Strategi Adaptasi Pengusaha Kerajinan Tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) di Tengah Kemajuan Teknologi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Strategi Adaptasi
Strategi adaptasi menurut Suharto (2009: 29) sebagai coping strategies. Secara

umum strategi bertahan hidup (coping strategies) dapat didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Strategi adaptasi merupakan sebuah
upaya atau tindakan terencana yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk dapat
menanggulangi masalah yang dihadapi dengan keadaan lingkungan fisik sekitar dengan
tujuan memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Soerjono Soekanto dalam (Tangkudung, 2014: 2), mengemukakan tentang
adaptasi dalam beberapa batasan adaptasi sosial, yaitu:
1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3. Proses perubahan-perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan
sistem.

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
Strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap
anggota keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya. Kerangka berbagai

Universitas Sumatera Utara

pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atau
pengembangan strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup dalam (Manik,
2011: 15-16) berupa:
a. Aset tenaga kerja: misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam
bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga.
b. Aset modal manusia: misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat
menentukan kapasitas seseorang dalam bekerja atau keterampilan dan
pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja terhadap tenaga yang
dikeluarkannya.
c. Aset produktif: misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk
keperluan lainnya.
d. Aset relasi rumah tangga atau keluarga: misalnya memanfaatkan jaringan dan
dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, dan migarasi tenaga kerja.
e. Aset modal sosial: misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan

dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.
Selanjutnya Suharto (2009: 31) menyatakan strategi bertahan hidup (coping
strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:
1. Strategi aktif: yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk
misalnya

melakukan

aktivitasnya

sendiri,

memperpanjang

jam

kerja,

memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

2. Strategi pasif: yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya, biaya untuk
sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya.
3. Strategi jaringan: menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan
lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan, misalnya meminjam uang
dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan program kemiskinan,
meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya.
Adaptasi sendiri memiliki beberapa macam bentuk yaitu adaptasi morfologi,
adaptasi fisiologi, dan adaptasi kultural. Adaptasi morfologi adalah penyesuaian bentuk
tubuh makhluk hidup atau alat-alat tubuh makhluk hidup terhadap lingkungan tempat
tinggalnya. Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian fungsi alat tubuh suatu makhluk hidup
terhadap keadaan lingkungannya. Adaptasi ini tidak dapat dilihat langsung oleh mata.
Karena pada adaptasi fisiologi menyangkut tentang fungsi organ-organ bagian dalam
tubuh makhluk hidup dengan lingkungannya. Adaptasi kultural atau tingkah laku adalah
cara makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya dalam bentuk tingkah laku
berhubungan dengan tindakan makhluk hidup untuk beradaptasi atau melindungi diri.
Pada penelitian ini digunakan konsep dari adaptasi kultural. Adaptasi kultural yaitu

adaptasi dalam bentuk kelakuan yang dilakukan individu terkait pranata sosial-budaya di
sekitarnya, misalnya penggunaan pompa air pada sebuah masyarakat yang sering
terkena musibah banjir untuk nantinya digunakan untuk menyedot air banjir tersebut.
Konsep adaptasi berpangkal pada suatu keadaan lingkungan.
Strategi adaptasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berbagai tindakan
ataupun pemikiran yang dilakukan pengusaha untuk mempertahankan usaha kerajinan
tenun ATBM di tengah kemajuan teknologi saat ini. Teknologi yang telah membawa

Universitas Sumatera Utara

perubahan besar pada industri kerajinan tenun, menyebabkan pengusaha-pengusaha
kerajinan tenun yang ingin tetap maju dan bertahan harus mengembangkan usahanya
semaksimal mungkin. Perubahan yang terjadi pada industri tenun tersebut misalnya
perubahan alat tenunnya, yang berawal dari alat tenun gedogan, ATBM (Alat Tenun
Bukan Mesin), dan terakhir ATM (Alat Tenun Mesin). Perubahan alat tenun ini juga
berdampak pada perbedaan harga hasil kain tenun dari tiap-tiap alat tenun yang
digunakan, dan mempengaruhi keadaan pasar serta selera konsumen. Oleh sebab itu
dibutuhkan cara untuk tetap bertahan dalam industri tenun tradisional ATBM agar tetap
mendapat tempat bagi konsumennya.
2.2


Teori Modal Sosial
Seorang ilmuwan politik Robert Putnam dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 210)

mengartikan kapital sosial sebagai jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan kepercayaan yang
timbul di antara para anggota perkumpulan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama
untuk manfaat bersama. Secara umum kapital sosial adalah investasi sosial yang
meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta
kekuatan menggerakkan dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individu
atau kelompok secara efisisen dan efektif. Modal sosial dapat timbul dari adanya
interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Pengukuran modal sosial dapat
dilihat dari interaksi baik indiviual maupun instutisional, seperti terciptanya atau
terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Secara individual interaksi terjadi
jika relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain kemudian melahirkan ikatan
emosional. Sedangkan secara instutisional yaitu lahir pada visi dan misi atau tujuan satu
organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Hasbullah (2006: 10) inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana

kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama
membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut
diwarnai oleh suatu pola interaksi yang timbal balik dan saling menguntungkan, dan
dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial
yang positif dan kuat. “Menurut Lawang dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 208). kapital
berarti modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk fisik (barang-barang) yang
memungkinkan suatu investasi dapat berjalan. Kapital juga dapat diartikan sebagai
bentuk tenaga fisik dan keterampilan yang dimiliki seseorang. Kapital juga dapat
diartikan sebagai investasi, berarti berhubungan dengan proses yang sangat panjang,
tidak bisa langsung digunakan”.
Terdapat beberapa sumber daya atau elemen penting dalam sebuah modal sosial,
yaitu:
1. Jaringan Sosial
Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok
masyarakat untuk membangun jaringan sosialnya. “Jaringan adalah ikatan antar simpul
(orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial) yang diikat
dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua
belah pihak. Jaringan adalah hubungan antar individu yang memiliki makna subjektif
yang berhubungan atau dikaitkan sebagai sesuatu sebagai simpul dan ikatan” (Damsar,
Indrayani, 2009: 214). “Ciri khas dari jaringan sosial adalah pemusatan perhatian pada

struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori ini aktor mungkin saja individu,

Universitas Sumatera Utara

kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan dapat terjadi di tingkat struktur sosial
skala luas maupun tingkat yang lebih mikroskopik” (Ritzer, Douglas, 2004: 383).
Pada jaringan sosial terdapat tiga tingkatan, yaitu:
a. Jaringan mikro: yaitu suatu jaringan yang terjadi karena adanya
hubungan sosial yang terus-menerus antar individu atau antar pribadi.
Jaringan ini selalu ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Jaringan meso: yaitu suatu ikatan yang di bangun dari hubungan para
aktor, dengan atau di dalam kelompok. Jaringan ini ditemui dalam
berbagai kelompok sosial.
c. Jaringan makro: yaitu suatu ikatan yang terbentuk karena terjalinnya
simpul-simpul dari beberapa kelompok. Kelompok dapat berbentuk
organisasi, institusi, dan negara.
Prinsip yang terdapat pada teori jaringan menurut Wellman dalam (Ritzer, 2014:
359) adalah: Ikatan antara aktor adalah simetris, ikatan antara individu harus dianalisis
dalam konteks struktur jaringan lebih luas. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan
berbagai jenis jaringan non-acak. Kemudian adanya kelompok jaringan menyebabkan

terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun individu. Ada ikatan
asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa
sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata, serta distribusi
yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan kerjasama maupun
kompetisi.

Universitas Sumatera Utara

Berkaitan dengan jaringan sosial, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat
jaringan-jaringan antar siapa saja yang terdapat dan terbentuk dari seorang pengusaha
kerajinan tenun dengan alat ATBM agar dapat mempertahankan dan mengembangkan
usaha kerajinan tenun di tengah kemajuan teknologi. Dalam hal ini jaringan yang ingin
dilihat adalah hubungan pengusaha tenun dengan pekerja atau pengrajin tenun itu
sendiri, dengan pasar atau konsumen kain tenun ATBM, dengan pemerintah setempat,
ataupun dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam melestarikan kerajinan tenun
ATBM tersebut.
2. Kepercayaan (Trust)
Menurut Giddens dalam (Damsar, Indrayani, 2009: 185) kepercayaan adalah
keyakinan akan reliabilitas seseorang atau sistem, terkait dengan berbagai hasil dan
peristiwa, dimana keyakinan itu mengekspresikan suatu iman (faith) terhadap integritas

cinta kasih orang lain atau ketepatan prinsip abstrak (pengetahuan teknis). Kepercayaan
biasanya berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari
aktivitas tertentu. Kepercayaan biasanya terikat bukan kepada resiko, namun kepada
berbagai kemungkinan. Dalam kasus kepercayaan terhadap agen manusia, dugaan akan
keyakinan melibatkan kebaikan (penghargaan) atau cinta kasih. Itulah mengapa
kepercayaan kepada seseorang secara psikologis mengandung konsekuensi bagi individu
yang percaya. “Kepercayaan adalah suatu mekanisme yang mereduksi kompleksitas
sosial. Kepercayaan memperbesar kemampuan manusia untuk bekerjasama bukan
didasarkan atas kalkulasi rasional kognitif, tetapi melalui pertimbangan dari suatu
ukuran penyangga antara keinginan yang sangat dibutuhkan dan harapan secara parsial
akan mengecewakan. Kerjasama tidak mungkin terjalin kalau tidak didasarkan atas

Universitas Sumatera Utara

adanya saling percaya di antara sesama pihak yang terlibat dan kepercayaan dapat
meningkatkan toleransi terhadap ketidakpastian” (Damsar, Indrayani, 2009: 202).
Bentuk kepercayaan dapat dilihat dari bentuk kemunculan kepercayaan itu, yaitu
terdiri atas:
a) Kepercayaan askriptif: yaitu muncul dari hubungan yang diperoleh
berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pribadi, seperti latar belakang

kekerabatan, etnis, dan keturunan yang dimiliki.
b) Kepercayaan prosesual: yaitu muncul melalui proses interaksi sosial yang
dibangun oleh para aktor yng terlibat.
Hubungan atau kerjasama yang terjalin antara pengusaha tenun dengan pihakpihak yang ikut serta mengembangkan usahanya adalah didasari atas rasa percaya
terhadap satu sama lain. Orang-orang yang terlibat dalam pengembangan usaha tenun ini
telah diikat oleh rasa saling percaya, baik itu karena kesamaan latar belakang seperti
etnis, pertalian darah atau kekerabatan maupun karena pengalaman melalui hubungan
sosial yang telah dibangun selama ini. Pihak-pihak yang terlibat telah berkomitmen
untuk saling percaya satu sama lain demi kepentingan bersama yaitu memajukan usaha
mereka.
3. Nilai dan Norma
Nilai dan norma adalah hal dasar yang terdapat pada proses interaksi sosial. Nilai
dan norma mengacu pada bagaimana seharusnya individu bertindak dalam masyarakat.
Nilai merupakan kumpulan sikap, perasaan, anggapan terhadap sesuatu hal tentang baik
buruk, benar salah, patut atau tidak patut, maupun penting atau tidak penting. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Horton dan Hunt dalam (Setiadi, Usman, 2011: 119) nilai adalah gagasan tentang
apakah pengalaman itu berarti atau tidak. Nilai merupakan bagian penting dari

kebudayaan, suatu tindakan dianggap sah apabila harmonis dan selaras dengan nilainilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat dimana tindakan tersebut
dilakukan. Berdasarkan ciri-cirinya, nilai dapat dibagi menjadi:
a. Nilai dominan: yaitu nilai yang dianggap penting dari nilai lainnya,
penentuan nilai dominan dengan kriteria sebagai berikut: banyak orang
yang menganut nilai tersebut, sudah berapa lama nilai tersebut telah
dianut oleh anggota masyarakat, tinggi rendahnya usaha orang untuk
dapat melaksanakan nilai tersebut, dan prestise atau kebanggaan bagi
orang yang melaksanakan nilai tersebut.
b. Nilai mendarah daging (internalized value): adalah nilai yang menjadi
kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya
kadang tidak melalui proses berpikir atau pertimbangan lagi. Biasanya
nilai ini tersosialisasi sejak seseorang masih kecil.
Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam
segala tingkah laku dan perbuatannya. Menurut Notonegoro dalam (Setiadi, Usman,
2011: 124) nilai sosial terbagi atas 3, yaitu:
1. Nilai material: segala sesuatu yang berguna bagi fisik atau jasmani seseorang.
2. Nilai vital: segala sesuatu yang mendukung aktivitas seseorang.
3. Nilai kerohanian: segala sesuatu yang berguna bagi jiwa atau psikis seseorang.

Universitas Sumatera Utara

“Norma adalah aturan-aturan dalam kehidupan sosial secara kolektif atau
bersama yang mengandung berbagai sanksi, baik sanksi secara moral maupun sanksi
fisik, bagi orang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran atas nilai-nilai
sosial. Norma ditujukan untuk menekan anggota masyarakat agar segala perbuatan yang
dilakukannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama”
(Setiadi, Usman, 2011: 131). Norma tersebut diakui, dihargai, dikenal dan ditaati oleh
warga masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Norma disebut juga dengan
peraturan sosial yang sifatnya memaksa sehingga seluruh anggota masyarakat harus
tunduk.
Ciri-ciri norma sosial adalah:
1. Tidak tertulis: norma hanya diingat dan diserap serta dipraktekkan dalam
interaksi masyarakat.
2. Hasil kesepakatan bersama: norma dibentuk dan disepakati bersama
seluruh warga masyarakat.
3. Ditaati bersama: untuk mengarahkan dan menertibkan perilaku anggota
masyarakat dari keinginan bersama.
4. Ada sanksi: bagi yang melanggar norma akan dikenakan sanksi yang
tegas, oleh sebab itu norma bersifat memaksa.
2.3

Industri Skala Kecil (ISK)
Pembangunan ekonomi di suatu negara dalam periode jangka panjang akan

membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi negara tersebut, yaitu dari
ekonomi tradisional pada sektor pertanian ke ekonomi modern yang didominasi oleh

Universitas Sumatera Utara

sektor industri yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Menurut
Tambunan (1999), industri adalah proses interaksi antara pengembangan teknologi,
inovasi, spesialisasi dan perdagangan antar negara yang akhirnya sejalan dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat dan mendorong perubahan struktur ekonomi.
Sektor industri di Indonesia didominasi oleh industri kecil dan rumah tangga, baik
dalam jumlah unit maupun pangsa kesempatan kerja.

Tujuan penting sebuah industri adalah:
1. Menciptakan atau meningkatkan nilai tambah ekonomi, yaitu nilai tambah
dari semua sektor ekonomi termasuk industri, pertanian, dan pertambangan.
2. Meningkatkan efisiensi ekonomi.
3. Mengurangi ketergantungan pada impor.
Menurut Bank Indonesia industri skala kecil adalah industri yang asset (tidak
termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp 600.000.000,-, produk yang
dihasilkan ISK adalah barang-barang untuk keperluan konsumsi dan industri seperti
barang-barang modal dan penolong. Industri skala kecil (ISK) menurut Biro Pusat
Statistik tahun 2003 adalah usaha rumah tangga yang melakukan kegiatan mengolah
barang dasar menjadi barang belum jadi atau setengah jadi, barang setengah jadi
menjadi barang jadi, atau yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi
nilainya dengan maksud untuk dijual, dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang, dan
paling banyak 19 orang termasuk pengusaha. Sedangkan menurut Undang-Undang No.
20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, industri kecil adalah kegiatan

Universitas Sumatera Utara

ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau
badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari
usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp
50.000.000,- sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,- tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
Kategori industri kecil menurut Departemen Perindustrian adalah:
1. Industri Kecil Modern
Meliputi industri yang menggunakan teknologi proses madya, mempunyai skala
produksi yang terbatas, tergantung pada dukungan industri besar dan menengah dengan
sistem pemasaran domestik dan ekspor, menggunakan mesin khusus dan alat-alat
perlengkapan modal lainnya. Dengan kata lain, mempunyai akses untuk menjangkau
sistem pemasaran yang relatif telah berkembang baik di pasar domestik atau ekspor.
2. Industri Kecil Tradisional
Umumnya mempunyai ciri-ciri menggunakan teknologi sederhana, mesin dan
alat perlengkapan modal yang sederhana, lokasi didaerah pedesaan, dan akses
menjangkau pasar terbatas.
3. Industri Kerajinan Kecil
Industri ini beragam, mulai dari industri kecil dengan teknologi sederhana
sampai teknologi proses madya atau proses teknologi yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

Kekuatan industri skala kecil (ISK) dalam (Tambunan, 1999: 118-119) adalah
sebagai berikut:
1. Sangat padat karya, dan persediaan tenaga kerja di Indonesia masih sangat
banyak, upah nominal tenaga kerja khususnya kelompok berpendidikan
rendah masih relatif murah.
2. Lebih banyak membuat produk sederhana yang tidak terlalu membutuhkan
pendidikan formal yang tinggi, melainkan keahlian khusus yang dimiliki
lewat sumber informal.
3. Banyak industri skala kecil yang membuat produk bernuansa kultur seperti
kerajinan dari bambu, atau ukir-ukiran dari kayu, yang dasarnya merupakan
keahlian tersendiri dari masyarakat masing-masing daerah.
4. Pengusaha kecil lebih banyak menggantungkan diri pada uang sendiri atau
pinjaman dari sumber informal untuk modal kerja dan investasi mereka.
ISK dapat tetap bertahan dan bersaing dengan industri skala menengah dan besar
karena meskipun barang yang di produksi sama dengan industri lainnya, tetapi terdapat
perbedaan baik secara alami maupun rekayasa. Perbedaan tersebut dalam hal warna,
bentuk, rasa, packing, harga, atau pelayanan. Dengan kata lain meskipun barang sama,
tetapi ISK memiliki segmentasi pasar tersendiri yang melayani kelompok pembeli
tertentu. Dalam hal pertahanan di tengah kemajuan teknologi, ISK lebih fleksibel
menyesuaikan diri terhadap perubahan teknologi dan pasar, karena hanya membutuhkan
biaya yang tidak terlalu besar sehingga memiliki harapan bertahan atau survive lebih
besar (Tambunan, 1999: 9-11). Industri kerajinan tenun ulos di Jalan Lau Cimba,

Universitas Sumatera Utara

Kelurahan Siopat Suhu ini termasuk ke dalam industri skala kecil, karena jumlah
pekerjanya tidak lebih dari 19 orang dan modalnya tidak lebih dari Rp 500.000.000,-.

Universitas Sumatera Utara