Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan Yang Mengandung Zat Berbahaya Dikaitkan Dengan Undang – Undang Perlindungan Konsumen (Studi di BPOM) Chapter III V

Bab III
GAMBARAN UMUM MENGENAI BADAN PENGAWASAN OBAT DAN
MAKANAN
A.

Latar Belakang Terbentuknya Badan Pengawasan Obat dan

Makanan
Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yaitu sesuai Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 merupakan lembaga pemerintah
pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden
serta bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Latar belakang terbentuknya Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) adalah dengan melihat kemajuan teknologi telah membawa perubahanperubahan yang cepat dan signifikan pada industry farmasi, obat asli Indonesia,
makanan, kosmetika, dan alat kesehatan. Dengan kemajuan teknologi tersebut
produk-produk dari dalam dan luar negeri dapat tersebar cepat secara luas dan
menjangkau seluruh strata masyarakat. Konsumsi masyarakat terhadap produkproduk terus cenderung meningkat seiring perubahan gaya hidup manusia
termasuk pada pola konsumsinya. Semakin banyaknya produk yang ditawarkan
mempengaruhi gaya hidup masyarakat dalam mengonsumsi produk. Sementara
itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan

menggunakan produk secara tepat, benar, dan aman. Di lain pihak iklan dan
promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengonsumsi secara
berlebihan dan seringkali tidak rasional.

Universitas Sumatera Utara

Perubahan teknologi produksi, system perdagangan internasional dan gaya
hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan risiko dengan implikasi
yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub
standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi
akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan
Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah
dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan,
keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri.
Untuk itu telah dibentuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang
memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukm
dan memiliki kredibilitas professional yang tinggi. 72
Namun sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di
Indonesia pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan

dalam pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah
dalam melindungi masyarakat dalam pengawasan obat yang beredar di
masyarakat. Berikut ini adalah sejarah terbentuknya Badan Pengawas Obat dan
Makanan :
1.

Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan.
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan

pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia belanda. Pendidikan
asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu apotik oleh apoteker yang
mengelola dan memimpin sebuah apotek. Setelah calon apoteker bekerja dalam
72

Balai Besar POM, Penyebaran Informasi dan Layanan Informasi Konsumen, Medan,
Balai POM, 2006, hal.1

Universitas Sumatera Utara

jangka waktu tertentu di apotek dan dianggap memenuhi syarat, maka diadakan

ujian pengakuan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari
buku Verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli
Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis dan
jurnalis. Dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan surat
Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang kemudian diubah
dengan Surat Keputusan No.15 (Stb. No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan No. 45
(Stb. No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding
van apothekerbedienden onder den naam van apothekersassistenschool.
Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam
Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian
diubah lagi dengan Surat Keputusan No. 27817/F tanggal 8 Septemer 1936 dan
No. 11161/F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan tersebut, antara lain
dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian apoteker harus berijazah
MULO bagian B, memiliki surat keterangan bahwa calon telah melakukan
pekerjaan kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan di bawah
pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau
telah mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi Farmasi
di Indonesia dan di rediresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan nama
Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku

diubah menjadi Yaku Daigaku.
2.

Periode Setelah Perang Kemerdekaan sampai dengan tahun 1958

Universitas Sumatera Utara

Pada periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten
apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada tahun
1953 tenaga apoteker kekurangan sehingga pemerintah mengeluarkan UndangUndang No. 3 tentang Pembukuan Apotek. Sebelum dikeluarkannya undangundang ini, untuk membuka apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak
memerlukan izin dari pemerintah. Dengan adanya undang-undang ini, maka
pemerintah dapat melarang kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru
karena jumlahnya sudah cukup dianggap memadai. Izin pembukaan apotek hanya
diberikan untuk daerah-daerah yang belum ada atau belum memadai jumlah
apoteknya.
Undang-undang No. 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang membenarkan
seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang-undang tentang
apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena klausula
yang termasuk dalam undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa undangundang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan

oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker
ternyata sangat sedikit, undang-undang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan
perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1983.
3.

Periode tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak

dirintis dalam kenyataan industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan
kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem

Universitas Sumatera Utara

penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah
industri yang dapat jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri.
Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar
berasal dari import. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan
dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak
memenuhi standar.

Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah
kefarmasian Indonesia, yakni berakhirnya apotek-dokter dan apotek darurat.
Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148/ Kab/ 176 tanggal

8

Juni 1962, antara lain :

a. Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter
b. Semua

izin

apotek-

dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963

Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No. 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara
lain :


a. Tidak lagi dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek darurat
b. Semua izin apotek darurat Ibukota Daerah Tingkat I dinyatakan tidak
berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964
c. Semua izin apotek darurat di Ibukota Daerah Tingkat II dan kota-kota
lainnya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-undang Pokok Kesehatan
telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat

Keputusan

Menteri No.

39521/Kab/1999 tanggal 11 Juni 1963). Dengan demikian pada waktu itu ada dua
instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan
Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat Urusan Farmasi yang semula Inspektorat
Farmasi pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat

Jenderal Farmasi.
4.

Periode Orde Baru

Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah semakin
mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan dengan
lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral
Pembangunan Nasional, dilaksanakan secara bertahap baik pemenuhan sarana
pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan
yang semakin luas. Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama
orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain
kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin
menunjukkan perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.
Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan
di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga
pada tahun 1975 institusi pengawasan farmasi dikembangkan dengan adanya
perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan
oleh Departemen Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk

melanjutkan

pembangunan

di

masa-

Universitas Sumatera Utara

masa

mendatang.

Terhadap

distribusi

obat


telah

dilakukan

penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek melalui Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 1980.73

5.

Periode tahun 2000

Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut maka
pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu Direktorat Jenderal
Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan, namun
sekarang setelah terjadinya perubahan makaBadan Pengawasan Obat dan
Makanan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pengawasan Obat dan
Makanan

sekarang


merupakan

Lembaga

Pemerintah

Non

Departemen

berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami
perubahan melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003.
B. Visi dan Misi Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan mempunyai Visi dan Misi dalam
melaksanakan tugas pokoknya yaitu :
Visi dari Badan POM :
“Menjadikan sebuah institusi terpercaya secara nasional maupun internasional
dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat. Secara efektif dan pemahaman
tentang konsep dasar sistem pengawasan produk obat dan makanan secara

73

Midian

Tiga

Sirait,

Dimensi Farmasi. Jakarta, Instansi Darma Mahardika. 2001, hal. 2-12.

Universitas Sumatera Utara

nasional dan internasional. Profile Badan POM National Agency of Drugs and
Food Control Republik of Indonesia Badan Pengawasan Obat dan Makanan.”
Sedangkan Misi Badan POM :74

1. Melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapetik,
alat kesehatan, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang
tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan
serta produk pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi.
2. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan penggunaan
yang salah satu dari produk obat, narkotik, psikotropik dan zat adiktif serta
risiko akibat penggunaan produk dan bahan berbahaya.
3. Mengembangkan obat asli Indonesia dengan mutu, khasiat, keamanan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
4. Memperluas akses obat bagi masyarakat luas dengan mutu yang tinggi dan
harga yang terjangkau.

C. Kedudukan, Tugas, Wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Berkaitan

dengan

pemakaian

teknologi

yang

makin

maju

dan

supaya tujuan standarnisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin, maka
pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi
pelaksanaan mengenai

peraturan yang berlaku. Sesuai

dengan prinsip

pembangunan yang antara lain menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan

74

Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia
Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Universitas Sumatera Utara

bersama oleh masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung
jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah,
tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dengan baik.75
Pemerintah melindungi konsumen dengan cara mengatur pengendalian
mengawasi produksi, distribusi dan pengedaran produk makanan sehingga
konsumen tidak dirugikan baik kesehatan maupun keuangannya. Pengawasan
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pihak produsen bertujuan untuk
membina dan mengembangkan usaha di bidang produksi dan distribusi serta
menciptakan usaha perdagangan yang jujur.
Badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) yang dahulunya adalah
Direktrorat Jenderal pengawasan obat dan makanan di bawah Departemen
Kesehatan yang tugas dan fungsinya menjalankan sebagian kewenangan di bidang
obat dan makanan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 130/Menkes/SK/I/2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan. Sesuai dengan perundang-undangan yang ditetapkan bahwa Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan peraturan yang berlaku, yaitu :

1. Ordonansi tentang Obat Keras
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Diganti dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
75

Ibid

Universitas Sumatera Utara

Setelah era reformasi berjalan, Badan POM ditetapkan menjadi LPND
yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan
obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, agar lebih terarah pengawasan tersebut, maka tentunya akan dilakukan
pemisahan antara fungsi dan kewenangannya sebagai LPND harus lebih jelas dan
terfokus dan lebih untuk ditekankan kepada kebijakan dalam pengawasan di
bidang pemerintahan di bidang obat dan makanan, maka Badan POM sebagai
LPND mempunyai fungsi dan kewenangan di dalam membentuk regulasi di
bidang pengawasan obat dan makanan baik yang berbentuk

undang-undang

maupun ketentuan yang secara hirarkis berada di bawahnya untuk dapat efektif
berlaku, jelas membutuhkan sumber daya yang mampu menjalankan perintah dan
melaksanakan penegakan hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut.

Oleh

karena

itu

dalam

melaksanakan

tugas

pokok

dan

fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan, dibentuk Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (Badan POM).
Keberadaan Badan POM didasarkan pada keputusan Presiden Nomor 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun
2001. Dalam Pasal 67 disebutkan bahwa fungsi Badan POM meliputi sebagai
berikut :

1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan
obat dan makanan

Universitas Sumatera Utara

2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan
3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM
4. Pemantauan pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintahdan masyarakat di bidang pengawasan obat dan
makanan
5. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan

umum,

ketatausahaan,

organisasi

dan

tatalaksana,

kepegawaian, keuangan, karsipan, hukum, persandingan, perlengkapan
dan rumah tangga.

Tugas dari BPOM diatur dalam Kepres No. 166/2000, yaitu dalam Pasal
73 yang menyebutkan bahwa BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai tugas dan wewenang dari
BPOM yang lebih spesifik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan
dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 264A/MENKES/SKB/VII/
2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas,

Fungsi, dan

Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan. Namun dalam
menjalankan tugas pokok tersebut BPOM mendapatkan hambatan, baik itu dari
pelaku usaha, konsumen maupun pemerintah. Hambatan dari pemerintah tersebut
ialah masih adanya campur tangan dari pemerintah yang melindungi kepentingan
pribadi maupun golongan, yang mengakibatkan terkekangnya BPOM sehingga
tidak bisa menjalankan tugasnya dengan semestinya. Padahal dengan adanya 2
peraturan terebut di atas, seharusnya BPOM memiliki wewenang sepenuhnya

Universitas Sumatera Utara

untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak lain. Tetapi
kedua peraturan tersebut rupanya masih kurang kuat dalam menunjang BPOM. 76
Demikian juga halnya dengan kewenangan Badan POM sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 bahwa
kewenangan Badan POM meliputi sebagai berikut :

1. Penyusunan secara nasional secara makro di bidangnya
2. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan
secara makro
3. Penetapan sistem informasi di bidangnya
4. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat adiktif) tertentu
untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan
makanan
5. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri
farmasi
6. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan pengawasan
tanaman obat

Kewenangan Badan POM sebagai lembaga pemerintah non departemen
(LPND) dipertegas lagi dan dijabarkan lebih rinci dalam Keputusan Presiden
Nomor 110 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2005. Pasal 44 Keputusan Presiden Nomor

Landasanteori.com,”Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kedudukan, Tugas,
dan Wewenang Latar Belakang dan Sejarah”,Diakses pada tanggal 4 Januari 2017, Ditulis oleh
Templatoid.
76

Universitas Sumatera Utara

110 tahun 2001 menetapkan Badan POM terdiri dari tiga ke Deputian yang
membidangi :

1. Pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif
2. Pengawasan obat tradisional, kosmetik produk komplemen/suplemen
makanan serta
3. Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya.

Badan POM secara hukum sudah mempunyai kedudukan yang kuat di
dalam membuat suatu kebijakan di bidang obat dan makanan dalam rangka
pelaksanaan pengawasan obat dan makanan yang beredar di wilayah Indonesia.
Kedudukan Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen

bila

ditinjau dari segi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia maka
sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden, diperintahkan oleh Undang-Undang untuk mengajukan prakarsa
kepada Presiden dalam hal pengajuan pembentukan peraturan perundangundangan sepanjang menyangkut di bidang pemerintah, di bidang obat dan
makanan dalam rangka mengambil suatu kebijakan yang mengacu kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PEMBAHASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP
MAKANAN MENGANDUNG ZAT BERBAHAYA

A. Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan yang Mengandung Zat
Berbahaya menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 ayat (2) yang dimaksud dengan konsumen adalah :77
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Pengertian konsumen dalam penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir bukan konsumen
antara sebagaimana yang terdapat dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir
adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen
antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari
proses suatu produksi lain. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti
konsumen adalah pemakai terakhir dari benda atau jasa ( Uiteindelijke gebruiker
van goerderen endiesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (
ondernamer).78

77

Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen
78

BPHN, 1986, Hasil-Hasil Pertemuan Ilmiah (Simposium, Seminar, Lokakarya),
Jakarta, hlm. 57.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan secara detail bagaimana
perlindungan konsumen terhadap zat makanan yang berbahaya, namun lebih
jelaskan tentang itikad baik pelaku usaha, termasuk pelaku usaha industri rumah
tangga karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,
sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik
dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna
penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja
disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang atau diproduksi oleh produsen atau pelaku usaha, sedangkan
bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat
melakukan transaksi dengan produsen.79
Pada pasal 90 ayat (1) undang-undang Republik Indonesia Nomor 18
tahun 2012 tentang Pangan mengatakan “Setiap orang dilarang mengedarkan
pangan tercemar”80 Berkaitan dengan produksi makanan dan minuman industri
rumah tangga yang dengan mudah diperoleh di pasaran, tidak tertutup
kemungkinan beredarnya makanan maupun minuman yang tidak memenuhi syarat
kesehatan yaitu : aman, bermutu dan bergizi. Setiap orang yang memproduksi
pangan yang diedarkan perlu dibebani tanggung jawab, terutama apabila pangan
yang diproduksinya menyebabkan, baik kerugian pada kesehatan manusia
maupun kematian orang yang mengkonsumsi pangan tersebut.

79

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, hal. 54-55
80
Udang-Undang Repulik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

Universitas Sumatera Utara

Produsen atau pelaku usaha bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang
diderita konsumen, baik berupa gangguan kesehatan atau kematian yang
disebabkan oleh mengkonsumsi produk pangan yang beracun atau berbahaya.
Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan menegaskan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas
keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian kepada
konsumen. Dengan kata lain, memberi pertanggungjawaban adalah kewajiban
produsen. Dasar pertanggung jawaban produsen dapat juga dilihat dalam Pasal 41
ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 yang
mengatur bahwa: ”Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(3), dalam
hal badan usaha dan atau orang dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa hal
tersebut bukan diakibatkan kesalahannya, maka badan usaha dan atau orang
perorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian”.
Pasal 8 angka (1) huruf (a), angka (2) dan angka (3) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menetapkan sejumlah larangan kepada pelaku usaha untuk memproduksi dan atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1. tidak memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan pada label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
3. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

Universitas Sumatera Utara

4. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan
atau pemanfaatan yang paling baik atau barang tertentu;
5. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
6. tidak memasang label atau memuat informasi penjelasan mengenai barang
yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat;
7. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentua perundang-undangan yang
berlaku;
Dan pada Pasal 62 ayat (1) yaitu: “pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000; (dua milyar
rupiah);
Dalam pasal 94 Undang-undang Republik Indonesia No.18 Tahun 2012
Tentang pangan terdapat sanksi Administrasi yang diterapkan sebagai berikut:
a. Denda
b. Pengehentian Sementara dari Kegiatan Produksi atau peredaran
c. Penarikan Pangan dari Peredaran oleh Produsen
d. Ganti rugi dan/atau Pencabutan Izin

Universitas Sumatera Utara

Akibat – akibat hukum yang diatur tersebut itulah yang dapat mencegah
para pelaku usaha untuk memakai zat makanan berbahaya makanan sehingga para
konsumen tetap terlindungi.

B. Pengawasan Badan Pengawasan Obat Dan Makanan terhadap
Kelayakan dan Keamanan Produk Makanan
Badan POM sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LNDP)
mempunyai fungsi pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan
terhadap mutu, khasiat dan manfaatnya dari standar yang ditentukan, dimana
karena kedudukannya sebagai organ negara diberikan tugas dan fugnsi untuk
mengawasi seluruh peredaran obat dan makanan mencakup pengawasan dari
post market sampai dengan pre market, 81 artinya pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah dalam hal ini Badan POM sangat luas dari hulu sampai ke
hilir. Oleh karena itulah pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan
perlu ada suatu kerjasama yang baik antara para penegak hukum itu sendiri
dengan instansi terkait yang harus menangani bagaimana peredaran obat dan
makanan seharusnya yang diatur dan diperboleh oleh aturan yang berlaku, dan
oleh sebab itu, pemerintah memberikan kepercayaan kepada Badan POM
tentang kewenangan pengawasan obat dan makanan di seluruh wilayah
Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001.
Badan POM bukan merupakan single player, akan tetapi pemerintah
daerah yang juga terlibat dalam lisensi dan sertifikasi produk tertentu (pangan
industr rumah tangga), dan oleh sebab itu diperlukan dukungan masyarakat,
81

Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia Badan
Pengawasan Obat dan Makanan

Universitas Sumatera Utara

karena kalau tidak akan tetap banyak ditemukan obat-obat palsu dan makanan
yang kadaluarsa di pasaran. Untuk itu perlu dibangun suatu sistem
pengawasan dan peningkatan sumber daya manusia yang ada baik dari segi
pengkajian analisa obat maupun penerapan hukumnya sendiri yang selama ini
terlihat belum tepat dilakukan dan sanksi yang diberikan terkesan ringan dan
penerapan hukumnya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di samping
itu juga, terkesan adanya intervensi dari penegak hukum antara lain dari pihak
Jaksa Penuntut Umum, Polisi, Hakim dalam memutus perkara di bidang obat
dan makanan (money power) masih sering terjadi. 82
Walaupun sudah diatur tugas dan kewenangan Badan POM, akan tetap
tugas dan kewenangan yang dimiliki tersebut akan mengalami kelemahan
kalau tidak didukung oleh semua pihak, karena sistem pengamanan obat dan
makanan dibuat sedemikian dan dibentuk menjadi berlapis tiga, yaitu kesatu,
pengawasan yang dilakukan oleh produsen sebagai tanggung jawab produksi
serta distributor sebagai bagian dari mata rantai, kedua, pemerintah dalam hal
ini Badan POM, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Universitas Sumatera
Utara bertanggung jawab pada standar dan penentuan yang dilakukan,
terutama menyangkut produk yang canggih dan beresiko tinggi seperti obatobatan dimana masyarakat/ konsumen tidak mungkin menentukan sendiri
mutu daripada produk tersebut, ketiga, masyarakat sebagai konsumen,
mempunyai hak untuk memilih suatu produk, karena pada akhirnya
masyarakatlah yang menetapkan pilihannya tentang penggunaan suatu

82

Hasil wawancara dengan Dra. Elita Rahman Apt. Pada tanggal 1 februari 2017

Universitas Sumatera Utara

produk.83
Pada sistem pengawasan yang dikenal dalam Hukum Administrasi Negara
seharusnya ditetapkan suatu peraturan bagi komunikasi timbal balik, yaitu
diserahkan kepada masyarakat untuk mengadukan sendiri pelanggaran atas
hukum yang diterapkan di bidang obat dan makanan dan membuatnya berlaku
melalui suatu proses (seperti dalam hubungan perdata), dan kemudian dalam
hal penuntutan pelanggaran merupakan tugas dari pemerintah/ Badan POM.
Demikian juga terikatnya beberapa kegiatan atau keadaan pada suatu
perizinan, pengesahan persetujuan atau suatu bentuk pemberian kuasa yang
lain oleh karena kegiatan-kegiatan itu pada dasarnya adalah terlarang kecuali
jika dilaporkan dan memperoleh izin. Selanjutnya, pengawasan atau kontrol
itu dilaksanakan pada saat dilaporkan dan kemudian penyelidikan, apakah
tidak ada orang yang bertindak tanpa memperoleh izin dan apakah mereka
yang telah mendapat izin memang berpegang pada peraturan.84
Fungsi dan kewenangan yang diterapkan oleh Badan POM adalah sesuai
dengan hukum yang berlaku, dimana secara Hukum Administrasi Negara,
suatu organ pemerintah dalam melaksanakan tugas yang diberikan UndangUndang
Badan pengawasan obat dan makanan Sumatera Utara melakukan
penerapan hukum administrasi, dan dalam hal ini Badan POM dalam
melaksanakan fungsi tersebut harus diakui secara hukum dan harus ada
pengakuan hukum (rule of recognition) baik secara nasional maupun secara

83

Sistem pengawasan obat dan makanan Agency of Drugs and Food Control Republik of
Indonesia badan pengawasan obat dan makanan
84
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press Anggota IKAPI, 1999), hal. 63.

Universitas Sumatera Utara

internasional. Sebagai organ pemerintah, para pejabat Badan POM harus
dilakukan sebagai suatu aparatur pengawasan yang melekat kepada
jabatannya, dimana secara hukum administrasi negara, fungsi tersebut harus
dijalankan. Ridwan HR. mengutarakan bahwa kewenangan yang diberikan
kepada organ pemerintahan harus dijalankan oleh manusia. Tenaga dan
pikiran organ pemerintahan adalah tenaga dan pikiran mereka yang ditunjuk
untuk menjalankan fungsi organ tersebut yaitu para pejabat. Berdasarkan
ketentuan hukum positif, pejabat hanya menjalankan tugas dan wewenang,
karena pejabat tidak memiliki wewenang, pihak yang memiliki dan dilekati
wewenang adalah jabatan. Berdasarkan hukum, jabatanlah yang dibebani
dengan kewajiban, dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak
dan kewajiban berjalan terus tidak perduli dengan pergantian pejabat.85
D. Upaya Penyelesaian Sengketa
Akibat dari suatu produk makanan yang tidak layak,sehingga
menimbulkan kerugian di pihak konsumen juga dapat menyudutkan para
konsumen sehingga menimbulkan sengketa atau permasalahan antara
konsumen dengan pelaku usaha.Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat
dilakukan dengan dua hal sebagai berikut:
1. Penyelesaian Sengketa melalui Peradilan Umum (litigasi)
Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa
sengketa kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau
penggantian atas kerusakan.

85

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 79.

Universitas Sumatera Utara

Seperti halnya dalam sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa
perdata, masuknya suatu perkara ke pengadilan harus melalui beberapa
prosedur yang didahului dengan pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan
perkara perdata di pengadilan negeri.
2. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan(Nonlitigasi)
Dalam kegiatan perekonomian seringkali terjadi permasalahan antara
konsumen dengan pelaku usaha, maraknya perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku usaha dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen, seperti halnya
dalam kegiatan produksi makanan, banyak ditemukan makanan-makanan yang
tidak memenuhi stadar gizi dan tidak layak edar di kalangan masyarakat.
Makanan-makanan yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan
bisa saja mengandung bahan-bahan yang mengandung zat-zat yang berbahaya
bagi konsumen, sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen jika
mengkonsumsinya, baik itu kerugian dari segi materi maupun psikis. Dengan
adanya kerugian yang di alami oleh konsumen, konsumen dapat menggugat
pelaku usaha melalui proses peradilan, proses ini membutuhkan waktu yang
lama, sehingga dipilihlah penyelesaian altrnatif, yaitu untuk meminimalisasi
birokrasi perkara, biaya, dan waktu.
Adapun lembaga peradilan sengketa konsumen di luar pengadilan yaitu
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
a. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/BPSK
Badan penyelesaian sengketa konsumen/BPSK adalah salah satu
lembaga peradilan konsumen yang berkedudukan pada tiap Daerah tingkat II

Universitas Sumatera Utara

kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia yang tugas utamanya menyelesaikan
persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum.
b. Dasar Hukum Pembentukan Lembaga BPSK
Dasar hukum pembentukan BPSK adalah UU No. 8 Tahun 1999, Pasal
49 Ayat 1 UUPK jo. Pasal 2 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001
mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK.
Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Palembang,
Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,
Malang dan Makassar.
Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No.108 Tahun 2004 dibentuk
lagi BPSK di tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di kota Kupang, Samarinda,
Sukabumi, Bogor, Kediri, Mataram, Palangkaraya dan pada kabupaten Kupang,
kabupaten Belitung, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten
Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan kabupaten Jeneponto. Terakhir
pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang
membentuk BPSK di kota Padang, kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung
dan kabupaten Tangerang (Susanti Adi Nugroho, 2010:75).
c. Tugas dan Wewenang BPSK
Setiap penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh majelis yang
dibentuk oleh Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan dibantu oleh
panitera. Susunan majelis BPSK harus ganjil, dengan ketentuan minimal 3
orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Ayat

Universitas Sumatera Utara

(2) UUPK, yaitu unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Salah satu
anggota majelis tersebut wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang
hukum (Pasal 18 SK Menperindag No. 350/MPP/kep/12/2001). Ketua Majelis
BPSK harus dari unsur pemerintah, walaupun tidak berpendidikan hukum.
Untuk menangani sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau
mediasi,

maka

yang

berwewenang

unruk

menetapkan

siapa

yang

menjadipersonilnya baik sebagai ketua majelis yang berasal dari unsur
konsumen dan pelaku usaha adalah ketua BPSK.
Hal ini berbeda dengan majelis yang akan menyelesaikan sengketa
konsumen dengan cara arbitrase, ketua BPSK tidak berwewenang untuk
menentukan siapa yang akan menjadi ketua majelis dan anggota majelis. Yang
berwewenang menentukan siapa yang duduk di majelis adalah para pihak yang
bersengketa, para konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari
anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan
menjadi anggota majelis. Demikian juga, pelaku usaha berhak memilih salah
satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter,
yang akan menjadi anggota majelis.
Selanjutnya, arbiter hasil pilihan konsumen dan arbiter hasil pilihan
pelaku usaha secara bersama-sama akan memilih arbiter ketiga yang berasal
dari unsur pemerintah dari anggota BPSK yang akan menjadi ketua majelis.
Prosedur untuk memilih arbiter hasil pilihan konsumen dan pelaku
usaha, demikian juga arbiter ketiga dari unsur pemerintah dilakukan dengan
mengisi formulir pemilihan arbiter.

Universitas Sumatera Utara

Hasil pemilihan arbiter setelah dituangakan dalam pengisian formulir
pemilihan arbiter akan ditetapkan oleh ketua BPSK sebagai majelis yang
menangani sengketa konsumen dengan cara arbitrase melalui penetapan.
Panitera BPSK berasal dari anggota sekretariat yang ditetapkan oleh
ketua BPSK. Tugas panitera terdiri dari:
1) Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen.
2) Menyimpan berkas laporan.
3) Menjaga barang bukti.
4) Membantu majelis menyusun putusan.
5) Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha.
6) Membuat berita acara persidangan.
7) Memantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa.
Ketua majelis BPSK atau anggota BPSK atau Panitera, berkewajiban
untuk mengundurkan diri apabila terdapat permintaan ataupun tanpa
permintaan ketua BPSK, atau anggota majelis BPSK, atau pihak yang
bersengketa, jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pihak
yang bersengketa.
Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 UUPK jo.
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu:
1) Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

Universitas Sumatera Utara

3) Melakukan pengawasan tehadap pencantuman klausula baku.
4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam undang-undang ini.
5) Melakukan

penelitian

dan

pemeriksaan sengketaperlindungan

konsumen.
6) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
8) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada angka 6 dan 7,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
9) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyidikan dan/atau pemeriksaan.
10) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen.
11) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
12) Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini(Susanti Adi Nugroho, 2010:80).
d. Jangka Waktu Putusan BPSK
BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat 21 hari kerja setelah
gugatan diterima, setelah putusan BPSK diberitahukan selambat-lambatnya

Universitas Sumatera Utara

dalam waktu 7 hari kerja sejak putusan dibacakan, konsumen dan atau pelaku
usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan
BPSK.
Apabila konsumen dan atau pelak usaha menolak putusan BPSK, maka
mereka dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambatlambatnya dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak putusan BPSK
diberitahukan.
Sebaliknya apabila konsumen dan pelaku usaha menerima putusan
BPSK, maka pelaku usaha wajib menjalankan putusan tersebut selambatlambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak menyatakan menerima putusan
tersebut.
Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha,
dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat
tinggal konsumen yang dirugikan. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK,
tetapi tidak mengajukan keberatan setelah melampaui batas waktu untuk
menjalankan putusan. Apabila selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah batas
waktu mengajukan keberatan dilampaui, pelaku usaha tidak menjalankan
kewajiban sebagaimana tertuang dalam putusan BPSK, maka BPSK
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
PENUTUP

Setelah memaparkan uraian-uraian diatas secara keseluruhan maka sebagai
penutup dari penulisan skripsi ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang
kemudian diikuti dengan beberapa saran penulisan yang diharapkan dapat berguna
dan bermanfaat.
A. KESIMPULAN
1. Produsen atau pelaku usaha bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang diderita konsumen, baik berupa gangguan kesehatan
atau kematian yang disebabkan oleh mengkonsumsi produk pangan
yang beracun atau berbahaya. Hal ini diatur dalam Pasal 41 ayat
(1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan dan dalam Pasal 62 ayat (1) diatur yaitu: “pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000; (dua milyar
rupiah); Pada Pasal 94 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2012 Tentang Pangan terdapat sanksi Administratif ;
Akibat – akibat hukum yang diatur tersebut itulah yang dapat
mencegah para pelaku usaha untuk memakai zat makanan
berbahaya makanan sehingga para konsumen tetap terlindungi.
2. Peranan

pemerintah

sangat

diperlukan

untuk

memberi

perlindungan kepada konsumen makanan yang beredar tersebut.
Dengan membuat suatu kebijakan dalam upaya pengendalian dan

Universitas Sumatera Utara

pengawasan serta pembinaan dan penyuluhan, termasuk juga
dalam hal pemberian informasi melalui promosi agar tidak
menyesatkan konsumen fungsinya dalam hal ini pengaturan,
regulasi, standarisasi, evaluasi produk sebelum di ijinkan beredar,
pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produk distributor,
penyelidikan dan penegakan hukum sehingga pemerintah juga
melakukan pengawasan, komunikasi, informasi dan edukasi
melalui badan yang terkait.
3. Perlindungan hukum sebagai akibat dari penggunaan makanan
yang mengandung zat berbahaya yang menyebabkan kerugian bagi
konsumen. Maka konsumen dapat meminta ganti rugi kepada
produsen makanan tersebut melalui upaya hukum yaitu upaya
hukum secara litigasi (pengadilan) maupun diluar pengadilan
sedangkan upaya hukum di luar pengadilan dapat melalui BPSK.

B. SARAN
Dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen terhadap makanan
yang beredar di dalam masyarakat maka menjadi hal yang sangat mendukung
bahwa konsumen itu mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan sehingga
diharapkan.
1. Sosialisasikan melalui informasi yang sebanyak-banyaknya kepada
konsumen.
2. Badan-badan yang terkait dalam hal penegakan hukum konsumen ini
sangat diharapkan sumbangsinya dalam pelaksanaan tugasnya yang

Universitas Sumatera Utara

dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab, sehingga untuk
memberikan upaya perlindungan konsumen terhadap makanan yang
beredar di dalam masyarakat dapat dilakukan dengan hati-hati dan
tidak

berlebihan

yang

dapat

merugikan

atau

menghentikan

pengembangan usaha makanan yang ada di wilayah indonesia.

Universitas Sumatera Utara