Laporan NDC KickOff rev26May2017

(1)

LAPORAN PENYELENGGARAAN

NDC KICK OFF:

TRANSLATING NDC INTO ACTIONS

27 APRIL 2017

Grand Sahid Jaya-Jakarta

K

EMENTERIAN

L

INGKUNGAN

H

IDUP DAN

K

EHUTANAN

D

IREKTORAT

J

ENDERAL

P

ENGENDALIAN

P

ERUBAHAN

I

KLIM

Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti, Blok VII Lantai 12

Jl. Gatot Subroto-Jakarta 10270

Telp.: +62 21 5730144 Fax. +62 21 5720194

www.ditjenppi.menlhk.go.id


(2)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ____________________________________________________ 3

1. LATAR BELAKANG _____________________________________________________________ 3 2. TUJUAN____________________________________________________________________ 4 3. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN ________________________________________________ 4 4. PENGATURAN FORMAT PERTEMUAN ________________________________________________ 4

II. PERTEMUAN ______________________________________________________ 6

1. PEMBUKAAN _________________________________________________________________ 6 2. SESI PLENO PAGI _____________________________________________________________ 6 3. SESI BREAKOUT GROUPS ______________________________________________________ 10 3.1. Kehutanan ___________________________________________________________ 10 4.1. Pertanian ____________________________________________________________ 13 4.2. Energi ______________________________________________________________ 14 4.3. Industri _____________________________________________________________ 18 4.4. Limbah ______________________________________________________________ 21 4.5. Adaptasi dan Perangkat NDC ____________________________________________ 23 5. SESI PLENO SIANG ___________________________________________________________ 25 5.1. Paparan dari masing-masing breakout group _______________________________ 25 Energi _____________________________________________________________________ 25 Pertanian ___________________________________________________________________ 26 Kehutanan __________________________________________________________________ 26 Industri ____________________________________________________________________ 26 Limbah _____________________________________________________________________ 27 Adaptasi dan Perangkat NDC ___________________________________________________ 27 5.2. Diskusi interaktif ______________________________________________________ 28 6. SESI PENUTUPAN ____________________________________________________________ 28


(3)

I.

PENDAHULUAN

1.

L

ATAR

B

ELAKANG

Pemerintahan Indonesia saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah menentukan 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan melalui Nawa Cita. Salah satu penjabaran Nawa Cita adalah komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi dan lintas-sektoral dalam agenda Pembangunan Nasional. Komitmen yang tertuang dalam Nawa Cita menjadi dasar bagi penyusunan dokumen the First NDC Indonesia yang telah disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada bulan November 2016. First NDC Indonesia menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. Berdasarkan kesiapan Indonesia dalam menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 dengan kemampuan sendiri, NDC disusun untuk peningkatan aksi dan kondisi yang mendukung pencapaian tujuan yang lebih ambisius setelah tahun 2020.

Dengan telah diratifikasinya Paris Agreement melalui UU No. 16 Tahun 2016 dan dengan

rintisan yang telah cukup panjang dilakukan di Indonesia serta Action Marrakech 2016, kiranya secara konsisten dan kontinyu dapat dilakukan tindak lanjut untuk menjaga sumber daya alam dan lingkungan Indonesia menjadi lebih baik sehingga dapat mengatasi perubahan iklim serta

mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2oC dan menuju 1.5oC dibandingkan dengan

era pra-industri.

Di samping itu, menghadapi pembangunan paska 2020, Indonesia memandang pencapaian ketahanan iklim kepulauan merupakan sebuah hasil dari pelaksanaan program adaptasi-mitigasi dan strategi penurunan risiko bencana yang komprehensif. Indonesia telah menentukan tujuan ambisius mengenai konsumsi dan produksi keberlanjutan terkait pangan, air dan energi. Tujuan ini akan dapat dicapai melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, memperbaiki layanan dasar kesehatan dan pendidikan, inovasi teknologi, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip tata kelola yang baik.

Dalam upaya tersebut, sesuai dengan kewajiban/komitmen negara, telah direncanakan NDC upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai aksi yang terintegrasi untuk membangun ketahanan dalam menjaga sumber daya pangan, air, dan energi. NDC dipergunakan sebagai salah satu acuan pelaksanaan komitmen mitigasi perubahan iklim dengan rencana penurunan emisi hingga tahun 2030 sebesar 29% sampai dengan 41% bila dengan dukungan internasional, dengan proporsi emisi masing-masing sektor yang meliputi: kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%). Sedangkan untuk adaptasi, komitmen Indonesia meliputi peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lansekap. Prinsip clarity-transparency-understanding (CTU) merupakan core principles dan isu strategis yang akan terus dirujuk

dalam mengelaborasi First NDC Indonesia ke dalam rencana implementasinya di setiap

kategori sektor.


(4)

dilakukan perbandingan dan agregasi upaya global penurunan emisi GRK. Implementasi CTU dalam NDC akan didasarkan pada pengalaman dan kemampuan Indonesia di dalam penurunan emisi GRK di semua sektor yang dapat diverifikasi melalui proses MRV. Oleh karena itu, penjabaran NDC ke dalam aksi-aksi mitigasi oleh seluruh Kementerian/Lembaga serta non-party stakeholders, dapat merujuk kepada proses MRV yang sudah dikembangkan sejak tahun 2013.

Pelaksanaan Persetujuan Paris khususnya NDC akan menjadi momentum bagi Indonesia agar lebih meningkatkan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat melalui upaya-upaya yang lebih intensif misalnya dalam menjaga hutan, melindungi lingkungan, mengembangkan penerapan energi baru dan terbarukan, meningkatkan transportasi yang berkelanjutan, pertanian yang rendah emisi dan meningkatkan ketahanan pangan, industri yang ramah lingkungan, bangunan yang ramah lingkungan serta pengelolaan limbah yang terpadu. Hal ini dapat membuka peluang antara lain untuk membangun aksi koheren di tingkat nasional oleh Kementerian/Lembaga bersama dengan seluruh komponen masyarakat, pengembangan riset, mobilisasi sumber daya melalui kemitraan dan kerjasama internasional serta peluang lain berkaitan dengan pembangunan nasional.

NDC Kick Off: Translating NDC into Actions dilaksanakan dalam rangka penyiapan pelaksanaan NDC, yang dapat diawali dengan penjabaran lebih lanjut aksi mitigasi di setiap kategori sektor serta rencana masing-masing Kementerian/Lembaga termasuk program dan penyediaan dukungan pendanaan yang diperlukan mulai tahun 2018.

2.

T

UJUAN

Pertemuan NDC Kick Off: Translating NDC into Actions bertujuan untuk:

a. Mensosialisasikan lebih lanjut First NDC Indonesia yang telah disampaikan kepada

Sekretariat UNFCCC;

b. Mengkomunikasikan status tindak lanjut oleh masing-masing sektor, kebijakan

perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan pendanaan iklim;

c. Mengidentifikasi kegiatan mitigasi lebih rinci untuk mencapai target NDC di 5 kategori

sektor;

d. Menjaring masukan untuk implementasi NDC jangka panjang.

3.

W

AKTU DAN

T

EMPAT

P

ELAKSANAAN

Pertemuan NDC Kick Off: Translating NDC into Actions akan dilaksanakan pada: Hari, Tanggal : Kamis, 27 April 2017

Waktu : Pukul 08.30 s/d 16.00 WIB

Tempat : Hotel Grand Sahid, Jakarta

4.

P

ENGATURAN

F

ORMAT

P

ERTEMUAN

NDC Kick Off: Translating NDC into Actions dihadiri oleh Kementerian/Lembaga terkait, para Tokoh/Pemerhati Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup, serta Perguruan Tinggi. Narasumber merupakan perwakilan dari Kementerian yang bertanggung jawab dan memiliki


(5)

wewenang dalam pengembangan dan pelaksanaan aksi mitigasi perubahan iklim pada 5 kategori sektor serta perwakilan dari pelaksana aksi mitigasi yang merepresentasikan Non-Party Stakeholders atau NPS antara lain pemerintah daerah tingkat provinsi dan dunia usaha. Setiap sesi pleno dan breakout group dipimpin oleh Moderator (terdiri dari Ketua dan para anggota Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Indonesia Climate Alliance-ICA) yang mengarahkan diskusi, dan khusus sesi Breakout Groups dilengkapi dengan Pembahas (tenaga ahli dari Institut Teknologi Bandung-ITB, Institut Pertanian Bogor-IPB,

Komite Nasional Indonesia World Energi Council-KNIWEC) yang bertugas untuk

menyampaikan analisa terhadap aksi mitigasi yang telah dilakukan melalui penyampaian paparan Narasumber.

Para Narasumber merupakan perwakilan dari Kementerian/Lembaga yang terkait dengan pelaksanaan aksi mitigasi perubahan iklim untuk setiap breakout group, yakni:

• Group Kehutanan

1. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, KLHK

2. Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutang Lindung, KLHK

3. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK

4. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

• Group Pertanian

1. Direktur Jenderal Perkebunan, Kem. Pertanian

2. Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kem. Pertanian

3. Direktur Jenderal Peternakan, Kem. Pertanian

4. Kepala Badan Litbang Pertanian, Kem. Pertanian

• Group Energi

1. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kem. ESDM

2. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kem. ESDM

3. Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan

4. Green Buiilding Council Indonesia

• Group Industri

1. Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka, Kem. Perindustrian

2. Badan Litbang Industri, Kem. Perindustrian

3. Asosiasi Semen Indonesia

4. Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia

• Group Limbah

1. Direktorat Jenderal Ciptakarya, Kem. PUPERA

2. Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, KLHK

3. Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, KLHK

4. Dinas Lingkungan Hidup, Prov. DKI Jakarta

• Group Adaptasi & Perangkat NDC

1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana-BNPB

2. Badan Meteorologi dan Geofisika-BMKG


(6)

II.

PERTEMUAN

NDC Kick Off : Translating NDC into Actions diselenggarakan dalam format pleno dan 6 (enam) parallel breakout groups yaitu Kehutanan, Pertanian, Energi, Industri, Limbah, dan Adaptasi & Perangkat NDC. Sesi pleno dilaksanakan pada awal dan akhir acara yang berfungsi untuk memberikan gambaran besar implementasi NDC dan diseminasi hasil diskusi di masing-masing berakout group untuk memperoleh potensi langkah lanjut yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan pertemuan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkenan memberikan sambutan pada sesi setelah diskusi pelo pertama acara dimaksud.

Melalui partisipasi aktif dari para peserta, diharapkan pertemuan ini dapat menghasilkan

Konsep Pelaksanaan NDC untuk setiap sektor, berdasarkan kebijakan dari

Kementerian/Lembaga dan masukan dari perwakilan Kementerian/Lembaga, akademisi, lembaga penelitian dan para tokoh dan pemerhati perubahan iklim yang hadir pada acara dimaksud.

1.

P

EMBUKAAN

Acara NDC Kick Off : Translating NDC into Actions yang diselenggarakan di Grand Sahid Jaya Hotel-Jakarta pada Hari Kamis tanggal 27 April 2017 diawali dengan Kata Sambutan dari Utusan Khusus Presiden Bidang Pengendalian Perubahan Iklim untuk kemudian dibuka oleh Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DP-PPI) yang mewakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

2.

S

ESI

P

LENO

P

AGI

Sesi pleno pagi dimpimpin oleh Ketua Penasehat Senior Menteri LHK (PSM LHK) yang diisi dengan paparan dari Direktur Jenderal PPI-KLHK. Selain memaparkan perkembangan dan status terkini pengendalian perubahan iklim, Dirjen PPI juga memberikan arahan untuk mengantarkan sesi breakout groups yang akan dilangsungkan secara parallel serta keluaran yang diharapkan dari acara ini.

Sejumlah aspek dicantumkan dalam NDC yang akan diterjemahkan oleh masing-masing

sector, dimana prosesnya dapat dilakukan melalui pendekatan top down dan bottom up.

Dalam konteks internasional, pencapaian target Paris Agreement-PA yang dituangkan dalam

NDC dilaksanakan melalui mitigasi dan adaptasi dan juga tema baru yakni issue loss and

damage. PA juga mengamanatkan transparency framework yang menjadi dasar pengembangan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN).

Komitmen dalam PA juga menyinggung mengenai aspek facilitative dialogue, global stocktake

dan juga facilitation and compliance untuk melihat seberapa jauh tingkat penaatan Negara

Pihak untuk pelaksanaan NDC. Implementasi NDC juga tidak terlepas dari Means of

Implementation yang terdiri atas finance, technology dan capacity building serta kebijakan dan regulasinya. Paris Agreement juga memperkuat komitmen global untuk pengendalian


(7)

perubahan iklim yang merupakan salah satu butir penting Sustainable Development Goals, untuk menjaga suhu di bawah 2°C-1.5°C melalui LLECD dan pendanaannya.

Struktur NDC mencakup komponen mitigasi dan adaptasi, dengan penjabaran aspek mitigasi yang relatif sudah lebih lengkap dibandingkan dengan aspek adaptasi. Dalam konteks adaptasi, saat ini Indonesia sedang berproses dalam penyusuan Rencana Adaptasi Nasional. Beberapa hal yang harus dilaksanakan dalam implementasi NDC adalah menerjemahkan dalam konteks national. Masing-masing sektor memiliki target penurunan emisi dengan target terbesar berada di sektor energi dan kehutanan sebagaimana tertuang dalam dokumen NDC. Komitmen NDC tidak hanya terbatas pada pecapaian target penurunan emisi, tetapi juga menyangkut aspek ekonomi, sosial dan livelihood, landscape dan ecosystem resilience. Beberapa asumsi yang digunakan untuk pencapaian target NDC untuk sector energy yakni:

• Efisiensi Penggunaan Energi Final (75 % dilaksanakan)

• Pemanfaatan Teknologi CCT (75 % dilaksanakan)

• Produksi Listrik EBT (sesuai RUPTL)

• Penggunaan BBN (Mandatory B30) pada Sektor Transportasi (90 % dilaksanakan)

• Penambahan Jargas (100 % dilaksanakan)

• Penambahan SPBG (100 % dilaksanakan)

Sedangkan untuk sector kehutanan menggunakan asumsi yang dibuat lebih sederhana karena ketika memasukkan asumsi yang riil tersebut dalam RKP sudah menunjukkan menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi:

• Menekan deforestasi (penurunan tutupan hutan) tidak melebihi 0,45 jutan ha/tahun

(termasuk karhutla, penggunaan LAHAN untuk keperluan non kehutanan, perambahan).

• Asumsi produksi kayu hutan alam (IUPHHK-HA) dan laju pertumbuhan/produktivitas kayu

hutan tanaman tercapai (terutama HTI).

• Restorasi gambut 2 juta ha s/d 2030 tercapai minimal 90%.

• Rehabilitasi lahan 800 ribu ha/tahun tercapai minimal 90 %.

Asumsi yang dipergunakan untuk Sektor Pertanian adalah dengan intervensi sebagai berikut:

• Penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah

• Penerapan sistem pengairan sawah lebih hemat air.

• Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas.

• Perbaikan suplemen pakan.

Adapun asumsi pada pencapaian target NDC pada Solid Waste adalah sebagai berikut :

• Peningkatan penerapan LFG recovery dari 2010 - 2030 dalam pengelolaan TPA.

• Peningkatan persentase pemanfaatan sampah melalui composting and 3R (paper).

• Peningkatan persentase PLTSa/RDF (Refuse Derived Fuel), dibandingkan dengan total

timbulan sampah.

Asumsi NDC pada sub-sektor solid waste tersebut merujuk pada target nasional dalam

pengelolaan sampah 2015-2025 dan mempertimbangkan perencanaan pemerintah dalam pengembangan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di 7 kota dan tren saat ini dalam hal pemanfaatan sampah melalui RDF di industri serta mempertimbangkan ukuran kota, potensi mitigasi dalam RDF dan laju pertumbuhan penduduk.


(8)

Dalam hal partisipasi dunia usaha pada sektor industri, harus dicermati beberapa industri yang telah melalukan ttransaksi karbon melalui skema CDM dan JCM sehingga harus dipertimbangkan proporsi karbon yang memungkinkan untuk diperdagangkan dengan megutamakan pencapaian target NDC itu sendiri.

Asumsi yang dipergunakan untuk pencapaian target NDC sektor Proses industri dan penggunaan produk (dengan target kuantitatif perlu ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian), adalah sebagai berikut:

Industri semen melaksanakan aksi mitigasi melalui pengurangan “clinker to cement ratio” (blended cement) dari 80% di 2010 menjadi 75% di 2030.

• Peningkatan efisiensi industri amonia melalui optimasi pemanfaatan gas bumi (feedstock)

dan CO2 recovery pada Primary Reformer.

• Penambahan aksi mitigasi lainnya seperti CO2 recovery, improvement process pada

smelter, dan pemanfaatan besi bekas (scrap) pada industri besi dan baja serta sisa klaim IPPU (PFCs) dari CDM aluminum smelter.

Terkait dengan aspek adaptasi dalam NDC, diperlukan pendefinisian yang lebih konkrit dengan elemen yang tertuang dengan goals sebagai berikut :

• Economic resilience

• Social and Livelihood Resilience

• Ecosystem and Landscape Resilience

Target 29% dan sampai dengan 41% dibandingkan BAU dapat tercapai bila asumsi-asumsi di atas terpenuhi. Langkah selanjutnya adalah setiap kategori sektor perlu menjabarkan lebih lanjut target dan asumsi yang dipakai ke dalam kebijakan dan aksi yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan melalui sektor yang bersangkutan, termasuk pelibatan NPS/NSA, kebutuhan dan potensi dukungan pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas.

Rencana Adaptasi Nasional sedang diinisiasi penyusunannya dan perlu sejalan/menjadi sarana

penjabaran lebih jauh untuk mencapai ‘goal’ adaptasi dalam NDC.

Pertemuan ini dirancang antara lain sebagai langkah awal untuk keperluan di atas. NDC merupakan komitmen mengikat dan merupakan hal baru bagi negara berkembang termasuk Indonesia, sehingga untuk implementasinya diperlukan strategi yang sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing negara.

Implementasi NDC memerlukan komitmen tidak hanya Pemerintah tetapi juga tanggung jawab Pemerintah Daerah, Swasta, NGOs, dan stakeholders lainnya. KLHK yang berperan sebagai National Focal Point (NFP) Indonesia untuk UNFCCC telah menyusun Strategi Implementasi NDC yang terdiri dari 9 program mulai dari persiapan sampai tahap akhir termasuk review dan pembaruan komitmen dalam NDC pada setiap periode yang ditentukan, yang siap dikomunikasikan dengan Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan lainnya untuk penyempurnaannya.

Strategi Implementasi NDC diterjemahkan melalui 9 program yang diuraikan sebagai berikut:

1. Pengembangan ownership dan komitmen oleh seluruh stakeholder yang mencakup

Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha/swasta, masyarakat sipil, dan lembaga keuangan serta pemangku kepentingan lainnya.

2. Pengembangan Kapasitas yang mencakup penguatan kelembagaan dan kapasitas SDM


(9)

3. Enabling Environment yang mendukung implementasi NDC diantaranya Peraturan-perundangan dan kebijakan terkait (UU No. 16/2016 ttg Ratifikasi Paris Agreement, PP No. 46 /2016 tentang KLHS, dan lainnya).

4. Penyusunan kerangka kerja dan jaringan komunikasi dengan pelaksanaan koordinasi dan

sinergi antar sektor dan wilayah serta aktor/pelaku.

5. Kebijakan satu data GRK sebagaimana yang dilakukan pada one map policy yang

diantaranya dapat dilakukan melalui perangkat yang telah berjalan yaitu SIGN SMART dan SRN PPI.

6. Penyusunan kebijakan, rencana, program (KRP) dengan tantangan terbesar adalah untuk

melihat seberapa mampu mainstreaming/intervensi NDC ke dalam program perencanaan pembangunan di 5 kategori sektor mitigasi (LULUCF, energi, IPPU, limbah, pertanian) dan

adaptasi sektoral dan wilayah yang sekaligus menjamin penganggaran (APBN–APBD) dan

mobilisasi sumberdaya baik dari dalam negeri maupun internasional.

7. Penyusunan pedoman implementasi NDC untuk pusat dan daerah yang mencakup aspek

perencanaan, pelaksanaan, MRV, dan review NDC.

8. Implementasi NDC yang didasarkan pada hasil penyusunan KRP serta rencana

implementasi NDC yang dikoordinasikan oleh KLHK (terkait target pengurangan emisi dan kebijakan PI) dan BAPPENAS (terkait pembangunan nasional).

9. Pemantauan dan Review NDC untuk memantau progres implementasi NDC dan menjelang

tahun 2020 akan dilakukan review dan adjustment NDC apabila bila diperlukan (tidak ada backsliding).

Dalam rangka implementasi NDC, perlu dipersiapkan untuk membangun komitmen K/L yang bertanggung jawab di masing-masing kategori sektor dan stakeholders lainnya, termasuk

peningkatan pelibatan Non-Party Stakeholders/Non-State Actor (NPS/NSA). Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah menyampaikan Surat Menteri KLHK ke seluruh K/L terkait dan seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota dan telah diselenggarakan pertemuan/dialog dengan Party & Non-Party Stakeholders untuk mendukung Program 1. Terkait dengan peningkatan kapasitas, Indonesia saat ini sedang dalam penyusunan Capacity Building and Technology Need Assessment (CBTNA) untuk mendukung Program 2. Dan pertemuan NDC Kick Off merupakan pertemuan stakeholders untuk membahas kelima kategori sektor yang merupakan pelaksanaan Program 4. Indonesia juga telah mengembangkan dan mengelola Sistem Registri Nasional (SRN) PPI sebagai bentuk

terjemahan transparency framework yang dimandatkan Paris Agreement (dimana sistem

terkait yang telah ada mis. SIGN-SMART, MRV, SIS-REDD+, SIDIK dll sebagai bagian integral SRN) yang mendukung Program 5.

Langkah awal mainstreaming NDC ke dalam perencanaan masing-masing sektor/elaborasi lebih lanjut komitmen dalam NDC ke masing-masing kategori sektor (misalnya utnuk sektor kehutanan dan energi) yang merupakan bagian dari Program 6.

Tindak Lanjut yang telah direncanakan antara lain adalah:

• meningkatkan komunikasi stakeholders di pusat dan daerah dalam rangka membangun

ownership dan komitmen semua pihak, koordinasi dan sinergi antar sektor dan wilayah serta aktor/pelaku (Program 1 dan 4).


(10)

• mengidentifikasi dan mengkaji kebijakan/peraturan-perundangan yang mendukung

pencapaian target NDC serta ‘gaps’ dan ‘overlaps’ sebagai dasar penciptaan “enabling environment” dalam implementasi NDC (Program 3).

• Pengaturan kembali existing carbon trading yang berasal dari berbagai skema untuk

memastikan pencapaian komitmen NDC dan keselarasannya dengan kesepakatan dalam COP/CMA (UNFCCC/PA).

Masing-masing Kementerian penanggung jawab sektor (kehutanan/LULUCF, energi, pertanian, IPPU, limbah) melakukan penjabaran lebih lanjut target NDC, termasuk kebutuhan dan potensi dukungan pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas, dan pelibatan NPS/NSA. Bagi K/L yang tidak memiliki Unit khusus yang bertanggung jawab terkait perubahan iklim disarankan untuk membentuk POKJA guna mendukung koordinasi internal

dan sebagai contact point’ komunikasi dengan NFP dan pihak terkait lainnya.

NDC yang merupakan komitmen Indonesia di bawah Paris Agreement adalah komitmen global, dengan elemen yang menjadi keharusan untuk dilaksanakan guna penyelamatan lingkungan dan kepentingan keberlanjutan pembangunan nasional jangka panjang. Implementasi NDC memerlukan komitmen semua pihak (state dan non-state actors) sebagaimana diamanatkan dalam Paris Agreement.

Saatnya pemikiran/pandangan dialihkan dari melihat sisi negatif komitmen global (komitmen global sebagai beban) ke melihat peluang yang tercipta dan dapat diciptakan di bawah climate change regime, dengan tetap memperhatikan risiko yang mungkin timbul dan harus dikelola. Indonesia dapat menjalankan NDC dengan tetap melaksanakan pembangunannya, sehingga perlu dicermati pandangan bahwa implementasi NDC akan menghambat pembangunan, yang nantinya justru akan ditangkap oleh negara lain sebagai peluang terutama untuk investasi.

3.

S

ESI

B

REAKOUT

G

ROUPS

3.1. Kehutanan

Aksi mitigasi yang dilakukan oleh Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) adalah:

• Peningkatan produksi kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI), khususnya HTI

pertukangan, unuk mengurangi tekanan pada Hutan Alam.

• Pengelolaan konsensi Restorasi Ekosistem untuk mengurangi land clearing dan open access

area yang rentan perambahan.

• Implementasi Reduce Impact Logging (RIL) untuk menurunkan degradasi hutan akibat

pembalakan yang dapat menurunkan emisi GRK dengan potensi penurunan sebesar 76.957.878,80 ton co2e (dari perhitungan potensi penuruan ril di hutan produksi seluas 1.978.351,64 hektar) dan secara indeks, potensi penuruan emisinya sebesar 38,9 ton

CO2e/hektar.

• Rehabilitasi gambut di HTI seluas ±1 juta hektar.

Adapun tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan mitigasi terkait dengan persiapan implementasi NDC antara lain adalah:

• Revisi regulasi untuk mendorong peningkatan produktifitas HTI sedang dalam proses


(11)

• Pemberian insentif untuk lebih mendorong Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).

• Penyiapan regulasi penerapan RIL melalui proses sosialisasi dan training ataupeningkatan

kapasitas.

• Pelaksanaan monitoring implementasi komitmen less/zero conversion oleh perusahaan

yang sudah mengadopsi/men-declare, dan mendorong yang lain;

• Hanya arahkan degraded forest untuk HTI

Aksi mitigasi yang dilakukan oleh Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDAS-HL) antara lain melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 1,1 juta hektar/tahun, yang telah melebihi skenario NDC (800.000 hektar/tahun). Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam pelaksanaan aksi ini adalah finalisasi MOU Menteri LHK dengan Kementerian/Lembaga terkait penanaman/rehabilitasi dan penerbitan Surat Menteri LHK

kepada Pemerintah Darah terkait penanganan bencana lingkungan melalui

rehabilitasi/penanaman.

Aksi mitigasi yang dilakukan oleh Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) untuk mendukung pencapaian NDC adalah:

• Enabling environment melalui penetapan kawasan hutan, Rencana Kehutanan Tingkat

Nasional (RKTN), dan pembentukan KPH;

• Kebijakan satu data GRK melalui Unit Kliring Data dan Wali Data Spatial Kehutanan;

• Penyusunan Kebijakan, Rencana dan Program Intervensi melalui Moratorium Hutan dan

Lahan Gambut, Kawasan Hutan Dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), Arahan Ruang Pemanfaatan Hutan, Pengendalian Penggunaan Kawasan Hutan, Penyiapan Ruang Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan dan Energ, iRPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), dan Pengendalian Dampak Lingkungan;

• Pemantauan dan Reviu NDC melalui Penyediaan data penutupan lahan, Pemantauan

Perubahan Penutupan Lahan, dan Penyediaan Data Potensi Sumber Daya Hutan.

Aksi mitigasi yang teridentifikasi dapat dilakukan oleh Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) adalah menjalankan kebijakan pemerintah terkait penurunan emisi GRK seperti

implementasi Reduce Impact Logging (RIL), Demonstration Activity of REDD, Pengelolaan

lahan gambut berkelanjutan, dan sebagainya. Salah satu lankah selanjutnya terkait dengan pelaksanaan aksi mitigasi ini adalah melakukan proses sinergisitas (link) pengelolaan kawasan konsesi dengan rencana implementasi NDC melalui kebijakan Result Based Payment, insentif

fiscal, penerapan konsep “additionality leakage & permanence”, voluntary carbon market;

pengelolaan lansekap, maupun potensi pasar karbon domestik.

Aksi mitigasi yang dilakukan oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) adalah:

• Perlindungan kawasan konservasi melalui kegiatan antara lain: peningkatan kualitas

pengelolaan kawasan, pengamanan hutan, pengendalian kebakaran hutan dan gambut, pengendalian pembalakan liar dan perambahan kawasan, pelarangan kawasan konservasi sebagai areal pertambangan.

• Pemanfaatan kawasan konservasi melalui kegiatan antara lain: peningkatan populasi satwa

terancam punah, pelestarian jenis-jenis tumbuhan dan satwa Liar, pelepasliaran satwa (wildlife release), rehabilitasi dan restorasi di kawasan hutan konservasi.


(12)

Pembahas Group Kehutanan mengidentifikasi beberapa hal yang perlu dibahas lebih lanjut terkait dengan translating NDC into actions, yaitu:

• Mengingat Indonesia telah memiliki target penurunan emisi GRK yang dielaborasi untuk

setiap sektor kunci, pertanyaan selanjutnya adalah jaminan bahwa data dapat digunakan dalam perhitungan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dibangun mekanisme yang kuat untuk mendukung pengelolaan data, misalnya NFMS di tingkat nasional dapat dipergunakan apabila terkaitd dengan konteks hutan alam.

• Untuk melaksanakan kegiatan REDD+ di gambut, dimana wilayah REDD+ mencakup lebih

dari 90% gambut, perlu dilakukan penghitungan perubahan emisi yang akan tergantung pada teknologi yang dipergunakan.

• Harus disusun road map yang jelas yang akan mampu meningkatkan proses yang lebih

baik dalam mengumpulkan data aktivitas. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam NDC diterjemahkan akan sangat penting untuk diterjemahkan dalam bentuk peraturan.

• Penurunan emisi dikaitkan dengan tata ruang yang harus dilengkapi dengan KLHS dinilai

penting mengingat hal ini dapat diterjemahkan oleh daerah, sehingga akan dapat dilaporkan dampak dan caaiannya dalam rangka pertanggungjawaban setiap kepala daerah kepada DPRD.

• Perlu dibahas untuk menetapkan kebijakan-kebijakan baru yang mendorong rencana

pencapaian target NDC dan meningkatkan kualitas data pembangunan itu sendiri.

• Diperlukan arahan dari pemerintah untuk mengakomodir banyak inisiatif yang telah

berjalan, misalnya tentang RSPO, dimana inisitaif-inisiatif tersebut harus diintegrasikan dengan kebijakan nasional.

Group Kehutanan mengidentifikasi beberapa hal yang diperlukan untuk implementasi NDC:

• Data-data yang akurat dan dapat dipergunakan dalam perhitungan penurunan emisi GRK.

• Pembentukan/penguatan kelembagaan pengelolaan data baik di tingkat nasional maupun

sub nasional dan dari pihak pemerintah maupun non pemerintah.

• Konsistensi/sustainability pelaksanaan NDC yang dilakukan oleh daerah melalui kebijakan

pembangunan daerah (RPJMD, KLHS, AMDAL, dokumen lain).

• Kebijakan dan komitmen kepala daerah terkait dengan rencana penurunan emisi.

• Pedoman yang jelas agar terintegrasi dengan kebijakan nasional untuk meningkatkan

keterlibatan dan partisipasi dunia usaha/swasta.

• Sistem integrasi dan pembagian tugas yang jelas antara aktivitas dan area pada lingkungan

KLHK (antar unit eselon I), dengan usulan bahwa pendekatan data dilakukan berbasis area kerja.

• Sistem insentif dan disinsentif perlu diterapkan untuk provinsi, kabupaten dan dunia

usaha/swasta.

• MRV menjadi suatu keniscayaan.

• Kebijakan harus disusun dengan baik yang dilengkapi dengan guideline dari KLHK yang

jelas serta kelembagaan yang perlu dibenahi terkait dengan penurunan emisi GRK dikaitkan dengan pencapaian target NDC.

• Diharapkan agar Ditjen PPI & PKTL menjadi leading agent untuk proses integrasi dan

pengarusutamaan NDC di internal KLHK.

• Inisiatif yang sudah ada perlu dipupuk dan diteruskan dan dimanfaatkan sebagai


(13)

4.1. Pertanian

Aksi mitigasi yang dilakukan oleh Ditjen Perkebunan adalah:

• Pengembangan tanaman tahunan, apabila pembukaan pengembangan tanaman dari lahan

yang stok karbonnya lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tahunan yang ditanam.

• Pengembangan desa organic apabila ada substitusi penggunaan pupuk organik

menggantikan pupuk anorganik.

Aksi mitigasi yang dilakukan oleh Ditjen Peternakan, dengan kegiatan prioritas untuk meningkatkan hasil produksi sekaligus menjaga mitigasi perubahan iklim, yaitu berkaitan dengan pengaruh perubahan iklim terhadap pakan dan produksi hasil peternakan yang mencakup beberapa aspek sebagai berikut:

 Aspek perbibitan: Kualitas usaha budidaya ternak melalui inseminasi buatan (IB),

penguatan UPT perbibitan, sumberdaya genetik lokal yang lebih mampu beradaptasi dan tahan terhadap perubahan iklim.

 Aspek kesehatan hewan: Sistem informasi kesehatan hewan nasional, penguatan UPT Balai

veteriner.

 Aspek budidaya: good farming practices, pemanfaatan sumberdaya lokal baik pakan

maupun ternak, pembangunan pola kawasan.

 Aspek kesehatan masyarakat veteriner: Pencegahan penularan penyakit zoonosis,

penerapan kesejahteraan hewan.

 Aspek pakan: Penyediaan bibit pakan unggul, pemanfaatan limbah di sentra perkebunan

 Direktif Presiden: Penyediaan air, irigasi, embung.

Aksi mitigasi berada di unit-unit teknis Kem. Pertanian sedangkan Badan Litbang sebagai penyedia faktor emisi. Sejauh ini, adaptasi menjadi prioritas utama sektor pertanian walaupun sampai tingkat tertentu berpotensi sebagai penyumbang emisi GRK. Mberdasarkan pemikiran tersebut, adaptasi di sektor pertanian diperlukan untuk menurunkan emisi dimana dalam hal ini mitigasi sebagai co-benefit. Contoh aktivitas mitigasi adalah melalui implementasi kegiatan

Indonesian carbon efficient farming, perluasan areal pertanian, pemanfaatan lahan gambut

terlantar, pengembangan teknologi pengengelolaan lahan tanpa bakar, ISPO, tanam padi hemat air, teknologi mina padi, pemupukan tepat sasaran, teknologi tumpeng sari, ameliorasi lahan gambut, pemanfaatan limbah pertanian untuk energi.

Belum ada lembaga khusus yang menangani isu perubahan iklim di Kementan, namun demikian Menteri Pertanian telah membentuk kelompok kerja perubahan iklim melaui Tim Konsorsium Litbang perubahan iklim Kementan (5 working group).

Tantangan dalam pengumpulan data aktivitas sampai saat ini adalah terkait dengan intermiten irigasi, walaupun saat ini sudah dapat menghasilkan faktor emisi dengan ketelitian Tier 3 dan mempertimbangkan inventarisasi emisi GRK yang sangat sulit dan mahal yang mengakibatkan tingkat uncertainty masih tinggi.

RAN GRK Sektor Pertanian

• Disusun berdasarkan hasil screening RPJMN dan diskusi trilateral Kemenkeu, Bappenas dan

Kementan.

• Mengadakan perhitungan ulang yang diusulkan dari Kementan dan didasarkan pada

perluasan tanaman tahunan dan tanaman penyegar. Hasil perhitungan mengidentifikasi perlunya tambahan aksi untuk mencapai target sebesar 9 juta ton.


(14)

• Ada perbedaan asumsi umum dan asumsi yang digunakan.

• Asumsi spesifik yang dipergunakan adalah penurunan emisi GRK pada lahan sawah, rumah

kompos, lahan gambut, padi prganik, tanaman tahunan (sawit dan tahunan) dengan sekuestrasi 25tC/ha, tanaman kakao dengan sekuestrasi 25tC/ha, tanaman penyegar dengan sekuestrasi 25tC/ha, tanaman tahunan lainnya yang memilliki sekuestrasi 35tC/ha.

• Capaian penurunan emisi GRK sektor pertanian efektivitas program 100% dan 70%, dengan

3 skenario yaitu RPJMN, Fair dan ambisius.

Aksi mitigasi yang teridntifikasi dan disampaikan oleh Biro Perencanaan Kementan adalah program Batamas, UPPO + subsidi pupuk organik, dan SRI+SLPTT+varietas rendah emisi GRK. Selain itu uga teridentifikasi kesenjangan (gap) ketersediaan data mitigasi GRK yaitu:

• Kegiatan mitigasi masih berdasarkan pada 3 kegiatan

• Kegiatan penurunan emisi dari kegiatan ISPO

• Perhitungan pencapaian penurunan emisi GRK adalah target RENSTRA, sehingga perlu

dilakukan monitoring

• Kegiatan mitigasi baru bersifat tagging, belum dilaksanakan pendanaan yang terstruktur

Beberapa hal teridentifikasi oleh Pembahas dalam sesi diskusi antara lain adalah:

• Isu utama adalah MRV dan kelembagaan.

• Peningkatan kualitas pakan, sehingga emisi dari pakan bisa berkurang.

• Saat ini aksi mitigasi yang belum dibahas adalah biogas, dan perlu dielaborasi lebih lanjut

tentang isu BATAMAS.

• Tidak ada sekuestrasi karbon dari penanaman dalam kegiatan peremajaan, kecuali bisa

menambahkan bahan organik ke dalam tanah. Untuk perhitungannya, sebaiknya menggunakan default value dari IPCC kecuali Litbang dapat mempublikasi local value yang dapat dipertanggungjawabkan.

• Sebaiknya masing-masing unit yang memiliki data aktivitas mitigasi sektor pertanian di

link-kan dengan database berbasis web seperti SRN.

• Perlu dibangun prinsip transparency, clarity dan understanding yang memudahkan

monitoring dan dimengerti oleh setiap pihak.

• Kondisi saat ini adalah masih belum adanya sinergi dalam hal perangkat tingkat nasional,

misalnya sistem yang ada saat ini adalah SRN yang digunakan oleh KLHK dan RAN-GRK yang dikoordinasikan oleh Bappenas.

4.2. Energi

Selain kebijakan dan peraturan yang telah diacu dalam penyusunan First NDC Indonesia (Kebijakan Energi Nasional-KEN 2014, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik-RUPTL 2016-2025, dan Rencana Umum Energi Nasional-RUEN 2016), telah dikeluarkan pula beberapa kebijakan terbaru terkait dengan penurunan emisi GRK pada sektor energi antara lain penetapan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) melalui Perpres Nomor 22 Tahun 2017

dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2017–2026, yang

mencantumkan bauran energi dengan target penggunaan energi baru terbarukan-EBT sebagai mana Gambar 1 berikut.


(15)

Gambar 1. Bauran Energi RUPTL Tahun 2017-2026

Untuk mencapai target NDC di sektor energi pada tahun 2030 yang mencapai 11% (dari total 29%) dengan penurunan emisi GRK sebesar 314-398 Juta ton CO2e, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengidentifikasi aksi mitigasi sebagaimana pada Tabel 1.

Tabel 1. Aksi mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Kem. ESDM

Aksi Mitigasi PI Penanggung Jawab,

Pelaksana 1. Penggunaan Energi Baru terbarukan-EBT di pembangkit listrik:

tenaga air/hydro, geothermal, bio energy, tenaga surya/sollar PV, tenaga angin

KESDM (DJ EBTKE, DJ Ketenagalistrikan)

2. Penggunaan EBT sebagai BBM/fuel: biodiesel, biogas KESDM (DJ EBTKE), Kem. Perhubungan

3. Penerapan Energy Efficiency: Energy Management (untuk konsumen 6000 TOE), kerjasama dalam audit energi - Energy Audit atau IGA, program hemat energi dan air untuk umum, program penerangan jalan umum atau LED Street Lighting–PV, Retrofit LED Street Lighting, EE Label untuk CFL/LED, EE Label/MEPS untuk refrigeran, dan EE Label/MEPS for aktivitas lain.

KESDM (DJ EBTKE)

4. Penerapan teknologi Clean Power: Waste Heat Recovery atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah-PLTSa, cogeneration -Cogen pada pada PLTG atau PLTU BBM, dan clean coal technology-CCT pada PLTU batubara

KESDM (DJ EBTKE, DJ Ketenagalistrikan)

5. Penerapan Fuel Switching: minyak tanah ke LPG, stasiun pengisian BBG, jaringan gas

KESDM (DJ EBTKE)

6. Reklamasi pasca-tambang KESDM

Target penurunan emisi GRK 2017-2030 yang telah diidentifikasi oleh Ditjen. EBTKE-KESDM dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan target penurunan emisi GRK yang ditetapkan oleh Ditjen Ketenagalistrikan khususnya mengenai penerapan CCT tercantum pada Gambar 2.


(16)

Tabel 2. Target Penurunan Emisi GRK Sektor Energi

Sub sector Target of mitigation (Million Ton CO2e)

2017 2020 2025 2030

Renewable Energy 9,39 28,79 108,69 170,42

Energy Efficiency 20,78 33,01 57,27 96,33

Clean Power 3,02 8,19 15,74 31,80

Fuel Swithing 10,02 10,02 10,02 10,02

Post Mining Reclamation 1,94 2,72 4,08 5,46

Total 45,14 82,74 195,80 314,03

Gambar 2. Target Penurunan Emisi GRK Sektor Energi Sub-sektor Pembangkit

Kebijakan yang telah ditetapkan untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi GRK dalam NDC untuk sub-sektor transportasi berupa kegiatan/program penerapan efisiensi transportasi darat (yaitu melaui penggunaan teknologi ATCS di perkotaan dan pengadaan &

distribus bus rapid transit-BRT dan kegiatan/program efisiensi transportasi laut melalui

kegiatan berupa modernisasi kapal, pembangunan teknologi solar cell pada SBNP, dan

penerapan program Short Sea Shipping), antara lain adalah:

•Kebijakan pemanfaatan sumber energi matahari untuk transpotasi

•Akselerasi pengembangan transportasi massal dan kendaraan pribadi pengguna gas

•Akselerasi penggunaan listrik untuk transportasi (2.200 unit kendaraan roda 4 dan 2,1 juta

kendaraan roda 2)

•Mengembangkan sistem angkutan umum massal (KA dan bus) -> Share 30%

•rencana pengembangan jalur Kereta Api Nasional, MRT, Trem Kereta Api Bandara dalam

RTRW (13 Kota)

•ITS di 24 kota dan ATCS di 50 lokasi

•Menerapkan Eco Airport di 15 bandara

•Membangun sistim Tol laut dengan menyediakan 150 kapal dan membangun green sea-port


(17)

Aksi mitigasi di sub-sektor transportasi telah diidentifikasi oleh Kementerian Perhubungan sebagaimana tertuang dalam Tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Aksi mitigasi sub-sektor transportasi

Reduksi Emisi 2020 Reduksi Emisi Skenario Fair

Reduksi Emisi Skenario Ambisius Juta ton CO2e Indikator Skenario Fair Indikator Skenario Ambisius Juta ton CO2e Juta ton CO2e

1 4,48

Pesawat udara yang dioperasikan mempunyai usia maksimal 30 tahun

sesuai KM No.07 Tahun 2016

Pesawat udara yang akan dioperasikan mempunyai usia minimal 10 tahun sesuai KM No.07

Tahun 2016

6,022 9,210 AOC 121 dan AOC 135 swasta

Maskapai/AOC Terkait

2 2,98 reliability optimal dari pesawat udara yang dioperasikan

semakin tingginya persentase kesiapan operasional untuk melakukan penerbangan

4,005 6,125 AMO 145, AOC

121, dan AOC 135APBN dan Swasta Kemenhub dan Maskapai/AOC Terkait 3

2,57

Penerapan pada bandar udara internasional dan jalur penerbangan

internasional

Penerapan pada bandar udara dan jalur penerbangan internasional

dan domestik

3,456 5,286

27 Bandara dan pada seluruh jalur penerbangan internasional

APBN dan Swasta Kemenhub dan Airnav

4 1,57 Penggunaan bauran sebesar 2% untuk aviation biofuel

Penggunaan bauran sebesar 3%

untuk aviation biofuel 1,65 1,73

Bandara dengan kategori internasional

APBN dan Swasta Kemenhub, Maskapai dan Pertamina - Pemanfaatan Energi Baru

Terbarukan (pada kendaraan PKPPK)

0,511

Prosentase kendaraan PKP-PK diseluruh bandara yang memenuhi

emisi gas buang minimal EURO II, usia kendaraan minimal 10 tahun, tingkat kebisingan ruang kemudi pada setiap posisi duduk tidak melebihi 85 Dba, dan memenuhi spesifikasi ISO dengan spesifikasi teknis tidak merusak lingkungan

adalah sebesar 75%

Prosentase kendaraan PKP-PK diseluruh bandara yang memenuhi

emisi gas buang minimal EURO II, usia kendaraan minimal 10 thun, tingkat kebisingan ruang kemudi pada setiap posisi duduk tidak melebihi 85 Dba, dan memenuhi spesifikasi ISO dengan spesifikasi teknis tidak merusak lingkungan

adalah sebesar 90%

0,687 1,051 Bandara UPT, AP I, APAPBN dan Swasta Kemenhub, PT AP I, PT AP II

- Penggunaan Energi Baru Terbarukan pada fasilitas Bandar Udara

2,685

Pemasangan solar cell secara bertahap pada 5 bandar udara UPT dan 5 bandar udara PT. Angkasa Pura I dan PT. Angkasa Pura II setiap tahun

Pemasangan solar cell secara bertahap pada 10 bandar udara UPT dan 5 bandar udara PT. Angkasa Pura I dan PT. Angkasa Pura II setiap tahun

3,611 5,522 Bandara UPT, AP I,

AP II APBN dan Swasta Kemenhub, PT

AP I, PT AP II

6

2,723 Penanaman pohon (Trembesi) di area bandar udara pada 6 bandara per tahun

Penanaman pohon (Trembesi) di area bandar udara pada 10 bandara per tahun

3,662 5,601 Bandara UPT, AP I, APAPBN dan Swasta Kemenhub, PT AP I, PT AP II

JUMLAH 17,515 23,095 34,530

Efisiensi Sistem Transportasi

Udara

Peremajaan Armada Angkutan Udara

Penyempurnaan sistem dan prosedur pengoperasian serta pemeliharaan pesawat udara Implementasi Performance Based Navigation

Implementasi alternatif Fuel pada Pesawat Udara

5 Penggunaan Energi Baru Terbarukan

Implementasi Ecoaiport yang berkelanjutan

TANGGAPAN/MASUKAN MATRIKS DRAFT REVISI LAMPIRAN PERPRES 61/2011 BIDANG BERBASIS ENERGI SEKTOR PERHUBUNGAN (EFISIENSI SISTEM TRANSPORTASI DARAT, LAUT, UDARA DAN PERKERETAAPIAN)

Program Target 2020 Target indikator 2030 Lokasi Anggaran Kordinator Implementor Indikator RPJMN 2015-2019

Target 2020 Reduksi Em isi 2020 Reduksi Em isi Skenario Fair

Reduksi Em isi Skenario Ambisius Indikator RPJMN 2015-2019 Juta ton CO2e Indikator Skenario Fair Indikator Skenario Ambisius Juta ton CO2e Juta ton CO2e Pemanfaatan jalur ganda

lintas utara(m o d a sh iftin g )

0,712 Pemanfaatan jalur ganda lintas utara(m o d a sh iftin gangkutan barang dan penumpangsh a re2 %)

Pemanfaatan jalur ganda lintas utara(m o d a sh iftin g angkutan barang dan penumpangsh a re5 %)

0,957 1,464 Pulau Jawa - Kementerian Perhubungan

Pemanfaatan Kereta Api Perkotaan Jabodetabek

0,163 Pemanfaatan Kereta Api perkotaan Jabodetabek dengan 1,2 juta penumpang/hari

Pemanfaatan Kereta Api perkotaan Jabodetabek dengan 1,5 juta penumpang per/hari

0,219 0,335 D K I Ja k a rta , Bo g o r, D ep o k , Ta n g era n g d a n Bek a si

- Kementerian Perhubungan

TerbangunnyaM a ss Ra p id Tra n sit (M RT)Jakarta North-SouthTahap I Sepanjang 15.1 Km dan Tahap II Sepanjang 8.2 Km

0,083 Sesuai dengand ra ftRUEN dimana penambahan kapasitas angkutan KA dan pembangunan KA Perkotaan termasukM RT

Sesuai dengand ra ftRUEN dimana penambahan kapasitas angkutan KA dan pembangunan KA Perkotaan termasukM RT

0,112 0,171 Provinsi DKI Jakarta: a) Lebak Bulus-Bundaran Hi (tahap I)

b) Bundaran HI-Kampung Bandan (tahap II)

Rp. 28.6 Triliun Kementerian Perhubungan

TerbangunnyaL ig h t Ra il Tra n sit (LRT)Koridor Bekasi Timur-Cawang sepanjang 17.9 Km, Cawang-Cibubur sepanjang 13.7 Km dan Cawang-Dukuh Atas sepanjang 10.5 Km (3 trase operasional 2019)

0,072 Sesuai dengand ra ftRUEN dimana penambahan kapasitas angkutan KA dan pembangunan KA Perkotaan termasukLRT

Sesuai dengand ra ftRUEN dimana penambahan kapasitas angkutan KA dan pembangunan KA Perkotaan termasukL RT

0,097 0,148 Provinsi Jawa Barat: a) Bekasi Timur b) Cibubur Provinsi DKI Jakarta: a) Cawang b) Dukuh Atas

Rp. 18,94 Triliun Kementerian Perhubungan

Terbangunnya Jalur KA Trans Sumatera Sepanjang 4480.12 Km (target operasional 2019)

0,0582 Sesuai dengand ra ftRUEN dimana pembangunan jaringan kereta api nasional termasuk Trans Sumatera

Sesuai dengand ra ftRUEN dimana pembangunan jaringan kereta api nasional termasuk Trans Sumatera

0,078 0,120 Provinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu

Rp. 41.12 Triliun Kementerian Perhubungan

Terbangunnya Jalur KA Trans Sulawesi Tahap Pertama antara Makassar-Pare Pare sepanjang 145 Km dan Manado-Bitung sepanjang 48 Km (target operasional 2019)

0,0388 Sesuai dengand ra ftRUEN dimana pembangunan jaringan kereta api nasional termasuk Trans Sulawesi

Sesuai dengand ra ftRUEN dimana pembangunan jaringan kereta api nasional termasuk Trans Sulawesi

0,052 0,080 Provinsi Sulawesi Selatan: a) Makassar-Pare Pare Provinsi Sulawesi Utara: a) Manado-Bitung

Rp. 13.72 Triliun Kementerian Perhubungan

JUMLAH 1,127 1,516 2,318

TANGGA PAN/M ASU KA N M ATRIKS DRAFT REVISI LA M PIRAN PERPRES 61/2011 BIDANG BERBASIS ENERGI SEKTOR PERKERETA APIA N

Im plem entor

Efisiensi Sistem Perkeretaapian


(18)

Dunia usaha yang dalam pertemuan NDC ini diwakili oleh Green Building Council Indonesia (GCBI) mengidentifikasi beberapa aksi mitigasi yang dapat dilakukan berdasarkan otoritas dan tanggungjawabnya, yakni:

• Greenship assosiaste dan greenship professional merupakan 2 sertifikat green building.

• Bekerjasama dengan civil society, government, kerjasama internasional, dll

• Pergub DKI 38 merupakan greenbuilding aturan ini jalan untuk aturan pembangunan

komersial mall, gedung kantor, dll tetapi perunmahan belum.

• Gerakan zero net dimana gedung menghasilkan energy bukan mengkonsumsi energy.

• Comersial building di bawah 5% untuk konsumsi enegi, saat ini masih 40% konsumsi

energinya.

Pembahas Group Energi mengidentifikasi beberapa element yang diperlukan, antara lain:

• Perlu dilakukan pemantauan terhadap status dari suatu aksi mitigasi termasuk

efektivitasnya yang akan mengacu kembali pada target 29 dan sampai dengan 41%.

• Potensi teknologi carbon capture and storage-CCS yang besar untuk penurunan emisi GRK

memerlukan investasi dan biaya tinggi, akantetapi dapat dimasukan dalam capaian target sampai dengan 41% yang memerlukan international support.

4.3. Industri

Beberapa kebijakan pendukung dalam menurunkan emisi GRK pada sektor industri yakni implementasi Kebijakan Industri Hijau yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan mengacu pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 51/M-IND/PER/6/2015 tentang Pedoman Penyusunan Standar Industri Hijau dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 18/M-IND/PER/3/2016 tentang Penghargaan Industri Hijau. Selain itu juga telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2035 yang memliki 3 tahap kerangka waktu yakni 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2035 yang sejalan dengan pengembangan industri hijau.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka telah mengidentifikasi aksi-aksi mitigasi yang telah dan akan dilakukan yakni:

• Industri pupuk dan amoniak

- Penggunaan waste heat boiler yang memanfaatkan kembali panas buang dari proses.

- Pemanfaatan tail gas di Purge Gas Recovery Unit (PGRU) oleh PT. Pusri.

- Recovery kondensat gas bumi di PT. Kaltim Parna Industri.

- Pengoptimalisasian unit reformer dengan mengganti katalis dan refraktori pada reaktor.

• Industri petrokimia

- Efisiensi pembakaran di furnace dan kompresor dengan melakukan waste heat recovery

dan mengatur kadar oksigen dalam pembakaran untuk mengoptimalkan pembakaran;

- Pemilihan katalis yang lebih dapat mengoptimalkan penggunaan energi pada reaktor;

- Penggunaan dual/triple burner dengan kombinasi kombinasi campuran bahan bakar

gas bumi dan H2, komposisi campuran bahan bakar diupayakan seoptimal mungkin

sebagai upaya cost reduction (PT. Asahimas Chemical).

- Pemanfaatan purge gas yang masih mengandung 15% CH4 untuk digunakan pada

auxilary boiler, sehingga meghemat penggunaan bahan bakar (PT. Kaltim Methanol Industri).


(19)

- Penggunaan Well-proven Uhde dual pressure technology (PT. Kaltim Nitrate

Indonesia-PT KNI), yang dipilih berdasarkan kriteria tingkat keselamatan proses, efisiensi proses

dan energi, serta tingkat emisi yang sangat rendah. PT. KNI telah mengikuti Clean

Development Mechanisme (CDM) project pada unit N2O abatement from nitric acid

production, dengan total emisi yang dapat diturunkan sebesar 1.485.376 ton CO2e.

Program Kem. Perindustrian dalam mendukung NDC antara lain adalah: a. Telah dilakukan:

• Pedoman Teknis Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca di Industri

Pupuk, Keramik, Kimia, Tekstil, Agrokimia, Makanan dan Minuman,

• Pedoman Perhitungan Karbon di Industri Baja dan Industri Pulp Kertas

• Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 Industri Semen

• Panduan Measurement (M), Reporting (R), Verification Sektor Industri Semen

• Pedoman Standar dan Kriteria Refused Derived Fuel (RDF)

• Penetapan 8 Standar Industri Hijau pada industri pengolahan susu bubuk, crumb

rubber, pupuk, pengasapan karet, semen portland, ubin keramik, pulp dan pulp terintegrasi kertas, dan tekstil

• [pilot project] Penurunan intensitas emisi GRK spesifik sebesar 12,65 kg CO2/ton

cementitius di subsektor industri semen pada tahun 2015 melalui penggunaan energi alternatif seperti waste oil, tyres, RDF, solvents, saw dust, mixed industrial waste, dried sewage sludge, wood, paper, animal meal, animal bone meal, animal fat, dan biomassa lainnya

• Peningkatan Kapasitas SDM tentang Sistem Optimasi Pengelolaan Energi (ISO 50001)

kepada 500 orang SDM industri, termasuk 23 orang tenaga ahli nasional bekerjasama dengan UNIDO pada tahun 2012-2014

b. sedang dilakukan:

• Penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pedoman Petunjuk Teknis

Perhitungan dan Pelaporan Emisi CO2 Industri Semen

• Penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pedoman MRV Industri Semen

• Penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian tentang Standar dan Kriterian RDF untuk

Industri Semen

• Mengembangkan sistem informasi dan monitoring data aktivitas sumber emisi GRK di

sektor industri secara online;

• Bimbingan teknis perhitungan emisi GRK untuk Sektor Industri secara online

• Pilot Project Energy Management System (EnMS) di Sektor Industri kerjasama dengan

Energy Conservation Center Japan) di 9 Perusaaan Industri

• Penghargaan Industri Hijau

• Penyusunan dan Penetapan Standar Industri Hijau

• Sertifikasi Industri Hijau

• Penyusunan Draft Permen tentang Manajemen Energi & Air di Sektor Industri

c. Akan dilakukan:

• Menyusun Baseline Emisi GRK untuk Sektor IPPU, Energi Industri, dan Limbah di Sub

Sektor Semen, Pupuk, dan Pulp Kertas


(20)

Tantangan konservasi energi pada sektor industri adalah:

 Biaya investasi yang besar untuk industri mengimplementasikan teknologi konservasi

energi yang biasanya tingkat IRR (internal rate of return) rendah, serta waktu payback period yang cukup lama.

 Penggunaan gasifikasi batubara menjadi salah satu pilihan efisiensi energi, akan tetapi

tidak dapat secara optimal dilakukan karena terbentur regulasi fly ash dan bottom ash (PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3).

Asosiasi Industri Semen telah mengidentifikasi aksi mitigasi yang telah dilakukan oleh industri semen adalah:

• Mengurangi kandungan clinker dalam semen

• Menurunkan konsumsi panas dalam pembuatan semen

• Substitusi bahan bakar fosil dengan bahan bakar alternatif misalnya biomass, limbah

industri, RDF dan lainnya

• Recovery sisa gas panas yang dapat dimanfaatkan untuk pengeringan awal maupun untuk

pembangkitan listrik (WHRG)

• Mengurangi komsumsi energi listrik dalam proses produksi semen

Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia mengidentifikasi aksi mitigasi yang dilakukan oleh industri pupuk adalah:

• Revitalisasi Pusri IIB, dengan tahun pelaksanaan 2017

• Pembangunan CO2 plant (50.000 tpy), dengan tahun pelaksanaan 2018

• Pabrik Kaltim 5, dengan tahun pelaksanaan 2015

• Kegiatan yang dilakukan setiap tahun:

✓ Housekeeping/Modifikasi Peralatan

✓ Purge Gas Recovery Unit

✓ Purge Gas Recovery Unit

✓ Catalyst Decoking

✓ Hydrogen Recovery Unit

Pembahas Group Industri mengidentifikasi beberapa hal, yaitu:

• Pada dasarnya, mengingat key player dalam implementasi NDC ini adalah pemerintah

(states), K/L terkait menunggu langkah tindak yang selanjutnya akan dilakukan setelah NDC disampaikan kepada UNFCCC dan implementasinya di tingkat nasional mengingat pencapaian target yang telah ditetapkan tersebut akan ditanyakan pada tahun 2030.

• Salah satu pendekatan adalah membangun dan menerapkan mekanisme insentif, yang

memerlukan argumentasi kuat dan jelas yang diberikan kepada Kem. Keuangan.

• Perlu didiskusikan secara bersama terkait dengan rencana kongkrit upaya mitigasi yang

akan dilakukan pada 5 tahun ke depan dalam rangka merealisasikan pencapaian target NDC.

• Perlu diperhatikan dan dibahas untuk memasukkan rencana aksi mitigasi perubahan iklim

di setiap sektor terkait yang dimulai pada tahun 2018, dimana pedoman dan perangkat yang telah dibangun dapat diterapkan di industry yang sudah berjalan dan upaya pembinaan/peningkatan kapasitas dilakukan untuk memenuhi pencapaian target NDC.

• Dalam hal penganggaran keuangan untuk pendanaan kegiatan di K/L, Kem. Keuangan dan

K/L lainnya sedang dalam proses mainstriming terkait tagging kegiatan2 yang terkait penurunan emisi GRK sehingga dapat dijadikan masukan untuk mengembangkan strategi untuk mencapai target NDC.


(21)

• Saat ini sektor industri melakukan penurunan emisi GRK yang difokuskan melalui upaya revitalisasi yang dapat dibarengi dengan menerapkan efisiensi industri dan energi hijau sehingga akan terjadi co benefit dalam hal penurunan emisi GRK.

• Perlu ada ukuran-ukuran yang perlu dibangun dalam revitalisasi tidak hanya dalam kontek

perhitungan dan MRV, namun juga terkait ukuran teknologi yang lebih ramah lingkungan dan efisien dengan mengacu pada standart internasional dengan menerapkan metode perhitungan yang jelas.

4.4. Limbah

Aksi mitigasi perubahan iklim terkait dengan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Ditjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 adalah:

• Penerapan prinsip pengurangan dan penanganan sampah berdasarkan UU 18 Tahun 2008,

melalui kegiatan pengelolaan di Tempat Pemrosesan Akhir-TPA dan dilakukan 3R dan EPR.

• Penerapan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah-PLTSa dengan target pada tahun

2019 dilakukan di 2 kota (opsi: Surabaya, Solo, Makassar, Jakarta, Tangerang, Semarang, Bandung, Denpasar) dengan catatan bahwa emisi yang ditimbulkan harus memenuhi PermenLHK.

• Implementasi kebijakan dan program pengelolaan sampah nasional dalam pengurangan

emisi GRK, dengan kategori sumber emisi GRK dari pengelolaan sampah.

• Penerapan prinsip 3R melalui Bank Sampah diupayakan terus meningkat mengingat

potensi Penurunan Emisi GRK yang dihitung berdasar pengolahan sampah kertas berjumlah 165.147 kg/bulan sama dengan 1.981,77 ton/tahun yang diperkirakan dapat

menurunkan emisi GRK sebesar 6.314,15 ton CO2e/tahun (asumsi: perhitungan

menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh IPCCC, komposisi sampah yang digunakan untuk perhitungan 100% paper waste, dan emisi BAU merupakan perhitungan emisi yang dihasilkan untuk tahun 2015-2040).

• Implementasi kebijakan nasional pengelolaan sampah dan penurunan emisi GRK yang

difokuskan juga pada intervensi fisik berupa fasilitasi pembangunan sarana dan prasarana, misalnya Pusat Daur Ulang Sampah, Rumah Kompos, Instalasi penangkapan dan pemanfaatan gas metan TPA

• Pelaksanaan Program Adipura, dengan melakukan review dan regrouping komponen

penilaian pengendalian perubahan iklim (pengelolaan TPA, Proses Biologi, Proses insinerasi) dan konservasi energi (pemanfaatan energi dari pengelolaan sampah, pemanfaatan EBT lainnya) pada Program Adipura.

Aksi mitigasi perubahan iklim yang selama ini dilakukan oleh Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan yakni:

• Pengendalian pencemaran sungai prioritas yang memiliki potensi penurunan beban

pencemaran sungai dan kesetaraan dalam CO2/hari

o Sungai Ciliwung, dengan beban eksiting 54,416 ton/hari dan Daya Tampung Beban

Pencemaran airnya hanya sebesar 9,29 ton per hari, memiliki potensi penurunan beban pencemaran sebesar 45,11 ton BOD/hari (domestik 29,899,21, peternakan 1,190,49 dan industri 13,667,14 ton BOD/hari) yang setara dengan penurunan emisi

GRK sebesar 207,42 ton CO2/hari.

o Sungai Citarum, dengan beban eksisting sebesar 430,99 ton BOD/hari dan Daya

Tampung Beban Pencemaran air sebesar 127,44 ton BOD/hari, memiliki potensi penurunan beban pencemaran 303,55 ton BOD/hari (domestik 212.888, peternakan


(22)

33.626, industri 31.568,91 dan perikanan 8.561,87 ton BOD/hari) yang setara

dengan penurunan emisi GRK sebesar 1395,77 ton CO2/hari.

o Sungai Cisadane, dengan beban eksiting 53,546 ton/hari dan Daya Tampung Beban

Pencemaran air hanya sebesar 9,849,60 ton per hari, berpotensi untuk menurunkan beban pencemaran sebesar 43,718 ton BOD/hari (domestik 39,274, peternakan

1,533 dan industri 1,880 ton BOD/hari) yang setara dengan 201,02 ton CO2/hari.

Catatan tambahan: Potensi penurunan emisi GRK melalui upaya pengendalian pencemaran air sungai tersebut belum diikuti dengan laju pembangunan IPAL pengolahan limbah (oleh pemerintah pusat dan daerah).

• Pelaksanaan PROPER yang mengakomodir upaya sukarela perusahaan untuk melakukan

penurunan emisi GRK misalnya melalui standarisasi pengukuran dan verifikasi. Sampai saat ini dilaporkan total penurunan emisi GRK (disampaikan melalui swadeklarasi 316

perusahaan) sebesar 75.663.410 ton CO2e.

• Kegiatan lain yang meiliki potensi untuk menurunkan emisi GRK dalam sub-sektor ini

adalah: revitalisasi Prokasih melalui pembangunan IPAL komunal oleh Pemda dan Perlu peningkatan pemanfaatan gas metan oleh pabrik kelapa sawit.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim pada lingkup wewenang Ditjen Cipta Karya, beberapa hal teridentifikasi yaitu sebagai berikut:

• Strategi Mitigasi PI yang dikeluarkan oleh Kem. PUPERA adalah pelaksanaan Permen PU

No. 11/PRT/M/2012, yakni:

o Mendorong penerapan teknologi dan pengelolaan limbah dan sampah yang ramah

lingkungan.

o Mendorong penerapan teknologi pengolahan air limbah dengan penangkap gas.

o Mengembangan metoda MRV dalam kegiatan terkait perubahan iklim di perkotaan.

o Mendorong penerapan teknologi dan gerakan hemat air.

o Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang adaptasi terhadap perubahan iklim

pada kawasan perkotaan dan perdesaan.

o Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penurunan dampak perubahan

iklim.

• Sampai saat ini belum dilakukan pengukuran dan penghitungan oleh Kem. PUPERA dan

dihimbau agar dapat dilakukan kerjasama dengan KLHK. Selain itu, diperlukan juga pengembangan indicator keberhasilan kegiatan/program yang dilaksanakan di bawah kewenangan Ke, PUPERA terkait dengan penghitungan emisi GRK dan aksi mitigasinya. Selain aksi mitigasi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah juga telah memiliki inisiatif mitigasi perubahan iklim yang dilakukan melalui beberapa kegiatan yang merupakan kewenangannya. Dinas Lingkungan Hidup Prov. DKI Jakarta telah melakukan aksi mitigasi berupa:

• Penetapan target penurunan emisi GRK tingkat provinsi di tahun 2030 berdasarkan

baseline penghitungan di tahun 2005, melalui kegiatan penurunan emisi GRK dari beberapa sektor kunci yaitu transportasi 29%, energi 28%, dan komersial 17%.

• Upaya mitigasi diantaranya melalui:

o Pembangunan Intermediate Treatment Facilities (ITF)

o Kegiatan composting dan 3R

o Pengembangan Bank Sampah

o Sistem Pengelolaan Sampah TPST Bantar Gebang (konstruksi sanitary landfill,


(23)

sampah, pipa penampung leachate, metode konvensional, metode aop, teknologi reduksi sampah dan WTE, produksi kompos/granule, plastic recycling, waste to energy, gas well drilling, gas collection, penutupan landfill dengan geomembrane, pemipaan dari landfill ke powerhouse, penyediaan blower dan chiller, penyediaan

knock out pot – to reduce water content, pembakaran di gas engine, dan produksi

listrik di TPST).

• Pengembangan sistem Sewerage (catatan: tidak dapat berjalan seperti yang direncanakan

dan cakupannya hanya tetap kurang dari 2%).

Beberapa butir penting yang diangkat oleh Pembahas antara lain adalah:

• Upaya penurunan emisi dari sektor limbah akan dapat dicapai, mengingat bahwa kegiatan

tersebut telah dilakukan sebelum tahun 2010 yang di-set sebagai baseline.

• Aksi mitigasi melalui pengelolaan sampah seperti LFG recovery memerlukan investasi

teknologi yang berbiaya tinggi, akan tetapi hal ini sangat diperlukan untuk mempersiapkan kuantifikasi perhitungan yang menunjukkan besar capaian aksi mitigasi sehingga dapat diukur pada saat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan.

• Perlu ditetapkan kelembagaan yang mengatur penghitungan emisi dan penyediaan data.

• Regulasi untuk pengelolaan sampah hingga pelaksanaan mitigasi perubahan iklim dari

sektor ini sudah tersedia, tetapi penyediaan penganggaran dan peningkatan kapasitas untuk pelaksanaannya tidak ada.

4.5. Adaptasi dan Perangkat NDC

BNPB menyampaikan tentang skema konvergensi API-PRB dimana ada perbedaan yang sangat kecil antara API dan PRB. Terkait dengan pengurangan risiko bencana, BNPB sudah melakukan kajian risiko bencana di daerah yang dianggap berpotensi terjadi bencana.

Untuk perangkat pendukung, BNPB sudah memiliki INARisk yang berbasis GIS Server yang user friendly, diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan perencanaan kebijakan terkait bencana. Risiko bencana yang dianggap paling dominan terjadi di Indonesia adalah banjir. Terkait dengan sistem peringatan dini, BNPB juga sudah mengembangkan sistem peringatan dini terpusat masyarakat: dengan prinsip dasar diterima, dipahami, dll yang diberi nama Sistem Peringatan Dini Multibahaya (MHEWS). Selain itu juga, BNPB sudah mengembangkan program mitigasi bencana berbasis masyarakat dan melakukan percontohan pemasangan alat pemanen hujan; pembuatan tanggul penggal sungai bengawan solo; pembangunan lumbung padi; Penahan longsor menggunakan webbing jute dan rumput vetiver; pembuatan sumur resapan. BNPB juga sudah meluncurkan Gerakan Nasional PRB, yang kegiatannya mencakup:

a. Pembentukan fasilitator sebagai jejaring atau komunitas pinggiran sungai

b. Sosialisasi pengelolaan DAS

c. Diseminasi informasi

d. Edukasi PRB

e. Apel relawan

f. Aksi komunitas

BMKG merupakan institusi yang mempunyai tugas pokok melakukan observasi, pengumpulan data, pengolahan data sampai menjadi data dan informasi iklim yang siap didiseminasikan kepada publik. Fungsi BMKG terkait dengan NDC adalah dalam hal penyediaan data dan


(24)

informasi iklim, yang akan dapat dimanfaatkan tidak hanya sebagai data monitoring tetapi juga sebagai pertimbangan dalam penyusunan kebijakan, program atau rencana kegiatan. Salah satu kegiatan yang dilakukan terkait mitigasi perubahan iklim adalah melakukan monitoring GRK yang ada di atmosfer sebagai hasil emisi dari permukaan bumi. BMKG juga

sudah mengembangan Climate Change Information System yang akan diupayakan terintegrasi

dengan SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan perubahan iklim). Untuk monitoring data sudah ada kerjasama informasi iklim di tingkat regional melalui CORDEX initiative. Di tingkat nasional, BMKG dengan didukung oleh KLHK melalui project TNC sudah melakukan rekonstruksi data curah hujan yang dapat dimanfaatkan untuk proses kajian kerentanan dan/atau risiko perubahan iklim.

BIG merupakan institusi pemerintah yang menyediakan data dasar geospasial dan juga berperan dalam perencanaan yang terkait dengan geospasial. Saat ini data geospasial yang dihasilkan oleh BIG dapat dimanfaatkan dan diakses publik untuk digunakan dalam proses kajian atau penyusunan kebijakan dan rencana program. Negara menghitung keuntungan dari penggunaan data dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan berdasarkan data tersebut. Peran BIG dalam adaptasi dan mitigasi PI baik secara langsung maupun tidak langsung adalah penyediaan sistem referensi tunggal horizontal dan vertical yang memudahkan integrasi (One Map), juga penyediaan data dasar IG (Topografi/DEM dan DSM, utilitas, tutupan lahan, jaringan sungai, garis pantai, batas) yang dapat menjadi data dasar untuk model banjir dan kebencanaan yang dipengaruhi oleh PI lainnya. Selain itu juga melalui Geoportal Data Sharing

Ina-SDI, dimana KLHK merupakan salah satu institusi yang berfungsi sebagai sharing

knowledge.

Aksi adaptasi dan mitigasi PI yang telah dilakukan oleh BIG yaitu:

• Penyusunan NSPK dan Pemetaan Biomassa Skala 1:250,000, dengan maksud acuan bagi

pihak kementerian/lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta dan lembaga swadaya masyarakat dalam pembuatan Peta Biomassa Permukaan Skala 1:250.000. Hal itu dimaksudkan supaya ada keseragaman dalam norma, standar, prosedur dan kriteria dalam penyusunan Peta Biomassa Permukaan Skala 1:250.000 dalam rangka implementasi kebijakan satu peta

• Penyusunan NSPK dan Pemetaan Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan Skala 1:250,000

melalui penyusunan pedoman pemetaan yang digunakan dalam kebijakan pencegahan KARHUTLA melalui Kebijakan Satu Peta untuk mendukung pencegahan pada wilayah berpotensi terjadinya pembakaran baik di kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan (APL).

• Pemetaan Rawan Banjir. Pemetaan dilakukan melalui kerjasama antara BIG, BMKG dan

Kementerian PU-PR. Lokasi daerah rawan banjir yang dipetakan berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia tahun 2013 dari BNPB dan juga sesuai dari kesepakatan dari Tim Pokja (BIG, BMKG dan Kementerian PU-PR). Jumlah Kabupaten Kota dengan tingkat bencana banjir tinggi sebanyak 317 Kabupaten Kota (IRBI BNPB 2013). Pemetaan telah dilaksanakan sejak tahun 2006 dengan cakupan wilayah Sebanyak 191 Kabupaten/Kota.

• Pemetaan Multirawan Bencana. Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung penyediaan data

dan informasi geospasial tematik kebencanaan yang terstandarisasi untuk mendukung kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana dan acuan dalam perencanaan tata ruang berbasis kebencanaan.


(25)

• Pemetaan Tematik Recommended Development Area, dengan tujuan menyediakan informasi geospasial tentang lokasi lahan yang potensial untuk pengembangan lahan pertanian pangan. Pemetaan berbasis kesesuaian lahan, dan lokasi rekomendasi berada pada lokasi tersedia (Clean and Clear), penutup lahan bersifat masih terbuka untuk budidaya, di luar kawasan hutan lindung / konservasi, di luar lokasi yang telah memiliki perijinan pemanfaatan lahan

Ketiga institusi merupakan institusi penyedia data (bukan pelaksana aksi adaptasi), namun mempunyai peran penting karena data dan informasi yang dihasilkan merupakan salah satu pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dan program. Terkait dengan NDC, yang dibahas adalah target, sehingga untuk adaptasi perlu dibahas lagi secara lebih detil tentang target NDC, dan perlu ada kesepakatan nasional terkait dengan akselerasi target adaptasi dan perlu ada baseline untuk melakukan adaptasi.

Perubahan iklim tidak selalu bicara tentang disaster, dan tidak ada istilah natural disaster yang ada adalah natural hazard yang berpotensi menjadi disaster. Perlu ada kerjasama antara BIG, BMKG dan KLHK, dimana data yang dihasilkan oleh BIG dan BMKG diinterpretasi oleh KLHK sebagai sharing knowledge menjadi program kegiatan pembangunan. Terkait koneksi sistem informasi harus dikembangkan, dan BIG merupakan salah satu instansi penentu, termasuk pengelolaannya. Yang perlu diperhatikan juga tentang pemanfaatan sistem (misal: early warning system) bagaimana cara mengukur efektifitasnya. Selain itu juga perlu ada kesepakatan tentang perangkat analisis dalam skala nasional (makro), provinsi (meso), dan

kabupaten/kota (mikro), kemudia juga informasi best practices dan sistem manajemen

informasi dan komunikasi adaptasi, serta proses fasilitasi aksi-aksi ke dalam kebijakan nasional dan daerah.

5.

S

ESI

P

LENO

S

IANG

Moderator membagi sesi pleno siang menjadi dua bagian yaktu 1) mengetengahkan paparan dari masing-masing breakout group, dan 2) diskusi interaktif.

5.1. Paparan dari masing-masing breakout group

Energi

• Perlunya pelibatan dunia usaha yang berkecimpung dalam industri bioethanol,

mengingat potensinya yang besar untuk menurunkan emisi GRK. Untuk mengkondisikan keterlibatan dunia usaha ini perlu dukungan penetapan kebijakan

terkait supply dan market yang kondusif. Pada dasarnya, dunia usaha tertarik

berinvestasi untuk, misalnya bioavtur, akan tetapi karena iklim investasi dan

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum cukup memberikan jaminan kepada dunia usaha dari sisi market maka sapai saat ini pelaksanaan aksi mitigasi dari sisi penggantian bahan bakar dengan bioavtur belum bisa dilakukan. Terklait dnegan hal ini, dihimbau adanya ketegasan dari Kementerian Perhubungan sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam hal ini.

• Penurunan emisi GRK dari aksi mitigasi dalam skema green building harus dapat


(1)

• Pemetaan Tematik Recommended Development Area, dengan tujuan menyediakan informasi geospasial tentang lokasi lahan yang potensial untuk pengembangan lahan pertanian pangan. Pemetaan berbasis kesesuaian lahan, dan lokasi rekomendasi berada pada lokasi tersedia (Clean and Clear), penutup lahan bersifat masih terbuka untuk budidaya, di luar kawasan hutan lindung / konservasi, di luar lokasi yang telah memiliki perijinan pemanfaatan lahan

Ketiga institusi merupakan institusi penyedia data (bukan pelaksana aksi adaptasi), namun mempunyai peran penting karena data dan informasi yang dihasilkan merupakan salah satu pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dan program. Terkait dengan NDC, yang dibahas adalah target, sehingga untuk adaptasi perlu dibahas lagi secara lebih detil tentang target NDC, dan perlu ada kesepakatan nasional terkait dengan akselerasi target adaptasi dan perlu ada baseline untuk melakukan adaptasi.

Perubahan iklim tidak selalu bicara tentang disaster, dan tidak ada istilah natural disaster yang ada adalah natural hazard yang berpotensi menjadi disaster. Perlu ada kerjasama antara BIG, BMKG dan KLHK, dimana data yang dihasilkan oleh BIG dan BMKG diinterpretasi oleh KLHK sebagai sharing knowledge menjadi program kegiatan pembangunan. Terkait koneksi sistem informasi harus dikembangkan, dan BIG merupakan salah satu instansi penentu, termasuk pengelolaannya. Yang perlu diperhatikan juga tentang pemanfaatan sistem (misal: early warning system) bagaimana cara mengukur efektifitasnya. Selain itu juga perlu ada kesepakatan tentang perangkat analisis dalam skala nasional (makro), provinsi (meso), dan kabupaten/kota (mikro), kemudia juga informasi best practices dan sistem manajemen informasi dan komunikasi adaptasi, serta proses fasilitasi aksi-aksi ke dalam kebijakan nasional dan daerah.

5.

S

ESI

P

LENO

S

IANG

Moderator membagi sesi pleno siang menjadi dua bagian yaktu 1) mengetengahkan paparan dari masing-masing breakout group, dan 2) diskusi interaktif.

5.1. Paparan dari masing-masing breakout group

Energi

• Perlunya pelibatan dunia usaha yang berkecimpung dalam industri bioethanol, mengingat potensinya yang besar untuk menurunkan emisi GRK. Untuk mengkondisikan keterlibatan dunia usaha ini perlu dukungan penetapan kebijakan terkait supply dan market yang kondusif. Pada dasarnya, dunia usaha tertarik berinvestasi untuk, misalnya bioavtur, akan tetapi karena iklim investasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum cukup memberikan jaminan kepada dunia usaha dari sisi market maka sapai saat ini pelaksanaan aksi mitigasi dari sisi penggantian bahan bakar dengan bioavtur belum bisa dilakukan. Terklait dnegan hal ini, dihimbau adanya ketegasan dari Kementerian Perhubungan sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam hal ini.

• Penurunan emisi GRK dari aksi mitigasi dalam skema green building harus dapat diukur sehingga perlu dipersiapkan perangkat yang diperlukan dari sekarang.


(2)

• Teridentifikasi adanya potensi pernurunan emisi GRK yang sangat besar dari penerapan teknoogi CCS, dimana bisa dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam NDC Kedua (kerangka waktu post-2020) mengingat saat ini telah dibangun dan dipersiapkan pilot project di Gundih.

• Untuk kepentingan implementasi NDC perlu dipersiapkan pula perangkat monitoring dan evaluasi secara periodik untuk aksi-aksi mitigasi yang telah dilakukan berdasarkan perencanaan K/L dan NPS.

Pertanian

• Telah diidentifikasi aksi-aksi mitigasi yang dapat mendukung pelaksanaan NDC di ke. Pertanian.

• Perlu dikembangkan mekanisme pemantauan yang dilengkapi dengan proses perhitungan capaian penurunan emisi GRK mengingat sampai saat ini yang dilakukan oleh Kem. Pertanian hanya sebatas perhitungan potensi penurunan emisi GRK.

• Sampai saat ini, issue perubahan iklim hanya ditangani oleh Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Kem. Pertanian, yang bertugas antara lain menghitung dan melaporkan emisi GRK kepada Bappenas karena itu perlu dikembangkan atau ditentukan kelembagaan yang lebih efektif untuk penanganan perubahan iklim di Kem. Pertanian.

• Upaya mobilisasi partisipasi public masih dinilai kurang optimal, untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan keterlibatan publik.

Kehutanan

• Telah teridentifikasi aksi-aksi mitigasi berupa pengelolaan hutan tanam industri, restorasi ekosistem, pengeolaan hutan berkelanjutan utk penurunan degradasi hutan, rehabilitasi hutan tanam industri dan pengelolaan gambut termasuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

• Issue lain yang sangat penting adalah terkait akurasi dan pengelolaan data, kelembagaan pengelolaan data, sustainability pelaksanaan NDC oleh daerah, pentingnya peran kebijakan kepala daerah untuk penurunan emisi GRK.

• Perlu dikembangkan pedoman jelas yang akan mengakomodir inisiatif dunia usaha/swasta agar terintegrasi dengan kebijakan nasional.

• Tantangan yang dihadapi dalam menerjemahkan NDC menjadi aksi adalah integrasi dan pembagian tugas yang jelas antar-unit eselon1 di KLHK, skema insentif dan dis-insentif yang jelas, dan mekanisme MRV.

• Diharapkan agar Ditjen PPI dan PKTL menjadi leading agent dalam proses integrasi di KLHK.

• Diusulkan untuk dikembangkan joint activities yang juga dikaitkan dengan K/L terkait.

Industri


(3)

intensif untuk melaksanakannya terutama untuk mendukung efisiensi energi dan energi hijau.

• Industry pupuk, semen, metal dan baja telah menyusun perencanaan efisiensi energi dan sebagian sudah dilakukan baik melalui revitalisasi industri dan efisiensi energi.

• Target NDC di sektor IPPU akan dapat lebih cepat tercapai apabila hambatan dan kendala, terutama mengenai perijinan dan aturan yang dinilai memperlambat pengembangan implementasi efisiensi energi dan energi hijau.

Limbah

• Teridentifikasi adanya kendala terkait dengan monitoring dan dan pemahaman emisi GRK dari kegiatan pengelolaan sampah, misalnya mengenai tanggungjawab pelaksanaan pemantauannya dan juga pembiayaan peralatan monitoring apabila diperlukan.

• Pada dasarnya KLHK telah memiliki mekanisme pencapaian target NDC melalui kegiatan pengelolaan limbah padat dan domestik (mengacu pada Peraturan Presiden yang sedang diperbarui).

• Kondisi saat ini adalah Kem. PUPERA hanya mewajibkan pembangunan landfill saja akan tetapi tidak ada kewajiban, misalnya, untuk memasang dan mengoperasiokan alat penangkap metan dan memanfaatkannya. Sampai saat ini, baru Prov. DKI yang telah memiliki perencanaan untuk membanguan pembangkit listrik bertenaga sampah. Walaupun demikian, masih ada kendala dalam proses pemantauannya mengingat sampai saat ini sambungan rumah tangga yang memanfaatkan gas metan tidak memiliki meteran sehingga menyulitkan peroleh data yang valid.

• Hambatan lain pelaksanaan NDC adalah belum terintegrasinya implementasi mitigasi dan masih belum optimalnya akses K/L terhadap informasi NDC.

• Strategi yang dapat dikembangkan untuk mempersiapkan pelaksanaan NDC adalah perlu dikembangkan indikator keberhasilan/kinerja Kementerian/Lembaga yang menyebutkan capaian penurunan emisi GRK.

• Kejelasan peran dalam pelaksanaan NDC, yang akan mencakup perencanaan-pelaksanaan-pemantauan-pelaporan, merupakan hal yang dinilai mendesak untuk dapat diselesaikan.

• Koordinasi dan sinergi antar-kementerian/lembaga termasuk insitusi keuangan public merupakan hal penting dalam proses pengintegrasian NDC ke dalam program/kegiatan.

Adaptasi dan Perangkat NDC

Rekomendasi yang dihasilkan:

1.Menentukan baseline untuk adaptasi, dengan rekomendasi tahun 2010

2.Kebutuhan data , dimana wali data terkait perubahan iklim adalah KLHK yang dapat diakses

3.Usulan membentuk kelompok kerja di tingkat nasional


(4)

5.2. Diskusi interaktif

Sesi diskusi interkatif menangkap beberapa hal penting terkait dengan upaya transaling NDC into Actions, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Salah satu kunci yang dapat dijadikan entry point penanganan perubahan iklim terutama

dalam langkah “translating NDC into actions” adalah pengelolaan data dan aspek monitoring.

a. Sampai saat ini data terkait perubahan iklim dan kualitas pembangunan masih banyak yang tidak konsisten. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab upaya pemantauan aksi-aksi penurunan emisi GRK tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Pemantauan dimaksud juga dapat dipergunakan untuk melihat sejauh mana goal dari NDC dapat incorporated ke dalam pembangunan jangka panjang di sektor terkait.

b. Perlu dikembangkan data-data yang berkualitas bagus dan QA/QC untuk key data bagi setiap sektor.

c. KLHK telah mengembangkan SRN yang ditujukan antara lain untuk menjawab kedua permasalah di atas.

2. Pertemuan mengidentifikasi pentingnya kelembagaan dalam penanganan perubahan iklim secara jelas terutama dalam aspek tingkat implementasinya, walaupun telah ada NFP Perubahan Iklim mengingat fungsi NFP yang lebih bersifat koordinatif, fasilitatif, dan MRV., 3. Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti antara lain adalah sebagai berikut:

a. Cross-sectoral issues perlu dibahas bersama dalam waktu dekat ini untuk meningkatkan koordinasi antar-K/L dan antar- pemangku kepentingan.

b. Ketertiban dalam kebijakan dan instrumennya menjadi butir krusial dalam langkah integrasi perubahan iklim, sehingga KLHK yang berperan sebagai NFP diharapkan berada di baris terdepan. Hal-hal yang perlu dirapikan dan dimutakhirkan oleh KLHK antara lain adalah, tapi tidak terbatas pada, wali data dan pembiayaan perubahan iklim serta peran/keterlibatan pemerintah daerah maupun dunia usaha dan NPS lainnya dalam pengendalian perubahan iklim.

6.

S

ESI

P

ENUTUPAN

Sesi Penutupan dipimpin oleh Direktur Jenderal pengendalian Perubahan Iklim yang mengundang Ketua Dewan Pertimbangan Pengedalian Perubahan Iklim untuk menyampaikan beberapa pandangan terkait dengan proses diskusi dalam penyelenggaraan NDC Kick Off: Translating NDC into Actions.

Ketua Dewan Pertimbangan PPI (DP-PPI) menggarisbawahi bahwa proses yang berjalan di bawah wewenang DJPPI akan sangat berguna untuk menyiapkan pelaksanaan NDC. Proses ini juga akan selalu berkaitan dengan proses lain yang dikoordinir oleh DP-PPI. Selain itu, untuk melancarkan proses dan memuluskan proses transisi menuju pelaksanaan NDC maka diperlukan instrument eksekutif yang akan menjadi payung untuk instrument pelaksanaannya.


(5)

Dalam penutupannya, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim menyampaikan beberapa hal sekaligus menanggapi issue yang teridentifikasi selama proses diskusi, yaitu: 1. Data akan menjadi sesuatu yang akan selalu dirasa kurang sejalan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga membawa peningkatan kebutuhan/tuntutan terhadap data. Akan tetapi yang harus selalu dipegang adalah prinsip clarity-transparency-understanding atau CTU yang juga menjadi acuan dalam penyusunan NDC.

2. Strategi terkait dengan ketertiban komunikasi kebijakan akan sangat bergantung pada tingkat kebijakannya mengingat setiap level yang berbeda akan memerlukan strategi dan pendekatan yang berbeda pula, dari mulai tingkat menteri, tingkat eseon-1, eselon 2 dan seterusnya.

3. Koordinasi antar-K/L menjadi tantangan tersendiri yang unik dan perlu dikelola dengan bijak untuk upaya bersama dalam pengendalian perubahan iklim.

4. Mengacu pada prinsip efisiensi dan efektivitas institusi yang dicanangkan oleh Presiden RI maka untuk operasionalisasi pemantauan NDC tidak perlu dibentuk institusi baru akan tetapi harus diberdayakan dan dioptimalkan institusi yang ada dengan terus diperkuat kapasitasnya baik institusi maupun SDMnya. Sebagai contoh struktur di bawah Ditjen PPI sebagai NFP telah didukung empat Direktorat yang menangani perubahan iklim termasuk yang menangqani NDC; di K/L yang tidak memiliki Unit khusus yang menangani perubahan iklim dapat membentuk POKJA Perubahan Iklim sebagai platform koordinasi internal dan

‘hub’ untuk koordinasi eksternal. Kebutuhan yang ada saat ini adalah membangun mekanisme yang memungkinkan unit-unit teknis tersebut untuk berkoordinasi secara efektif dengan K/L dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

5. Sebagaimana strategi pendekatan dalam penyusunan NDC, langkah tindak yang diusulkan adalah agar masing-masing sektor berproses secara internal untuk mengarusutamakan NDC ke dalam perencanaan program/kegiatannya; NFP akan melakukan diskusi termasuk secara bilateral dengan sektor dimaksud dengan bahan yang diperoleh dari pertemuan ini. 6. Mengingat UU16/2016 tentang Ratifikasi Paris Agreement tidak mengatur operasionalisasi secara eksplisit pelaksanaan Paris Agreement termasuk NDC, keperluan akan basis legal untuk memperkuat implementasi NDC, akan dikaji lebih dalam UU dan peraturan perundangan lainnya yang telah ada sebagai dasar penentuan perangkat peraturan yang perlu segera dibangun.

7. Dari segi struktur pemerintahan, KLHK memegang peranan dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengendalian perubahan iklim dan Bappenas memiliki wewenang terkait dengan pembangunan nasional, sehingga menuntut adanya sinergi antara keduanya. 8. Sebagai konsekuensi komitmen NDC dan telah diratifikasinya Paris Agreement, maka perlu

dipastikan pendanaan yang berasal dari anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim di K/L dan Pemerintah Daerah.


(6)

LAMPIRAN

Lampiran 1.

TOR dan Agenda Pertemuan

Lampiran 2.

Paparan Narasumber

Lampiran 3.

Paparan Hasil Diskusi dalam Breakout Groups