BahanAjar Hak Menguji Perundang-undangan
HAK MENGUJI
(2)
Hak Menguji Perundang-undangan Dalam Kerangka Ilmu Hukum Tata Negara
Sub Pokok Bahasan
1.
Pentingnya hak menguji dalam
kerangka Ilmu Hukum Tata
Negara
2.
Pengertian dan Pembagian Hak
Menguji
3.
Hubungan hak Menguji dengan
(3)
Pengertian
‘Hak Uji’ diartikan dari bahasa Belanda
yaitu : TOETSINGRECHT
Toetsing = Menguji/Review
Recht = Hukum/Hak/Law/Rights Rights or authority to review laws (hakuji)
(4)
Lannjutan
What is judicial review?
Judicial review (UK) relates to the granting of the prerogative orders
of certiorari, mandamus, and prohibition (Beale 1997: 55).
Judicial review (UK) sometimes called the supervisory jurisdiction, is
the High Court’s power to police the legality of decisions made by public bodies (Alder 2005: 357).
What is judicial review?
Judicial reviewis the power of a court to review a statute, or an official action or inaction, for constitutionality. In many jurisdictions, the court has power to strike down a statute, overturn an official action, or
compel an official action, if the court believes the constitution so
requires. In some countries, courts also have authority to strike down statutes even though they are constitutional, for violation of basic
principles of justice, or for contrariness to principles of a free and democratic society
(5)
Lanjutan
Berdasarkan pengertian
tersebut kata judicial review,
toetsingrecht, and hakuji,
tidaklah sama karena terdapat
beberapa aspek perbedaan
yang dapat dilihat dalam tabel
berikut :
(6)
Tabel. 1
Aspects HakMenguji Judicial Review
Review authority Not always judge or
judicial bodies Judge or judicial bodies
(toetsingsrechtvan de rechter)
Object Legislations Legislations and Administrative Decision (KTUN) Trigger Not necessary based
on specific
sue/application/ objection
Based on sue/petition/ objection
Reviewing Bodies Active and passive Passive, requires the trigger
(7)
Hak Menguji di Indonesia
Pasal24A (1) UUD 1945: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. ***)
Pasal 24C (1) UUD 1945: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,... ***)
(8)
Lanjutan
Menurut JimlyAsshidiqie Hak uji dilakukan dalam dua bentuk yaitu :
a.Materiiletoetsing :
Pemeriksaan pengujian UU yang dilakukan secara materi
b.Formeletoetsing : secara formil
(9)
Materiiletoetsing
Pengujian terhadap materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
Misal :
materi muatan undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
materi muatan Peraturan Pemerintah bertentangan dengan Undang-undang
(10)
Formeletoetsing
Pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bentuk atau format UU yang dibentuk sudah tepat
menurut UUD
Sejauhmana prosedur yang ditempuh dalam
proses pembentukan UU memang ditaati
Lembaga yang terlibat memang berwenang
Prosedur pengundangan dan pemberlakuannya
sesuai dengan ketentuanUUD atau
peraturanperundang-undangan berdasarkan UUD.
(11)
Aspek HakMenguji Judicial Review
WewenangPengujian Tidakselaluhakim/ badanperadilan OlehHakim/
BadanPeradilan(toetsingsrechtvan de rechter)
Objek PeraturanPerundang-Undangan
PeraturanPer-UU-an danKeputusanAdministrasi(KTUN) Trigger Tidakhrs adagugatan/permohonan/keberatan
Gugatan/ Permohonan/ keberatan---perkara
Sifatbadanpenguji AktifdanPasif Pasif(harusadatrigger)
(12)
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
HAK MENGUJI DI INDONESIA
(13)
Perkembangan Pemikiran Hak Menguji di Indonesia
Sub Pokok Bahasan
1. Perdebatan hak menguji dalam Persiapan UUD 1945
2. Hasil Seminar Hukum Nasional II di Semarang
3. Beberapa perdebatan setelah lahirnya UU 14/1970 dan UU 14/1985
4. Perdebatan pada saat amandemen UUD 1945
(14)
Perkembangan Yuridis Hak Menguji
Sub Pokok Bahasan
1. Hak Menguji dalam UUD 1945 2. Hak menguji dalam KRIS 1949 3. Hak Menguji dalam UUDS 1950 4. Hak Menguji dalam Peraturan
Perundangan lainnya.
5. Hak Menguji dalam UUD 1945 pasca Amandemen
(15)
Menurut UUD 1945 Periode I
TIDAK
DIRUMUSKAN
(16)
Konstitusi RIS 1949
Pasal 130
(1) Sekalian usul undang-undang jang telah
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat dan, djika usul2 itu mengenai urusan sebagai diterangkan dalam pasal 127, sub a, telah dirundingkan oleh Senat sesuai dengan jang ditetapkan dalam pasal 131 dan pasal2 berikutnja, memperoleh kekuatan undang-undang, apabila sudah disahkan oleh
Pemerintah.
(2) Undang-undang federal tidak dapat diganggu-gugat.
(17)
Konstitusi RIS
Pasal 156
(1) Djika Mahkamah Agung atau pengadilan2 lain jang mengadili dalam perkara perdata atau dalam perkara hukuman perdata, beranggapan bahwa suatu ketentuan dalam peraturan
ketatanegaraan atau undang2 suatu daerah-bagian berlawanan dengan Konstitusi ini, maka dalam keputusan kehakiman itu djuga, ketentuan itu dinjatakan dengan tegas tak-menurut- Konstitusi.
(2) Mahkamah Agung berkuasa djuga menjatakan dengan tegas bahwa suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau dalam
undang-undang daerah-bagian tak-menurut-Konstitusi, djika ada surat permohonan jang beralasan jang dimadjukan, untuk
Pemerintah Republik Indonesia Serikat, oleh atau atas nama Djaksa Agung pada Mahkamah Agung, ataupun, untuk suatu pemerintah daerah-bagian jang lain, oleh Kedjaksaan pada pengadilan tertinggi daerahbagian jang dimaksud kemudian.
(18)
UUDS 1950
Pasal 95(1)Sekalian usul undang-undang jang telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat memperoleh kekuatan undang-undang, apabila sudah disahkan oleh Pemerintah.
(19)
TAP MPR NOMOR III/MPR/2000
Pasal 5
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
3. Pengujian dimaksud ayat 92) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi. 4. Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian
sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.
(20)
Model-model Pengujian
Undang-undang
(21)
ada beberapa model pengujian Undang-undang yang dikenal didunia dalam bukunya Jimly Asshidiqie
mengemukakan ada 10 (sepuluh) model antara lain : Model Amerika Serikat;
Model Austria (Continental Model);
Model Conseil Constitutionnel Perancis;
Model Campuran Amerika dan Kontinental; Model Pengujian oleh Special Chambers; Model Belgia;
Model Tanpa Judicial Review; Model Legislative Review;
Model Executive Review;
Model International Judicial Review
(22)
Model Amerika Serikat;
Pada model ini pengujian dilakukan oleh sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan status sebagai The Guardian of Constitution. Model pengujiannya
tersebar yang mengandung makna bahwa pengujian atau Judicial Review juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi didalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa. Putusan yang diambil hanya
mengikat para pihak yang berperkara dalam perkara yang bersangkutan. Putusan bersifat deklaratoir dan retrospektif. Pada sistem Amerika yang menganut
sistem common law dikenal sistem judge made law
jadi hakim sangat berperan dan putusannya, menjadi yurisprudensi.
(23)
Model Austria (
Continental
Model
);
Model Austria sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hans Kelsen melalui Stufenbow Theory. Prinsip dasar yang digunakan adalah adanya
keseimbangan antara supremasi parlemen (the supremacy of parliament) dan supremasi
konstitusi (the supremacy of constitusion),
sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat tidak menyimpang dari pesan konstitusi sebagai
the supreme law of land. Artinya apabila doktrin supremasi parlemen bertentangan dengan
supremasi konstitusi maka yang supremasi
konstitusi yang diutamakan. Pengujian dilakukan oleh sebuah pengadilan konstitusi tersendiri
dengan membentuk sebuah Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengujian terutama atas norma yang abstrak (abstract review) yang bersifat umum dan norma konkrit (concret
(24)
Model
Conseil Constitutionnel
Perancis;
Di Perancis dibentuk sebuah dewan yang diberi nama Conseil Constitutionnel bukan pengadilan (court). Dewan ini lahir akibat adanya penolakan terhadap kewenangan hakim untuk melakukan constitusional review terhadap produk parlemen sehingga Perancis tidak membentuk sebuah
pengadilan. Kewenangannya pun terbatas pada RUU yang akan disahkan (bersifat preventif), artinya terhadap produk parlemen yang belum disahkan/diundangkan namun telah mendapat persetujuan parlemen.
(25)
Model Campuran Amerika dan
Kontinental;
Merupakan campuran antara model Amerika
Serikat dan Eropa Kontinental dengan unsur baik sistem yang tersebar dan sistem yang
terkonsentrasi. Meskipun pengujian
konstitusionalitas dilakukan secara terpusat di
Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atau bahkan terpusat pada kamar tertentu (special
chamber) dalam badan peradilan yang ada, semua tingkatan pengadilan pun dapat menyampingkan berlaku suatu undang-undang yang dinilai
(26)
Model Pengujian oleh
Special
Chambers
;
Model ini dilakukan dengan cara
melembagakan pengujian konstitusionalitas (constitusional review) itu ke dalam fungsi
badan-badan peradilan yang sudah ada dalam bentuk ‘special chamber’, tetapi bukan di
Mahkamah Agung seperti model Amerika Serikat.
(27)
Model Belgia;
Fungsi constitusional review diberikan dan
dilakukan oleh badan peradilan tertinggi dibidang Arbitrase yang kedudukannya sejajar dengan
Mahkamah Agung yang disebut Court of Arbitration.
Salah satu jalan pikiran yang dikembangkan dibalik itu ialah bahwa persoalan constitusional review
dilihat sebagai sengketa atau perselisihan
konstitusional antar lembaga negara yang terkait ataupun antar organ negara dengan warga negara. Pengujian konstitusionalitas itu sendiri dilihat dalam kerangka konsepsi arbitrase konstitusional, sehingga lembaga yang melakukan fungsi pengujian ini dapat pula disebut ‘court of Constitusional Arbitrase’.
(28)
Model Tanpa Judicial Review;
Model ini menganut prisnsip supremasiparlemen jadi pada model ini menolak adanya kewenangan hakim untuk menguji produk
parlemen atau legislative. Pengujian hanya boleh dilakukan atas tindakan yang bersifat administratif. Jadi pada model ini tidak ada pengujian konstitusional. Konsep ini
dipraktekkan oleh Inggris, Belanda dan negara komunis.
(29)
Model Legislative Review;
Pada model ini pengujian konstitusionalitas tidak dilakukan oleh hakim namun dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan yang
terkait dengan cabang kekuasaan legislatif. Model ini dianut oleh negara yang memegang prinsip supremasi parlemen. Undang-undang hanya dapat diuji atau dibatalkan oleh
(30)
Model Executive Review;
Model pengujian ini dilakukan oleh eksekutif terhadap produk hukum yang dibuat oleh
lembaga dibawahnya misalnya pemerintah pusat menguji Peraturan Daerah yang dibuat oleh Pemerintah daerah.
(31)
Model International Judicial
Review
Berkembang pada negara-negara yang saling mengikatkan diri dalam sebuah organisasi
yang kemudian membentuk sistem baru seolah-olah menjadi sebuah negara Induk.
Misalnya Uni Eropa yang memiliki konstitusi tersendiri dimana undang-undang ataupun
konstitusi negara anggota dapat diuji dengan konstitusi Eropa
(32)
Centralized system dan decentralized
system
Centralized system adalah Pengujian
konstitusional yang diserahkan kepada semua tingkatan pengadilan
Decentralized system adalah Pengujian
konstitusional diserahkan pada pengadilan khusus
(33)
PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(34)
Penafsiran Hakim
Kewenangan untuk melakukan Pengujian
Peraturan Perundang-undangan melahirkan kewenangan baru yaitu melakukan
Penafsiran (interpertation)
Hakim yang melakukan penafsiran disebut
(35)
Menurut Carl Von Savigny
pakar hukum Jerman yang mengajarkan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam
undang-undang.
Penafsiran hukum bukanlah metode yang
dapat digunakan semaunya melainkan harus terpusat kepada penafsiran undang-undang.
(36)
Lanjutan
Interpretasi atau menafsir undang-undang
(wetsuitleg) menurut ajaran hukum sebenarnya
adalah alat pembantu dalam memberi arti, maksud atau ratio terhadap suatu ketentuan
undang-undang. Hal itu disebabkan ketentuan hukum tidak dapat memberikan penyelesaian hukum terhadap permasalahan yang ada pada dunia nyata.
Penafsir undang-undang dibutuhkan untuk memahami tujuan hukum sesungguhnya dan
keputusannya memiliki legitimasi yang mengikat, maka diserahkan wewenang tersebut kepada
(37)
Metode penafsiran
Interpretasi subsumtif Interpertasi gramatikal Interpertasi sistematis Interpretasi logis
Interpretasi historis Interpretasi teleologis Interpretasi komparatif
Interpretasi antisipatif/futuristik Interpretasi restriktif
Interpretasi ekstensif Interpretasi otentik
Interpretasi interdisipliner Interpretasi multidisipliner
(38)
Interpretasi subsumtif
Penerapan suatu teks perundang-undangan
terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekadar menerapkan sillogisme.
Sillogisme adalah bentuk berfikir logis
dengan mengambil kesimpulan dari hal yang bersifat umum (premis mayor) dan Peristiwa Konkrit (premis minor)
(39)
Interpertasi gramatikal
Menafsirkan kata-kata atau istilah dalam
perundang-undangan sesuai kaidah bahasa (hukum tata bahasa) yang berlaku
Apalagi bahasa hukum kadangkala memiliki
makna yang berbeda jika dibandingkan dengan bahasa sehari-hari.
(40)
Interpertasi sistematis (logis)
Menafsirkan dengan
menghubungkannya dengan
peraturan hukum
(41)
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
OLEH
(42)
POKOK BAHASAN
1. PENDAHULUAN
2. FUNGSI DAN WEWENANG MAHKAMAH
KONSTITUSI
3. PENGATURAN/HUKUM ACARA DALAM UU
MK
4. PROSES DAN PROSEDUR BERACARA DI
MK
(43)
FUNGSI & KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Fungsi Mahkamah Konstitusi
Mengawal Konstitusi, agar
dilaksanakan dan dihormati baik
penyelenggara kekuasaan negara
maupun warga negara.
Penafsir akhir konstitusi, agar
spririt konstitusi selalu hidup dan
mewarnai keberlangsungan
(44)
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 jo Pasal 10
UU Mahkamah Konstitusi:
(1) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang dasar;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
(45)
Lanjutan
(2)Mahkamah Konstitusi Wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran berupa pengkianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(46)
ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA
MK
A. ASAS HUKUM ACARA MK.
1. Persidangan terbuka untuk umum, (Psl. 40 ayat (1) UU MK menentukan secara khusus bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH);
2. Independen dan Imparsial, (Psl. 2 UU MK
menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
(47)
Lanjutan
3. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan murah, (Psl. 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dngan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan ayat (2) tersebut, bahwa yang dimaksud sederhana adalah
pemeriksaan dan penyelesaian secara efisien dan efektif, sedangkan murah artinya biaya
dapat dipikul oleh masyarakat pencari keadilan.
Terkait biaya beracara di MK tidak dipungut biaya,
karena semua biaya perkara ditanggung oleh negara.
(48)
Lanjutan
4.
Hak untuk didengar secara seimbang
(Audi et Alteram Partem);
Dalam pemeriksaan permohonan pengujian
undang-undang, Pemohon, Pemerintah dan
DPR serta pihak terkait langsung diberi hak
yang sama untuk didengar. Bahkan
stakeholder lain yang merasa mempunyai
kepentingan dengan undang-undang yang
sedang diuji harus didengar jika pihak
terkait tersebut mengemukakan keinginan
untuk memberikan keterangan.
(49)
Lanjutan
5. Hakim Aktif dan Pasif dalam proses persidangan.
Pemeriksaan di MK memiliki karakteristik
khusus yang kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan, sehingga proses persidangan tidak dapat diselesaikan melalui inisiatif pihak-pihak saja. Dalam hal
hakim pasif, yakni hakim tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif menggerakkan mekanisme MK untuk memeriksa perkara tanpa adanya
permohonan, sedangkan dikatakan aktif, setelah permohonan diajukan, maka dalam proses
pemeriksaan hakim harus aktif tidak hanya menggantungkan inisiatif dari pihak-pihak.
(50)
Lanjutan
6.
Ius Curia Novit
, (Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk
(51)
HUKUM ACARA
HUKUM ACARA
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR,, (Ps.50 – 60 UU MK) (Ps.50 – 60 UU MK)
Hukum acara khusus yang mengatur prosedur dan hal-hal lain terkait
Hukum acara khusus yang mengatur prosedur dan hal-hal lain terkait
dengan pengujian undang-undang di dalam Undang-undang Nomor 24
dengan pengujian undang-undang di dalam Undang-undang Nomor 24
Th 2003 meliputi hal-hal sebagai berikut:
Th 2003 meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian
a. Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian
b. Pihak yang dapat bertindak dalam permohonan pengujian
b. Pihak yang dapat bertindak dalam permohonan pengujian
undang-undang
undang
c. Bentuk pengujian undang-undang
c. Bentuk pengujian undang-undang
d. Kewajiban menyampaikan salinan permohonan kepada
d. Kewajiban menyampaikan salinan permohonan kepada
institusi/lembaga negara tertentu
institusi/lembaga negara tertentu
e. Hak meminta keterangan terhadap lembaga negara terkait dengan
e. Hak meminta keterangan terhadap lembaga negara terkait dengan
permohonan
permohonan
f. Materi putusan
f. Materi putusan
g. Akibat putusan pengujian undang-undang dan kewajiban setelah
g. Akibat putusan pengujian undang-undang dan kewajiban setelah
putusan
(52)
Lanjutan
Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian
1.
1. NormatifNormatif
Hanya Undang-undang yang diundangkan Hanya Undang-undang yang diundangkan
setelah perubahan pertama UUD RI 1945 (Ps. setelah perubahan pertama UUD RI 1945 (Ps.
50) 50)
2. Dikesampingkan 2. Dikesampingkan
Dalam praktek norma tersebut
Dalam praktek norma tersebut dikesampingkandikesampingkan 3. Dibatalkan
3. Dibatalkan
Setelah diajukan permohonan pengujian Setelah diajukan permohonan pengujian
undang-undang norma tersebut dinyatakan undang-undang norma tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD RI 1945 / dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945 / dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan mengikat secara tidak mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum hukum
(53)
Pemohon
Pemohon harus memenuhi syarat kedudukan hukum Pemohon harus memenuhi syarat kedudukan hukum
(legal standing)
(legal standing) sebagai Pemohon. sebagai Pemohon.
Mempunyai hak atau kewenangan konstitusionalMempunyai hak atau kewenangan konstitusional
Berlakunya suatu undang-undang dianggap merugikan hak Berlakunya suatu undang-undang dianggap merugikan hak atau kewenangan tersebut
atau kewenangan tersebut
Dalam praktek syarat-syarat dirumuskan sebagai Dalam praktek syarat-syarat dirumuskan sebagai
berikut: berikut:
Hak/kewenangan konstitusional Hak/kewenangan konstitusional
Dianggap dirugikan dengan berlakunya suau undang-Dianggap dirugikan dengan berlakunya suau undang-undang
undang
Bersifat spesifik dan aktual atau potensial yang secara nalar Bersifat spesifik dan aktual atau potensial yang secara nalar sehat pasti terjadi
sehat pasti terjadi
Ada hubungan Causal Verband antara kerugian dan Ada hubungan Causal Verband antara kerugian dan berlakunya undang-undang
berlakunya undang-undang
(54)
HAL-HAL TERKAIT DENGAN
HAL-HAL TERKAIT DENGAN
PUTUSAN
PUTUSAN
1.1. Putusan yang mengabulkan permohonan Putusan yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang harus dimuat
pengujian undang-undang harus dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu
dalam Berita Negara dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tigapuluh) hari kerja
paling lambat 30 (tigapuluh) hari kerja
terhitung sejak putusan diucapkan
terhitung sejak putusan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum
dalam sidang terbuka untuk umum
(Ps. 57 ayat (3))
(Ps. 57 ayat (3))
2. Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku
2. Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku
ke depan (prospektif)
(55)
3. Putusan Mahkamah Konstitusi
3. Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai pengujian undang-undang
mengenai pengujian undang-undang
disampaikan kepada DPR,DPD, Presiden
disampaikan kepada DPR,DPD, Presiden
dan MA
dan MA
(Ps.59)
(Ps.59)
4. Terhadap materi muatan ayat, pasal
4. Terhadap materi muatan ayat, pasal
dan/atau bagian dari undang-undang
dan/atau bagian dari undang-undang
yang dimohonkan pengujian dan ditolak
yang dimohonkan pengujian dan ditolak
oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat
oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali (Ps.60)
dimohonkan pengujian kembali (Ps.60)
HAL-HAL TERKAIT DENGAN PUTUSAN
(56)
BENTUK PENGUJIAN
BENTUK PENGUJIAN UNDANG-UNDANGUNDANG-UNDANG
1.
1. Pengujian formil dimaksudkan sebagai bentuk Pengujian formil dimaksudkan sebagai bentuk
pengujian berkenaan dengan pembentukan UU
pengujian berkenaan dengan pembentukan UU
yang dianggap tidak memenuhi ketentuan
yang dianggap tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD NRI 1945;
berdasarkan UUD NRI 1945;
2.
2. Pengujian materiil berkenaan dengan materi Pengujian materiil berkenaan dengan materi
muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari
muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari
UU yang dianggap bertentangan dengan UUD
UU yang dianggap bertentangan dengan UUD
NRI 1945.
(57)
PENYAMPAIAN SALINAN PERMOHONAN
PENYAMPAIAN SALINAN PERMOHONAN
1.
1. Dewan Perwakilan RakyatDewan Perwakilan Rakyat
2.
2. PresidenPresiden
3.
(58)
PERMINTAAN KETERANGAN
PERMINTAAN KETERANGAN
DAN/ATAU RISALAH RAPAT
DAN/ATAU RISALAH RAPAT
1.
1. Majelis Permusyawaratan RakyatMajelis Permusyawaratan Rakyat
2.
2. Dewan Perwakilan RakyatDewan Perwakilan Rakyat
3.
3. Dewan Perwakilan DaerahDewan Perwakilan Daerah
4.
(59)
MATERI POKOK PUTUSAN
MATERI POKOK PUTUSAN
1.
1. Kewenangan MK RI untuk pengujian Kewenangan MK RI untuk pengujian
undang-undang;
undang-undang;
2.
2. Syarat-syarat kedudukan hukum Syarat-syarat kedudukan hukum
(legal standing)
(60)
PENGUJIAN
PENGUJIAN
PER
PER
UNDANG-
UNDANG-UNDANG
UNDANG
AN
AN
OLEH
OLEH
MAHKAMAH
MAHKAMAH
AGUNG
(61)
Pasal11 ayat(2) UU No 4/2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman: MA mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Pasal31 UU No.5 /2004 (perub. UU 14/1985 tentangMA):
(1) MA mempunyai wewenang menguji peraturanperundang – undangan terhadap undang-undang.
(2) MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(62)
Badan Peradilan di Bawah Mahkamah
Agung
a.
Peradilan Umum
terdapat pengadilan Khusus,
mis ; Pengadilan Tipikor, HAM,
Pajak, Hubungan Industrial,
Niaga dll
b.
Peradilan Agama
c.
Peradilan Militer
(63)
Kewenangan Mahkamah Agung
merupakan pengadilan negara tertinggi dari
keempat lingkungan peradilan
mengadili pada tingkat kasasi terhadap
putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang terhadap undang-undang; dan
kewenangan lainnya yang diberikan
(64)
Mekanisme Pengujian atas Peraturan Perundang-undangan di bawah UU
Pengaturan lebih lanjut yang menjabarkan
pelaksanaan dari ketentuan pasal 5 ayat (2) dan (3) TAP MPR No. III tahun 2000 memang belum ada. Namun sebelum keluarnya TAP MPR tersebut
Mahkamah Agung memang pernah mengeluarkan Perma meskipun hal tersebut belum diperbaharui kembali seiring dengan adanya pengaturan dalam TAP MPR No. III tahun 2000 yang menyatakan
kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat secara aktif melakukan pengujian atas peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang tanpa perlu adanya proses kasasi terlebih dahulu.
(65)
Lanjutan
Adapun pelaksanaan pengujian atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang Berdasarkan Perma No. 1 tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil adalah sebagai berikut:
1. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung
sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan. Gugatan atau permohonan keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung. 2. Gugatan atau permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara:
Langsung ke Mahkamah Agung;
Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
3. Gugatan atau permohonan keberatan diajukan dalam tenggat waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
(66)
Lanjutan
4. Dalam hal gugatan atau permohonan keberatan diajukan secara langsung
kepada Mahkamah Agung maka Kepaniteraan Mahkamah Agung akan memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat
meminta langsung kepada penggugat/pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.
a. Setelah berkas gugatan/permohonan keberatan tersebut lengkap, Panitera
Mahkamah Agung menyampaikannya kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung yang akan menangani gugatan/permohonan keberatan tersebut.
b. Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Agung, setelah berkas gugatan diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Mahkamah Agung maka Panitera Mahkamah Agung juga wajib mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.
c. Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera
Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut.
(67)
Lanjutan
5. Dalam hal gugatan/permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan
Negeri setempat maka Panitera Pengadilan Negeri akan memeriksa
kelengkapan gugatan/permohonan keberatan yang telah didaftarkan dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada
penggugat/pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.
a. Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, setelah berkas gugatan diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Pengadilan Negeri maka Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.
b. Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
salinan gugatan tersebut.
c. Hari berikutnya setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari di atas, Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera meneruskan meneruskan
gugatan dan jawaban penggugat kepada Mahkamah Agung untuk kemudian disampaikan Panitera Mahkamah Agung kepada Ketua Mahkamah Agung agar dapat ditetapkan Majelis Hakim Agung yang akan menanganinya.
(68)
Lanjutan
6. Gugatan/permohonan keberatan diperiksa dan diputus oleh Majelis
Hakim Agung dengan menerapkan ketentuan yang berlaku bagi perkara gugatan/permohonan keberatan dalam waktu
sesingkat-singkatnya sesuai dengan azas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
7. Dalam hal gugatan/permohonan keberatan itu beralasan karena
peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi maka Mahkamah Agung akan mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan. Dalam hal gugatan dinilai tidak beralasan maka Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut akan menolak gugatan/permohonan keberatan tersebut.
(69)
Lanjutan
8. Pemberitahuan salinan putusan Mahkamah Agung terhadap
gugatan/permohonan keberatan disampaikan dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, pemberitahuan salinannya disampaikan juga kepada
Pengadilan Negeri tersebut.
9. Dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah
Agung dikirim kepada tergugat (dalam hal pengujian diajukan
berdasarkan gugatan) / badan atau Penjabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan tersebut (dalam hal pengujian diajukan
berdasarkan permohona keberatan) tidak melaksanakan kewajiban untuk mencabut peraturan yang bersangkutan maka demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
10.Putusan Majelis Hakim Agung atas gugatan/permohonan keberatan
atas suatu peraturan perundangan-undangan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
(70)
JUDICIAL REVIEW
JUDICIAL REVIEW
PERATURAN DAERAH
(71)
Konsep Pengawasan Peraturan Daerah
Efektivitas (Effective)Efektivitas (Effective)
Klarifikasi (
Klarifikasi (ClarifyClarify) Evaluasi () Evaluasi (EvaluateEvaluate))
Pembinaan & Pengawasan
Pembinaan & Pengawasan
(
(72)
PENGAWASAN
PENGAWASAN
Pemerintah melakukan Pengawasan terhadap:
a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di Daerah
b. Peraturan Daerah dan Peraturan KDH
(Ps 218 UU No. 32/2004)
(73)
7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Perat
Per-uu-an yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
8. Peraturan Daerah Kab/Kota adalah Perat Per-uu-an yang dibentuk oleh DPRD
Kab/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
(74)
Pembentukan Perda
ditetapkan oleh KDH setelah mendapat
persetujuan bersama DPRD
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah.
merupakan penjabaran lebih lanjut dari perat
per-uu-an yang lebih tinggi
memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah
dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau perat per-uu-an yang lebih tinggi.
(75)
(1) Dalam hal suatu UU diduga bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Perat Per-uu-an di bawah UU diduga bertentangan dengan UU,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ps 9
(76)
PEMERINTAH DAERAH
PEMERINTAH DAERAH
PEMERINTAH PUSAT PEMERINTAH PUSAT
TIM KAJI ANTAR DEP
TIM KAJI ANTAR DEP KEM YBSKEM YBS
REKOMENDASI REKOMENDASI MENDAGRI MENDAGRI SURAT TEGORAN 1. MENGHENTIKAN 2. MENCABUT/REVISI SURAT TEGORAN 1. MENGHENTIKAN 2. MENCABUT/REVISI TANGGAPAN PEMDA TANGGAPAN PEMDA MENERIMA MENERIMA MENOLAK MENOLAK PEMBATALAN PEMBATALAN MENGAJUKAN KEBERATAN MENGAJUKAN KEBERATAN JAWABAN PEMERINTAH JAWABAN PEMERINTAH JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
(77)
KEBERATAN PEMBATALAN
KDH dapat mengajukan keberatan KDH dapat mengajukan keberatan
pembatalan MA dengan alasan yang dapat
pembatalan MA dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh pert per-uu-an
dibenarkan oleh pert per-uu-an
MA dapat mengabulkan keberatan Pemda MA dapat mengabulkan keberatan Pemda
sebagian atau seluruhnya dan membatalkan
sebagian atau seluruhnya dan membatalkan
Peraturan ttg Pembatalan Perda serta
Peraturan ttg Pembatalan Perda serta
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum
hukum
(Ps 145)
(78)
Bertentangan dengan UUD atau peraturan
lain yang lebih tinggi
o Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang. o Adanya kesalahan dalam proses pembentukannya. o Adanya materi muatan yang merugikan hak
konstitusi masy. dan tidak sesuai dengan jenis
perat per-uu-an.
o Terdapat perbedaan penafsiran.
o Terdapat ambiguitas atau keragu-2an dalam
penerapan sbg suatu dasar hukum.
(79)
(1)
Pembentukan Perda
ditetapkan oleh KDH setelah mendapat persetujuan bersama DPRD
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
merupakan penjabaran lebih lanjut dari perat per-uu-an yang lebih tinggi
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau perat per-uu-an yang lebih tinggi.
(2)
(1) Dalam hal suatu UU diduga bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal suatu Perat Per-uu-an di bawah UU diduga bertentangan dengan UU,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ps 9
(3)
PEMERINTAH DAERAH
PEMERINTAH DAERAH
PEMERINTAH PUSAT
PEMERINTAH PUSAT
TIM KAJI ANTAR DEP
TIM KAJI ANTAR DEP KEM YBSKEM YBS
REKOMENDASI REKOMENDASI MENDAGRI MENDAGRI SURAT TEGORAN 1. MENGHENTIKAN 2. MENCABUT/REVISI SURAT TEGORAN 1. MENGHENTIKAN 2. MENCABUT/REVISI TANGGAPAN PEMDA TANGGAPAN PEMDA MENERIMA MENERIMA MENOLAK MENOLAK PEMBATALAN PEMBATALAN MENGAJUKAN KEBERATAN MENGAJUKAN KEBERATAN JAWABAN PEMERINTAH JAWABAN PEMERINTAH JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
15 HARI KERJA
(4)
KEBERATAN PEMBATALAN
KDH dapat mengajukan keberatan KDH dapat mengajukan keberatan
pembatalan MA dengan alasan yang dapat
pembatalan MA dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh pert per-uu-an
dibenarkan oleh pert per-uu-an
MA dapat mengabulkan keberatan Pemda MA dapat mengabulkan keberatan Pemda
sebagian atau seluruhnya dan membatalkan
sebagian atau seluruhnya dan membatalkan
Peraturan ttg Pembatalan Perda serta
Peraturan ttg Pembatalan Perda serta
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum
hukum
(Ps 145)
(5)
Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi
o Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang. o Adanya kesalahan dalam proses pembentukannya. o Adanya materi muatan yang merugikan hak
konstitusi masy. dan tidak sesuai dengan jenis
perat per-uu-an.
o Terdapat perbedaan penafsiran.
o Terdapat ambiguitas atau keragu-2an dalam
penerapan sbg suatu dasar hukum.
(6)