Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang Mempekerjakan Seseorang Di Kapal Tanpa Dokumen Yang Dipersyaratkan (Studi Putusan PN Raba Bima Nomor 96 Pid.B 2015 Pn.Rbi) Chapter III IV

50

BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MEMPEKERJAKAN
SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN
A. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana
1. Pertanggungjawaban
Masalah pertanggungjawaban dan khususnya pertanggungjawaban pidana
mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Dapat
dipermasalahkan antara lain:
a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak? antara lain
ditentukan oleh indeterminisme dan determinisme.
Disini dipertanyakan, sebenarnya manusia itu mempunyai kebebasan untuk
menentukan lehendaknya atau tidak. Kehendak merupakan aktivitas batin manusia
yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggungjawaban manusia atau
perbuatannya. Persoalan ini muncul sebagai akibat pertentangan pendapat antara
klasik (dan neo klasik) dengan aliran modern. Aliran klasik mengutamakan
kebebasan individu dengan konsekuensi diterimanya kehendak bebas dari individu.
Pendirian mengenai kebebasan individu ini diragukan oleh aliran modern yang
membuktikan melalui psikilogi dan psikiatri bahwa tidap setiap perbuatan manusia
itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, misalnya saja pada orang gila.

Malahan Bonger yang mengikuti aliran lingkungan/millieu menyatakan
bahwa sebenarnya semua kehendak dan perbuatan manusia itu ditentukan oleh
lingkungan di sekitarnya.

Universitas Sumatera Utara

51

Aliran klasik menganut paham indeterminisme, yang mengatakan bahwa
manusia itu dapat menentukan kehendaknya dengan bebas, meskipun sedikit banyak
juga ada faktor lain yang memengaruhi penentuan kehendaknya, yaitu keadaan
pribadi dan lingkungannya, tetapi pada dasarnya manusia mempunyai kehendak yang
bebas.
Sebaliknya aliran modern menganut paham determinisme, dan mengatakan
bahwamanusia sama sekali tidak dapat menentukan kehendaknya secara bebas.
Kehendak manusia untuk melakukan sesuatu ditentukan oleh beberapa faktor, antara
lain yang terpenting adalah faktor lingkungan dan pribadi. Dalam menentukan
kehendaknya manusia tunduk kepada hukum sebab akibat, yaitu faktor-faktor
penyebab yang berada di luar kekuasaan manusia. Faktor pribadi pun tunduk kepada
faktor keturunan dan selanjutnya di dalam hidupnya faktor lingkungan memegang

peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, secara ekstrim beberapa ahli penganut
determinisme tidak mengakui adanya “kesalahan” dan karena itu manusia “tidak
boleh dihukum”.
Soedarto menengahinya dengan kompromi dan mengatakan bahwa dalam hal
paham determinisme, walaupun manusia tidak mempunyai kehendak bebas, bukan
berarti

bahwa

orang

yang

melakukan

tindak

pidana

tidak


dapat

dipertanggungjawabkan. Ia masih dapat dipertanggungjawabkan, dan menerima
reaksi untuk perbuatan yang dilakukannya, tetapi reaksi itu berwujud tindakan untuk
ketertiban masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti “penderitaan sebagai sebuah

Universitas Sumatera Utara

52

kesalahannya”. Demikian pula, Sassen berpendapat bahwa hakim tidak menjatuhkan
pidana, tetapi mengambil tindakan yang memaksanya agar tunduk pada tata tertib
masyarakat. Menurut dia, hukum pidana itu sebenarnya adalah suatu “hukum
pertahanan sosial”.
Pada saat ini terjadi kompromi yang dikenal dengan teori modern yang ingin
melaksanakan jalan tengah, yaitu berpegang kepada paham determinisme, tetapi tetap
menerima kesalahan sebagai dasar hukum pidana.

b. Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang mampu:atau tidak

mampu.
1) Kemampuan bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan yang
tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain. Istilahnya dalam bahasa
Belanda adalah “toerekeningsvatbaar”, tetapi Pompe lebih suka menggunakan
“toerkenbarr”. Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang
dimaksud di dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum
pidana. Walaupun sebenarnya menurut etika setiap orang bertanggungjawab atas
segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana yang menjadi pokok pemasalahan
hanyalah tingkah laku yang mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana.
Tentang kemampuan bertanggungjawab ini terdapat beberapa batasan yang
dikemukakan pleh para pakar, antara lain:
a) Simons

Universitas Sumatera Utara

53

“Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan psikis
sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau secara

umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan" selanjutnya dikatakannya,
seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab apabila:
(a) mampu mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum;
(b) mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.
Gambaran Simons ini menunjukkan bahwa “toerekeningsvatbaar heid”
adalah ”kemampuan”.
b) Van Hamel
Kemampuan bertanggungjawab adalah keadaan normalitas kejiwaan dan
kematangan yang membawa tiga kemampuam yaitu:
(a) mengerti akibat/nyata dari perbuatan sendiri;
(b) menyadari bahwa perbuatannya tidak diperbolehkan oleh masyarakat
(bertentangan dengan ketertiban masyarakat);
(c) mampu menentukan kehendaknya untuk berbuat.
c) Pompe
Batasannya memuat beberapa unsur tentang pengertian “toerekeningsvatbaar
heid” adalah:
(a) kemampuan berpikir pada pelaku yang memungkinkan pelaku menguasai
pikirannya dan menentukan kehendaknya;


Universitas Sumatera Utara

54

(b) pelaku dapat mengerti makna dan akibat tingkah lakunya;
(c) pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang
makna dan akibat tingkah lakunya).
Pompe tidak mau menggunakan kriteria “normalitas”, karena pengertian
normal itu kabur, tidak dapat ditentukan secara kuantitatif. Tetapi sebenarnya
pengertian “kemampuan bertanggungjawab” sendiri bukankah juga tidak memiliki
batas yang jelas?
d) Memorie van Toelichting (M.v.T.)
Juga tidak menjelaskan tentang “toerekeningsvatbaar heid": tetapi terdapat
penjelasan secara negatif ialah tentang “tidak mampu bertanggung jawab”. Dikatakan
bahwa tidak mampu bertanggung jawab pada pelaku ada bilamana:
(a) Pelaku tidak diberi kebebasan untuk memilih antara berbuai atau tidak
berbuat apa yang oleh Undang-Undang dilarangatau diharuskan, dengan
perkataan lain dalam hal perbuatan yang terpaksa.
(b) Pelaku dalam keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat

perbuatannya itu, dengan perkataan lain adanya keadaan payologis seperti
gila, sesat, dan sebagainya.
e) Soedarto

Universitas Sumatera Utara

55

Definisi atau batasan tentang kemampuan bertanggungjawab itu ada
manfaatnya. Tetapi setiap kali dalam kejadian konkret dalam praktik peradilan,
menilai seorang terdakwa dengan ukuran tersebut di atas tidaklah mudah.
Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya mampu
bertanggung jawab, ia mampu menilai dengan pikiran dan perasaannya bahwa
perbuatannya itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh Undang-undang, dan ia
seharusnya berbuat seperti pikiran dan perasaannya itu.
Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap mampu bertanggungjawab, kecuali
dinyatakan sebaliknya. Oleh karena itulah, maka perumusan dalam Pasal 44 KUHP
dinyatakan secara negatif.
Ketentuan Undang-undang tidak memuat tentang apa yang dimaksud dengan
“tidak mampu bertanggung jawab”, yang ada adalah alasan yang terdapat pada pelaku

tindak

pidana

yang

mengakibatkan

perbuatannya

itu

tidak

dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya. Alasan tersebut berupa keadaan pribadi secara
biologis, dan dirumuskan dengan perkataan “jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
atau terganggu karena penyakitnya”. (Pasal 44 KUHP).
Masih ada yang perlu dipertanyakan sekarang, yaitu: Apakah kemampuan

bertanggung jawab itu merupakan unsur tindak pidana?
Kita masih ingat adanya pandangan monistis dan dualistis mengenai tindak
pidana. Perbuatan telah memenuhi rumusan Undang-undang pidana, maka perbuatan
itu merupakan tindak pidana, baik dilakukan oleh orang yang mampu atau tidak

Universitas Sumatera Utara

56

mampu bertanggungjawab. Sebaliknya, mereka yang berpegang pada pandangan
monistis, tindak pidana itu meliputi juga pertanggungjawaban. Konsekuensinya
adalah kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur tindak pidana, Jika tidak ada
kemampuan bertanggungjawab, maka tidak ada tindak pidana. Simons yang
berpandangan monistis tidak menyinggung masalah konsekuensi ini, tetapi
dikatakannya bahwa dalam hukum positif kemampuan bertanggungjawab tidak
dianggap sebagai unsur tindak pidana, melainkan sebagai keadaan pribadi seseorang
yang dapat menghapuskan pidana seperti tersebut dalam Pasal 58 KUHP yang
merumuskan: “Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan
pribadi


seseorang

yang

menghapuskan,

mengurangkan

atau

memberatkan

pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang
bersangkutan itu sendiri”.
Demikian pula di dalam praktik peradilan dan yurisprudensi. Putusan Hoge
Raad tanggal 10 November 1924 mengatakan bahwa “toerekeningsvatbaar heid
(kemampuan bertanggungjawab) bukan merupakan suatu unsur tindak pidana yang
oleh karena itu harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah, tetapi jika unsur itu tidak
ada, maka ada alasan penghapus pidana”.
Pompe mengatakan: “mampu bertanggungjawab itu bukan unsur tindak

pidana. Ini dianggap ada pada sejumlah besar manusia. Keadaan yang demikian itu
adalah keadaan yang normal, Walaupun belum jelas benar. Tidak dapat
bertanggungjawab seperti yang dirumuskan dalam Pasal 44 KUHP itu adalah alasan

Universitas Sumatera Utara

57

penghapus pidana. Oleh karena itu, apabila setelah diadakan penyelidikan masih
terdapat keragu-raguan, maka pelakunya tetap dipidana”.
Langemeyer berpendapat lain lagi, yaitu ada keragu-raguan mengenai hal
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut, maka putusannya harus
menguntungkan terdakwa, yaitu tindak dipidana.
a) Tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab
Pasal 44 (1) KUHP merumuskan: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam
tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelije
storing), tidak dipidana”. Teks aslinya adalah “Niet strafbaar is hij die een feit
begaat dat hem wegens de gebrekkige ontwikkeling of ziekelijke storing zijner
verstandelijk hermogens niet kan worden toegerekend”.
Menurut Pasal tersebut, maka hal tidak mampu bertanggungjawab adalah
karena hal-hal tertentu, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu
karena

penyakit,

dan

sebagai

akibatnya,

ia

tidak

mampu

untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Ada dua hal yang perlu diperhatikan,
yaitumenentukan bagaimana keadaan jiwa si pelaku, hal ini selayaknya ditetapkan
oleh seorang ahli, dalam hal ini seorang psikiater, jadi ditetapkan secara deskriptif. 21

21

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h.

83-89.

Universitas Sumatera Utara

58

2. Kesalahan
Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan merupakan
keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan
perbuatannya. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan,
lazim disebut sebagai kemampuan bertanggungjawab, sedangkan hubungan batin
antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan.
Pompe dan Jonkers, memasukkan juga “melawan hukum” sebagai kesalahan
dalam arti luas di samping “sengaja” atau “kesalahan” (schuld) dan dapat
dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar heid) atau istilah Pompe toerekenbaar.
Tetapi kata Pompe, melawan hukum (wederrechtelijkheid) terketak di luar
pelanggaran hukum sedangkan sengaja, kelalaian (onachtzaamleid) dan dapat
dipertanggungjawabkan terletak di dalam pelanggaran hukum. Lalu sengaja dan
kelalaian itu harus dilakukan secara melawan hukum supaya memenuhi unsur
kesalahan dalam arti luas. 22
a. Sengaja
Tentang apakah arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam
KUHP. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam Pasal 18 dengan tegas
ditentukan:

barang

siapa

melakukan

perbuatan

dengan

mengetahui

dan

menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja.

22

Andi Hamzah, Asas asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 103-104

Universitas Sumatera Utara

59

Defenisi seperti ini dalam Memori van Toelicting Swb. Ada pula: “Pidana
pada umunya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan
yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
Soalnya sekarang ialah apakah arti: dikehendaki dan diketahui itu ? Dalam
teori tentang hal ini ada dua aliran, yaitu:
1) Teori kehendak (wistheorie) yaitu yang paling tua dan pada masa timbulnya
teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari von Hippel guru besar di
Gottingen, Jerman. Di Negeri Belanda antara lain dianut oleh Simons.
2) Teori pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910 diajarkan
oleh Frank, guru besar di Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan kuat dari
von listiz. Di Nederland penganutnya antara lain adalan von Hamel.
Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada
terujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkeliking der
wettelijke omschrijving geritche will); sedangkan menurut yang lain, kesengajaan
adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan
menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke
omschrijving behoorende bestandelen). 23
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk
melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan

23

Moeljattno , Asas asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h, 171-172

Universitas Sumatera Utara

60

yang

dilakukannya

itu

dilakukan

dengan

sengaja,

terkandung

pengertian

menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang
dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang
ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa
yang ia perbuat.
Sekarang kita meningkat ke jenis jenis sengaja yang secara tradisional telah
ditulis di pelbagai buku hukum pidana. Secara tradisional dikenal tiga jenis sengaja,
yaitu:
1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).
Sebagaimana telah disebut dimuka, bentuk sengaja sebagai maksud adalah
bentuk yang paling sederhana, maka perlu disebut disini pengertian sengaja sebagai
maksud seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai
maksud apabila pembuat menghendaki perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan
perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan
terjadi. Dalam praktik, bentuk sengaja inilah yang paling mudah untuk dibuktikan,
dengan melihat kenyataan kenyataan yang terjadi.
2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewastheid van
zekerheid of noodzakelijkheid).
Bentuk sengaja dengan kesadaran tentang kepastian diberikan contoh yang
sangat terkenal, yaitu kasus Thomas van Bremerhaven, sebagai: Thomas van

Universitas Sumatera Utara

61

Brehaven berlayar ke Southampton dan meminta asuransi yang sangat tinggi disana.
Ia memasang dinamit, supaya kapal itu tenggelam di laut lepas. Motifnya ialah
menerima uang asuransi. Kesengajaannya ialah menenggelamkan, maka itu adalah
sengaja dengan kepastian (opzet bijnoodzakelijkheidsbewustzijn). Memang secara
teoritis ada kemungkinan orang-orang itu ditolong seluruhnya, tetapi pembuat
tidaklah berfikir kearah itu.
Jadi dapat dikatakan, bahwa sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat
yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat
yang tidak dimaksud. Penenggelaman kapal itu sebagai sengaja sebagai maksud
(opzet als oogmerk) tidak akan terjadi tanpa matinya para penumpang yang tidak
dimaksud itu. Kematian para penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal
ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas.
Menurut teori kehendak, apabila pembuat juga menghendaki akibat atau halhal yang turut serta mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat
digambarkan sebagai suatu akibat yang tidak dapat dielakkan terjadinya maka orang
itu melakukan sengaja dengan kepastian terjadi (opzet bij noodzakelijkheids atau
jekerheidsbewustjijn).
3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (op zet met
waarschijnlijkheidsbewustzijn). Secara tradisional, Jonkers dan lain-lain
menyamakan sengaja bentuk ini dengan “sengaja dengan kesadaran

Universitas Sumatera Utara

62

kemungkinan terjadi” (opzet met mogelijkheidsbewustzijn) atau disebut juga
sengaja bersyarat (voorwaardelijk opzet) atau dolus eventualis).
Sengaja

dengan

kemungkinan

sekali

terjadi

atau

(opzet

met

waarschijnlijkheidsbewustzijn) atau sengaja dengan kemungkinan terjadi (opzet met
mogelijkheidsbewustzijn) atau sengaja bersyarat (voorwaardelijk opzet) atau dolus
eventualis oleh Haze winkel-Suringa diuraikan secara terpisah. Sengaja dengan
kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn) diuraikan
tersendiri

dari

sengaja

dengan

kemungkina

terjadi

(opzet

met

mogelijkheidsbewustzijn). Yang terakhir ini yang disebut juga sengaja bersyarat atau
dolus eventuslis. Pengarang-pengarang lain seperti Vos, Jonkers, Pompe, van
Bemmelen tidak memisahkan antara kedua bentuk sengaja ini.

24

b. Kealpaan

Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan.
Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi
dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena
bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun
pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran

24

Andi Hamzah, op.cit h.116-118

Universitas Sumatera Utara

63

untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan
berat (culpa lata).

Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedangkan
dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa
culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang
sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki
lagi. Oleh karena itu, Undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati,
sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang menyebabkan
keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan,
manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang
penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan
menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.

Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan
berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih
mudah dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam bentuk
contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah
yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat
tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya,
dsb.

Universitas Sumatera Utara

64

Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal
kealpaan, pada diri pelaku terdapat:

1) Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
2) Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
3) Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Bentuk-Bentuk Kealpaan. Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:
1) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta
akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan
terjadi.

2) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).

Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga
sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerap kali justru karena tanpa
berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat.
Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan
yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang

Universitas Sumatera Utara

65

tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan
sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang
menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus
dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si
pelaku itu berbuat.

3. Alasan Penghapus Pidana
a. Pengertian
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada
hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seseorang pelaku, yang telah
memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim
menempatkan wewenang dari pembuat Undang-undang untuk menentukan apakah
telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik,
tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan
penuntutan, alasan penghapus pidana dipustuskan oleh hakim dengan menyatakan
bahwa sifat melawan hukumya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus,
karena adanya ketentuan Undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan
atau yang memaafkan pembuat. Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari
jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh

Universitas Sumatera Utara

66

hakim. Dengan kata lain Undang-undang tidak melarang jaksa penuntut umum untuk
mengajukan tersangka pelaku tindak pidana kesidang pengadilan dalam hal adanya
alasan penghapus pidana. Oleh karena hakimlah yang menentukan apakah alasan
penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui
vonisya. 25
Menurut Prof. Moeljatno, S.H alasan-alasan yang menghapuskan pidana
dibeda-bedakan menjadi alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukum sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang
patut dan benar, yang termasuk alasan pembenar yaitu :
1) Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP
Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya
dibenarkan jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) ;
a) tidak ada jalan lain;
b) kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari
pada kepentingan yang dikorbankan.
Contohnya; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak
kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang.
2) Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP

25

Hamdan Muhammad, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana, (Medan:

USU Press, 2008), h. 1-2

Universitas Sumatera Utara

67

Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai
pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan), yaitu :
a) Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan,
kesusilaan atau harta benda;
b) Serangan itu bersifat melawan hukum;
c) Pembelaan merupakan keharusan;
d) Cara pembelaan adalah patut.
3) Melaksanakan ketentuan Undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum
dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban
hukumnya, seseorang

harus melanggar kewajiban

hukum lainnya. Dalam

melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus
diutamakan.
Contohnya; seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan
menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah
dilarang, namun karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga
perbuatannya tersebut tidak dapat dipidana.
1) Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum. Jadi tetap
merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak di pidana, yang termasuk dalam
alasan pemaaf yaitu:

Universitas Sumatera Utara

68

a) Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua
kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja
tumbuh dengan normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa. Pada dasarnya
cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan
ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan
perbuatannya
b) Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus
Pohan, 2007 : 61), daya paksa adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap
paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada
papan yang sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut
akan mati tenggelam, maka salah seorang mendorong yang lainnya.
c) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP.
2) Alasan penghapus penuntutan, disini masalahnya bukan ada alasan pembenar
maupun alasan pemaaf. Jadi, tidak ada pikiran mengenai sifat perbuatan maupun
sifat orang yang melakukan perbuatan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah
kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak di tuntut, tentunya yang melakukan

Universitas Sumatera Utara

69

perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. Contoh: Pasal 53 kalau terdakwa dengan
sukarela mengurungkan niatnya untuk melakukan suatu kejahatan. 26

b. Dasar Pembenar Alasan Penghapus Pidana
Alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai alasan yang dapat menghapuskan
pidana ini, dalam hukum pidana kita cukup banyak, baik itu yang diatur, yang telah
dirumuskan secara tertulis dalam peraturan peundang-undangan (dalam KUHP)
maupun alasan penghapus pidana yang tidak tertulis diluar peraturan perundangundangan. Oleh karena sangat bervariasinya alasan penghapus pidana ini, maka sulit
ditentukan satu bentuk teori yang tunggal yang dapat digunakan untuk keseluruhan
alasan penghapus pidana ini.
Pendapat Fletcher ini memang dapat dibenarkan. Oleh karena dapat
dibuktikan, misalnya saja dengan melihat pada alasan penghapus pidana yang diatur
dalam KUHPidana kita yang berlaku secara umum dalam buku ke 1 (peraturan
umum), yaitu terdapat dalam Pasal 44 yang mengatur tentang pelaku yang sakit jiwa,
pelaku yang dalam keadaan terpaksa (Pasal 48), pembela diri (Pasal 49), menjalankan
Undang-undang (Pasal 50), melakukan perintah jabatan (Pasal 51). Sementara ada
lagi yang berlaku secara khusus dalam buku ke-2 (tentang kejahatan) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 116, Pasal 221 ayat (2) dan Pasal 310 ayat (3) KUHP.

26

Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia,(Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 69-70

Universitas Sumatera Utara

70

Ditambah lagi alasan penghapus pidana yang diluar KUHP, yang diterapkan
berdasarkan jurisprudensi. 27

c. Akibat Hukum Alasan Penghapus Pidana
Akibat hukum yang dimaksudkan disini adalah akibat adanya alasan
penghapus pidana ini terhadap pelaku dalam putusan pengadilan (hakim). Dalam
KUHPidana, alsan penghapus pidana ini akan mengakibatkan bahwa pelaku tindak
pidana tersebut tidak dipidana. Tidak dipidananya pelaku ini, menurut doktrin
disebabkan oleh dua hak. Pertama karena tidak ada atau hilang/hapus kesalahan
pelaku (disebut sebagai alasan pemaaf). Kedua, karena hilang/hapus sifat melawan
hukumnya perbuatan pelaku (disebut sebagai alasan pembenar). Sementara dalam
KUHAP, tidak dipidananya pelaku tersebut akan membawa kepada bentuk putusan
hakim yang berbeda. Dalam KUHAP adanya alasan penghapus pidana ini, akan
menimbulkan, mengakibatkan dua bentuk putusan. Pertama yang mengakibatkan
putusan bebas (vrijspraak), dan kedua mengakibatkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum (onstlag). 28

B. Pertanggungjawaban pidana pelaku pidana orang yang mempekerjakan
seseorang di kapal tanpa dokumen yang dipersyaratkan sesuai dengan
putusan PN Raba Bima No. 96/pid.b/2015/PN.RBI

27

Ibid, h. 24-25

28

Ibid, h. 37

Universitas Sumatera Utara

71

1. Posisi Kasus
Terdakwa bernama JAMALUDIN H. ABDURAHMAN beragama islam.
Beliau bekerja sebagai seorang nakhkoda kapal KLM Duta Samudra, yang mana
beliau melayarkan kapalnya dari pelabuhan Kalima Surabaya menuju laut Tanjung
Bima. Kapal tersebut bermuatan tinggi dan penuh. Pada hari Sabtu, 31 Januari 2015
sekitar 16.00 Wita saksi TRI GUNAWAN dan I GEDE EKA S dari Satuan Patroli
Nusantara Direktorat Kepolisisan Perairan sedang melakukan patroli di wilayah
perairan tersebut. Kemudian dari kejauhan mereka melihat kapal bermuatan tinggi
dan ternyata kapal tersebut adalah kapal KLM Duta Samudra yang di nahkodai oleh
JAMALUDIN H. ABDURAHMAN, yang melayarkan kapal KLM Duta Samudra.
Mengetahui hal tersebut para saksi kemudian langsung mendekati kapal dan langsung
melakukan pemeriksaaan baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap kru
KLM Duta Samudra beserta barang yang di angkut.
Dari pemeriksaan tersebut para saksi dari Satuan Polisi Nusantara Diretorat
Kepolisian Perairan menumakan kejanggalan, yaitu terdapat dokumen sertifikat
kesalamatan namun alat-alat seperti pelampung penolong, sekoci penolong, baju
penolong (life jacket), alat apung lain dan perangkat isyarat tanda bahaya tidak
ditemukan oleh para saksi di atas KLM Duta Samudra. Kemudian para saksi
melakukan pengecekan dokumen crew List tertera 8 (delapan) orang namun
kenyataannya di atas KLM Duta Samudra terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya
yaitu atas nama M.AMIN yang tidak terdaftar dalam daftar crew List KLM Duta

Universitas Sumatera Utara

72

Samudra. Mengetahui hal ganjil tersebut para saksi dari Satuan Patroli Nusantara
Direktorat Kepolisian Perairan langsung menggiring dan mengawal Duta Samudra
menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima untuk di proses lebih lanjut sesuai dengan
hukum yang berlaku.

2. Dakwaan
Jaksa penuntut umum dihadapan persidangan telah mengajukan dakwaan yang
disusun secara alternatif sebagai berikut:
Pertama:
Bahwa ia terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN pada hari sabtu tanggal 30
Januari 2015 sekitar jam 16.00 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam
bulan Januari 2015 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2015 bertempat di Perairan
Benteng Selatan Bima, Pos 08°24’30”S-118°41’40”T atau setidak-tidaknya ditempat
tertentu yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Raba Bima,
nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa
kapal tersebut tidak layak laut, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
• Bahwa awalnya saat saksi TRI GUNAWAN, I GEDE EKA S dari Satuan
Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan dengan menggunakan kapal
polisi perenjak – 507 melakukan Patroli di wilayah perairan laut Indonesia
tepatnya di Perairan Benteng Selatan Bima melihat sebuah kapal yang

Universitas Sumatera Utara

73

bermuatan tinggi dan ternyata kapal tersebut adalah KLM DUTA SAMUDRA
yang di nahkodai oleh terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN, yang
melayarkan kapal KLM DUTA SAMUDRA dari Pelabuhan Kalimas
Surabaya menuju ke Pelabuhan Laut Tanjung Bima, mengetahui hal tersebut
para saksi langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaan
baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap kru KLM DUTA
SAMUDRA beserta barang yang di angkut.
• Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dari Satuan Patroli
Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan menemukan kejanggalan, yaitu
terdapat dokumen sertifikat keselamatan namun alat-alat seperti pelampung
penolong, sekoci penolong, baju penolong (life jacket), alat apung lain dan
perangkat Isyarat tanda bahaya tidak ditemukan oleh para saksi di atas KLM
DUTA SAMUDRA.
• Bahwa selanjutnya para saksi melakukan pengecekan dokumen crew list
tertera 8 (delapan) orang namun kenyataan diatas KLM DUTA SAMUDRA
terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya yaitu atas nama M. AMIN yang
tidak terdaftar dalam daftar cre list dalam daftar KLM DUTA SAMUDRA.
• Bahwa selanjutnya para saksi langsung menggiring dan mengawal Duta
Samudra menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima untuk di proses lebih lanjut
sesuai dengan hukum yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

74

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 302 ayat (1) Jo Pasal 117 ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran.
ATAU
KEDUA:
Bahwa ia terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN pada hari Sabtu
tanggal 31 Januari 2015 sekitar jam 16.00 Wita atau setidak-tidaknya pada
waktu tertentu dalam bulan Januari 2015 atau setidak-tidaknya dalam tahun
2015 bertempat di Perairan Benteng Selatan Bima atau setidak-tidaknya
bertempat tertentu yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri Raba Bima setiap orang yang mempekerjakan seseorang di kapal dala
jabatan apapun tanpa di SIJIL dan tanpa memiliki kompetensi dan
keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan, perbuatan terdakwa
dilakukan dengan cara sebagai berikut:


Bahwa awalnya saat saksi TRI GUNAWAN, I GEDE EKA S dari
Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan dengan
menggunakan kapal polisi perenjak – 5017 melakukan patroli di
wilayah peraairan laut indonesia tepatnya di perairan Benteng Selatan
Bima melihat sebuah kapal yang bermuatan tinggi dan ternyata kapal
tersebut adalah KLM DUTA SAMUDRA yang dinahkodai oleh
JAMALUDIN H.ABDURAHMAN, yang melayarkan kapal KLM

Universitas Sumatera Utara

75

DUTA SAMUDRA dari Pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke
Pelabuhan Laut Tanjung Bima, mengetahui hal tersebut para saksi
langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaan baik
terhadap keselamatan kapal maupun terhadap crew KLM DUTA
SAMUDRA beserta barang di angkut.


Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dari Satuan Patroli
Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan menemukan kejanggalan,
yaitu terdapat dokumen sertifikat keselamatan namun alat-alat seperti
pelampung penolong, sekoci penolong, baju penolong (life jacket), alat
apung lain dan perangkat Isyarat tanda bahaya tidak ditemukan oleh
para saksi di atas KLM DUTA SAMUDRA.



Bahwa selanjutnya para saksi melakukan pengecekan dokumen crew
list tertera 8 (delapan) orang namun kenyataan diatas KLM DUTA
SAMUDRA terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya yaitu atas
nama M. AMIN yang tidak terdaftar dalam daftar cre list dalam daftar
KLM DUTA SAMUDRA.



Bahwa selanjutnya para saksi langsung menggiring dan mengawal
Duta Samudra menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima untuk di
proses lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

76

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 312 ayat (1) Jo Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran.

3. Tuntutan
Berdasarkan fakta-fakta dari yang di persidangan maka jaksa penuntut umum
dalam perkara ini;
MENUNTUT
Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Raba Bima yang memeriksa
mengadili perkara ini memutuskan:
a. Menyatakan terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN bersalah
melakukan tindak pidana mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan
apapun tanpa di sijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta
dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana di atur dan di ancam pidana
dalam Pasal 312 ayat (1) jo. Pasal 145 UU RI No.17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran dalam surat dakwaan Kedua Jaksa Penuntut Umum
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa JAMALUDIN
H.ABDURAHMANdengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, dengan
peintah terdakwa ditahan dan denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)
subsidair 1 (satu) bulan kurungan
c. Menetapkan agar barang bukti berupa:

Universitas Sumatera Utara

77

1) 1 (satu) Unit KLM Duta SAMUDRA warna putih dengan ukuran Tonase
Kotor 117 GT dan Tonase Bersih 93 NT.
2) 1 (satu) lembar Surat Persetujuan Berlayar dengan No. Registrasi : PPK.
29 / 104 / I / 2015 an. KLM DUTA SAMUDRA, tanggal 29 Januari 2015.
3) 1 (satu) lembar Daftar Awak Kapal KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29
Januari 2015.
4) 1 (satu) lembar Surat dari Kementrian Perhubungan Diretorat Jenderal
Perhubungan Laut Kantor Keasyahbandaran Utama Tanung Perak
Surabaya, Perihal pedoman muatan deleduk KLM DUTA SAMUDRA,
Tanggal 29 Januari 2015.
5) 1 (satu) Lembar PAS BESAR, No : PK. 205 / 15 / 18 / SYB. TPr-13,
Tanggal 23 Juli KLM DUTA SAMUDRA.
6) 1 (satu) Lemvar Surat Ukur No. 107 / OOX – KLM DUTA SAMUDRA,
Tanggal 13 Mei 2004.
7) 1 (satu) Lembar Surat Susunan Perwira KLM DUTA SAMUDRA, No.
PK. 304 / 205 / 07 / SBY . TPr – 2014, Tanggal 02 September 2014.
8) 1 (satu) Lembar Sertifikat Keselamatan KLM DUTA SAMUDRA No. AL
405 / 344/ KSOP. BIMA – 14, Tanggal 03 November 2014
9) 1 (satu) Lembar Surat Tanda Panggilan KLM DUTA SAMUDRA,
Tanggal 16 Juli 2014.

Universitas Sumatera Utara

78

10) 1 (satu) Lembar Surat Legalitas Operasional Tahunan No : 552.12 / 09 /
DISHUBKOMINFO / III. Tanggal 03 September 2013.
11) 1 (satu) Buah Buku Kesehatan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 03
Desember 2014
12) 1 (satu) Lembar Surat Izin Berlayar Karantina Kesehatan KLM DUTA
SAMUDRA, Tanggal 28 Januari 2015.
13) 1 (satu) Lembar Surat Registrasi Kedatangan Kapal dalam karantina,
Tanggal 28 Januari 2015.
14) 1 (satu) Le,bar Sertifikat Bebas Tindakan Sanitasi Kapal, Tanggal 03
Desember 2014.
15) 1 (satu) Buah Buku SIJIL KLM DUTA SAMUDRA.
16) 1 (satu) Buah Buku Pelaut an. M. AMIN
17) 1 (satu) Buah Buku Pelaut an. JAMALUDIN H. ABDURAHMAN.
Dikembalikan kepada pemiliknya yang syah.
d. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 2.500 (dua ribu
lima ratus rupiah).

4. Fakta Persidangan & Pertimbangan Hakim
a. Fakta Persidangan
fakta hukum sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

79

1) Bahwa terdakwa diamankan petugas pada saat melayarkan kapan KLM. Duta
Samudracdari Surabaya ke Bima ketika melewati perairan laut Tanjung teluk
Bima pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar pukul 16.30 Wita;
2) Bahwa yang memeriksa dan mengamankan terdakwa beserta kapal adalah
petugas dari satuan POLAIR Bima; Bahwa pada saat diperiksa dan diamankan
oleh petugas tersebut terdakwa ada di atas kapal KLM Duta Samudra sebagai
Nahkoda; . Bahwa petugas yang memeriksa kapal dan mengamankan
terdakwa berjumlah 4(empat) orang;
3) Bahwa awak kapal yang tidak masuk SIJIL adalah saksi M. AMIN, karena
pada saat di Surabaya saksi M. AMIN tidak sempat didaftar ke Syahbandar
karena kapal keburu berangkat;
4) Bahwa pada saat KLM. Duta Samudra berlayar dari Surabaya ke Bima pada
saat kejadian saksi M. AMIN tidak masuk dalam SUIL karena saksi M.
AMIN bani datang ke kapal sedangkan kapal sudah mau berangkat dan kalau
mau mengurus SIJIL lagi sudah tidak sempat karena kali mas tempat kapal
bersandar airnya sudah mulai surut;
5) Bahwa saksi M. AMIN bekerja di KLM. Duta Samudra sebagai juru kemudi
dan sudah lebih dari 10 tahun;
6) Bahwa saat itu saksi M. AMIN bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran
KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke
pelabuhan laut tanjung bima;

Universitas Sumatera Utara

80

7) Bahwa selain adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SUIL kapal, ada
juga pelanggaran lain yang ditemukan petugas yaitu kelengkapan pelampung
kapal tidak lengkap;
8) Bahwa kapal apa KLM. Duta Samudra tersebut jenis kapal barang;
9) Bahwa yang bertanggung jawab atas adanya awak kapal yang tidak masuk
dalam SUIL dan kurang lengkapnya pelampung kapal adalah terdakwa
sebagai Nahkoda yang bertanggungjawab;
10) Bahwa pemilik KLM Duta Samudra adalah perusahaan yang direkturnya
adalah ADI KURNIAWAN;
11) Bahwa Nahkoda tidak dapat melayarkan kapal apabila tidak memenuhi
persyaratan kelaiklautan kapal;
12) Bahwa kelaiklautan wajib bagi setiap kapal yang akan berlayar;
13) Bahwa perlengkapan yang wajib ada di atas kapal sebelum kapal berlayar
antara lain rakit penolong, life jakets, pelampung, perangkat isyarat tanda
bahaya dan kapal wajib punya sertifikat keselamatan;
14) Bahwa jika kapal yang dilayarkan adalah kapal barang maka setiap awak yang
ada di atas kapal wajib masuk dalam SIJIL;

b. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh penuntut umum dengan
dakwaan alternatif, pertama perbuatan terdakwa melanggar Pasal 302 ayat (1) Jo.
Pasal 117 ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran atau Kedua

Universitas Sumatera Utara

81

perbuatan Terdakwa melanggar Pasal 312 ayat (1) Jo. Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran;
Menimbang, bahwa berdasar fakta hukum sebagaimana terturai di atas,
selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dan meneliti apakah perbuatan
terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana seperti yang di dakwakan oleh
penuntut umum dalam surat dakwaannya;
Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh penuntut umum dengan
dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan
fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan alternatif Kedua
sebagaimana diatur dalam Pasal 312 ayat (I) jo. Pasal I45 UU RI No. l7 Tahun 2008
tentang Pelayaran, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang ;
2) Yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun;
3) Tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen
pelaut
yang dipersyaratkan; Ad.l. Unsur “Setiap orang” : Menimbang, bahwa yang
dimaksud unsur “Setiap orang” adalah siapa saja sebagai subyek hukum publik yang
terhadapnya terdapat persangkaan atau dugaan melakukan suatu tindak pidana ;
Menimbang, bahwa orang sebagai subyek hukum sebagaimana layaknya
haruslah memenuhi kriteria kemampuan dan kecakapan bertanggungjawab secara
hukum, atau yang disebut juga sebagai syarat subyektif dan syarat obyektif;

Universitas Sumatera Utara

82

Menimbang, bahwa dengan diajukannya terdakwa JAMALUDDIN H.
ABDURRAHMAN dalam perkara ini, yang identitas lengkapnya sebagaimana
tercantum secara jelas dan lengkap dalam surat dakwaan penuntut umum, identitas
mana dibenarkan oleh terdakwa maupun saksi-saksi di persidangan, sehingga
mengenai subyek hukum dalam perkara ini tidak “eror in personal” (kesalahan
orang);
Menimbang, bahwa secara obyektif, orang yang disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana haruslah sudah dewasa secara hukum, serta cakap dan
mampu dalam arti tidak terganggu akal pikirannya, serta dapat memahami dan
menyadari sepenuhnya akan apa yang diperbuat sehingga akibat yang akan
ditimbulkan dari perbuatannya itu;
Menimbang, bahwa dalam kaitan itu, penuntut umum telah menghadapkan
kepersidangan orang bernama JAMALUDDIN H. ABDURRAHMAN sudah berusia
35 tahun mempunyai fisik yang dapat terlihat menunjukkan sehat jasmani dan rohani,
telah memenuhi unsur obyektif sebagai subyek hukum, selebihnya dengan tidak
temyata adanya halangan atau keadaan yang membuatnya ditentukan lain, ternyata
pula

bahwa

secara

subyektif

terdakwa

cakap

dan

mampu

untuk

mempertanggungjawabkan perbuatan secara hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan kenyataan-kenyataan sebagaimana terurai di
atas, terdakwa adalah subyek hukum yang dapat bertanggung jawab atas

Universitas Sumatera Utara

83

perbuatannya, sehingga unsur “setiap orang“ dalam delik yang di dakwakan telah
terpenuhi oleh keaadan dan keberadaan terdakwa tersebut.
Ad 2. Unsur “Yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun”
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan yang mempekerjakan: mau; di
kapal dalam jabatan apa pun adalah orang yang bekerja diatas kapal dan kegiatan
yang dilakukannya semua diatas kapal atau disebut awak kapal dapat sebagai anak:
buah kapal atapun nahkoda;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa
yang dihubungkan dengan barang bukti diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa
diamankan petugas pada saat melayarkan kapan KLM. Duta Samudra dari Surabaya
ke Bima ketika melewati perairan laut Tanjung Teluk Bima pada hari Sabtu tanggal
31 Januari 2015 sekitar pukul 16.30 Wita. Bahwa yang memeriksa dan mengamankan
terdakwa beserta kapal adalah petugas dari satuan POLAIR Bima. Bahwa pada saat
diperiksa dan diamankan oleh petugas tersebut terdakwa ada di atas kapal KLM Duta
Samudra sebagai Nahkoda. Bahwa saksi M. AMIN bekerja di KLM. Duta Samudra
sebagai juru kemudi dan mudah lebih dari 10 tahun. Bahwa saat itu saksi M. AMIN
bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan
Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima. Bahwa yang
bertanggung jawab atas adanya awak kapal yang tidak masuk dalam sijil dan kurang
lengkapnya

pelampung

kapal

adalah

terdakwa

sebagai

Nahkoda

yang

bertangglmgjawab;

Universitas Sumatera Utara

84

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas jelas terdakwa sebagai
Nahkoda KLM DUTA SAMUDRA sehingga terdakwa yang bertanggungjawab atas
yang terjadi diatas kapal dan juga terhadap para anak buah kapal terutama saksi M.
AMIN yang bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA
dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima, sehingga
dengan demikian unsur ini telah terpenuhi;
Ad. 3. Unsur “Tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta
dokumen pelaut yang dipersyaratkan”
Menimbang, bahwa terhadap unsur ini Majelis berpendapat bahwa unsur ini
mengandung beberapa elemen didalamnya yang masing-masing berdiri sendirisendiri dimana elemen yang satu dapat mengenyampingkan elemen lainnya, yang
berarti untuk terbuktinya unsur ini tidak harus keseluruhan dari elemen-elemen
tersebut terbukti, sehingga bilamana salah satu atau lebih dari elemen-elemen tersebut
terpenuhi maka unsur ini dinyatakan telah pula terbukti secara sah menunrt hukum;
Menimbang bahwa dari fakta yang terungkap baik Gilwell dari keterangan
saksi-saksi manpun keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti di
ketahui bahwa terdakwa diamankan petugas pada saat melayarkan kapan KLM. Duta
Samudra dari Surabaya ke Bima ketika melewati perairan laut Tanjung Teluk Bima
pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar pukul 16.30 Wita. Bahwa yang
memeriksa dan mengamankan terdakwa beserta kapal adalah petugas dari satuan
POLAIR Bima. Bahwa pada saat diperiksa dan diamankan oleh petugas tersebut

Universitas Sumatera Utara

85

terdakwa ada di atas kapal KLM Duta Samudra sebagai Nahkoda. Bahwa petugas
yang memeriksa kapal dan mengamankan terdakwa berjumlah 4 (empat) orang.
Bahwa awak kapal yang tidak masuk SIJIL adalah saksi M. AMIN, karena pada saat
di Surabaya saksi M. AMIN tidak sempat didaftar ke Syahbandar karena kapal
keburu berangkat. Bahwa pada saat KLM. Duta Samudra berlayar dari Surabaya ke
Bima pada saat kejadian saksi M. AMIN tidak masuk dalam SIJIL karena saksi M.
AMIN baru datang ke kapal sedangkan kapal sudah mau berangkat dan kalau mau
mengurus SIJIL lagi sudah tidak sempat karena kali mas tempat kapal bersandar
airnya sudah mulai surut. Bahwa saksi M. AMIN bekerja di KLM. Duta Samudra
sebagai juru kemudi dan sudah lebih dari 10 tahun. Bahwa saat itu saksi M. AMIN
bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan
Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima. Bahwa selain adanya
awak kapal yang tidak masuk dalam SIJIL kapal, ada juga pelanggaran lain yang
ditemukan petugas yaitu kelengkapan pelampung kapal tidak lengkap. Bahwa kapal
apa KLM. Duta Samudra tersebut jenis kapal barang. Bahwa yang bertanggungjawab
atas adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SIJIL dan kurang lengkapnya
pelampung kapal adalah terdakwa sebagai Nakhoda yang bertanggungjawab. Bahwa
pemilik KLM Duta Samudra adalah perusahaan yang direkturnya adalah ADI
KURNIAWAN. Bahwa Nakhoda tidak dapat melayarkan kapal apabila tidak
memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal. Bahwa kelaiklautan wajib bagi setiap
kapal yang akan berlayar. Bahwa perlengkapan yang wajib ada di atas kapal sebelum

Universitas Sumatera Utara

86

kapal berlayar antara lain rakit penolong, life jakets, pelampung, perangkat isyarat
tanda bahaya dan kapal wajib punya sertifikat keselamatan. Bahwa jika kapal yang
dilayarkan adalah kapal barang maka setiap awak yang ada di atas kapal wajib masuk
dalam SIJIL;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti berupa KLM DUTA SAMUDRA
warna putih dengan ukuran Tonase Kotor ll7 GT dan Tonase Bersih 93 NT Majelis
telah melakukan pemeriksaan setempat dan telah menemukan fakta sebagai berikut:
Barang bukti sebagaimana dimaksud dalam berkas perkara berupa 1 (satu) unit KLM
Duta Samudra berada di desa Bonto Kecamatan Asakota Kota Bima; Per1engkapan
keselamatan pelayaran yang didakwakan penuntut umum tidak lengkap telah
dilengkapi oleh pemilik kapal berupa sekoci, rakit penolong, dan pelampung baru ;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas jelas Bahwa awak kapal
yang tidak masuk SIJIL adalah saksi M. AMIN, karena pada saat di Surabaya saksi
M. AMIN tidak sempat didaftar ke Syahbandar karena kapal keburu berangkat.
Bahwa pada saat KLM. Duta Samudra berlayar dari Surabaya ke Bima pada saat
kejadian saksi M. AMIN tidak masuk dalam SIJIL karena saksi M. AMIN baru
datang ke kapal sedangkan kapal sudah mau berangkat dan kalau mau mengurus
SIJIL lagi sudah tidak sempat karena kalimas tempat kapal bersandar airnya sudah
mulai surut. Bahwa saat itu saksi M. AMIN bekerja sebagai juru mudi dalam
pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke

Universitas Sumatera Utara

87

pelabuhan laut tanjung bima tidak masuk dalam SIJIL, sehingga dengan demikian
unsur ini telah terpenuhi.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut maka
seluruh unsur dalam dakwaan kedua penuntut umum telah terbukti;
Menimbang, bahwa dari rangkaian pertimbangan diatas Majelis Hakim
berkesimpulan seluruh unsur dalam dakwaan kedua telah terpenuhi d

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)

1 52 120

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pemilik Satwa yang Dilindungi Tanpa Izin (Studi Putusan PN Surabaya No. 469/Pid.B/2010/Pn.Sby)

1 30 118

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengobatan Tradisional Tanpa Izin (Studi Putusan Nomor 68/Pid.B/2015/PN. Kbm).

0 0 12

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pemilik Satwa yang Dilindungi Tanpa Izin (Studi Putusan PN Surabaya No. 469 Pid.B 2010 Pn.Sby)

0 0 9

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perjudian Online Di Indonesia (Studi Putusan Pn Binjai No.268 PID.B 2015 PN BNJ) Chapter III V

0 0 30

Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang Mempekerjakan Seseorang Di Kapal Tanpa Dokumen Yang Dipersyaratkan (Studi Putusan PN Raba Bima Nomor 96 Pid.B 2015 Pn.Rbi)

0 1 9

Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang Mempekerjakan Seseorang Di Kapal Tanpa Dokumen Yang Dipersyaratkan (Studi Putusan PN Raba Bima Nomor 96 Pid.B 2015 Pn.Rbi)

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang Mempekerjakan Seseorang Di Kapal Tanpa Dokumen Yang Dipersyaratkan (Studi Putusan PN Raba Bima Nomor 96 Pid.B 2015 Pn.Rbi)

1 2 28

Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang Mempekerjakan Seseorang Di Kapal Tanpa Dokumen Yang Dipersyaratkan (Studi Putusan PN Raba Bima Nomor 96 Pid.B 2015 Pn.Rbi)

0 1 21

Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang Mempekerjakan Seseorang Di Kapal Tanpa Dokumen Yang Dipersyaratkan (Studi Putusan PN Raba Bima Nomor 96 Pid.B 2015 Pn.Rbi)

0 0 1