Makna Dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika

(1)

MAKNA DAN FUNGSI MANGUPA PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ANGKOLA SIPIROK KAJIAN SEMIOTIKA

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan Oleh

NAMA : HOTMIDA SINAGA NIM : 090703003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGARAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK MEDAN


(2)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari/ Tanggal : ……….

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan

Nip : 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A

Panitia ujian :

No Nama Tanda Tangan 1. ………

2. ………

3. ………...

4. ………


(3)

Disetujui Oleh :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

MEDAN

2014

Departemen Sastra Daerah Ketua

Nip : 196207161988031002 Drs. Warisman Sinaga, M.Hum


(4)

MAKNA DAN FUNGSI MANGUPA PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ANGKOLA SIPIROK KAJIAN SEMIOTIKA

Dikerjakan Oleh

Nama : HOTMIDA SINAGA Nim : 090703003

Disetujui Oleh

Pembimbing 1, Pembimbing II,

Drs. Baharuddin, M. Hum

NIP:196001011988031007 NIP: 195905021986011001 Drs. Asrul Siregar, M. Hum

Diketahui Oleh : Departemen Sastra Daerah

Ketua

Nip : 196207161988031002 Drs. Warisman Sinaga, M. Hum


(5)

ABSTRAK

Hotmida, 2014. Judul Skripsi : Makna dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika.

Penelitian ini merupakan penelitian tentang Mangupa pada masyarakat Angkola di Sipirok yang ditinjau dari kajian Semiotika. Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna

Upacara mangupa adalah kebudayaan Angkola yang hingga sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Sipirok. Upacara mangupa mempunyai perlengkapan yang memiliki makna dan fungsi.. Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan kemiripan.

Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan Makna dan Fungsi mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok, dan menjelaskan bahan-bahan apa saja yang ada pada mangupa tersebut.

Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya).

Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa upacara mangupa memiliki makna-makna yang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Upacara adat

mangupa atau haroan boru ini biasa dilaksanakan pada saat melaksankan horja

atau pesta perayaan pernikahan anak laki-laki.

Kata Kunci : Makna dan Fungsi Mangupa pada Upacara perkawinan Angkola Sipirok.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Judul skripsi ini “ Fungsi dan Makna Mangupa pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola”. Bab I : Pendahuluan, Bab II : Tinjauan Pustaka, Bab III : Metode Penelitian, Bab IV : Pembahasan, Bab V : Simpulan dan Saran.

Judul ini dipilih karena penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang upacara mangupa dalam masyarakat Angkola. Terwujud skripsi ini bukanlah semata-mata jerih payah penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kelemahan yang ada dalam skripsi ini. Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini.

Medan, Oktober 2013 Penulis,

Hotmida Sinaga 090703003


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………..……..….….i

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI………….………...……… iii

UCAPAN TERIMA KASIH………...……vii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1Latar Belakang Masalah………..…..………... 1

1.2 Rumusan Masalah………...….………... 4

1.3 Tujuan Penelitian……….. 4

1.4 Manfaat Penelitian……… 5

1.5 Anggapan Dasar……… 5

1.6 Letak Geografis ……… 6

1.6.1 Kecamatan …….………..………...……….…. 7

1.6.2 Pemekaran………...…….. 7

1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas ... 8

1.6.4 Kecamatan wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara….………...8

1.7 Mata Pencaharian……….. 8

1.8 Budaya Masyarakat Angkola ………..………..…. 10

1.9 Adat Masyarakat Angkola ……….………..….…….. 10

1.10 Sistem Kekerabatan………..………. 11

1.11 Sistem Organisasi Sosial ………..……….13

1.12 Sitem Religi ………..……….………...……….…..…. 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA……….…..….. 17

2.1 Kepustakaan yang Relevan……….……….... 17

2.2. Teori yang digunakan ………….……….…..……….... 19

2.2.1 Teori Semiotika …………...………... 19


(8)

2.2.3 Teori Fungsi………..……...………... 21

BAB III METODE PENELITIAN………...23

3.1 Metode Dasar………...23

3.2 Lokasi Penelitian……….………..…...24

3.3 Sember Data Penelitian...…………..….. ………24

3.4 Instrumen Penelitian……..….………..…....25

3.5 Metode Pengumpulan Data…...……….…..25

3.6 Metode Analisis Data…...………...……....….26

BAB IV PEMBAHASAN……….………27

4.1Upacara Mangupa..………..………..………..27

4.2Pengertian Mangupa………...………..29

4.3Komponen Upacara Mangupa………..………30

4.3.1 Tempat Upacara …………....……….30

4.3.2 Pemimpin dan Peserta……….31

4.3.3 Tujuan………....…….32

4.4.4 Sasaran dari Pangupa………...………...33

4.4.5 Hubungan Pangupa dengan Tondi………..33

4.4Bahan-bahan Pangupa………..………34

4.4.1 Tingkatan dan Isi Pangupa………...………..………34

Telur ayam…….………34

Kambing ………..……34

Kerbau ………..…………...…35

Nasi Putih………..…..……….36

Garam ………..………....36

Air Putih……….……….……….37

Ikan ………...……….……….….37

Udang ………..……37


(9)

Kepala Kerbau/Kambing………..……….38

4.4.2 Tempat Pangupa………..……….….40

4.4.3 Cara Menghidangkan Pangupa……….41

4.4.4 Tata Laksana……….………..…..42

4.4.4.1 Persiapan …………...…………...………..42

4.4.4.2Pelaksanaan …………..………….………42

a. Pembukaan Oleh Orang Kaya…...…..….………...……42

b. Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan, kahanggi, Anak Boru dan Pisang Rahut dari Pihak Ibu-………....…44

c. Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan, Kahanggi, Anak Boru dan Pisang Rahut dari Bapak-bapak…………..…45

d. Hata Pangupa dari Harajaon ………….…………..……45

e. Penutup Pengantin Mencicipi Hidangan Pangupa dan Memberikan Hata Pangupa ………..………..……53

f. Doa atau Mantra ……….…...54

g. Nilai-nilai ………54

h. Pantangan Dan Larangan ………..……… 55

BAB V SIMPULAN DAN SARAN………..……… 57

5.1 Simpulan ……… 57

5.2 Saran……….…………58

DAFTAR PUSTAKA ……… 59 LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Nama Informan Lampiran 2. Peta Sipirok

Lampiran 3.Surat Penelitian Dari Fakultas Ilmu Budaya Lampiran 4. Surat Keterangan Dari Kepala Desa.


(10)

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan, bimbingan, dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III, serta seluruh staff dan pegawai dijajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staff dan jajaran pegawai yang di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum, selaku Sekertaris jurusan Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Baharuddin, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan juga meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran demi selesainya skripsi ini.

5. Bapak Drs. Asrul Siregar, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga selalu mendukung dan memberikan arahan dan masukan-masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mengucapkan banyak


(11)

terima kasih kepada Bapak karena telah sabar, semangat dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Yang teristimewa kepada Ayahanda Pandapotan Sinaga dan Ibunda tercinta Nurmince Nainggolan, yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga dan pikiran. Serta telah banyak melimpahkan kasih sayang dan doa kepada penulis sedari kecil sampai dengan sekarang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Abang (Riky Sinaga), adik (Christin Sinaga), adik (Wily Sinaga), adik (Selfana Sinaga ) terima kasih atas support serta doa yang telah kalian berikan dan selalu memberikan saya semangat dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kepada Masyarakat Desa Hutapadang dan Bapak Kepala Desa yang telah memberikan respon yang baik kepada penulis dalam pengumpulan data di lapangan hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Teman-teman Mahasiswa/I seperjuangan Dewi Kusuma Nasution, Nurrahmadani Syahfitry, Satria Sinaga, Umai Ema, Nikson Sihombing, Josua Purba, Japatar Purba, Zainal Purba, Andika Lubis, Reyking Simare-mare, Azwar Pohan dan seluruh anak IMSAD yang belum penulis sebutkan, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan dan dorongan serta doa yang diberikan kepada penulis.

10.Kepada teman-teman kos di 291 yang selalu memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(12)

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Penulis menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya. Semoga penulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Januari 2014

Penulis,


(13)

ABSTRAK

Hotmida, 2014. Judul Skripsi : Makna dan Fungsi Mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok Kajian Semiotika.

Penelitian ini merupakan penelitian tentang Mangupa pada masyarakat Angkola di Sipirok yang ditinjau dari kajian Semiotika. Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna

Upacara mangupa adalah kebudayaan Angkola yang hingga sekarang masih dilaksanakan oleh masyarakat Sipirok. Upacara mangupa mempunyai perlengkapan yang memiliki makna dan fungsi.. Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan kemiripan.

Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan Makna dan Fungsi mangupa Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok, dan menjelaskan bahan-bahan apa saja yang ada pada mangupa tersebut.

Metode dasar yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan obyek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya).

Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa upacara mangupa memiliki makna-makna yang berhubungan dengan masyarakat pendukungnya. Upacara adat

mangupa atau haroan boru ini biasa dilaksanakan pada saat melaksankan horja

atau pesta perayaan pernikahan anak laki-laki.

Kata Kunci : Makna dan Fungsi Mangupa pada Upacara perkawinan Angkola Sipirok.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan budaya. Setiap suku di Indonesia memiliki tradisi sukunya masing-masing. Bangsa adalah suatu komunitas etnik yang ciri-cirinya adalah: memiliki nama, mitos leluhur bersama. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan menghasilkan budaya yang beraneka ragam.

“Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, dan mengembangkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada disekitarnya (Geertz, 1973a). Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Defenisi ini kebudayaan dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia”.

Suku didefenisikan sebagai sebuah golongan dan menjadi identitas yang paling mendasar dan umum, serta terbentuk berdasarkan latar belakang tempat kelahiran seseorang maupun latar belakang keluarganya, serta digunakan sebagai acuan identitas suku bangsa atau kesukubangsaan. Boleh dikatakan suku ialah


(15)

kelompok orang yang memiliki latar belakang budaya, sejarah, dan nenek moyang yang sama. Negara kita terdiri dari banyak suku di antaranya adalah suku Batak. Batak terdiri atas 5 etnis yakni : Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak Dairi, Angkola/Mandailing. Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan sebutan marga sebagai garis keturunan patrilineal yang secara generasi ke generasi mempunyai garis keturunan marga yang berbeda-beda berdasarkan garis keturunannya. Bahasa Batak memiliki banyak persamaan dengan bahasa sub etnis lainnya.

Masyarakat Batak umumnya memiliki bahasa dan adat-istiadat yang berbeda tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan perpecahan di antara masyarakat Batak. Demikian juga halnya dengan masyarakat Angkola memiliki berbagai budaya dan adat-istiadat. Masyarakat Angkola ialah yang mendiami wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Penelitian ini akan membahas tentang makna dan fungsi mangupa masyarakat Kecamatan Sipirok. Pada upacara tersebut ada beberapa perlengkapan yang paling utama. Pira manuk na ni hobolan, manuk, hambeng, dan lain sebagainya. Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu upacara adat yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi ke badan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat dan murah rezeki dalam kehidupan. Upaya mengembalikan tondi ke badan dilakukan dengan cara menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan nasihat


(16)

dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orangtua, raja-raja dan pihak-pihak adat lainnya.

Upacara mangupa mempunyai tanda yang masing-masing mengandung makna dan informasi. Setiap tanda yang ada dalam upacara mangupa masyarakat Angkola mempunyai makna tersendiri yang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Selain itu tanda tersebut mencerminkan perilaku, pikiran atau ide-ide masyarakat yang bersifat kesopanan, didikan, bijaksana, yang harus dijalankan oleh kedua mempelai agar rumah tangga mereka tetap utuh. Terciptanya informasi atau makna dari tanda itu semua dari hasil konvensi masyarakat setempat. Kepada generasi berikutnya diharapkan agar dapat mempertahankan makna tanda tersebut serta dapat menumbuhkan sikap kepedulian terhadap tanda yang merupakan ciri khas bagi kebudayaan Masyarakat Angkola.

Upacara mangupa banyak dijumpai bentuk tanda yang mempunyai arti. Dalam Pettinasry, 1996:2) menegaskan bahwa :

“Sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada posisi, supaya dapat menghasilkan makna yang kemudian dapat membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda yang mempunyai makna tambahan dan demikian halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda atau simbol”.

Tanda-tanda dalam upacara mangupa tidak terlepas dari makna. Tanda-tanda yang ada dalam upacara mangupa memiliki fungsi sebagai cerminan kepribadian masyarakat Angkola. Masyarakat Angkola diharapkan tetap menjaga segala bentuk, aturan, dan kegunaan tanda-tanda sehingga tatanan adat-istiadat tetap berlanjut. Hal itulah yang mendorong peneliti mengadakan penelitian tanda-tanda dalam mangupa pada upacara perkawinan masyarakat Angkola.


(17)

Meskipun sebelumnya sudah banyak ahli-ahli budaya yang meneliti tentang upacara mangupa di Kecamatan Sipirok hanya sebatas penelitian deskriptif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji makna yang terdapat pada tanda yang ada pada upacara mangupa. Penulis akan mengkaji adat mangupa pada masyarakat Batak Angkola Sipirok ini dari segi semiotika, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti atau makna dari tanda atau simbol-simbol yang ada pada upacara mangupa masyarakat Angkola Sipirok.

1.2. Rumusan Masalah

Menghindari pembicaraan atau pembahasan yang menyimpang dari permasalahan, penulis akan membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci.

Perumusan masalah sangat penting bagi pembuatan skripsi ini, karena dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Bentuk perumusan adalah biasanya berupa kalimat atau pertanyaan yang semakin menarik atau menambah perhatian.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah makna dari mangupa pada masyarakat angkola?

2. Apakah fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola? 3. Bahan apa saja yang ada dalam upacara mangupa?


(18)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan makna dari mangupa pada masyarakat Angkola. 2. Menjelaskan fungsi dari mangupa pada masyarakat Angkola. 3. Menjelaskan bahan apa saja yang ada dalam upacara mangupa

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

1. Sebagai referensi kepustakaan khususnya fungsi dan makna pada upacara

mangupa masyarakat Angkola.

2. Menjadikan arsip di Departemen Sastra Daerah untuk dibaca oleh mahasiswa Sastra Daerah.

3. Untuk memberi wawasan baru tentang makna dan fungsi mangupa pada upacara perkawinan masyarakat Angkola, khususnya masyarakat Angkola Sipirok.

1.5 Anggapan Dasar

Suatu penelitian seharusnya memerlukan anggapan dasar yang dapat memberi gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Arikunto (1987:17) “mengatakan anggapan dasar adalah sesuatu yang diakui kebenarannya oleh peneliti dan berfungsi sebagai pijakan bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian tersebut”.

Oleh sebab itu, anggapan dasar inilah yang merupakan dasar dan titik tolak penyusunan sebuah skripsi.


(19)

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anggapan dasar harus berdasarkan kebenaran yang objektif, maksud kebenaran yang objektif ialah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannnya.

1.6 Letak Geografis Sipirok

Daerah Sipirok merupakan sebuah Kecamatan yang berada di Provinsi Sumatera Utara berjarak 385 km dari kota Medan, sedangkan dari kabupaten Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sipirok ke Kecamatan Pahae Jae dengan ibukotanya Pahae, yaitu daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang berada di Kabupaten Utara jaraknya 42 km. Tepatnya letak Kecamatan Sipirok ini berada dalam jalur lintas Sumatera bagian barat dan merupakan jalan utama yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa.

Kecamatan Sipirok dan Ibukotanya Sipirok berada di daerah perbatasan antara etnis Angkola dan etnis Batak Toba. Untuk jelasnya keberadaan daerah Sipirok adalah sebagai berikut :

- Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Padang Bolak. - Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Batang Toru. - Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Pahae Jae. - Sebelah selatan berbatas dengan Padang Sidempuan.

Luas kecamatan Sipirok 72,085 km, dengan ketinggian di atas 900 m dari permukaan laut. Sebagaimana dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia dengan ketinggian seperti itu, Kecamatan Sipirok merupakan juga mempunyai musim yang sama dengan tempat-tempat lainnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kondisi alam berbukit-bukit dan tidak adanya sungai-sungai besar,


(20)

selain menanam padi daerah ini menghasilkan tanaman yang tidak tergantung pada air, seperti karet, kopi, lada, kayu manis, tembakau, cengkeh, dan lain

sebagainya.

1.6.1 Kecamatan

Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri atas 14 kecamatan yaitu:

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

1.6.2 Pemekaran

Nama Kecamatan Padang Sidempuan dihapus dengan pemekaran menjadi Kecamatan Padang Sidempuan Utara dan Kecamatan Padang Sidempuan Selatan (bagian dari Kota Administratif Padang Sidempuan, Kecamatan Padang


(21)

Sidempuan Barat (menjadi Angkola Barat) dan Kecamatan Padang Sidempuan Timur (Angkola Timur) menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.6.3 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

1.6.4 Kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.


(22)

1.7 Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani dengan menanam padi di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, atau mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan September-Desember petani turun kesawah dan mengelola sawahnya.

Jika cukup baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam mengelola sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.

Jika selesai panen disawah mereka melanjutkan pekerjaannya dengan menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang tanah, kacang panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Masa penanaman palawija dilakukan pada awal musim kemarau, sehingga petani harus bekerja keras mencari air guna menanam tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2 kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya juga sangat sederhana seperti menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman palawija yang mereka tanam dan telah menghasilkan, mereka kembali lagi menanam palawija yang disesuaikan dengan tanaman padi berikutnya. Hasil yang diperoleh oleh petani sebahagian dikonsumsi sendiri dan sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya antara lain menyekolahkan anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat ataupun jiran tetangga.

Selain bertani mereka juga mempunyai keahlian lain, seperti membuat kramik/grabah, kerajinan tangan dan manik-manik berupa dompet, tempat sirih, menenun kain khas Sipirok, membuat tikar dari rotan dan pandan serta ulos.


(23)

1.8 Budaya Masyarakat Angkola

Kebudayaan Masyarakat Angkola dalam banyak hal mempunyai persamaan dengan kebudayaan masyarakat Mandailing. Adat-istiadat kedua masyarakat tersebut tidak banyak berbeda. Demikian juga bahasanya.Masyarakat Angkola merupakan masyarakat agraris yang hidupnya banyak tergantung kepada pertanian, sawah dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis, dan lain-lain. Masyarakat Angkola pada umumnya bertempat tinggal beberapa desa. Umumnya desa-desa tersebut terletak tidak jauh dari lahan persawahan dan perkebunan milik penduduk. Desa tempat tinggal dinamakan huta.

1.9 Adat Masyarakat Angkola

Acara perkawinan etnis Angkola, sistem kekerabatan yang terbentuk dalam struktur Dalihan Na Tolu sangat penting kedudukannya dan berperan dalam upacara mangupa.

Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Na Tolu itu masing-masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah anggota kerabat satu marga. Anak boru adalah anggota kerabat yang berstatus sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat yang berstatus sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan perkawinan. Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai kahanggi terdapat hubungan konsaguinial atau hubungan darah.


(24)

Prinsipnya, adat yang merupakan kaidah atau norma-norma, menata dan memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup bermasyarakat.

Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup bermasyarakat. Kekuatan penggerak dalam mekanisme adat yang berupa sistem sosial Dalihan Na Tolu itu, adalah tiga komponen fungsionalnya yang terdiri dari

mora, kahanggi, dan anak boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu

sama lainnya terikat oleh hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga komponen fungsional dari sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat Angkola-Hutapadang (Sipirok) sebagai suatu Dlihan (tungku) penumpu yang terdiri dari tolu (tiga) unsur fungsional, yakni mora, kahanggi dan anak boru.

1.10 Sistem Kekerabatan

Pelaksanaan upacara adat mangupa, berkaitan erat dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Angkola-Sipirok. Oleh karena itu perlu diuraikan beberapa hal penting mengenai sistem kekerabatan masyarakat Angkola. dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola-Sipirok menganut garis keturunan patrilineal (garis keturunan dari pihak ayah). Berdasarkan garis keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Angkola membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut marga sebagai gabungan dari orang-orang yang merupakan keturunan dari seseorang-orang kakek bersama. Oleh karena itu di dalam masyarakat Angkola terdapat sejumlah marga yang masing-masing mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Harahap, marga Pane, marga Ritonga, dan lain-lain.


(25)

Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan.

Melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan

anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis

dalam perkawinan berstatus sebagai mora dan orang-orang yang berada dalam pihak penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat memperoleh status kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru. Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama lain berlain-lainan. Hak dan kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh status kekerabatan itu dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.

Hubungan ini ungkapan yang berbunyi:

Somba Marmora elek maranak boru, manat markahanggi” yang artinya

“Hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap cermat terhadap kahanggi”. Ungkapan tersebut dengan jelas mengungkapkan bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga punya hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang mempunyai status sebagai kahanggi.

Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mempunyai sistem istilah kekerabatannya yang disebut tutur. Sistem istilah itu menentukan


(26)

dan mengatur panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para kerabatnya sesuai dengan status kekerabatannya masing-masing. Dua orang laki-laki yang masing-masing punya status kekerabatan kahanggi misalnya menggunakan panggilan angkang (abang) dan anggi (adik). Dalam hal ini yang usianya lebih tua menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang terhadap yang berusia lebih tua.

1.11 Sistem Organisasi Sosial

Masyarakat Sipirok (Hutapadang) menganut sistem perkawinan exogami. Marga yang menetukan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara orang-orang yang berlainan marga. Perkawinan dilakukan dengan adat manjujur. Artinya dalam pelaksanaan perkawinan calon pengantin laki-laki diwajibkan memberikan mas kawin yang disebut tuhor kepada pihak calon istrinya. Di samping itu, calon pengantin laki-laki harus menjemput calon istrinya untuk dibawa kerumah orang tuanya. Upacara persemian perkawinan secara adat yang disebut horja haroan boru yang diselenggarakan dirumah orang tua pengantin laki-laki.

Upacara adat untuk meresmikan perkawinan hanya boleh dilakukan setelah lebih dahulu mendapat persetujuan dari tokoh-tokoh pimpinan tradisional setempat itu dinamakan harajaon dan hatobangon.

Waktu sistem pemerintahan tradisional masih berlaku dalam wilayah Angkola Hutapadang (setelah masa kemerdekaan tidak berlaku lagi), masing-masing komunitas desa yang disebut huta di wilayah tersebut dikepalai oleh seorang raja berpangkat Raja Pamusuk.


(27)

Pemerintahan dijalankan secara demokrasi oleh Raja Pamusuk bersama-sama dengan sejumlah tokoh pemimpin masyarakat. Kependudukan mereka yang melembaga sebagai pimpinan, Raja Pamusuk disebut sebagai harajaon (yang dirajakan) dan tokoh-tokoh pemimpin atau pemuka masyarakat yang ikut yang menjalankan pemerintahan bersama raja disebut sebagai hatobangon (tokoh-tokoh yang dituakan).

Selain raja yang berpangkat sebagi Raja Pamusuk. Di wilayah Angkola dahulu terdapat pula raja-raja yang berpangkat Raja Panusunan Bulung yang berkedudukan didesa induk ialah desa asal dari penduduk yang kemudian pergi membuka desa-desa lain yang berstatus sebagai anak dari desa induk. Dalam pelaksanaan pemerintahan, antara suatu desa induk dengan desa-desa yang berstatus sebagai anaknya tidak terdapat hubungan struktural. Karena masing-masing desa anak menjalankan pemerintahan secara otonom, tetapi dalam hal urusan adat, misalnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat, desa-desa anak tetap terikat secara struktural dengan desa induk masing-masing. Hal ini

Raja Panusunan Bulung memegang wewenang tertinggi untuk mengesahkan

keputusan musyawarah adat yang harus dilakukan untuk setiap penyelenggaraan upacara adat, seperti upacara adat perkawinan dan kematian.

Masa sekarang, setelah sistem pemerintahan tradisional dihapuskan, eksistensi Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, dan Hatobangon hanya berlaku dalam konteks penyelenggaraan upacara adat. Demikian juga wewenang, hak dan kewajiban mereka yang tradisional. Dalam urusan pemerintahan mereka tidak lagi punya hak dan wewenang sama sekali.


(28)

Karena hingga kini hak dan wewenang para pemimpin tradisional itu dalam urusan adat masih tetap berlaku dan diakui oleh masyarakat, maka tokoh-tokoh Harajaon Panusunan Bulung harus diikutsertakan dalam setiap musyawarah adat yang dilakukan dalam konteks penyelenggaraan upacara adat, seperti upacara mangupa. Seperti upacara mangupa. Merekalah yang memegang wewenang sepenuhnya untuk mengesahkan berlakunya semua hasil mufakat yang dibuat melalui musyawarah itu. Demikian, masyarakat Angkola yang ada di Hutapadang (Sipirok) tidak dapat menyelenggarakan upacara adat tanpa persetujuan dan pengesahan dari harajaon, hatobangon, dan panusunan bulung. Begitulah keadaannya yang berlaku dalam masyarakat Angola-Hutapadang sampai saat ini.

Prosedur Mengambil keputusan :

1. Suhut Sihabolonan/Sepangkalan : Penyampai niat dan hajat

2. Ompu Nikotuk (khusus Angkola) : Menyimpulkan.

3. Hatobangon Nihuta : Penjawab/Penjelasan

4. Raja Nihuta : Penjawab/Penjelasan

5. Raja Adat yang Semarga : Penjawab/ seadat/penjelasan

6. Raja adat dari daerah na humaliang humaloho : penjawab/memberi

pendapat.

7. Raja-Raja Torbing Balok : Penjawab/memberi pendapat.

8. Orang Kaya/Goruk-goruk Hapinis : Penyusun apa-apa yang akan

dilaksanakan.

9. Raja Pangondian( khusus Angkola) : Menyimpulkan pendapat

Raja-raja Torbing Balok.

10.Raja Panusunan Bulung : Menutup/mengucapkan Horas 3 kali (Sutan

Managor, 1995: 21)

1.12 Sistem Religi

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk


(29)

menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal darireligio dan berakar padare-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepad

Masa sekarang umumnya orang-orang Angkola menganut agama Islam, dan hanya sedikit yang menganut agama Kristen (protestan). Tetapi nenek moyang mereka pada zaman dahulu (sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Angkola-sipirok) menganut religi tradisional yang dikenal sebagai pele begu (pemujaan roh-roh nenek moyang). Ajaran religi tersebut mengakui adanya berbagai macam mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka, atas diri manusia. Selain itu ada juga mahluk halus dan kekuatan gaib yang dapat memberi kekuatan memberikan kebaikan gaib bagi manusia.

Pengaruh masuknya agama Islam dan agama Kristen ke wilayah Angkola maka lama-kelamaan penduduk di wilayah tersebut meninggalkan Religi

pele-begu. Karena kedua agama tersebut memberantas dengan keras sistem religi

tradisional yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam dan Kristen. Namun demikian, sebagian dari upacara yang berasal dari masa berlakunya pemujaan terhadap roh nenek moyang masih tersisa penyelenggaraannya disesuaikan dengan keadaan yang tidak dilarang oleh agama yang dianut oleh orang-orang Angkola pada masa sekarang.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka yang Relevan

Kepustakaan yang relevan atau sering juga disebut tinjauan pustaka ialah salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang informasi/data yang ingin kita teliti. Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, dan pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari). Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, primbon (Alwi dkk, 2003 :912).

Memudahkan referensi pendukung, teori dan konsep yang berhubungan dengan tulisan ini, yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan pedoman penulis terlebih dahulu melakukan tinjauan kepustakaan yang berguna untuk memudahkan penulis dalam mencari data-data tambahan yang berhubungan dengan judul yakni : Tinjauan Pragmatik pada Upacara Mangupa Masyarakat Tapanuli Selatan oleh Asrul Siregar. didalam buku tersebut dikatakan bahwa dalam upacara Mangupa, hal yang paling sering disebut-sebut adalah tondi. Tondi adalah kekuatan, tenaga, semangat jiwa (soul force) yang memelihara ketegaran rohani dan jasmani agar tetap seimbang dan kukuh, keras dan menjaga harmoni kehidupan setiap individu (Harahap, 1991 :226). Tenaga spiritual yang gaib itu dapat dipancarkan kepada orang lain dalam arti mengayomi dan membahagiakan orang lain. Tondi merupakan roh yang berdiri sendiri. dalam keadaan tidak sadar, tondi seseorang berada di luar badan dan jiwanya. Ketika seseorang sedang tidur, misalnya tondi dapat mengembara sesukanya dan bahkan mungkin juga bertemu dan bergabung dengan begu ‘roh jahat’. Pengalaman tondi yang mengembara ketika seseorang sedang tidur nyenyak adalah mimpi bagi orang itu. Mimpi dapat


(31)

ditafsirkan maknanya. Itulah sebabnya bila seseorang akan melakukan suatu perbuatan yang sangat penting, dia meminta agar tondi-nya pergi berkonsultasi dengan roh-roh leluhur untuk mendapatkan petunjuk apakah pekerjaan yang akan ia lakukan pantas untuk dilakukan. Misalnya dengan membaca mantra, menyediakan ramuan tertentu. jika tondi meninggalkan badan, maka orang itu akan sakit, begitu juga bila meninggal dunia, tondi-nya pun akan meninggalkan badannya berubah menjadi tondi ni na mate ‘tondi orang mati’ yang disebut sahala atau simangot atau roh leluhur. dalam keadaan ketakutan yang mendadak,

tondi dapat juga meninggalkan badan. Misalnya, seseorang diserang dengan

mencacungkan parang ke wajahnya. Orang itu langsung terperanjat.

Agar tondi tetap tenang, kuat dan tegar senantiasa di dalam badan, maka di adakanlah berbagai macam upacara mangupa. Upacara mangupa dimaksudkan untuk mengembalikan tondi ke badan atau agar tondi yang ada di badan tetap kuat dan tegar. Latar belakang pelaksanaan mangupa dapat terjadi karena seseorang lolos dari mara bahaya atau rasa syukur atas keberuntungan. Bila seseorang lolos dari mara bahaya atau baik dari sakit, upacara mangupa disebut mangupa mulak

tondi tu badan, sedangkan mangupa karena keberuntungan dilakukan karena

keberuntungan itu sendiri mengandung mara bahaya juga. Selain itu penulis juga menambahkan referensi yang ditulis oleh Parlaungan Ritonga “ Makna Simbolik dalam Upacara Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan”. Pengertian mangupa ialah mempersembahkan dengan cara tertentu sesuatu yang disebut upa-upa kepada orang atau orang-orang tertentu melalui suatu upacara dengan tujuan agar orang atau orang-orang yang dipersembahi upa-upa itu memperoleh berbagai keselamatan.


(32)

Selain buku-buku penulis juga menambahkan referensi dari internet. ada banyak makna yang terkandung dalam mangupa selain fungsi paulak tondi tu

badan (memanggil tondi ke badan), upacara mangupa juga memiliki fungsi

nasehat, doa dan harapan.

2.2 Teori Yang Digunakan 2.2.1 Teori Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti“tanda”. Perkembangan semiotika modern, muncul dua ahli yang menjadi pelopor, yaitu

Ferdinand de Sauusure dan Charles Sanders Pierce.

Menurut Ferdinand de Saussure semiotika adalah cabang ilmu tanda. Ferdinand de Saussure mengembangkan dasar-dasar teori lingusitik umum dan mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda, masing-masing terdiri atas dua sisi, yaitu signifian (penanda atau sesuatu yang dapat dipersepsi sebagai tanda)

dan signifie (petanda atau isi atau makna tanda itu).

Pierce (dalam Zoest, 1992: 1)

“Mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Pierce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Pierce memusatkan pada fungsinya tanda pada umumnya”.

Lebih jelasnya untuk mempermudah mengkaji sebuah tanda yang ada didalam masyarakat Pierce ( dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan


(33)

acuannya berupa hubungan kemiripan. Misalnya, sebuah peta geografis dengan sebuah potret. Indeks adalah hubungan tanda dengan acuannya karena adanya hubungan sebab akibat. Misalnya, asap berarti api karena api umumnya penyebab asap. Simbol adalah hubungan antara tanda dan konsepnya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, anggukan kepala yang menandakan persetujuan dan tanda kebahasaan.

Dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Pierce memandang semiotika sebagai tanda pada umumnya dan segala sesuatu bisa menjadi tanda. Saussure juga memandang semiotika sebagai sistem tanda yang utama.

Sesuai dengan hipotesis bahwa semiotika meengkaji semua proses kebudayaan sebagai proses komunikasi serta merupakan suatu studi yang mempelajari tentang tanda dan lambang yang mempunyai makna sesuai dengan pemahaman si pengirim dan si penerima.

Penelitian ini lebih menitikberatkan kepada semiotika komunikasi. Ferdinand de Saussure berpendapat semiotika komunikasi adalah tanda sebagai bagian dari proses komunikasi. Artinya, dikatakan tanda adalah apabila seorang pengirim menyampaikan sesuatu maksud dengan menggunakan kode atau benda kepada penerima dan penerima mengerti apa yang disampaikan oleh pengirim. Oleh karena itu, setiap tanda memberi makna atau informasi apa saja yang terkandung di dalamnya.

2.2.2 Teori Makna

Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu

signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’.


(34)

disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna.

Makna merupakan hubungan antara penanda-penanda dan objeknya.Makna sangat berperan dalam suatu tanda karena suatu tanda mengandung makna dan informasi.

2.2.3 Teori Fungsi

Fungsi menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1991 :19) ada tiga yaitu : 1. Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin

angan-angan kolektif.

2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

3. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Menurut Koentjaraningrat (dalam Danandjaja, 1991:76) mengatakan: “Fungsi yang paling menonjol dalah sebagai penebal emosi keagamann dan kepercayaan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya mahluk-mahluk gaib yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya dan yang berasal dari jiwa orang mati, atau manusia yakin adanya dengan gejala-gejala yang tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akalnya, atau manusia percaya akan adanya suatu kekuatan sakti dalam alam, atau manusia mendapat suatu firman dari Tuhan, atau semua sebab tersebut diatas.

Fungsi-fungsi ini berkaitan dengan makna dan tanda yang ada dalam upacara mangupa tersebut. Tanda-tanda ini merupakan suatu bentuk pencerminan angan-angan masyarakat Ankgola. Mereka menciptakan fungsi setiap tanda itu berdasarkan aturan-aturan yang ada pada kebudayaan mereka. Mereka mematuhi adat sesuai dengan ciri khas mereka sendiri dan menjaganya agar dapat diwariskan secara turun temurun.


(35)

Seperti pendapat dari Admansyah(1994:53),

“Adat itu merupakan ketentuan hukum sehingga merupakan norma-norma sesuai dengan ciri khas dari suatu suku atau tiap suku atau bangsa akan memupuknya menurut falsafah daerah atau negerinya masing-masing. Dengan demikian berarti generasi demi generasi akan mewarisinya sebagai pusaka yang diamanahkan oleh para leluhurnya dahulu yang harus diteruskan turun temurun secara sadar dan penuh tanggung jawab”.


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecah masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan objek/subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. (Nanawi 1991 :63). dalam metode deskriptif, penulis akan berusaha mengungkapkan dan memaparkan hasil yang sebenarnya sesuai dengan keadaannya sekarang.

Penelitian deskriptif ini lebih bersifat penemuan fakta-fakta seadanya, penelitian yang tidak sekedar menunjukkan distribusinya, akan tetapi termasuk dalam usaha mengemukakan satu dengan yang lainnya di dalam aspek-aspek yang diselidiki.

Data utama dalam penelitian ini adalah data lisan yaitu berupa informasi tentang makna simbolik tanda-tanda mangupa dalam upacara perkawinan masyarakat Angkola. Metode yang digunakan adalah metode cakap atau percakapan langsung dengan penutur selaku narasumber. Kemudian, metode ini dikembangkan dengan teknik pancing sebagai teknik dasar. Dalam teknik pancing narasumber dipancing berbicara untuk mendapatkan data. Selain itu, teknik cakap semuka peneliti mengarahkan dan mengendalikan pembicaraan sehingga peneliti dapat memperoleh data selengkapnya.

Peranan narasumber sangat menentukan keakuratan data yang diperoleh peneliti. Untuk mendapat hasil yang baik, narasumber tersebut harus benar-benar


(37)

mengetahui kebudayaannya. Pemilihan narasumber didasarkan pada persyaratan-persyaratan berikut:

1. Berjenis kelamin pria dan wanita 2. Lahir dan besar di daerah penelitian. 3. Berusia antara 30-70

4. Memiliki kebanggaan terhadap kebudayaannya

5. Pengetua adat, yang mengetaui dengan jelas tentang seluk-beluk adat-istiadat;

6. Mempunyai ketertarikan didalam penelitian mengenai kebudayaan; dan

7. Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik) dan rohani( tidak gila atau pikun) (Mahsun, 1995: 25)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis adalah Kecamatan Arse Desa Nanggar Jati Huta Padang Kabupaten Tapanuli Selatan.Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini adalah karena mayoritas penduduknya adalah Batak Angkola dan juga dikarenakan masyarakatnya masih melaksanakan upacara mangupa tersebut.

3.3 Sumber Data Penelitian

Adapun sumber data penulisan ini adalah :

a. Pengetua adat dan masyarakat setempat yang dijadikan penulis sebagai informan dalam melakukan penelitian langsung kelapangan dan bertanya langsung kepada pengetua adat dan masyarakat setempat agar penelitian yang didapat lebih konkret dan bisa dipertanggung jawabkan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman masyarakat Angkola yang ada di Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.

b. Penelitian kepustakaan dengan cara mencari sumber data dari buku-buku yang sesuai dengan judul skripsi ini. Hal yang akan dilakukan agar penelitian yang dilakukan berhubungan dengan buku-buku yang


(38)

digunakan penulis sebagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini sehingga penelitian ini lebih mudah dilakukan dan pengerjaan skripsi ini menjadi lebih mudah.

3.4 Instrumen Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara dengan beberapa informan yang tinggal di desa tersebut. dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrument penelitian berupa daftar yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan. Alat bantu yang digunakan yaitu:

1. Alat rekam (tape recorder) 2. Kamera digital

3. Pulpen 4. Buku tulis.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data lapangan antara lain : 1. Metode observasi yaitu penulis langsung kelapangan melakukan

pengamatan terhadap objek penelitian.

2. Metode wawancara (Depth interview) digunakan untuk memperoleh informasi tentang upacara mangupa kepada tokoh-tokoh adat yang ada di Kecamatan Sipirok. Wawancara ini juga akan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan dan disusun terlebih dahulu.

3. Metode Kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data melalui buku-buku yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian tersebut. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan sumber acuan penelitian, agar


(39)

data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan yang digariskan. Dalam metode ini penulis mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar. dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Metode atau cara mengelola data mentah sehingga menjadi data yang akurat dan ilmiah dipakai dengan metode struktural.

Adapun langkah-langkah metode analisis data ini adalah sebagai berikut :

a. Menerjemahkan data yang di peroleh dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia.

b. Data diklasifikasikan sesuai dengan objek pengkajian.

c. Menganalisis makna dan fungsi mangupa pada upacara perkawinan masyarakat Angkola/Sipirok.


(40)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1Upacara Mangupa

Hidup bermasyarakat agar dapat memperoleh kehidupan yang bahagia, haruslah dipelajari melalui relung-relung hati yang dalam dan dengan pemikiran yang dalam dan toleran pula. Menurut adat, kebaikan itu diperoleh dan ditemui dalam lubuk hati yang dalam yang disebut dengan holong. Holong berarti cinta dan kasih sayang dalam antar sesama. Holong ini timbullah domu yang membentuk persatuan dan kesatuan yang menjadi sumber kekuatan.

Holong dan domu inilah yang menjadi paradigma atau tolak ukur,

sekaligus menjadi sumber dari segala sebagai landasan dari masyarakat adat.

Holong dan domu ini melahirkan petunjuk (pegangan) hidup dan cita-cita

masyarakat adat. Petunjuk hidup dan cita-cita ini terdiri dari butir-butir yang disebut patik-patik ni paradaton yang harus didalami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh anggota masyarakat adat. Petunjuk hidup dan cita-cita itu akan memberi pedoman yang bernilai paradigmatik bagi masyarakat adat untuk mencapai ketentraman dan kebahagiaan.

Salah satu petunjuk dan cita-cita yang berupa pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan itu adalah mangupa.

Mangupa adalah merupakan upacara adat yang penting dalam masyarakat

adat. Sasaran dari pangupa adalah tondi. Pada masyarakat Karo disebut tendi. Apabila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang itu kehilangan semangat hidup, wajahnya pucat tidak berwibawa, bahkan ada yang sakit. Demikian juga apabila seseorang dalam keadaan ketakutan yang sangat, misalnya


(41)

nyaris dibunuh perampok, tondi nya juga dapat meninggalkan badan. Ini yang disebut dengan habang tondi atau tarkalimun-mun, atau hilang semangat.

Kadar dari tondi ini untuk setiap orang tidak sama. Apabila kadar tondi nya tinggi, seseorang akan dapat mengatasi tantangan yang dihadapi. Ada yang tegar (solid) dan ada yang rawan dan rentan (labil).

Mangupa dilakukan dengan maksud agar orang tetap bersemangat tidak

selalu diliputi oleh rasa was-was dan ketakukan, maka tondi nya harus kuat dan bersemangat. Itulah sebabnya orang yang lepas dari marabahaya agar jangan selalu ketakutan (trauma) dan was-was perlu diadakan upacara mangupa agar

tondi nya kembali kuat dan hidupnya kembali bersemangat (mulak tondi tu badan,

semangat kembali kedalam jasmani). Selain itu mangupa juga bertujuan untuk pernyataan syukur karena lepas dari marabahaya, demikian pula untuk rasa syukur karena keberuntungan. rasa syukur ini merupakan paradigma religius, bagi insan yang berketuhanan dan beriman.

Orang yang mendapat keberuntungan juga perlu di upa menurut adat, karena keberuntungan juga akan mendapat tantangan berupa godaan, pujian, sanjungan dan ancaman. Bahkan orang yang mendapat keberuntungan sering memperoleh penyakit-penyakit hati, seperti ria, sombong, kikir dan sebagainya. Untuk itu masyarakat adat mengantisipasinya dengan memberikan pasu-pasu dari pangupa.

Apabila tondi bersemanyam dengan nyaman dan kuat di dalam badan, maka orang itu akan mempunyai tenaga spiritual yang kuat yang dapat dipancarkan pada orang lain.


(42)

Semakin kuat tondi bersemayam di dalam badan, maka semakin kuat pula pancaran spiritual sehingga tua (sahala) seseorang semakin tinggi. Apabila seseorang martua-marsahala, maka ia akan mempunyai kekuatan karismatis dan berwibawa. Raja yang mempunyai kekuatan karismatis akan sangat berwibawa dan sangat dipatuhi pula oleh rakyatnya, demikian juga mora yang mampu mengayomi anak boru nya tersebut. Seseorang kakek atau nenek akan sangat dihormati sebagai idola dan teladan oleh keturunannya apabila ia seorang yang sangat berwibawa dan dihormati oleh orang lain.

Itulah sebabnya upacara pemberian ulos dihubungkan dengan pemberian

sahala kepada yang di ulosinya yang berwujud pengayoman dari yang mangulosi.

Menurut prinsip adat mangulosi, yang memberi ulos atau mangulosi, ialah tokoh atau figur yang lebih tinggi harkadnya, misalnya karena lebih tua atau lebih besar kekuasaannya atau lebih bermartabat, lebih berilmu, kepada orang yang relatif lebih rendah kedudukannya.

4.2Pengertian Mangupa

Upacara mangupa atau upah-upah merupakan salah satu adat yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Upacara Mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi kebadan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat dan murah rezeki dalam kehidupan. Upaya memanggil

tondi ke badan dilakukan dengan cara menghidangkan seperangkat bahan

(perangkat pangupa) dan nasehat pangupa (hata pangupa atau hata upah-upah) yang disusun secara sistematis dan dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orang tua, raja-raja, dan pihak-pihak adat lainnya. Pangupa adalah alat atau sarana


(43)

yang dibaca pada waktu upacara mangupa. Perkataan lain, pangupa adalah buku bacaan yang berisi petunjuk dan pesan agar selamat dalam menempuh kehidupan. Menurut tradisi masyarakat Angkola, yang mempersembahkan upa-upa ialah sejumlah anggota kerabat dari orang yang dipersembahi upa-upa itu bersama dengan tokoh-tokoh pimpinan tradisional setempat. Mereka mempersembahkan

upa-upa dengan mengucap pidato adat. Upacara untuk mempersembahkan

upa-upa ada yang diselenggarakan sebagai bagian dari upacara perkawinan dan ada pula yang diselenggarakan secara berdiri sendiri. Hubungan ini, yang dijadikan sebagai objek penelitian ialah mangupa dalam konteks upacara perkawinan yang diselenggarakan menurut tradisi Angkola.

Yang disebut sebagai upa-upa ialah beberapa jenis bahan makanan tertentu yang sudah dimasak yang diletakkan diatas wadah yang khusus. Masing-masing bahan makanan yang bersangkutan dan wadahnya berfungsi untuk melambangkan berbagai makna dan harapan dari orang-orang yang mempersembahkannya. Selain itu, upa-upa merupakan benda-benda atau perlengkapan upacara. Keadaannya yang terintegrasi sebagai satu kesatuan perlengkapan upacara, upa-upa biasa disebut sebagai pangupa.

4.3 Komponen Upacara Mangupa a. Tempat Upacara

Mangupa patobang anak atau haroan boru dilaksanakan sebelum tengah

hari di rumah atau tempat pelaksanaan acara adat pernikahan (horja).

Waktu dipergunakan sebagai tempat upacara, dinding ruang depan rumah, pada posisi yang disebut juluan dimana kedua pengantin dimana kedau penganti disandingkan, ditutup dengan kain hias yang disebut tabir. Bagian atas dari


(44)

ruangan itu pada posisi yang sama ditutup pula dengan kain hiasan yang disebut langit-langit. Sebahagian lantai ruangan biasanya dilapisi dengan ambal (permadani) dan tikar pandan. Untuk tempat duduk tokoh-tokoh harajaon,

hatobangon, dan Raja Panusunan Bulung disediakan tikar adat yang dinamakan

lage lapisan atau amak lapisan yang terbuat dari anyaman daun pandan. Tempat

duduk kedua pengantin juga dilapisi dengan tikar adat yang sama. Tikar adat itu ada yang berlapis tiga dan ada pula yang berlapis lima. Tikar yang terbanyak lapisannya disediakan untuk tempat duduk tokoh-tokoh yang paling tinggi kedudukannya menurut ketentuan adat, seperti RajaPanusunan Bulung.

b. Pemimpin dan Peserta

Upacara mangupa Haroan Boru biasanya dipimpin langsung oleh Raja

Panusunan Bulung, yaitu seseorang yang diangkat sebagai pemimpin adat

dilingkungan yang sedang mengadakan horja. Raja Panusunan Bulung memegang tampuk adat dalam upacara adat dalam upacara adat (Marakub,1969) dan merupakan Raja adat yang dianggap ahli tentang adat-istiadat (Diapari, 1990).

Raja Panusunan Bulung bertindak sebagai pemimpin yang merangkum

semua hata pangupa dan membacakan Surat Tumbago Holing. Surat Tumbago

Holing adalah ayat-ayat atau kalimat-kalimat yang berisi ajaran tentang

kebenaran, kebaikan, dan estetika. Raja Panusunan Bulung menerjemahkan semua perangkat pangupa dan esensi dari nasehat, harapan, dan boa dari berbagai pihak yang sudah memberikan hata pangupa berdasarkan nilai-nilai dalam Surat


(45)

Peserta dalam upacara Mangupa Haroan Boru adalah pengantin laki-laki dan perempuan. Selain mempelai, upacara Mangupa Haroan Boru harus memenuhi struktur adat dalam Tapanuli Selatan, yaitu Dalihan Na Tolu. Tanpa kehadiran Dalihan Na Tolu, maka upacara mangupa tidak bisa dilaksanakan karena struktur adat tidak terpenuhi. Ketiga unsur Dalihan Na Tolu itu adalah kahanggi, anak boru, dan mora.

Upacara mangupa sebaiknya juga memenuhi unsur adat lainnya yang mencakup Pisang Rahut, Hatobangon, Raja Pamusuk, Raja Tording Balok, Raja

Panusunan Bulung, dan ulama ( pamuka agama). Pisang Rahut tergolong dalam

kelompok anak boru, yaitu anak boru dari anak boru suhut. Hatobangon adalah wakil-wakil dari tiap marga yang bertempat tinggal dikampung yang mengadakan

horja. Raja Pamusuk dapat disamakan sebagai ketua kampung pelaksanaan

upacara mangupa. Raja Tording Balok adalah Raja-raja yang berasal dari kampung-kampung yang berdekatan dengan kampung yang sedang menyelenggarakan upacara adat.

c. Tujuan

Tujuan dari mangupa adalah memperkuat tondi atau mengembalikan tondi kedalam tubuh agar yang diupa tegar menghadapi tantangan ataupun dapat hidup normal kembali seperti biasa apabila tondinya telah hilang.

Jadi tujuan acara mangupa itu ialah untuk memulihkan semangat yang tadinya seakan-akan melayang atau kelimbungan, ataupun untuk menguatkan kembali semangat (spirit) yang tadinya mengalami kegoncangan (shock of spirit) dengan harapan supaya utuh kembali (solid).


(46)

d. Sasaran dari Pangupa

Perkataan tondi tidak dapat dipisahkan dari perkataan pangupa. Tondi adalah tenaga spiritual yang memelihara ketegaran jasmani dan rohani agar serasi, selaras dan seimbang dalam kehidupan seseorang dalam bermasyarakat.

Menurut Hasibuan: dalam pandangan adat, manusia seutuhnya terdiri dari 3 unsur, yaitu: Badan, Jiwa (roh) dan Tondi. Badan adalah jasad yang kasar, terlihat dan teraba. Jiwa (roh) adalah benda abstrak yang menggerakkan badan kasar tadi. Tondi adalah benda abstrak yang mengisi dan menuntun badan kasar dan jiwa tadi dengan tuah sehingga seseorang kelihatan berwibawa dan punya marwah. (Hasibuan, 1989:25).

Orang gila atau rusak akal dianggap tidak martondi. Badannya sehat, jiwa (roh) nya ada, tapi karena tondi nya tidak ada sebagai penuntun badan kasar dan jiwa tadi, maka dia menjadi manusia yang tidak normal.

e. Hubungan Pangupa dengan Tondi

Badan atau jasad kasar manusia agar tetap kuat memerlukan makanan yang baik dan mengandung vitamin. Bahan-bahan yang disajikan dalam pangupa itulah seperti daging, ikan, sayur, telur dan sebagainya, makanan dari jasad kasar atau badan manusia. Selesai mangupa yang diupa diberi makan, agar jasmaninya tetap kuat.

Makanan dari tondi adalah pasu-pasu dari pangupa, yaitu kata-kata yang berwujud doa, harapan, nasehat dan pedoman hidup yang disampaikan oleh pembaca pangupa (penafsir makna komponen makanan pangupa itu secara rinci).

4.4 Bahan-bahan Pangupa 4.4.1 Tingkatan dan Isi Pangupa


(47)

Ada macam-macam tingkatan pangupa, yaitu :

a. Telur ayam (pira manuk). Pangupa yang paling sederhana. Pangupa ini terdiri dari: telur ayam dan nasi, garam, udang, ikan, sayur daun ubi dan air putih ( untuk diminum). Yang hadir biasanya hanya yang satu rumah, kalau ada orang luar kemungkinan adalah orang yang membawa

upa-upa. Nasi dan perlengkapannya (telur dan garam) diletakkan diatas piring

adat (pinggan godang). Ayam (pangupa manuk). Ayam yang akan disajikan dipanggang (digulai) tanpa dipotong-potong atau jika dipotong sesuai dengan dengan tulanannya (ditulani), yaitu dada 2 potong, sayap 2 potong, kaki 2 potong, tulang belakang 2 potong, kepala, kemudian berikut isi perut (rempala, hati). 3 butir telur yang direbus, ikan garing (anak ikan mera), nasi putih dan garam. Semuanya dimasak (siap makan). Ditaruh di pinggan godang, sebagai dasar nasi, kemudian sebelah depan 3 telur dibariskan disampingnya garam, ayam diatur di tengah ikan disamping kiri kanan ditutup dengan bulung ujung dan kemudian kain adat. Yang hadir anggota keluarga dan kaum kerabat lainnya.

b. Kambing (pangupa hambeng). Dengan pangupa hambeng, biasanya acara mangupa ini dilakukan pada acara yang benar-benar merupakan acara resmi. Pada acara ini secara resmi potong kambing yang bagian-bagian kambing yang dijadikan bahan pangupa.

Bagian-bagian kambing yang dijadikan pangupa adalah kepala kambing, kaki depan kanan, kaki kiri belakang, ekor, sedikit dagingnya, dan hati, jantung dan perut lainnya dan dilengkapi dengan bahan-bahan lainnya


(48)

sebagaimana telah disebut pada pangupa ayam. Piringnya tentu disediakan piring pangupa yang lebih besar. Yang hadir tentunya lebih lengkap dan ditambah dengan namora natoras serta raja pamusuk. c. Kerbau (pangupa horbo).

Pangupa horbo adalah pangupa yang paling tinggi yang biasanya

merupakan pangupa yang dilakukan pada acara-acara yang diadakan raja-raja dan turunannya. Pada acara tersebut khusus dipotong yang bagian-bagiannya yang tertentu dipergunakan untuk pangupa, sebagian lagi untuk diberikan kepada tamu raja-raja adat yang ikut pada acara

mangkobar adat dalam keadaan mentah. Sisanya dimasak untuk

disajikan pada tamu-tamu yang datang.

Bahan-bahan yang disediakan untuk pangupa horbo/hambeng sama dengan yang di atas, yaitu :

1. Nasi putih.

Makna : Tanda keikhlasan hati dalam hati dalam segala hal. Untuk sampai di atas piring, nasi memerlukan proses panjang dan kerja keras. Dimulai dengan melihat bulan yang baik untuk menabur bibit, mencangkul, menanam, menyiangi sampai kepada panen, menumbuk padi menjadi beras menjadi nasi. Warna melambangkan keikhlasan.

Fungsi : Sebagai lambang dalam upacara mangupa juga sebagai lambang Perencanaan.


(49)

2. Telur ayam

Makna : Agar jiwa dan raga bersatu padu, tetap selamat dan sehat-sehat. Kuning telur bermakna sebagai agar mendapat rezeki yang banyak. Sebaiknya 3 butir telur. Lambang Dalihan Na Tolu kahanggi, anak boru,

dan mora.

Orang Batak mengganggap manusia itu terdiri dari 3 unsur :

Unsur badan kasar yang diraba. Unsur badan halus yang tidak terraba. Unsur inilah yang menggerakkan badan kasar tersebut, dan yang disebut unsur tondi. Yang membuat manusia sehat dan bertuah.

Fungsi : Sebagai lambang permohonan doa Dan kuning telur dilambangkan sebagai emas.

3. Garam

Makna : Garam bermakna sebagai kekuatan. Maksudnya seperti kekuatan garam itulah kekuatan masyarakat keturunannya. Tidak seperti kekuatan besi yang patah pada tekanan tinggi atau hancur lebur dibuat oleh api pada temperatur tinggi.

Seseorang disebut kuat jika kata-katanya didengar orang. Mardai na ni dok nia. Kata-katanya mengenai dihati (dapat diterima).

Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa( pelengkap upa-upa yang mempunyai arti/makna).

4. Air putih

Makna : Air putih melambangkan keikhlasan. Mengerjakan sesuatu haruslah dengan hati yang bersih dan ikhlas.


(50)

5. Ikan

Makna : Ikan yang dipakai untuk pangupa adalah ikan garing yaitu anak ikan jurung yang panjangnya lebih kurang 1 jengkal. Ikan garing ini adalah anak ikan jurung yang menjelang dewasa. Ikan garing hidup di air deras dan selalu menyongsong ke hulu, sanggup melompati air terjun, lincah mencari makan. Kalau sudah besar ikan ini menjadi lamban dan hanya hidup mencari air tenang dan dalam (lubuk). Ikan ini terdiri dari 2 ekor yang melambangkan suami isteri seperti ikan, yang selalu sama-sama ke hulu dan sama-sama ke hilir. Ada kalanya ditambah dengan haporas

dan incor na di durung( ikan-ikan kecil), supaya tetap horas, horas dan

selalu bersama.

Fungsi : Bahan dalam mangupa.

6. Udang

Makna : Udang melambangkan strategi kehidupan. Gerakan maju-mundur merupakan karakter udang. Gerak maju dan maju-mundur, hanya bergantung pada situasi dan kondisi dimana yang paling menguntungkan. Maju satu langkah, mundur 2 langkah untuk mengambil ancang-ancang untuk maju kembali pada saat yang tepat.

Fungsi : Udang berfungsi sebagai bahan dalam upacara mangupa.

7. Daun ubi

Makna : Dun ubi lambang umur panjang dan bermanfaat, karena ubi tidak dapat diukur panjangnya sampai sejauh mana. Sayur matua bulung.


(51)

8. Kepala Kerbau/Kambing

Pangupa yang paling besar adalah kerbau/kambing. Pangupa

kerbau/kambing ini yang dipergunakan adalah kepala kerbau/kambing, hati limpa dan beberapa bagian dari kerbau/kambing yang disebut

gana-ganaan. Pangupa kepala kerbau/kambing ini dihadapkan ke muka

penganten dalam keadaan utuh. Sedangkan bahan yang tujuh di atas tetap dimasak dan disajikan di piring tersendiri bersama ayam (pangupa ayam sebagaimana disebut diatas disajikan sebagai pendamping pangupa kerbau/kambing), yang disebut dengan pangkatiri.

Kepala kerbau/Kambing yang diletakkan secara utuh, menggambarkan :

a) Mata

Makna : apa yang kelihatan dapat dijadikan guru yang baik, apa yang ada didalam hati harus ditelaah (direnungkan).

Fungsi : sebagai mata guru, roha siseon

Sebagai bahan pangupa dan bagian dari kepala kerbau/kambing.

b) Telinga

Makna : Harus cepat menangkap berita duka dan datanglah untuk turut berduka dan kalau ada yang bersuka-ria tunggu dulu diundang baru datang berkunjung.

Fungsi : Sebagai bagian dari bahan upa-upa.

c) Otak

Makna : Pergunakan pikiranmu apabila ingin berbuat sesuatu.


(52)

d) Mulut

Makna dan Lidah : Mulut kamu, adalah harimau kamu. Jagalah mulutmu, jangan asal bicara. Pikirkanlah dan perhatikan baik-baik baru boleh diucapkan.

Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa

e) Hidung

Makna : Hati-hati dan teliti dalam menghadapi segala-galanya dalam kehidupan.

Fungsi : Sebagai simbol perlengkapan mangupa.

f) Kulit

Makna : Cubitlah dirimu, baru cubit orang lain.

Apa yang dirasakan sakit, jangan buat pada orang lain

Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa

g) Hati

Makna : Pertimbangkanlah apa yang dilihat, didengar dan dipikirkan. Segala tindakan harus direnungkan di dalam hati yang dalam.

Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa.

h) Tulang Rincan.

Makna : Tulang rincan ini melambangkan hubungan kekeluargaan yang baik. Dagingnya dibagi-bagi untuk diberikan kepada Raja-raja yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa rezeki yang ada bukan untuk diri sendiri. Rezeki harus dengan ikhlas diberikan kepada sanak family.


(53)

i) Kaki Kerbau

Makna : diumpamakan( kanan depan dan kiri belakang) agar pengantin nantinya cepat kaki ringan tangan, artinya seia sekata, rajin membantu dan mengunjungi orang lain.

Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa.

j) Daun Ria-ria

Makna : Diumpamakan agar yang di upa-upa mendapat kegembiraan.

Fungsi : Sebagai bahan dalam upacara mangupa.

k) Ranting Pohon Beringin

Makna : Rimbun seperti pohon beringin dapat mengayomi. Pohonnya dapat bersandar, daunnya tempat berteduh, banirnya tempat berlindung, akar gantungnya tempat bergantung.

4.4.3 Tempat Pangupa

Kepala kerbau diletakkan di atas induri setelah dialasi dengan bulung ujung 3 helai sebagai perlambang dalihan na tolu. Sedangkan bahan-bahan lainnya yang telah disusun diatas piring besar ( Pinggan Pasu). Induri atau anduri (nyiru-bahasa Indonesia) adalah lambang kemasyarakatan yang melambangkan pembeda yang benar dan salah.

Fungsi induri adalah untuk menampi beras. Induri bisa dipisahkan beras dengan antah yang masih perlu diproses. Juga memisah dedak yang masih perlu diproses. Juga memisah dedak dan ampas yang harus dibuang, yang berarti menganut prinsip sortasi dan seleksi (pilah dan pilih mana yang beras dan mana yang hampa).


(54)

Bagian tengah dari induri adalah bambu yang dianyam berpetak-petak menjadi suatu ikatan yang saling berhubungan, saling berkait dan saling menunjang menjadi satu. Ini menggambarkan manusia yang bersatu dalam ikatan kekurangan yang membentuk suatu masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yang tali-menali satu sama lain.

Anyaman bambu yang bentuknya segi empat itu bagian pinggirnya diikat dengan rotan empat potong, satu potong tiap sisi sehingga membentuk segi empat.

Rotan ini merupakan lambang dari peraturan adat yang tidak boleh dilanggar yang disebut pastak-pastak ni paradaton, yaitu patik, uhum, ugari, dan hapatuhon.

4.4.4 Tata Laksana a. Persiapan

Tahap awal adalah pengaturan posisi duduk setiap hadirin selama upacara

Mangupa berlangsung. (Persadaan Marga Harahap dohot Boruna, 1993)

menjelaskan tempat duduk tiap-tiap para pelaksana upacara mangupa sebagai berikut:

Sebelah kanan duduk bayo pangoli ( pengantin laki-laki) yang didampingi sebelahnya kanannya oleh kahangginya yang ikut ketapian raya bangunan. Disebelah kiri duduk pula boru na dioli (pengantin perempuan) didampingi oleh

anak boru mereka semua di talaga (arah ke pintu masuk) tempat duduk semua

suhut laki-laki dan perempuan, anak boru, pisang raut, harajaon, hatobangon.


(55)

Setelah semua hadir diruangan sidang adat dan duduk sesuai dengan aturan, perangkat pangupa dibawa masuk kedalam ruang sidang adat. Orang kaya yang bertugas sebagai pembawa acara memperdengarkan ungkapan-ungkapan yang berisi harapan-harapan. Bagian selanjutnya memaparkan tata laksana upacara

mangupa mulai dari pembukaan hata pangupa oleh orang kaya sampai kepada

hata pangupa jawaban dari pengantin.

b. Pelaksanaan

Pembukaan oleh Orang Kaya

Perangkat pangupa diletakkan oleh Orang kaya dihadapan kedua pengantin. Disebelah kiri dan kanan perangkat pangupa diletakkan masing-masing satu piring pangupa lain yang isinya adalah ikan dan daging ayam. Satu piring diletakkan dihadapan kelompok kahanggi dan piring yang lain dihadapan anak boru. Orang kaya membuka acara dengan sambutan seperti berikut ini.

Jagit bo tulang burangir on, jagit bo nantulang burangir sirara unduk sibontar adop-adop. Sataon so ra buruk, sabulan so ra malos. “ Sumurdu burangirnami di hamu, di hananaek ni mata ni ari on, anso manaek ma tua, hamamora, hahorasan dohot hagabeon dihamu na niadopkon ni pangupa on. Nadung lolot do on tarniat di andora ni suhut si habolonan. Jadi jadi na palaluhon ma sadarion niat ni roha nadung lolot tarsimpan di bagasan sitamunang ni morangkon. Hara ni godang ni roha I, ni pasu baga-baga on. Jadi onpe patotor hamu ma sanga songon dia na tumbuk mangihutkon partamana di bagasan adat i. laho paboahon sinta-sinta dohot haul ni roha adop Tuhanta Na Uli Basa i. Anso denggan mardalan karejonta on, jana


(56)

anso saut dohot na ni parsinta ni rohanta i. jadi sannari kohe ma tu suhut sihabolanan”.

Artinya:

Terimalah Tulang (mamak pengantin laki-laki) sirih ini, terimalah nantulang (istri mamak, pengantin laki-laki) sirih ini, sirih yang merah bagian belakang dan putih bagian depan. Setahun tidak akan busuk, sebulan tidak akan layu. Kami persembahkan sirih kepada kamu, ketika matahari mulai naik, agar naik pula tuah, derajad, kesehatan dan kejayaan kepada kamu berdua yang sedang disajikan pangupa ini. Sudah lama berniat bagi suhut sihabolanan(orangtua laki-laki) dan kahangginya. Jadi dilaksanakanlah hari niat ini yang sudah lama tersimpan di dalam hati mora saya ini. Karena kami sangat berbahagia, maka dilaksanakanlah upacara yang mengandung harapan ini.

Jadi dalam hal ini sampaikanlah apa yang tepat menurut adat. Kemudian sampaikanlah angan-angan kamu selama ini dan niat dalam hati kepada Tuhan kita, yang Maha Penguasa dan Maha Penyayang itu agar berjalan lancar acara kita ini dan terlaksana apa yang kita inginkan. Sekarang giliran suhut sihabolonan.

Orang kaya kemudian melanjutkan Mangupa dengan mempersilahkan berbagai pihak untuk menyampaikan hata pangupa. Orang kaya harus mendahulukan pihak ibu-ibu menyampaikan hata pangupa. Kelompok ibu-ibu yang menyampaikan

hata pangupa adalah suhut, kahanggi, anak boru dan pisang rahut.

Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan, Kahanggi, Anak Boru, dan Pisang Rahut dari Pihak Ibu-ibu


(57)

Suhut Sihabolonan (tuan rumah yang punya hajat) yang pertama menyampaikan hata pangupa adalah Ibu kandung pengantin laki-laki. Dia menguraikan maksud pertemuan adat ini dan maksud pangupa agar semua yang hadir secara resmi mengetahui. Menyampaikan hata pangupa penuh keharuan dan biasanya sambil menangis karena bahagia.

Kemudian giliran hata pangupa kepada kahanggi, anak boru, dan pisang rahut diberikan kepada kelompok barisan atau kelompok ibu-ibu. Contoh isi hata

pangupa dari kahanggi pihak ibu-ibu biasanya sama dengan isi hata pangupa dari

kahanggi dari suhut (ibu pengantin laki-laki) diatas.

Hata Pangupa dari Suhut Sihabolonan,Kahanggi dan Anak Boru,dan Hatobangon dari Pihak Bapak-bapak

Giliran dari kelompok Bapak-bapak adalah suhut sihabolonan, yaitu tuan rumah, dalam hal ini ayah dari pengantin laki-laki. Setelah itu, orang kaya kemudian akan mempersilahkan kahanggi untuk memberikan hata pangupa dari

suhut. Setelah kahanggi memberikan hata pangupa, kemudian tiba giliran anak

boru dan hatobangon dari pihak bapak-bapak untuk memberikan hata pangupa, yang isinya pada umumnya sama dengan isi hata pangupa dari anak boru pihak ibu-ibu yang telah dipaparkan dibagian sebelumnya.

Hata Pangupa dari Harajaon

Harajaon menyampaikan hata pangupa setelah hatobangon

menyampaikan hata pangupa. Kelompok harajaon ini terdiri dari Raja Tording


(58)

oleh Raja Panusunan Bulung yang akan berbicara dengan tegas untuk menyimpulkan hata pangupa yang telah disampaikan sebelumnya.

Contoh hata pangupa Raja Panusunan Bulung adalah sebagai berikut :

Sattabi sappulu di anak ni raja-raja dohot namora-mora na ro sian jae dohot sian julu jala tarimo kasih disuhut sihabolonan sahat tu pisangrahutna. Dison ma na pasahat dohot na putuluskon baga-baga sitamunang di bagasan roha, anso ulang i songon singotngot dibagasan ipon tungkol dibagasan ngadol.

On ma i arina hape, ari na martua marsahala manurut datu parhala na pasampe sigodang ni roha taradop anak dohot parumaen. Sai marsangap ma hamu jana martua, panjang umur, mura pancarian……

On pe madung imbo di dolok, Sarudung di parsiraisan madung sahata sapangondok, roha pe madung marsijagitan.

On pe horas ma tondi madingin sayur matua bulung, pir tondi matogu on tu ginjang ni ari, botima jolo…..”

Artinya :

“ Sembah sepuluh kali kepada anak Raja dan juga para bangsawan yang berasal dari hilir dan hulu, begitu pula ucapan terima kasih kepada suhut sihabolonan sampai kepada pisang rahutnya. Dalam hal ini, pada saat ini kita adalah melepas hajat dan niat yang sudah lama terpedam dalam hati agar jangan menjadi beban dalam sanubari. ……


(59)

Ini semua kata-kata mufakat nenek moyang kita dahulu, pada hari ini dititipkan ke dalam tubuh kamu berdua.

Ini pun sudah seperti siamang di bukit ikan kecil ditangguk sudah pula semufakat, hati mereka juga saling menerima, ini pun selamat tondi yang sejuk selamat sampai keakhir zaman, kuatlah tondi dari sekarang sampai masa yang akan datang. Sekian…”

Orang kaya bertindak sebagai pembawa acara kemudian akan mempersilahkan seorang harajaon (pemuka adat) yang mahir membaca tamsil perangkat pangupa. Pemuka adat ini bertugas menyampaikan makna pangupa yang dimisalkan surat tumbaga holing. Pada tahap ini, upacara mangupa memasuki esensi dari doa yang sesungguhnya, yaitu memanggil tondi kebadan melalui pemaknaan mendalam terhadap hidangan pangupa dan doa atau mantera tertentu yang biasanya sudah baku. Salah satu proses pemanggilan tondi kebadan melalui pembacaan surat tumbaga holing perangkat pangupa bisa dibaca dari seperti berikut.

Antong hamu amang bope hamu inang, baen madung dipasu-pasu hatobangon dohot harajaon hamu, marbanjar mada tondimu mangadopi pangupa simangadang tua na godang on jane bage bage ma tondimu disise pangupa on.

Baen madung diungkap pangupa na nitutup ni abit hagodangan i, abit sijugat-jagit na nitonun manghuntak-tak nianikkon manguntek-tek, tapangido ma di Tuhanta Naulibasa i mungkap ma hamomora, hatotorkis ana hadidingin di hamu.


(60)

Tarparayak dijolomu pira ni manuk na ni hobolan na nilompa ni orang tua, dia ma i na nidokna, sai gomgom marsinggomgoman ma tondimu nadua sampai hamu matua. Dibaen do i tolubangkiang, na gorsing dibagasan na bontar dibalian, na paboahon mada on sahata saoloan do dalihan na tolu laho pasahatkon pangupa on tu hamu. Sai di jagit tondi dohot badanmu ma sinta-sinta dohot pangidoan ni rohanami on.

Ditonga ni pira manuk na nihobolan i dibaen do i sira na ancim pandaian, dia ma i na nidokna, sai mura ma rasoki dohot pancarian. Duri pangkat ma i tu duri ni hotang

Tudia hamu mangalakka sai dapot-dapotan Nisuak barse-barse di toru lambak pining

Marringgit maruse-use marmanuk habang ding-ding

Tibal muse do diisi ihan sayur, sai sayur matua bulung ma hamu na diadopkon pangupa on. Laing ihan sahat mada i anso sahat mamora jana magabe, lain ihan simundur-undur do ina mangundurkon anak mangundurkon boru laho mangingani bagas na martua on.

Taratak tarhidang muse do dison horbo simarang tua, namamolus ombun manyap, dompak menek maroban tua dung godang maroban sangap.

Ia horbo on nioban sian laut padang bolak, Na manjampal di padang na lomak,

Marsobur disosopan na so marlinta, Di galanggang na so marrongit,


(61)

Dibaen on sannari gabe upa-upa ni tondi, upa-upa badanmu nadua. Dipatibal do tulan rincan sian siamun,

Tulan rincan sian siambirang,

Na sian siamun bagian ni suhut sihabolonan, Sian siambirang bagian ni anak bor.

Songon i huling-kuling dohot bobak na nisale,

Malo-malo hamu mangkuling harana tua ni halak do na marobah dame.

Horbo saeto tanduk boti mangasa gogo,

Malo hamu marbisuk songon i marpangalaho,

Dison dua mata na tiur panili marnida borngin dohot arian. Tutur hamu marpangarohai, rama markoum malo mardongan. Songon i dila ni horbo, anso malo-malo hamu martutur poda.

Mangalehen hata na denggan tu halak na bahat, songon i pinggol ni horbo anso tangi-tangi di siluluton inte di siriaon.

Sudena on payak di ginjang ni indahan, ima indahan sibonang manita, nada dope dipangan madung binoto daina, tanda godang ni roha ama-ina diparjolianmuyu on. Indahan na nidippu mada i, na marsintahon anso dippu hamomora di hamu na niadopkon pangupa on, laing on mai indahan ribu-ribu anso hombang ratus hombang ribu pancarian dohot pancamotan.

Ia pangupa on payak di ginjang ni ujung bulung, sai ibo rohana ni Tuhanta sai marujung tu nadenggan ma sude na hita parsintahon di karejonta sadarion.


(1)

5.2 SARAN

Setelah mengadakan penelitian Makna dan Fungsi Mangupa pada Upacara Perkawinan Masyarakat Angkola Sipirok, penulis mencoba untuk memberi saran kepada pembaca untuk terus melakukan penelitian budaya Batak lainnya karena masih banyak budaya-budaya dari batak yang belum diangkat menjadi karya tulis, agar kita dapat mempertahankan budaya dan adat-istiadat Batak sehingga budaya Batak tidak punah karena perkembangan zaman.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Antoni, Freddy, Susanto,SH.,MH 2005 . Semiotika Hukum. Bandung: PT Refika Aditama.

Agus Sachari, 2005. Komunikasi visual. Suatu Kajian Semiotika

Arikunto, Suharsini. 1987. Prosedur Pnelitian: Suatu pendekatan praktek. Jakarta :Rineka Cipta. Negeri. Yogyakarta.

Kurniawan, 2001. Semiologi Roland Barthe. Magelang : Yayasan Indonesiatera. Lanny, skripsi(2001): Ornamen Rumah Adat Melayu Deli

Lenny, skripsi (2003): Tanda-tanda dalam Upacara Perkawinan Batak Toba. Morris, C,W,1946 :Zeichen, Sprache und Verhalten (Amerika 1946). Terj. Jerman Dusseldorf, 1973.

Nanawi Hadari. 1991. Metode Penelitian.Jakarta : Balai Pustaka.

Narbuko, Cholid 1997. Metodologi Penelitian.Jakarta : Gramedia. Pierce, 1978 Nasution, Pandapotan.2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman. Pemkab Tapanuli Selatan. Upacara Mangupa Haroan Boru Patobang Anak:

nasehat Sakral Bagi Pasangan Pernikahan di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

14 Februari

Reyking, skripsi (2009) : Gorga Sopo Godang Pada Masyarakat Batak Toba Ritonga Parlaungan 1997. Makna Simbolik Dalam Upacara Mangupa


(3)

Sudaryanto. 1982. Metode Penelitian. Jakarta. Gratina

.Sujidman 1983, Panuti, Pierce 1993 dan Art Van Zoest.1978. Serba-serbi

Semiotika. jakarta : Gramedia.

Sutan Managor, 1995. Pastak-pastak ni Paradaton. Medan: CV Media. Usu.ac.id. Gambaran Umum Daerah Tapanuli Selatan (22 Februari 2014).


(4)

Lampiran 1

DAFTAR INFORMAN

N

ama : P. Harahap Umur : 54 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Petani Alamat : Huta Padang

Nama : S. Siregar Umur : 55 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Huta Baru(Aek Sosopan)

Nama : M. Harahap Umur : 60 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Petani


(5)

Alamat : Huta Baru(Aek Sosopan) Nama : K. Siregar

Umur : 60 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Huta Padang

Nama : G. Siregar Umur : 55 Tahun Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Huta Padang

Nama : P. Siregar Umur : 45 Tahun Agama : Islam

Pekerjaan : Kepala Desa Alamat : Huta Padang


(6)