, op. cit., Hal.35

  5 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 2000. Jakarta: Rineka

  Cipta. Hal. 188 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  dinamakan kebudayaan fisik. Bagi kelompok masyarakat Tionghoa perantauan yang jauh dari tanah asalnya, menciptakan sebuah kebudayaan fisik seperti Klenteng tidaklah mudah. Mereka perlu dukungan dari penguasa ataupun kelompok masyarakat mayoritas di lingkungannya.

  Klenteng adalah sebuah bangunan tempat peribadatan masyarakat Tionghoa, yang pada abad ke-19 dan ke-20 banyak ditemukan di sekitar wilayah Pecinan. Sebutan “klenteng” sendiri pada dasarnya merupakan sebuah nama yang lahir di Nusantara. Di negara lain seperti Malaysia, Philipina, dan Singapura istilah klenteng tidak ditemukan. Istilah Klenteng kemungkinan berasal dari suara lonceng yang kerap kali terdengar dari tempat tersebut. Sebelum dikenal dengan sebutan Klenteng, tempat peribadatan tersebut pada mulanya disebut: Bio, Kiong,

6 Tong, Ting, Si.

  Di Yogyakarta terdapat dua klenteng yakni klenteng Kwan Tee Kiong atau Cing Ling Kiong dan klenteng Ho Liong Bo. Klenteng Kwan Tee Kiong atau juga Cing Liong Kong yang berada di jalan Poncowinatan dan didirikan pada tanggal

  1 Desember 1906. Sedangkan klenteng Ho Liong Bio yang berada di jalan

  7 Gondomanan dan didirikan pada tanggal 15 Agustus 1900. Kedua klenteng

  Tionghoa yang ada di Yogyakarta ini didirikan oleh kaum Tionghoa yang memiliki hubungan yang dekat dengan orang Jawa dari kalangan atas. Hubungan

                                                              

  6 Moerthiko, ed. Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang, Tempet Ibadah . 1980. Semarang: Sidoyoso. Hal. 95-87.

  Tridharma se-Jawa

  7 Ibid., Hal. 234-236 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  tersebut juga membuat masyarakat Tionghoa di Yogyakarta luput dari konflik- konflik rasial dengan kelompok masyarakat lain.

  Tulisan ini berkonsentrasi pada sejarah etnis Tionghoa di Yogyakarta selama periode tahun 1877-1920. Dalam tahun 1877-1920 merupakan periode masa jabatan Sri Sultan Hamengku Buwana ke-VII dalam memerintah Kasultanan Yogyakarta. Dalam sejarahnya masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana ke-VII merupakan titik yang paling menentukan terutama dalam pembangunan perekonomian daerah Kasultanan Yogyakarta. Hal ini dikarenakan Sri Sultan Hamengku Buwana VII selama masa pemerintahannya banyak menyewakan tanah Kasultanan Yogyakarta, untuk para investor yang kemudian digunakan sebagai pusat-pusat industri. Sehingga dalam perkembangannya, berdirinya pabrik-pabrik gula di tanah Kasultanan Yogyakarta dapat mendorong perekonomian di Yogyakarta. Bagi masyarakat umum keuntungan yang di dapat adalah terbukanya lapangan pekerjaan di pabrik-pabrik gula tersebut, sedangkan Kraton mendapatkan keuntungan yang besar dari sewa tanah pabrik-pabrik gula tersebut. Datangnya para investor yang mendirikan pabrik-pabrik gula di Yogyakarta mampu mengangkat perekonomian Yogyakarta. Dengan naiknya keadaan ekonomi di Yogyakarta, pembangunan mulai dilakukan di berbagai sektor kehidupan. Pembangunan tersebut bahkan juga sampai pada masalah religi masyarakat. Dalam periode ini berdiri dua Klenteng yang letaknya berada di pusat kota Yogyakarta. Sehingga melalui periode yang berpengaruh bagi kehidupan sosial-ekonomi di daerah Yogyakarta ini, tulisan ini akan mencoba menyoroti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  tentang sejarah dinamika masyarakat Tionghoa yang hidup di tengah masyarakat lain di Yogyakarta.

  B. Permasalahan

  Ada sebuah pameo yang mengatakan bahwa barang siapa ingin mengenal “manusia sekarang” maka sebaiknya berusahalah untuk mengenal “manusia lama”. Oleh sebab itu, dalam rangka melihat kembali proses lahirnya identitas kolektif di dalam masyarakat di Yogyakarta, maka tulisan ini akan memusatkan perhatian pada sejarah etnis warga Tionghoa di Yogyakarta. Permasalahan yang akan menjadi perhatian dapat didalami melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

  1. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah Yogyakarta tidak banyak menghadapi konflik sosial yang mengarah pada kerusuhan rasial dengan kelompok masyarakat lain di lingkungannya?

  2. Bagaimana dinamika sosial kebudayaan masyarakat Tionghoa di daerah keraton Kasultanan Yogyakarta?

  3. Bagaimana pengaruh keberadaan masyarakat Tionghoa di Yogyakarta bagi lingkungan sosial di sekitarnya?

  C. Tujuan

1. Akademis

  Secara Akademis, tujuan dari penulisan ini adalah mendokumentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa di Yogyakarta pada kurun waktu 1877-1920. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  Melalui tulisan ini diharapkan mampu menambahkan wacana tentang sejarah etnis Tionghoa dalam khasanah sejarah Indonesia. Tulisan ini juga diharapkan mampu mereduksi steriotip masyarakat Indonesia mengenai etnis Tionghoa-Indonesia yang dianggap etnis yang “berbeda” dengan Indonesia.

2. Praktis

  Penulisan ini berusaha melakukan pengkajian sejarah etnis Tionghoa di Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwona VII yakni tahun 1877-1920. Dalam kerangka tersebut, fokus diarahkan pada bagaimana eksistensi kebudayaan Tionghoa dipertahankan melalui tataran sosial, ekonomi, ataupun intelektual. Dengan demikian diharapkan identitas masyarakat Tionghoa mampu dibaca melalui kacamata sejarah etnis Tionghoa di Yogyakarta.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoretis

  Tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan penulisan sejarah etnis Tionghoa di Nusantara, dimana pada era pasca Orde Baru tulisan mengenai sejarah etnis Tionghoa mulai di kaji kembali. Minimnya tulisan mengenai sejarah etnis Tionghoa membuat sejarah tidak mengakomodasi semangat kebersamaan, persatuan, dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Bhineka Tunggal Ika hendaknya dipahami sebagai landasan berpikir untuk mereduksi banyaknya steriotip negatif mengenai etnis Tionghoa- Indonesia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

2. Manfaat Praktis

  Penulisan ini diharapkan dapat memotret serta memberikan interpretasi yang objektif mengenai situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan etnis Tionghoa di Yogyakarta pada masa lalu. Orang-orang Tionghoa di Yogyakarta telah berusaha mengangkat kebudayaan Tionghoa, berdampingan dengan kebudayaan Jawa pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VII, baik melalui bidang ekonomi, sosial, ataupun intektual. Tulisan ini juga diharapkan mempunyai daya guna dalam upaya memberikan sudut pandang lain dari sejarah dinamika kehidupan masyarakat di Yogyakarta.

E. Tinjauan Pustaka

  Kepustakaan yang senada dengan tulisan ini adalah buku dengan judul

  

Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930 karya Abdurrachman

  Surjomihardjo. Dalam buku Kota Yogyakarta Tempo Doeloe ini dibahas mengenai sejarah kota Yogyakarta dari tahun 1880-1930. Ditinjau dari periode yang dipilih, buku hampir sama dengan periode yang digunakan dalam tulisan berjudul Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta ini, yakni tahun 1877-1920, serta keduanya sama-sama melakukan pembahasan pada daerah Yogyakarta. Hanya saja, dalam buku Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, merupakan buku sejarah kota, sehingga dari buku ini tidak dibahas secara rinci mengenai bagaimana dinamika sosial, yang meletakkan hubungan sosial-kebudayaan yang terjadi antara kelompok masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Jawa, Belanda, di Yogyakarta serta pihak Kraton Kasultanan Yogyakarta. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  Kepustakaan yang lain adalah buku berjudul Orang Jawa dan Masyarakat

  

Cina (1755-1825) karya Peter Carey. Buku Orang Jawa dan Masyarakat Cina

(1755-1825) ini membahas mengenai bagaimana hubungan sosial, ekonomi, serta

  politik antar orang-orang Jawa dan masyarakat Tionghoa. Hubungan yang terjadi antar kedua kelompok tersebut telah menempatkan orang-orang Tionghoa dalam penerimaan masyarakat. Bahkan hubungan baik antara orang-orang Tionghoa dengan Kraton telah terjadi setelah perjanjian Giyanti yang melahirkan kraton Yogyakarta. Yang membedakan buku karya Peter Carey ini dengan tulisan Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta ini adalah perbedaan konsentrasi pada periode. Sebab, periode buku Orang Jawa dan Masyarakat Cina adalah 1755-

  

1825. Sehingga dalam periode itu tidak membahas bagaimana pengaruh politik

  Etis Belanda yang dalam masa sesudahnya melahirkan elit-elit yang turut mewarnai dinamika sosial-budaya Yogyakarta.

  Selain kedua pustaka di atas, ada pula buku berjudul Identitas dan

  

Postkolonialitas di Indonesia . Buku ini merupakan kumpulan tulisan dimana Budi

  Susanto, S.J. menjadi editornya. Di dalam salah satu bagian dari buku tersebut ada karya dari Abdul Wahid dengan judul Proses Menjadi (Tidak) Indonesia?

  

Persepsi dan Memori Massa-Rakyat Tionghoa di Yogyakarta. Dalam tulisan

  karya Abdul Wahid ini dipaparkan mengenai sejarah masyarakat Tionghoa di Yogyakarta dengan melalui konflik-konflik yang pernah terjadi di masa silam untuk membangun kembali identitas di masa kini. Yogyakarta yang cenderung terbebas dari kerusuhan masa yang mengarah pada konflik rasial tentu bukan menjadi jaminan bagai para anggota masyarakatnya untuk terbebas dari konflik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  Hal tersebut dikarenakan konflik merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial. Akan tetapi yang membedakan tulisan Abdul Wahid ini adalah pada konsentrasi periodesasi. Dalam Tulisan Abdul Wahid konflik yang dituliskan dapat dibagi kedalam masa: Kolonialisme, atau tepatnya pada masa Tan Jing Sing diangkat menjadi Bupati, pada masa pendudukan Jepang, tahun 1965, dan 1998. Sehingga yang membedakan adalah ada periode kontemporer yang dicantumkan. Selain itu, tulisan Abdul Wahid tidak memberikan analisa secara lengkap terhadap periode tahun 1877-1920.

F. Kerangka Teoretis

  Tulisan ini akan didasarkan atas pemikiran bahwa lahirnya kebudayaan baru tidak melulu terjadi karena adanya perencanaan manusia secara sadar.

  Realitas masyarakat telah menjaga untuk mengembangkan kebudayaan mereka sendiri, dan hampir tanpa disadari oleh masyarakatnya. Kebudayaan secara konstan dan otomatis dalam konteks pertemuan dua budaya atau lebih dalam satuan wilayah, akan menawarkan sebuah integrasi. Dalam sudut pandang lain, integrasi merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kalangan atau golongan yang mendapatkan keuntungan melalui integerasi, dalam hal ini adalah golongan minoritas. Hal ini terjadi karena melalui integrasi golongan minoritas dapat menjaga eksistensi mereka.

  Pada dasarnya integrasi merupakan sebuah proses dalam kehidupan sosial- budaya manusia yang akan terus berkembang seiring perubahan jaman. Integrasi menawarkan kelompok masyarakat tertentu untuk mempertahankan eksistensi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  mereka dalam kehidupan. Pada saat suatu masyarakat “diserang” oleh masalah secara konstan dan akhirnya mereka akan mencoba untuk mempertahankan eksistensi mereka. Sehingga akhirnya integrasi adalah bagian dari perjuangan dan

  8 perlawanan masyarakat untuk suatu eksistensi.

  Integrasi terjadi tidak melulu karena adanya penerimaan dari kedua pihak. Integrasi juga dapat terjadi karena adanya keinginan dari salah satu pihaknya dalam rangka mewujudkan kepentingan tertentu. Oleh karenanya proses terjadinya integrasi dapat terwujud karena adanya kepentingan dari salah satu kelompok yang berusaha mempertahankan eksistensi mereka.

  Fokus kajian untuk melihat bagaimana masyarakat etnis Tionghoa berusaha menjaga eksistensinya adalah dalam kurun waktu 1877-1920, dimana di Yogyakarta pada masa itu dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwana VII. Bagaimana kebudayaan Tionghoa yang ada “terjaga” dalam daerah Zoning Stelsel membuat mereka berusaha eksis, dan puncaknya adalah berdirinya dua Klenteng di Yogyakarta. Pembuatan Klenteng di tengah kota adalah bagian dari simbol yang mengarah pada terjadinya integrasi. Hal ini merupakan bukti telah terjadi integrasi antara masyarakat Tionghoa di Yogyakarta dengan masyarakat Jawa pada umumnya, serta Kraton Kasultanan Yogyakarta. Walaupun demikian integrasi yang terjadi tersebut juga merupakan sebuah usaha suatu kelompok minoritas dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka di dalam kehidupan bersama kelompok masyarakat yang lebih besar. Hal tersebut juga berlaku

                                                              

8 Kroeber. Anthropology. 1948. New York: Harcourt, Brace and Company.

  Hal. 286-288 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  terhadap kelompok masyarakat Tionghoa di Yogyakarta, yang berusaha masuk dalam simbol-simbol yang ada dalam sistem sosial ataupun kebudayaan Jawa untuk tujuan integrasi.

G. Metode Penelitian

  Metode sejarah digunakan oleh para sejarawan dalam rangka melakukan penelitian serta penulisan sejarah. Tulisan ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari: Pemilihan Subyek Kajian, Heuristik, Kritik, Sintesa, dan

9 Historiografi. Heuristik merupakan usaha pengumpulan sumber yang berkaitan

  dengan permasalahan yang diteliti. Dalam tahap pengumpulan data akan dilakukan dengan cara studi pustaka pada bidang terkait. Selain dengan melakukan studi pustaka sebagai pengumpulan data utama, penelitian ini juga akan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan kelompok etnis Tionghoa di Yogyakarta. Wawancara yang dilakukan diharapkan mampu membantu menggambarkan pola-pola integrasi yang ada di masyarakat sekarang dan merupakan warisan masa lalu. Sehingga menjadi sebuah proyeksi ke belakang untuk melihat masa lalu.

  Tahapan selanjutnya adalah Kritik. Kritik merupakan proses pengujian sumber-sumber yang telah terkumpul untuk mengetahui kredibilitas fakta dan keaslian sumber. Sehingga melalui tahapan kritik sumber ini, didapatkan sumber yang mampu menjawab permasalahan yang ada. Tahapan selanjutnya adalah

                                                              

9 Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. 1975. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 33-35.

  PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  usaha penggabungan fakta-fakta berdasar kronologis dan sebab akibatnya. Tahap ini disebut dengan sintesa. Sedangkan tahap terakhir adalah historiografi. Pada tahap historiografi ini akan dilakukan perangkaian fakta-fakta yang didapat dan telah disintesakan sebelumnya. Tahap ini merupakan tahap terakhir yang dilakukan dalam rangka menuliskan peristiwa sejarah.

H. Sistematika

  Dalam Bab I berisi mengenai pendahuluan penulisan. Bab ini, memuat Kerangka konseptual yang membangun dan memagari penulisan ini. Adapun dalam Bab I, berisikan Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teoritis, Metode penelitian, dan Sistematika penulisan.

  Bab II berjudul Masyarakat Belanda dan Masyarakat Tionghoa di Yogyakarta serta Kraton Kasultanan Pasca Perjanjian Giyanti Tahun 1755. Bab ini merupakan pemetaan dari setiap elemen yang ada dalam konteks sejarah etnis Tionghoa di Yogyakarta tahun 1877-1920. Dalam Bab ini mengunakan periode pasca perjanjian gityanti yakni tahun 1755. Hal tersebut dikarenakan perjanjian giyanti adalah titik penting yang kemudian melahirkan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Dengan lahirnya Kraton maka banyak orang yang datang untuk berdagang dan kemudian menetap di Yogyakarta. Oleh karena itu, Bab II merupakan sejarah kedatangan etnis Tioonghoa di Yogyakarta yang juga menjadi bagian awal dari proses panjang integrasi yang terjadi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI  

  Bab III berjudul Mejadi Bangsawan dan Elite Masyarakat. Bab III secara khusus membahas tentang dinamika integrasi yang terjadi antara kelompok masyarakat Tionghoa di Yogyakarta dengan masyarakat Yogyakarta sendiri. Proses integrasi yang terjadi itu kemudian direpresentasikan oleh masuknya orang-orang Tionghoa ke dalam lingkungan Kraton Kasultanan Yogyakarta, atau dengan pengangkatan gelar kebangsawanana, serta melalui sektor-sektor sosial kebudayaan.

  Bab IV berjudul Masyarakat Tionghoa di antara Penerimaan dan Penolakan. Bab ini menuliskan mengenai penerimaan dan penolakan masyarakat Tionghoa yang merupakan dampak dari pengaruh keberadaan masyarakat Tionghoa yang kian lama kian mengalami pertumbuhan jumlah penduduk yang kian besar. Penerimaan dan penolakan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tionghoa oleh karena konstrusi sosial yang telah dibangun di dalam masyarakat.

  Bab V, adalah Penutup. Dalam Bab V ini dituliskan mengenai kesimpulan dari keseluruhan tulisan ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II MASYARAKAT BELANDA DAN MASYARAKAT TIONGHOA DI YOGYAKARTA SERTA KRATON KASULTANAN PASCA PERJANJIAN GIYANTI TAHUN 1755 Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, Kerajaan Mataram terpecah

  menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dengan Kasultanan Yogyakarta. VOC, sebuah perusahaan dagang dari negeri Belanda, memegang peran utama atas terjadinya perjanjian Giyanti tersebut. Muatan politik bagi kepentingan kekuasaan Belanda sangat kental mewarnai perjanjian tersebut. Dengan adanya perjanjian Giyanti, Belanda Bahkan Belanda dapat melakukan intervensi politik, bahkan sampai menyentuh ke dalam sistem pemerintahan Kerajaan Mataram yang terpecah itu. Salah satu isi dari perjanjian Giyanti menyebutkan bahwa dalam

  1

  pergantian Raja, seorang calon Raja memerlukan persetujuan dari Belanda. Hal ini menyebabkan Belanda menjadi pemegang supremasi kekuasaan yang paling mendominasi di pulau Jawa.

A. Masyarakat Belanda

  Masyarakat Belanda ataupun juga orang-orang Eropa lainnya merupakan kelompok masyarakat yang berada pada level paling atas dari struktur masyarakat kolonial. Masyarakat kolonial dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan etnis atau suku. Orang-orang Belanda yang berada di Yogyakarta,

                                                              

1 G. Moedjanto. Suksesi dalam Sejarah Jawa. 2002. Yogyakarta: Penerbit

  Universitas Sanata Dharma. Hal. 120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  pada umumnya bermatapencaharian sebagai pegawai-pegawai pemerintah, pengusaha perkebunan, pengusaha dibidang industri, dan juga pedagang.

  Abad ke-19, merupakan masa yang cukup berat bagi negeri Belanda yang

  2

  disebabkan oleh situasi politik di dalam negeri yang tidak kondusif. Disamping itu, di jawa juga terjadi pergolakan hebat dengan terjadinya perang besar yang dinamakan Perang Jawa yang terjadi pada tahun 1825 - 1830. Perang tersebut telah banyak merugikan Belanda. Kemudian terjadi suksesi dimana Raja William

  II digantikan oleh anaknya William III yang memerintah dari tahun 1849-1890. Untuk meningkatkan laju perekonomian negeri Belanda, pada masa itu dibuatlah kebijakan-kebijakan atau strategi politik kolonial dengan maksud agar dapat diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kejayaan Negeri Belanda. Kebijakan-kebijakan kolonial tersebut kemudian berdampak secara langsung pada proses integrasi antar etnis di Hindia Belanda.

  3 Kolonial Belanda menganut sistem politik apartheid. Dalam sistem

  politik tersebut, masyarakat kolonial dibagi kedalam tiga golongan yang membentuk hierarki vertikal. Dalam strata menurun masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam golongan-golongan yang berbeda yaitu: golongan Eropa atau orang- orang Belanda; golongan Timur Asing yang termasuk didalamnya masyarakat

                                                              

  2 Lihat, FL. Hasto Rosariyanto, SJ. Van Lith Pembuka Pendidikan Guru di Jawa . 2009. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Hal. 20-21

  3 Lihat Onghokham. Anti China, Kapitalisme China dan Gerakan China:

Sejarah Etnis China di Indonesia . 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal. 3-4

  Apartheid adalah sistem pembedaan kebudayaan. Sistem ini bukanlah suatu politik dalam rangka pemecah belah. Sistem Apartheid banyak dilakukan di daerah Afrika Selatan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tionghoa, Arab, India, dan yang terakhir adalah golongan masyarakat pribumi.

  Menurut Onghokham, bahkan golongan pribumi di bedakan lagi berdasarkan suku-suku. Karena pengkotak-kotakan itu, menyebabkan pada masa itu banyak masyarakat yang mengelompokkan diri atau terkelompokkan berdasarkan sukunya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya daerah atau wilayah yang diberi nama sesuai dengan nama suku, misalnya kampung Melayu, Kampung Ambon, pecinan, dan lain sebagainya.

  Yogyakarta adalah sebuah tempat yang mempertemukan dua kekuasaan, yakni kekuasaan kolonial dan juga kekuasaan tradisional. Kasultanan Yogyakarta menjadi kekuasaan tradisional setelah ditandatanganinya perjanjian giyanti pada tahun 1755. Kemudian dalam proses perjalanannya, pelaksanaan perjanjian tersebut tetap diawasi oleh Pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat ini Pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan usaha-usahanya yang dilakukan dalam rangka mewujudkan kepentingan kolonialismenya. Dalam perkembangannya kekuasaan Pemerintah kolonial Belanda terus menunjukkan dominasinya.

  Bagi pihak Belanda, Sultan Yogyakarta dianggap cukup membahayakan posisi Belanda. Menurut Vincent J. H. Houben, pada periode sekitar tahun 1755 Sultan diharuskan untuk berjanji tidak akan melakukan klaim apapun atas tanah milik Pemerintah Hindia Belanda atau Susuhunan dari Keraton Surakarta, tidak berusaha mencari gara-gara pada kedua pihak tersebut dan juga dengan pangeran- pangeran independen, dan diharuskan menyerahkan orang-orang yang telah dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman kepada Pemerintah Hindia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4 Belanda. Pemerintah Hindia Belanda melakukan strategi politik ini ialah untuk

  mereduksi setiap kemungkinan dari kekuasan Kasultanan Yogyakarta yang makin besar. Bagi Pemerintah Kolonial Belanda, Kasultanan Yogyakarta dianggap memiliki potensi dalam mewujudkan persatuan di Pulau Jawa dibawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Apabila itu terjadi sudah barang tentu akan menyingkirkan Belanda dari tanah Jawa.