Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak Kajian Makna Dan Fungsi

(1)

UPACARA RITUAL MENANDA TAHUN DI SISADA RUBE PADA MASYARAKAT PAKPAK : KAJIAN MAKNA DAN FUNGSI

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN OLEH

NAMA : EVA YENI BANUREA NIM : 110703008

UNIVERSITAS SUMATERA UATARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPERTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Penulis terlebih dahulu mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, serta pertolongan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini yaitu: “Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak: Kajian Makna Dan Fungsi.

Penulis berharap skripsi ini menjadi bahan informasi yang berguna bagi pembaca. Untuk memudahkan pemahaman skripsi ini, penulis membaginya menjadi lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.Bab II merupakan tinjauan pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan landasan teori.Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian, instrumen penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV merupakan pembahasan tentang permasalahan, serta babV merupakan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga apa yang diuraikan dalam skripsi ini berguna bagi kita semua.

Penulis,

Eva Yeni Banurea NIM:110703008


(3)

KATA PERJOLO

Perjolo-jolo penurat mendokken lias ate mendahi Tuhan Permende Basa sienggo memereken kininjuah, kegegohen, dekket pertolongen mendahi penurat kumerna boi kisidungi skripsi en i Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara. Lot pe judul skripsi en imo:”Upacara Ritual Menannda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak: Kajian Makna dan Fungsi”.

Penurat mengharapken skripsi en boi mahan informasi simerguna mendahi pembaca. Lako kipermudah pemahamen skripsi en, penurat membagi menjadi lima bab. Bab I imo perjolo simerisi latar belakang masalah, rumusen masalah, tujuen penelitien.Bab II imo tinjauen pustaka simerisi kajien relevan dekket landasen teori. Bab III imo cara penelitien simerisi cara perjolo, bekkas penelitien, cara meneliti, sumber data penelitien, cara kipepulungken data, dekket cara mengolah data. Bab IV imo pembahasen permasalahen, dekket bab V imo kesimpulen dekket saran.

Isadari penurat ngo bahwa skripsi en ndaoh deng ibas sempurna nai, imo asa i harapken penurat ngo kritik dekket saran simersipat membangun bana pembaca nai imo nalako kipemende skripsi en. Mudah-mudahen mo kade sini suratken i skripsi en merlapaten mendahi kita karina.

Penurat

Eva Yeni Banurea Nim: 110703008


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah Yang Maha Kuasa atas kasih yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak Kajian Makna Dan Fungsi”.

Skripsi ini ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Depertemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara Medan tahun akademik 2015/2016. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta terutama Ayahanda S Banurea dan Ibunda tercinta N Bancin atas doa dan dukungan moral serta materil. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yaitu kepada: 1.Bapak Dr. Syahron Lubis M.A Selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga M.Hum selaku Ketua Jurusan Program Studi Bahasa Batak dan Sastra Melayu Universitas Sumatra Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting M. Hum selaku Sekretaris Depertemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

4. Bapak Drs. Sumurung Simorangkir SH.MPd selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia memberi pengarahan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Drs Flansius Tampubolon M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia memberikan pengarahan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.


(5)

6. Bapak dan Ibu Dosen Staf pengajar Depertemen Sastra Daerah dan Bapak Ibu Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

7. Terima kasih kepada kak Fifi yang telah membantu penulis dalam melengkapi surat-menyurat demi kelancaran dalam perkuliahan dan juga dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Terimakasih kepada Dinas Kebudayaan Pariwisata Perhubungan Kabupaten Pakpak Bharat yang telah memberi bantuan berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi penulis yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

9. Buat Saudara-saudara saya: Karbina Yunita Banurea A.Md. , Dodi Arto Banurea, Mememmes Mono Banurea, Teguh Sadarmo Harianto Banurea, Septika Pasia Banurea terimaksih atas perhatian dan dukungannya.

10. Buat sahabat-sahabat saya Derinta LR Padang, Tifani Rotua Panjaitan, Naomi Kristina Siahaan, Vera Novalisa Sianipar, Evelina Sitinjak, Ina Dorys Sitorus dan teman-teman penulis stambuk 2011 yang telah memberikan dukungan serta bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman IKAMPUS ( Ikatan Mahasiswa Pakpak Universitas Sumatra Utara ) Derinta padang, Pasti Tumangger, Karbina Yunita Banurea, Ijin Tumangger, Kelleng kabeakan, Fitra Cibro, Edep Boymen Berutu, Melisa Padang, Hasanah Tumangger, Sarmino Berutu dan teman-teman yang lain yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberi dukungan dan semangat dalam penulisan srkipsi ini.

12. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abang dan kakak satambuk 2010 atas bimbingannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua sekian dan terima kasih.

Medan, oktober 2015 Penulis,

Eva Yeni Banurea NIM:110703008


(7)

ABSTRAK

Eva Yeni Banurea,2015. Judul Skripsi:Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak di Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tenteng UPACARA RITUAL MENANDA TAHUN DI SISADA RUBE PADA MASYARAKAT PAKPAK KAJIAN MAKNA DAN FUNGSI DI KECAMATAN PERGETTENG-GETTENG SENGKUT. Masalah dalam penelitian ini adalah Tahapan Upacara Ritual Menanda Tahun, Makna Upacara Ritual Menanda Tahun, Fungsi Upacara Ritual Menanda Tahun yang ada di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori makna dan fungsi. Adapun upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak adalah meliputi: Sebagai upacara yang diyakini akan membawa keberkahan akan hasil pertanian masyarakat Sisada Rube. Sehingga upacara ini masih diyakini dan dilaksanakan setiap tahunnya.


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

KATA PERJOLO...ii

UCAPAN TERIMA KASIH...V ABSTRAK...,………...Viii DAFTAR ISI...iX BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah...5

1.3 Tujuan Penelitian...6

1.4 Manfaat Penelitian...7

1.5 Anggapan Dasar...7

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian...8

1.6.1 Letak Geografis Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut...8

1.6.2 Keadaan Penduduk...8


(9)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...10

2.1 Kepustakaan Yang Relevan...10

2.2 Landasan Teori...10

2.2.1 Pengertian Upacara Ritual...11

2.2.2 Upacara Ritual MenandaTahun...12

2.2.3 Pengertian Makna...16

2.2.4 Pengertian Fungsi...17

2.3 Teori Yang Digunakan...17

2.3.1 Teori Semiotik...18

2.3.2 TeoriFungsi...20

BAB III METODEPENELITIAN...23

3.1 Metode Dasar...24

3.2 Lokasi Penelitian...24

3.3 Instrumen Penelitian...25

3.4 Metode Pengumpulan Data...26

3.5 Metode Analisis Data...27

BAB IV PEMBAHASAN...28

4.1 Tahapan Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak...28


(10)

4.1.1 Membunyikan Tabularang...29

4.1.2 Runggu...30

4.1.3 Ritual Pemberangkatan Mersiurup-urupen...31

4.1.4 Menoto...32

4.1.5 Tumabah ...33

4.1.6 Menuluhi/menutungi ...34

4.1.7 Menghabam...35

4.1.8 Jalannya Upacara...37

4.1.9 Ritual Menanda Tahun...38

4.1.10 Upacara Menanda Tahun dan Kaitannya dengan konservasi Lingkungan...42

4.2 Makna Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube Pada MasyarakatPakpak dan Simbol-simbol Serta Perlengkapan Upacara Ritual Menanda Tahun...46

4.2.1 Makna Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube

Pada Masyarakat Pakpak...46

4.2.2 Makna Simbol-simbol Serta Perlengkapan Upacara Ritual Menanda Tahun . ...49

4.3. Fungsi Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak dan Simbol-simbol Serta Perlengkapan Menanda Tahun...56

4.3.1. Fungsi Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak...56


(11)

4.3.2. Fungsi Simbol-simbol Serta Perlengkapan Upacara Ritual

Menanda Tahun...61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...67

5.1 Kesimpulan...67

5.2 Saran...70

DAFTAR PUSTAKA...72

LAMPIRAN...73

Lampiran I Daftar Pertanyaan...73

Lampiran II Gambar Batu Tetal (patung cicak)/ Batu Perjanjian Gambar Pancungan Bambu Yang Terdiri Dari Tujuh Buah Yang Melambangkan Tujuh Roh Padi...74

Lampiran III Gambar Penulis Dengan Informan (Bapak Uba Manik 70 tahun) Dan Gambar Penulis Dengan (Bapak Tema Manik 47 tahun)...75

Lampiran IV Daftar Informan...77 Lampiran V Surat Ijin Penelitian Dari Fakultas


(12)

ABSTRAK

Eva Yeni Banurea,2015. Judul Skripsi:Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak di Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tenteng UPACARA RITUAL MENANDA TAHUN DI SISADA RUBE PADA MASYARAKAT PAKPAK KAJIAN MAKNA DAN FUNGSI DI KECAMATAN PERGETTENG-GETTENG SENGKUT. Masalah dalam penelitian ini adalah Tahapan Upacara Ritual Menanda Tahun, Makna Upacara Ritual Menanda Tahun, Fungsi Upacara Ritual Menanda Tahun yang ada di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori makna dan fungsi. Adapun upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak adalah meliputi: Sebagai upacara yang diyakini akan membawa keberkahan akan hasil pertanian masyarakat Sisada Rube. Sehingga upacara ini masih diyakini dan dilaksanakan setiap tahunnya.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Masyarakat Batak terdiri dari beberapa etnik yaitu, Toba, Simalungun, Karo, Angkola/Mandailing, dan Pakpak Dairi. Namun sekarang ini sebutan Batak hanya ditunjukkan kepada masyarakat Batak Toba saja. Secara umum, etnik Pakpak digolongkan sebagai suku bagian dari suku bangsa Batak, seperti halnya Toba, Simalungun, Karo, dan Mandailing (Pasaribu, 1978; Bangun, 1980; Daeng, 1976; Coleman, 1983). Pernyataan ini dapat diterima bila dilihat secara umum pula karena dari segi komunitas, etnis tersebut hidup berdampingan di Sumatera Utara.

Suku Pakpak dapat diklarifikasikan menjadi lima bagian berdasarkan wilayah komunitasmarga dan dialek bahasa yang dikenal, yakni:

1) Pakpak Simsim yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Simsim, berdialaek Simsim, memiliki hak ulayat di Simsim, yang terdiri atas marga: Berutu, Sinamo, Solin, Cibro, Banurea, Boang Manalu, Bancin, Manik, dan lain-lain. Wilayah Pakpak Simsim dibagi menjadi delapan kecamatan yaitu: kecamatan Salak, Pagindar, Sitellu Tali Urang Julu, Setellu Tali Urang Jehe, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada, Siempat Rube, dan Kerajaan.

2) Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Keppas, berdialek Keppas, memiliki hak ulayat di Keppas, yang terdiri atas marga: Ujung, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Wilayah Pakpak


(14)

Keppas dibagi menjadi empat kecamatan yaitu: Kecamatan Silima Paunggapungga, Tanah Pinem, Parbuluan, dan Sidikalang.

3) Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang menetap di Pegagan, berdialaek Pegagan, yang terdiri atas marga: Lingga, Mataniari, Maibang, Manik Sikettang dan lain-lain. Wilayah Pakpak Pegagan dibagi menjadi tiga kecamatan yaitu: Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir, dan Tiga Lingga.

4) Pakpak Kelasan yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Kelasen, berdialek Kelasen, yang terdiri atas marga: Tumangger, Sikettang, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa dan lain-lain. Pakpak Kelasen ini berada di Kabupaten Tapanuli Utara (Kecamatan Parlilitan dan Pakkat) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Kecamatan Barus).

5) Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang menetap diwilayah Boang, yang terdiri atas marga: Sambo, Penarik, Saraan dan lain-lain. Pakpak Boang ini berada di wilayah Aceh Selatan, khususnya dikecamatan Simpang Kiri dan Simpang Kanan ( Coleman, 1983; Berutu, 1994).

Bila dilihat dari susunan penduduk, wilayah Pakpak Keppas dan Pegagan sudah heterogen dari segi etnik maupun budaya. Bahkan dari segi kwantitas mereka menjadi minoritas dibandingkan dengan suku Batak Toba. Di wilayah Kelasen walaupun masih tergolong homogen dari segi etnis tetapi pengaruh kebudayaan Batak Toba sangat menonjol. Berbeda dengan wilayah Pakpak Simsim dan Boang yang masih Homogen baik dari segi etnis maupun orientasi budaya, mereka masih tetap menggunakan budaya Pakpak.


(15)

Masyarakat Pakpak mengenal upacara adat yang digolongkan menjadi dua bagian besar yaitu :”kerja baik “ dan “ kerja njahat”. Kerja baik mencakup peristiwa suka cita, seperti upacara perkawinan, upacara memasuki rumah baru, dan upacara menanam padi ( menanda tahun). Kerja njahat mencakup jenis-jenis upacara yang berhubungan dengan peristiwa duka cita, seperti upacara kematian dan upacara mengkurak tulan.

Dalikan Si Tellu sangat berperan dalam pelaksanaan upacara ritual menandatahundi Sisada Rube. Ketiga falsafah Dalikan Si Tellu tersebut yaitu: Sembah Merkula-kula, Manat Merdengan Sibeltek, dan Elek Merberru. Ketiga falsafah ini tidak dapat dipisahkan dalam bidang apapun.

Manat Merdengan Sibeltek sangat perlu diingat dalam pelaksanaan upacara apa saja dalam masyarakat Pakpak. Karena setiap melaksanakan upacara atau pekerjaan tentu kita meminta bantuan dari saudara kita, jadi sebaiknya kita harus menghargai Dengan Sibeltek “saudara” kita. Dengan Manatnya Mersibeltek (menghargai saudara kita) tentu dalam pelaksanaan upacara kita membutuhkan pendapat ataupun bantuan dari Dengan Sibeltek atau saudara kita demi berjalannya upacara tersebut.

Adapun peranan Dalikan Si Tellu dalam pelaksanaan upacara ritual menandatahundi Sisada Rube ini yaitu:

1) Untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan masyarakat Sisada Rube dalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun.

2) Untuk menjalankan proses pelaksanaan upacara ritual menanda tahun ini yaitu berperannya kula-kula dalam menyaksikan jalannya upacara dan memang harus diketahui oleh kula-kula, karena peranan kula-kula sangat diperlukan dalam peroses jalannya upacara.


(16)

3) Ketiga unsur Dalikan Si Tellu menjadi saksi yang paling penting dalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun tersebut.

4) Dalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun tersebut, Beru juga berkewajiban membantu sukut “tuan rumah” dan juga sebagai penengah apabila terjadi keributan dalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun tersebut. Beru disebut juga dengan huntun “suruhan”.

Menanda tahun adalah sebuah upacara ritual yang diselenggarakan masyarakat Pakpak di Sisada Rube Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Upacara setahun sekali ini diadakan dalam rangka pembukaan ladang, karena itu selalu diselenggarakan ketika menjelang musim tanam, dengan maksud agar tidak menyalahi apa yang dipercayai sebagai ketentuan-ketentuan penguasa alam gaib bagi kelestarian ekosistem, sehingga usaha-usaha pertanian dan perladangan memperoleh izin dan “keberkahan” dari mereka.

Bagi masyarakat Pakpak diarea tersebut menjadi tidak mungkin membuka ladang pertanian tanpa didahului upacara menada tahun, karena penguasa alam gaib yang menguasai hutan dan perladangan itu tidak akan memberikan keberkahannya yang berakibat berkurangnya, atau bahkan tiadanya hasil produksi yang diperoleh. Bahkan masyarakat Pakpak percaya akan timbulnya suatu bencana bila usaha perladangan dilakukan tanpa melalui upacara. Dalam perladangan orang Pakpak, penguasa alam gaib juga mempunyai aturan-aturan bagaimana manusia harus memperlakukan lingkungan alam, bila dilanggar akan menimbulkan berbagai bencana tidak adanya keberkahan dalam menandatahundi sisada rube pada masyarakat Pakpak di Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut. Selain melibatkan masyarakat dalam suatu komunitas tertentu, juga tetap bertahan ditengah-tengah perubahan khususnya dibidang pertanian dan ajaran-ajaran agama ( Islam dan Kristen) seperti sekarang ini. Kajian terhadap


(17)

upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan perladangan khususnya di Sumatera Utara masih jarang dilaksanakan.

Dengan meneliti upacara menanda tahun di Sisada Rube, diharapkan dapat menambah pengetahuan bukan saja mengenai upacara-upacara tradisional melainkan juga pengetahuan tentang bagaimana masyarakat menghadapi lingkungan alam (ekologi) yang dipantulkan dalam upacara ritual tersebut.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang makna dan fungsi upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk menghindari pembahasan atau pembicaraan yang menyimpang dari permasalahan, penulis membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci. Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Bentuk perumusan berupa kalimat pertanyaan yang menarik atau dapat mengubah perhatian.


(18)

Adapun masalah yang dibahas adalah:

1) Bagaimana tahapan upacara menanda tahun disisada rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut? 2) Apa makna upacara ritual di menanda tahun Sisada Rube pada masyarakat

Pakpak?

3) Apa fungsi upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut?

1.3.Tujuan Penelitian

Suatu pekerjaan yang dilaksanakan agar memperoleh hasil yang baik tentunya pekerjaan itu harus mempunyai sasaran ataupun tujuan. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui tahapan upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut.

2) Untuk mengetahui makna upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut.

3) Untuk mengetahui fungsi upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada Masyarkat Pakpak di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut.


(19)

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca khususnya terhadap penulis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagi peneliti sendiri, untuk mengetahui lebih luas tentang upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut.

2) Kepada masyarakat khususnya perantau muda Pakpak supaya tetap mengingat dan melestarikan budaya Pakpak dimanapun mereka berada dan terus menerus menjalankan upacara ritual menanda tahun.

3) Bagi penulis sendiri untuk menambah wawasan tentang upacara ritualmenanda tahun di Desa Nambunga Buluh Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut khususnya upacara ritual menandatahun.

4) Menambah khasanah pengkajian terhadap budaya yang ada di Indonesia terutama upaca ra ritual menanda tahun.

1.5.Anggapan Dasar

Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu anggapan dasar. Menurut Arikunto (1996:65), “Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas”. Maksud kebenaran disini adalah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannya,

Karena itu penulis berasumsi bahwa upacara ritual menanda tahun ini masih ada dan masih dilaksanakan oleh masyarakat Pakpak dan mengingat kepada pembaca,


(20)

khususnya pada masyarakat Pakpak supaya tidak melupakan taradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang sejak dahulu kala.

1.6.Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1.6.1 Letak Geografis Kecamatan Pergettenggetteng Sengkut

Kabupaten Pakpak Bharat terdiri dari delapan Kecamatan, yaitu:Kecamatan Salak, Pagindar, Sitelu Tali Urang Julu, Sitelu Tali Urang Jehe, Pergetteng-getteng Sengkut (PGGS), Tinada, Siempat Rube, dan Kerajaan. Gambaran umum dan letak geografis : 02° 47'08''- 02°15'49'' LT dan 98° 4'12''- 98° 28'01''BT. Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut terletak disebelah utara Kabupaten Pakpak Bharat, dan memiliki luas wilayah 66,64 Km.

1.6.2. Keadaan Penduduk

Pada umumnya masyarakat yang tinggal di Desa Nambunga Buluh adalah suku Pakpak yang bermarga Manik yang telah lama mendiami wilayah tersebut. Desa Nambunga Buluh rata-rata marga Manik, sedangkan marga yang lain adalah marga pendatang yang bermukim di Desa Nambunga Buluh.

Penduduk yang berada di Desa Nambunga Buluh rata-rata mata pencahariannya adalah bertani. Produk pertanian unggulan di desa ini adalah cabe, dan padi. Namun tidak sedikit juga bekerja diinstansi pemerintahan.


(21)

1.6.3 Budaya Masyarakat

Penduduk desa Nambunga Buluh mayoritas suku Pakpak yang telah lama mendiami Nambunga Buluh, dan terkenal akan budaya Pakpak.. Masyarakat Pakpak yang mempunyai ciri khas pada budaya masyarakatnya sendiri, salah satunya dalam upacara ritual menanda tahun di Sisada Rubepada masyarakat Pakpak. Dimana upacara ritual menanda tahun adalah merupakan salah satu budaya yang tidak pernah dilupakan demi keberlangsungan kehidupan dan kebudayaan masyarakat Sisada Rube pada masyarakat Pakpak.

Bagi masyarakat Nambunga Buluh bila tidak melaksanakan upacara ritual menanda tahun, mereka merasakan banyaknya permasalahan yang menimpa desa mereka terutama hasil pertanian yang jauh dari harapan mereka. Sehingga sampai pada saat ini budaya menanda tahun masih tetap eksis dilaksanakan masyarakat Desa Nambunga Buluh.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepustakaan yang Relevan

Kajian pustaka dalam setiap proposal skripsi sangat diperlukan dalam menyusun karya ilmiah. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam penelitian yang semuanya itu bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi dan nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Kajian pustaka ini menjelaskan tentang kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan. Dalam kepustakaan yang relevan dijelaskan tentang pengertian upacara ritual, ritual menanda tahun diSisada Rube pada masyarakat Pakpak, pengertian makna, dan pengertian fungsi. dalam teori yang digunakan dijelaskan tentang teori makna dan fungsi.

2.2 Landasan Teori

Secara etimologis, teori berasal dari kata theoria (Yunani) yang artinya kebulatan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian. Pengertian teori menurut Pradopo (2001:35) ialah, “seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan atau menjelaskan suatu fenomena”.


(23)

Untuk menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori makna oleh Chaer (1987:3) yang mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Penulis juga menggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1984:29) yang menyebutkan fungsi ada 3 arti yaitu:

1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang

lainnya dalam suatu sistem berinteraksi.

2.2.1 Pengertian Upacara Ritual

Koentjaraningrat (1980) menyatakan bahwa:

“Upacara ritual adalahsuatu upacara keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku. Kelakuan agama tersebut merupakan perbuatan-perbuatan manusia yang bertujuan untuk menjalin hubungan dengan dunia gaib, upacara ritual tersebut terwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahluk halus lainnya, upacara ini biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, tiap musim, ataupun kadang-kadang saja.

Jadi menurut pernyataan diatas, bahwa upacara ritual adalah suatu kegiatan yang dilakukan manusia yang bertujuan untuk berhubungan dengan dunia gaib, roh nenek moyang, dan lain sebagainya. Upacara ritual ini dilakukan bisa bergantung pada waktu yang sudah ditetapkan ataupun tidak ditetapkan. Sebuah upacara ritual dilakukan dengan cara atau waktu yang berbeda-beda tergantung apa yang diinginkan oleh masyarakat yang melakukan upacara ritual tersebut.

Selanjutnya Lessa dan Vogt dalam Muhaimin (2001:32) berpendapat bahwa ritual mencakup semua tindakan simbolik, baik yang bersifat profan maupun bersifat sakral, teknik maupun estetika, sederhana maupun rumit. Yang dimulai dari estetika


(24)

penyapaan, pengucapan mantera sampai penyelenggaraan berbagi bentuk upacara yang hikmat.

Dhavamony (2002:175) menyatakan bahwa upacara ritual dibagi menjadi empat macam yaitu:

1) Tindakan magik yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena adanya daya mistis.

2) Tindakan yang bersifat religius.

3) Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan cara merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas.

4) Ritual fiktif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.

2.2.2 Upacara Menanda Tahun

Upacara menanda tahun adalah salah satu jenis upacara yang berkaitan dengan proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya khususnya Sisada Rube khususnya. Upacara ini dilaksanakan seikitar bulan Mei atau Juni setiap tahunnya, menjelang musim tanam padi diladang tiba. Sejak kapan upacara ini dikenal, semua informan tidak tahu, yang jelas menurut mereka telah dilaksanakan sejak generasi terdahulu.

Seluruh anggota masyarakat Sisada Rube, turut berpartisipasi dalam upacara ini dalam pengertian semua hak atau kewajiban yang harus dipenuhi berkaitan dengan tabu-tabu dan aturan-aturan, baik oleh anak-anak hingga orang dewasa. Setiap individu berhak mencari tahu atau bertanya, dan setiap keluarga inti berkewajiban menyumbang dana serta tenaga yang dibutuhkan. Namun demikian, ada individu-individu atau kelompok tertentu yang perannya lebih besar atau menonjol bila dilihat dari tingkat keaktifan dan tanggung jawabnya. Mereka terdiri dari: sukut ( pelaksana utama), Kepala desa, Simatah Daging(pemuda-pemudi), Berru (kelompok pengambil anak


(25)

gadis), Puang( kelompok pemberi anak gadis), Guru (pemimpin upacara), dan pengurus tetap.

Sukut (tuan rumah) terdiri dari suatu keluarga inti, harus bermarga Manik (Marga Tanoh), generasi tertua dan bergilir antar Lebuh(Kampung). Sukut berkewajiban mempersiapkan peralatan-peralatan upacara dan melaksanakan perintah guru, misalnya menabur, mematuhi tabu-tabu dan aturan, serta memberikan kata sambutan dan lai-lain.

Guru (dukun), seorang atau dua orang laki-laki dewasa dari pihak marga tanoh (penduduk asli), memiliki kelebihan khusus sehingga dapat berkomunikasi dengan penguasa gaib, dapat meramal, dan sebagai pusat informasi tentang segala kewajiban dan hak yang perlu atau harus dilaksanakan warga dalam kaitannya dengan upacara perladangan.

Pengetuai (tokoh adat) mencakup semua individu yang dituakan karena dianggap memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat yang berlaku di Sisada Rube. Mereka juga diharapkan sebagai sumber informasi tentang aturan-aturan adat dan juga diharapkan dapat memberikan saran-saran dan ide-ide berkaitan dengan pelaksanaan upacara. Pengetuai (tokoh adat)tidak terbatas dari pihak Marga Tanoh(tuan rumah), tetapi juga dari marga lain yang ada di Ssisada Rube.

Kepala desa diharapkan sebagai pengayom dan memberikan masukan serta saran-saran, ia juga diharapkan menjadi mediator antara penduduk dengan para perencana pembangunan. Upacara akan berlangsung bilamana dihadiri oleh minimal satu orang dari tiga Kepala desa yang ada di Sisada Rube.


(26)

Selanjutnya pemuda-pemudi dibutuhkan untuk membantu sukut(tuan rumah) dalam persiapan peralatan dan pelaksanaan upacara. Misalnya, memasak lauk atau nasi, mengambil kayu bakar dan lain-lain.

Berru (kelompok penerima anak gadis) berkewajiban menyumbang tenaga dan materi. Belakangan (sekitar 20 tahun terakhir), mereka juga diberi hak untuk memberi kata sambutan dan sejak dibentuknya pengurus tetap satu dekade yang lalu, beberapa orang diantaranya diangkat menjadi panitia tetap.

Sama seperti kelompok berru (pengambil anak gadis), kelompok puang (pemberi anak gadis) diberi peran yang lebih besar secara belakangan. Pada awalnya mereka hanya peserta biasa, tapi belakangan ini diberi wewenang untuk memberi kata sambutan, ikut merunggu (musyawarah) dan sumber nasehat (wejangan).

Sejak tahun 1967 dengan dimasukkanyaunsur agama Islam dan Kristen dalam pelaksanaan upacara, maka tenaga pengurus mesjid dan gereja wajib hadir untuk memimpin doa bersama dan menyembelih hewan kurban.

Dalam pelaksanaan upacara Menanda Tahun dibutuhkan perlengkapan atau persyaratan wajib dan tidak wajib. Wajib berarti harus ada, sedangkan tidak wajib boleh ada maupun tidak ada. Peralatan wajib mencakup pelleng (makanan khas daerah Pakpak), ranting pohon rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang memiliki buah warna hijau sebesar biji rimbang) secukupnya, maro-maro (rumbai) secukupnya, cabe merah secukupnya, tugal dua buah, pancongan bambu tujuh buah, jennap (parang khusus) satu buah, page siarang (benih padi pulut merah) secukupnya, peramaken (tikar pandan) satu buah, ayam kurban berbulu merah satu ekor, Napuren Penter (sekapur sirih) dan saong (tudung kepala). Peralatan tidak wajib muncul apabila


(27)

upacara dilaksanakan secara besar-besaran, misalnya kerbau, alat musik dan lain-lainnya.

Pelleng (makanan khas daerah Pakpak) dianggap mempunyai kekuatan khusus karena biasanya digunakan untuk sesajen terhadap kekuatan-kekuatan supranatural. Sehingga hampir seluruh kegiatan upacara dan aktivitasyang dianggap beresiko besar selalu disajikan pelleng (makanan khas), juga untuk tujuan mencapai cita-cita atau harapan.

Ranting Rube(tanaman yang menyerupai tanaman rimbang yang memiliki buah warna hijau sebesar biji rimbang) diidentikkan dengan keberuntungan. Alasannya pohon rube dapat dimanfaatkan secara serba guna untuk kebutuhan manusia. Sedangkan marro-marro (rumbai) diperuntukkan sebagai hiasan altar karena padi menurut kepercayaan setempat berasal dari penjelmaan manusia.

Sicina Mbara (cabe merah) dimakan sebagai lalapan pada saat makan. Merah dan pedas dilambangkan sebagai sumber keberanian dan semangat. Ardang (tugal) dibuat dari kayu-kayu kecil dengan salah satu ujungnya ditajami, yang berfungsi untuk membuat lubang benih saat upacara. Sedangkan pancongan bambu yang berjumlah tujuh melambangkan adanya tujuh roh padi yang berdiam dibumi. Ujungnya dibentuk runcing dan menghadap kesebelah timur karena matahari terbit dari timur dan sebagai penghormatan kepada dewa matahari.

Jennap (parang khusus) hanya boleh dimiliki oleh sukut(tuan rumah) upacara serta dirancang secara khusus oleh penempa besi. Kemudian diisi kekuatan gaib oleh seorang guru (dukun). Untuk itu hanya bisa dimanfaatkan saat upacara MenandaTahun. Selanjutnya page siarang (benih padi pulut merah) merupakan lambang permulaan, merah diartikan berani sedangkan pulut lambang perekat rejeki.


(28)

Selanjutnya tikar pandan dimanfaatkan sebagai tempat duduk sukut (tuan rumah) dan guru(pemimpin upacara). Putih merupakan lambang kesucian, sehingga penguasa berkenan memberi berkat melalui hasil panen padi yang melimpah. Manuk mbara(ayam merah) diperuntukkan sebagai kurban sehingga gerak-gerik ayam saat disembelih dan unsur-unsur organ tubuhnya dapat memberi petunjuk bagi guru dalam meramalkan kejadian-kejadian dimasa akan datang.

Kemudian napuren mpenter sada rambar (sekapur sirih) diberikan kepada guru (dukun), artinya tudung kepala bagi peserta upacara bermakna agar segala hama tidak dapat melihat atau mengganggu tanaman diladang. Tutup kepala dikonotasikan dengan tidak melihat saat pelaksanaan upacara tahun 1991 ternyata hanya sebagian kecil dari peserta yang mengenakannya (13 orang).

2.2.3 Pengertian Makna

Chaer (1987:3) mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang dimaksudkan. Adapun sebuah budaya yang selalu diwakili kode atau lambang yang secara konvensional disepakati memiliki makna. makna yang terkandung tersebut selalu merujuk kepada kosmologi masyarakat pemilik tersebut.

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada beberapa pengertian tentang makna, baik secara etimologi maupun leksikologi. Didalam makna leksikal disebut bahwa makna unsur-unsur sastra sebagai lambang benda, peristiwa dan sebagainya.


(29)

Makna adalah pengertian dasar yang diberikan atau ada dalam suatu hal. Ada juga disebut mengenai pengertian makna kontekstual yang berarti hubungan makna ujaran dan situasi yang dipakai ujaran itu.

2.2.4 Pengertian Fungsi

Didalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diketahui bahwa ada beberapa pengertian tentang fungsi, baik secara etimologi maupun leksikologi.

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1984:29)

Koentjaraningrat juga menyebut bahwa konsep fungsi mempunyai 3 arti penting dalam penggunaannya, yaitu:

1) Menerangkan adanya hubungan suatu hal dengan tujuan tertentu.

2) Dalam pengertian korelasi adanya hubungan antara satu hal dengan lainnya. 3) Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang

lainnya dalam suatu interaksi.

2.3.Teori yang Digunakan

Berdasarkan penelitian ini, secara umum teori yang digunakan untuk mendeskripsikan semiotik dan fungsi simbolis dalam upacara ritual menandatahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan dua teori, yaitu teori makna dan teori fungsi. Berikut ini akan dijelaskan mengenai kedua teori tersebut.


(30)

2.3.1 Teori Semiotik

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai aturan dalam lapangan kritik sastra (Preminger dalam Pradopo 1995: 93).

Preminger 1974:980 (dalam Pradopo 1995) mengatakan, penelitian semiotik meliputi analisis serta sebagai sebuah bahasa yang tergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna.

Lengkapnya, Preminger 1974:980 mengatakan bahwa semiotik adalah teori tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotik itu juga mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai makna. Dalam lapangan kritik sastra meliputi tanda-tanda sastra bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) sehingga suatu wacana mempunyai makna. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, sistem-sistem, aturan-aturan dan konversi-konversi yang memungkinkan tanda-tanda mempunyai makna didalam peristiwa sastra.

Menurut Charles Sander Peirce (1839:980) semiotik itu juga dapat diartikan sebagai ilmu “Tanda: Penanda dan Petanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh


(31)

penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: orang yang melahirkan kita.

Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamih antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausa (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya.

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbriter (semau-semaunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi . “Ibu”adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Ada bermacam-macam untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan) tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.

Perlu diperhatikan, dalam penlitian sastra dengan pendekatan semiotik. Tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu). Yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya dalam penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (tano dalam belenggu) dicari tanda-tanda yang memberikan indeks bahwa ia dokter. Misalnya tono, ia selalu


(32)

mempergunakan istilah-istilah kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan sebagainya.

2.3.2.Teori Fungsi

Fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan simbol dalam tradisi upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak adalah fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda (simbol). Maka untuk memahami makna dan fungsi simbolis dalam masyarakat Pakpak digunakan teori yang telah dinyatakan. Upacara ritual menanda tahun merupakan bagian dari foklor etnis Pakpak yang memiliki makna dan fungsi bagi etnis Pakpak itu sendiri, yang menunjukkan bahwa masyarakat Pakpak memiliki budaya yang diturunkan secara turun-temurun yang dapat menunjukkan identitas dari dari kebudayaan daerah Pakpak itu sendiri.

kata foklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris “foklore”. Kata foklore adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. ciri-ciri pengenal itu antara lain: warna kulit yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui milik bersama yang merupakan sebagai identitas.


(33)

Lore adalah tradisi, yaitu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Dengan demikian foklor dapat disimpulkan sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif jenis apa saja, jenis tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)

Menurut Ian Harold Brunvand ahli foklor dari AS (1968:2-3), foklor digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu:

1) Foklor lisan: yaitu foklor yang bentuknya murni lisan. Yang termasuk foklor lisan yaitu (a) bahasa rakyat (folk spech)seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti pribahasa, pepatah dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional (teka-teki); (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.

2) Foklor sebagian lisan: foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang “modern” seringkali disebut tahkyul, terdiri dari pernyataaan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib yang dapat melindungi diri juga dapat memberi rejeki. Bentuk foklor yang yang tergolong dalam kelompok ini, selain kepercayaan rakyat, ada juga permainan rakyak, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

3) Foklor bukan lisan: foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk material: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi ), kerajinan tangan rakyat: pakaian adat dan perhiasan, masakan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya pada masyarakat jawa), dan musik rakyat.

Upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Pakpak adalah merupakan bagian dari foklor etnis pakpak bagian dari foklor sebagaian lisan. Karena didalam pelaksanaan ritual menanda tahun ini masyarakat masih meyakini akan kepercayaan akan pengisi alam gaib yang dapat memberi keberuntungan kepada meraka jika


(34)

meyakini gerrek-gereken “syarat-syarak”yang ada didalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahuntersebut.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984: 19) ada empat fungsi dari foklor:

1) Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.

2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3) Sebagai alat pendidikan anak.

4) Sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar selalu dipatuhi oleh anggoya kolektifnya.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

Kata metode berasal dari metodologi. Kata metodologi terbentuk dari kata metode dan logos. Metode artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; logos artinya ilmu pengetahuan. Sudaryanto (1982:2), “Metode adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan”.

Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai dengan menyusun laporan. Jadi, metode penelitian adalah ilmu mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman.

Menurut Maryaeni (2005:1), penelitian (research) merupakan usahamemahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara yang ditentukan peneliti.

Dalam konteks penelitian, istilah fakta memiliki pengertian tidak sama dengan kenyataan, tetapi lebih mengacu pada sesuatu dari pada kenyataan exact, dan sesuatu tersebut terbentuk dari kesadaran seseorang seiring dengan pengalaman dan pemahaman seseorang terhadap yang dipikirkannya. Sesuatu yang terbentuk dalam pikiran seseorang tersebut belum tentu secara konkret, dapat dilihat dan ditemukan dalam kenyataan yang sebenarnya.


(36)

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode atau pendekatan kualitatif. Maryeni (2005:1), menjelaskan metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang sifatnya individu, keadaan atau gejala dari kelompok yang diamati. Metode ini dilakukan agar dapat mengumpulkan dan menyajikan data secara faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerahnya.

Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube ini membutuhkan sejumlah data lapangan yang sifatnya aktual dan kontekstual. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada keterkaitan masalah yang dikaji dengan sejumlah data. Dari kedua alasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini cocok dikaji melalui pendekatan kualitatif.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Desa Nambunga Buluh, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut (PGGS), Kabupaten Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara. Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya asli etnis Pakpak dan juga karena upacara ini masih dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri.


(37)

3.3.Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan penelitian. Alat bantu yang digunakan yaitu:

1) Alat rekam (tape recorder)

Penulis gunakan untuk mengumpulkan data, karena tidak semua data dapat ditulis berupa catatatn-catatan lapangan mengingat waktu penelitian yang memakan waktu yang tidak sedikit.

2) Pulpen

Alat tulis yang digunakan untuk menulis atau mencatat data-data yang diperoleh dari lapangan.

3) Buku tulis

Catatan-catatan mengenai hal-hal yang dirasa sangat penting dalam proses observasi sehingga dapat mempermudah penulis untuk mengingat dan menemukan kembali data yang telah diperoleh yang selanjutnya akan dituangkan dalam penulisan skripsi.

4) Daftar pertanyaan (kuisioner)

Merupakan tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada informan untuk memudahkan memperoleh data-data yang akan dituangkan dalam penulisan skripsi.


(38)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam pengkajian data baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangannya.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Metode Observasi

Metode ini dilakukan untuk mengamati secara langsung daerah tempat penelitian untuk mendapatkan informasi yang mampu memberikan informasi data yang dibutuhkan, teknik yang dipergunakan penulis adalah teknik catat.

b.Metode Wawancara

Menurut Bungin (2001:133), metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai. Metode ini dilakukan langsung mewawancarai informan guna memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak.

Teknik yang digunakan yaitu teknik wawancara dan teknik rekam.

c.Metode Kepustakaan

Dalam penelitian ini juga akan diteliti data sekunder. Dengan demikian, data yang akan dijadikan dalam penelitian ini menggunakan metode kepustakaan. Metode ini juga merupakan salah satu sumber data penelitian kualitatif yang sudah lama digunakan karena sangat bermanfaat. Dalam penelitian ini


(39)

penulisjuga mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan msalah dalam penulisan proposal skripsi ini dengan menggunakan teknik catat.

3.5. Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara dalam mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menganalisis data kualitatif, boleh dikatakan sebagai suatu kegiatan yang berlangsung secara terus menerus, bukan hanya suatu saat setelah penelitian usai. Pekerjaan ini merupakan proses yang berkelanjutan, bukan kegiatan sesaat.

Dalam metode analisis data ini, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Menulis data yang diperoleh dari lapangan;

2) Data yang diperoleh diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia;

3)Setelah data diterjemahkan kemudian diklasifikasikan sesuai dengan objek penelitia;

4)Setelah diklasifikasikan, data-data dianalisis sesuai dengan kajian yang ditetapkan; dan

5)Membuat kesimpulan.


(40)

PEMBAHASAN

4.1.Tahapan Upacara Ritul Menanda Tahun di Sisada Rube

Pada Masyarakat Pakpak.

Upacara menanda tahunadalah salah satu satu jenis upacara yang berkaitan dengan proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya dan SisadaRube khususnya. Upacara ini dilakukan sekitar bulan Mei atau Juni, setiap tahunnya, menjelang musim tanam padi.

Pada mulanya pelaksanaan menanda tahundi Sisada Rube dilakukan melaui tiga tahap . tahap pertama, dilakukan secara bersamaan dibukit yang disebut Cimpedak, sekitar 1,5 kilo meter dari kantor kepala desa Kecupal II. Kedua, dilakukan secara terpisah, penduduk desa Kecupak I dan II tetap dibukit Cimpedak, sementara penduduk Simerpara, melakukan sendiri secara berpindah-pindah diladang yang baru pertama kali dibuka, yakni diladang generasi tertua dari mereka. Alasan pemisahan saat itu selain karena jauhnya lokasi pertama dari Lebuh Simerpara (Desa Simerpara), juga karena dianggap penduduknya sudah mampu melaksanakan secara tersendiri. Tetapi kemudian, sekitar tiga generasi yang lalu, penyatuan upacara tersebut “harus” dilakukan karena semakin berkembangnya marga Manik dan terjadinya konflik. Pihak marga Bancin sebagai Berru (pengambil anak gadis)dan Berutu sebagai puang(pemberi anak gadis)merasa berkewajiban untuk mengakurkan keduanya. Setelah tercapai kesepakatan maka ditetapkan waktu yang tepat untuk menyatukan kembali pelaksanaan upacara dan lokasi yang paling ideal adalah Delleng Simenoto karena persis ada diperbatasan wilayah Simerpara dengan Kecupak I dan Kecupak II. Sebagai lambang


(41)

perdamaian seorang bermarga Bancin memahat sebuah patung kadal yang hingga sekarang tetap berada dilokasi.

Waktu pelaksanaan upacara ritual menanda tahun menurut informan selalu sekitar Mei atau Juni. Pertimbangannya karena pada bulan-bulan tersebutlah musim hujan tiba sehingga cocok dengan musim tanam. Tentang hari pelaksanaannya ditentukan berdasarkan kalender tradisional (meniti ari). Dalam kalender lokal dikenal hari-hari baik dan tidak baik. Jadi pilihan dijatuhkan pada hari yang baik. Seperti pada upacara menanda tahun pada tahun 1991, ditetapkan tanggal 1 juni 1991 tepatnya hari sabtu, yang dalam penanggalan menurut warga setempat disebut beraspati naik (hari yang baik untuk menanam).

4.1.1Membunyikan Tabularang

Dalam melaksanakan upacara menanda tahun selalu diawali dengan pertaki (tokoh adat) untuk menyebarluaskan pengumuman dengan membunyikan tabularang. Pengumuman dilaksanakan dengan menyembunyikan tabularang(lonceng yang terbuat dari kaleng-kaleng) sambil mengumumkan kepada masyarakat secara lisan untuk berkumpul ditempat yang telah ditentukan dalam rangka melaksanakan rapat persiapan pelaksanaan menanda tahun.

Setelah dapat hari dan tanggal yang telah ditentukan dalam pengumuman maka masyarakat datang berkumpul untuk melaksanakan rapat, dimana dalam rapat tersebut dihadiri oleh utusan-utusan Rube (kampung) dan tidak ketinggalan juga kaum perempuan aktif dalam menghadiri rapat tersebut, dan selalu turut diundang pemerintah Desa, Kecamatan, bahkan pemerintah Kabupaten.


(42)

4.1.2. Runggu

Rapat dalam bahasa Pakpak disebut runggu, dalam melaksanakan rapat dipinpin oleh pertaki (tokoh adat). Didalam melaksanakan rapat pertama sekali memberikan kata sambutan ialah pertaki (tokoh adat).

Hal-hal yang dibahasa dalam rapat menanda tahun tersebut adalah:

1) Pemilihan sukut menanda tahun (tuan rumah);

2) Pembentukan panitia acara menanda tahun;

3) Penentuan waktu atau hari pelaksanaan menanda tahun;

4) Pendanaan menanda tahun;

5) Penunjukan sibaso/guru (dukun) pemimpin upacara ritual menandatahun;

6) Pembagian bata-batas lahan perladangan dan ;

7) Penentuan waktu gotong royong untuk persiapan lahan penanaman padi serta keputusan-keputusan hal lainnya untuk kelancaran dalam acara ritual menanda tahun.

Hasil keputusan rapat menanda tahun tersebut diumumkan kepada masyarakat dengan membunyikan kembali tabularang (lonceng) dengan berkeliling di Sisada Rube (kampung). Adapun hal-hal yang diumumkan kepada masyarakat di Sisada Rube (kampung) adalah pengumuman biaya bersama dalam pelaksanaan menanda tahun .

Biaya pelaksanaan menanda tahun sejak jaman dahulu adalah hasil dari swadaya masyarakat dipungut sebagaimana hasil keputusan rapat pada runggu (rapat) persiapan


(43)

menanda tahun. Adapun pungutan yang dikenakan pada masyarakat dengan takaran beras sebanyak tiga muk dalam setiap rumah tangga. Pada saat memberikan sumbangan beras tersebut masyarakata wajib mengucapkan kata-kata atau doa-doa seperti berikut ini:

“En mo tuhu beras menanda tahun ndai, asa lambang mo tuhu dukut, mberras mo tuhu page ndaoh karina pengago”

“Inilah beras untuk menanda tahun tadi , jauhlah semua hama-hama dan bertambahlah hasil panen kita nantinya”.

Setelah beras terkumpul semuanya maka beras tersebut diserahkan kepada sukut (tuan rumah) menanda tahun, dan biasanya jumlah beras yang terkumpul sebanyak 27 kaleng (270 liter). Beras yang terkumpul inilah nantinya yang akan digunakan untuk keperluan makan bersama atau pun disebut sebagai nakan tendi.

4.1.3. Ritual Pemberangkatan Mersiurup-urupen

Mersiurup-urupen (gotong royong) adalah merupaka salah satu tradisi yang selalu dilakukan masyarakat Sisada Rubesampai pada saat ini untuk saling meringankan pekerjaan secara bersama-sama. Sebelum berangkat keladang masyarakat berkumpul ditempat yang telah ditentukan untuk memanjatkan doa pemberangkatan rumabi (membuka lahan ) yang dilakukan warga dengan bergotong royong.

Ritual pemberangkatan gotong royong dilaksanakan oleh sibaso atau pemimpin ritual dengan tujuan supaya dalam melaksanakan gotong royong dan pembagian batas-batas lahan masyarakat aman, dan tidak mendapatkan gangguan fisik atau gangguan gaib. Adapun doa pemberangkatan gotong royong tersebut adalah sebagai berikut:


(44)

“O ale pengulu balang balangse en mo kuberreken pelleng sicina mbara merdenganken daroh matah, asa aremben laus dukak en lako tumabah asa ulang mengugahi i tumabah ndaoh hali ndaoh habat, murah rejeki, tambah mo perejekinna ibas ia mengulaken ulanna i i juma nai i sidari baremben nai”

“Wahai penguasa alam gaib ini kami persembahkan pelleng sicina mbara dan darah ayam yang mentah, dimana besok anak kami ini berangkat kehutan untuk mengerjakan pekerjaannya, jauh-jauhlah semua mara bahaya, dan murahlah rejekinya sewaktu dia mengerjakan pekerjaannya itu diladang mulai hari esok sampai selama-lamanya”.

Setelah acara ritua pembukaanlahan selesai, maka warga/masyarakat makan pelleng (makanan khas) bersama yang telah disediakan sukut (tuan rumah) menanda tahun yang dikerjakan secara bergotong royong.

4.1.4. Menoto

Menoto(berdoa) adalah doa-doa yang dipanjatkan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur agar terhindar dari segala bahaya dan hasil tani nantinya mendapatkan hasil yang memuaskan.

Adapun doa dalam menoto tersebut adalah sebagai berikut:

“Aku sidari en nai mo katengku kumulai menoto, kerna ibas sidari en ma ngo ari mende ibas perberkatta lako perbagian tanohta en”

“Mulai hari inilah akan kumulai menoto, karena hari inilah hari yang baik untuk kita berangkat membagi tanah kita ini”.


(45)

“En simbernaik ku kabus iterruh nai laus mibabo asa menangkih mo karina perejekin nami mulai sidari en nai soh mi ari kaduian”

“Inilah simbernaik (pohon hutan) saya bersihkan dari bawah keatas supaya naiklah semua rejeki kami mulai hari ini sampai selama-lamanya).

“En waren kutanemken penggancih pengago, asa tanem karina pengago isenda nai ulang lot ne mengidah kami”

“Inilah tali kutanam sebagai pengganti hama, biar tertanamlah semua hama mulai dari sekarang dan tidak ada yang dapa melihat kami”.

“Enggo kutultuli ndai golokku lako berkat misen, lako mengrabiken perjuman en mahan kenggeluhen. Asa ciboni mo karina segala pengago, ulang nenge roh pengago mendahiken kami sisada dungguken en mulai sidari en nai”

“sudah kutempa tadi parangku sebelum berangkat ketempat ini, untuk membuka ladang ini sebagai sumber kehidupan. Kiranya semua hama akan sembunyi dan tidak akan mengganggu dan tidak mendatangi kami satu keturunan mulai hari ini”.

4.1.5. Tumabah

Tumabah adalah menebang pohon-pohon untuk membuka perladangan. Biasanya tumabah dilakukan dihutan, dengan tujuan dari tumabah ini adalah untuk memepermudah penanaman padi dan juga sebagi proses untuk pembersihan lahan agar nantinya tanaman padi yang telah ditanam akan tumbuh dan mendapatkan sinar matahari. Dan didalam tumabah ini hal-hal yang dilakukan juga adalah menuhtuhi.Menuhtuhi adalah memotong bagian ranting dari pohon-pohon disekitar


(46)

perladangan agar tidak menghalangi pertumbuhan tanaman. Setelah itu diadakan juga rumabi (pebersihan rerumputan) supaya tidak menghalangi penanaman dan pertumbuhan padi yang yang ditanam nantinya.

4.1.6. Menuluhi/ Menutungi

Setelah tanaman penggangu ditebang, rumput dikumpulkan dan lahan dibersihkan dengan membakar rumput yang telah dikumpulkan.

Sebelum menutungi (membakar) terlebih dahulu penutungi (orang yang membakar) memakan napuren penter (sirih) sebagai penghormatan kepada penguasa alam gaib dan juga memanjatkan doa-doa terhadap penguasa alam gaib supaya tidak ada halangan untuk penanaman dan hasil panen akan melimpah ruah.

Adapun doa yang diucapkan penutungi (orang yang membakar rumput) adalah sebagai berikut:

“En mo pung aku naing menutungi. Bage penutungi rambah en mo tuhu karina sinasa pengago mulai sidaren nai sakat mikaduan, asa messeng mo tuhu karinana pengago i. Makin tambahna mo rejeki nami karinana sisada rube ”

“Kakek/nenek saya ingin membakar. Seperti pembakaran rumput inilah semuanya hama mulai dari sekarang sampai selamanya, biar terbakarlah semua hama tersebut, makin bertambahlah rejeki kami mulai sekarang sampai selama-lamanya satu kampung ini”.


(47)

Menghabam adalah merupakan penghormatan kepada penguasa alam gaib dengan menanam tumbuhan tertentu yang dianggap memiliki makna yang tersirat didalam kehidupan masyarakat.setiap orang Pakpak mengadakan upacara adat baik upacara sukacita maupun dukacita tanaman ini harus ada.

Adapun jenis tanaman tersebut antara lain:

1) Bengkuang; 2) Sampilit; 3) Turbangen 4) Silinjuhang; 5) Tebbu;

6) Galuh sintabar

Tanaman ini ditanam ditengah-tengah perladangan disekitar penebangan pohon, dengan tujuan tanaman padi terlindung dari segala hama. Adapun doa yang dipanjatkan padasaat menghabam (penanaman tumbuhan) diatas adalah sebagai berikut:

“En mo tuhu bengkuang kusuan. En bengkuang en asa ulang lot pengago-pengago baho sinasa permaran’

“Inilah kutanam bengkuang, ini kutanam supaya tidak ada hama dan turunnya hujan es dan tidak ada mara bahaya”.

“En mo tuhu kusuan sampilit, asa mpilit mo tuhu karina sinasa jadi, pilit karina simada toko i juma en nai”

“Inilah kutanam tumbuhan sampilit, biar pergilah semua yang tidak baik dari ladang ini”


(48)

“En mo tuhu kusuan turbangen asa terbang milangit mo tuhu karina sinasa jadi dekket pengago karina ijuma en nai”

“Inilah kutanam turbangen(bangun-bangun) supaya terbang kelangitlah segala hama dan semuanya yang tidak baik dari ladang ini”.

“En mo tuhu kusuan silinjuhang, asa bage silinjuhang en mo perberitaan ijuma en nai”

“Inilah kutanam tumbuhan silinjuhang, supaya seperti silinjuhang inilah berita dari ladang ini”.

“En mo tuhu kusuan tebbu, asa bage pertenggi tebbu en mo kenggeluhen dekket perasan, tenggimo perejekin soh mi ari podi”

“Inilah kutanam tebu, seperti tebu inilah kehidupan dan pemikiran, dan manislah serlalu rejeki sampai akhir jaman”.

“En mo tuhu kusuan galuh sitabar, asa bage galuh sitabar en mo mentabar karina marang kade silot ibabo tanoh en”

“Inilah kutanam pisang sitabar, seperti pisang sitabar inilah semuanya, yang bisa mengobati segala penyakit yang ada dibumi ini”.


(49)

Pada pagi harinya semua warga masyarakat Sisada Rube berangkat kegunung kelokasi tempat menanda tahun, dimana lokasi yang telah ditetapkan di Delleng Simenoto. Tempat ini berada di kaki gunung, dimana ditempat ini sudah dibuat tanda menanda tahun.

Tanda tersebut yaitu sebuah patung cicak yang terbuat dari ukiran batu. masyarakat memegang hak ulayat Sisada Rube adalah marga Manik. Sehingga sukut (tuan rumah)menanda tahun harus dari marga Manik. Adapun marga yang lain yang tinggal menetap di Sisada Rube adalah marga lain yang memperistri putri marga Manik dan mereka disebut berru dan marga lain pengambilan istri oleh marga Manik dan mereka disebut puang.

Antusias masyarakat dalam pelaksanaan menanda tahunsangat besar. Kelompok anggota masyarakat datang berbondong-bondong menghadiri acara tersebut diantaranya sukut “pelaksana utama”, pegetuai marga Manik “tokoh masyarakat”, kelompok desa, kelompok berru“pengambil gadis”, kelompok puang “pemberi gadis”, simatah daging “pemuda-pemudi”, sibaso/guru “pemimpin ritual”, pengurus agama.

Semua hal-hal atau peralatan yang telah disiapkan seperti: pelleng “makanan khas Pakpak”, ranting pohon rube, ardang “tugal”, pancungan bambu, jennap“parang khusus”, benih padi, peramaken “tikar pandan”, ayam kurban satu ekor, napuren penter “sekapur sirih”, dan tudung kepala diletakkan ata disusun disekitar batu cicak.

Batu cicak yang sudah berusia puluhan tahun bahkan ratusan tahun dan juga dibuat aula sebagai tempat masyarakat untuk mengikuti acara menandatahun. Aula tersebut juga adalah sebagai tempat ibu-ibu membungkusi pelleng “makanan khas suku Pakpak”. Makanan itu disediakan untuk seluruh masyarakat yang hadir dalam upacara ritual menanda tahun. Pelleng “makanan khas suku Pakpak” ini terbuat dari nasi yang


(50)

dimasak dengan air santan dan diberi kunyit dan bumbu-bumbu untuk memberikan warna yang khas serta diberikan cabe merah. Daun pembungkus adalah yang diambil dari tumbuhan hutan dalam bahasa Pakpak disebut langge yang menambah rasa wangi yang khas.

4.1.9. Ritual Menanda Tahun

Setelah perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan tersedia dan kesepakatan mengenai haripun telah disepakati, maka upacara menandatahun pun segera dilaksanakan.

Ada permulaan acara diadakan serah terima olehsukut“tuan rumah”menanda tahun pada tahun lalu kepadasukut“tuan rumah”menanda tahun tahun ini. Selaku sukut “tuan rumah” berperan penting dalam pelaksanaan ritual menanda tahun. Sebagai sukut “tuan rumah”menandatahun mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dituruti selama satu tahun. Kewajiban-kewajiban atau tabu-tabu yang harus dijalankan dalam satu tahun tersebut adalah tidak bisa memotong rambut selama satu tahun. Kemudian kewajiban yang harus ditaati selama proses berjalannya upacara ritual menanda tahun tidak bisa mencabut suatu tanaman, dan tidak bekerja keladang.

Setelah selesai acara penyerahan sukut“tuan rumah”menanda tahun tahun lalu kepada sukut“tuan rumah”menanda tahun tahun ini, maka sukut“tuan rumah”menanda tahun untuk tahun ini memberikan kata sambutan atau ucapan terima kasih kepada sukut “tuan rumah”menanda tahun tahun lalu karena telah memberikan kepercayaan sebagai sukut‘tuan rumah” menanda tahun.


(51)

Acara selanjutnya dipegang oleh sibaso/guru “dukun” untuk pemotongan ayam kurban. Namun, sebelum melakukan pemotongan ayam kurban, sibaso/guru “dukun” terlebih dahulu memanjatka doa. Adapun doa yang dipanjatkan adalah sebagai berikut ini:

“En mo tuhu manuk kuseat, barang ise pe nahan melanggar perbuaten nasa bana mo ko menggagat. Ibagasen sidaren kuberre kami mo ko mangan, mangan mo ko. Kami isen sisada rube si enem kuta imo nalako merbulaban ibagasen katika en. Marang kade pe nahan simasa ikatika en bagahken mo. Janah barang ise pe nahan melanggar pati-patin si kuulaken kami en asa bana mo ko menggagat. Jadi ibagasen sidaren kami lako mengulaken ulan nami imo ulan pertahunen. Asa tuhu mo begeken empung pengisi ladang en, merembahken simerandal, merembahken sari matua, asa beak gabe kami imo sisada rube sienem kuta ibagasen sidaren nai, janahpe mula siso sellohna i ulaken kami marang pe ise simelanggar pati-patin en, syarat-syaraten en bana mo ko sumempa, bana moko menggagat asa anggiat kami ibagasen sisada rube sienem kuta gabe merembahken kini beak, mangan moko.”

“Inilah ayam kupotong, barang siapa nantinya melanggar perjanjian ini, kepada dialah karma itu. Pada hari ini kami akan memberikan engkau makan, makanlah engkau. Kami disini Sisada Rube Sienem Kuta untuk melaksanakan perjanjian. Apapun nantinya yang akan terjadi berilah petunjukmu, dan barang siapa yang melanggar peraturan-peraturan yang kami kerjakan ini dialah yang akan mendapatkan karmanya. Jadi, pada hari ini kami akan mengerjakan pekerjaan kami yaitu pekerjaan/doa tahunan. Kami mohon dengarkanlah penguasa pengisi alam gaib, membawa kebaikan, membawa panjang umur, murah rejeki kami yang ada di Sisada Rube Sienem Kuta mulai pada saat ini, dan apabila yang kami lakukan atau kerjakan yang melanggar aturan-aturan


(52)

perjanjian, tabu-tabu ini kepadanyalah karma itu,. Dan semoga kami di Sisada Rube Sienem Kuta membawakan rejeki. Makanlah engkau”.

Kemudian ayam kurban dipotong diatas benih yang telah disiapakan oleh sukut dimana nantinya benih yang dicampur darah ayam kurban tersebut yang akan dibagikan kepada setiap warga untuk digabung dengan benih tahunan mereka.

Kemudian sibaso/guru “pemimpin ritual” disaksikan para peserta menanda tahun, dan memperlihatkan gerak-gerik dan organ tubuh ayam kurban setelah disembelih dan dibelah. Dari situlah sibaso/guru “dukun” meramalkan kejadian-kajadian atau hal-hal yang harus ditaati oleh seluruh penduduk Sisada Rube selama satu tahun.

Setelah ayam kurban benar-benar mati sibaso/guru “dukun” melihat letak dan posisi ayam yang merupakan isyarat atau gerak-gerik. Adapun isyarat-isyarat yang dilihat olehsibaso/guru “dukun” adalah sebagai berikut.

a.Letak dan Posisi Ayam:

b.Letak kepala ayam dan

c. Isi mulut dari ayam.

Setelah sibaso/guru “dukun” melihat letak dan posisi ayam, letak kepala ayam, isi dari mulut ayammaka sibaso/guru “dukun” mengumumkan kepadamasyarakat tentang hal-hal yang yang harus dipatuhi, dan bagaimana kehidupan masyarakat kedepannya. Maka hal selanjutnya yang harus dilakukan sibaso/guru “dukun” dan masyarakat Sisada Rube Sienem Kutaadalah tudung kepala dipakaikan kepada sukut“tuan rumah”menanda tahun. Makna dari menudungi takal “menutupi kepala” ini adalah supaya tanaman tertutup dari hama-hama, dan dibuka secara serentak oleh


(53)

masyarakat sambil megucapkan kata-kata “terbukalah rejeki kepada seluruh masyarakat Sisada Rube SienemKuta”. Kemudian diikuti dengan kata sambutan dari utusan masyarakat dari pihak berru “pengambil anak gadis” yaitu marga Bancin.

Upacara menanda tahun hampir selesai. Tibalah saatnya semua masyarakat yang hadir dalam acara ritual menanda tahun makan bersama pelleng “makanan khas suku Pakpak” yang telah dibungkus dengan daun langge “tumbuhan hutan” yang disebut nakan tendi “kebatinan”. Sehubungan dengan itu hidangan daging ayam khusus yang disebut sulang dibagikan kepada kelompok utusan masyarakat.

Pada akhir upacara adalah “rebbu”.Rebbu dapat diartikan puasa, hal ini diyakini sebagai bentuk akan keyakinan hal-hal yang telah dipatuhi oleh masyarakat Sisada Rube Sienem Kuta, dan dikemudian hari masyarakat diharapkan akan jadinduma “makmur”.

Rebbu “puasa” dilaksanakan setelah sibaso/guru “dukun”memberikan tanda atau batas-batas kampung yang ikut dalam pelaksanaan ritual menandatahun di Sisada Rube Sienem Kuta. Pelaksanaan rebbu“puasa” dilaksanakan pada hari itu juga, masyarakat tidak bisa melakukan aktifitas pada hari itu juga dan masyarakat juga harus tidur sampai senja. Setelah matahari terbenam barulah bisa melakukan aktifitas sebagaimana biasanya.

Setelah pengumuman diumumkan kepada masyarakat tibalah saatnya pembagian benih padi yang dipakai pada saat ritual menanda tahun kepada masyarakat untuk nantinya benih tersebut dicampurkan dengan benih yang akan ditanam di ladang masing-masing.


(54)

Tibalah saatnya hari dan tanggalmardang“menanam padi”. Masyarakat Sisada Rube secara bergotong royong pergi mardang “menanam padi” diladang masyarakat yang telah disepakati sebelumya.

4.1.10.Upacara Menanda Tahun dan Kaitannya Dengan KonservasiLingkungan.

Pelaksanaan upacara menanda tahun ternyata mempunyai kaitan terhadap lingkungan alam dan sosial. Unsur-unsur yang berkaitan secara langsung adalah adanya: tabu-tabu, runggu “musyawarah”, kata-kata wejangan, dan aturan-aturan lainya. Tabu-tabu yang secara langsung yang berdampak positif terhadap lingkungan alam, khususnya hutan, misalnya tabu membakar hutan, tabu menebang atau membuka hutan untuk dijadikan ladang pada sembarangan waktu dan tempat. Kemudian adanya sanksi dicemooh, dikucilkan atau diusir. Dalam kegiatan runggu “rapat” pada tahun 1991, misalnya merubah besarnya sanksi bagi pelanggar tabu sesuai dengan keadaan ekonomi penduduk, seperti bagi pembakar hutan dan pembabatan hutan secara liar. Kalau sebelumnya cukup dengan membayar denda seekor ayam dan satu kaleng beras, diputuskan menjadi seekor babi atau kambing dengan empat kaleng beras untuk luas sekitar seperempat hutan hektare hutan.

Dalam kata wejangan para pengetuai maupun utusan lainnya, selalu menekankan pentingnya memelihara hutan, mentaati tabu-tabu dan aturan-aturan untuk membuka hutan. Mengawali dari bagaimana cara memiliki hutan atau tanah, penjelasan dari roh-roh padi maupun penguasa ghaib lainya, pemilihan lokasi hutan, pengerahan tenaga kerja, dan tujuan upacara menanda tahun. Melalui kata-kata wejangan ini, pengetahuan tersebut diturunkan kepada para peserta upacara dan kemudian para peserta menurunkannya atau memberitahukan kepada warga yang tidak turut serta.


(55)

Aturan-aturan dan tabu-tabu yang berkenan, ternyatata juga lebih kompleks atau lebih banyak dikenakan bagi para keturunan diluar marga Manik. Misalnya untuk bisa memiliki sebidang tanah atau hutan, harusmelalui prosedur memberikan sesuatu barang atau makanan kepada keturunan marga Manik, juga tabu-tabu berdasarkan ramalan sibaso/guru (dukun) lebih banyak dan bervariasi bagi mereka.

Secara kwantifikasi memang tidak dapat dirinci sejauh mana pengaruh upacara menanda tahun terhadap kelestarian lingkungan alam di SisadaRube Sienem Kuta, namun dengan adanya tabu, pengetahuan dan sanksi-sanksi tersebut setidaknya dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk tidak membakar atau membuka hutan secara sembarangan, memiliki tanah atau hutan secara sembarangan dan memperlakukan orang ataukelompok lain secara sembarangan.

Untuk memperkuat argumentasi ini dapat dilihat dari adanya keserentakan dalam perladangan, seperti keteraturan dalam perladangan, seperti keteraturan dalam lokasi dan tahapan produksi karena dituntut untuk mematuhi aturan-aturan yang berkenaan dengan upacara. Lokasi ladang mengelompok dan teratur. Kompleksnya syarat bagi pendatang sehingga pemilikan tanah atau hutan didominasi oleh keturunan dari marga Manik, akibatnya terdapat pemerataan dalam pemilikan hutan, karena kuturunan marga Manik merupakan mayoritas penduduk dari segi jumlah. Aturan-aturan dan tabu-tabu ini juga ternyata berpengaruh terhadap tetap lebih dihormati atau dianggap tinggi statusnya dari marga Manik dari pada marga-marga pendatang lainnya, karena selain tetap diakuinya mereka sebagai marga tanoh “pemilik tanah”, dan juga keturunan dari marga lainnya mayoritas termasuk sebagai kelompok beru “pengambil anak gadis”, sehingga harus hormat dan patuh.


(56)

Contoh lain padamasa lalu “cerita lisan informan”, ternyata dua kali terjadi pertengkaran diwilayah Sisada Rube yang dapat diselesaikan atau didamaikan dalam momen upacara menanda tahun. Pertama antara keturunan marga Manik dengan marga Solin, kedua pertengkaran antara penduduk lebuh “kampung” Simerpara dengan Kecupak.

Dari contoh diatas dapat dikatakan bahwa penduduk lebih berhati-hati dan terbatas dalam bertindak baik terhadap alam maupun dalam hubungan dengan individu atau kelompok lainnya. Mereka juga menjadi lebih mengerti hak dan tanggung jawab terhadap lingkungan alam maupun terhadap sesama penduduk.

Secara konkrit dapat dilihat dari data sekunder yang ada dikantor Kepala Desa tentang luas hutan. Ternyata dibandingkan dengan dua desa tetangga lainya yang melaksanakan upacara menanda tahun, luas hutannya lebih sedikit dari ketiga desa yang mencakup Sisada Rube. Misalnya di Sisada Rube luas hutannya sekitar 4.278 Ha, dengan rincian 470 Ha di Desa Simerpara, sementara Desa Salak I tidak dijumpai lagi adanya hutan dan di Desa Binanga Boang hanya sekitar 250 Ha. Keduanya sejak lama tidak melaksanakan upacara menanda tahun tersebut.

Contoh konkrit dalam kaitannya dengan gengsi dari pihak keturunan marga Manik adalah lebih beragam dan banyaknya hak-hak yang dimiliki. Misalnya, bilamana keturunan marga diluarnya mengadakan pesta, maka mereka harus minta restu atau izin, disamping wajib memberikan sesuatu seperti daging, kain ataupun uang sebagai upah marga tanoh “tuan tanah”. Juga untuk duduk sebagai Kepala Desa atau sebagai calon Kepala Desa, secara tersirat harus marga Manik, dan juga nyatanya hingga penelitian ini dilakukan belum pernah diduduki oleh marga lain. Bila dikaitkan dengan


(57)

populasi mereka yang mayoritas, aturan-aturan ini menjadi lebih ideal untuk kesinambungan sehingga konflik dan kecemburuan sosial bisa lebih dieratkan.


(58)

4.2Makna Upacara Ritual Menanda Tahundi Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak dan Simbol-simbol Serta Perlengkapan Upacara Ritual Menanda Tahun.

4.2.1. Makna Upacara Ritual Menanda Tahun Di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak.

Upacara menanda tahun adalah salah satu jenis upacara yang berkaitan dengan proses perladangan bagi orang Pakpak umumnya dan masyarakat Sisada Rubekhususnya.

Upacara menanda tahun memiliki makna yang tersendiri bagi masyarakat Sisada Rube, sehingga upacara menanda tahun ini harus dilakukan setiap tahunnya demi keberkahan hasil ladang masyarakat Sisada Rube.

Sejarah mula terjadinya upacara menanda tahun di Sisada RubeSienem Kuta bermula dengan meningkatkan nilai rasa kegotong-royongan yang dilakukan secara bersamaan guna mengurangi hama diperladangan masyarakat Sisasda Rube Sienem Kuta. Karena jikamenanda tahun dilaksanakan tidak secara serentak tentunya hama akan berpencar keladang masyarakat. jadi, pertama sekali makna dari pelaksanaan ritual menanda tahun ini adalah meningkatkan nilai rasa kegotong-royongan antara masyaratkat Sisada Rube.

Pada jaman dahulu, empung arnia “nenek moyang”Sisada Rube pernah melaksanakan menanda tahun tidak secara serentak pertama sekali mereka mengalami berkurangnya hasil panen mereka, hama semakin banyak, dan rasa kegotong-royongan tidak ada lagi.


(59)

Sehingga dengan adanya pelaksanaan ritual menanda tahun secara serentak meningkatkan adanya rasa toleransi kegotong-royongan atau saling membantu antara masyarakat Sisada Rube. Karena pada jaman dahulu masyarakat Pakpak Sisada Rube tidak mengenal yang namanya upah “gaji” tetapi mereka masih memakai yang istilahnya mersiurup-urupen“saling membantu”, berbeda dengan jaman sekarang ini ada istilah Pakpak Sadikema “berapa gajinya’ ataupun sering dikataken upahen “bekerja namun harus ada imbalan”.

Upacara ritual menanda tahun memiliki tabu-tabu yang harus ditaati dan dilakukan setiap masyarakat Sisada Rube. Karena tabu-tabu itu sendiri memiliki makna sehingga harus ditaati masyarakat Sisada Rube selama upacara ritual menanda tahun berlangsung dengan tujuan tidak menyalahi dan melanggar aturan-aturan demi keberhasilan ladang, dan bagaimana kehidupan masyarakat Sisada Rube kedepannya.

Adapun tabu-tabu yang harus dilakukan atau ditaati selama berlangsungnya upacara ritual menanda tahun adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat Sisada Rube tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya : keladang, memotong kayu, memotong rumput, mengkorek tanah, karena tabu-tabu ini memiliki makna bagi masyarakat Sisada Rube. Jika mereka melakukan kegiatan ini diantara salah satunya maka hama akan merusak tanaman yang mereka tanam, dalam arti kata hama akan memotongi tanaman mereka jika masyarakat Sisada Rube memotong kayu. Hama juga akan memotong tanaman mereka tersebut jika mereka memotong kayu, dan jika mereka mengkorek tanah maka akibatnya tanaman mereka juga nantinya akan dikorek oleh hama atau hewan pengganggu lainnya seperti halnya yang


(60)

diistilahkan masyarakat di Sisada Rube isungke perkepar ( dirusak dari seberang).

2. Tidak bisa menyalakan api selama satu hari itu sebelum matahari tenggelam, hal ini memiliki makna jika kita menyalakan api tentunya nantinya hama atau hewan pengganggu akan merajalela merusak tanaman kita seperti panasnya api yang bisa membakar karena pada masyarakat pakpak api merupakan sibolis ( setan).

3. Tidak bisa memotong rambut pada hari itu juga terutama sukut ( tuan rumah menanda tahun) hal ini juga memiliki makna bagi masyarakat Sisada Rube, jika melakukan pemotongan rambut tentu nantinya hewan pengganggu tanaman juga akan memotong dan menghabisi tanaman masyarakat.

Dengan demikian tabu-tabu diatas harus dilaksanakan dan dihargai jika masyarakat ingin tanaman mereka selamat dan juga agar hasil panen mereka akan bertambah bahkan rejeki mereka akan bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Karena ini merupakan amanah yang harus dilakukan yang telah dilaksanakan nenek moyang orang Pakpak sejak jaman dahulu.


(61)

4.2.2. Makna Simbol-simbol dan Perlengkapan Upacara Ritual Menanda Tahun di Sisada Rube Pada Masyarakat Pakpak.

Hidup ini memang digerakkan oleh simbol-simbol, dibentuk oleh simbol-simbol, dan dirayakan dengan simbol-simbol yang memiliki makna dalam kehidupan sehari hari. Demikian juga didalam kebudayaan tentunya memiliki simbol-simbol yang memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat berbudaya.

Demikian juga halnya dengan masyarakat Pakpak yang masih meyakini dan percaya terhadap simbol-simbol kebudayaan, dimana mereka masih menganggap adanya roh-roh leluhur nenek moyang mereka terhadap simbol kebudayaan mereka. Demikian halnya didalam upacara ritual menandatahun ada simbol-simbol ataupun lambang-lambang yang memiliki kekuatan gaib yang masih dipercaya pada saat ini yang masih memiliki makna yang dapat membawa rejeki kepada masyarakat Sisada Rube jika tanda arau simbol-simbol itu dihargai.

Adapun mankna simbol dalam upacara ritual menanda tahun adalah sebagai berikut:

a. Batu tetal

Batu tetal (patung cicak ) adalah patung yang dipahat dari batu oleh beru marga Manik yaitu marga Bancin. Batu tetal (patung cicak) merupakan tanda atau lambang perdamaian bagi masyarakat Sisada Rube yang sampai sekarang masih tetap berada dilokasi upacara ritual menanda tahun. Pada jaman arnia (dahulu) marga Manik memiliki konflik antar sesama marga Manik, sehingga beru (pengambil anak gadis) dari marga Manik yaitu marga Bancin mengukir batu tetal (batu cicak) sebagai lambang perdamain. Diatas batu tetal “batu cicak” inilah marga Manik berjanji yang


(62)

disaksikan beru “pengambil anak gadis” mereka bahwa untuk kedepannya mereka tidak akan berkonflik lagi.

Batu tetal “patung cicak” memiliki makna sebagai lambang perdamaian bagi masyarakat Sisada Rube. Batu tetal “patung cicak” juga sangat bermakna bagi masyarakat Sisada Rube karena batu cicak ini merupakan lambang dari perdamaian masyarakat Sisada Rube itu sendiri. Karena dapat kita lihat sifat cicak adalah saling menguntungkan bagi manusia, oda nggeut mengago “membawa keberuntungan” hendaknya seperti itulah sifat manusia yang tidak merugikan terhadap orang lain.

b. Belagen mbentar/ peramaken.

Pada masyarakat Pakpak setiap mengadakan upacara, baik upacara sukacita maupun dukacita selalu disediakan belagen mbentar/peramaken “tikar putih” merupakan suatu keharusan dalam kebudayaa adat Pakpak itu sendiri. Karena warna tikar memiki makna yang sangat harus dicontoh setiap orang. makna dari warna mbentar “putih” pada masyarakat Pakpak adalah lambang dari mbersih niukur “kesucian” sehingga pengisi ladang (penguasa alam gaib) berkenan memberi berkat melalui hasil panen padi yang melimpah. Karena dari segi penglihatan saja ketika kita melihat warna putih maka penglihatan kita begitu bersih, indah bahkan kita juga dapat merasakan kalau putih itu bersih dan tidak bernoda sama sekali.

“baik” dan “jahat” belagen mbentar “tikar putih” selalu dibutuhkan yang berfungsi sebagai perlengkapan dalam adat istiadat pada masyarakat Pakpak.


(63)

c. Pelleng (makanan khas Pakpak)

Pelleng “makanan khas suku Pakpak” merupakan makan khas yang diyakini masyarakat Pakpak yang merupakan sebagai lambang kekuatan dan keberhasilan pada seseorang. Pelleng “makanan khas suku Pakpak” merupakan makanan yang khusus karena bisa digunakan sebagai sesajen terhadap kekuatan-kekuatan supranatural. kegiatan upacara dan aktifitas yang dianggap beresiko besar, juga untuk tujuan mencapai cita-cita atau harapan. Dimana pelleng (makanan khas) memiliki makna yang khusus bagi keberhasilan orang Pakpak dikala ingin melakukan sesuatu pekerjaan, dan pelleng “makanan khas suku Pakpak” juga memiliki warna yang khas yaitu warna gersing (kuning) yang memiliki makna sebagai lambang kegagahan/keperkasaan.

d. Cina Mbara

Cina mbara “cabe merah” dilambangkan sebagai sumber keberanian dan semangat. Cina mbara “cabe merah” memiliki makna sebagai keberanian dan kegagahan, karena menurut keyakinan masyarakat Sisada Rube cina“cabe” yang rasanya ncor “pedas’ adalah merupakan lambang dari kegasangan ‘berani”. Sama halnya jika memakan makanan yang pedas tentu mengundang rasa selera kita untuk makan.

Demikian juga halnya dengan cina mbara “cabe merah” ini yang memiliki makna keberanian pada masyarakat pakpak terutama pada pemuda Pakpak jika merantau akan memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan hidup yang akan dijalani dimanpun mereka berada. Sama halnya dengan nenek moyang orang Pakpak pada jaman dahulu mereka meyakini kalau cina mbara “cabe merah’ merupakan lambang keberanian


(1)

Lampiran 1

Daftar Pertanyaan

1. Bagaimana tahapan upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada masyarakat Pakpak?

2. Apa makna dan fungsi upacara ritual menanda tahun pada masyarakat Sisada Rube pada masyarakat Pakpak?

3. Kapan pelaksanaan Upacara Ruitual menanda tahun dilaksanankan?

4. Siapa-siapa saja yang berperan didalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun? 5. Apa makna tabu-tabu yang ada didalam pelaksanaan upacara ritual menanda tahun? 6. Apa tujuan dari pelaksanaan upacara ritual menanda tahun di Sisada Rube pada

masyarakat Pakpak?


(2)

Lampiran II


(3)

Gambar pancungan bambu yang terdiri dari tujuh buah yang melambangkan tujuh roh padi.


(4)

(5)

Lampiran III

Daftar Informan

1. Nama : Uba Manik Umur : 70 tahun Pekerjaan : Petani 2. Nama : Pittar Bancin

Umur : 60 tahun Pekerjaan : Petani 3. Nama : Tema Manik

Umur : 47 tahun

Pekerjaan : Sekdes/ Tokoh adat/ Ketua LAPBS Pergetteng-getteng Sengkut 4. Nama : Jaluddin Manik

Umur : 61 tahun Pekerjaan : petani 5. Nama : Serta Manik

Umur : 50 tahun Pekerjaan : Petani

6. Nama : Erdi Siburian Umur : 57 tahun Pekerjaan : Petani

7. Nama : Roni Boang Manalu Umur : 47 tahun


(6)

8. Nama : Sabar Tumangger Umur : 47 tahun

Pekerjaan : Petani 9. Nama : Sabar Manik

Umur : 46 tahun Pekerjaan : Petani