Faktor-faktor yang Memengaruhi Kematian Ibu di Kabupaten Labuhanbatu Utara tahun 2012-2013

11

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kematian Ibu
2.1.1. Defenisi Kematian Ibu
Menurut International Statistical Classification of Disease,Injuries and
Causes of Death, Edisi X (ICD-X, WHO), kematian ibu adalah kematian seorang
wanita yang terjadi selama kehamilan, sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan, tanpa memperhatikan lama dan tempat terjadinya kehamilan, yang
disebabkan oleh atau dipicu oleh kehamilannya, atau penanganan kehamilannya,
tetapi bukan karena kecelakaan (Syafrudin dan Hamidah, 2009).
2.1.2. Klassifikasi Kematian Ibu
Menurut ICD-X, WHO tersebut kematian ibu dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Direct obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh
komplikasi obstetri pada masa hamil, bersalin, dan nifas atau kematian yang
disebabkan oleh suatu tindakan atau berbagai hal yang terjadi akibat tindakan
tersebut yang dilakukan selama hamil, bersalin, dan nifas.
2. Indirect obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang disebabkan oleh suatu penyakit,

bukan komplikasi obstetri, berkembang atau bertambah berat akibat kehamilan
atau persalinan.

11

12

Prawirohardjo (2011) membedakan kematian ibu atas :
1. Kematian langsung, yaitu kematian yang terjadi sebagai akibat komplikasi
kehamilan, persalinan, nifas dan segala intervensi atau penanganan yang tidak
tepat dari komplikasi tersebut.
2. Kematian tidak langsung, yaitu kematian yang merupakan akibat dari penyakit yang sudah
ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan,
misalnya malaria, anemia, tuberculosis, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskuler.

Secara global 80% kematian ibu tergolong kematian ibu langsung. Penyebab
langsung ini umumnya disebabkan oleh perdarahan, HDK, sepsis, partus macet,
komplikasi aborsi tidak aman, dan sebab-sebab lain.
2.1.3. Angka Kematian Ibu (AKI)
Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah AKI atau

Maternal Mortality Ratio (MMR). Defenisi AKI adalah jumlah ibu yang meninggal
selama kehamilan, bersalin dan nifas yang dikarenakan oleh faktor kehamilannya per
100.000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2010). Angka ini mencerminkan risiko obstetri
yang dihadapi seorang ibu sewaktu dia hamil. Jika ibu hamil beberapa kali maka
risikonya meningkat, dan digambarkan sebagai risiko kematian ibu sepanjang
hidupnya, yaitu probabilitas menjadi hamil dan probabilitas kematian karena
kehamilan sepanjang masa reproduksi.
Selain hal tersebut di atas, AKI juga mencerminkan keberhasilan
pembangunan kesehatan suatu negara, merefleksikan status kesehatan ibu selama
hamil dan nifas, kualitas pelayanan kesehatan serta kondisi lingkungan sosial dan
ekonomi (Kemenkes, 2010).

13

2.2. Epidemiologi Kematian Ibu
Setiap tiga menit, dimanapun di Indonesia, satu anak balita meninggal dunia.
Selain itu setiap jam, satu perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau karena
sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan (UNICEF, 2012). Tahun 2010,
sekitar 800 wanita meninggal setiap harinya dengan penyebab yang berkaitan dengan
kehamilan dan persalinan, hampir semua kematian (99%) terjadi di negara

berkembang, dimana mortalitas yang lebih tinggi di area pedesaan, komunitas miskin
dan berpendidikan rendah. Setengah dari kematian ibu terjadi di sub-Sahara Afrika
dan sepertiga lainnya di Asia Selatan. Negara maju melaporkan 16 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup dan negara berkembang melaporkan 240 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup (WHO, 2012).
Data tren AKI dari tahun 1990-2012 menunjukkan Indonesia masuk dalam
daftar AKI tertinggi diantara beberapa negara-negara ASEAN seperti Malaysia,
Thailand, Philipina, Vietnam, dan Myanmar. Lebih dari 9.500 ibu di Indonesia
meninggal setiap tahun, sebagai perbandingan, kematian ibu di Filipina sekitar 1.900,
di Thailand sekitar 420, dan di Malaysia hanya sekitar 240 setiap tahunnya
(Kemenkes, 2012).
Data WHO (2014) mengenai AKI negara-negara ASEAN tahun 2010,
menunjukkan AKI Indonesia (228 per 100.000 kelahiran hidup) jauh di atas AKI
negara-negara ASEAN, dimana Malaysia 29 per 100.000 kelahiran hidup, Philipina
99 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand 48 per 100.000 hidup, Brunei 24 per
100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 3 per 100.000 kelahiran hidup.

14

Secara global, lima penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan,HDK,

infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia telah didominasi
oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, HDK, dan infeksi. Proporsi
ketiga penyebab kematian ini telah berubah dimana perdarahan dan infeksi semakin
menurun, sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat, hampir 30% kematian
ibu di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh HDK, sementara di dunia
didominasi oleh perdarahan (Kemenkes, 2012).
Masalah KIA di negara berkembang, seperti Indonesia antara lain adalah
sebagian besar kematian terjadi di rumah, sebagian besar (60%) kematian ibu terjadi
setelah persalinan, 50% kematian ibu terjadi pada masa nifas, sebagian besar
kematian terjadi tanpa pertolongan dari tenaga profesional, keterlambatan akses pada
pelayanan berkualitas, sebagian besar keluarga tidak mengetahui tanda bahaya bagi
ibu dan bayi, terbatasnya transportasi dan sumberdaya sebagai faktor yang
berhubungan dengan keterlambatan akses pelayanan kesehatan, sebagian besar
komplikasi kehamilan mempengaruhi risiko pada ibu dan bayi, status sosial dan
budaya berhubungan dengan kematian ibu dan anak (Kusmiran, 2011).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, yang berhubungan
dengan pelayanan kesehatan ibu antara lain, terdapat 1.534 kematian ibu dengan
jumlah kelahiran hidup adalah 49.605. Masih dijumpai (23,9%) perempuan yang
menikah pada umur risiko tinggi (20
minggu, paritas 3-4, dan >4 terbanyak menyebabkan kematian ibu, pendidikan tidak

sekolah/tamat SD lebih banyak menyebabkan kematian, dan tempat ibu meninggal
lebih banyak di RS pemerintah.
Berdasarkan data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) Tahun 2011, hanya 6%
kota di Sumatera yang memiliki 4 Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi
Dasar (PONED) dan 55% Kabupaten yang memiliki minimal 4 Puskesmas PONED,
dan hanya 21,0% proporsi RSU Pemerintah yang memenuhi kriteria-kriteria
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).

16

2.3. Determinan Kematian Ibu
Menurut Depkes dalam Fibriana (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi
kematian ibu adalah faktor medik, faktor non medik, dan faktor pelayanan kesehatan.
Faktor medik, meliputi faktor empat terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak,
dan terlalu dekat), komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas yang merupakan
penyebab langsung kematian maternal (meliputi perdarahan, infeksi, keracunan
kehamilan, komplikasi akibat partus lama, trauma persalinan), keadaan dan gangguan
yang memperburuk derajat kesehatan ibu selama hamil (kekurangan gizi, anemia,
bekerja fisik berat selama kehamilan). Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu
dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal, meliputi

terbatasnya

pengetahuan

ibu

tentang

bahaya

kehamilan

resiko

tinggi,

ketidakberdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan
keputusan untuk dirujuk, ketidakmampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya
transport dan perawatan di RS. Faktor pelayanan kesehatan yang belum mendukung
upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal antara lain berkaitan dengan

cakupan pelayanan KIA, yang meliputi belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA
dan penanganan kelompok berisiko, rendahnya cakupan ANC dan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah
oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda-tanda kehamilan. Hal itu semua
berkaitan dengan terlambat mengambil keputusan merujuk, mencapai RS rujukan,
mendapatkan pertolongan di RS rujukan, dan penolong persalinan bukan tenaga
kesehatan.

17

Penanganan kelompok berisiko seringkali mengalami kematian yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan, disebabkan oleh 3 (tiga) faktor
keterlambatan, yang dikenal dengan faktor ”3T” yaitu:
1. Terlambat mengambil keputusan untuk merujuk
2. Terlambat mencapai RS rujukan
3. Terlambat mendapatkan pertolongan di RS rujukan.
Upaya peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan juga dilakukan dengan
mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui paket penempatan
tenaga bidan dan polindes di berbagai pelosok pedesaan serta tenaga dokter di daerah
terpencil atau sangat terpencil. Sedangkan dari aspek kualitas pelayanan, dilakukan

melalui upaya peningkatan kemampuan/kompetensi tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan dasar dan rujukan (PONED/PONEK), serta berbagai program intervensi
lain (Kemenkes RI, 2008).
2.3.1. Faktor Non Medik
2.3.1.1. Pendidikan
Menurut Skiner dalam Notoatmojo (2010), perilaku kesehatan adalah respon
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit,
dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan seperti lingkungan,
makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku
kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati
(observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup

18

mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain,
meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena
masalah kesehatan.
Pendidikan yang ditempuh seseorang merupakan salah satu faktor demografi
yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan individu dan masyarakat.

Seseorang dengan pendidikan yang tinggi diasumsikan dapat mencegah atau
melindungi dirinya dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan
kesehatannya, dan mencari penyembuhan apabila sakit. Biasanya orang yang
berpendidikan tinggi selalu berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan
dirinya, dalam hal ini seorang ibu hamil dengan pendidikan yang tinggi apabila
mengalami suatu masalah dalam kehamilannya dapat segera mengatasi masalah
tersebut dan akhirnya dapat memperkecil risiko yang tidak diinginkan.
2.3.1.2. Pekerjaan
Tidak ada rekomendasi dalam asuhan kehamilan dimana ibu hamil sama
sekali tidak boleh melakukan aktivitas pekerjaan rumah atau bekerja di luar rumah,
yang penting diperhatikan adalah keseimbangan dan toleransi dalam pekerjaan.
Karena pada kenyataannya pekerjaan selain berhubungan dengan pemeliharaan
kesehatan juga berhubungan dengan penghasilan keluarga.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan bagi ibu hamil adalah
apakah pekerjaan itu berisiko bagi ibu hamil. Contoh aktivitas yang berisiko bagi ibu
hamil adalah aktivitas yang meningkatkan stress, berdiri lama sepanjang hari,
mengangkat beban yang berat, paparan suhu yang ekstrim, dan paparan radiasi. Perlu

19


disampaikan bahwa ibu hamil tetap boleh melakukan aktivitas pekerjaannya tetapi
amati apakah aktivitas pekerjaan tersebut berisiko atau tidak terhadap kehamilan dan
kesehatan ibu. Nasehatkan apakah keuntungan yang didapat lebih besar dari risiko
pekerjaannya ( Sitanggang, 2013).
Seorang ibu hamil ikut membantu dalam menambah penghasilan keluarga
diasumsikan mereka lebih banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran, yang mana hal
ini dapat mempengaruhi kesehatan janin dan ibu hamil. Pada kehamilan trisemester I
dan II, ibu yang bekerja tidak begitu mempengaruhi keadaan bayi tetapi pada
trisemester III hal ini dapat mempengaruhi terjadinya prematuritas (Sitanggang,
2013).
2.3.1.3. Pendapatan Keluarga
Kemampuan ekonomi yang sering dinyatakan dalam pendapatan keluarga
mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan akan kesehatan. Pendapatan juga
mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga ibu
hamil dengan pendapatan yang tinggi dapat dengan teratur memeriksakan dirinya ke
fasilitas kesehatan yang diinginkannya sehingga kasus yang tidak diinginkan dapat
cepat ditangani.
Menurut Kemenkes dalam Sriningsih (2011). wanita-wanita dari keluarga
dengan pendapatan rendah (