KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANG (TOETSINGSRECHT) ARTIKEL

  Oleh: MAT SARDIN NPM. 131 001841 2018 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2015

  

KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH

DALAM PERSPEKTIF HAK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(TOETSINGSRECHT)

  

IN PERSPECTIVE AUTHORITY TESTING OF LAWS

(TOETSINGSRECHT)

  1

  2

  3 Mat Sardin ; Darmini Roza ; Nurbeti 1.

  Law Department of Post Graduate Program Bung Hatta University 2.

   Faculty of Law, Ekasakti University 2. Faculty of Law, Bung Hatta University

e-mail : msdn_73@yahoo.com

  

Abstract

The region regulations are contrary to the public interest and/or legislation higher can be

canceled by the central government; The decision to cancellation of region regulations

stipulated by presidential decree. In practice cancellation region of regulation implemented by

the minister of home affairs decree, through the clarification procedure known as a repressive

control. There are problems discussed in this research: First, how is authority cancellation of

the region regulation in the perspective toetsingsrecht of regulations of law?. Secondly, how is

authority cancellation of region regulation by the minister of home affairs seen from of authority

theory?. Third, how is authority cancellation of region regulation by the minister of home affairs

seen from the principles of the rule of laws?. This research is normative law research about the

cancellation of authority to region regulations with is using research methods statute approach

and conceptual approach. While the analysis of primary and secondary legal materials used in

this research is a qualitative analysis. The results reseach showed that: First, authority

cancellation of region regulation seen from in perspective toetsingsrecht of regulation of law any

inconsistency between the provisions in the state constitution of the Republic of Indonesia the

year 1945 with regulations of laws under it. Second, authority cancellation of region regulation

by the minister of home affairs seen from the authority theories is flawed authority. Third,

authority cancellation of region regulation by the minister of home affairs seen from in the rule

of law is un accordance with the principle of legality the rule of state.

  Keywords: authority, cancellation, region, regulation.

  

Pendahuluan hukum adalah negara yang menempatkan

  Ketentuan mengenai Negara Indonesia hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1 Ayat penyelenggaraan kekuasaan dilakukan di (3) yang menyatakan bahwa: Negara Indonesia bawah kekuasaan hukum. Suatu negara yang adalah negara hukum. Negara hukum adalah dalam penyelenggaraan segala kewenangan negara yang sistem penyelenggaraan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara pemerintahannya adalah berdasarkan atas hukum dengan mewujudkan keadilan bagi warganya. Burkens mengatakan bahwa, negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan atas hukum atau diatur oleh hukum.

  1 Dalam Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang

  2) Bagaimana Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Teori Kewenangan?; dan

  peraturan daerah dari sistematika berdasarkan 2 Soerjono Soekanto, 2011, Penelitian Hukum

  2 Peneliti mengkaji pembatalan

  Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dimana peneliti menempatkan sistem norma hukum atau kaidah hukum sebagai objek kajian.

  Metode Penelitian

  Tujuan penelitian adalah: (1) Untuk mengetahui dan menganalisis Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dalam Perspektif Hak Menguji (Toetsingsrecht) Peraturan Perundang-undangan; (2) Untuk mengetahui dan menganalisis Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Teori Kewenangan; dan (3) Untuk mengetahui dan menganalisis Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Prinsip Negara Hukum.

  3) Bagaimana Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Prinsip Negara Hukum?.

  Peraturan Daerah dalam Perspektif Hak Menguji Peraturan Perundang-Undangan (Toetsingsrecht)?;

  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa: Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

  Penelitian ini membahas permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana Kewenangan Pembatalan

  pembatalan atau perubahan Perda oleh pemerintah daerah.

  Demokrasi Di Indonesia , Cetakan ke-1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 8.

  Pembatalan peraturan daerah dengan pranata hukum Kepmendagri belum final sebagai keputusan pembatalan Perda oleh pemerintah, karena keputusan tersebut harus dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Perpres baru kemudian ditindak lanjuti dengan 1 Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum Dan

  Dalam praktik pembatalan Peraturan Daerah dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri melalui prosedur klarifikasi yang dikenal dalam konsep pengawasan represif.

  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah; Ayat (3) Keputusan pembatalan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

  Sesuai dengan ketentuan Pasal 145 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

  Normatif; Suatu Tinjauan Singkat , RajaGrafindo Press, Jakarta, hlm. 14. ketaatan pada struktur hukum secara hierarkis 2) Peraturan perundang-undangan mengatur untuk memberikan sebuah preskripsi terhadap tentang hierarki peraturan perundang- kewenangan pembatalan peraturan daerah di undangan, yaitu: (a) Undang-Undang kaitkan dengan teori kewenangan dan asas Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 legalitas sebagai prinsip negara hukum, artinya Tentang Pembentukan Peraturan membahas atribusi kewenangan pembatalan Perundang-Undangan. (b) Undang-Undang peraturan daerah diperoleh melalui oleh Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 lembaga legislatif. Tentang Pembentukan Peraturan

  Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-Undangan. undang-undang (statute approach ) dan 3) Peraturan perundang-undangan yang pendekatan konseptual (konseptual approch). berhubungan dengan peraturan daerah, Peneliti melihat bagaimana hukum positif yaitu: tertulis mengenai kewenangan pembatalan a. Undang-Undang Republik Indonesia peraturan daerah sinkron atau serasi dengan Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan peraturan perundang-undangan lainnya, Mengenai Kedudukan Komite Nasional sebagaimana teori hierarki hukum Daerah; (Stufenstheory) bahwa setiap peraturan

  b. Undang-Undang Republik Indonesia perundang-undangan harus berdasar dan Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Undang- bersumber dengan tegas pada peraturan Undang Pokok Tentang Pemerintahan perundang-undangan yang lebih tinggi Daerah.

  3

  tingkatnya, dan asas-asas dalam peraturan

  c. Undang-Undang Republik Indonesia perundang-undangan, antara lain: Lex superior Nomor

  22 Tahun 1999 Tentang derogat legi inferiori; Lex spesialis derogat Pemerintahan Daerah. dan Lex posterior derogat legi

  d. Undang-Undang Republik Indonesia

  legi generali; priori .

  Nomor

  32 Tahun 2004 tentang

  Sumber Data Pemerintahan Daerah.

  Penelitian ini menggunakan data sekunder

  e. Undang-Undang Republik Indonesia yaitu bahan hukum primer maupun bahan Nomor

  23 Tahun 2014 tentang hukum sekunder. Sumber data sekunder Pemerintahan Daerah; dan berasal dari beberapa bahan hukum yang

  f. Peraturan Pemerintah Pengganti relevan, yaitu: Undang-Undang (Perppu) Nomor 2

  1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); Undang-Undang Nomor 23 tentang 3 Pemerintahan Daerah.

  Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 94

  4) Peraturan pemerintah yang terkait dengan pengawasan daerah dan pengawasan produk hukum daerah, yakni: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 Tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. (c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. 5) Peraturan Mahkamah Agung Republik

  Indonesia (Perma), yaitu: (a) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil. (b) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Hak Uji Materiil. (c) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil. (d) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil.

  Analisis Data

  Data berupa bahan hukum di analisis dengan teknik analisis kualitatif. Bahan hukum dan bahan non hukum baik berupa asas-asas hukum, postulat serta doktrin dan pendapat para ahli yang dirangkai secara sistematis sebagai susunan fakta-fakta hukum digunakan untuk mengkaji kewenangan pembatalan peraturan daerah dilihat dari teori hak menguji peraturan perundang-undangan, teori kewenangan, dan prinsip negara hukum

  Indonesia. Sedangkan tahapan menganalisis bahan hukum mengikuti pandangan F. Sugeng Istanto,

  4

  yakni melalui tiga tahapan: 1). Pertama, bahan hukum yang didapat disistematisasi, ditata dan disesuaikan dengan objek yang diteliti. 2). Kedua, bahan hukum diuraikan dan dijelaskan sesuai objek yang diteliti berdasarkan teori. 3). Ketiga, bahan hukum dievaluasi dan dinilai dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku.

  Hasil Penelitian dan Pembahasan

  A. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dalam Perspektif Hak Menguji Peraturan Perundang-Undangan Bentuk kontrol atas peraturan daerah, diantaranya dengan menguji peraturan perundang-undangan, sebagaimana terdapat di dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Begitu juga di dalam Pasal

  24C dinyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar. Pasal 24A Ayat (1) 4 Yuslim, 2014, Ringkasan Disertasi; Kewenangan

  Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/ Kota Menurut Undang- Undang Dasar 1945 , Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm. 11-12. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 inilah menjadi ketentuan dasar mengenai Kewenangan Menguji Peraturan Perundang-Undangan di Negara Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 24A Ayat (1) dan

  Pasal 24C Ayat (1) dipertegas lebih lanjut di dalam Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dinyatakan bahwa: Ayat (1). Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; Ayat (2). Dalam hal suatu Peraturan Perundang- undangan diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

  Di dalam Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa: Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan di dalam Ketentuan Pasal 31 Ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dinyatakan bahwa: Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan lebih dipertegas lagi pada Ketentuan Ayat (2) dinyatakan bahwa: Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

  Dalam rangka mengatur lebih lanjut ketentuan untuk menilai materi Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang- Undang maka dibuatlah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil yaitu hak Mahkamah Agung untuk menilai meteri muatan Peraturan Perundang-Undangan yaitu kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah Undang-Undang terhadap Perturan Perundang-Undangan tingkat lebih tinggi. Di dalam Pasal 1 Ayat (1) dinyatakan bahwa: Permohonan keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu Peraturan Perundang- Undangan yang diduga bertentangan dengan suatu Peraturan Perundang-Undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapat putusan; ayat (2) dinyatakan bahwa: Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu Peraturan Perundang-Undangan tingkat lebih rendah dari Undang-Undang; selanjutnya pada Ayat (3) dinyatakan bahwa: Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang- Undangan.

  Landasan yuridis tentang pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mulai diatur dengan ditetapkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di sahkan dan mulai berlaku pada tanggal 7 Mei 1999.

  Di dalam ketentuan Pasal 113 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa: Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah selambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan; selanjutnya di dalam Pasal 114 dinyatakan bahwa: (1) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya;

  Berdasarkan ketentuan Pasal 223 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa: Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan, dan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 223 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Presiden Republik Indonesia berdasarkan kewenangan yang berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2005.

  Pembatalan Peraturan Daerah merupakan manifestasi dan bentuk pengawasan preventif dan pengawasan represif atas penyelenggaraan otonomi daerah. dilihat dari kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan tidak konsisten dengan ketentuan yang diatur di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia. Peraturan Daerah termasuk jenis hierarki peraturan perundang-undang yang kedudukannya berada dibawah Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah. Dasar kewenangan pembentukannya adalah atribusi kewenangan melalui Konstitusi Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Oleh karenanya, pembatalan Peraturan Daerah juga harus melalui mekanisme sebagaimana diatur di dalam Konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku, dengan memperhatikan asas lex superior derogat legi

  inferiori dimana peraturan perundang-

  undangan yang rendah atau berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan peraturan daerah harus melalui uji materi dan atau uji formil oleh Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 24A UUD 1945.

  B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Teori Kewenangan Pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah secara implisit dapat ditemui pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor

  22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam Bab V diatur tentang pengawasan terhadap daerah di dalam Pasal 42 menyatakan bahwa: “Putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dapat ditunda atau dibatalkan, bagi Propinsi oleh Presiden dan bagi lain-lain Daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas”.

  Selanjutnya pada ketentuam Pasal 45 menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan pimpinan dan pengawasan maka Pemerintah dapat: a. meminta keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah; b. mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala sesuatu yang mengenai pekerjaan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah”.

  Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur kewenangan pembatalan Peraturan Daerah ataupun aspek hukum pengujian atas Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung melalui judicial review seperti yang ditafsirkan selama ini.

  Upaya hukum yang dapat diajukan oleh pemerintah daerah terkait pembatalan suatu peraturan daerah sebagaimana ketentuan yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor

  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan derivasi lainnya bukanlah upaya pengujian (judicial review) terhadap peraturan daerah melainkan suatu bentuk pengujian atas instrumen hukum berupa peraturan presiden, peraturan menteri dan/ atau peraturan gubernur yang apabila produk hukum tersebut membatalkan suatu peraturan daerah dan terhadap keputusan tersebut timbul keberatan oleh pemerintahan daerah yang dibatalkan peraturan daerahnya. Itupun masih menyisakan permasalahan hukum karena secara de facto pembatalan peraturan daerah dengan menggunakan pranata hukum berupa keputusan menteri dalam negeri yang tergolong kedalam beschekking, bukan dengan pranata hukum berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri, bukan dengan Peraturan Gubernur juga bukan dengan Peraturan Presiden yang tergolong kedalam regelling sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

  Ketentuan mengenai Peraturan Daerah di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dapat ditemukan pada Pasal 1 Angka (25) dinyatakan bahwa: Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota; Di dalam ketentuan Pasal 236 Ayat (1) dinyatakan bahwa: Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.

  Ketentuan mengenai Pembatalan Peraturan Daerah di atur Pasal 91 Ayat (3) yang dinyatakan bahwa: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Ayat (2), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang:

  a. membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota; d. memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota;

  Dalam Ketentuan Pasal 245 Ayat (1) dinyatakan bahwa: Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh gubernur; di dalam Ayat (3) dinyatakan bahwa: Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota.

  Pasal 249 Ayat (1) Gubernur wajib menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan. (2) Gubernur yang tidak menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Menteri. Ayat (3) Bupati/wali kota wajib menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan. Ayat (4) Bupati/wali kota yang tidak menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Selanjutnya

  Pasal 250 Ayat (1) dinyatakan bahwa: Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

  Pasal 251 Ayat (1) dinyatakan bahwa: Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. Ayat (2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ayat (3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota. (4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ayat (7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima. Ayat (8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima. Pasal 252 Ayat (1) dinyatakan bahwa: Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang dibatalkan oleh Menteri atau oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4), dikenai sanksi.

  Pembatalan peraturan daerah yang hanya menggunakan Kepmendagri telah terjadi pergeseran kewenangan pembatalan peraturan daerah yang bertumpu pada Menteri Dalam Negeri sebagai satu-satunya pejabat pemerintah yang berwenang secara mutlak untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah jika di dalam klarifikasi dan evaluasi ditemukan ditemukan alasan untuk pembatalannya.

  Pembatalan peraturan daerah dengan Kepmendagri justru tidak memberikaan ruang bagi pemerintah untuk mengajukan upaya keberatan hukum kepada Mahkamah Agung, karena Kepmendagri tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa di Mahkamah Agung. Produk hukum pembatalan peraturan daerah yang dapat dijadikan objek sengketa di Mahkamah Agung terkait pembatalan peraturan daerah hanyalah dalam bentuk peraturan presiden, peraturan menteri dalam negeri, atau peraturan gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah junto PP No 79 Tahun 2005 dan Permendagri No 53 Tahun 2011 sebagai mana diganti dengan Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 9 Januari 2014.

  Adapun pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dapat dilihat di dalam konsiderans-nya dinyatakan: a. bahwa pembentukan produk hukum daerah diperlukan untuk menunjang terwujudnya pembentukan produk hukum daerah secara sistemik dan terkoordinasi; b. bahwa

  Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah yang mengatur mengenai Peraturan dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah perlu disesuaikan dengan dinamika perkembangan pengaturan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti;

  Kewenangan Pembatalan Peraturan daerah dilihat dari toeri kewenangan, diberikan atribusi kewenangan kepada pemerintah melalui Undang-Undang, dilaksanakan dengan peraturan presiden (Perpres). Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah, Pengawasan Represif terhadap peraturan daerah yang digolongkan ke dalam Kebijakan Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri di atur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah, di dalam Pasal 1 angka (8) dinyatakan bahwa: Pengawasan Represif adalah Pengawasan yang dilakukan terhadap kebijakan Daerah; sedang yang dimaksud dengan kebijakan daerah di sebutkan di dalam angka (7), dinyatakan bahwa: Kebijakan Daerah adalah aturan, arahan, acuan, ketentuan dan pedoman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah yang mengatur mengenai Peraturan dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah diganti dengan Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

  Permendagri No

  1 Tahun 2014 menentukan evaluasi dan klarifikasi sebagai mekanisme kontrol Pemerintah Pusat terhadap Produk hukum daerah. Dari uraian dan ketentuan Pasal-Pasal yang disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa, Rancangan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan pengkajian dan penilaian terhadap untuk mengetahui ada tidaknya suatu rancangan Perda bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Jadi evaluasi dilakukan terhadap rancangan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota, sedangkan klarifikasi dilakukan terhadap hasil evaluasi rancangan Perda dan terhadap Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota.

  Keputusan (beschikking) dengan peraturan (regelling) keduanya sama-sama mempunyai arti hukum, tetapi kedua-duanya berbeda satu sama lain. Peraturan bersifat mengatur, terutama mengatur kepentingan umum, baik dalam hubungan antar warga negara maupun dalam hubungan antara organ negara dengan warga negara. Sedangkan Keputusan, sifatnya tidak mengatur, melainkan menetapkan berlaku atau tidaknya sesuatu, memutuskan sah tidaknya sesuatu.

  Jika dilihat dari teori bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah di peroleh, maka kewenangan pembatalan peraturan daerah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) kewenangan pembatalan peraturan daerah yang diperoleh dari atribusi kewenangan kepada pemerintah yakni atribusi kewenangan kepada presiden. Kewenangan pembatalan peraturan daerah ini ditetapkan dengan peraturan presiden (Perpres); dan (2) kewenangan pembatalan peraturan daerah oleh Menteri Dalam Negeri, yang penetapannya ditetapkan dengan peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Kewenangan ini dibedakan menjadi dua: pertama, kewenangan yang diperoleh melalui atribusi kewenangan pembatalan peraturan daerah khusus tentang pajak daerah, retribusi daerah, tata ruang daerah, APBD, Perubahan APBD, dan tentang pertanggungjawaban APBD melalui mekanisme klarifikasi dan sejalan dengan pengawasan preventif; kedua, kewenangan pembatalan peraturan daerah lainnya yang bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya melalui mekanisme evaluasi terhadap peraturan daerah yang bermasalah sejalan dengan pengawasaan represif.

  C. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Prinsip Negara Hukum

  Kewenangan pembentukan peraturan daerah sebagai akibat pelaksanaan otonomi dan tugas pembantuan, yang berdasarkan pada ketentuan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dengan ketentuan pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum diamandemen, tidak menggunakan nomenklatur peraturan daerah. Pengaturan mengenai peraturan daerah mulai diatur di dalam Undang-Undang Nomor

  22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok Tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dinyatakan: “Dengan peraturan daerah, sesuatu daerah dapat menyerahkan kewajibannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau kepada Dewan Pemerintah Daerah dibawahnya untuk dijalankan”.

  Selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, juga memuat nomenklatur Peraturan Daerah yaitu: di dalam ketentuan Pasal 31 Ayat (4) dinyatakan bahwa: “Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Peraturan Daerah dapat menyerahkan untuk diatur dan diurus urusan- urusan rumah tangga Daerahnya kepada Daerah tingkat bawahannya, peraturan itu untuk dapat berlaku harus disahkan lebih dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah-daerah lainnya”.

  Dari analisis terhadap peraturan perundangan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa: Kepala Daerah adalah alat dari daerah yang bersangkutan mempunyai kekuasaan yang sangat luas walaupun terbatas. Berhubung dengan itu, maka berlainan daripada waktu yang telah lampau, maka penghasilan dan segala “emolumenten” yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah tersebut akan ditetapkan oleh Daerah itu sendiri dengan peraturan daerah. Oleh karenanya sangat diperluakan mekanisme pengawasan terhadap peraturan daerah. Pengawasan preventief atas peraturan daerah yang mengatur hal tersebut di atas masih diperlukan, agar supaya dapat mencegah timbulnya diskriminasi yang tidak sehat antara daerah-daerah. Dari ketentuan UUD 1945 dapat dilihat bahwa ketentuan menguji peraturan perundang-undangan hanya ada dua, yaitu: (1) Hak Menguji peraturan perundang-undangan yakni undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar adalah atribusi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi; dan (2) Hak Menguji peraturan perundang-undangan yakni peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah atribusi kewenangan kepada Mahkamah Agung.

  Di dalam Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 justru dikenal tiga bentuk produk hukum pembatalan sebuah Perda yakni: Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), dan Peraturan Gubernur.

  Untuk melaksanakan perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang, maka dibentuklah UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal

  22 Juni 2004.

  Sebagai bentuk penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain: materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum, maka dibentuklah UU No. 12 Tahun 2011 yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 12 Agustus 2011. Di dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) diatur mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan UUD 1945; dan kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap suatu peraturan perundang-undangan di bawahUndang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang.

  Pembatalan Peraturan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Kepmendagri adalah cacat wewenang, sehingga membawa konsekuensi yuridis bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri dapat dibatalkan. Adanya cacat wewenang atas pembatalan Peraturan Daerah serta tidak adanya pengawasan terhadap pelaksanaan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Peraturan Daerah, maka dalam praktek ditemukan berbagai model pelaksanaan pembatalan.

  Pembatalan Peraturan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Kepmendagri adalah termasuk aturan kebijakan untuk mengatasi kemacetan pelaksanaan pemerintahan dalam rangka pelayanan umum kepada masyarakat.

  Berdasarkan asas praesumptio iustae causa (asas praduga rechtmatigheid), maka Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda melalui klarifikasi adalah sah sepanjang belum ada pembatalan terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda tersebut.

  Secara normatif sulit untuk merasionalkan sebuah peraturan daerah yang masuk dalam rumpun peraturan (regelling) dapat dibatalkan oleh Kepmendagri yang masuk dalam rumpun keputusan administratif (beschikking). Pembatalan peraturan daerah melalui Kepmendagri menunjukkan inkonsistensi hukum. Pilihan penggunaan instrumen hukum Kepmendagri tidak memiliki payung hukum yang jelas juga merupakan disparitas hukum yang mendasar.

  Pembatalan peraturan daerah menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan dengan peraturan (regelling) bukan dengan ketetapan (beschikking), namun jika dilihat dari prinsip negara hukum maka pembatalan peraturan daerah jika ditetapkan dalam bentuk peraturan (regelling) juga tidak tepat.

  Asas negara hukum dan asas sistem konstitusional mengandung keharusan adanya tertib hukum, bahwa setiap hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem, dimana kaidah yang satu tidak boleh mengesampingkan kaidah lainnya secara semena-mena. Ajaran mengenai hierarki peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa peraturan peundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang tingkatannya lebih tinggi.

  Apabila peraturan peundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, maka peraturan peundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah itu dapat dibatalkan, bahkan dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena pertentangan itu menyangkut ketentuan-ketentuan hukum, maka sudah semestinya menjadi wewenang kekuasaan kehakiman.

  Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan, yaitu sebagai berikut:

  1. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah dalam Perspektif Hak Menguji Peraturan Perundang-undangan terjadi inkonsistensi yaitu tidak adanya sinkronisasi antara ketentuan Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 junto Pasal 9 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan junto

  Pasal 20 ayat (2) huruf b, dan ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 junto Pasal 31 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004 yang mengatur masalah kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 junto Pasal 145 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana yang diganti dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan- peraturan pelaksanaanya yang mengatur masalah pembatalan peraturan daerah,

  Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

  Miftah Thoha, 2009, Birokrasi Pemerintah

  Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten/ Kota Menurut Undang-Undang Dasar 1945 , Program

  Yuslim, 2014, Ringkasan Disertasi;

  Normatif; Suatu Tinjauan Singkat , RajaGrafindo Press, Jakarta.

  Soerjono Soekanto, 2011, Penelitian Hukum

  Hukum, Edisi Revisi, cetakan ke-8, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

  Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian

  Peraturan Daerah , FH UII Press, Yogyakarta.

  Yogyakarta.

  Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar,

  Pertama, Cetakan Ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ni’matul Huda, 2009, Otonomi Daerah;

  Indonesia di Era Reformasi , Edisi

  Otonomi Daerah di Indonesia , Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

  dimana peraturan daerah dipandang sebagai bagian dari sistem hukum nasional dan termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan .

  HM. Agus Santoso, 2013, Menyingkap Tabir

  Konsep Otonomi; Kajian Politik Hukum Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi , Setara Press, Malang.

  Didik Sukriono, 2013, Hukum, Konstitusi dan

  Penelitian Hukum , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

  Bambang Sunggono, 2012, Metodologi

  Demokrasi di Indonesia , Cetakan ke-1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

  Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum Dan

  Daftar Pustaka

  3. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Prinsip Negara Hukum adalah bertentangan dengan asas legalitas dan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Tindakan menteri Dalam Negeri membatalkan Peraturan Daerah dengan menggunakan pranata hukum berupa Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) bertentangan dengan perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak sesuai dengan prinsip negara hukum, bahwa setiap hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem, dimana kaidah yang satu tidak boleh mengesampingkan kaidah lainnya.

  Pasal 112 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

  2. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dilihat dari Teori Kewenangan adalah cacat wewenang yaitu tidak pernah dengan atribusi kewenangan melalui Undang-Undang melainkan hanya melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang pembentukannya didasarkan sebagai pelaksanaan ketentuan

  • , 2010, Problematika Pembatalan

Dokumen yang terkait

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KARAKTERISTIK PEKERJAAN, MOTIVASI DAN KOMUNIKASI TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN ARTIKEL

0 0 14

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DAN DISTRIBUSI TERHADAP LOYALITAS PETANI DALAM MENGGUNAKAN PUPUK UREA BERSUBSIDI DENGAN KEPUASAN SEBAGAI VARIABEL INTERVENING ARTIKEL

0 4 16

HALAMAN PERSETUJUAN ARTIKEL PENGARUH KUALITAS PELAYANAN, KEUNGGULAN PRODUK DAN CITRA TERHADAP LOYALITAS PENGUNJUNG DENGAN KEPUASAN SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA KANTOR PERPUSTAKAAN, ARSIP DAN DOKUMENTASI KABUPATEN KERINCI

0 0 15

PENGARUH JOB CHARACTERISTICS DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KOMITMEN ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MEDIASI PADA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI ARTIKEL

0 0 16

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KOMITMEN ORGANISASI DAN TUNTUTAN TUGAS TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN MOTIVASI KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN ARTIKEL

0 2 19

PENGARUH KOMPETENSI INDIVIDU, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN KERINCI

0 3 11

PENGARUH NILAI PELANGGAN, PENANGANAN KELUHAN, DAN DIMENSI KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN PLTMH DI KABUPATEN PESISIR SELATAN ARTIKEL

0 0 15

PENGARUH STRATEGI DIFERENSIASI PRODUK, MERK, PROMOSI DAN SIKAP TERHADAP PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN MAKANAN RINGAN PADA INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM) KABUPATEN PESISIR SELATAN ARTIKEL

0 0 12

PENGARUH SIKAP KERJA KARYAWAN TERHADAP KINERJA PETUGAS REGISTER KEPENDUDUKAN DENGAN VARIABEL PERILAKU KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING ARTIKEL

0 0 12

PENEGAKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI SUMATERA BARAT

0 0 40