artikel blog belajar translation berbasis elearning
http://blog.uny.ac.id/yosaalzuhdy/2009/09/02/coba-anchor/#more-18
Pembelajaran Penerjemahan Berbasis E-Learning
Posted at September 2, 2009 @ 11:41 am by Yosa A. Alzuhdy in Miscellaneous
Daftar Isi
1. Abstract
2. Pembahasan
3. Daftar Pustaka
PEMBELAJARAN PENERJEMAHAN BERBASIS E-LEARNING[1]
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
Jurdik Bahasa Inggris FBS-UNY
[email protected]
ABSTRACT
To obtain the ability to translate well as a skill needs systematic and controlled practice. The general practice of
translation learning usually uses the conventional model which is classical-tutorial due to the fact that the role of
teacher is very intensive in explaining the concepts, controlling, evaluating and providing feedback in the learning
process to get the maximum result, while ICT (information and communication technology) is used “merely” as a
media in delivering the materials.
With such a rapid advancement of ICT, the process of translation teaching-learning should also be conducted
using the concept of so-called e-learning to be more flexible, practical, up-to-date, and accessible for the
learners anytime and anywhere. This model will be more accommodative for independent learning style and can
be adjusted to the ability, opportunity and speed of the learners (individual-adjusted learning) so that the skill of
translation they get will be more reliable.
Despite the differences in concept and learning strategies, translation learning in e-learning may imitate and/or
adapt the model of learning writing which has been far more developed in the internet.
Key words: translation learning, e-learning, independent learning, writing
Kembali ke atas
PENDAHULUAN
Keterampilan menerjemahkan (teks tertulis) terkait dengan dua (dari empat) keterampilan dasar berbahasa, yaitu
membaca dan menulis. Meskipun demikian, pada hakikatnya tidaklah cukup menyimpulkan bahwa apabila
seseorang mampu memahami bacaan dalam bahasa Inggris dengan baik dan mampu menulis dalam bahasa
Indonesia juga cukup baik, atau sebaliknya, maka orang tersebut akan dapat menerjemahkan dengan baik. Ada
beberapa aspek lain yang perlu menjadi perhatian, antara lain pemahaman lintas budaya, efektivitas dan efisiensi
kalimat, penguasaan tata bahasa kedua bahasa, dan pemahaman konteks dan situasi, serta pemahaman ragam
kebahasaan secara memadai.
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
1
[email protected]
Mengajarkan kemampuan menerjemahkan sebagai suatu keterampilan, sebagaimana halnya dengan berbagai
keterampilan yang lain, tentu memerlukan banyak latihan, baik secara langsung di bawah bimbingan pengajar
maupun secara mandiri di luar kelas (untuk selanjutnya diberi penilaian dan masukan oleh pengajar atau
didiskusikan bersama-sama di kelas). Latihan-latihan tersebut bukan hanya untuk melihat bagaimana hasilnya
(output), tetapi juga untuk menguasai bagaimana prosesnya untuk dapat mencapai hasil sedemikian itu. Jadi,
dalam latihan-latihan ini, perlu dievaluasi bagaimana langkah-langkah yang dilakukan dan bagaimana kualitas
hasil yang diperoleh, apa dan di mana masih terdapat kekeliruan, kekurangan atau kelemahan, mengapa hal
tersebut bisa terjadi, dan bagaimana strategi untuk mengatasi dan menyelesaikannya, sehingga ke depan nanti
kekeliruan, kekurangan, dan kelemahan tadi bisa diatasi dan dihindari agar menjadi semakin baik dan semakin
sempurna.
Terkait dengan hal itu, maka dapat dipahami bahwa peranan pengajar dalam proses pembelajaran penerjemahan
menjadi sangat dominan. Selain menjadi nara sumber untuk konsep-konsep yang harus diterpkan dalam
penerjemahan, pengajar juga harus melihat bagaimana proses latihan berlangsung, dan mengevaluasi bagaimana
hasil jadinya. Metode evaluasi sendiri (self-assessment) dan sejawat (peer-to-peer assessment) juga bisa
dilakukan, tetapi biasanya tetap memerlukan peran pengajar untuk menjadi pusat rujukan. Oleh karenanya,
metode pembelajaran yang lazim digunakan adalah model klasikal-tutorial yang menempatkan pengajar sebagai
sentral. Sehingga setiap pembelajar cenderung mendapat kesempatan belajar yang relatif seragam (synchrony),
sehingga kurang memperhatikan yang cepat (fast learner) dan yang lambat (slow learner) apakah masing-masing
sudah menguasai kompetensi atau sub-skill tertentu secara memadai.
Sejalan dengan kemajuan pesat teknologi yang dapat diimplementasikan dalam sistem pembelajaran, model
klasikal-tutorial seperti ini tentu sudah kurang memadai lagi. Meskipun benar bahwa teknologi informasi dan
komunikasi sudah digunakan dalam pembelajaran penerjemahan, sayangnya fungsinya masih sangat terbatas,
terutama sekedar sebagai media untuk menampaikan materi dalam pembelajaran klasikal tersebut. Bahkan
sebagaian, bila tidak sebagian besar, pengajar yang mengampu mata kuliah penerjemahan di Jurdik FBS, masih
berpendapat bahwa kegiatan pembelajaran untuk keterampilan penerjemahan harusnya dilakukan secara klasikaltutorial, karena pembahasan dan penilaian proses penerjemahan maupun hasil penerjemahan yang dilakukan
pembelajar harus dilakukan secara langsung oleh pengajar. Lantas bagaimana ICT dapat dimanfaatkan secara
optimal dalam pembelajaran penerjemahan? Bagaimana model pembelajaran berbasis e-learning yang relatif
dapat mengakomodasi kemampuan pembelajar secara individu (individual-adjusted learning) dan menjadi trend
bisa juga dimanfaatkan bagi kemajuan pembelajaran penerjemahan?
PEMBAHASAN
Kegiatan penerjemahan pada hakikatnya adalah memindahkan isi, pesan, atau makna suatu teks dari bahasa
sumber ke bahasa sasaran, di mana bentuk bahasa berubah tetapi sedapat mungkin tanpa mengubah isi pesannya
(Catford, 1964; Larson, 1984; Bell, 1991; Machali, 2000). Bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam kegiatan
penerjemahan bisa bermacam-macam (Jacobson, 1959, dalam Hatim dan Munday, 2004: 124-126), yakni bisa
dalam satu bahasa (intralingual translation), dua bahasa yang berbeda (bilingual interlingual translation), lebih
dari dua bahasa yang berbeda (multilingual interlingual translation), atau bahkan dua bentuk “bahasa” yang
berbeda (intersemiotic translation), misalnya dari bentuk lukisan ke gerak tarian, atau dari teks bacaan ke bentuk
patung kontemporer. Sederhananya, bentuk penyampaian komunikasinya dapat berubah, tetapi makna atau isi
pesannya seharusnya tidak berubah. Larson (1984: 4) menggambarkannya sebagai berikut:
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
2
[email protected]
Gambar 1. Proses Penerjem
mahan (Larson, 1984)
Skema La
arson tersebut dikembangk
kan oleh Said (1994, dalam
m Suryawinata
a & Hariyanto,, 2003: 21) untuk
menunjukkan kompleksitas yang te
erjadi dalam p
proses penerjemahan terse
ebut, yang meencakup kegia
atan yang
ung secara internal (dalam
m pikiran pene
erjemah) dan ekternal (terliihat secara fissik) sebagai berikut:
b
berlangsu
Gambar 2: Proses pene rjemahan Larson, dikemba
angkan oleh SSaid
Dalam p
pembelajaran keterampilan
n penerjemah
han yang dilak
kukan di Jurdiik Bahasa Ingg
ersitas Negeri
gris FBS Unive
Yogyakarta, pembelajar (mahasisw
wa) dianggap ssudah memiliki kemampua
an berbahasa bilingual (Bah
hasa Indonesia
dan Inggris) yang
g cukup (meskipun seringk
kali masih kurrang memada
ai) sehingga b
bisa langsung diberikan
pema
ahaman konse
ep, strategi, metode,
m
dan k
kompetensi pe
enerjemahan mulai dari tin
ngkat kata, fra
ase, klausa,
kalima
at dan kontek
ks. Memang sebenarnya taarget kompete
ensi yang diha
arapkan bukaanlah menjadikan mereka
sebagai p
penerjemah yang
y
handal, karena
k
alokassi 2×2 SKS (se
emester 3 dan
n 4, sekarang pada Kurikulum baru 200
09
‘dipadatk
kan’ lagi menjjadi hanya 3 SKS
S pada sem
mester 4) jelas
s jauh dari cuk
kup untuk sam
mpai ke sana. Mereka hany
ya
dibek
kali pemaham
man dan komp
petensi penerjjemahan pada tataran yang
g sederhana d
dan relatif mu
udah untuk
selanjutn
nya, bila mere
eka tertarik untuk fokus ke
e arah sana, bisa
b
diperdala
am dengan meengambil pak
ket konsentras
si
di se
emester 5-6-7 sebanyak 16 SKS. Nabab
ban (1999: 146-147) meng
gatakan bahwa
wa usaha mend
didik calon
penerrjemah dan alihbahasawan
n melalui jenja
ang Strata 1 merupakan
m
us
saha yang terllalu idealis ka
arena relatif
rendahnya penguasaan mahasis
swa kita (di In donesia) akan
n bahasa Indo
onesia, apalag
gi bahasa Ingg
gris sebagai
bahasa asing.
mahan yang dilakukan
d
seccara klasikal-ttutorial secara
a umum masiih terasa kura
ang berhasil,
Pembelajaran penerjem
dari rendahnya
a kompetensi yang dimilik
ki para mahasiswa ketika mereka
m
memuttuskan menga
ambil paket
terlihat d
konsentrasi penerjema
ahan di semester-semeste
er selanjutnya
a. Hasil terjem
mahan dari ban
nyak mahasis
swa masih
han dan kesallahan yang re
elatif mendasa
ar (terjemahan harfiah, pen
nerjemahan te
erminologi
menunjukkan kelemah
ak tepat secarra konteks, ke
esalahan pena
angkapan makna, dan seba
againya) meskkipun masih pada
p
tataran
yang tida
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
M
3
[email protected]
kalimat atau paragraph pendek. Tampaknya, kelemahan ini karena sangat terbatasnya paparan (exposure) yang
mereka peroleh akan latihan dan praktik penerjemahan selama perkuliahan Translataion I dan II sebelumnya,
sehingga konsep, metode, strategi yang diperkenalkan tidak bisa difahami secara mantap, apalagi pada tataran
aplikatif dan analitis.
Kelemahan akibat keterbatasan praktik tersebut akan dapat diatasi bila pembelajaran yang diterapkan pada dua
semester tersebut mengakomodasi pembelajaran secara mandiri di mana pembelajar dapat melakukan latihan
sendiri pada teks-konteks yang sudah dipersiapkan secara baik, secara bertahap, secara memadai dapat
menerapkan berbagai konsep-metode-strategi yang dipelajari secara teoritis di kelas. Institusi UNY sebenarnya
sudah menyiapkan platform untuk mewadahi kegiatan pembelajaran mandiri tersebut dalam bentuk e-learning,
meskipun memang masih terdapat kelemahan di sana-sini sehingga mungkin belum dapat mengakomodasi
segala ragam bentuk latihan-quiz-tugas yang diinginkan atau dipersiapkan oleh para pengajar. UNY memiliki dua
layanan e-learning yaitu yang berbasis Moodle, bersifat public dan dikelola oleh Puskom dengan nama Be Smart
(http://besmart.uny.ac.id) dan yang lain bersifat non-publik (tidak dapat diakses melalui website induk UNY,
namun dapat diakses melalui alamat http://dinamika.uny.ac.id. Sayangnya, sampai tahun kelima dari
peluncurannya, media e-learning ini masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh para dosen
meskipun bandwith-nya telah ditingkatkan dari 512 kbps menjadi 20 mbps (Gunawan, 2009: 9-10).
Konsep e-learning, sebagaimana dijelaskan oleh Pym (2001: 1) difahami sebagai pemanfaatan berbagai macam
perangkat elektronik khususnya ICT dalam program pembelajaran, sehingga konsep pembelajaran dapat
dilaksanakan secara terbuka dan jarak jauh (open and distance learning). Namun berbeda dari apa yang
dilaksanakan oleh Universitas Terbuka, misalnya, yang mengirimkan materi pembelajaran dan melakukan
komunikasi ke dan dari pembelajar di tempat-tempat yang jauh dalam bentuk bahan cetak melalui pos, elearning memungkinkan pembelajar mengakses materi dan berkomunikasi, bekerja sama, berdiskusi, dari
tempat-tempat yang terpisah secara sendiri-sendiri (asynchronous) maupun bersama-sama (synchronous) melalui
perantara media internet. Program e-learning juga dapat melakukan mode pembelajaran “tatap muka” secara
tidak langsung, lewat fasilitas forum diskusi, email, atau bahkan e-conference.
Boyce dan Ernest (2002: 3-5) menyatakan bahwa pemanfaatan ICT dalam pembelajaran akan meningkatkan hasil
(learning outcomes) secara signifikan, dan menegaskan perlunya penguasaan teknologi seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi yang cenderung menyebabkan perubahan dalam pekerjaan maupun dalam
pengorganisasian pekerjaan, sehingga juga akan mengubah kompetensi yang diperlukan. Kompetensi yang
dipandang penting dimiliki antara lain:
berfikir induktif
penguasaan ICT untuk mendukung pekerjaan
pengambilan keputusan
penanganan situasi dinamis
kemampuan bekerja dalam tim
kemampuan berkomunikasi
Sementara Pym (2001) dan Wang & Chen (2008) juga menyatakan perlunya menerapkan metode e-learning dalam
program pembelajaran keterampilan, antara lain dengan alasan bahwa:
1.
Pemanfaatan teknologi dalam penulisan dan komunikasi secara elektronik merupakan suatu keharusan
bahkan kemutlakan dalam aktivitas professional di masa depan, sehingga penggunaan e-learning
(email, attachments, downloading dan uploading file, websites, searching) memungkinkan pembelajar
untuk dapat sejak dini memaksimalkan kemampuan dalam pemanfaatan teknologi tersebut.
2.
Pembelajaran kolaboratif dapat dilakukan, misalnya antara dua orang yang terpisah secara fisik
melakukan tugas/proyek secara bersama melalui komunikasi internet. Atau para pembelajar dapat
melakukan self-assessment dan peer-assessment di antara sesi materi-tugas yang diberikan untuk
meningkatkan pemahaman keterampilan komprehensif dan/atau mengatasi kekurangan dan kelemahan
yang dialami satu sama lain sehingga penguasaan keterampilan menjadi lebih kuat.
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
4
[email protected]
3.
Semakin meningkatnya tuntutan pembelajar yang ingin melakukan pembelajaran tanpa harus terikat
dengan waktu tertentu di dalam kelas, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan kegiatankegiatan lain yang harus mereka jalani (individual-adjusted learning). Penguasaan materi dan
kompetensi juga dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan pembelajar, misalnya dengan
melakukan suatu kegiatan latihan secara berulang-ulang sampai mahir, atau melakukan tugas-tugas
yang lebih berat baik secara kualitas maupun kuantitas dalam waktu yang relatif lebih singkat, sehingga
keterampilan tersebut akan benar-benar bisa dikuasainya.
Permasalahan utama yang kerap dijadikan alasan kurangnya implementasi e-learning dalam pembelajaran adalah
kurangnya penguasaan pengguna (baik dosen maupun mahasiswa) tentang ICT. Kendala ini juga sudah dicoba
diatasi dengan memberikan pelatihan ICT kepada setiap mahasiswa baru yang masuk ke UNY sejak beberapa
tahun terakhir, dan memfasilitasi pelatihan pemanfaatan e-learning Be Smart kepada para dosen UNY secara
berkala. Memang perlu kemauan keras dan upaya yang kuat untuk bisa memulai sesuatu yang baru.
Shuttleworth (2001) menyatakan bahwa dalam merancang desain pembelajaran penerjemahan, khususnya bila
kegiatan itu untuk mempersiapkan pembelajar yang hendak menjadikan penerjemahan sebagai profesi, atau
untuk dapat menghasilkan terjemahan yang bisa dipertanggungjawabkan secara professional, perlu diperhatikan
beberapa hal, antara lain: (1) memberikan paparan yang cukup tentang berbagai pendapat berbeda terkait isu-isu
penerjemahan yang kontroversial, sepertiforeignization (memperkenalkan konsep/ideologi dari luar (asing)
kepada pembaca dengan menerjemahkan persis seperti aslinya) dan domestication (menyesuaikan
konsep/ideologi asing dari teks asli dalam terjemahan menjadi konsep lokal yang sudah berterima); (2)
menyediakan alternatif bagi dikotomi standar dalam penerjemahan, seperti benar dan salah, setia dan tak-setia,
terjemahan harfiah dan terjemahan bebas; (3) mendorong pembelajar untuk dapat memecahkan masalah yang
dihadapi secara mandiri dengan model-model strategi pemecahan masalah yang bisa dikembangkan sendiri; (4)
memperkenalkan pembelajar pada industri penerjemahan yang semakin tinggi intensitasnya; serta (5)
memberikan kesadaran bahwa penerjemahan tidaklah bersifat semata-mata “terserah selera Anda” (ad hoc)
maupun subyektif, sehingga tetap harus berpegang pada kaidah-kaidah yang benar dan selalu berusaha
melakukan penerjemahan secara kreatif, tetapi tetap jujur. Perhatikan contoh berikut:
“ What is a fish that has no eyes?”
“What is it… a blind fish?”
“ No, it will be a fsh.”
Karena teks sumbernya berupa humor yang menekankan pada aspek kelucuan, dalam hal ini kelucuan itu muncul
dari sisi suspense (hal yang tidak kita duga sebagai jawaban) yakni persamaan bunyi kata “eye” (mata) dengan
huruf “i” dari kata fish, sehingga menimbulkan “ketekejutan”. Bandingkan beberapa versi terjemahan berikut:
Versi pertama, sama sekali tidak lucu:
“Ikan apa yang tidak mempunyai mata?”
“Apa ya… ikan buta?
“Bukan. Jadinya ‘kan’”
Versi kedua, menimbulkan kelucuan dari aspek yang lain:
“Coba tebak, ikan apa yang tidak mempunyai?
“Tidak mempunyai apa?”
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
5
[email protected]
“Ya, pokoknya tidak mempunyai sama sekali”
“Ikan yang sangat melarat?”
“Salah. Ikan yang tidak punya “i” jadinya ya kan.”
Versi ketiga, mengubah fokus konteksnya dengan analogi:
“Wah, haus nih, rasanya. Capek lagi. Mbak, buatkan susu satu gelas ya?
“Pakai es nggak, Mas?
“Wah, mbak ini, susu kalau tidak pakai es trus gimana, Mbak?”
“Ya, susu hangat atau susu panas dong.”
“Salah, Mbak. Susu kalau tidak pakai es jadinya ya “u-u”.”
Perlu diingat pula bahwa dalam hal penerjemahan, seringkali penerjemah harus melakukan strategi modifikasi
atau modulasi agar pesan yang harus disampaikan dapat tersampaikan dengan benar dan alami, sesuai dengan
kaidah gramatika bahasa sasaran yang digunakan. Dalam hal ini, perlu ditekankan kepada pembelajar bahwa
suatu informasi bisa disampaikan dalam berbagai kalimat yang berbeda untuk pesan yang sama. Sehingga tidak
ada satu penerjemahan yang “hanya bentuk inilah yang benar, lainnya salah”. Contoh yang sederhana dapat kita
lihat pada perubahan dari kalimat aktif menjadi pasif. Pengertiannya secara umum sama, meskipun ada nuansa
penekanan yang berbeda, dari sisi Pokok kalimat (Subject). Untuk itu perlu diingatkan bahwa penerjemah perlu
menentukan pilihan bentuk mana yang akan digunakannya sebagai hasil terjemahan. Dalam hal ini, pada
hakikatnya, penerjemah juga adalah pembuat keputusan (Machali, 2005)
Perhatikan contoh kalimat “Salah satu kunci sukses adalah tidak berputus asa.”
Informasi yang sama bisa disampaikan dalam bahasa Inggris dengan beragam cara yang berbeda, antara lain:
“Salah satu kunci sukses adalah tidak berputus asa.”
One important tool for achieving success is eternal trying.
It is important not to stop trying if you want to succeed.
The attainment of success is dependent on repeated effort.
Success can best be attained by never giving up.
Continuous effort is a very important aspect of success.
Model-model kalimat seperti ini bisa dimasukkan dalam e-learning dengan analisis dan penjelasannya, sehingga
mereka bisa memahami perbedaan dan persamaan konsepnya. Berikan pula beberapa contoh yang kurang tepat
dengan penjelasan secukupnya. Sertakan beberapa kalimat atau ekspresi lain sebagai latihan tambahan, dengan
menyediakan kunci jawaban sebagai model. E-learning untuk pembelajaran penerjemahan bisa meniru atau
memodifikasi model pembelajaran menulis (writing) yang sudah sangat banyak tersedia dalam e-learning. Dengan
pemerian konsep-konsep, langkah-langkah, latihan-latihan disertai contoh-contoh yang baik dan yang kurang
baik beserta analisisnya, pembelajar bisa mengembangkan sendiri kemampuan menulisnya. Bila ada kesulitan
yang tidak dapat diatasi secara individu ataupun kelompok (peer-discussion), pembelajar bisa meminta
penjelasan kepada pengajarnya melalui fasilitas tanya-jawab, forum, email, umpan balik, dan sebagainya.
Memang, dalam kegiatan penerjemahan, di samping membutuhkan keterampilan membaca teks sumber untuk
dapat menangkap makna (isi, pesan) secara komprehensif tentu harus memiliki keterampilan menulis untuk
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
6
[email protected]
merestrukturisasi pesan tersebut ke bahasa sasaran. Seringkali pengungkapan pesan jauh berbeda di antara
kedua bahasa yang terlibat, sehingga penerjemah mengalami kesulitan dalam menuangkan pesan tersebut secara
wajar dan alami dalam bahasa sasaran, terlebih lagi bila bahasa sasaran bukanlah bahasa ibu penerjemah. Salah
satu unsur penting yang sangat membantu dalam restrukturisasi pesan tadi adalah ketersediaan teks sejenis
(parallel text) dalam bahasa sasaran yang bisa kita akses. Misalnya, bila teks yang harus diterjemahkan adalah
artikel tentang perbankan syariah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, maka tugas itu akan lebih
mudah dikerjakan bila kita pernah membaca teks-teks tentang Islamic banking terlebih dahulu, sehingga
peristilahan yang akan kita gunakan akan terasa lebih alami dan wajar seperti model teks yang sudah pernah kita
baca tersebut. Dalam hal ini, sangat sering terjadi kita harus mencari terlebih dahulu teks(-teks) parallel tersebut
dari berbagai sumber yang bisa kita akses. Gile (1995: 132-133) menggunakan istilah pemerolehan pengetahuan
(knowledge acquisition) yang dibedakan menjadi dua, yaitu informasi linguistik (peristilahan dan gaya selingkung)
dan informasi ekstra-linguistik yang antara lain mencakup pemahaman di luar konteks linguistik untuk bisa
menentukan bentuk ungkapan yang tepat (misalnya menerjemahkan adik saya dalam Bahasa Indonesia
menjadi my brother atau my sister dalam Bahasa Inggris, atau sebaliknya, menerjemahkan my brother dalam
Bahasa Inggris menjadi adik saya atau abang sayadalam Bahasa Indonesia).
Lebih lanjut Gile (1995: 134-146) menjelaskan tentang berbagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penerjemahan. Sumber-sumber tersebut bisa
dibedakan atas sumber manusia dan non-manusia. Sumber manusia antara lain para pakar yang berkompeten di
bidangnya, atau praktisi yang telah memiliki pengalaman memadai, atau nara sumber lain yang dipandang dapat
menjadi referensi yang handal. Namun dibandingkan dengan sumber manusia, sumber non-manusia relatif lebih
mudah diakses, terlebih lagi dengan adanya fasilitas internet yang menyediakan (hampir) segala macam informasi
dengan cara yang jauh lebih cepat, lebih lengkap, serta lebih mudah pemerolehannya. Dengan
menggunakan search engine kita bisa mendapatkan banyak alternatif sumber informasi atau teks parallel yang
kita butuhkan, hanya dalam hitungan detik. Demikian banyaknya informasi yang tersedia sebagai parallel
text akan. Dampaknya, pembelajaran penerjemahan lewat e-learning dengan mudah dapat memanfaatkan fasilitas
tersebut untuk mempermudah prosesnya, sehingga kegiatan menerjemahkan yang menjadi satu bagian utama
pembelajaran akan terasa lebih menyenangkan dan bermakna. Ini akan meningkatkan motivasi pembelajar untuk
terus berlatih dan mempertajam kompetensi penerjemahannya.
PENUTUP
Kemajuan teknologi yang begitu pesat membawa kemudahan dan kepraktisan dalam berbagai bidang, termasuk
dalam pendidikan dan pengajaran. Pembelajaran keterampilan penerjemahan lewat internet atau e-learning bukan
merupakan sesuatu yang mustahil. Baik pengajar maupun pembelajar perlu menyesuaikan diri dengan sifat-sifat
khas model pembelajaran e-learning. Tentu harus ada upaya sungguh-sungguh dan niat yang kuat terutama dari
para pengajar untuk dapat merancang format pembelajaran dan bentuk-bentuk kegiatan yang menarik, efektif
dan mudah digunakan oleh pembelajar.
Makalah ini lebih bersifat konseptual daripada praktikal. Untuk dapat melihat permasalahan yang dihadapi secara
mendalam dan menerapkannya menjadi bentuk implementasi yang siap pakai (ready to use) diperlukan analisis
dan studi yang lebih komprehensif. Mungkin penelitian tindakan dapat menjadi tindak lanjut dari makalah ini.
Kembali ke atas
DAFTAR PUSTAKA
Baker. Mona (Editor). 1998. Routledge Encyclopedia or Translation Studies. London and New York: Routledge
Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating, Theory and Practice. New York: Longman Inc.
Boyce, Stephen L., dan Mark Ernest. 2002. Information and Communication Technology (ICT) Learning Outcomes.
OECS Education Reform Unit, Eastern Caribbean Education Reform Project.
http://www.oecs.org/oeru/documents/ICT Learning Outcomes Final.pdf
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
7
[email protected]
Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation: An Essay in Applied Linguistics. Fourth Impression. London:
Oxford University Press.
Gile, Daniel. 1995. Basic Concepts and Models for Interpreter and Translator Training. Amsterdam/Philadelphia:
John Benjamins Publishing Co.
Gunawan, 2009. Dunia, Indonesia, dan UNY Menyiratkan Keniscayaan Berkembangnya Peran Guru Sebagai Manajer
Pembelajaran. Orasi Ilmiah Pelepasan Guru Besar Pensiun. UNY.
Hatim, Basil dan Jeremy Munday. 2004. Translation An Advanced Resource Book.London and New York: Routledge.
Kumar, Swapna dan Maija Tammelin. 2008. Integrating ICT into Language Learning and Teaching: Guide for
Institutions. E-book. Linz: Johannes Kepler Universitat.
Kussmaul, Paul. 1995. Training the Translator. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Co.
Larson, Mildred L. 1984. Meaning-based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. New York:
University Press of America.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Nababan, M.R. 1999. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oshima, Alice dan Ann Hogue. 1999. Writing Academic English. Third Ed. New York: Addison Wesley Longman.
Pym, Anthony. 2001. E-Learning and Translator Training.http://www.tinet.org/~apym /online/training/2001_elearning.pd
Suryawinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. 2003. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis
Penerjemahan. Yogyakarta: Kanisius.
Wang, Li-Chun & Ming-Puu Chen. 2008. Enhancing ICT Skills Learning through Peer Learning: Perspectives of
Learning Style and Gender. International Journal of Education and Information Technologies. Issue 1, Volume 2,
2008. http://www.naun.org/journals/educationinformation/eit-40.pdf
[1] Disajikan pada Seminar Nasional Penerapan ICT dalam Pembelajaran, 25 Juli 2009 di Ruang Sidang Utama
Rektorat UNY Yogyakarta.
Kembali ke atas
Tags: e-learning § pembelajaran § penerjemahan § teaching § translation
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
8
[email protected]
Pembelajaran Penerjemahan Berbasis E-Learning
Posted at September 2, 2009 @ 11:41 am by Yosa A. Alzuhdy in Miscellaneous
Daftar Isi
1. Abstract
2. Pembahasan
3. Daftar Pustaka
PEMBELAJARAN PENERJEMAHAN BERBASIS E-LEARNING[1]
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
Jurdik Bahasa Inggris FBS-UNY
[email protected]
ABSTRACT
To obtain the ability to translate well as a skill needs systematic and controlled practice. The general practice of
translation learning usually uses the conventional model which is classical-tutorial due to the fact that the role of
teacher is very intensive in explaining the concepts, controlling, evaluating and providing feedback in the learning
process to get the maximum result, while ICT (information and communication technology) is used “merely” as a
media in delivering the materials.
With such a rapid advancement of ICT, the process of translation teaching-learning should also be conducted
using the concept of so-called e-learning to be more flexible, practical, up-to-date, and accessible for the
learners anytime and anywhere. This model will be more accommodative for independent learning style and can
be adjusted to the ability, opportunity and speed of the learners (individual-adjusted learning) so that the skill of
translation they get will be more reliable.
Despite the differences in concept and learning strategies, translation learning in e-learning may imitate and/or
adapt the model of learning writing which has been far more developed in the internet.
Key words: translation learning, e-learning, independent learning, writing
Kembali ke atas
PENDAHULUAN
Keterampilan menerjemahkan (teks tertulis) terkait dengan dua (dari empat) keterampilan dasar berbahasa, yaitu
membaca dan menulis. Meskipun demikian, pada hakikatnya tidaklah cukup menyimpulkan bahwa apabila
seseorang mampu memahami bacaan dalam bahasa Inggris dengan baik dan mampu menulis dalam bahasa
Indonesia juga cukup baik, atau sebaliknya, maka orang tersebut akan dapat menerjemahkan dengan baik. Ada
beberapa aspek lain yang perlu menjadi perhatian, antara lain pemahaman lintas budaya, efektivitas dan efisiensi
kalimat, penguasaan tata bahasa kedua bahasa, dan pemahaman konteks dan situasi, serta pemahaman ragam
kebahasaan secara memadai.
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
1
[email protected]
Mengajarkan kemampuan menerjemahkan sebagai suatu keterampilan, sebagaimana halnya dengan berbagai
keterampilan yang lain, tentu memerlukan banyak latihan, baik secara langsung di bawah bimbingan pengajar
maupun secara mandiri di luar kelas (untuk selanjutnya diberi penilaian dan masukan oleh pengajar atau
didiskusikan bersama-sama di kelas). Latihan-latihan tersebut bukan hanya untuk melihat bagaimana hasilnya
(output), tetapi juga untuk menguasai bagaimana prosesnya untuk dapat mencapai hasil sedemikian itu. Jadi,
dalam latihan-latihan ini, perlu dievaluasi bagaimana langkah-langkah yang dilakukan dan bagaimana kualitas
hasil yang diperoleh, apa dan di mana masih terdapat kekeliruan, kekurangan atau kelemahan, mengapa hal
tersebut bisa terjadi, dan bagaimana strategi untuk mengatasi dan menyelesaikannya, sehingga ke depan nanti
kekeliruan, kekurangan, dan kelemahan tadi bisa diatasi dan dihindari agar menjadi semakin baik dan semakin
sempurna.
Terkait dengan hal itu, maka dapat dipahami bahwa peranan pengajar dalam proses pembelajaran penerjemahan
menjadi sangat dominan. Selain menjadi nara sumber untuk konsep-konsep yang harus diterpkan dalam
penerjemahan, pengajar juga harus melihat bagaimana proses latihan berlangsung, dan mengevaluasi bagaimana
hasil jadinya. Metode evaluasi sendiri (self-assessment) dan sejawat (peer-to-peer assessment) juga bisa
dilakukan, tetapi biasanya tetap memerlukan peran pengajar untuk menjadi pusat rujukan. Oleh karenanya,
metode pembelajaran yang lazim digunakan adalah model klasikal-tutorial yang menempatkan pengajar sebagai
sentral. Sehingga setiap pembelajar cenderung mendapat kesempatan belajar yang relatif seragam (synchrony),
sehingga kurang memperhatikan yang cepat (fast learner) dan yang lambat (slow learner) apakah masing-masing
sudah menguasai kompetensi atau sub-skill tertentu secara memadai.
Sejalan dengan kemajuan pesat teknologi yang dapat diimplementasikan dalam sistem pembelajaran, model
klasikal-tutorial seperti ini tentu sudah kurang memadai lagi. Meskipun benar bahwa teknologi informasi dan
komunikasi sudah digunakan dalam pembelajaran penerjemahan, sayangnya fungsinya masih sangat terbatas,
terutama sekedar sebagai media untuk menampaikan materi dalam pembelajaran klasikal tersebut. Bahkan
sebagaian, bila tidak sebagian besar, pengajar yang mengampu mata kuliah penerjemahan di Jurdik FBS, masih
berpendapat bahwa kegiatan pembelajaran untuk keterampilan penerjemahan harusnya dilakukan secara klasikaltutorial, karena pembahasan dan penilaian proses penerjemahan maupun hasil penerjemahan yang dilakukan
pembelajar harus dilakukan secara langsung oleh pengajar. Lantas bagaimana ICT dapat dimanfaatkan secara
optimal dalam pembelajaran penerjemahan? Bagaimana model pembelajaran berbasis e-learning yang relatif
dapat mengakomodasi kemampuan pembelajar secara individu (individual-adjusted learning) dan menjadi trend
bisa juga dimanfaatkan bagi kemajuan pembelajaran penerjemahan?
PEMBAHASAN
Kegiatan penerjemahan pada hakikatnya adalah memindahkan isi, pesan, atau makna suatu teks dari bahasa
sumber ke bahasa sasaran, di mana bentuk bahasa berubah tetapi sedapat mungkin tanpa mengubah isi pesannya
(Catford, 1964; Larson, 1984; Bell, 1991; Machali, 2000). Bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam kegiatan
penerjemahan bisa bermacam-macam (Jacobson, 1959, dalam Hatim dan Munday, 2004: 124-126), yakni bisa
dalam satu bahasa (intralingual translation), dua bahasa yang berbeda (bilingual interlingual translation), lebih
dari dua bahasa yang berbeda (multilingual interlingual translation), atau bahkan dua bentuk “bahasa” yang
berbeda (intersemiotic translation), misalnya dari bentuk lukisan ke gerak tarian, atau dari teks bacaan ke bentuk
patung kontemporer. Sederhananya, bentuk penyampaian komunikasinya dapat berubah, tetapi makna atau isi
pesannya seharusnya tidak berubah. Larson (1984: 4) menggambarkannya sebagai berikut:
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
2
[email protected]
Gambar 1. Proses Penerjem
mahan (Larson, 1984)
Skema La
arson tersebut dikembangk
kan oleh Said (1994, dalam
m Suryawinata
a & Hariyanto,, 2003: 21) untuk
menunjukkan kompleksitas yang te
erjadi dalam p
proses penerjemahan terse
ebut, yang meencakup kegia
atan yang
ung secara internal (dalam
m pikiran pene
erjemah) dan ekternal (terliihat secara fissik) sebagai berikut:
b
berlangsu
Gambar 2: Proses pene rjemahan Larson, dikemba
angkan oleh SSaid
Dalam p
pembelajaran keterampilan
n penerjemah
han yang dilak
kukan di Jurdiik Bahasa Ingg
ersitas Negeri
gris FBS Unive
Yogyakarta, pembelajar (mahasisw
wa) dianggap ssudah memiliki kemampua
an berbahasa bilingual (Bah
hasa Indonesia
dan Inggris) yang
g cukup (meskipun seringk
kali masih kurrang memada
ai) sehingga b
bisa langsung diberikan
pema
ahaman konse
ep, strategi, metode,
m
dan k
kompetensi pe
enerjemahan mulai dari tin
ngkat kata, fra
ase, klausa,
kalima
at dan kontek
ks. Memang sebenarnya taarget kompete
ensi yang diha
arapkan bukaanlah menjadikan mereka
sebagai p
penerjemah yang
y
handal, karena
k
alokassi 2×2 SKS (se
emester 3 dan
n 4, sekarang pada Kurikulum baru 200
09
‘dipadatk
kan’ lagi menjjadi hanya 3 SKS
S pada sem
mester 4) jelas
s jauh dari cuk
kup untuk sam
mpai ke sana. Mereka hany
ya
dibek
kali pemaham
man dan komp
petensi penerjjemahan pada tataran yang
g sederhana d
dan relatif mu
udah untuk
selanjutn
nya, bila mere
eka tertarik untuk fokus ke
e arah sana, bisa
b
diperdala
am dengan meengambil pak
ket konsentras
si
di se
emester 5-6-7 sebanyak 16 SKS. Nabab
ban (1999: 146-147) meng
gatakan bahwa
wa usaha mend
didik calon
penerrjemah dan alihbahasawan
n melalui jenja
ang Strata 1 merupakan
m
us
saha yang terllalu idealis ka
arena relatif
rendahnya penguasaan mahasis
swa kita (di In donesia) akan
n bahasa Indo
onesia, apalag
gi bahasa Ingg
gris sebagai
bahasa asing.
mahan yang dilakukan
d
seccara klasikal-ttutorial secara
a umum masiih terasa kura
ang berhasil,
Pembelajaran penerjem
dari rendahnya
a kompetensi yang dimilik
ki para mahasiswa ketika mereka
m
memuttuskan menga
ambil paket
terlihat d
konsentrasi penerjema
ahan di semester-semeste
er selanjutnya
a. Hasil terjem
mahan dari ban
nyak mahasis
swa masih
han dan kesallahan yang re
elatif mendasa
ar (terjemahan harfiah, pen
nerjemahan te
erminologi
menunjukkan kelemah
ak tepat secarra konteks, ke
esalahan pena
angkapan makna, dan seba
againya) meskkipun masih pada
p
tataran
yang tida
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
M
3
[email protected]
kalimat atau paragraph pendek. Tampaknya, kelemahan ini karena sangat terbatasnya paparan (exposure) yang
mereka peroleh akan latihan dan praktik penerjemahan selama perkuliahan Translataion I dan II sebelumnya,
sehingga konsep, metode, strategi yang diperkenalkan tidak bisa difahami secara mantap, apalagi pada tataran
aplikatif dan analitis.
Kelemahan akibat keterbatasan praktik tersebut akan dapat diatasi bila pembelajaran yang diterapkan pada dua
semester tersebut mengakomodasi pembelajaran secara mandiri di mana pembelajar dapat melakukan latihan
sendiri pada teks-konteks yang sudah dipersiapkan secara baik, secara bertahap, secara memadai dapat
menerapkan berbagai konsep-metode-strategi yang dipelajari secara teoritis di kelas. Institusi UNY sebenarnya
sudah menyiapkan platform untuk mewadahi kegiatan pembelajaran mandiri tersebut dalam bentuk e-learning,
meskipun memang masih terdapat kelemahan di sana-sini sehingga mungkin belum dapat mengakomodasi
segala ragam bentuk latihan-quiz-tugas yang diinginkan atau dipersiapkan oleh para pengajar. UNY memiliki dua
layanan e-learning yaitu yang berbasis Moodle, bersifat public dan dikelola oleh Puskom dengan nama Be Smart
(http://besmart.uny.ac.id) dan yang lain bersifat non-publik (tidak dapat diakses melalui website induk UNY,
namun dapat diakses melalui alamat http://dinamika.uny.ac.id. Sayangnya, sampai tahun kelima dari
peluncurannya, media e-learning ini masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh para dosen
meskipun bandwith-nya telah ditingkatkan dari 512 kbps menjadi 20 mbps (Gunawan, 2009: 9-10).
Konsep e-learning, sebagaimana dijelaskan oleh Pym (2001: 1) difahami sebagai pemanfaatan berbagai macam
perangkat elektronik khususnya ICT dalam program pembelajaran, sehingga konsep pembelajaran dapat
dilaksanakan secara terbuka dan jarak jauh (open and distance learning). Namun berbeda dari apa yang
dilaksanakan oleh Universitas Terbuka, misalnya, yang mengirimkan materi pembelajaran dan melakukan
komunikasi ke dan dari pembelajar di tempat-tempat yang jauh dalam bentuk bahan cetak melalui pos, elearning memungkinkan pembelajar mengakses materi dan berkomunikasi, bekerja sama, berdiskusi, dari
tempat-tempat yang terpisah secara sendiri-sendiri (asynchronous) maupun bersama-sama (synchronous) melalui
perantara media internet. Program e-learning juga dapat melakukan mode pembelajaran “tatap muka” secara
tidak langsung, lewat fasilitas forum diskusi, email, atau bahkan e-conference.
Boyce dan Ernest (2002: 3-5) menyatakan bahwa pemanfaatan ICT dalam pembelajaran akan meningkatkan hasil
(learning outcomes) secara signifikan, dan menegaskan perlunya penguasaan teknologi seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi yang cenderung menyebabkan perubahan dalam pekerjaan maupun dalam
pengorganisasian pekerjaan, sehingga juga akan mengubah kompetensi yang diperlukan. Kompetensi yang
dipandang penting dimiliki antara lain:
berfikir induktif
penguasaan ICT untuk mendukung pekerjaan
pengambilan keputusan
penanganan situasi dinamis
kemampuan bekerja dalam tim
kemampuan berkomunikasi
Sementara Pym (2001) dan Wang & Chen (2008) juga menyatakan perlunya menerapkan metode e-learning dalam
program pembelajaran keterampilan, antara lain dengan alasan bahwa:
1.
Pemanfaatan teknologi dalam penulisan dan komunikasi secara elektronik merupakan suatu keharusan
bahkan kemutlakan dalam aktivitas professional di masa depan, sehingga penggunaan e-learning
(email, attachments, downloading dan uploading file, websites, searching) memungkinkan pembelajar
untuk dapat sejak dini memaksimalkan kemampuan dalam pemanfaatan teknologi tersebut.
2.
Pembelajaran kolaboratif dapat dilakukan, misalnya antara dua orang yang terpisah secara fisik
melakukan tugas/proyek secara bersama melalui komunikasi internet. Atau para pembelajar dapat
melakukan self-assessment dan peer-assessment di antara sesi materi-tugas yang diberikan untuk
meningkatkan pemahaman keterampilan komprehensif dan/atau mengatasi kekurangan dan kelemahan
yang dialami satu sama lain sehingga penguasaan keterampilan menjadi lebih kuat.
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
4
[email protected]
3.
Semakin meningkatnya tuntutan pembelajar yang ingin melakukan pembelajaran tanpa harus terikat
dengan waktu tertentu di dalam kelas, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan kegiatankegiatan lain yang harus mereka jalani (individual-adjusted learning). Penguasaan materi dan
kompetensi juga dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan pembelajar, misalnya dengan
melakukan suatu kegiatan latihan secara berulang-ulang sampai mahir, atau melakukan tugas-tugas
yang lebih berat baik secara kualitas maupun kuantitas dalam waktu yang relatif lebih singkat, sehingga
keterampilan tersebut akan benar-benar bisa dikuasainya.
Permasalahan utama yang kerap dijadikan alasan kurangnya implementasi e-learning dalam pembelajaran adalah
kurangnya penguasaan pengguna (baik dosen maupun mahasiswa) tentang ICT. Kendala ini juga sudah dicoba
diatasi dengan memberikan pelatihan ICT kepada setiap mahasiswa baru yang masuk ke UNY sejak beberapa
tahun terakhir, dan memfasilitasi pelatihan pemanfaatan e-learning Be Smart kepada para dosen UNY secara
berkala. Memang perlu kemauan keras dan upaya yang kuat untuk bisa memulai sesuatu yang baru.
Shuttleworth (2001) menyatakan bahwa dalam merancang desain pembelajaran penerjemahan, khususnya bila
kegiatan itu untuk mempersiapkan pembelajar yang hendak menjadikan penerjemahan sebagai profesi, atau
untuk dapat menghasilkan terjemahan yang bisa dipertanggungjawabkan secara professional, perlu diperhatikan
beberapa hal, antara lain: (1) memberikan paparan yang cukup tentang berbagai pendapat berbeda terkait isu-isu
penerjemahan yang kontroversial, sepertiforeignization (memperkenalkan konsep/ideologi dari luar (asing)
kepada pembaca dengan menerjemahkan persis seperti aslinya) dan domestication (menyesuaikan
konsep/ideologi asing dari teks asli dalam terjemahan menjadi konsep lokal yang sudah berterima); (2)
menyediakan alternatif bagi dikotomi standar dalam penerjemahan, seperti benar dan salah, setia dan tak-setia,
terjemahan harfiah dan terjemahan bebas; (3) mendorong pembelajar untuk dapat memecahkan masalah yang
dihadapi secara mandiri dengan model-model strategi pemecahan masalah yang bisa dikembangkan sendiri; (4)
memperkenalkan pembelajar pada industri penerjemahan yang semakin tinggi intensitasnya; serta (5)
memberikan kesadaran bahwa penerjemahan tidaklah bersifat semata-mata “terserah selera Anda” (ad hoc)
maupun subyektif, sehingga tetap harus berpegang pada kaidah-kaidah yang benar dan selalu berusaha
melakukan penerjemahan secara kreatif, tetapi tetap jujur. Perhatikan contoh berikut:
“ What is a fish that has no eyes?”
“What is it… a blind fish?”
“ No, it will be a fsh.”
Karena teks sumbernya berupa humor yang menekankan pada aspek kelucuan, dalam hal ini kelucuan itu muncul
dari sisi suspense (hal yang tidak kita duga sebagai jawaban) yakni persamaan bunyi kata “eye” (mata) dengan
huruf “i” dari kata fish, sehingga menimbulkan “ketekejutan”. Bandingkan beberapa versi terjemahan berikut:
Versi pertama, sama sekali tidak lucu:
“Ikan apa yang tidak mempunyai mata?”
“Apa ya… ikan buta?
“Bukan. Jadinya ‘kan’”
Versi kedua, menimbulkan kelucuan dari aspek yang lain:
“Coba tebak, ikan apa yang tidak mempunyai?
“Tidak mempunyai apa?”
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
5
[email protected]
“Ya, pokoknya tidak mempunyai sama sekali”
“Ikan yang sangat melarat?”
“Salah. Ikan yang tidak punya “i” jadinya ya kan.”
Versi ketiga, mengubah fokus konteksnya dengan analogi:
“Wah, haus nih, rasanya. Capek lagi. Mbak, buatkan susu satu gelas ya?
“Pakai es nggak, Mas?
“Wah, mbak ini, susu kalau tidak pakai es trus gimana, Mbak?”
“Ya, susu hangat atau susu panas dong.”
“Salah, Mbak. Susu kalau tidak pakai es jadinya ya “u-u”.”
Perlu diingat pula bahwa dalam hal penerjemahan, seringkali penerjemah harus melakukan strategi modifikasi
atau modulasi agar pesan yang harus disampaikan dapat tersampaikan dengan benar dan alami, sesuai dengan
kaidah gramatika bahasa sasaran yang digunakan. Dalam hal ini, perlu ditekankan kepada pembelajar bahwa
suatu informasi bisa disampaikan dalam berbagai kalimat yang berbeda untuk pesan yang sama. Sehingga tidak
ada satu penerjemahan yang “hanya bentuk inilah yang benar, lainnya salah”. Contoh yang sederhana dapat kita
lihat pada perubahan dari kalimat aktif menjadi pasif. Pengertiannya secara umum sama, meskipun ada nuansa
penekanan yang berbeda, dari sisi Pokok kalimat (Subject). Untuk itu perlu diingatkan bahwa penerjemah perlu
menentukan pilihan bentuk mana yang akan digunakannya sebagai hasil terjemahan. Dalam hal ini, pada
hakikatnya, penerjemah juga adalah pembuat keputusan (Machali, 2005)
Perhatikan contoh kalimat “Salah satu kunci sukses adalah tidak berputus asa.”
Informasi yang sama bisa disampaikan dalam bahasa Inggris dengan beragam cara yang berbeda, antara lain:
“Salah satu kunci sukses adalah tidak berputus asa.”
One important tool for achieving success is eternal trying.
It is important not to stop trying if you want to succeed.
The attainment of success is dependent on repeated effort.
Success can best be attained by never giving up.
Continuous effort is a very important aspect of success.
Model-model kalimat seperti ini bisa dimasukkan dalam e-learning dengan analisis dan penjelasannya, sehingga
mereka bisa memahami perbedaan dan persamaan konsepnya. Berikan pula beberapa contoh yang kurang tepat
dengan penjelasan secukupnya. Sertakan beberapa kalimat atau ekspresi lain sebagai latihan tambahan, dengan
menyediakan kunci jawaban sebagai model. E-learning untuk pembelajaran penerjemahan bisa meniru atau
memodifikasi model pembelajaran menulis (writing) yang sudah sangat banyak tersedia dalam e-learning. Dengan
pemerian konsep-konsep, langkah-langkah, latihan-latihan disertai contoh-contoh yang baik dan yang kurang
baik beserta analisisnya, pembelajar bisa mengembangkan sendiri kemampuan menulisnya. Bila ada kesulitan
yang tidak dapat diatasi secara individu ataupun kelompok (peer-discussion), pembelajar bisa meminta
penjelasan kepada pengajarnya melalui fasilitas tanya-jawab, forum, email, umpan balik, dan sebagainya.
Memang, dalam kegiatan penerjemahan, di samping membutuhkan keterampilan membaca teks sumber untuk
dapat menangkap makna (isi, pesan) secara komprehensif tentu harus memiliki keterampilan menulis untuk
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
6
[email protected]
merestrukturisasi pesan tersebut ke bahasa sasaran. Seringkali pengungkapan pesan jauh berbeda di antara
kedua bahasa yang terlibat, sehingga penerjemah mengalami kesulitan dalam menuangkan pesan tersebut secara
wajar dan alami dalam bahasa sasaran, terlebih lagi bila bahasa sasaran bukanlah bahasa ibu penerjemah. Salah
satu unsur penting yang sangat membantu dalam restrukturisasi pesan tadi adalah ketersediaan teks sejenis
(parallel text) dalam bahasa sasaran yang bisa kita akses. Misalnya, bila teks yang harus diterjemahkan adalah
artikel tentang perbankan syariah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, maka tugas itu akan lebih
mudah dikerjakan bila kita pernah membaca teks-teks tentang Islamic banking terlebih dahulu, sehingga
peristilahan yang akan kita gunakan akan terasa lebih alami dan wajar seperti model teks yang sudah pernah kita
baca tersebut. Dalam hal ini, sangat sering terjadi kita harus mencari terlebih dahulu teks(-teks) parallel tersebut
dari berbagai sumber yang bisa kita akses. Gile (1995: 132-133) menggunakan istilah pemerolehan pengetahuan
(knowledge acquisition) yang dibedakan menjadi dua, yaitu informasi linguistik (peristilahan dan gaya selingkung)
dan informasi ekstra-linguistik yang antara lain mencakup pemahaman di luar konteks linguistik untuk bisa
menentukan bentuk ungkapan yang tepat (misalnya menerjemahkan adik saya dalam Bahasa Indonesia
menjadi my brother atau my sister dalam Bahasa Inggris, atau sebaliknya, menerjemahkan my brother dalam
Bahasa Inggris menjadi adik saya atau abang sayadalam Bahasa Indonesia).
Lebih lanjut Gile (1995: 134-146) menjelaskan tentang berbagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penerjemahan. Sumber-sumber tersebut bisa
dibedakan atas sumber manusia dan non-manusia. Sumber manusia antara lain para pakar yang berkompeten di
bidangnya, atau praktisi yang telah memiliki pengalaman memadai, atau nara sumber lain yang dipandang dapat
menjadi referensi yang handal. Namun dibandingkan dengan sumber manusia, sumber non-manusia relatif lebih
mudah diakses, terlebih lagi dengan adanya fasilitas internet yang menyediakan (hampir) segala macam informasi
dengan cara yang jauh lebih cepat, lebih lengkap, serta lebih mudah pemerolehannya. Dengan
menggunakan search engine kita bisa mendapatkan banyak alternatif sumber informasi atau teks parallel yang
kita butuhkan, hanya dalam hitungan detik. Demikian banyaknya informasi yang tersedia sebagai parallel
text akan. Dampaknya, pembelajaran penerjemahan lewat e-learning dengan mudah dapat memanfaatkan fasilitas
tersebut untuk mempermudah prosesnya, sehingga kegiatan menerjemahkan yang menjadi satu bagian utama
pembelajaran akan terasa lebih menyenangkan dan bermakna. Ini akan meningkatkan motivasi pembelajar untuk
terus berlatih dan mempertajam kompetensi penerjemahannya.
PENUTUP
Kemajuan teknologi yang begitu pesat membawa kemudahan dan kepraktisan dalam berbagai bidang, termasuk
dalam pendidikan dan pengajaran. Pembelajaran keterampilan penerjemahan lewat internet atau e-learning bukan
merupakan sesuatu yang mustahil. Baik pengajar maupun pembelajar perlu menyesuaikan diri dengan sifat-sifat
khas model pembelajaran e-learning. Tentu harus ada upaya sungguh-sungguh dan niat yang kuat terutama dari
para pengajar untuk dapat merancang format pembelajaran dan bentuk-bentuk kegiatan yang menarik, efektif
dan mudah digunakan oleh pembelajar.
Makalah ini lebih bersifat konseptual daripada praktikal. Untuk dapat melihat permasalahan yang dihadapi secara
mendalam dan menerapkannya menjadi bentuk implementasi yang siap pakai (ready to use) diperlukan analisis
dan studi yang lebih komprehensif. Mungkin penelitian tindakan dapat menjadi tindak lanjut dari makalah ini.
Kembali ke atas
DAFTAR PUSTAKA
Baker. Mona (Editor). 1998. Routledge Encyclopedia or Translation Studies. London and New York: Routledge
Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating, Theory and Practice. New York: Longman Inc.
Boyce, Stephen L., dan Mark Ernest. 2002. Information and Communication Technology (ICT) Learning Outcomes.
OECS Education Reform Unit, Eastern Caribbean Education Reform Project.
http://www.oecs.org/oeru/documents/ICT Learning Outcomes Final.pdf
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
7
[email protected]
Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation: An Essay in Applied Linguistics. Fourth Impression. London:
Oxford University Press.
Gile, Daniel. 1995. Basic Concepts and Models for Interpreter and Translator Training. Amsterdam/Philadelphia:
John Benjamins Publishing Co.
Gunawan, 2009. Dunia, Indonesia, dan UNY Menyiratkan Keniscayaan Berkembangnya Peran Guru Sebagai Manajer
Pembelajaran. Orasi Ilmiah Pelepasan Guru Besar Pensiun. UNY.
Hatim, Basil dan Jeremy Munday. 2004. Translation An Advanced Resource Book.London and New York: Routledge.
Kumar, Swapna dan Maija Tammelin. 2008. Integrating ICT into Language Learning and Teaching: Guide for
Institutions. E-book. Linz: Johannes Kepler Universitat.
Kussmaul, Paul. 1995. Training the Translator. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Co.
Larson, Mildred L. 1984. Meaning-based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. New York:
University Press of America.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Nababan, M.R. 1999. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Oshima, Alice dan Ann Hogue. 1999. Writing Academic English. Third Ed. New York: Addison Wesley Longman.
Pym, Anthony. 2001. E-Learning and Translator Training.http://www.tinet.org/~apym /online/training/2001_elearning.pd
Suryawinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. 2003. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis
Penerjemahan. Yogyakarta: Kanisius.
Wang, Li-Chun & Ming-Puu Chen. 2008. Enhancing ICT Skills Learning through Peer Learning: Perspectives of
Learning Style and Gender. International Journal of Education and Information Technologies. Issue 1, Volume 2,
2008. http://www.naun.org/journals/educationinformation/eit-40.pdf
[1] Disajikan pada Seminar Nasional Penerapan ICT dalam Pembelajaran, 25 Juli 2009 di Ruang Sidang Utama
Rektorat UNY Yogyakarta.
Kembali ke atas
Tags: e-learning § pembelajaran § penerjemahan § teaching § translation
Yosa A. Alzuhdy, M.Hum.
8
[email protected]