Komunikasi LINTAS Budaya dan Komunikasi

Komunikasi LINTAS Budaya dan Komunikasi ANTAR Budaya

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dan untuk mewujudkan itu semua diperlukan komunikasi yang baik.

Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di kalangan masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah indonesia hingga Indonesia disebut – sebut sebagai negara seribu pulau. Hal ini patutlah membuat kita sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. Akan tetapi pada Kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma-norma) yang berlaku dari suatu daerah.

Oleh karena itu, disini manfaatnya kita perlu belajar mengenai bagaimana cara berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan lintas bangsa, lintas bangsa disini yang dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara indonesia misalnya (Cina, Jepang, Inggris, Amerika, dan negara lainya). Dalam makalah ini akan dibahasnya mengenai: perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dengan Komunikasi Antar Budaya, Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya, serta Komunikasi Verbal dan Non Verbal.

BAB II

ISI

Perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunikasi Antar Budaya

Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (E. B Taylor). Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang tersebut menyandi pessan, makna yang ia miliki untuk pesan, serta kondisi – kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.[1]

Komunikasi Antar Budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya (selanjutnya disingkat KAB). Jadi pada dasarnya komunikasi antar budaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya melalu verbal ataupun nonverbal.[2]

Sementara itu Komunikasi lintas budaya / KLB (cross-cultural communication) secara tradisional membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-budaya berbeda. Contoh bagaimana gaya komunikasi pria dalam budaya Amerika dan budaya Indonesia. Tetapi lambat laun KAB dan KLB sering dipertukarkan. Secara konvensional KAB lebih luas dan lebih komprehensif daripada KLB.[3]

Berikut perbedaan – perbedaan Komunikasi Antar Budaya dan Komunikasi Lintas Budaya.

No.

Komunikasi Lintas Budaya

Komunikasi Antar Budaya

1

Awalnya diartikan sebagai proses mempelajari komunikasi di antara individu maupun kelompok suku bangsa dan ras yang berbeda negara. Karena pasti beda negara pasti beda kebudayaan.

Komunikiasi antarpribadi yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam suku bangsa yang sama.

2

Menekankan perbandingan kebudayaan

Menekankan interaksi yang terjadi antar pribadi yang berbeda latar belakang kebudayaan

Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya

Pada dasarnya pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah symbol dan sign (tanda). Kita berbicara sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna terhadap objek. Keunikan kualitas tanda terletak pada hubungan ‘satu persatu’, hubungan itu dapat diartikan bahwa tanda memberikan makna yang sama bagi semua orang yang menggunakannya. Jadi, setiap tanda berhubungan langsung dengan objeknya, apalagi semua orang memberikan makna yang sama atas tanda tersebut sebagai hasil konvensi. Tanda, langsung mewakili sebuah realitas. Kalau Anda mengendarai mobil dan berhadapan dengan tanda lalu lintas maka tanda itu berfungsi memerintah atau mewajibkan, melarang, dan memberikan informasi kepada anda dan setelah melihat tanda itu anda langsung mengetahui apa yang harus dilakukan.

Simbol berasal dari bahasa Latin symbolycum (semula dari bahasa Yunani sumbolon, yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah symbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh symbol. Cincin merupakan symbol perkawinan, bendera merupakan simbol suatu Negara, jilbab adalah simbol bagi wanita muslim dan sebagainya.[4]

Bahasa adalah alat yang dapat mengembangkan cara manusia hidup, berfikir, bepengetahuan, menyusun konsep tentang duniannya dengan menungkapkannya secara lisan maupu tulisan (Alo Liliweri).[5]

Simbol dan bahasa memiliki peran yang amat penting dalam komunikasi antar budaya yakni sebagai cerminan budaya itu sendiri dan dapat kita jadikan sebagai karakterisktik budaya tersebut. Dengan simbol dan bahasa pula kita dapat memahami budaya tersebut dan kita dapat berkomunikasi antar budaya dengan tepat, akan tetapi karena disetiap daerah memilik simbol dan bahasa yang berbeda membuat kita menjadi bingung jika sebelumnya kita belum pernah mengenal bahkan mengetahui simbol dan bahasa dalam budaya tersebut, hal ini akan menjadi hambatan bagi kita yang baru memasuki wilayah tersebut. Jadi ada baiknya sebelum kita memasuki suatu daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, lakukan lah riset pada kebiasaan – kebiasaan apa saja yang ada didaerah tersebut, bagaimana cara masyarakat menyimbolkan sesuatu hal, dan bahasa apa yang masyarakat pergunakan. Itu akan memudahkan kita untuk dapat berinteraksi dengan mudah di suatu daerah baru.

Komunikasi Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi Antar Budaya

Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. keduanya yakni, bahasa verbal dan non verbal memiliki sifat yang holistic( masing-masing tidak dapat dipisahkan). Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa non verbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal atau dengan kata lain bahsa non verbal sebagai penjelas dari bahasa verbal.

Komunikasi Verbal

Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa.

Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Kemungkinan adanya hubungan antara bahasa dan budaya telah dirumuskan ke dalam suatu hipotesis oleh dua ahli linguistic Amerika, Edward Sapir dan Benjamin L. Whorf yang kemudian dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang sering disebut juga Tesis Whorfian. Menurut Sapir, manusia tidak hidup di pusat keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan oleh bahasanya. Menurut Sapir, “sangat bergantung pada bahasa tertentu yang menjadi medium ekspresi” bagi kelompoknya. Oleh karena itu, dunia riilnya “sebagian besar secara tidak disadari dibangun atas kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok….Dunia-dunia di mana masyarakat-masyarakat hidup adalah dunia berlainan..” Bagi Sapir dan Whorf, bahasa menyediakan suatu jaringan jalan yang berbeda bagi setiap masyarakat yang sebagai akibatnya, memusatkan diri pada aspek-aspek tertentu realitas.

Dalam hipotesis tersebut, perbedaan-perbedaan antara bahasa-bahasa jauh lebih besar daripada sekedar hambatan-hambatan untuk berkomunikasi. Perbedaan-perbedaan itu menyangkut perbedaan-perbedaan dasar dalam pandangan dunia (world view) berbagai bangsa dan dalam apa yang mereka pahami tentang lingkungan. Bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, dan memperlembut.

Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia dengan melekatkan label terhadap apa yang penting atau ada di luar sana. Dan mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-kategori yang mereka anggap tidak penting. Contohnya, orang-orang Eskimo dapat menggunakan kira-kira dua puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan (karena sebagian besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat membedakan salju yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es (karena mereka memiliki empat musim yang berlainan). Orang Indonesia atau negara-negara lain mungkin hanya mengenal satu atau dua kata saja untuk melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat mengidentifikasi nuansa salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi budaya-budaya lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo.

Dalam konteks komunikasi antarbudaya, terdapat hambatan - hambatan dalam interaksi bahasa verbal, yaitu :

a. Polarisasi

Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit, pandai atau bodoh. kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian. Sementara itu banyak juga orang-orang berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut. Seandainya komunikator maupun komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan harus bersikap netral.

b. Orientasi Intensional

Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Misalnya, seorang presenter yang berbicara di layar tv, dan kebetulan wajah presenter tersebut kurang menarik, maka biasanya komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengar apa yang dikatakannya. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional adalah kecenderungan untuk terlebih dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan cirinya.

c. Kekacauan karena keliru menyimpulkan fakta

Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur, kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat “tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan.

d. Potong kompas

Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna makna ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual.

e. Kesemuan

Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada kekeliruan di masa datang.

f. Evaluasi Statis

Bila kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau seseorang, atau kita merumuskan pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang, pernyataan ringkas itu bersifat statis dan tidak berubah. Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar komunikator tersebut berbicara. Sebuah kesalahan pada saat proses komunikasi tidak dapat di balik atau di kembalikan seperti semula dengan kata lain seperti yang dikatakan dalam prinsip komunikasi bersifat irreversible. Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang yang kita bicarakan itu dapat sangat berubah.

g. Indiskriminasi

Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam kategori-kategori tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari suku Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter keras. Atau bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.[6]

Selain itu bahasa dalam proses komunikasi antar budayanya juga memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut:

a. Bahasa digunakan untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu. Kata “Dhalem” yang diucapkan oleh sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi orang Indonesia pada umumnya tahu bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa jawa.

b. Bahasa berfungsi sebagai sarana interaksi sosial. Kita dalam berinteraksi harus tahu bahwa siapa lawan interaksi kita (komunikan), dari tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat memilih menggunakan low contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas memberikan penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa kedokteran. Apa yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan tersampaikan karena bahasa yang digunakan terlalu canggih.

c. Bahasa berfungsi sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi. Bila kita sedang merasakan kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata – kata yang diucapkan akan mengandung makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore, dan sebagainya adalah pelampiasan dari perasaan yang sedang kita alami.

d. Bahasa sebagai sarana manipulatif. Bahasa digunakan untuk mengubah tingkah laku seseorang yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang salah.[7]

Komunikasi Non Verbal

Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.

Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima, jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.

Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial, di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.

Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak penting. Dan beberapa suku Indian Amerika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurang sopanan. Seorang guru sekolah kulit putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat kepadanya.

Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya – apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non verbal tersebut.

Dari penjelasan diatas tentang prilaku komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan beberapa hal penting yang menjadi yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal.

Ciri – ciri tersebut penting untuk diketahui dan dipahami terutama dalam kaitanya dengan komunikasi antar budaya. Beberapa hal tersebut adalah:

a. Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna berbeda diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya mencubit bisa berarti ungkapan rasa sayang dan berarti pula bisa sebagai ungkapan kesal dalam situasi dan kondisi yang berbeda.

b. Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat dari bangsa yang lainnya. Contohnya, pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala berarti menandakan “tidak”, sedangkan untuk bangsa India menggelengkan kepala berarti menandakan setuju “iya”.

c. Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya. Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan berbeda artinya jika pesan verbal yang dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan seseorang menggarukkan kepalanya disertai dengan kata “aduh gatal sekali kepala ini” berarti itu menandakan bahwa ia memang benar sedang merasakan kepalanya gatal. Akan tetapi jika disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu kan diartikan seperti ia sedang bingung.

d. Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebgai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikan. Misalnya, jika seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita harus melihat apakah prilaku nonverbal yang diperlihatkanya mendukung pesan – pesan verbalnya atau tidak. Seperti, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan lain – lainya.

e. Pesan nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi dalam pesan komunikasi ditemui adanya ketidak sesuaian antara pesan verbal dan pesan nonverbal. Misalnya, seseorang mengatkan bahwa dirinya sedang bahagia tetapi rasa bahagia itu tidak diekspresikan dengan prilaku nonverbal untuk mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi wajah yang sendu atau gerakan tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi tersebut dan biasanya dalam kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada prilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh lawan bicara kita.

f. Pesan nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh seluruh tubuh manusia untuk mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya, rasa bahagia tidak hanya diungkapkan oleh ekspresi wajah saja tetapi juga dengan sorotan mata, gerakan tangan, dan sikap tubuh, jadi pemahaman prilaku nonverbal harus dilihat secara menyeluruh.

g. Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan pada nilai atau norma yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Misalnya di Indonesia memegang kepala anak berarti sebagai tanda menyayanginya, sebaliknya di Muangthai itu dianggap sebagai pelanggaran sosial.[8]

Dalam proses komunikasinya, Komunikasi non verbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting, yakni :

a. Repetisi atau mengulangi prilaku verbal

Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal di sini berfungsi untuk memperkuat pemaknaan dari pesan verbal. Misalnya, kepala digelengkan ketika mengatakan ”tidak” atau menganggukkan kepala berbarengan dengan mengatakan “iya”.

b. Memperteguh, menekankan atau melengkapi prilaku verbal

Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal, serta juga menggunakan nya untuk memperkuat warna atau pelengkap yang sudah dinyatakan oleh pesan verbal. Misalnya, ketika kita mendeskripsikan tinggi maka tangan kita di gerakan dengan mengangkat tangan kira-kira setinggi yang maksudkan. Atau saat kita berpidato melakukkan geraka – gerakan tangan serta bahasa tubuh lainya.

c. Nonverbal dapat menggantikan prilaku verbal.

Menggoyangkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke depan (sebagai pengganti kata “tidak”). Atau menunjuk dengan jari telunjuk ke arah ruang depan untuk menjawab pertanyaan dari seorang yang bertanya “dimana si Ali?”.

d. Regulasi (mengatur) prilaku verbal

Ketika kita berada didalam ruang kuliah lalu anda mengenakan jaket, membereskan buku, dan melihat jam tangan anda ketika waktu kuliah hampir habis, sehingga doesen segera menutup kuliahnya.

e. Membantah atau kontradiksi dengan prilaku verbal.

Saat istri menanyakan komentar mengenai baju baru yang dibelinya ke pada suami dan si suami mengatakan “bagus!. Bagus!” tetapi seraya membaca koran. Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi tidak diikuti oleh perilaku nonverbal yang mendukung pesan verbalnya.[9]

Bab III

Kesimpulan

Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan.

Sementara itu peranan simbol dan bahasa dalam komunikasi antar budaya sangat penting, karena tanpa simbol dan bahasa kita akan sulit untuk berkomunikasi bahkan tidak dapat berkomunikasi. Budaya lah yang membentuk simbol dan bahasanya sendiri – sendiri, setiap kelompok memiliki makna dari tiap – tiap simbol dan bahasa yang mereka gunakan. Jika kita ingin efekif dalam berkomunikasi antar budaya maka haruslah menggunakan simbol – simbol serta bahasa – bahasa yang telah disepakati dalam daerah tersebut, dengan kata lain untuk meminimalkan kesalahan berkomunikasi kita harus dapat mempelajari kebudayaan setempat sebelum masuk dalam suatu budaya baru.

Daftar Pustaka

Mulyana.Deddy dan Jalaludin Rakhmat.2006.Komunikasi Antar

Budaya.Bandung:Rosdakarya

Niken.Restaty SM.Modul Komunikasi Antar Budaya.Universitas

Mercu buana

Purwitasari.Ita.Modul Komunikasi Antar Budaya.Universitas

Mercu Buana

Rumondor.Alex H. Modul Komunikasi Antar Budaya.Universitas

Mercu Buana

Riswandi.2009.Ilmu Komunikasi.Yagyakarta:Graha Ilmu

[1] Deddy Mulyana & Jalaludin Rakhmat.Komunikasi Antar Budaya.(Bandung:Rosdakarya.2006).19

[2] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).3

[3] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4

[4] Ira Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4

[5] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.20

[6] Ita Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).9

[7] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.21

[8] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).6.8

[9] Riswandi.Ilmu Komunikasi.(Yogyakarta:Graha Ilmu.2009).70

PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curtural materialisme yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu.
Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak) dan heterogen (aneka ragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Adapun dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Yang kesemuanya dapat diarahkan untuk mewujudkan terciptanya integrasi nasional atau pembangunan nasional.
Pembangunan Nasional tidak lepas dari aspek sosial budaya. Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Berangkat dari pemaparan di atas, maka saya akan mencoba menelusuri tentang: “Bagaimana peran komunikasi lintas budaya dalam pembangunan?”

A. Komunikasi Lintas Budaya
Sebelum terlalu jauh membahas topik ini, ada baiknya dikemukakan bahwa dalam makalah ini ada kalanya bahkan terlalu sering dipersamakan antara “komunikasi lintas budaya” dan “komunikasi antar budaya”. Pernyataan ini perlu agar tidak terjebak terhadap munculnya pertanyaan: “apakah kedua istilah tersebut sama atau tidak?”. Saya tidak ingin mempertentangkan keduanya, sekalipun hal itu memang debatable”, hanya untuk tujuan agar tidak terjadi kekeliruan pembahasan dalam makalah ini.
Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan defenisi mengenai kebudayaan, yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, lain kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan pula bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Komunikasi antar budaya pada dasarnya jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya juga mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsep-konsep tentang “Kebudayaan” dan “Komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikaasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti, apabila disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan khusus tertentu. Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith (1966), seperti yang ditulis oleh Lusiana, menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.” Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat: Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai-nilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur-unsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan daan dipelajari melalui komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebahagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Alo Liliweri, bahwa kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia, dan perilaku itu merupakan hasil persepsi manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola karena tampilannya berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula.

B. Komunikasi Dalam Pembangunan
Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Kedudukan komunikasi dalam konteks pembangunan sebagaimana disebutkan Roy dalam Jayaweera dan Anumagama (1987) adalah “as an integral part of development, and communication as a set of variables instrumental in bringing about development “. Siebert, Peterson dan Schramm (1956) menyatakan bahwa dalam mempelajari sistem komunikasi manusia, seseorang harus memperhatikan beberapa kepercayaan dan asumsi dasar yang dianut suatu masyarakat tentang asal usul manusia, masyarakat dan negara.
Strategi pembangunan menentukan strategi komunikasi, maka makna komunikasi pembangunan pun bergantung pada modal atau paradigma pembangunan yang dipilih oleh suatu negara. Peranan komunikasi pembangunan telah banyak dibicarakan oleh para ahli, pada umumnya mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan. Everett M. Rogers (1985) menyatakan bahwa, secara sederhana pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa. Pada bagian lain Rogers menyatakan bahwa komunikasi merupakan dasar dari perubahan sosial.
Perubahan yang dikehendaki dalam pembangunan tentunya perubahan ke arah yang lebih baik atau lebih maju keadaan sebelumnya. Oleh karena itu peranan komunikasi dalam pembangunan harus dikaitkan dengan arah perubahan tersebut. Artinya kegiatan komunikasi harus mampu mengantisipasi gerak pembangunan.
Dari sekian banyak ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan, Hedebro sebagaimana dikutip Zulkarimen Nasution mendaftar 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, yakni:
1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi.
2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke pertanian, hingga ke keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil (Schram,1967).
3. Media massa dapat bertindak sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan.
4. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile.
5. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata.
6. Komunikasi dapat membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisan dari masa transisi (Rao,1966).
7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat.
8. Komunikasi dapat mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawa pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh informasi akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan tertantang oleh kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai kelebihan dalam hal memiliki informasi.
9. Komunikasi dapat menciptakan rasa kebangsaan sebagai sesuatu yang mengatasi kesetiaan-kesetiaan lokal.
10. Komunikasi dapat membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti mereka sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik (Rao, 1966)
11. Komunikasi memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk
Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating).
Berdasarkan hal di atas dapat dipertegas bahwa point 8 dan 9 terkait langsung dengan peranan komunikasi lintas budaya. Bahkan pada kedua point tersebut tidak boleh meninggalkan peranserta komunikasi lintas budaya dalam pembangunan nasional.
C. Peran Komunikasi Antar Budaya dalam Pembangunan
Dengan mencermati berbagai permasalahan pluralitas dan kondisi masyarakat Indonesia yang rawan disentegrasi nasional, di lapangan dapat kita temui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah. Adapun di antaranya, yaitu:
1. Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya.
2. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi.
3. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral.
4. Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada, maka upaya penyelesaian permasalahan pluralitas budaya sekaligus menunjukkan peran komunikasi antar budaya dalam terwujudnya pembangunan nasional, yakni dapat dilakukan dengan:
1. Membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinnekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat seperti pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.
2. Peningkatan peran media komunikasi, terutama untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan. Salah satu caranya dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
3. Strategi pendidikan yang berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi. Tujuannya adalah agar pembelajar dapat melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya. Di mana mereka memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensitivitas kedaulatan budaya. Harapannya dapat terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, serta dapat tegar menghadapi arus perubahan. Caranya tidak lain, yakni dengan mempertajam sense of belonging, self of integrity, sense of participation dan sense of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut. Pun transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, jadi hal ini bukanlah merupakan revolusi yang dipaksakan.

PENUTUP
Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi, kesulitan untuk mengakui perbedaan yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran komunikasi antar budaya yang dapat menjurus ke disentegrasi nasional. Maka kesadaran akan variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat mendorong hubungan antar kebudayaan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam keekaan harus menjadi kunci penyelesaian masalah.
Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Maka, peran komunikasi antar budaya dalam mewujudkan integrasi nasional harus ditingkatkan. Antara lain melalui sikap saling menghargai antar manusianya, pendidikan, dan pelaksanaan ketertiban peraturan perundang-undangan yang adil dan demokratis.










DAFTAR BACAAN
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia. Grasindo. Jakarta

Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta

Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. LkiS. Yogyakarta.

Sitompul, Mukti. Konsep – Konsep Komunikasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara dalam http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-mukti.pdf

Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang melimpahkan rahmatnya kepada kita serta sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita pada jalan kebenaran yakni agama Islam.

Makalah yang berjudul “Prinsip-prinsip Komunikasi dalam penerapan pada konteks lintas budaya ini merupakan sebuah tugas untuk memenuhi tugas mata kuliah. Yang mana dengan tugas ini beliau dapat mengetahui seberapa besar kemampuan para mahasiswa dalam memahami mata kuliah yang beliau ajarkan.

Agar kami lebih mudah dalam menulis makalah ini, kami berusaha semaksimal mungkin mencari beberapa referensi baik dari buku maupun internet serta mempelajarinya untuk mempermudah dalam penyelesaian makalah ini.

Kami harap makalah ini dapat mengganti semua kekurangan kami saat kuliah dan juga dapat menambah pengetahuan kami walaupun hanya sedikit karena memang itulah batas kemampuan kami. Selain itu kami harap makalah ini juga bermanfaat dan dapat meningkatkan pengetahuan belajar kita tentang Komunikasi Lintas Budaya.

Kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis untuk mengetahui kekurangan dari makalah ini karena penulis masih dalam taraf belajar dan bukanlah manusia yang sempurna.

Surabaya, 10 April 2011

penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adatistiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saatini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah desa dunia´ (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerapkali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal´ dari suatu masyarakat kepada masyarakatlainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma .Pentingnya peranan komunikasi dan budayamaupun sebaliknya.

Dari hal tersebutlah pemakalah dapat merumuskan beberapa permasalahan untuk lebih detail di kaji, adapun rumusanya adalah sebagai berikut

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Hakikat komunikasi lintas budaya ?

2. Sepertiapa Prinsip-prinsip komunikasi pada konteks Lintas Budaya ?

3. Apa maksud dari Prinsip homofili dan heterofili ?

3. Tujuan

1. Untuk mengetahui Hakikat komunikasi

2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip komunikasi pada konteks lintas budaya

3. Untuk memahami maksud dari prinsip homofili dan heterofili

BAB II

PEMBAHASAN

1. Hakikat Komunikasi lintas budaya

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2