Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tifus Abdominalis Di Kota Sibolga Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Epidemiologi Tifus Abdominalis
Definisi epidemiologi dapat diartikan sesuai dengan komponen kata yang
menyusun istilahnya yaitu epi yang artinya atas, demos artinya penduduk dan logos
artinya ilmu. Dengan demikian epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang menimpa/terjadi pada penduduk (Lapau, 2013). Epidemiologi memiliki
cakupan yang luas, yaitu mulai dari mempelajari wabah, penyakit infeksi, penyakit
non infeksi, kekurangan gizi dan kelainan metabolisme. Menurut Mac Mahon, 1970
(dalam Lapau, 2013) epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari kejadian dan
distribusi penyakit berserta determinan atau faktor-faktor yang berhubungan dengan
atau mempengaruhi penyakit tersebut.
2.1.1. Basil Salmonella dan Reservoir
Mikoorganisme penyebab Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella Typhi
dari genus Salmonella. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk basil atau batang, gram
negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria,
bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella Typhi memiliki ukuran
antara 2-4x0,6 µm. Suhu optimum untuk bakteri ini berkembang biak adalah 370C
dengan pH antara 6-8. Bakteri Salmonella Typhi ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di lingkungan seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Reservoir bakteri

Salmonella Typhi adalah manusia yang sedang sakit atau karier. Bakteri Salmonella

Typhi mati pada pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorisasi.
Masa inkubasi Tifus Abdominalis 10-14 hari pada anak, variasi 5-40 hari,
dengan perjalanan penyakit kadang-kadang tidak teratur. Pembiakan bakteri
Salmonella Typhi selama satu malam dalam kaldu, maka akan terjadi kekeruhan
menyeluruh tanpa pembentukan selaput. Koloni bakteri Salmonella Typhi tampak
besar dengan garis tengah 2-3 mm, bulat agak cembung, jernih, licin dan tidak
menyebabkan hemolisis (Kepmenkes RI No. 364, 2006).
2.1.2. Gambaran Epidemiologis Tifus Abdominalis
Penyakit Tifus Abdominalis terdapat di seluruh dunia, terutama di negaranegara berkembang di daerah tropis. Penyakit ini telah ada sejak beberapa abad yang
lalu. Periode Tahun 1607 sampai dengan Tahun 1624 di Kota Jamestown Virginia
Amerika Serikat dilaporkan lebih 6.000 kematian akibat wabah Tifus Abdominalis.
Peperangan di Negara Afrika Selatan akhir abad XIX, Negara Inggris dilaporkan
kehilangan 13.000 serdadu akibat Tifus Abdominalis, padahal kematian akibat perang
itu sendiri hanya 8.000 serdadu. Sampai awal abad XXI ini Tifus Abdominalis masih
ada, diperkirakan 17 juta kasus pertahun, dengan kematian sekitar 600.000 kasus.
Case Fatality Rate


(CFR) berkisar 10.000/100.000 dan menurun menjadi

1.000/100.000 bila mendapat pengobatan yang adekuat.
Di Indonesia, Tifus Abdominalis jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat
endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata
insiden Tifus Abdominalis pada pria dan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada

usia remaja dan usia dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa
insiden Tifus Abdominalis di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per
100.000 penduduk. Kasus Tifus Abdominalis di rumah sakit besar di Indonesia,
menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata
500/100.000 penduduk. Case Fatality Rate

(CFR) diperkirakan sekitar 600-

5.000/100.000 sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta
tingginya biaya pengobatan.
Tifus Abdominalis masih ada di gegara yang telah maju, bersifat sporadik
terutama yang berhubungan dengan kegiatan wisata ke negara-negara sedang
berkembang. Insiden Tifus Abdominalis Amerika Serikat tidak berbeda antara lakilaki dan wanita. Secara umum insiden Tifus Abdominalis dilaporkan 75% didapatkan

pada umur kurang dari 30 tahun. Pada usia anak-anak biasanya diatas 1 tahun dan
terbanyak diatas 5 tahun dengan manifestasi klinik lebih ringan (Kepmenkes RI No.
364, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati dkk (2012) karakteristik tersangka
Demam Tifoid Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
Periode Tahun 2010 diperoleh hasil bahwa tersangka Tifus Abdominalis lebih banyak
ditemukan pada rentang usia 12-30 tahun (50,76%), terbanyak perempuan (60%), dan
tersebar merata di Kota Palembang. Gambaran klinik penderita Tifus Abdominalis
yang paling banyak ditemui adalah demam (100%), mual (58,46%), muntah
(50,31%), anoreksia (32,31%), nyeri perut (35,38%), batuk (32,31%), nyeri kepala
(29,23%), lidah kotor (27,69%), diare (18,46%) dan konstipasi (12,31%). Rata-rata

lama demam penderita Tifus Abdominalis adalah 12,28 hari, waktu rata-rata
munculnya gejala demam sampai pasien masuk Rumah Sakit adalah 7 hari. Rata-rata
demam penderita Tifus Abdominalis turun pada hari ke 5,50 setelah pasien masuk
Rumah Sakit. Rata-rata lama rawat inap penderita Tifus Abdominalis adalah 7,91
hari. Gambaran hasil pemeriksaan hematologi penderita Tifus Abdominalis diperoleh
Anemia 61,54%, Leukopeni 52,31%, Leukositosis 10,77%, Trombositopeni 46,16,
Aneosinofilia 47,69%, Limfositopeni 1,54% dan Limfositosis 44,62%. Hasil tes
Widal penderita Tifus Abdominalis paling banyak Typhi O 1/320 (67,70%), dan

Typhi H 1/320 (61,53%). Obat-obat antibiotika yang paling banyak digunakan
penderita Tifus Abdominalis adalah Seftriakson (30,77%) dan Kloramfenikol
(27,69%).
2.1.3. Cara Penularan Tifus Abdominalis dan Faktor-faktor yang Berperan
Bakteri Salmonella Typhi Salmonella menular ke manusia melalui makanan
dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia dapat tercemar oleh
komponen feses atau urin dari pengidap Tifus Abdominalis. Beberapa kondisi
kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan penyakit Tifus Abdominalis
adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
1.

Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa.
Budaya cuci tangan yang tidak terbiasa tampak jelas pada anak-anak, penyaji
makanan serta pengasuh anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhman, dkk
(2009) tentang faktor–faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian demam
tifoid pada orang dewasa di RSUD dr H. Soemarno Sosroatmodjo Kabupaten

Bulungan Provinsi Kalimantan Timur diperoleh bahwa faktor resiko kejadian
Tifus Abdominalis adalah kebiasaan mencuci tangan pakai sabun sebelum
makan, dimana diketahui bahwa kebiasaan tidak mencuci tangan pakai sabun

sebelum makan, risiko terkena demam tifoid meningkat 2,625 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang dewasa yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan
pakai sabun.
2.

Higiene makanan dan minuman yang rendah
Higiene makanan dan minuman yang rendah merupakan faktor paling berperan
pada penularan Tifus Abdominalis. Banyak sekali contoh untuk ini, diantaranya :
makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang
tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak
dan sebagainya. Menurut Rakhman, dkk (2009) kebiasaan jajan makanan di luar
rumah berisiko terkena Tifus Abdominalis

meningkat 1,17 kali lebih besar

dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak pernah jajan makanan di luar
penyediaan rumah.
3.


Sanitasi lingkungan kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan
Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa
determinan kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah variabel lingkungan
yaitu adanya saluran pembuangan limbah dan mempunyai tempat sampah diluar

rumah masing-masing Odds Ratio (OR) untuk terkena Tifus Abdominalis adalah
1,180 dan 1,098.
4.

Penyediaan air bersih yang tidak memadai
Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa
salah satu determinan kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah
penyediaan air bersih. Kualitas air yang buruk mempunyai peluang sebesar 1,401
untuk terkena Tifus Abdominalis.

5.

Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
Menurut Rakhman, dkk (2009) keluarga yang tidak mempunyai jamban

mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis 1,1 kali lebih besar dibandingkan
dengan keluarga yang mempunyai jamban.

6.

Pasien atau karier Tifus Abdominalis yang tidak diobati dengan sempurna
Penyakit Tifus Abdominalis, meskipun sudah dinyatakan sembuh, penderita
belum dikatakan sembuh total karena mereka masih dapat menularkan
penyakitnya kepada orang lain (bersifat carrier). Penderita dengan jenis kelamin
perempuan kemungkinan untuk menjadi carrier 3 kali lebih besar dibandingkan
laki-laki. Menurut Rakhman, dkk (2009) adanya riwayat Tifus Abdominalis
mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis meningkat 2,244 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang yang anggota keluarganya tidak mempunyai riwayat
Tifus Abdominalis.

2.2. Konsep Medik Tifus Abdominalis
2.2.1. Pengertian Tifus Abdominalis
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang terjadi di selaput
lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerang jaringan di seluruh
tubuh. Aspek paling penting dari infeksi ini adalah kemungkinan terjadinya perforasi

usus karena satu kali organisme ini memasuki perut pasti timbul Peritonitis yang
mengganas, bila ini terjadi progonosisnya sangat jelek. Komplikasi lain ialah
pendarahan per anus dan infeksi terlokalisasi (Meningitis, dan lain lain) (Tambayong,
2000). Menurut Ochiai, R Leon (2008) Tifus Abdominalis merupakan infeksi
sistemik yang disebabkan oleh Salmenella Enterica serotipe Typhi (Salmonella
Tyhpi).
2.2.2. Etiologi Tifus Abdominalis
Etiologi Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella. Bakteri Salmonella
adalah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak
membentuk spora. Bakteri Salmonella Tpypi mempunyai 3 antigen penting untuk
pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O (Somatik), antigen H (flagella) dan
antigen K (selaput) (Kunoli, 2013).
2.2.3. Patofisiologi Tifus Abdominalis
Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi urin/feces dari penderita tifus akut dan dari para pembawa
kuman/carrier. Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui Finger, Flyes,

Fomites, dan Fluids (Empat F) ke makanan, minuman, buah dan sayuran yang sering
dimakan tanpa dicuci/dimasak (Kunoli, 2013).
2.2.4. Gejala Klinik Tifus Abdominalis

Kumpulan gejala-gejala klinis Tifus Abdominalis disebut dengan sindrom
Tifus Abdominalis. Beberapa gejala klinis yang sering pada Tifus Abdominalis
diantaranya adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.

Demam
Gejala utama Tifus Abdominalis adalah Demam. Pada awal sakit, demam
kebanyakan samar-samar saja, selajutnya suhu tubuh sering turun naik. Demam
pada pagi hari lebih rendah dibandingkan sore dan malam (demam intermitten).
Intensitas demam dari hari ke hari makin tinggi yang disertai gejala lain seperti
sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal,
insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam
makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila kondisi
pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat
normal kembali pada akhir minggu ke 3. Demam intermitten pada pasein Tifus
Abdominalis tidak selalu ada. Hal ini bias terjadi karena intervensi pengobatan
atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita,
demam tinggi dapat menimbulkan kejang.

b.


Gangguan saluran pencernaan
Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap
karena demam yang lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah, lidah

kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan dan
tremor (coated tongue atau selaput putih), Pada umumnya penderita Tifus
Abdominalis sering mengeluh sakit perut, terutama pada regio epigastric (nyeri
ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sakit, sering terjadi meteorismus
dan konstipasi dan pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
c.

Gangguan kesadaran
Pada penderita Tifus Abdominalis umumnya terdapat gangguan kesadaran yang
berupa penurunan kesadaran ringan. Penderita Tifus Abdominalis tampak apatis
dengan kesadaran seperti berkabut. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita
Tifus Abdominalis sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita Tifus Abdominalis toksik,
gejala delirium lebih menonjol.


d.

Hepatosplenomegali
Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan pembesaran hati dan atau
limpa. Organ hati terasa kenyal dan terdapat nyeri tekan.

e.

Bradikardia relatif dan gejala lain
Pada penderita Tifus Abdominalis bradikardi relatif tidak sering ditemukan,
mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif
adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi
nadi. Patokan yang paling sering digunakan adalah bahwa setiap peningkatan
suhu tubuh 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada Tifus Abdominalis adalah rose

spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi. Rose spot pada anak sangat jarang
ditemukan malahan lebih sering epistaksis.
2.2.5. Penularan Tifus Abdominalis
Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi oleh tinja dan urine dari penderita atau carrier. Di beberapa
negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran
manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang
tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan
memindahkan mikroogranisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan,
mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif,
dimana dosisnya lebih rendah pada Tifus Abdominalis dibandingkan dengan
Paratifoid (Kunoli, 2013).
2.2.6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi ;
masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata 8-14
hari. Untuk Gastroenteris yang disebabkan oleh Paratifoid masa inkubasi berkisar
antara 1-10 hari (Kunoli, 2013).

2.2.7. Komplikasi Tifus Abdominalis
Komplikasi Tifus Abdominalis sering timbul pada minggu ke 2 atau lebih,
mulai dari komplikasi ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi
Tifus Abdominalis yang sering terjadi diantaranya (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.

Tifoid Toksik (Tifoid Enselofapati)

b.

Syok Septik
1) Perdarahan dan Perforasi Intestinal
2) Peritonitis
3) Hepatitis Tifosa
4) Pankreatitis Tifosa
5) Pneumonia
6) Komplikasi lain

2.2.8. Gambaran Laboratorium Tifus Abdominalis
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pasien Tifus Abdominalis
adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) :
a.

Gambaran darah tepi

b.

Pemeriksaan bakteriologis
1) Jenis pemeriksaan menurut biakan spesimen yaitu biakan darah, biakan
bekuan darah, biakan tinja, biakan cairan empedu, dan biakan air kemih.
2) Biakan Salmonella Typhi
3) Serologis Widal

Tes serologi Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang
telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap
komponen basil Salmonella di dalam darah manusia (saat sakit, karier atau
pasca vaksinasi). Prinsip tes serologi Widal adalah terjadinya reaksi aglutinasi
antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yaitu aglutinin O dan H.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai
puncaknya pada minggu ke 3 sampai ke 5. Aglutinin O dapat bertahan sampai
lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6
dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.
Interpretasi hasil Widal :
a) Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Masing-masing daerah
tidak memiliki patokan nilai titer berbeda, tergantung endemisitas daerah
masing-masing dan tergantung hasil penelitiannya.
b) Batas titer yang dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian pada satu daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O
1/320 sudah menyokong kuat diagnosis Tifus Abdominalis.
c) Reaksi Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis Tifus Abdominalis
d) Diagnosis Tifus Abdominalis dianggap diagnosis pasti adalah bila
didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
reaksi Widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik negatif palsu
atau positif palsu. Hasil negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan

antibodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi
buruk,

mengkonsumsi

obat-obat

imunosupresif,

penyakit

Agammaglobulinemia, Leukemia, Karsinoma lanjut, dan lain-lain. Hasil
test positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi,
mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang,
dan lain-lain.
4) Mencari kuman pembawa Tifus Abdominalis
5) Pemeriksaan lain : PCR (Polymerase Chain Reaction), Typhi Dot IEA
2.2.9. Pengobatan Tifus Abdominalis
Pengobatan

Tifus

Abdominalis

dilakukan

dengan

prinsip

triologi

penatalaksanaan (Widoyono, 2011) yaitu :
1. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab Tifus
Abdominalis. Obat-obatan yang sering digunakan adalah :
a. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari, dibagi 4 dosis selama 14 hari
b. Pemberian Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali
c. Pemberian Kotrimoksazol 480 mg, 2x2 tablet selama 14 hari
d. Sefalosporin generasi II dan III (Ciprofloxacin 2x500 mg) selama 6 hari;
Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; Ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari).
2. Istirahat dan perawatan
Istirahat dan perawatan berguna untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita
sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari

Tifus Abdominalis. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan
penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan
perlu dijaga karena ketidak berdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil.
3. Terapi penunjang
Terapi penunjang dilakukan agar tidak memperberat kerja usus. Pada tahap awal
penderita Tifus Abdominalis diberi makanan berupa bubur saring, selanjutnya
dapat diberi makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan
kemampuan

dan

kondisinya.

Pemberian

zat

gizi

dan

mineral

perlu

dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan pasien.
2.2.10. Pencegahan dan Pemberantasan Tifus Abdominalis
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tidak sakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor
risikonya. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara :
a.

Imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang
dilemahkan
Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di Amerika Serikat (kecuali pada kelompok
yang beresiko tinggi), imunisasi pencegahan Tifus Abdominalis termasuk dalam
program pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi,
program ini masih belum diberikan secara gratis karena keterbatasan sumber
daya pemerintah. Oleh sebab itu, orangtua harus membayar biaya imunisasi
untuk anaknya.

Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
1) Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel Salmonella Typhi yang sudah mati. Setiap cc vaksin
mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah
0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2
kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat
perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi.
2) Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung Salmonella Typhi strain Ty21a
hidup. Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul
setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa
memberikan perlindungan selama 5 tahun.
3) Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin
diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intra muscular pada
usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama
perlindungan sekitar 60-70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena
relatif paling aman.
Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang kontak dengan penderita
seperti anggota keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid
dianggap kurang bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang
terpapar oleh carrier. Vaksin oral tifoid bisa juga memberi perlindungan

parsial terhadap demam Paratifoid, karena sampai saat ini belum ditemukan
vaksin yang efektif untuk demam Paratifoid.
b.

Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar menerapkan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan
setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan
fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini penting terutama bagi mereka
yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang
pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak.

c.

Penyediaan sumber air minum yang baik
Sumber air perlu dilindungi dari zat yang bias mengkontaminasi. Lakukan
pemurnian dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada
masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari
kemungkinan terjadinya pencemaran (back flow) antara sistem pembuangan
kotoron (sewer system) dengan sistem distribusi air.

d.

Pemberantasan lalat dengan menghilangkan tempat berkembangbiaknya dengan
sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik (Kunoli, 2013).

e.

Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan Tifus
Abdominalis. Merebus air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat
membantu. Sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi,
berguna untuk mencegah penyakit. Secara lebih detail, strategi pencegahan Tifus
Abdominalis mencakup hal-hal berikut (Widoyono, 2011) :

f.

Penyediaan jamban yang sehat

g.

Mengonsumsi makanan sehat untuk meningkatkan daya tahan tubuh

h.

Pembuangan kotoran pada jamban yang baik dan yang tidak terjangkau oleh
lalat.

i.
2.

Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menemukan kasus

secara dini, pengobatan bagi penderita dengan tepat serta mengurangi akibat-akibat
yang lebih serius. Pencegahan sekunder dapat berupa:
a.

Pencarian

penderita

maupun

carrier

secara

dini

melalui

peningkatan

usahaSurveilans Tifus abdominalis.
b.

Perawatan Penderita Tifus abdominalis perlu dirawat yang bertujuan untuk
isolasi dan pengobatan. Penderita harus tetap berbaring sampa i minimal 17 hari
demam atau kurang lebih 14 hari. Keadaan ini sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Penderita dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya
harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil pada penderita
Tifus abdominalis perlu diperhatikan karena dapat terjadi konstipasi dan retensi
air kemih.

c.

Diet
Penderita Tifus abdominalis sebaiknya mengonsumsi makanan yang cukup
cairan, berkalori, tinggi protein, lembut dan mudah dicerna seperti bubur nasi.
Pemberian makanan tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi
perdarahan usus dan perforasi usus karena usus perlu diistirahatkan. Tidak
dianjurkan mengonsumsi bahan makanan yang mengandung banyak serat dan
mengahasilkan banyak gas. Pemberian susu dilakukan 2 kali sehari.
Jenismakanan untuk penderita dengan kesadaran menurun adalah makanan cair
yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Untuk penderita dengan komplikasi
perforasi usus, tidak dianjurkan makanan yang dapat mengiritasi lambung seperti
makanan pedas dan asam (Kepmenkes RI No. 364, 2006).

3.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya untuk mengurangi keparahan atau

komplikasi penyakit yang sudah terjadi. Apabila penderita Tifus abdominalis telah
dinyatakaan sembuh, sebaiknya tetap menjaga kesehatan dan kebersihan sehingga
daya tahan tubuh dapat pulih kembali dan terhindar dari infeksi ulang Tifus
abdominalis. Disamping itu, penderita tersebut harus melakukan pemeriksaan
serologis sebulan sekali untuk mengetahui keberadaan Salmonella Typhi di dalam
tubuh (Kepmenkes RI No. 364, 2006).

2.3. Landasan Teori
Segitiga epidemiologi (trias epidemiologi) merupakan konsep dasar
epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama
yang berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Segitiga ini
merupakan gambaran interaksi antara tiga faktor yakni host (tuan rumah = pejamu),
agent (agen = faktor penyebab), dan environment (lingkungan). Timbulnya penyakit
berkaitan dengan terjadinya ketidakseimbangan interaksi antara ketiga faktor ini.
Keterkatian antara pejamu, agen, dan lingkungan merupakan suatu kesatuan yang
dinamis yang berada dalam keseimbangan (equilibrium) pada seorang individu yang
sehat. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan segitiga inilah yang
menimbulkan status sakit (Bustan, 2012).
Gangguan keseimbangan yang memungkinkan terjadinya penyakit berkaitan
dengan :
a.

Tersedianya pejamu yang rentan (susceptible host)

b.

Keterpaparan oleh faktor agen yang potensial beresiko (faktor resiko)

c.

Keadaan perubahan lingkungan yang mendukung keterpaparan oleh agen dan
pejamu yang makin rentan.

1.

Faktor pejamu (host = tuan rumah)
Pejamu adalah manusia atau mahluk hidup lainnya, termasuk burung dan

arthropoda, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit.
Faktor pejamu yang berkaitan dengan kejadian penyakit dapat berupa : umur, jenis
kelamin, ras, etnik, anatomi tubuh, dan status gizi. Faktor pejamu adalah :

a. Genetik : misalnya sickle cell disease
b. Umur : ada kecenderungan penyakit menyerang umur tertentu
c. Jenis kelamin (gender) : ditemukan penyakit yang terjadi lebih banyak atau hanya
mungkin pada wanita
d. Suku/ras/warna kulit : dapat ditemukan perbedaan antara ras kulit putih (white)
dengan orang kulit hitam (black) di Amerika.
e. Keadaan fisiologi tubuh : kelelahan, kehamilan, pubertas, stres, keadaan gizi
f. Keadaan imunologis : kekebalan yang diperoleh karena adanya infeksi
sebelumnya, memperoleh antibodi dari ibu, atau pemberian kekebalan buatan
(vaksinasi)
g. Tingkah laku (behavior) : gaya hidup (life style), personal hygiene, hubungan
antar pribadi, dan rekreasi.
2.

Faktor agen
Agen (faktor penyebab) adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman

infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Pada beberapa penyakit
agen ini adalah sendiri (single), misalnya pada penyakit-penyakit infeksi, sedangkan
pada penyakit yang lain bisa terdiri dari beberapa agen yang bekerjasama misalnya
pada penyakit kanker. Agen dapat berupa unsur biologis, unsur nutrisi, unsur kimiawi
dan unsur fisika. Faktor agen adalah :
a. Faktor nutrisi (gizi) : bisa dalam bentuk kelebihan gizi misalnyua tinggi kadar
kolesterol, atau kekurangan gizi baik lemak, protein dan vitamin

b. Penyebab kimiawi : misalnya zat-zat beracun (karbon monoksida), asbes, cobalt,
atau zat alergen.
c. Penyebab fisik : misalnya radiasi dan trauma mekanik (pukulan, tabrakan)
d. Penyebab biologis :
1) Metazoa : Cacing Tambang, Cacing Gelang, Schistosomiasis
2) Protozoa : Amoeba, Malaria
3) Bakteri : Sifilis, Typhoid, Pneumonia, Tuberculosis
4) Fungi (jamur) : Histoplasmosis, Taenia Pedis
5) Rickettsia : Rocky Mountain Spotted Fever
6) Virus : Campak, Cacar (Smallfox), Poliomyelitis
Konsep faktor agen ini secara klasik memang hanya mendefinisikan sebagai
organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan penyakit. Pengertian
agen ini tentunya hanya sebatas penyebab untuk penyakit infeksi. Dalam pengertian
klinik faktor agen ini sama penggunaannya dengan isitlah etiologi. Dari segi
epidemiologi terjadi perkembangan konsep faktor agen ini dengan mempergunakan
terminologi faktor resiko (risk factor). Istilah faktor resiko mencakup seluruh faktor
yang dapat memberikan kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit.
Di dalamnya termasuk faktor gaya hidup dan bukan mikroorganisme saja seperti
gangguan gizi, ekonomi (kemiskinan) dan lain-lain. Selain itu penggunaan faktor
resiko ini juga tidak hanya dipakai dalam hal penyakit sebagai outcome atau
akibatnya, tetapi mencakup kematian dan seluruh masalah kesehatan yang sedang
diamati. Contoh faktor resiko yang bersifat tingkah laku tidak sehat (unhealthy
behavior) adalah : minum alkohol, menggunakan marijuana/cocain (drug abuse),

merokok, bertengkar fisik (physical fight), tidak menggunakan tali pengaman (seat
belt) dalam mengendarai mobil, kurang olahraga (kurang dari 3 kali seminggu),
kurang mengkonsumsi buah/sayuran, dan sexual intercourse prakawin.
3.

Faktor lingkungan
Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa

lingkungan fisik, biologis dan sosial. Faktor lingkungan meliputi :
a. Lingkungan fisik : geologi, iklim dan geografi
b. Lingkungan biologis : misalnya kepadatan penduduk, flora (sebagai sumber
bahan makanan) dan fauna (sebagai sumber protein).
c. Lingkungan sosial : berupa migrasi/urbanisasi, lingkungan kerja, keadaan
perumahan, keadaan sosial masyarakat (kekacauan, bencana alam, perang, banjir).
Agen

Tifus
abdominalis

Pejamu

Lingkungan

Gambar 2.1. Trias Epidemiologi pada Kejadian Tifus Abdominalis

2.4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan faktor-faktor yang diduga
berpengaruh terhadap kejadian Tifus Abdominalis di Kota Sibolga (Gambar 2.2)
Variabel Independen
Faktor-faktor yang mempengaruhi :
1. Mencuci tangan
2. Higiene makanan dan minuman
3. Penyediaan air bersih
4. Penyediaan jamban keluarga
5. Sarana pembuangan air limbah
6. Sarana pembuangan sampah/tempat sampah
7. Kebiasaan makan di luar rumah

Variabel Dependen

Kejadian Tifus
Abdominalis

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian