Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritus Manuba Ba Adat:Praktik Kontrol Ekologi Masyarakat Dayak Tomun ndau di Desa Batu Tunggal Kalimantan Tengah T2 092013001 BAB IV

Bab Empat
Ritus Manuba Ba Adat
Sebelum penulis membahas tentang Ritus Manuba Ba Adat
secara mendalam maka penulis akan menunjukkan data hasil observasi
yang penulis lakukan selama kegiatan penelitian. Penulis menemukan
ada dua jenis kegiatan Manuba berdasarkan motif masyarakat yang
mendasari mereka untuk melakukan kegiatan ini, yaitu:

1.

Manuba Ba Adat
Manuba Ba Adat adalah rentetan acara yang dilakukan
setelah masyarakat selesai menanam padi di ladang atau dalam
bahasa lokal biasa disebut ritual Menugal di Huma1. Masyarakat
percaya bahwa jika selesai Menugal dan belum melakukan
Manuba Ba Adat maka rentetan dari ritus ini belum selesai.
Manuba Ba Adat bagi masyarakat mempunyai makna meminta
hujan kepada dewata2. Dalam pelaksanaannya kegiatan ritus
Manuba Ba Adat dilakukan berdasarkan norma dan aturan yang
telah diatur secara adat. Dalam pelaksanaannya ada ritual yang
harus dilakukan dan akar tuba yang dipakai tidak menggunakan

bahan kimia tambahan. Dalam pelaksananaannya kegiatan ini
diikuti oleh ± 4 desa yang turut berpartisipasi. Kegiatan ini
dilakukan di sungai besar.

2.

Manuba Ilegal
Manuba Ilegal adalah kegiatan Manuba yang biasanya
dilakukan oleh masyarakat di mana dalam pelaksanaannya tidak
ada kordinasi yang jelas dan pesertanya juga hanya ± sekitar 4-8
orang saja. Kegiatan ini biasanya dilakukan spontan dan
masyarakat biasanya hanya fokus pada mencari ikan. Akar tuba

Ritual ini biasanya dilakukan sebelum masyarakat mempersiapkan ladang atau Huma
dan ritual Manuba Ba Adat merupakan ritual penutup dari rentetan acara menugal.
2Hasil wawancara dengan Bp. Alexander Lauh, selaku Damang Bulik Timur (58 Tahun)
pada tanggal 25 September 2014)
1

33


yang dipakai biasanya dicampur dengan bahan kimia lainnya
seperti racun hama, petisida, tiodan, potas dan decis. Kegiatan ini
biasanya dilakukan di danau atau kolam. Masyarakat yang ikut
serta dalam Manuba ilegal ini biasanya adalah masyarakat
pendatang dan juga beberapa masyarakat lokal yang sudah tidak
begitu memahami tentang pengetahuan lokal dan adat istiadat
mereka.

Sejarah Ekologi Masyarakat Dayak Tomun Lamandau
Masyarakat Dayak Tomun Lamandau memiliki sejarah ekologi
yang sama dengan masyarakat Dayak secara umum. Menurut Bapak
Kota, ketergantungan mereka terhadap sungai dan hutan menjadi ciri
khas masyarakat Dayak khususnya masyarakat Dayak Tomun
Lamandau, hal ini terlihat dalam kegiatan mereka sehari-hari seperti
masih menggunakan kayu untuk memasak dan masih bergantung
penuh terhadap sungai, seperti digunakan untuk mencuci, mandi, BAB
dan jalur transportasi. Berikut merupakan kutipan wawancara dengan
Bapak Kota.
“Sampai saat ini hutan dan sungai selalu memberikan yang

kami butuhkan, sehingga kami harus merawat dan
menjaganya. Kami masih memasak menggunakan kayu dan
untuk mandi, untuk air minum dan untuk ke ladang kami
masih memanfaatkan sungai”

Sebelum membahas lebih jauh, penulis hendak memaparkan
terlebih dahulu mengenai pembagian alam menurut masyarakat Dayak.
Menurut Riwut (2003), alam menurut masyarakat Dayak dibagi
menjadi tiga, yaitu:
a. Alam atas
Alam atas ini adalah Kayangan. Masyarakat Dayak percaya bahwa
alam atas merupakan tempat dari Tahta Kuasa Ranying atau

34

Sanghiang3. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak, dari bumi
menuju Tahta Kuasa Ranying harus melewati tujuh langit dan
empat puluh susunan embun.
b. Pantai danum kalunen (bumi)
Bagi masyarakat Dayak, bumi merupakan tempat kehidupan

sementara, di mana manusia harus berbuat baik.
c. Alam bawah
Alam bawah sadar merupakan dunia yang berada di bawah tanah
dan di bawah air. Masyarakat Dayak percaya bahwa salah satu
penghuni alam bawah tanah adalah Kalue Tunggal Tusoh (penguasa
tumbuh-tumbuhan). Bentuk penghormatan dari masyarakat
terhadap penguasa tumbuh-tumbuhan ini adalah dengan cara
memberikan sesaji atau sesajen yang biasanya digantung di dahan
pohon.
Pola interaksi masyarakat Dayak, khususnya masyarakat Dayak
Tomun Lamandau dalam berinteraksi dengan alam tidak terlepas dari
filosofi masyarakat adat yang menganggap alam sebagai bagian dari
kehidupannya yang harus dijaga dan dirawat. Hal tersebut terjadi
bukan tanpa sebab karena masyarakat Dayak Tomun Lamandau dalam
kehidupan sehari-hari sangat bergantung terhadap alamnya.
Ketergantungan ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti
mengandalkan hasil hutan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
menggunakan sungai untuk mencuci, mandi, untuk air minum dan
jalur transportasi.
Guna menghormati dan menjaga alamnya, dalam setiap

kegiatan adat maupun kegiatan sehari-hari, masyarakat Dayak Tomun
Lamandau selalu menganggap alam khususnya hutan mempunyai
kekuatan yang sakral sehingga mereka akan memberikan sesaji baik
yang diberikan untuk alam maupun untuk Dewata. Sesaji yang
diberikan melambangkan hubungan baik antara masyarakat dengan
Merupakan sebutan Tuhan oleh masyarakat Dayak. Di beberapa daerah di
Kalimantan sebutan Tuhan berbeda-beda tergantung suku.
3

35

alamnya. Kepercayaan mereka terhadap makhluk halus penunggu
hutan membuat beberapa hutan masih terjaga dengan baik.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Kota, beliau mengatakan bahwa
hutan memilik arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat
Dayak Tomun Lamandau yang berada di Desa Batu Tunggal karena
telah menyediakan kebutuhan mereka sehingga hutan harus dirawat
agar sesuai dengan kebutuhan generasi yang akan datang.
Menurut Samsoedin dan Sukiman (2010), masyarakat suku
Dayak yang telah hidup secara turun temurun dengan lingkungannya

pada dasarnya memiliki pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan
tersendiri dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hubungan simbiosis
yang erat dengan alam sekitarnya dari generasi ke generasi ini pada
akhirnya melahirkan kearifan dan teknologi tradisional tersendiri yang
unik dan spesifik yang tidak terduplikasi dan diketemukan di tempat
lain.

Sejarah Ritus Manuba Ba Adat
Sejarah ritus Manuba Ba Adat pada umumnya merupakan
warisan leluhur atau peninggalan nenek moyang yang dipraktekan
secara turun menurun dari generasi ke generasi hingga sekarang. Tidak
ada catatan tentang ritus Manuba Ba Adat karena masyarakat Dayak
pada jaman dahulu masih mengenal tradisi tutur, di mana setiap tradisi
atau kebudayaan dan pengetahuan hanya diceritakan dan
diberitahukan dari mulut kemulut dari satu generasi yang tua ke
generasi yang lebih muda. Pada jaman dahulu, hampir seluruh pelosok
Kalimantan mengenal sistem Manuba Ba Adat dan mempraktekannya
di desa masing-masing dengan istilah yang berbeda sesuai dengan
bahasa daerah masing-masing. Akan tetapi sejak dikeluarkannya UU
No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, masyarakat sudah mulai

meninggalkan kebiasaan ini dikarenakan ketakutan mereka terhadap
sangsi yang diberikan oleh pemerintah, selain itu faktor sudah
memudarnya budaya tutur membuat kaum muda masyarakat Dayak
sudah tidak begitu bisa memaknai arti yang terkandung dibalik
36

kegiatan dari kegiatan ritus ini. Akan tetapi walaupun demikian, Desa
Batu Tunggal sampai saat ini masih mempertahankan kegiatan dari
ritus ini, hal ini dikarenakan masyarakat masih memiliki komitmen
bersama untuk menjaga kebudayaan ini. Berikut merupakan kutipan
wawancara dengan Bapak Kota:
“Di Lamandau sudah banyak yang tidak mempraktikan ritus

Manuba Ba Adat. Masyarakat adat takut terhadap sangsi yang
diberikan karena menggunakan akar tuba. Di Batu Tunggal,
ritus ini masih dapat berjalan dengan baik karena adanya
komitmen kami untuk tetap menjaga warisan nenek
moyang”

Peralatan Yang Digunakan Dalam Ritus Manuba Ba Adat

Dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat ada beberapa peralatan
yang digunakan oleh masyarakat adat dalam menunjang pelaksanaan
kegiatan ritus ini. Dalam beberapa perlengkapan mempunyai simbol
dan makna tertentu bagi masyarakat Dayak Tomun Lamandau yang
berada di Desa Batu tunggal, sehingga penulis berusaha untuk
memaparkanya berdasarkan hasil wawancara. Peralatan yang digunakan oleh masyarakat dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat, oleh
penulis dibagi menjadi enam bagian, yaitu:
a.

Perlengkapan untuk berkemah

Perlengkapan untuk berkemah atau mendirikan tenda di
Korangan biasanya dibawa sendiri oleh para peserta yang akan
mengikuti kegiatan ritus Manuba Ba Adat, seperti: tenda, tikar untuk
alas tidur, bambu dan kayu. Biasanya batang bambu dan kayu tersebut
diambil oleh masyarakat di sekitar kegiatan ritus Manuba Ba Adat atau
di sepanjang aliran air yang terdapat pohon bambu atau kayu. Biasanya
masyarakat akan mengambil bambu dan kayu sesuai dengan
kebutuhan, jika ternyata bambu dan kayu yang diambil tersebut
berlebih maka mereka akan memberikan bambu tersebut kepada

peserta lainnya yang belum mempunyai bambu dan kayu untuk

37

membangun tenda. Kegiatan membuat tenda ini pun biasanya
dilakukan secara gotong royong.
b.

Perlengkapan konsumsi

Segala bentuk perlengkapan konsumsi akan dibawa secara
mandiri oleh semua peserta ritus Manuba Ba Adat. Perlengkapan
konsumsi tersebut terdiri dari peralatan memasak mulai dari kompor
minyak, minyak tanah, beras, minyak goreng, pisau atau parang,
piring, gelas dll. Jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan yang
berhubungan dengan konsumsi maka masyarakat atau peserta yang
lain akan membantu, mulai dari meminjamkan atau memberi yang
diperlukan. Di bawah ini merupakan gambar perlengkapan konsumsi
yang dibawa oleh peserta dari ritus Manuba Ba Adat:


Sumber: Data Primer 2014

Gambar 4.1. Perlengkapan Konsumsi Peserta Ritus

c.

Perlengkapan untuk Balai dan Pantar

Selain perlengkapan konsumsi, perlengkapan lain yang wajib
untuk dipersiapkan adalah perlengkapan untuk membuat Balai dan
Pantar karena tanpa adanya dua hal tersebut maka kegiatan dari ritus

38

ini akan menjadi kurang sempurna. Untuk Balai, yang harus dipersiapkan adalah bambu4, kain sarung maupun kain panjang5, bendera6.
Tiang pantar yang harus dipakai dalam kegiatan ritus ini harus
berjumlah ganjil seperti 3 (tiga), 5 (lima) dan 7 (tujuh). Masyarakat
percaya jika tiang pantar yang dipakai melebihi ketentuan yang sudah
ada maka mereka percaya bahwa mereka akan dianggap mengutuk
Dewata. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Kota, beliau

mengatakan bahwa angka-angka tersebut terlihat dalam jumlah
peralatan yang dipakai dalam kegiatan ritus. Jika tidak menggunakan
angka-angka yang sudah ditentukan maka masyarakat akan mengalami
musibah. Berikut kutipan wawancaranya;
“Dalam ritus Manuba Ba Adat harus menggunakan
menggunakan angka 3, 5, 7. Contohnya jumlah tiang pantar
yang akan didirikan (3 tiang), jumlah perahu daun7
(kehilipan) yang akan dihanyutkan (7 perahu), jumlah gelas
dari bambu (3 ruas bambu), 5 buah bendera yang dipasang
disekeliling balai, 3 pasangan lawan jenis untuk menari
nganjan, 7 kali mengelilingi pantar dalam menari nganjan
dan 7 tingkatan tangga yang diletakkan di depan balai. Angka
ganjil tersebut dipercaya merupakan angka yang memang
harus digunakan. Masyarakat percaya jika angka yang
digunakan tidak sesuai maka akan mendapat musibah”.

Menurut Daeng (2008), makna angka yang selalu digunakan
oleh masyarakat adat selalu mempertimbangkan makna simboliknya.
Seperti angka 2 (dua) dan angka 3 (tiga), 5 (lima), 7 (tujuh), masingmasing angka tersebut mempunyai makna tersendiri. Angka 2 (dua)
dan angka 3 (tiga) dipakai sebagai tanda keselarasan, angka 5 (lima)
Fungsi dari bambu adalah untuk membangun kerangka balai dan tangga yang
diletakan dibagian depan balai. Masyarakat percaya jika balai dibuat dari bambu maka
doa mereka akan cepat tercapai.
5 Kain ini berfungsi untuk menutup balai. Untuk atap dan dinding balai.
6 Bendera yang digunakan berjumlah 5 warna, yaitu warna kuning, bendera merah
putih dan tiga kain batik dengan motif dan warna yang berbeda. Kain kuning bagi
masyarakat melambangkan sesuatu yang sakral. Bendera merah putih dipakai sebagai
simbol pengakuan mereka terhadap bangsa ini dan kain batik digunakan sebagai
pelengkap tanda. Bendera bermakna sebagai tanda yang diberikan masyarakat kepada
dewata bahwa sedang ada acara dan balai sudah didirikan, sehingga dewata yang
dipanggil sudah bisa datang.
7 Daun yang digunakan adalah daun Sensabag’ng.
4

39

dipakai sebagai simbol rejeki dan angka 7 (tujuh) mempunyai makna
kesempurnaan tertinggi dan penggenapan. Seperti halnya masyarakat
Dayak Tomun Lamandau, angka-angka tersebut mempunyai makna
keselarasan, simbol rejeki dan makna kesempurnaan, walaupun masyarakat tidak menyadari makna dari simbol angka yang mereka gunakan.
Dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat yang dilakukan di Desa
Batu Tunggal, tiang pantar yang dipakai berjumlah tiga buah tiang.
Tiang pantar yang akan dipakai harus merupakan batang kayu yang
sudah lama terendam di dalam air dan berada di sungai dalam waktu
yang lama. Makna dari tiang pantar yang terendam ini adalah supaya
ikan yang kena air tuba tersebut akan mengambang di atas air. Di
bawah ini merupakan gambar dari balai dan tiang pantar yang ada
dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat di Desa Batu Tunggal;

Sumber : Data Primer, 2014

Gambar 4.2. Balai Dan Tiang Pantar

d.

Perlengkapan musik dan tarian

Alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional
masyarakat Dayak Tomun Lamandau seperti Gong. Akan tetapi ada
juga alat musik yang dibuat oleh masyarakat dari kayu yang dipotong
dan ketika dipukul alat musik tersebut menghasilkan nada yang
bervariasi.
Berikut merupakan gambar alat musik yang dipakai dalam
kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa
40

beberapa masyarakat sedang memainkan alat musik. Alat musik ini
digunakan untuk mengiringi tarian nganjan dan beigal.

Sumber: Data Primer, 2014

Gambar 4.3. Masyarakat Sedang Memainkan Alat Musik

e.

Perlengkapan untuk sesaji

Untuk membuat sesaji yang akan diletakan di bagian depan dan
belakang balai memerlukan: bambu yang sudah diserut halus,
kemudian dianyam membentuk segiempat, ayam satu ekor8, tuak9,
lomang/ ketan yang dimasak didalam bambu10 dan dupa. Berikut
merupakan gambar dari sesaji, lomang dan dupa yang dipakai dalam
kegiatan ritus Manuba Ba Adat, yaitu: angka 1 merupakan gambar dari
dupa yang akan dibakar dalam kegiatan ritus ini. Angka 2 (gambar
bagian kiri) merupakan gambar dari lomang yang sudah masak. Angka
3 (gambar bagian kanan), merupakan gambar dari sesaji dan tuak

Ayam didapat dari hasil iuran masyarakat. Biasanya masyarakat akan memberi
sejumlah uang kepada panitian ritus kemudian uang tersebut akan digunakan demi
kepentingan ritus, salah satunya adalah membeli ayam untuk sesaji.
9 Tuak biasanya didapat dari iuran masyarakat. Masyarakat akan memberi kepada
panitia atau langsung kepada manter adat ketika acara berlangsung. Biasanya
masyarakat akan memberi tuak secara sukarela sesuai dengan kemampuannya.
10 Seperti halnya dengan perlengkapan sesaji lainnya, lomang juga merupakan iuran
langsung dari masyarakat.
8

41

Sumber : Data Primer 2014

Gambar 4.4. Sesaji, Lomang dan Dupa

Lomang biasanya dimasak oleh ibu-ibu yang ikut berpartisipasi
dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat. Lomang berisi beras ketan yang
diberi santan. Berikut merupakan gambar di mana ibu Hotto sedang
memasak lomang yang ditemani oleh saudara dan ibunya.

Sumber: Data Primer, 2014

Gambar 4.5. Membakar Lomang

42

f.

Perlengkapan untuk Lumpag’ng

Perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan Lumpag’ng, oleh
penulis dibagi menjadi dua berdasarkan kegiatan Lumpag’ng, yaitu:

Lumpag’ng dalam prosesi ritus Manugal
Dalam kegiatan ini beberapa perlengkapan yang diperlukan
adalah tuak, perlengkapan pepinangan (buah pinang, daun sirih,
tembakau, kapur dll) dan ruas bambu yang digunakan sebagai
gelas berjumlah 7 ruas.

Sumber : Data Primer 2014
Keterangan : Tanda panah merah untuk gambar pepinangan dan tanda
panah hijau untuk gambar tuak.

Gambar 4.6. Tuak Dan Pepinangan

Sumber : Data Primer 2014

Gambar 4.7. Ruas Bambu (Lumpag’ng Sempolah)

43

Lumpag’ng dalam prosesi ritus Manuba Ba Adat
Perlengkapan yang diperlukan untuk Lumpag’ng dalam prosesi
ritus Manuba Ba Adat adalah akar tuba, tuak, pepinangan, tiang
pantar, peralatan untuk tarian nganjan dan beigal, kayu yang
sudah dibentuk seperti pemukul bola kasti gunanya untuk
mencacah akar tuba dan daun sensabag’ng untuk perahu
kehilipan.

Sumber : Data Primer 2014

Gambar 4.8 Kayu Pencacah Akar Tuba

g.

Perlengkapan untuk mencari ikan

Perlengkapan untuk mencari ikan biasanya dipersiapkan sendiri
oleh masyarakat yang ikut ritus Manuba Ba Adat, seperti tangu’ dan

tembulig’ng.

Pada gambar di bawah ini dapat dilihat bahwa masyarakat
memegang bambu panjang. Bambu panjang tersebut merupakan
tembulig’ng yang di mana di bagian ujung bambu tersebut terdapat
mata tombak yang berfungsi untuk menombak ikan dan bagian ujung
yang tidak ada mata tombak, biasanya oleh masyarakat digunakan
untuk mengayuh atau mendorong perahu secara perlahan.

44

Sumber : Data Primer 2014

Gambar 4.9. Tangu’

Sumber : Data Primer 2014

Gambar 4.10. Tembulig’ng

Jenis Ikan Di Desa Batu Tunggal
Ikan yang akan dibahas adalah hanya jenis ikan yang
ditemukan dalam kegiatan Manuba Ba Adat di Desa Batu Tunggal.
Jenis ikan yang ditemukan adalah Ikan barakas, ikan banta, ikan salap/
tengadak, ikan lampam, ikan jalujung, ikan baung putih/ kanuri, ikan
puhing/rengawan, ikan kalabau, ikan saluang sungai, ikan buntal
kelapa dan ikan lais. Data mengenai jenis ikan akan disajikan melalui
45

Tabel 4.1 dan gambar mengenai jenis-jenis ikan yang berada di Desa
Batu Tunggal akan disajikan melalui Gambar 4.11.
Tabel 4.1. Jenis Ikan Di Desa Batu Tunggal
NO
1

Suku
Bagridae

2

Cyprinidae

Jenis
Mystus baramensis

Barbonymus schwanenfeldii
Cyclocheilichthys repasson
Osteochilus kelabau
O. triporos
Puntius rhomboocellatus
Rasbora maculate
3
Hemirhampodon
Hemiramphidae
chrysopunctatus
4
Kryptopterus macrocephalus
Siluridae
5
Tetraodon reticularis
Tetraodontidae
6
Sumber : Data diolah Tahun 2015

46

Nama Lokal
Baung Putih/
Kanuri
Salap/ Tengadak
Puhing/ Rengawan
Kalabau
Banta
Lampam
Saluang Sungai
Jalujung
Lais
Buntal Kelapa
Barakas

Baung Putih (Mystus baramensis)

Puhing/Regawan
(Cyclocheilichthys repason)

Lampam (Puntius rhomboocellatus)

Salap/Tengadak
(Barbonymus schwanenfeldii)

Banta (O. triporos)

Saluang Sungei (Rasbora maculata)

Jajulung (Hemirhampodon chrysopunctatus)

Kalabau (O. kelabau)

Buntal kelapa (Tetraodon reticularis)

Lais (Kryptopterus macrocephalus)

Sumber : Data Bappeda Tahun 2012

Gambar 4.11. Ikan Hasil Manuba Ba Adat Di Desa Batu Tunggal

Prosesi Ritus Manuba Ba Adat
Manuba Ba Adat merupakan rentetan acara menugal di Huma.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak. Alexander Lauh (58 Tahun),
Masyarakat percaya bahwa jika selesai Menugal dan belum melakukan
Manuba Ba Adat maka rentetan dari ritus ini belum selesai. Manuba Ba
Adat bagi masyarakat mempunyai makna meminta hujan kepada
dewata setelah mereka Manugal. Seperti dituturkan oleh Bapak
Alexander Lauh (58 Tahun), dalam wawancara yang penulis kutip di
bawah ini:
“Manuba Ba Adat merupakan ritual adat yang mempunyai
makna meminta hujan kepada Dewata karena Ritual
Manuba Ba Adat merupakan rentetan dari acara Menugal

47

(menanam padi) di Huma (ladang). Kami percaya jika selesai
Menugal dan belum melaksanakan ritual Manuba Ba Adat
maka rentetan dari ritus Menugal belum selesai”

Sebelum membahas tentang Manuba Ba Adat maka akan
dibahas terlebih dahulu prosesi Manugal di Huma. Prosesi Manugal
masih dilakukan sampai sekarang karena masih banyak masyakat
Dayak yang mempunyai mata pencaharian sebagai petani khususnya di
Desa Batu Tunggal, walaupun juga ada beberapa masyarakat yang
bekerja sebagai Guru, Berdagang dan bekerja di pemerintahan.
Menurut Nurcahyani (2003), ada beberapa tahap yang dikenal
oleh masyarakat Dayak mengenai pengelolaan lahan tempat Manugal.
Sebelum membahas lebih jauh maka perlu dipahami terlebih dahulu
bahwa sistem pertanian di Kalimantan sampai saat ini masih dilakukan
secara tradisional. Pengelolaan lahan masih menggunakan tenaga
manusia dan hasilnyapun masih bergantung pada kesuburan alami dari
tanah. Untuk membuka lahan baru, masyarakat Dayak masih memakai
cara-cara tradisional, memperhatikan tanda-tanda alam dan
mendengarkan berbagai jenis bunyi burung yang dipergunakan sebagai
petunjuk. Pembukaan lahan tersebut akan dibatalkan jika ditemukan
tanda-tanda yang tidak baik seperti batu asah dikerumuni oleh semut,
ada orang yang meninggal dan melalui mimpi. Namun ada ketentuan
yang yang menjadi kebiasaan apabila ladang tersebut sudah digunakan
selama turun temurun maka ketika akan memulai menanam
masyarakat akan melakukan upacara adat.
Secara keseluruhan siklus penanaman padi atau berladang
biasanya dimulai pada bulan Mei sampai pada bulan Januari. Pertamatama orang akan mencari lokasi yang akan dijadikan tempat berladang.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pembersihan lahan yang akan
ditanami dengan menggunakan dua tahap, Pertama, menebas lahan
untuk membersihkan semak-semak dan pepohonan yang kecil. Kedua,
langkah selanjutnya adalah menebang pohon yang besar setelah itu
penggarapan ladang akan dihentikan sementara waktu selama kurang
lebih dua minggu supaya semua pohon dan semak-semak tersebut
menjadi kering dan mudah untuk dibakar. Bulan Agustus adalah
48

musim membakar lahan dan pada bulan September adalah musim
Manugal atau menanam benih padi di ladang.
Kegiatan Manugal biasanya dilaksanakan di tengah ladang,
akan tetapi dalam prosesi Manuba Ba Adat, kegiatan Manugal akan
dilakukan lagi di atas batu-batu di mana prosesi doa-doa dilaksanakan.
Kegiatan Manugal yang dilaksanakan dalam ritual Manuba Ba Adat
hanya berupa simbol yang menyatakan bahwa ritual ini tidak bisa lepas
dari rentetan dari kegiatan Manugal. Berikut merupakan prosesi ritus
Manugal yang dilaksanakan berdasarkan wawancara dengan Bapak
Alexander Lauh, yaitu:

1.

Lumpag’ng11 Pabuagkan
Acara ini artinya berdoa supaya ladang menjadi subur dan
menghasikan padi yang banyak.

2.

Lumpag’ng Karatika
Karatika artinya adalah waktu. Yang dimaksud dengan Karantika
dalam konteks ini adalah waktu menugal12, ngoja’13, mehobag’ng14.
Arti dari prosesi ini adalah telah tibanya saat bagi masyarakat
untuk mulai melakukan segala kegiatan di ladang.

3.

Lumpag’ng Sakonyang
Dalam acaranya ini masyarakat memberikan sesaji yang diberikan
kepada Syang Hiang Sori Duwata Padi, maksud dari acara ini
adalah masyarakat percaya mereka harus membuat kenyang
dewata padi supaya padi mereka diberkahi. Mereka percaya
sebelum mereka kenyang (memanen padi) mereka harus membuat
dewata kenyang dahulu.

4.

Lumpag’ng Tugal & Kangkag’ng
Artinya dalam acaranya diberitahukan aturan yang harus dipatuhi
di mana pihak laki-laki harus memegang tugal (alat untuk
membuat lobang ditanah yang nantinya akan ditanami bibit padi)

Kata Lumpag’ng merupakan prosesi doa-doa yang dipanjatkan.
Menanam padi
13 Doa mengurus padi di ladang
14Mendirikan satu tempat pemujaan di ladang.
11

12

49

dan perempuan melangkahi lubang tukal untuk menanam dan
perempuan yang harus menyemai bibit padi atau memasukan
bibit padi kelubang bibit yang sudah dibuat (kangkag’ng).

5.

Lumpag’ng sempolah

Lumpag’ng dibelah menjadi 4, sebelum dibelah ada doa yang
dipanjatkan “meanhi nendayan’tkan ka lomhag’ng coru’, Bukit
natai”15

6.

Lumpag’ng tuntug’ng

“tuntug’kam pehonha’ pehiri, Behuma ulih padi, bejolu ulih lau’,
Bebungkug’ng bosar, beruas dalap’m, bebatag’ng pipih, bedaut’n
lumhah, bebigi’ muras berisi gerantug’ng hempodu sorah”16

Setelah prosesi ritus Manugal selesai maka selanjutnya acara
Ritus Manuba Ba Adat bisa dilaksanakan. Berikut akan dijelaskan
proses pelaksanaan Ritus Manuba Ba Adat yang telah dilaksanakan di
Desa Batu Tunggal, berdasarkan wawancara dengan Bapak Kota, selaku
Manter Adat Desa Batu Tunggal.
1. Persiapan (Hari Pertama)
Persiapan yang dilakukan oleh masyarakat adalah membentuk
panitia yang diketuai oleh ketua adat, panitianya terdiri dari ketuaketua RT (Rukun Tetangga). Selain itu yang harus dipersiapkan adalah
tuak yang dikumpulkan secara swadaya dan sukarela, sesaji, hewan
kurban, alat musik, bambu untuk mempersiapkan balai dan tempat
sesaji, kayu yang akan digunakan sebagai tiang Pantar, kain dan
selendang yang akan digunakan untuk menari, bendera dan kain yang
akan dipasang di balai.
Pada hari pertama masyarakat berbondong-bondong menuju
tempat ritual adat yang akan dilakukan di sungai. Masyarakat
menggunakan sampan dan perahu bermotor untuk menuju ketempat

15
16

Arti dari doa ini adalah di manapun menanam padi maka hasilnya akan tetap bagus
Arti dari doa ini adalah apa yang diinginkan akan terkabul.

50

ritual tersebut. Tempat yang akan dilaksanakannya prosesi ritual
Manuba Ba Adat adalah Korangan Garig’ng17.

Sumber: Data primer Tahun 2014

Gambar 4.12. Persiapan Menuju Korangan Garig’ng18

Sesampainya di Korangan Garig’ng masyarakat mulai mencari
bambu dan kayu untuk membuat tenda sebagai tempat bernaung
masyarakat yang akan bermalam dan panitia juga mulai
mempersiapkan balai dan tiang pantar yang akan digunakan untuk
prosesi yang akan dilakukan pada malam hari.

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.13. Masyarakat Memasang Tenda Dan Panitia Membuat Balai
Korangan artinya adalah daerah sungai yang mengering dan membentuk dataran
kering.
18Bapak Artemon dan Keluarga Bapak Hoto
17

51

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa masyarakat sedang
memasang tenda dan beberapa panitia sedang menganyam dan
menyerut bambu yang akan digunakan untuk membuat balai.
Pada malam pertama di sungai, prosesi adat dimulai pada pukul
7 malam. Acaranya adalah memanjatkan doa-doa19, melakukan
musyawarah untuk menentukan batas air tuba, berapa akar tuba yang
telah dikumpulkan dan berapa orang yang menghadiri kegiatan
Manuba. Mendirikan tiang pantar dan menari nganjan20. Selain itu juga
ada doa-doa (Lumpag’ng) yang dilaksanakan di atas Korangan Garig’ng.
Ketika acara doa-doa (Lumpag’ng) dilaksanakan masyarakat secara
sukarela memberikan tuak kepada mereka yang ikut dalam prosesi ini,
biasanya yang ikut adalah panitia dan orang-orang yang telah dituakan
di kampung tersebut, sedangkan masyarakat yang lain hanya
mengikuti didekat mereka yang berkumpul tersebut dengan
membentuk kelompok sendiri. Berikut merupakan prosesi acara doadoa (Lumpag’ng):
a) Lumpag’ng haup’m pakat
Dalam kegiatan ini kepala adat dan para tetua-tetua kampung
melaksanakan musyawarah untuk menentukan berapa akar tuba
yang akan digunakan, menentukan batas air dan jumlah undangan.
Kegiatan ini dilaksanakan pada malam hari. Kesepakatan yang
dihasilkan adalah masing-masing peserta Manuba Ba Adat
diwajibkan membawa akar tuba seberat 1 mengkolag’ng per kepala
keluarga atau per perahu. Satu mengkolag’ng sama dengan ¼ kg.
Batas air yang akan kena air tuba ditentukan mulai dari daerah
Nanga Koring, di mana posisi daerah ini berada di bagian hulu
sungai dan maksimal berakhir di desa bagian hilir yaitu Desa Nanga

Lumpag’ng
Tari Nganjan merupakan tarian yang dilakukan pada malam hari. Tarian ini
dilakukan di atas Korangan Garig’ng, tarian ini diikuti oleh tiga pasang penari yang
mengelilingi tiang pantar. Fungsi dari tarian ini adalah untuk meminta hujan dengan
cara membuat “marah” dewata karena dalam kepercayaan masyarakat Dayak Tomun
Lamandau jika ada keluarga yang mempunyai status sosial yang berbeda menari
bersama maka akan ada “tulah”. Misalnya keponakan perempuan menari dengan
pamannya, anak laki-laki menari dengan ibunya dll.
19

20

52

Kemujan. Gambar mengenai kegiatan Lumpag’ng haup’m pakat
disajikan dalam gambar berikut.

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.14. Lumpag’ng Haup’m Pakat

b) Lumpag’ng pegoyap’, pegayah kebabas kalukar
Acara ini mempersiapkan ritual mencari tuba dihutan atau di babas
atau bekas ladang, akan tetapi masyarakat di Desa Batu Tunggal
biasanya sudah tidak mecari akar tuba lagi karena beberapa masyarakat
sudah membudidayakan tanaman ini. Kegiatan mencari akar tuba
dilakukan di ladang masing-masing, akan tetapi Lumpag’ng pegoyap’,
pegayah kebabas kalukar dilaksanakan di Korangan Garig’ng yang
berada di daerah Nangakoring.
c) Lumpag’ng pecabut’an
Adalah ritual mencabut akar tuba. walaupun kegiatan
membaca doa-doa (Lumpag’ng) tersebut dilaksanakan di Korangan
Garig’ng tetapi simbol dari ritual Lumpag’ng pecabut’an tetap
dilaksanakan yang diwujudkan dalam bentuk doa-doa yang
disampaikan.

53

d) Lumpag’ng pangumpulan
Merupakan ritual mengumpulkan akar tuba. Kegiatan
mengumpulkan tuba ini dilaksanakan di Korangan Garig’ng. Panitia
memberitahukan kepada peserta untuk mengumpulkan akar tuba yang
mereka miliki kepanitia. Setiap perahu diwajibkan untuk memberikan
akar tuba minimal sebesar 1 mengkolag’ng atau sama dengan 2 kg akar
tuba yang belum dicacah. Dalam kegiatan ritus Manuba Ba Adat, akar
tuba yang telah dikumpulkan ± sebanyak 2000 mengkolag’ng atau 2
ton21.Masyarakat yang diwajibkan untuk memberikan akar tuba adalah
hanya masyarakat yang berada di Desa Batu Tunggal karena mereka
merupakan tuan rumah di mana acara tersebut dilaksanakan.
Berhubung tidak semua peserta berada dalam satu tempat yang sama
untuk bermalam, maka cara yang digunakan oleh panitia adalah
mendatangi dengan cara berperahu beberapa tempat baik di hilir
maupun di hulu sungai yang menjadi tempat bermalam masyarakat
atau tempat masyarakat mendirikan tenda. Acara ini dilaksanakan pada
malam hari sebelum Manuba. Akar tuba yang sudah dikumpulkan oleh
masyarakat dapat dilihat pada Gambar 4.15.

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.15. Akar Tuba yang Sudah Dikumpulkan
21 Kegiatan ritus Manuba Ba Adat diikuti oleh ±200 perahu. Masing-masing perahu
memberi akar tuba minimal 1 mengkolag’ng. Akan tetapi satu perahu biasanya
mengumpulkan akar tuba maksimal sebanyak 5 mengkolag’ng.

54

e) Lumpag’ng turut’n kakoragkan
Merupakan ritual turun ke batu-batu yang telah mengering di
sungai di mana acara akan dilaksanakan. Semua masyarakat harus ikut
turun dan berpartisipasi. Dalam kegiatan ini dilakukan beberapa ritual
seperti memoles akar tuba dengan darah yang diambil dari jengger
ayam hitam (sengkolan akar tuba), mendirikan tiang pantar dan menari
Nganjan yang mengelilingi akar tuba yang sudah diletakkan di
sekeliling tiang pantar. Dalam prosesi mendirikan tiang pantar tidak
sembarangan, ada doa-doa yang dipanjatkan dan tiang pantar harus
didirikan mulai dari tiang yang berada ditengah, kemudian tiang yang
berada di sebelah kanan dan selanjutnya tiang yang berada di sebelah
kiri. Tiang pantar juga harus diambil dari batang kayu yang sudah lama
terendam di dalam air, masyarakat percaya dan meyakini jika tiang
pantar diambil dari kayu yang sudah lama terendam maka ikan yang
akan mengambang atau timbul kepermukaan. Jumlah tiang pantar
yang dipakai dalam ritual Manuba Ba Adat adalah tiga batang.
Acara ini adalah acara terakhir yang dilakukan masyarakat sebelum
menyambut datangnya hari puncak di mana acara Manuba Ba Adat
dilaksanakan. Pada malam ini kegiatan dilaksanakan sampai jam satu
malam. Setelah acara ini selesai maka masing-masing orang akan
mengambil akar tuba yang sudah selesai dikelilingi dan diberi doa,
supaya akar tuba tersebut tidak tertukar dengan yang lain biasanya
masyarakat akan memberikan tanda pada akar tuba yang mereka
kumpulkan seperti memberi nama dan membedakan jenis ikatan.
Sesudah mengikuti segala rangkaian kegiatan ini para tetua adat dan
masyarakat beristirahat untuk mempersiapkan acara keesokan harinya.

2.

Puncak Acara (Hari Kedua)

Masyarakat bangun di pagi hari sekitar jam empat pagi untuk
mempersiapkan acara puncak dari ritual Manuba Ba Adat. Para ibu-ibu
juga sudah bangun untuk mempersiapkan komsumsi untuk satu hari
ini karena pada hari ini segala kegiatan Manuba Ba Adat dilaksanakan
55

di atas perahu. Masyarakat akan mampir kepinggir sungai hanya untuk
membersihkan ikan atau untuk makan dan beristirahat sejenak.
Sebelum berangkat untuk melaksanakan puncak acara Manuba Ba
Adat, ada beberapa prosesi doa-doa (Lumpag’ng) yang dilakukan, yaitu:
a. Lumpag’ng pencaca’an
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah acara memukul akar
tuba. Memukul akar tuba dilakukan oleh para bapak, kegiatan ini
dilaksanakan sekitar jam empat pagi. Alat yang digunakan oleh
masyarakat untuk memukul akar tuba berasal dari batang pohon yang
sudah dibentuk seperti pemukul bola kasti. Batang kayu tersebut bisa
didapat disekitar sungai. Kegiatan memukul akar tuba tersebut
dilaksanakan sampai akar tuba yang dimiliki habis. Kegiatan mencacah
akar tuba dilakukan dua kali, Pertama, ketika masyarakat masih berada
di koragkan dan belum turun ke sungai. Kedua, ketika masyarakat
sudah berada di hulu sungai sebelum kegiatan mengkaramkan perahu.
Gambar mengenai kegiatan mencacah akar tuba di koragkan sebelum
turun ke sungai dapat dilihat pada gambar di bawah yang merupakan
gambar masyarakat sedang mencacah akar tuba di hulu sungai.

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.16. Mencacah Akar Tuba Di Koragkan

56

Sumber : Data Primer 2014

Gambar 4.17. Mencacah Akar Tuba Di Hulu Sungai

Setelah kegiatan mencacah akar tuba di koragkan selesai acara
selanjutnya adalah masyarakat berkumpul kembali didekat balai untuk
melanjutkan acara doa-doa (Lumpag’ng) sebelum masyarakat menuju
hulu sungai guna mengaramkan akar tuba.
b. Lumpag’ng peibut’an
Yang dimaksud dengan peibut’an adalah mengambil ikan yang
kena air tuba. Acara doa-doa ini dilakukan secara formalitas di atas
karang walaupun nantinya kegiatan peibut’an akan dilakukan
masyarakat di hari ketiga atau pada akhir acara Manuba Ba Adat. Doa
yang dipanjatkan oleh ketua adat adalah

“syang hiang sori duwata padi sama tengkalap, arut, sedurian,

dilag’ng, batag’ng kawa, lamanhau, belanti’an, kopal kumpul,
lunhug’ng lungku ka batu tungal sabuah. Supaya
babungkug’ng bosar beurat dalap’m, bebatag’ng pipih
bedaut’n lumhah, batunhut’n lobat babigi muras ”.

Artinya adalah
“di mana pun dewata berada yang telah disebutkan
dibeberapa daerah tadi harus berkumpul di Desa Batu
Tunggal, supaya bersama-sama datang untuk mengabulkan

57

doa agar ladang yang sudah ditanam tersebut menghasilkan
padi dan rejeki yang melimpah”.

c. Lumpag’ng pamuntau’an
Dalam prosesi lumpag’ng pamuntau’an dilakukan acara beigal22 yang
dilakukan oleh para tetua-tetua dan acara menghanyutkan tujuh
perahu dari daun yang didalamnya juga diletakan beras, garam, rokok
dan pinang atau dalam bahasa daerah disebut Kehilipan, fungsi dari
perlengkapan yang diletakan di atas kehilipan adalah untuk perbekalan
hama selama diperjalanan dan fungsi dari menghanyutkan daun
sensabag’ng adalah dipercaya dan diyakini untuk mengusir dan
menghanyutkan segala macam hama padi dan mengembalikan hama
tersebut ketempat asalnya. Mereka percaya ketika mereka meracun
sungai, mereka tidak membunuh ikan tetapi meracun segala hama
padi. Doa yang dipanjatkan adalah
“muntaua’an hulat lumus ponsi’ kaum’p gola’ mehinig’ng
menanguh kahuma katonga, ka tokam’p kahayam’p, laritam
kajawa, kajuhur, kalaut loyaran, ka buluh miyang, didalap’m
rua putih beduri, pisag’ng babanir, lonsat’n babulu” .

Sumber : Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.18. Lumpag’ng Pamuntau’an
22Fungsi dari tarian ini sama seperti tari nganjan yaitu tarian memanggil hujan bedanya
adalah yang harus menarikan tarian ini harus mereka yang sudah dituakan.

58

Pada prosesi acara Lumpag’ng Pamuntau’an di atas terlihat
bahwa ada daun yang berada di tengah-tengah para tetua adat, daun
tersebut akan dihanyutkan ke sungai. Masyarakat meyakini bahwa
menghanyutkan ketujuh daun sensabag’ng yang dimaknai sebagai
perahu oleh masyarakat untuk menghanyutkan hama padi dan
mengembalikan hama ketempat asalnya. Gambar 4.19, merupakan
gambar perahu dari daun sensabag’ng (kehilipan) yang akan
dihanyutkan ke sungai.

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.19. Perahu Dari Daun Sensabag’ng (kehilipan)

Sebelum kehilipan dihanyutkan para tetua atau yang dituakan
akan melakukan tarian beigal. Beigal ini adalah tarian yang akan
mengelilingi balai sebanyak tujuh kali dan diselingi dengan meneguk
tuak yang dituangkan oleh panitia yang telah ditentukan. Jumlah
penari adalah dua pasang penari yang berlainan jenis kelamin.
Pada tarian beigal yang dilakukan pada prosesi Manuba Ba
Adat, yang harus menarikan tarian ini adalah mereka yang sudah
dianggap dituakan karena tarian ini merupakan tarian penghormatan
kepada dewata, seperti pada Gambar 4.20. Sesudah tarian beigal selesai
ditarikan maka acara selanjutnya adalah menghanyutkan daun
sensabag’ng, akan tetapi sebelum menghanyutkan ketujuh daun
sensabag’ng tersebut maka yang harus dilakukan adalah acara doa-doa
dan meneteskan tuak kedalam sungai sebanyak tujuh kali.
59

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.20. Tarian Beigal

Sesudah itu ketujuh daun tersebut akan dihanyutkan satu
persatu dengan diiringi doa dan setiap daun akan dilempar dengan batu
sampai perahu tersebut tenggelam dan hanyut, makna dari pelemparan
batu ini adalah supaya hama tersebut tidak akan kembali lagi dan
biasanya ketika batu mengenai perahu dan perahu sensabag’ng tersebut
tenggelam maka masyarakat akan bersorak sorai penuh kegembiraan,
hal ini karena mereka bersukacita karena hama tersebut telah hanyut
dan tenggelam.

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.21. Menghanyutkan Daun Sensabag’ng (Kehilipan)

60

Sesudah acara ini selesai acara selanjutnya adalah menuju hulu
sungai di mana akar tuba akan dikaramkan. Tempat di mana akar tuba
akan dikaramkan biasanya adalah bagian hulu sungai yang airnya
dalam. Ketika sudah sampai di hulu sungai yang sudah ditentukan
maka masing-masing perahu akan mencari posisi yang dianggap
strategis untuk menangkap ikan. Sebelumnya ketika sampai perahuperahu tersebut akan menepi dan memukul akar tuba kembali,
kemudian akar tuba tersebut diperas ke perahu dan dicampur dengan
air (lihat gambar 4.23). Ampas dari akar tuba tidak boleh dibuang akan
tetapi harus dibawa ke ladang untuk dibakar. Sesudah semua perahu
terisi dengan air tuba maka masing-masing perahu akan dijampi23 dan
dikasih bunga tuba24.
Perahu yang sudah selesai dijampi akan menggunakan tanda
Plus atau tanda tambah (+) di bagian pinggir perahu. Masyarakat biasa
menyebut tanda tersebut dengan tanda salib. Fungsi dari jampi-jampi
tersebut adalah supaya perahu tersebut akan mendapatkan ikan yang
banyak dan air tuba yang berada di dalam perahu akan menjadi
berkasiat. Gambar mengenai perahu yang sudah dijampi dapat dilihat
pada Gambar 4.22 (bagian atas), sedangkan Gambar 4.22 pada bagian
bawah terlihat bahwa panitia adat sedang memberi atau memotongkan
beberapa serpihan dari kayu atau yang biasa oleh masyarakat diberi
nama bunga tuba. Serpihan ini akan disebar di dalam perahu yang ada
air tubanya sebelum perahu dikaramkan. dan fungsi dari daun tuba
adalah sebagai penanda sampai di mana air tuba tersebut hanyut.
Simbol ini merupakan simbol yang sudah sangat dipahami oleh
masyarakat adat.

Menandai perahu yang membawa air tuba dengan tanda plus (+) yang diletakkan
disebelah kanan perahu bagian depan. Arti dari tanda ini juga supaya perahu yang ada
air tubanya tersebut menjadi berfungsi dan perahu tersebut akan diberkati dengan
mendapatkan ikan yang melimpah.
24Bunga tuba disini adalah serpihan dari batang kayu yang dipakai sebagai penanda
sampai di mana air tuba tersebut hanyut.

23

61

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.22. Perahu Yang Dijampi Dan Bunga Tuba

Pada gambar 4.23, merupakan gambar dari kegiatan memeras
akar tuba yang sudah dipukul kedalam perahu. Dalam gambar tersebut
terlihat bahwa Bapak Hoto sedang memeras akar tuba yang sudah
dicacah atau dipukul kedalam perahu, sehingga terlihat warna dari
akar tuba yang lihat seperti air susu.

Sumber: Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.23. Bapak Hotto Sedang Memeras Akar Tuba ke Dalam Perahu

62

Sebelum masyarakat mengkaramkan air tuba, panitia memasang tali jontang yaitu tali pembatas antara peserta yang berada dihulu
dan peserta yang berada dihilir sungai. Tali ini terbuat dari rotan yang
dipasang menyeberangi sungai. Selama tali jontang ini belum dilepas
maka acara mengaramkan akar tuba tidak akan dilaksanakan dan
masyarakat juga dilarang untuk meyebrangi tali ini. Walaupun tidak
ada sangsi adat yang diberikan semua peserta mengikuti aturan ini
dengan tertib. Setelah tali jontang tersebut dilepaskan maka tiba
saatnya masyarakat untuk mengkaramkan air tubanya. Pengkaraman
air tuba ini dilakukan dari perahu yang berada di hulu sungai
kemudian menjalar kesetiap perahu yang berada di hilirnya.
Pada jaman dahulu, kegiatan mengkaramkan perahu yang
berisi air tuba benar-benar dilakukan dengan cara mengkaramkan atau
menenggelamkan perahu, akan tetapi sekarang kegiatan mengkaramkan perahu hanya berupa simbolis saja karena berdasarkan fakta di
lapangan tidak semua perahu dikaramkan. Hal ini disebabkan perahu
yang ikut serta dalam kegiatan Manuba Ba Adat mayoritas merupakan
perahu bermotor yang berukuran besar sehingga akan sangat berat jika
dikaramkan. Untuk mensiasati hal tersebut maka dalam prosesi
mengkaramkan akar tuba, biasanya masyarakat hanya menimba air
tuba yang ada di dalam perahu dengan menggunakan gayung.
Berikut merupakan gambar masyarakat sedang menimba air
tuba yang berada di dalam perahu (gambar 4.24, bagian atas) dan pada
gambar 4.24 (bagian bawah), terlihat beberapa pemuda yang juga
merupakan peserta dari Manuba Ba Adat sedang mengkaramkan
perahu miliknya. Masyarakat yang “mengkaramkan” dengan cara
menimba merupakan masyarakat yang menggunakan perahu bermesin,
sedangkan masyarakat yang benar-benar mengkaramkan perahunya
merupakan masyarakat yang tidak menggunakan perahu bermesin.

63

Sumber : Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.24. Mengkaramkan Perahu Yang Berisi Air Tuba

Bagian yang paling menarik adalah ketika masyarakat mulai
menangkap ikan. Satu hal yang penting siapa yang menemukan ikan
pertama harus bersorak dan memberikan ikan tersebut ke kepala adat.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Hotto, rentang waktu antara
dikaramkannya air tuba ke dalam sungai dengan efek samping yang
dirasakan oleh ikan sehingga ikan tersebut akan menjadi mabuk adalah
±10-15 menit dan ikan yang pertama kali didapat adalah ikan kalabau.
Setiap masyarakat yang mendapatkan ikan akan bersorak
dengan riuhnya sehingga ketika semua mendapatkan ikan maka
suasana di sungai akan sangat ramai oleh sorakan peserta. Bagian yang
paling seru adalah ketika masyarakat akan berebutan untuk
menangkap ikan yang mabuk. Alat yang digunakan oleh masyarakat
untuk menangkap ikan adalah Kalau dan Seropa’g, akan tetapi ada juga
masyarakat yang menangkap ikan dengan menggunakan tangan
kosong. Ikan hasil Manuba Ba Adat ini tidak akan terbuang sia-sia
karena masyarakat akan menyisir sepanjang aliran sungai atau
memasang Pukat atau Menyuar supaya ikan tidak busuk. Beberapa

64

masyarakat ada yang tidak tidur pada malam hari setelah Manuba Ba
Adat karena menyuar.
Dalam pembagian ikan pun terlihat adil bagi masyarakat.
Apabila ada yang melihat timbul di permukaan sungai, tetapi orang
lain yang mendapatkannya, maka orang yang mendapatkan ikan itulah
yang berhak secara sah dan hal tersebut tidak menghasilkan komplain.
Konsep adil yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Tomun Lamandau
perihal kepemilikan ikan yang didapatkan merupakan hasil dari
kesepakatan bersama yang sudah dilakukan secara turun temurun dan
dalam konteks sekarang, hal ini tidak menimbulkan konflik antara
masyarakat. Kegiatan menuba ini dilakukan masyarakat seharian
penuh, bahkan untuk beberapa peserta mereka akan melanjutkan
kegiatan menyisir sungai sampai keesokan harinya.

Sumber : Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.25. Masyarakat Sedang Mencari Ikan

d. Akhir Upacara (Hari Ketiga)
Pada hari ketiga ini beberapa masyarakat masih melakukan
penyisiran disepanjang aliran sungai di mana air tuba tersebut akan
lewat. Untuk beberapa masyarakat yang merasa sudah cukup
mendapatkan ikan, biasanya mereka akan pulang atau bermalam di
sepanjang batu yang berada di pinggir sungai.

65

Ikan yang didapat oleh masyarakat biasanya akan dibersihkan
dan diolah sebagai ikan asin, diasap atau dimasak seperti dibakar,
digoreng atau disayur. Berdasarkan hasil wawancara dan hasil
observasi, jenis ikan yang didapat adalah ikan barakas, ikan banta, ikan
salap/ tengadak, ikan lampam, ikan jalujung, ikan baung putih/ kanuri,
ikan puhing/rengawan, ikan kalabau, ikan saluang sungai, ikan buntal
kelapa dan ikan lais.
Pada hari ketiga ini tidak terdapat ikan yang mengambang
karena mati di sepanjang aliran sungai. Bahkan beberapa ikan hasil
pukat masyarakat masih toning25. Masyarakat yakin bahwa ketika air
tuba telah hanyut ke hilir maka masih ada beberapa ikan yang tidak
terkena dampak dari air tuba ini. Masyarakat akan menggunakan
sungai untuk beraktivitas kembali tiga hari setelah acara menuba
dilakukan. Pengetahuan ini diturunkan secara turun temurun oleh
nenek moyang mereka.
Pada gambar di bawah ini terlihat beberapa pemuda sedang
menyisir sepanjang sungai untuk menangkap ikan yang timbul karena
mabuk.

Sumber : Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.26. Masyarakat Sedang Menyisir Sungai

Setelah kegiatan ritus Manuba Ba Adat selesai maka
masyarakat akan pulang ke rumah masing-masing. Berdasarkan
25

Yang dimaksud dengan Toning adalah ikan tersebut masih aktif dan kuat.

66

observasi pada kegiatan ritus Manuba Ba Adat yang dilakukan pada
tahun 2014, setelah masyarakat selesai melaksanakan kegiatan ini maka
hujan turun dengan sangat deras. Akan tetapi berdasarkan wawancara
dengan Bapak Hotto, beliau mengatakan bahwa pernah juga hujan
turun pada hari kedua dari prosesi ritus Manuba Ba Adat. Sehingga
masyarakat akhirnya pulang dan tidak sempat untuk mengkaramkan
air tuba keesokan harinya. Walaupun begitu, menurut beliau
masyarakat percaya bahwa Dewata telah mengabulkan doa mereka
lebih cepat.
Ketika hujan turun dengan sangat lebatnya yang dalam bahasa
daerah disebut dengan hujan nyari26 maka masyarakat dilarang untuk
ke sungai dikarenakan hujan deras tersebut akan menyebabkan
kecelakaan seperti tenggelam di sungai karena terpeleset. Guna
memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat biasanya menggunakan
air sumur.

Batas Air Yang Kena Akar Tuba
Dalam menentukan batas air sungai yang akan terkena air tuba
dilakukan dalam kegiatan lumpag’ng haup’m pakat, di mana dalam
kegiatan ini akan disepakati berapa jumlah maksimal akar tuba yang
akan dikumpulkan, menentukan luas area larangan, menentukan batas
air sungai yang akan digunakan baik bagian hulu sungai maupun
bagian hilir sungai, jumlah undangan yang akan berpartisipasi dalam
kegiatan ritus ini. Batas area sungai yang terkena air tuba adalah hulu
sungai yang berada di Desa Nanga Koring dan bagian hilirnya minimal
sampai daerah Desa Batu Tunggal dan maksimal sampai daerah Desa
Nanga kemujan. Larangan yang diberikan oleh manter adat kepada
mayarakat yang ikut berpartisipasi adalah dilarang bicara kotor, buang
air kecil, tidak boleh mencampur akar tuba dengan bahan kimia dan
tidak boleh meludah kedalam air. Batas area larangan adalah sepanjang
sungai yang digunakan dalam prosesi ritus Manuba Ba Adat.

26

Di mana hujan turun dengan sangat lebat disertai dengan angin kencang.

67

Pengalaman yang terjadi dalam kegiatan ritus tersebut
mengenai larangan yang sudah ditentukan sama dengan pengetahuan
lokal masyarakat di Desa Lamalera Lembata NTT. Di mana masyarakat
Desa Lamalera Lembata mempunyai larangan yang diberikan dalam
aktivitas berburu ikan paus, seperti harus didahului dengan doa, tidak
boleh berkata kasar, berkata jorok, tidak boleh ada dendam dan
permusuhan. Menurut Keraf (2002), pengetahuan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat Desa Lamalera Lembata mengenai larangan tersebut
tidak bisa dijelaskan secara rasional mengenai hubungan antara jika
larangan tersebut diabaikan maka masyarakat akan gagal menangkap
ikan paus. Begitu pula dengan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat Dayak Tomun lamandau. Sejalan dengan pemikiran keraf
(2002), semua aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat adat mengenai
larangan tersebut hanya bisa dipahami dalam kerangka kearifan lokal
masyarakat adat bahwa aktivitas yang dilakukan adalah implementasi
dan perwujudan kearifan tradisional masyarakat adat tentang interaksi
antara manusia dengan alam. Lebih lanjut keraf menekankan bahwa
aktivitas tersebut hanya bisa dipahami dalam konteks aktivitas moral.

Pengenalan Tentang Akar Tuba
Dalam kegiatan Manuba Ba Adat, masyarakat Dayak Tomun
Lamandau di Desa Batu Tunggal menggunakan tiga jenis tamanan tuba.
Masyarakat di Desa Batu Tunggal menyebutnya dengan nama Akar
Tuba Todug’ng27, Kempadi28 dan Kansag’ng29
Tuba dalam bahasa ilmiah disebut Derris elliptica. Tuba
merupakan jenis tumbuhan yang biasanya digunakan sebagai peracun
ikan dan insektisida. Akar tanaman tuba memiliki kandungan
rotenone, sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga. Tuba juga sering

Akar tuba jenis ini memiliki ciri-ciri seperti akar. Biasanya tanaman ini tumbuh
merambat (Gambar 3, bagian sebelah bawah).
28Tuba jenis ini memiliki ciri-ciri seperti umbi keladi atau talas dan juga memiliki duri
yang sangat tajam (Gambar 3, bagian kiri).
29Tuba jenis ini memiliki ciri khas di mana akarnya memiliki duri tetapi tidak tajam
(Gambar 3, bagian kanan).

27

68

disebut sebagai akar tuba dan dalam bahasa Inggris biasa disebut Derris
Root atau tuba root30.
Tuba memiliki kandungan zat yang beracun yang terdapat di
dalam akar tuba. Zat beracun terpenting yang terkandung pada akar
tuba adalah rotenon (C23H22O6) yang secara kimiawi digolongkan ke
dalam kelompok flavonoid. Zat-zat beracun yang terkandung lainnya
adalah deguelin, tefrosin dan toksikarol, tetapi daya racunnya tidak
sekuat rotenon (Adharini, 2008). Rotenon adalah racun kuat bagi
serangga dan ikan. Menurut Sugianto (1984), akar tuba digunakan
untuk menangkap ikan sedangkan akar yang telah dikeringkan dapat
digunakan sebagai insektisida. Gambar mengenai akar tuba dapat
dilihat pada Gambar 4.27.

Sumber : Data Primer Tahun 2014

Gambar 4.27. Akar Tuba

http://alamendah.org/2010

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tiwah dalam Aspek Sosial dan Ekonomi Masyarakat Dayak Tomun ndau

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB I

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB IV

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB V

0 1 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritus Manuba Ba Adat:Praktik Kontrol Ekologi Masyarakat Dayak Tomun ndau di Desa Batu Tunggal Kalimantan Tengah T2 092013001 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritus Manuba Ba Adat:Praktik Kontrol Ekologi Masyarakat Dayak Tomun ndau di Desa Batu Tunggal Kalimantan Tengah T2 092013001 BAB II

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritus Manuba Ba Adat:Praktik Kontrol Ekologi Masyarakat Dayak Tomun ndau di Desa Batu Tunggal Kalimantan Tengah T2 092013001 BAB V

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritus Manuba Ba Adat:Praktik Kontrol Ekologi Masyarakat Dayak Tomun ndau di Desa Batu Tunggal Kalimantan Tengah T2 092013001 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritus Manuba Ba Adat:Praktik Kontrol Ekologi Masyarakat Dayak Tomun ndau di Desa Batu Tunggal Kalimantan Tengah

0 0 17