Produksi Katekin Pada Kultur In Vitro Kalus Teh (Camellia sinensis L.) Dengan Elisitasi Saccharomyces Cerevisiae

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Jumlah tumbuhan berkhasiat obat di Indonesia diperkirakan sekitar 1.260 jenis
tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan metabolit sekunder yang berpotensi sebagai
antioksidan, zat perwarna, penambah aroma makanan, parfum, insektisida dan
obat. Ada sekitar 150.000 metabolit sekunder yang sudah diidentifikasi dan
sekitar 4.000 jenis metabolit sekunder baru yang teridentifikasi setiap tahunnya
(Yuhernita & Juniarti, 2011).
Kandungan metabolit sekunder pada tanaman utuh masih sangat rendah
yakni rata-rata sekitar 3-30% dari total berat kering tanaman utuh, sedangkan
kebutuhan akan senyawa metabolit sekunder cukup tinggi. Misalnya pada
Catharanthus roseus, kandungan vinblastin hanya 3 gram/ton atau sekitar
0,0003% per BK (Nicolos, 1994), shikonin pada kultur suspensi sel Lithospermum
erythorhizon sekitar 20% sedangkan di dalam tanaman utuh 1,5%, ginsenoside
pada kultur kalus Panax ginseng 27% sedangkan di dalam tanaman utuh 4,5%
(Missawa, 1994).
Salah satu metabolit sekunder yang saat ini sangat dibutuhkan adalah
katekin. Katekin merupakan senyawa dominan dari teh, suatu turunan tanin
terkondensasi yang juga dikenal sebagai senyawa polifenol karena banyaknya

gugus fungsional hidroksil yang dimilikinya. Katekin berfungsi sebagai senyawa
antioksidan, antibakteri, dapat menurunkan kolesterol dan LDL, antidiabetes, dan
dapat membantu pencernaan (Mondal et al., 2004).
Teh hijau mengandung 36-40% polifenol dari total berat kering. Polifenol
pada teh hijau terdiri atas; katekin (C), epikatekin (EC), epikatekin gallat (ECG),
epigallokatekin (EGC), epigallokatekin galat (EGCG), kafein, theobromin,
flavonol glikosida, procyanidins, dan asam polifenol (Harold dan Graham, 1992).
Rata-rata kandungan katekin di dalam teh hijau 3,3-8,294 mg/100 g BK
(Alamsyah, 2006), sedangkan pada kultur in vitro sekitar 0,45 µg/mL (Sutini,
2009).

Universitas Sumatera Utara

2

Selain masih sangat rendahnya kandungan metabolit sekunder dalam
tanaman utuh, adanya beberapa kendala seperti: ketersediaan tanaman yang
dipengaruhi musim, lahan yang dibutuhkan luas, pemeliharaan tanaman secara
intensif seperti penyiangan, pemangkasan, pemberantasan gulma dan penyakit
menjadi alasan mengapa produksi metabolit sekunder tanaman perlu ditingkatkan

(Setiti, 2000). Produksi metabolit sekunder melalui kultur in vitro merupakan
pilihan yang mempunyai harapan dibandingkan dengan produksi tanaman utuh.
Alasan penggunaan kultur in vitro yang berbentuk kalus untuk memproduksi
metabolit sekunder diantaranya: (a) jaringan kalus tidak terorganisasi, (b) dapat
digunakan pada kegiatan kultur selanjutnya tanpa harus menginisiasi ulang,
(c) dapat disimpan pada keadaan tertentu/sesuai kebutuhan, dan (d) pembelahan
sel terus menerus terjadi sehingga berpotensi tinggi untuk diproduksi metabolit
sekundernya (Sutini, 2009).
Saat ini metode yang paling banyak dikembangkan untuk memproduksi
metabolit sekunder adalah metode elisitasi. Elisitasi adalah metode yang
digunakan untuk menginduksi pembentukan suatu fitoalexin atau metabolit
sekunder lain yang secara normal tidak terakumulasi. Elisitasi dapat dilakukan
dengan menambahkan elisitor abiotik maupun biotik pada medium. Elisitor biotik
dapat berupa fungi atau ragi (Purwianingsih, 1997).
Banyak penelitian tentang elisitasi yang telah berhasil meningkatkan
kandungan bioaktif tumbuhan dengan menggunakan elisitor ragi, terutama
Saccharomyces cerevisiae. Antosianin dalam kultur sel Daucus carota berhasil
ditingkatkan

kadarnya


sebesar

58%

dengan

menggunakan

ekstrak

sel

Saccharomyces cerevisiae (Survalatha et al., 1994). Penelitian lain menunjukkan
bahwa fraksi karbohidrat dari ekstrak Saccharomyces cerevisiae juga dapat
menginduksi sintesis gliseolin sampai 200 µg dalam kultur sel Glycine max dan
meningkatkan biosintesis barberin hingga 4 kali lipat pada kultur Thalictrum
rugosum (Funk et al., 1997). Sedangkan pada tanaman teh belum ada informasi
mengenai penelitian yang menggunakan Saccharomyces cerevisiae untuk
meningkatkan kandungan metabolit sekunder katekin, sehingga pada penelitian ini

saya

menggunakan

Saccharomyces

cerevisiae

sebagai

elisitor

untuk

meningkatkan kandungan katekin pada teh.

Universitas Sumatera Utara

3


1.2 Pemasalahan
Produksi katekin pada kultur jaringan teh masih sangat rendah, kandungan
katekin yang dihasilkan sekitar 3,3-8,294 mg/100 g BK pada tanaman utuh,
sedangkan pada kultur in vitro sekitar 0,45 µg/mL sehingga perlu dilakukan
elisitasi untuk meningkatkan kandungan katekin pada teh. Elisitasi merupakan
proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk menginduksi
dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder atau fitoaleksin yang
terbentuk akibat pemberian cekaman. Selain itu, sampai saat ini belum ada
informasi mengenai konsentrasi elisitor Saccharomyces cerevisiae yang dapat
meningkatkan produksi metabolit sekunder katekin pada kultur kalus teh
(Camellia sinensis L.).

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dinding sel
Saccharomyces cerevisiae yang dapat meningkatkan produksi katekin pada kultur
kalus teh (Camellia sinensis L.) secara in vitro.

1.4 Hipotesis
Penambahan ekstrak dinding sel Saccharomyces cerevisiae dapat
meningkatkan produksi katekin pada kultur kalus teh (Camellia sinensis L.).


1.5 Manfaat
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tambahan
bagi pihak-pihak yang membutuhkan serta diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi pada penelitian selanjutnya dalam memproduksi katekin secara in vitro.

Universitas Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teh (Camellia sinensis L.)
Kata teh berasal dari Cina. Masyarakat Cina daerah Amoy menyebut teh dengan
tay sementara masyarakat daerah Kanton menyebutnya cha. Orang Inggris
menyebutnya tea, di daerah Spanyol diucapkan te, dan di Jerman teh disebut
dengan tee. Tanaman teh (Camellia sinensis L.) tumbuh dengan baik pada kondisi
beriklim hangat dan lembab dengan curah hujan yang cukup tinggi dan juga
terdapat banyak paparan sinar matahari, tanah berasam rendah serta drainasi tanah
yang baik. Teh dapat tumbuh dengan optimum di daerah pegunungan beriklim
sejuk dengan ketinggian lebih dari 1800 meter di atas permukaan laut (Nurunisa,

2011).
Teh merupakan minuman yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
Teh akan meningkatkan sistem pertahanan biologis tubuh terhadap kanker,
membantu penyembuhan penyakit (misalnya mencegah peningkatan kolesterol
darah), dapat mengatur gerak fisik tubuh dengan mengaktifkan sistem saraf, dan
menghambat proses penuaan karena adanya senyawa katekin yang merupakan
antioksidan (Bambang, 2006).
Menurut Harold dan Graham (1992), di dalam teh hijau

terkandung

komponen-komponen seperti: kafein, epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin,
epigalokatekin galat, flavonol, theanin, asam glutamat, asam aspartat, arginin,
gula, dan kalium. Berdasarkan potensi aktivitas kesehatan yang paling baik, teh
hijau lebih baik dibandingkan dengan jenis lainnya.

2.2 Kultur In Vitro Kalus
Kultur jaringan adalah istilah umum yang ditunjukkan pada budidaya secara in
vitro terhadap bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel,
protoplas, dan embrio. Hartmann (1990), menggunakan istilah yang lebih spesifik

yaitu mikropropagasi terhadap pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam upaya
perbanyakan tanaman secara aseptik di dalam tabung kultur.

Universitas Sumatera Utara

6

Menurut Zulkarnain (2009), kultur in vitro memiliki peranan yang penting
untuk mendapatkan hasil-hasil yang tidak mungkin dicapai melalui kultur in vivo.
Menurut Watimena (1992), teknik kultur in vitro mempunyai keuntungan dalam
produksi metabolit sekunder jika dibandingkan dengan tanaman utuh karena
kecepatan pertumbuhan sel dan biosintesis dalam kultur yang diinisiasi dari
eksplan sangat tinggi dalam periode yang sangat singkat, dan lebih ekonomis.
Menurut Sutini (2009), penggunaan kultur in vitro tanaman yang dipelihara di
bawah kondisi lingkungan, nutrisi, dan zat pengatur tumbuh yang terkontrol akan
menghasilkan metabolit secara kontinyu.
Kalus adalah kumpulan sel-sel yang terbentuk dari sel-sel parenkim yang
membelah secara terus menerus dan tidak berdifferensiasi, yang ditumbuhkan
dalam keadaan steril pada suatu media buatan, dengan penambahan nutrisi
sehingga sel-selnya mampu tumbuh dan mengadakan pembelahan menjadi massa

sel yang tidak terdeferensiasi yang disebut kalus (Sutini, 2009). Adapun beberapa
tujuan dari kultur kalus antara lain: perbanyakan tanaman melalui pembentukan
organ dan embrio, regenerasi varian genetika, mendapatkan tanaman bebas virus,
sebagai sumber untuk produksi protoplas, sebagai bahan awal untuk
kreopreservasi, menghasilkan produk metabolit sekunder, dan biotransformasi
(Zulkarnain, 2009).

2.3 Metabolit Sekunder
Semua makhluk hidup bereproduksi dan perlu melakukan sejumlah transformasi
senyawa organik agar dapat melangsungkan kehidupan. Proses transformasi
senyawa organik tersebut dilakukan melalui sistem yang terdiri dari reaksi-reaksi
kimia beraturan yang dikatalisis dan dikontrol ketat oleh sistem enzimatik dan
melibatkan jalur metabolik. Sedangkan senyawa-senyawa organik yang dihasilkan
dan terlibat dalam metabolisme disebut sebagai metabolit. Metabolit sekunder
merupakan suatu hasil dari proses metabolisme sekunder dimana terjadi
metabolisme dengan melibatkan senyawa organik dan spesifik yang terbatas di
alam (Sudibyo, 2002).
Secara kultur jaringan produksi metabolit sekunder dapat ditingkatkan
dengan beberapa cara, diantaranya dengan melakukan optimasi faktor eksternal


Universitas Sumatera Utara

7

dan internal. Optimasi faktor tersebut dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap
pertumbuhan dan tahap produksi. Pada tahap pertumbuhan, kondisi kultur
diarahkan untuk memproduksi biomassa sel, sedangkan pada tahap produksi
dilakukan pemindahan biomassa sel ke dalam medium produksi dengan tujuan
pengkondisian kultur untuk memproduksi metabolit sekunder (Hamdiyati, 1999).
Mantell dan Smith (1983), menjelaskan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi akumulasi metabolit sekunder pada kultur in vitro, yaitu:
1.

Kondisi Kultur Eksternal

(a) Cahaya
Fotoperioditas, kualitas, dan intensitas cahaya dapat mempengaruhi produksi
metabolit sekunder secara in vitro. Sebagai contoh, produksi nikotin pada kultur
kalus N. tabaccum yang disimpan pada kondisi gelap dapat mengakumulasi
nikotin dengan konsentrasi tinggi.

(b) Suhu
Produksi metabolit sekunder dapat dipengaruhi suhu. Sebagai contoh, produksi
alkaloid pada kultur kalus Peganum maksimum pada suhu 250C.
(c) Agitasi Kultur
Kecepatan agitasi kultur berpengauh pada pertumbuhan dan akumulasi metabolit
sekunder dalam kultur. Sebagai contoh, produksi nikotin pada kultur kalus N.
tabaccum maksimum pada 150 rpm.

2.

Kondisi kultur Internal

(a) Zat pengatur tumbuh
Jenis dan konsentrasi yang tepat dari zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi
biosintesis metabolit sekunder. Sebagai contoh, penggunaan 2,4-D pada kultur sel
Daucus penambahan 10 mg/L 2,4-D dapat menginduksi sintesis karotenoid dan
ubiquinone hingga maksimum.
(b) Makro dan mikro nutrien
Makro dan mikro nutrien dalam medium kultur dapat mempengaruhi metabolisme
sekunder sel. Sebagai contoh, peningkatan kadar posfat dapat meningkatkan
produksi indol pada kultur C. roseus.

Universitas Sumatera Utara

8

(c) Sumber karbon
Sukrosa merupakan salah satu sumber karbon yang banyak digunakan dalam
medium kultur. Sebagai contoh, konsentrasi sukrosa 30 g/L dalam kultur suspensi
S. aviculare dapat menghambat produksi solasodin.
(d) pH medium
pH medium dapat mempengaruhi sintesis metabolit sekunder pada kultur jaringan
tumbuhan. Pertumbuhan optimum kultur sel tumbuhan biasanya terjadi pada pH
5-6.
(e) Prekursor (prazat)
Pemberian prazat ke dalam medium kultur dapat meningkatkan produksi
metabolit sekunder. Sebagai contoh, penambahan 500 mg/L fenilalanin pada
kultur kalus Coleus blumei dapat meningkatkan asam rosmarinik hingga 100%.
(f) Elisitasi
Elisitasi merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan
untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Sebagai
contoh, produksi ajmalisin pada kultur suspensi sel C. roseus dapat ditingkatkan
sebanyak 60% setelah diberi homogenat jamur Phytopthora cactorum yang sudah
diotoklaf.
Prekursor

biosintesis

metabolit

sekunder

didapatkan

dari

proses

metabolisme primer. Struktur dan jumlah prekursor menentukan kerangka
metabolit sekunder yang terbentuk. Pada umumnya struktur metabolit sekunder
berupa makromolekul yang terdiri dari tiga senyawa utama seperti: asetat, sikamat
dan mevalonat dan beberapa asam amino seperti ornitin dan lisin (Dewick, 1999).

2.4 Senyawa Polifenol Katekin
Senyawa fenolik di alam meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan yang mempunyai ciri yang sama, yaitu cincin aromatik yang
mengandung satu atau lebih gugus OH. Senyawa fenolik di alam sangat luas,
mempunyai variasi struktur yang luas, mudah ditemukan pada hampir semua jenis
tanaman, bagian-bagian tanaman seperti bunga, buah, dan daun. Ribuan senyawa
fenolik di alam telah diketahui strukturnya, antara lain flavonoid, fenol, fenil
propanoid, polifenol dan kuinon fenol (Fauziah, 2008).

Universitas Sumatera Utara

9

Teh (Camellia sinensis L.) diantaranya mengandung komponen bioaktif
polifenol, berperan besar dalam pencegahan berbagai macam penyakit, mencegah
radikal bebas yang dapat merusak sel dan menghentikan perkembangan sel-sel liar
yang akan berkembang menjadi kanker dan meningkatkan sistem imun sehingga
teh dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional karena mengandung
senyawa aktif yaitu polifenol yang mampu berperan sebagai antioksidan alami,
menjaga tubuh dari serangan radikal bebas (Sutini, 2009).
Katekin merupakan salah satu senyawa turunan polifenol yang dikenal
memiliki aktivitas biomedisin. Katekin memiliki sifat kelarutan yang rendah
dalam air dan tidak stabil. Namun, sintesis senyawa katekin memiliki potensi
tinggi untuk diuji dan dimanfaatkan, diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai
senyawa antioksidan, antibakteri, dan antitumor yang menarik perhatian ilmuwan
(Yanuar, 2001).
Menurut Yanuar (2001), secara umum katekin terdapat dalam bentuk tanin
terkondensasi yang banyak ditemukan pada teh hijau. Teh hijau mengandung
polifenol kurang lebih 30-40% dari berat kering total daun teh yang belum
mengalami proses fermentasi. Menurut Alamsyah (2006), teh hijau mengandung
katekin 3,3-8,294 mg/ 100 g. Ekstrak teh hijau dalam air hanya mengandung
sekitar 0,5% katekin karena katekin segera larut dalam air apabila terdapat dalam
bentuk glikosida. Adapun struktur kimia katekin dapat dilihat pada Gambar
2.1.dibawah ini:

Gambar 2.1. Struktur kimia katekin

Universitas Sumatera Utara

10

2.5 Pola Hubungan Pertumbuhan dengan Produksi Metabolit Sekunder
Barz et al. (1977), hubungan pertumbuhan dengan produksi metabolit
sekunder dapat dikelompokkan menjadi 5 pola, yaitu:
1.

Produksi metabolit sekunder terjadi pada fase lag, misalnya produksi
antrakuinon pada kultur suspensi sel M. citrifolia.

2.

Produksi metabolit sekunder terjadi pada fase akselerasi, misalnya produksi
asam sinamat pada kultur suspensi sel Daucus carota.

3.

Produksi metabolit sekunder sejajar dengan pertumbuhan sel, misalnya
produksi serpentin pada kultur suspensi sel Catharanthus.

4.

Produksi metabolit sekunder terjadi setelah sel memasuki fase stasioner,
misalnya produksi shikonin pada kultur suspensi sel Lithospermum.

5.

Produksi metabolit sekunder berlawanan dari pertumbuhan sel, misalnya
produksi diosgenin pada kultur Dioscorea.

2.6 Elisitasi
Elisitasi adalah teknik pemberian materi abiotik maupun biotik ke dalam
sel tumbuhan sehingga produksi metabolit sekunder pada tumbuhan meningkat
sebagai respon tumbuhan dalam mempertahankan diri. Menurut Namde (2007),
elisitor abiotik merupakan substansi tidak hidup seperti garam anorganik, faktor
fisik seperti sinar UV, pembekuan, pemberian komponen nonessensial seperti
agarose, pemberian senyawa-senyawa kimia yang dapat mempengaruhi afinitas
DNA, detergen seperti xenobiokimia, fungisida seperti butylamine benomyl,
fungisida seperti acifluorofen, ion logam Cu, Cd, Ca, dan konsentrasi pH yang
tinggi yang dapat diberikan kepada tumbuhan secara eksogen. Sedangkan elisitor
biotik seperti jamur, bakteri baik berupa enzim maupun fragmentasi dari dinding
sel mikroorganisme (kitosan dan glukan).
Pada elisitor biotik, berdasarkan letak terdapat elisitor eksogen dan
endogen. Elisitor eksogen merupakan substansi yang terdapat diluar sel seperti
polisakarida pada dinding sel (pektin dan selulosa), poliamin dan asam lemak.
Sedangkan elisitor endogen merupakan substansi yang terdapat di dalam sel
seperti galakturonida atau hepta-β-glukosida (Kurz, 1991).

Universitas Sumatera Utara

11

Elisitasi merupakan teknik untuk merangsang pembentukan fitoaleksin
dan meningkatkan produksi metabolit sekunder yang terakumulasi akibat
cekaman. Substansi yang dapat dijadikan sebagai elisitor dapat berupa
mikroorganisme patogen, zat pengatur tumbuh (ZPT), cahaya, temperatur,
prekursor, dan kondisi nutrien pada medium apabila diberikan pada konsentrasi
yang sedikit pada sel hidup akan menginisiasi pembentukan komponen yang
spesifik (Ariningsih dan Anggarwulan, 2002 dan Namde, 2007).

2.6 Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae (yeast) merupakan organisme uniseluler yang
umumnya memperbanyak diri dengan pembentukan tunas (budding) dan bersifat
nonpatogen. Pada umumnya yeast berbentuk bulat telur dan memanjang, tidak
mempunyai alat gerak, dengan ukuran lebar antara 1-5 µm, sedangkan panjang
antara 3-30 µm. Yeast bersifat anaerob fakultatif, artinya dapat hidup dalam
keadaan aerorb maupun anaerob. Suhu optimum pertumbuhannya yaitu 300C
(Zahara, 2011).
Dinding sel ragi atau khamir secara umum memiliki 4 fungsi utama antara
lain: (1) menstabilkan tekanan osmotik di dalam sel, (2) melindungi sel dari
tekanan luar, (3) memberi bentuk pada sel, (4) dan mensekresikan protein yang
digunakan untuk metabolisme ekstraseluler. Sekitar 10-25% dari total berat kering
merupakan dinding sel yang terdiri dari membran dalam berupa polisakarida
untuk melindungi cairan dalam sel dan membran luar berupa manno-protein
untuk melekat pada media (Klis et al., 2005). Ekstrak khamir digunakan sebagai
elisitor pada saat biomassanya mencapai maksimum, dengan harapan bahwa
derivat dinding sel khamir yang berupa glukan, kualitas dan kuantitasnya telah
mencapai optimum. Komponen yang akan digunakan sebagai elisitor adalah
komponen dinding sel Saccharomyces cerevisiae yang diperkirakan berupa
glukan. Sisi aktif nya berupa 1,6 β-D glukopiranosil. Glukan dari ekstrak
Saccharomyces cerevisiae secara alami diperkirakan mempunyai binding site
yang sesuai dengan reseptor yang ada pada agregat sel dan mampu berkompetisi
dibandingkan dengan glukan sintetis (Hahn, 1996).

Universitas Sumatera Utara