Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak Kajian Makna Dan Fungsi

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepustakaan yang Relevan

Kajian pustaka dalam setiap proposal skripsi sangat diperlukan dalam menyusun karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam penelitian yang semuanya itu bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi dan nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Kajian pustaka ini menjelaskan tentang kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Dalam kepustakaan yang relevan dijelaskan tentang pengertian upacara ritual, ritual menanda tahun diSisada Rube pada masyarakat Pakpak, pengertian makna, dan pengertian fungsi. dalam teori yang digunakan dijelaskan tentang teori makna dan fungsi.

2.2 Landasan Teori

Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani) yang artinya kebulatan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian. Pengertian teori menurut Pradopo (2001:35) ialah, “seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan atau menjelaskan suatu fenomena”.


(2)

Untuk menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori makna oleh Chaer (1987:3) yang mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Penulis juga menggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1984:29) yang menyebutkan fungsi ada 3 arti yaitu:

1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang

lainnya dalam suatu sistem berinteraksi.

2.2.1 Pengertian Upacara Ritual

Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa:

“Upacara ritual adalahsuatu upacara keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku. Kelakuan agama tersebut merupakan perbuatan-perbuatan manusia yang bertujuan untuk menjalin hubungan dengan dunia gaib, upacara ritual tersebut terwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahluk halus lainnya, upacara ini biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, tiap musim, ataupun kadang-kadang saja.

Jadi menurut pernyataan diatas, bahwa upacara ritual adalah suatu kegiatan yang dilakukan manusia yang bertujuan untuk berhubungan dengan dunia gaib, roh nenek moyang, dan lain sebagainya. Upacara ritual ini dilakukan bisa bergantung pada waktu yang sudah ditetapkan ataupun tidak ditetapkan. Sebuah upacara ritual dilakukan dengan cara atau waktu yang berbeda-beda tergantung apa yang diinginkan oleh masyarakat yang melakukan upacara ritual tersebut.

Selanjutnya Lessa dan Vogt dalam Muhaimin (2001:32) berpendapat bahwa ritual mencakup semua tindakan simbolik, baik yang bersifat profan maupun bersifat sakral, teknik maupun estetika, sederhana maupun rumit. Yang dimulai dari estetika


(3)

penyapaan, pengucapan mantera sampai penyelenggaraan berbagi bentuk upacara yang hikmat.

Dhavamony (2002:175) menyatakan bahwa upacara ritual dibagi menjadi empat macam yaitu:

1) Tindakan magik yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena adanya daya mistis.

2) Tindakan yang bersifat religius.

3) Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan cara merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas.

4) Ritual fiktif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.

2.2.2 Upacara Menanda Tahun

Upacara menanda tahun adalah salah satu jenis upacara yang berkaitan dengan proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya khususnya Sisada Rube khususnya. Upacara ini dilaksanakan seikitar bulan Mei atau Juni setiap tahunnya, menjelang musim tanam padi diladang tiba. Sejak kapan upacara ini dikenal, semua informan tidak tahu, yang jelas menurut mereka telah dilaksanakan sejak generasi terdahulu.

Seluruh anggota masyarakat Sisada Rube, turut berpartisipasi dalam upacara ini dalam pengertian semua hak atau kewajiban yang harus dipenuhi berkaitan dengan tabu-tabu dan aturan-aturan, baik oleh anak-anak hingga orang dewasa. Setiap individu berhak mencari tahu atau bertanya, dan setiap keluarga inti berkewajiban menyumbang dana serta tenaga yang dibutuhkan. Namun demikian, ada individu-individu atau kelompok tertentu yang perannya lebih besar atau menonjol bila dilihat dari tingkat keaktifan dan tanggung jawabnya. Mereka terdiri dari: sukut ( pelaksana utama), Kepala desa, Simatah Daging(pemuda-pemudi), Berru (kelompok pengambil anak


(4)

gadis), Puang( kelompok pemberi anak gadis), Guru (pemimpin upacara), dan pengurus tetap.

Sukut (tuan rumah) terdiri dari suatu keluarga inti, harus bermarga Manik (Marga Tanoh), generasi tertua dan bergilir antar Lebuh(Kampung). Sukut berkewajiban mempersiapkan peralatan-peralatan upacara dan melaksanakan perintah guru, misalnya menabur, mematuhi tabu-tabu dan aturan, serta memberikan kata sambutan dan lai-lain.

Guru (dukun), seorang atau dua orang laki-laki dewasa dari pihak marga tanoh (penduduk asli), memiliki kelebihan khusus sehingga dapat berkomunikasi dengan penguasa gaib, dapat meramal, dan sebagai pusat informasi tentang segala kewajiban dan hak yang perlu atau harus dilaksanakan warga dalam kaitannya dengan upacara perladangan.

Pengetuai (tokoh adat) mencakup semua individu yang dituakan karena dianggap memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat yang berlaku di Sisada Rube. Mereka juga diharapkan sebagai sumber informasi tentang aturan-aturan adat dan juga diharapkan dapat memberikan saran-saran dan ide-ide berkaitan dengan pelaksanaan upacara. Pengetuai (tokoh adat)tidak terbatas dari pihak Marga Tanoh(tuan rumah), tetapi juga dari marga lain yang ada di Ssisada Rube.

Kepala desa diharapkan sebagai pengayom dan memberikan masukan serta saran-saran, ia juga diharapkan menjadi mediator antara penduduk dengan para perencana pembangunan. Upacara akan berlangsung bilamana dihadiri oleh minimal satu orang dari tiga Kepala desa yang ada di Sisada Rube.


(5)

Selanjutnya pemuda-pemudi dibutuhkan untuk membantu sukut(tuan rumah) dalam persiapan peralatan dan pelaksanaan upacara. Misalnya, memasak lauk atau nasi, mengambil kayu bakar dan lain-lain.

Berru (kelompok penerima anak gadis) berkewajiban menyumbang tenaga dan materi. Belakangan (sekitar 20 tahun terakhir), mereka juga diberi hak untuk memberi kata sambutan dan sejak dibentuknya pengurus tetap satu dekade yang lalu, beberapa orang diantaranya diangkat menjadi panitia tetap.

Sama seperti kelompok berru (pengambil anak gadis), kelompok puang (pemberi anak gadis) diberi peran yang lebih besar secara belakangan. Pada awalnya mereka hanya peserta biasa, tapi belakangan ini diberi wewenang untuk memberi kata sambutan, ikut merunggu (musyawarah) dan sumber nasehat (wejangan).

Sejak tahun 1967 dengan dimasukkanyaunsur agama Islam dan Kristen dalam pelaksanaan upacara, maka tenaga pengurus mesjid dan gereja wajib hadir untuk memimpin doa bersama dan menyembelih hewan kurban.

Dalam pelaksanaan upacara Menanda Tahun dibutuhkan perlengkapan atau persyaratan wajib dan tidak wajib. Wajib berarti harus ada, sedangkan tidak wajib boleh ada maupun tidak ada. Peralatan wajib mencakup pelleng (makanan khas daerah Pakpak), ranting pohon rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang memiliki buah warna hijau sebesar biji rimbang) secukupnya, maro-maro (rumbai) secukupnya, cabe merah secukupnya, tugal dua buah, pancongan bambu tujuh buah, jennap (parang khusus) satu buah, page siarang (benih padi pulut merah) secukupnya, peramaken (tikar pandan) satu buah, ayam kurban berbulu merah satu ekor, Napuren Penter (sekapur sirih) dan saong (tudung kepala). Peralatan tidak wajib muncul apabila


(6)

upacara dilaksanakan secara besar-besaran, misalnya kerbau, alat musik dan lain-lainnya.

Pelleng (makanan khas daerah Pakpak) dianggap mempunyai kekuatan khusus karena biasanya digunakan untuk sesajen terhadap kekuatan-kekuatan supranatural. Sehingga hampir seluruh kegiatan upacara dan aktivitasyang dianggap beresiko besar selalu disajikan pelleng (makanan khas), juga untuk tujuan mencapai cita-cita atau harapan.

Ranting Rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang memiliki buah warna hijau sebesar biji rimbang) diidentikkan dengan keberuntungan. Alasannya pohon rube dapat dimanfaatkan secara serba guna untuk kebutuhan manusia. Sedangkan marro-marro (rumbai) diperuntukkan sebagai hiasan altar karena padi menurut kepercayaan setempat berasal dari penjelmaan manusia.

Sicina Mbara (cabe merah) dimakan sebagai lalapan pada saat makan. Merah dan pedas dilambangkan sebagai sumber keberanian dan semangat. Ardang (tugal) dibuat dari kayu-kayu kecil dengan salah satu ujungnya ditajami, yang berfungsi untuk membuat lubang benih saat upacara. Sedangkan pancongan bambu yang berjumlah tujuh melambangkan adanya tujuh roh padi yang berdiam dibumi. Ujungnya dibentuk runcing dan menghadap kesebelah timur karena matahari terbit dari timur dan sebagai penghormatan kepada dewa matahari.

Jennap (parang khusus) hanya boleh dimiliki oleh sukut(tuan rumah) upacara serta dirancang secara khusus oleh penempa besi. Kemudian diisi kekuatan gaib oleh seorang guru (dukun). Untuk itu hanya bisa dimanfaatkan saat upacara MenandaTahun. Selanjutnya page siarang (benih padi pulut merah) merupakan lambang permulaan, merah diartikan berani sedangkan pulut lambang perekat rejeki.


(7)

Selanjutnya tikar pandan dimanfaatkan sebagai tempat duduk sukut (tuan rumah) dan guru(pemimpin upacara). Putih merupakan lambang kesucian, sehingga penguasa berkenan memberi berkat melalui hasil panen padi yang melimpah. Manuk mbara(ayam merah) diperuntukkan sebagai kurban sehingga gerak-gerik ayam saat disembelih dan unsur-unsur organ tubuhnya dapat memberi petunjuk bagi guru dalam meramalkan kejadian-kejadian dimasa akan datang.

Kemudian napuren mpenter sada rambar (sekapur sirih) diberikan kepada guru (dukun), artinya tudung kepala bagi peserta upacara bermakna agar segala hama tidak dapat melihat atau mengganggu tanaman diladang. Tutup kepala dikonotasikan dengan tidak melihat saat pelaksanaan upacara tahun 1991 ternyata hanya sebagian kecil dari peserta yang mengenakannya (13 orang).

2.2.3 Pengertian Makna

Chaer (1987:3) mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Adapun sebuah budaya yang selalu diwakili kode atau lambang yang secara konvensional disepakati memiliki makna. makna yang terkandung tersebut selalu merujuk kepada kosmologi masyarakat pemilik tersebut.

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada beberapa pengertian tentang makna, baik secara etimologi maupun leksikologi. Didalam makna leksikal disebut bahwa makna unsur-unsur sastra sebagai lambang benda, peristiwa dan sebagainya.


(8)

Makna adalah pengertian dasar yang diberikan atau ada dalam suatu hal. Ada juga disebut mengenai pengertian makna kontekstual yang berarti hubungan makna ujaran dan situasi yang dipakai ujaran itu.

2.2.4 Pengertian Fungsi

Didalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa ada beberapa pengertian tentang fungsi, baik secara etimologi maupun leksikologi.

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1984:29)

Koentjaraningrat juga menyebut bahwa konsep fungsi mempunyai 3 arti penting dalam penggunaannya, yaitu:

1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang

lainnya dalam suatu interaksi.

2.3.Teori yang Digunakan

Berdasarkan penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk mendeskripsikan semiotik dan fungsi simbolis dalam upacara ritual menandatahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan dua teori, yaitu teori makna dan teori fungsi. Berikut ini akan dijelaskan mengenai kedua teori tersebut.


(9)

2.3.1 Teori Semiotik

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai aturan dalam lapangan kritik sastra (Preminger dalam Pradopo 1995: 93).

Preminger 1974:980 (dalam Pradopo 1995) mengatakan, penelitian semiotik meliputi analisis serta sebagai sebuah bahasa yang tergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.

Lengkapnya, Preminger 1974:980 mengatakan bahwa semiotik adalah teori tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotik itu juga mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai makna. Dalam lapangan kritik sastra meliputi tanda-tanda sastra bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) sehingga suatu wacana mempunyai makna. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, sistem-sistem, aturan-aturan dan konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai makna didalam peristiwa sastra.

Menurut Charles Sander Peirce (1839:980) semiotik itu juga dapat diartikan sebagai ilmu “Tanda: Penanda dan Petanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh


(10)

penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: orang yang melahirkan kita.

Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamih antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausa (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbriter (semau-semaunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi . “Ibu”adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Ada bermacam-macam untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan) tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Perlu diperhatikan, dalam penlitian sastra dengan pendekatan semiotik. Tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu). Yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya dalam penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (tano dalam belenggu) dicari tanda-tanda yang memberikan indeks bahwa ia dokter. Misalnya tono, ia selalu


(11)

mempergunakan istilah-istilah kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan sebagainya.

2.3.2.Teori Fungsi

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan simbol dalam tradisi upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak adalah fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda (simbol). Maka untuk memahami makna dan fungsi simbolis dalam masyarakat Pakpak digunakan teori yang telah dinyatakan. Upacara ritual menanda tahun merupakan bagian dari foklor etnis Pakpak yang memiliki makna dan fungsi bagi etnis Pakpak itu sendiri, yang menunjukkan bahwa masyarakat Pakpak memiliki budaya yang diturunkan secara turun-temurun yang dapat menunjukkan identitas dari dari kebudayaan daerah Pakpak itu sendiri.

kata foklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris “foklore”. Kata foklore adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. ciri-ciri pengenal itu antara lain: warna kulit yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui milik bersama yang merupakan sebagai identitas.


(12)

Lore adalah tradisi, yaitu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Dengan demikian foklor dapat disimpulkan sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif jenis apa saja, jenis tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)

Menurut Ian Harold Brunvand ahli foklor dari AS (1968:2-3), foklor digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:

1) Foklor lisan: yaitu foklor yang bentuknya murni lisan. Yang termasuk foklor lisan yaitu (a) bahasa rakyat (folk spech)seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa, pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional (teka-teki); (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.

2) Foklor sebagian lisan: foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang “modern” seringkali disebut tahkyul, terdiri dari pernyataaan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib yang dapat melindungi diri juga dapat memberi rejeki. Bentuk foklor yang yang tergolong dalam kelompok ini, selain kepercayaan rakyat, ada juga permainan rakyak, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

3) Foklor bukan lisan: foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk material: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi ), kerajinan tangan rakyat: pakaian adat dan perhiasan, masakan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya pada masyarakat jawa), dan musik rakyat.

Upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak adalah merupakan bagian dari foklor etnis pakpak bagian dari foklor sebagaian lisan. Karena didalam pelaksanaan ritual menanda tahun ini masyarakat masih meyakini akan kepercayaan akan pengisi alam gaib yang dapat memberi keberuntungan kepada meraka jika


(13)

meyakini gerrek-gereken “syarat-syarak”yang ada didalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahuntersebut.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984: 19) ada empat fungsi dari foklor:

1) Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.

2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3) Sebagai alat pendidikan anak.

4) Sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar selalu dipatuhi oleh anggoya kolektifnya.


(1)

Makna adalah pengertian dasar yang diberikan atau ada dalam suatu hal. Ada juga disebut mengenai pengertian makna kontekstual yang berarti hubungan makna ujaran dan situasi yang dipakai ujaran itu.

2.2.4 Pengertian Fungsi

Didalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa ada beberapa pengertian tentang fungsi, baik secara etimologi maupun leksikologi.

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1984:29)

Koentjaraningrat juga menyebut bahwa konsep fungsi mempunyai 3 arti penting dalam penggunaannya, yaitu:

1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang

lainnya dalam suatu interaksi.

2.3.Teori yang Digunakan

Berdasarkan penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk mendeskripsikan semiotik dan fungsi simbolis dalam upacara ritual menandatahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan dua teori, yaitu teori makna dan teori fungsi. Berikut ini akan dijelaskan mengenai kedua teori tersebut.


(2)

2.3.1 Teori Semiotik

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai aturan dalam lapangan kritik sastra (Preminger dalam Pradopo 1995: 93).

Preminger 1974:980 (dalam Pradopo 1995) mengatakan, penelitian semiotik meliputi analisis serta sebagai sebuah bahasa yang tergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.

Lengkapnya, Preminger 1974:980 mengatakan bahwa semiotik adalah teori tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotik itu juga mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai makna. Dalam lapangan kritik sastra meliputi tanda-tanda sastra bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) sehingga suatu wacana mempunyai makna. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, sistem-sistem, aturan-aturan dan konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai makna didalam peristiwa sastra.

Menurut Charles Sander Peirce (1839:980) semiotik itu juga dapat diartikan sebagai ilmu “Tanda: Penanda dan Petanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh


(3)

penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: orang yang melahirkan kita.

Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamih antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausa (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbriter (semau-semaunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi . “Ibu”adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Ada bermacam-macam untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan) tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Perlu diperhatikan, dalam penlitian sastra dengan pendekatan semiotik. Tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu). Yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya dalam penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (tano dalam belenggu) dicari tanda-tanda yang memberikan indeks bahwa ia dokter. Misalnya tono, ia selalu


(4)

mempergunakan istilah-istilah kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan sebagainya.

2.3.2.Teori Fungsi

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan simbol dalam tradisi upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak adalah fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda (simbol). Maka untuk memahami makna dan fungsi simbolis dalam masyarakat Pakpak digunakan teori yang telah dinyatakan. Upacara ritual menanda tahun merupakan bagian dari foklor etnis Pakpak yang memiliki makna dan fungsi bagi etnis Pakpak itu sendiri, yang menunjukkan bahwa masyarakat Pakpak memiliki budaya yang diturunkan secara turun-temurun yang dapat menunjukkan identitas dari dari kebudayaan daerah Pakpak itu sendiri.

kata foklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris “foklore”. Kata foklore adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. ciri-ciri pengenal itu antara lain: warna kulit yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui milik bersama yang merupakan sebagai identitas.


(5)

Lore adalah tradisi, yaitu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Dengan demikian foklor dapat disimpulkan sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif jenis apa saja, jenis tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)

Menurut Ian Harold Brunvand ahli foklor dari AS (1968:2-3), foklor digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:

1) Foklor lisan: yaitu foklor yang bentuknya murni lisan. Yang termasuk foklor lisan yaitu (a) bahasa rakyat (folk spech)seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa, pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional (teka-teki); (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.

2) Foklor sebagian lisan: foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang “modern” seringkali disebut tahkyul, terdiri dari pernyataaan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib yang dapat melindungi diri juga dapat memberi rejeki. Bentuk foklor yang yang tergolong dalam kelompok ini, selain kepercayaan rakyat, ada juga permainan rakyak, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

3) Foklor bukan lisan: foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk material: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi ), kerajinan tangan rakyat: pakaian adat dan perhiasan, masakan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya pada masyarakat jawa), dan musik rakyat.

Upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak adalah merupakan bagian dari foklor etnis pakpak bagian dari foklor sebagaian lisan. Karena didalam pelaksanaan ritual menanda tahun ini masyarakat masih meyakini akan kepercayaan


(6)

meyakini gerrek-gereken “syarat-syarak”yang ada didalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahuntersebut.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984: 19) ada empat fungsi dari foklor:

1) Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.

2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3) Sebagai alat pendidikan anak.

4) Sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar selalu dipatuhi oleh anggoya kolektifnya.