Pengaruh Temperatur Kalsinasi Pada Ekstraksi Silika Dari Abu Cangkang Kelapa Sawit

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Abu Cangkang Sawit

Abu boiler kelapa sawit yang merupakan limbah dari sisa pembakaran cangkang dan
serabut buah kelapa sawit di dalam dapur atau tungku pembakaran (boiler) dengan suhu
7000C sampai dengan 800 0C (Elhusna. dkk, 2013). Abu cangkang sawit tersebut
merupakan salah satu material sisa dari proses pengolahan yang selama ini dianggap
sebagai limbah. Limbah tersebut masih belum dimanfaatkan secara maksimal
penggunaannya (Rosalia dkk ,2013).
Cangkang sawit merupakan salah satu limbah pengolahan dari minyak kelapa
sawit yang cukup besar yaitu mencapai 60% dari produksi minyak (Elly, 2013).
Cangkang sawit merupakan bagian paling keras yang terdapat pada kelapa sawit yang
menghasilkan kalori mencapai 20000 KJ/kg. Pada industri pengolahan minyak Crude
Palm Oil (CPO) salah satu kegunaan utama cangkang kelapa sawit sebagai bahan bakar
untuk ketel uap (boiler). Dimana, ketel uap ini yang menjadi tenaga sumber uap yang
akan dipakai mengolah kelapa sawit. Adapun alasan digunakannya serabut dan

cangkang sebagai bahan bakar adalah :
1. Bahan bakar cangkang cukup tersedia dan mudah diperoleh di pabrik
2. Cangkang dan serabut merupakan limbah dari pabrik kelapa sawit apabila
tidak digunakan
3. Nilai kalor bahan bakar cangkang dan serabut memenuhi persyaratan untuk
menghasilkan panas yang diperlukan
4. Harga lebih ekonomis jika dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar
batubara
Menurut Graille (1985) abu cangkang sawit hasil pembakaran banyak
mengandung silika. Abu sawit juga mengandung kation anorganik seperti kalium dan
natrium. Adapun komposisi abu hasil pembakaran serat dan cangkang dapat dilihat dari
Tabel 2.1 berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Komposisi Abu Cangkang Sawit Hasil Pembakaran Serat Dan
Cangkang
Unsur/senyawa

Serat (%)


Cangkang (%)

Kalium (K)

9.2

7.5

Natrium (Na)

0.5

1.1

Kalsium (Ca)

4.9

1.5


Magnesium (Mg)

2.3

2.8

Klor (Cl)

2.5

1.3

Karbonat (CaCO3)

2.6

1.9

Nitrogen (N)


0.04

0.05

Pospat (P)

1.4

0.9

Silika (SiO2)

59.1

61

Sumber: Graille dkk, 1985

Menurut Hutahean (2007) kandungan unsur kimia abu cangkang sawit adalah

sebagai berikut (Tabel 2.2):
Tabel 2.2 Kandungan Unsur Kimia Abu Cangkang Sawit
Senyawa

Persentase (%)

SiO2

58.02

Al2 O3

8.7

Fe2 O3

2.6

CaO


12.65

MgO

4.23

Na2O

0.41

K2O

0.72

H 2O

1.97

Hilang Pijar


8.59

Sumber: Hutahean, 2007
Menurut Nugroho (2013) komposisi abu hasil pembakaran cangkang dan serabut
kelapa sawit adalah sebagai berikut (Tabel 2.3) :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Komposisi Abu Hasil Pembakaran Cangkang Dan Serabut Kelapa
Sawit
Senyawa

% Berat

SiO2

45.2

Al2 O3


1.83

Fe2 O3

1.91

CaO

11.16

Na2O

0.09

K2O

4.91

Sumber: Nugroho (2013)
Berdasarkan pengamatan secara visual abu kelapa sawit memiliki karakteristik

sebagai berikut: bentuk partikel abu sawit tidak beraturan, ada yang memiliki butiran
bulat panjang, bulat dan persegi dengan ukuran butiran 0 – 2.3 mm serta memiliki
warna abu-abu kehitaman (Kurniawandy dkk, 2012).

2.2.

Silika (SiO2)

Silika (silicon dioxide) merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul SiO 2 yang
dapat di peroleh dari silica mineral dan sistesis Kristal. Mineral silica adalah senyawa
yang banyak mengandung SiO2 yang di temukan dalam bahan tambang dan galian yang
berupa mineral seperti pasir kuarsa, granit, dan fledsfar (Kalapathy, 1999).
Bentuk –bentuk silika merupakan beberapa struktur kristal yang penting bukan
saja karena silika merupakan zat yang melimpah dan berguna, tetapi karena strukturnya
(SiO2) adalah unit yang mendasar dalam kebanyakan mineral. Kristal memiliki dua cirri
utama yaitu:
1. Setiap atom silicon berada pada pusat suatu tetrahedron yang terdiri dari empat
atom oksigen
2. Setiap atom oksigen berada di tengah-tengah antara dua atom silicon (Keenan,
1992).

Selain terbentuk

silika alami, silika juga dapat di peroleh dengan cara

memenaskan pasir kuarsa pada asuhu 870 oC sehingga terbentuk silika dengan struktur
trimidit, dan bila pemanasan dilakukan dengan suhu 1470oC dapat diperoleh silika

Universitas Sumatera Utara

dengan struktur kristobalit. Silika dapat di bentuk dengan mereaksikan silicon dengan
oksigen atau udara pada suhu tinggi (Iler, 1979).

2.2.1. Sifat-Sifat Silika
Sifat

Hasil

Berat jenis (g/cm3)

2.6


Bentuk

Padat

Daya larut dalam air

Tidak larut

Titik cair (oC)

1610

Titik didih (oC)

2230

Kekerasan (Kg/mm2)

650

Kekeuatan tekuk (MPa)

70

Kekuatan tarik (MPa)

110

Modulus elastisitas (GPa)

73-75

Resistivitas (m)

>1014

Koordinasi geometri

Tetrahedral

Struktur Kristal

Kristobalit, trimidit, kuarsa

Selain sifat diatas silika juga memiliki sifat kimia anatara lain sebagi berikut:
a. Reaksi dengan asam
Silika relative terhadap asam kecuali hidrofluorifda seperti reaksi berikut
SiO2(S) + 4HF(aq)
Dengan

asam

SiO2(S) + 6HF(aq)

SiF4(aq) + 2H2O(l)
hidrofluorida

berlebih

reaksi

nya

menjadi:

H2[SiF6](aq) + 2H2O (l) (Besset,j. 1988)

b. Reaksi basa
Silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat, seperti dengan
hidroksida alkali.
SiO2(S) + 2NaOH(aq)

Na2SiO 3(aq) + H2O (Vogel, 1985)

Universitas Sumatera Utara

Secara komersial, silika di buat dengan mencampur larutan natrium silikat
dengan suatu asam mineral. Reaksi ini menghasilkan suatu disperse pekat yang kahirnya
memisahkan partikel dari silika terhidrat, yang dikenal sebagai silika hydrosol atau
asam silikat yang kemudian di keringkan pada suhu 110 oC agar terbentuk silika gel.
Reaksi yang terjadi:
Na2SiO3(aq) + 2HCl (aq)
H2SiO3 (S)

2.3.

H2SiO3(l) + 2NaCl(aq)
SiO2.H2 O(S)

(Bakri, dkk 2008)

Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari campurannya dengan menggunakan
pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang di inginkan
tanpa melarutkan material lainnya. Secara garis besar, proses pemisahan secara
ekstraksi terdiri dari tiga langkah yaitu:
1. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk di kontakkan dengan sampel,
biasanya melalui proses di fusi
2. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk fase
ekstrak
3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel (Wilson, et al., 2010).

2.3.1. Ekstraksi Cair-Cair
Pada ekstraksi cair-cair, suatu komponen bahan atau lebih dari satu campuran di
pisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama di gunakan apabila
pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan misalnya karena
pembentukan azeotrop atau karena kepekatan nya terhadap panas) atau tidak ekonomis.
Ekstraksi cair-cair selalu terdiri dari sedikitnya dua tahap yaitu pencampuran secara
insentif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu sesempurna
mungkin. Pada ekstraksi cair-cair,zat terlarut dipisahkan dari cairan pembawa (diluen)
menggunakan pelarut cair. Campuran cairan pembawa dan pelarut ini adalah heterogen,
jika dipisahkan terdapat dua fase yaitu fase diluen (rafinat) dan fase pelarut
(ekstrak).perbedaan konsentrasi zat terlarut di dalam suatu fasa dengan konsentrasi pada

Universitas Sumatera Utara

keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya pelaruta pelepasan zat terlarut dari
larutan yang ada. Gaya dorong (driving force) yang menyebabkan terjadinya proses
ekstraksi dapat di tentukan dengan mengukur jarak system dari kondisi setimbang
(Indra Wibawa., 2012).
Fase rafinat

= fase residu, berisi cairan pembawa dan sisa zat terlarut.

Fase ekstrak

= fase yang berisi zat terlarut dan pelarut

a. Kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam campuran
b. Kemampuan tinggi untuk diambil kembali
c. Perbedaan berat jenis antara ektrak dan rafinat lebih besar
d. Pelarut dan larutan yang akan di ekstraksi harus tidak mudah campur
e. Tidak mudah berisi dengan zat yang akan di ekstraksi
f. Tidak merusak alat secara korosi
g. Tidak mudah terbakar, tidak beracun dan harganya relative murah (Martunus &
Helwani, 2004;2005).

2.3.2

Ekstraksi Padat-Cair

Pada ekstraksi padat-cair, komponen yang dapat larut dipisahkan dari bahan padat
dengan bantuan pelarut (ekstraktan). Pada ekstraksi ini, ketika bahan ekstraksi dicampur
dengan pelarut maka pelarut akan bereaksi dengan bahan padat dan membentuk larutan
ekstrak. Larutan ekstrak dengan konsentrasi yang tinggi terbentuk dibagian dalam bahan
ekstraksi. Dengan cara ini difusi akan terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan
tersebut dengan larutan di luar bahan padat. Syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai
kecepatan ekstraksi yang tinggi pada ekstraksi padat cair adalah sebagi berikut:
a. Karena perpindahan masa berlangsung pada bidang kontak antara fase padat
dab fase cair, maka bahan itu perlu memiliki permukaan yang seluas
mungkin
b. Kecepatan alir pelarut sedapat mungkin besar dibandingkan dengan laju alir
bahan ekstraksi
c. Suhu yang lebih tinggi (viskositas pelarut lebih rendah, kelarutan ekstrak
lebih besar) pada umum nya menguntungkan kecepatan reaksi.

Universitas Sumatera Utara

Ekstraksi padat-cair merupakan suatu proses yang melibatkan perpindahan
massa antara fasa. Perbedahan aktivitas kimia anatara fasa padatan dan fasa pelarut
mencerminkan seberapa jauh sistem berada dari kesetimbangan, sehingga akan
menentukan pula laju zat terlarut antar fasa. Proses ini merupakan proses yang
merupakan proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudiankembali lagi
kekeadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi (Lucas, 1949).

Dalam proses ekstraksi padat-cair diperlukan kontak yang sangat lama antara
pelarut dan padatan. Proses ini paling banyak ditemui didalam usaha untuk mengisolasi
suatu substansi yang terkandung didalam suatu bahan alam sehingga yang berperan
penting dalam menentukan sempurnanya proses ekstraksi ini adalah sifat-sifat bahan
alam tersebut dan juga bahan yang akan di ekstraksi. Tingkat ekstraksi bahan ditentukan
oleh ukuran bahan partikel tersebut. Bahan yang di ekstrak sebaiknya berukuran
seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dan pelarut sehingga ekstraksi
berlangsung dengan baik (Sudarmadji & suhardi, 1996).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses ekstraksi antara lain:
a. Jenis pelarut
Jenis pelarut mempengaruhi senyawa yang tersari, jumlah zat terlarut yang
terekstrak dan kecepatan ekstraksi
b. Suhu
Secara umum, kenaikan suhu akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke
dalam pelarut.
c. Rasio pelarut dan bahan baku
Jika rasio pelarut-bahan baku besar maka akan memperbesar pula jumlah
senyawa yang terlarut. Akibat laju reaksi akan semakin meningkat.
d. Ukuran partikel
Laju reaksi juga meningkatkan apabila ukuran partikel dalam suatu bahan
baku semakin kecil. Dalam arti lain, rendemen ekstrak akan semakin besar
bila ukuran partikel semakin kecil.
e. Pengadukan
Fungsi pengadukan adalah untuk mempercepat terjadinya reaksi antara
pelarut dengan zat terlarut

Universitas Sumatera Utara

f. Lama waktu
Lama waktu ekstraksi akan menghasilkan ekstrak yang lebih banyak, karena
kontak antara zat terlarut dengan pelarut lebih lama.
Silika terbentuk melalui ikatan kovalen yang kuat serta memiliki struktur dengan
empat atom oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom pusat yaitu
atom silicon (Cestari,2000).

2.3. Luas Permukaan Dan Luas Porositas
Luas permukaan dan porositas merupakan karakteristik yang sangat penting pada
berbagai material. Penentuan dari isotherm adsorbs pada desorbsi merupakan variable
yang sangat penting untuk menentukan stuktur pori dan metode BET digunakan untuk
menentukan total luas permukaan (Brown, 2003).
Suatu padatan dapat dikatakan sebagai berpori apabila memiliki pori-pori berupa
lubang, terusan (chanel) atau celah yang lebih dalam dari luasnya. Pori-pori memiliki
tipe yang berbeda dan diklasifikasikan berdasarkan aliran zat yang masuk melalui pori
seperti Gambar 2.1. berikut.

Gambar 2.2. Perbedaan jenis pori (Schubert and Husing, 2006)

Tipe pori umumnya diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu:
1. Pori yang terisolasi dari pori yang lain disebut closed-pores (a)
2. Pori yang terbuka ke permukaan luar dari padatan, yang di pengaruhi sifat
makroskopik padatan dan tidak aktif dalam reaksi kimia disebut open-pores
yang terdiri dari: bentuk botol tinta (ink-bottle) (b), bentuk silinder terbuka (c),
bentuk (funnel atau slishaped) (d), pori terbuka pada kedua ujung (through

Universitas Sumatera Utara

pores) (e), silinder tertutup (silinder blind) (f) dan porositas yang kasar
(roughness) pada permukaan luar (g) (Schubert and Husing, 2006).

Dalam karaktrisasi pori sering digunakan istilah seperti yang terdapat pada Table 2.2
berikut ini:
Table 2.2 Istilah yang digunakan dalam karakterisasi padatan
Istilah

Keterangan

Densitas

True density

Densitas dari material termasuk pori dan
kekosongan interpartikel (densitas dari
jaringan padatan

Apparent density

Densitas dari material tertutup dan pori
yang tidak dapat dilalui

Bulk density

Densitas material termasuk pori dan
kekosongan interpatikel (massa pertotal
volume, dengan volume = fase padatan +
pori tertutup + pori terbuka)

Volume pori
Ukuran pori

Vp

Volume pori
Biasanya disebut lebar pori (diameter),
jarak dari dua dinding yang berlawanan

Porositas

Perbandingan dari volume total pori Vp
dengan volume yang terlihat (apparent
volume) v dari partikel atau serbuk

Luas permukaan

Area

yang tercapai

pada

permukaan

padatan per satuan unit material

Luas pori atau diameter pori didefinisikan seabagi diameter untuk pori silinder
dan jarak antara dinding pori yang berlawanan dalam pori bentuk celah. Luas pori
diklasifikasikan oleh International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC)
terbagi 3 (Gates, 1992):
1. Mikropori, diameter lebih kecil dari 2 nm (d 50 nm)

Universitas Sumatera Utara

Untuk menjelaskan pori padatan secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan
informasi tentang porositas, densitas, luas permukaan spesifik atau ukuran pori dan
distribusi ukuran pori pada padatan berpori. Nilai hasil pengukurannya sangat
ditentukan oleh metode yang digunakan, biasanya metode hanya dapat mendeteksi pori
yang terbuka. Metode yang digunakan berupa adsorpsi molekul ke dalam celah. Hasil
yang diperoleh tergantung pada ukuran molekul yang dilewatkan pada permukaan pori.
Misalnya untuk nilai luas permukaan akan lebih kecil jika digunakan molekul yang
besar, sebaliknya nilai luas permukaan akan semakin besar jika digunakan molekul yang
lebih kecil. Berikut ini skema adsorbsi gas pada permukaan menggunakan ukuran
molekul yang berbeda (Schubert and Husing, 2006)

Gambar 2.3. Skema Adsorbsi gas pada permukaan pori material dengan
perbedaan ukuran molekul gas (Schubert and Husing, 2006)

Menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC), terdapat
enam klasifikasi isotherm adsorbsi seperti yang diperlihatkan gambar 2.4. Isotherm Tipe
I merupakan karakteristik material mikropori (d < 2 nm). Material yang tidak berpori
dan makropori (d > 50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm Tipe II dan Tipe III
dengan interaksi antara adsorbat dan adsorben yang kuat. Untuk material mesopori ( 2
nm < d < 50 nm) diklasifikasikan sebagai isotherm Tipe IV dan Tipe V dimana terdapat
pembentukan multilayer dari kurva adsorbsi dan desorbsi. Untuk isotherm tipe III dan
VI diprediksi bahwa interaksi antara adsorbat dan adsorben yang terlalu lemah sehingga

Universitas Sumatera Utara

sedangkan Tipe VI merupakan karakteristik padatan dua dimensi yang sangat
homogeny seperti grafit (Kanellopoulos, N. 2011)

Gambar 2.4. Klasifikasi Isotherm Adsorbsi menurut International Union Of Pure
and Applied Chemistry (IUPAC)

Silika berpori merupakan variasi dari bentuk silika amorf. Material berbahan
silika banyak diteliti karena memiliki struktur variasi yang luas, dapat diatur ada reaksi
hidrolisis dan kondensasi, stabilitas termal yang tinggi pada jaringan amorf dan
memiliki kekuatan grafting pada fungsi organik. Silika berpori dibuat dengan
mengasamkan larutan silikat basa berair dan diperoleh gel silika pori. Material
padatannya diperoleh dengan proses sol-gel dalam larutan yang dikeringkan pada
temperatur rendah dimana terjadi penekanan gel menjadi xerogel
Parameter yang dapat mengkarakterisasi pori adalah luas permukaan spesifik (S)
dengan satuan [m2/g], volume mikropori (WMP) dengan satuan [cm3/g], Volume pori
(W) merupakan jumlah volume mikropori dan mesopori adsorben dalam [cm3/g] dan
Pores Size Distribution (PSD) yang merupakan suatu grafik dari Vp /D p versus Dp
dimana Vp adalah akumulasi pori hingga luas pori Dp diukur [cc-STP/GA]. Unit cc-STP
menunjukkan jumlah pengukuran adsorbat dalam centimeter kubik pada STP yakni
pada temperatur standar dan tekanan standar masing-masing 273,15K dan tekanan 76
Torr (1.011325 x 10 5 Pa) (Schubert and Husing, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.5 Karakterisasi Silika
Analisis karakterisasi silika dapat dilakukan melalui pengujian XRD (X-ray diffraction)
untuk mengetahui struktur kristal silika, FT-IR untuk mengetahui gugus fungsi silika
dan BET (Brunauer, Emmet, Teller) surface area analysser untuk analisis mengenai
luas permukaan spesifik partikel silika yang dihasilkan.

2.5.1 Difraksi Sinar-X (XRD)
Spektroskopi difraksi sinar-x (X-ray diffraction/ XRD) merupakan salah satu metode
karakterisasi material. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dan
material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta umtuk mendapatkan
ukuran partikel. Difraksi sinar-x terjadi pada hamburan elastic foton-foton sinar-x oleh
atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar x dalam fasa tersebut
memberikan interfensi yang konstruktif. Dasar penggunaan difraksi sinar-x untuk
mempelajari kisi Kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg (Cullity, 1978):
n. λ = 2.d.sin θ ; n1,2,…
dengan; λ adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan, d adalah jarak antar dua
bidang kisi, θ adalah sudut antara sinar dating dengan bidang normal, n adalah bilangan
bulat yang di sebut sebagai orde pembiasan.
Berdasarkan persamaan bargg, ketika seberkas sinar-x menumbuk sampel
Kristal, maka bidang Kristal itu akan mendifraksi sinar –x yang memiliki panjang
gelombang yang sama dengan jarak antara kisi dalam kristal. Semakin banyak jumlah
electron yang terdapat di sekeliling atom pada suatu bidang, semakin besar intennsitas
pantulan yang di sebabkan oleh bidang tersebut dan menyebabkan makin jelas spot yang
terekam di film. Dengan menggunakan suatu metoda yang dikenal dengan nama metoda
sintesis fourier, kita dapat menghubungkan intensitas spot dengan kepekatan distribusi
elektron yang terdapat dalam unit sel, kita dapat menduga letak atom dalam unit sel
tersebut. Atom akan terletak pada daerah-daerah yang mempunyai kepekatan distribusi
elektron maksimum (Bird, 1993).

Universitas Sumatera Utara

2.5.2 Brunauer-Emmet-Teller (BET)
Teori BET adsorpsi multilayer untuk menentukan luas permukaan (S) di kembangkan
oleh Brunauer, Emmet dan teller. Proses adsorpsi digambarkan sebagai proses lapisan
dengan lapisan (layer-by-layer), permukaan secara energetic dianggap homogen, medan
adsorbsi sama dalam setiap tempat permukaan. Proses adsorb dianggap tidak bergerak
(setiap molekul yang di adsorbsi pada sisi dasar adsorbs pada permukaan). Lapisan
pertama molekul yang diadsorb memiliki energy interaksi dengan medan adsorbs (E a0)
dan interaksi pertikal antar molekul setelah lapisan pertama (E L0) sama terhadap panas
liqufaksi adsorbat dan molekul yang diadsorb tidak berinteraksi secara menyamping.
Model adsorbsi BET digambarkan sebagai berikut (Roque-Malherbe, 2007).
Untuk menerapkan persamaan isotherm BET terhadap data adsorpsi yang
diperoleh digunakan persamaan linear berikut:
V=

Vm.C.p
(po – p).[1 + (C – 1). p / po]

Atau ditulis sebagai berikut:

Dimana
p

=tekanan akhir

po

=tekanan jenuh

V

=volume gas yang terserap pada tekanan p

Vm

=volume gas yang terserap pada monolayer

C

=merupakan parameter yang dapat di tentukan dengan cara berikut:

C=
Dimana
A

= konstanta

E1

= panas yang di serap lapisan pertama

EL

= panas yang kondensasi dari gas.
Untuk area yang dilewati setiap molekul dalam monolayer dianggap sempurna,

dimana untuk nitrogen (N2) = 0,162 nm2 pada 77K dan argon (Ar) = 0,138 nm2 pada
87K (Kanellopoulos, N.2011).

Universitas Sumatera Utara

Metode BET tidak tepat untuk perhitungan mikropi, karena ketika metode ini di
terapkan pada adsorben mikro maka akan terjadi penyerapan pada tekanan yang rekatif
rendah sehingga memungkinkan volume monolayer yang dihitung lebih dari satu
lapisan terserap. Jika nilai ini diubah menjadi luas permukaan BET maka nilai yang
dihasilkan akan lebih besar dari nilai yang sebenarnya. Meskipun metode BET tidak
menggambarkan keadaan yang sebenarnya, namun metode ini lebih umum untuk
digunakan untuk analisa isotherm adsorbs. Ini disebabkan metode BET relatif sederhana
dan dianggap memberikan kapasitas adsorbsi yang baik dari adsorben yang digunakan
(Kanellopoulus, N., 2011).

2.5.3 Spektroskopi Inframerah (FT-IR)
Spektroskopi inframerah merupakan metode yang digunakan untuk mengamati
interaksi interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik. Prinsip dasar spektroskopi
inframerah yaitu interaksi antara vibrasi atom-atom yang berikatan/ gugus fungsi dalam
molekul yang mengadsorbsi radiasi gelombang elektromagnetik inframerah. Adsorbsi
terhadap radiasi inframerah dapat menyebabkan eksitasi energi vibrasi molekul
ketingkat energi vibrasi yang lebih tinggi. Untuk dapat mengadsorbsi, molekul harus
mempunyai perubahan momen dipol sebagai akibat dari vibrasi. Daerah radiasi
spektroskopi inframerah berkisar pada bilangan gelombang 12800-10 cm-1 . Umumnya
daerah radiasi inframerah terbagi dalam daerah inframerah dekat (12800-4000 cm-1),
daerah inframerah tengah (4000-200 cm-1 ), daerah inframerah jauh (200-10 cm-1 ).
Daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan adalah 4000-690 cm-1 ,
daerah ini biasa disebut sebagai inframerah tengah (Khopkar, 2008).
Instrument yang digunakan untuk mengukur serapan radiasi inframerah pada
pelbagai panjang gelombang disebut spektrometer inframerah. Pancaran inframerah
umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak diantara daerah
tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang
daripada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 µm) diserap oleh sebuah molekul
organik dan diubah menjadi energi putaran molekul. Penyerapan itu tercatuh dan
demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garis-garis yang tersendiri (Hartomo,
1986).

Universitas Sumatera Utara

Terdapat dua macam vibrasi molekul, yaitu vibrasi ulur dan vibrasi tekuk. Vibrasi
ulur adalah suatu gerakan berirama disepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom
bertambah atau berkurang dalam satu bidang datar. Vibrasi ulur dibagi menjadi dua
yaitu simetri dan asimetri. Vibrasi ulur simetri terjadi akibat ikatan antar atom bergerak
bersamaan sedangkan vibrasi ulur asimetri terjadi akibat ikatan antar atom bergerak
tidak bersamaan dalam satu bidang datar. Perbedaan ini terdapat pada gugus Si-O-Si,
dimana terdapat perbedaan antara vibrasi asimetri Si-O-Si dengan vibrasi simetri Si-OSi. Pada vibrasi asimetri

Si-O-Si, pergerakan molekul antar Si-O tidak bersamaan

sedangkan pada vibrasi simetri Si-O-Si, pergerakan molekul antar Si-O bersamaan pada
satu bidang datar. Perbedaan pergerakan molekul ini menyebabkan perbedaan energi
serapan inframerah pada gugus Si-O-Si (Silverstein, 1986).
Vibrasi tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatanikatan pada sebuah atom atau karena gerakan sebuah gugusan. Contohnya liukan
(twisting), goyangan (rocking), dan getaran putar yang menyangkut perubahan sudutsudut ikatan dengan acuan seperangkat koordinat yang disusun arbiter dalam molekul.
Hanya vibrasi yang menghasikan perubahan momen dwikutub secara berirama saja
yang teramati di dalam inframerah (Hartomo, 1986).
Identifikasi pita absorbsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi
merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah (Creshwell, 1972). Hadirnya sebuah
puncak sarapan dalam sebuah spektrum inframerah hampir selalu merupakan petunjuk
pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat pada senyawa cuplikan (Pine,
1980).

Universitas Sumatera Utara