d mtk 0808077 chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memungkinkan setiap orang dapat mengakses informasi dengan cepat dan mudah dari berbagai sumber di belahan dunia. Oleh karena itu sejak dini sekolah sudah harus mempersiapkan siswa agar memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan memanfaatkan informasi dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi. Kemampuan tersebut dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika, karena matematika sebagai ilmu, memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional.

Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dinyatakan bahwa setelah pembelajaran siswa harus memiliki seperangkat kompetensi matematika yang harus ditunjukkan pada hasil belajarnya dalam mata pelajaran matematika (standar kompetensi). Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat dicapai siswa dalam belajar matematika mulai dari SD sampai SMA, yaitu: (1) pemahaman konsep; (2) penalaran; (3) komunikasi; (4) pemecahan masalah; dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan (Depdiknas, 2006).

Demikian juga National Council of Teachers of Matematics atau NCTM

(2000), merumuskan lima kemampuan matematis yang harus dikuasai siswa, yaitu kemampuan komunikasi, penalaran matematis, pemecahan masalah, koneksi matematis, dan pembentukan sikap positif terhadap matematika. Dari


(2)

kemampuan-kemampuan tersebut, tercermin bahwa kemampuan penalaran dan komunikasi matematis merupakan kemampuan standar yang harus dicapai siswa dalam belajar matematika.

Depdiknas (2002) menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran matematis merupakan dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan karena materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika. Oleh karena itu penalaran matematis merupakan bagian terpenting dalam matematika karena dengan penalaran matematis siswa dapat menyelesaikan masalah matematika. Hal senada juga disampaikan Ansjar dan Sembiring (2000) bahwa penalaran merupakan karakteristik utama matematika yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan mempelajari dan mengembangkan matematika atau menyelesaikan suatu masalah matematika. Menurut Priatna (2003), melalui kegiatan bernalar dalam matematika, diharapkan siswa dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian yang masuk akal atau logis. Dengan demikian siswa merasa yakin bahwa matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dievaluasi.

Hasil studi Rif’at (Priatna, 2003) menyatakan bahwa lemahnya kemampuan matematika siswa dilihat dari kinerja dalam bernalar, misalnya kesalahan dalam menyelesaikan soal matematika dikarenakan kesalahan menggunakan penalaran. Hal senada juga diungkapkan Wahyudin (1999) dalam studinya bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika, yaitu siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan matematika yang diberikan. Sejalan dengan itu, Sumarmo (1987) dalam


(3)

penelitiannya menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa pada penalaran matematis masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan penalaran akan berdampak pada kurangnya penguasaan siswa terhadap materi matematika, sehingga akan mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Oleh karena itu kemampuan penalaran penting ditingkatkan sehingga hasil belajar siswa menjadi lebih baik.

Berkaitan dengan pentingnya penalaran dalam matematika, NCTM

(2000) merekomendasikan bahwa tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6-8 adalah agar siswa dapat (1) menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan; (2) merumuskan generalisasi dan konjektur hasil observasi keteraturan; (3) mengevaluasi konjektur; dan (4) membuat dan mengevaluasi argumen matematika.

Selanjutnya NCTM (2000) menggariskan secara rinci keterampilan-keterampilan kunci penalaran matematis yang dapat dilakukan di dalam kelas dan harus dipandang sebagai bagian integral dari kurikulum matematika. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah mengenal dan mengaplikasikan penalaran deduktif dan induktif, memahami dan menerapkan proses penalaran dengan perhatian yang khusus terhadap penalaran dengan proporsi-proporsi dan grafik-grafik; membuat dan mengevaluasi konjektur-konjektur dan argumen-argumen secara logis; menilai daya serap dan kekuatan penalaran sebagai bagian dari matematika.

Sumarmo (2005) merinci karateristik kemampuan penalaran matematis dalam beberapa indikator, yakni: (1) menarik kesimpulan logis; (2) memberi penjelasan terhadap model, gambar, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada; (3)


(4)

memperkirakan jawaban dan proses solusi; (4) menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur; (5) mengajukan lawan contoh; (6) mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid; dan (7) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi.

Selain kemampuan penalaran matematis dalam pembelajaran matematika, kemampuan komunikasi matematis juga sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematis, siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan, disamping renegosiasi respon antar siswa akan dapat terjadi dalam proses pembelajaran.

Kusumah (2008) menyatakan bahwa komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika, karena melalui komunikasi (1) ide matematis dapat dieksploitasi dalam berbagai perspektif; (2) cara berpikir siswa dapat dipertajam; (3) pertumbuhan pemahaman dapat diukur; (4) pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir; (5) pengetahuan matematis dan pengembangan masalah siswa dikonstruksi; (6) penalaran siswa dapat ditingkatkan; dan (7) komunikasi siswa dapat dibentuk.

Mengingat pentingnya kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika maka kemampuan komunikasi tersebut haruslah ditingkatkan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Rohaeti (2003) dan Wihatma (2004) yang menyatakan bahwa rata-rata


(5)

kemampuan komunikasi matematis siswa berada pada kualifikasi kurang dan dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika termasuk dalam kualifikasi kurang sekali.

Demikian juga halnya dengan hasil penelitian Firdaus (2005) bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dalam kelompok kecil tipe Team-Assisted Individualization (TAI) berbasis masalah masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari perolehan skor kemampuan komunikasi matematis siswa ± 60% dari skor ideal.

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan, modeling, speaking, writing, drawing, dan mempresentasikan apa yang telah dipelajari (Hulukati, 2005). Selain itu juga dapat dilakukan melalui catatan, grafik, peta, dan diagram (Depdiknas, 2003) dan komunikasi dapat terjadi ketika siswa mengemukakan gagasannya, menjelaskan model yang ditemukan dari permasalahan yang disajikan, tetapi siswa lain harus dapat menangkap apa yang dikomunikasikan siswa lainnya.

Selanjutnya, kemampuan komunikasi matematis siswa dapat ditingkatkan melalui diskusi kelompok. Hal ini sesuai dengan temuan Brenner (1998) yang menyatakan bahwa pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil, maka intensitas siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan semakin tinggi, karena melalui diskusi kelompok siswa mempunyai peluang besar untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematisnya.


(6)

Clark (2005) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat diberikan 4 strategi, yaitu (1) memberikan tugas-tugas yang cukup memadai, sehingga membuat siswa maupun kelompok diskusi lebih aktif; (2) menciptakan lingkungan yang kondusif bagi siswa dalam mengungkapkan ide atau gagasannya; (3) mengarahkan siswa untuk menjelaskan dan memberi argumentasi pada hasil yang diberikan dan ide atau gagasan yang difikirkan; dan (4) mengarahkan siswa untuk aktif memproses berbagai macam ide atau gagasannya.

Sumarmo (2005) merinci karakteristik kemampuan komunikasi matematis dalam beberapa indikator, yakni (1) membuat hubungan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematis; (2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara lisan maupun tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; (3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (4) mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika, membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; (5) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; dan (6) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Kemampuan komunikasi matematis terdiri dari komunikasi lisan dan tulisan. Dalam penelitian ini, komunikasi lisan dapat terjadi pada kegiatan diskusi kelompok dan presentasi hasil diskusi, sedangkan kemampuan komunikasi tulisan yang diteliti dalam penelitian ini adalah (1) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam model matematika dan menyelesaikannya secara tertulis ke dalam gambar atau grafik (menggambar); (2) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam model matematika dan menyelesaikannya (ekspresimatematis);


(7)

dan (3) kemampuan menjelaskan konsep dan ide dari suatu gambar yang diberikan ke dalam model matematika secara tertulis dan menyelesaikannya (menulis). (Adaptasi dari Ansari, 2003).

Baroody (Hulukati, 2005) menyatakan bahwa ada dua alasan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika menjadi penting yaitu: (1)

mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah, namun matematika juga merupakan alat yang tidak terhingga nilainya untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat dan cermat dan (2) mathematics learning as social activity; sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, seperti halnya interaksi antar siswa, komunikasi guru dengan siswa merupakan bagian penting untuk memelihara dan mengembangkan potensi matematika siswa.

Menyadari pentingnya kemampuan komunikasi matematis, maka dirasa perlu mengupayakan pembelajaran dengan pendekatan-pendekatan yang dapat memberi peluang dan mendorong siswa melatih kemampuan komunikasi matematisnya. Menurut Baroody (1993) bahwa pada pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional, kemampuan komunikasi matematis siswa masih sangat terbatas hanya pada jawaban verbal yang pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh guru.

Cai dan Patricia (2000) berpendapat bahwa guru dapat mempercepat peningkatan komunikasi matematis siswa dengan cara memberikan tugas matematika dalam berbagai variasi. Komunikasi matematis akan berperan efektif apabila guru mengkondisikan siswa agar mendengarkan secara aktif, sebaik


(8)

mereka mempercakapkannya. Oleh karena itu perubahan pandangan belajar dari guru mengajar ke siswa belajar sudah harus menjadi fokus utama dalam setiap kegiatan pembelajaran matematika.

Dari uraian di atas, jelas bahwa kemampuan penalaran dan komunikasi matematis, perlu ditingkatkan karena kemampuan-kemampuan tersebut merupakan kemampuan yang diperlukan dalam belajar dan dalam matematika itu sendiri, bahkan perlu bagi siswa untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan siswa hari ini dan pada hari yang akan datang. Hal ini sesuai dengan visi pendidikan matematika masa kini dan masa datang (Sumarmo, 2002, 2004, 2006). Visi pendidikan matematika masa kini, yaitu pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya, dan visi pendidikan matematika masa datang, yaitu pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah.

Berdasarkan visi pendidikan matematika masa kini dan masa datang, maka siswa belajar matematika harus memiliki kemandirian belajar yang tinggi karena siswa yang mempunyai kemandirian belajar yang tinggi, mampu (1) menganalisis kebutuhan belajar matematika, merumuskan tujuan, dan merancang program belajar; (2) memilih dan menerapkan strategi belajar; (3) memantau dan mengevaluasi diri, apakah strategi telah dilaksanakan dengan benar, memeriksa hasil (proses dan produk), serta merefleksi untuk memperoleh umpan balik (Sumarmo, 2004).


(9)

Peningkatan kemandirian belajar dalam matematika didukung juga oleh hasil studi yang dilakukan Hargis dengan temuannya antara lain: individu yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi cenderung belajar lebih baik, mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif, menghemat waktu dalam menyelesaikan tugasnya, mengatur belajar dan waktu secara efisien (Sumarmo, 2004).

Kondisi saat ini di lapangan, pada umumnya menunjukkan bahwa aktivitas pembelajaran masih didominasi oleh guru; siswa masih belum berperan aktif dalam pembelajaran; siswa kurang diberikan kesempatan menggunakan daya nalarnya untuk menyelesaikan suatu masalah dengan berbagai strategi (guru hanya memberikan masalah yang penyelesaiannya sesuai dengan contoh soal); siswa kurang diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide-ide tentang sesuatu yang berkaitan dengan konteks yang sedang dibicarakan (konteks yang diberikan guru), sehingga tidak jarang terjadi siswa hanya menerima apa saja yang disampaikan oleh guru tanpa memahami apa maknanya.

Selain itu juga guru kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan nyata siswa, sehingga siswa tidak mempunyai penilaian bahwa materi yang dipelajari itu memiliki aplikasi dengan kehidupannya sehari-hari. Hal ini berimplikasi bahwa siswa tidak mempunyai inisiatif dalam belajar matematika. Selanjutnya, siswa juga kurang diberi kesempatan merefleksi kembali apa yang sudah mereka pelajari, sehingga siswa tidak mempunyai peluang untuk mengungkap atau mengevaluasi apa yang sudah atau sedang dia kerjakan. Hal ini berdampak pada keterampilan siswa yang tidak selalu mengevaluasi proses dan hasil kerjanya.


(10)

Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa matematika yang dipelajari siswa di sekolah sebagian besar diperoleh melalui pemberitahuan oleh guru, sehingga membuat siswa menjadi pasif (Ketika siswa pasif maka kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa tidak dapat dikembangkan atau ditingkatkan). Siswa hanya mengulangi algoritma dan prosedur yang telah dijelaskan oleh guru dalam mengerjakan soal rutin (drill). Model pembelajaran seperti ini menurut Brooks and Brooks (Helmaheri, 2004) disebut pembelajaran konvensional.

Pembelajaran yang membuat siswa pasif tidak memungkinkan untuk dapat meningkatkan kemampuannya, seperti kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Oleh karena itu guru harus mengupayakan suatu pembelajaran agar siswa aktif, mampu menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi, dan mampu menarik kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan (Shurter dan Pierce dalam Sumarmo, 1987). Hal senada juga diungkapkan oleh Sumarmo (2005) bahwa beberapa kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematis diantaranya adalah menarik kesimpulan logis dan memperkirakan jawaban dan proses solusi.

Selain itu, guru juga harus mengupayakan suatu pembelajaran agar siswa mampu mengajukan ide-ide, menanggapi gagasan yang diajukan temannya, membandingkan pendapatnya dengan pendapat siswa lain, merespon dan menyelesaiakan masalah secara bebas dan kreatif, mengaitkan materi dengan konteks kehidupan nyata siswa, mengubah cara pandang siswa bahwa kesulitan itu adalah sebuah tantangan, dan merefleksi kembali apa yang sudah mereka pelajari. Salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan keterlibatan siswa


(11)

secara aktif, meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa adalah pembelajaran generatif.

Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa langkah-langkah yang terdapat dalam pembelajaran generatif dapat membuat siswa belajar menjadi aktif dalam mengkonstruksi pengetahuannya; dapat meningkatkan kemampuan penalaran; komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa. Untuk meningkatkan

kemampuan penalaran matematis, siswa diberi kesempatan berlatih

menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi, seperti: pemodelan, grafik, gambar atau argumen-argumen logis sesuai dengan konsep yang mereka pahami (Osborne & Wittrock dalam Hulukati, 2005).

Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, siswa diberi kesempatan berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasannya dengan berbagai variasi, seperti: melalui gambar, tulisan atau model matematika (Osborne & Wittrock dalam Khalidin, 2005).

Untuk meningkatkan kemandirian belajar, siswa diberi kesempatan mengaitkan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan nyata mereka sehari-hari. Hal ini tentu memberikan suatu dorongan kepada siswa untuk mengetahui lebih jauh tentang materi itu, sehingga siswa akan berinisiatif dalam belajar. Artinya siswa akan berinisiatif dalam pembelajaran ketika dia dapat mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan nyatanya.

Selanjutnya, guru menyiapkan sebuah konteks (wacana) yang dapat memunculkan konflik kognitif bagi siswa. Dengan adanya konflik kognitif tersebut, siswa akan terdorong untuk mengubah struktur kognitifnya dalam membuat sebuah penyelesaian tentang konteks yang diberikan. Hal ini akan


(12)

mengubah cara pandang siswa bahwa kesulitan itu adalah sebuah tantangan sehingga dia akan berinisiatif untuk mendiagnosis kebutuhan belajar, mencari dan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang relevan serta mencari dan menerapkan strategi-strategi belajar yang tepat (Paris dan Winograd, 2004). Kemudian, siswa diberi kesempatan merefleksi kembali apa yang sudah mereka pelajari yang memberikan peluang bagi siswa untuk mengungkap atau mengevaluasi apa yang sudah atau sedang mereka kerjakan. Konteks yang demikian berdampak pada keterampilan siswa untuk selalu mengevaluasi proses dan hasil kerja mereka (Zimmerman dalam Pape et al., 2003).

Selain itu melalui pembelajaran generatif dapat diciptakan suatu iklim belajar, yakni siswa mendapat kebebasan dalam mengajukan ide-ide, pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah sehingga belajar matematika lebih efektif dan

bermakna. Selanjutnya, langkah-langkah pembelajaran generatif dapat

memberikan kesempatan kepada siswa merespon dan menyelesaikan masalah secara bebas dan kreatif. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator untuk mendorong siswa melakukan sendiri aktivitas memecahkan masalah dan aktivitas mengkomunikasikan konsep-konsep matematika yang diperolehnya melalui pemecahan masalah matematika. Jika siswa mengajukan suatu gagasan, maka guru hendaknya mempertimbangkan gagasan tersebut dengan tidak menyalahkannya, dan jika salah maka guru diharapkan dapat mengarahkan dengan memberikan pertanyaan yang mengarah pada penyelesaian yang diharapkan, sehingga pada akhirnya siswa dapat mengkomunikasikan idenya kepada teman sejawatnya melalui diskusi kelas atau kelompok. Hal ini seiring dengan hasil penelitian Hutapea (2008) yang menyatakan bahwa penerapan


(13)

pembelajaran generatif pada materi pokok garis dan sudut dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VIIB SMP Beerseba Pekanbaru.

Untuk menunjang penerapan pembelajaran generatif, perlu diperhatikan level sekolah, kemampuan awal matematis dan kemandirian belajar siswa. Level sekolah dibagi dalam tiga kelompok, yaitu atas, tengah dan bawah. Digunakannya tiga level dalam penelitian ini bertujuan agar semua kelompok sekolah terwakili sehingga kesimpulan yang diperoleh lebih representatif. Pengelompokkan ini juga bertujuan untuk melihat apakah terdapat pengaruh bersama antara pembelajaran yang digunakan dan level sekolah terhadap perkembangan kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

Adapun kemampuan awal matematis siswa dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokan ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat pengaruh bersama antara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan awal matematis siswa terhadap perkembangan kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa.

Kemandirian belajar siswa merupakan suatu hal yang turut menentukan berhasilnya pengimplementasian pembelajaran generatif dan turut menentukan pencapaian hasil belajar siswa; hal ini cukup beralasan karena pembelajaran yang menciptakan situasi pemecahan masalah (untuk menyelesaikan suatu masalah diperlukan penalaran dan komunikasi) sangat diperlukan kemandirian siswa dalam belajar. Siswa yang berada pada level sekolah atas diasumsikan memiliki kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berada pada level sekolah tengah, demikian juga halnya dengan siswa yang berada pada level sekolah tengah dengan siswa yang berada pada level sekolah bawah. Siswa


(14)

yang berada pada level sekolah atas lebih mampu mengatur waktu dan

mengontrol diri dalam berfikir, merencanakan strategi, kemudian

melaksanakannya, serta mengevaluasi atau mengadakan refleksi (Yang dalam Sumarmo, 2004). Hal ini didukung oleh hasil studi Darr dan Fisher (2004) yang melaporkan bahwa kemampuan belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa.

Berdasarkan uraian di atas, telah dilakukan penelitian tentang peningkatan kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa SMA melalui pembelajaran generatif yang difokuskan pada level sekolah (atas, tengah dan bawah), dan kemampuan awal matematis (tinggi, sedang dan rendah).

Dari beberapa penelitian tentang pembelajaran generatif yang telah dilakukan peneliti sebelumnya (Hulukati, 2005 dan Fahinu, 2007); originalitas

dari pembelajaran generatif yang dikembangkan peneliti, yaitu (1) dalam RPP, untuk setiap materi baru, guru memberikan gambar (berupa media) dari permasalahan yang diberikan yang dapat mengaitkan materi dengan pengalaman siswa sehari-hari, sehingga mempermudah siswa untuk memahami materi yang akan dipelajari; (2) dalam LAS untuk beberapa permasalahan, diberikan petunjuk atau langkah-langkah yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan (tidak semua informasi yang dibutuhkan ada pada buku paket), sehingga mempermudah siswa memperoleh informasi (konsep) yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan; (3) pada kegiatan akhir dari pembelajaran generatif, guru tidak hanya melakukan tahap melihat kembali dan memberi PR; tetapi juga melakukan generalisasi. Dengan bimbingan guru, siswa membuat generalisasi dari materi yang sudah dipelajari selama pembelajaran dan


(15)

mengelaborasi pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi-materi yang sudah dipelajari; dan (4) semua permasalahan yang diberikan (baik pada RPP maupun LAS) berbentuk soal cerita yang sifatnya kontekstual (soal nonrutin).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa faktor yang menjadi perhatian peneliti untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu: kemampuan penalaran matematis (KPM), kemampuan komunikasi matematis (KKM), kemandirian belajar siswa (KBS), pembelajaran generatif (PG), dan pembelajaran konvensional (PKV). Selain itu diperhatikan pula faktor level sekolah (atas, tengah, dan bawah) dan kemampuan awal matematis atau KAM (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai variabel kontrol.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Apakah terdapat peningkatan KPM, KKM, dan KBS setelah memperoleh

pembelajaran (PG dan PKV)?

2. Apakah peningkatan KPM, KKM, dan KBS yang memperoleh PG lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh PKV ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa, (b) level sekolah (atas, tengah, dan bawah) siswa, dan (c) KAM (tinggi, sedang, dan rendah) siswa?

3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (PG dan PKV) dan level sekolah (atas, tengah, dan bawah) terhadap peningkatan KPM, KKM, dan KBS?

4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (PG dan PKV) dan KAM (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan KPM, KKM, dan KBS?


(16)

5. Apakah terdapat asosiasi antara KPM dan KKM, KPM dan KBS, serta KBS dan KKM?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan KPM, KKM, dan KBS yang memperoleh PG dan PKV

ditinjau dari: (a) keseluruhan, (b) level sekolah, dan (c) KAM.

2. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap peningkatan KPM, KKM dan KBS.

3. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan KAM terhadap peningkatan KPM, KKM dan KBS.

4. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat asosiasi antara KPM, KKM dan KBS.

D. Manfaat Penelitian

Hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Siswa

Memberikan pengalaman baru bagi siswa dan mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif (terlibat aktif) dalam pembelajaran matematika di kelas, sehingga selain dapat meningkatkan KPM, KKM, dan KBS yang berakibat pada peningkatan prestasi belajar siswa, juga membuat pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.


(17)

2. Guru

PG merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan KPM, KKM, dan KBS.

3. Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan diri peneliti dan dapat dijadikan sebagai acuan/referensi untuk peneliti lain (penelitian yang relevan) dan pada penelitian yang sejenis.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan sebagai berikut.

1. KPM adalah (1) kemampuan menyatakan situasi masalah dengan

menggunakan gambar dan fakta dalam menyelesaikan soal; (2) kemampuan menyelesaikan situasi masalah dengan mengikuti argumen-argumen logis; dan (3) kemampuan menyelesaikan situasi masalah dengan mengikuti argumen-argumen logis dan menarik kesimpulan logis dari penyelesaian yang diperoleh.

2. KKM adalah (1) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam model matematika dan menyelesaikannya secara tertulis ke dalam gambar atau grafik (menggambar), (2) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam model matematika dan menyelesaikannya (ekspresi matematis), dan (3) kemampuan menjelaskan konsep dan ide dari suatu gambar yang diberikan ke dalam model matematika secara tertulis dan menyelesaikannya (menulis).


(18)

3. KBS adalah sikap seseorang terhadap dirinya dalam belajar yang meliputi: (1) inisiatif belajar, (2) mendiagnosis kebutuhan belajar, (3) menetapkan target/tujuan belajar, (4) mengatur, dan mengontrol belajar, (5) mengatur dan mengontrol kognisi, motivasi, serta perilaku (diri), (6) memandang kesulitan sebagai tantangan, (7) mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan, (8) memilih dan menerapkan strategi belajar yang tepat, (9) mengevaluasi proses dan hasil belajar, dan (10) self-efficacy (konsep diri).

4. PG adalah pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuannya melalui tahap orientasi, pengungkapan ide, tantangan dan restrukturisasi, penerapan, dan memeriksa kembali.

5. KAM adalah kemampuan yang dimiliki siswa sebelum diberikan

pembelajaran (perlakuan). Pemberian tes KAM dimaksudkan untuk pengelompokan siswa berdasarkan kategori KAM, yakni kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Kemampuan ini diukur melalui soal-soal yang diadopsi dari soal ulangan beberapa buku matematika SMA kelas X yang sudah dipelajari dan sebagian tesnya (memahami konsep fungsi, menggambar grafik fungsi kuadrat, menggunakan sifat dan aturan tentang persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan/atau fungsi kuadrat, dan menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan/atau fungsi kuadrat dan penafsirannya) merupakan prasyarat untuk mempelajari materi sistem persamaan linier (SPL) dan pertidaksamaan satu variabel (PtSV).


(19)

(1)

yang berada pada level sekolah atas lebih mampu mengatur waktu dan

mengontrol diri dalam berfikir, merencanakan strategi, kemudian

melaksanakannya, serta mengevaluasi atau mengadakan refleksi (Yang dalam Sumarmo, 2004). Hal ini didukung oleh hasil studi Darr dan Fisher (2004) yang melaporkan bahwa kemampuan belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa.

Berdasarkan uraian di atas, telah dilakukan penelitian tentang peningkatan kemampuan penalaran, komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa SMA melalui pembelajaran generatif yang difokuskan pada level sekolah (atas, tengah dan bawah), dan kemampuan awal matematis (tinggi, sedang dan rendah).

Dari beberapa penelitian tentang pembelajaran generatif yang telah dilakukan peneliti sebelumnya (Hulukati, 2005 dan Fahinu, 2007); originalitas dari pembelajaran generatif yang dikembangkan peneliti, yaitu (1) dalam RPP, untuk setiap materi baru, guru memberikan gambar (berupa media) dari permasalahan yang diberikan yang dapat mengaitkan materi dengan pengalaman siswa sehari-hari, sehingga mempermudah siswa untuk memahami materi yang akan dipelajari; (2) dalam LAS untuk beberapa permasalahan, diberikan petunjuk atau langkah-langkah yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan (tidak semua informasi yang dibutuhkan ada pada buku paket), sehingga mempermudah siswa memperoleh informasi (konsep) yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan; (3) pada kegiatan akhir dari pembelajaran generatif, guru tidak hanya melakukan tahap melihat kembali dan memberi PR; tetapi juga melakukan generalisasi. Dengan bimbingan guru, siswa membuat generalisasi dari materi yang sudah dipelajari selama pembelajaran dan


(2)

mengelaborasi pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi-materi yang sudah dipelajari; dan (4) semua permasalahan yang diberikan (baik pada RPP maupun LAS) berbentuk soal cerita yang sifatnya kontekstual (soal nonrutin).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa faktor yang menjadi perhatian peneliti untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu: kemampuan penalaran matematis (KPM), kemampuan komunikasi matematis (KKM), kemandirian belajar siswa (KBS), pembelajaran generatif (PG), dan pembelajaran konvensional (PKV). Selain itu diperhatikan pula faktor level sekolah (atas, tengah, dan bawah) dan kemampuan awal matematis atau KAM (tinggi, sedang, dan rendah) sebagai variabel kontrol.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Apakah terdapat peningkatan KPM, KKM, dan KBS setelah memperoleh

pembelajaran (PG dan PKV)?

2. Apakah peningkatan KPM, KKM, dan KBS yang memperoleh PG lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh PKV ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa, (b) level sekolah (atas, tengah, dan bawah) siswa, dan (c) KAM (tinggi, sedang, dan rendah) siswa?

3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (PG dan PKV) dan level sekolah (atas, tengah, dan bawah) terhadap peningkatan KPM, KKM, dan KBS?

4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (PG dan PKV) dan KAM (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap peningkatan KPM, KKM, dan KBS?


(3)

5. Apakah terdapat asosiasi antara KPM dan KKM, KPM dan KBS, serta KBS dan KKM?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk meningkatkan KPM, KKM, dan KBS yang memperoleh PG dan PKV

ditinjau dari: (a) keseluruhan, (b) level sekolah, dan (c) KAM.

2. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan level sekolah terhadap peningkatan KPM, KKM dan KBS.

3. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dan KAM terhadap peningkatan KPM, KKM dan KBS.

4. Untuk mengetahui terdapat atau tidak terdapat asosiasi antara KPM, KKM dan KBS.

D. Manfaat Penelitian

Hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Siswa

Memberikan pengalaman baru bagi siswa dan mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif (terlibat aktif) dalam pembelajaran matematika di kelas, sehingga selain dapat meningkatkan KPM, KKM, dan KBS yang berakibat pada peningkatan prestasi belajar siswa, juga membuat pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.


(4)

2. Guru

PG merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan KPM, KKM, dan KBS.

3. Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan diri peneliti dan dapat dijadikan sebagai acuan/referensi untuk peneliti lain (penelitian yang relevan) dan pada penelitian yang sejenis.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan sebagai berikut.

1. KPM adalah (1) kemampuan menyatakan situasi masalah dengan

menggunakan gambar dan fakta dalam menyelesaikan soal; (2) kemampuan menyelesaikan situasi masalah dengan mengikuti argumen-argumen logis; dan (3) kemampuan menyelesaikan situasi masalah dengan mengikuti argumen-argumen logis dan menarik kesimpulan logis dari penyelesaian yang diperoleh.

2. KKM adalah (1) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam model matematika dan menyelesaikannya secara tertulis ke dalam gambar atau grafik (menggambar), (2) kemampuan menyatakan situasi masalah ke dalam model matematika dan menyelesaikannya (ekspresi matematis), dan (3) kemampuan menjelaskan konsep dan ide dari suatu gambar yang diberikan ke dalam model matematika secara tertulis dan menyelesaikannya (menulis).


(5)

3. KBS adalah sikap seseorang terhadap dirinya dalam belajar yang meliputi: (1) inisiatif belajar, (2) mendiagnosis kebutuhan belajar, (3) menetapkan target/tujuan belajar, (4) mengatur, dan mengontrol belajar, (5) mengatur dan mengontrol kognisi, motivasi, serta perilaku (diri), (6) memandang kesulitan sebagai tantangan, (7) mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan, (8) memilih dan menerapkan strategi belajar yang tepat, (9) mengevaluasi proses dan hasil belajar, dan (10) self-efficacy (konsep diri). 4. PG adalah pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa dalam

mengkonstruksi pengetahuannya melalui tahap orientasi, pengungkapan ide, tantangan dan restrukturisasi, penerapan, dan memeriksa kembali.

5. KAM adalah kemampuan yang dimiliki siswa sebelum diberikan

pembelajaran (perlakuan). Pemberian tes KAM dimaksudkan untuk pengelompokan siswa berdasarkan kategori KAM, yakni kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Kemampuan ini diukur melalui soal-soal yang diadopsi dari soal ulangan beberapa buku matematika SMA kelas X yang sudah dipelajari dan sebagian tesnya (memahami konsep fungsi, menggambar grafik fungsi kuadrat, menggunakan sifat dan aturan tentang persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, merancang model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan/atau fungsi kuadrat, dan menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan/atau fungsi kuadrat dan penafsirannya) merupakan prasyarat untuk mempelajari materi sistem persamaan linier (SPL) dan pertidaksamaan satu variabel (PtSV).


(6)