Perkembangan Pendidikan Tinggi Di Indone (1)

Perkembangan Pendidikan Tinggi Di Indonesia
Perkembangan perguruan tinggi di Indonesia dalam dasawarsa terakhir tumbuh secara signifikan. Dalam website
resmi DIKTI, jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai 4.259 unit dengan rincian sebagai berikut : Akademik
1.097 unit, Politeknik 228 unit, Sekolah Tinggi 2.303 unit, Institut 122, dan Universitas 509 unit. Perguruan tinggi ini
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun jumlah terbanyak masih berada di Pulau Jawa yang mencapai
1.708 unit. Jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia mencapai 4388 PT. Jumlah ini lebih banyak dari Perguruan Tinggi
di Eropa. Lebih dari 50 persennya adalah Perguruan Tinggi swasta. Jumlah ini menampung sekitar 7 Juta
mahasiswa dan 250 ribu dosen.
Jumlah Perguruan Tinggi menunjukkan betapa masifnya pendidikan tinggi di Indonesia. Namun jumlah tersebut
memiliki disparitas yang besar. Karena kurang jelasnya perbedaan misi diantara universitas yang ada, apakah
universitas riset, universitas yang komprehensif, atau institusi yang berfokus pada pengajaran seperti politeknik atau
akademi. Sehinggaperan universitas sebagai pengembangan ekonomi menjadi tidak jelas. Walaupun harus diakui
tidak sedikit universitas unggulan di Indonesia yang terakreditasi intenasional. Hal ini menunjukkan walaupun dari
jumlah ada banyak sekali disparitas kualitas yang luar biasa, tapi ada berapa yang unggul. Baik negeri maupun
swasta.
Tidak sedikit universitas yang sudah mampu dengan hasil penelitian dan inovasi yang akhirnya mampu
menggerakan ekonomi. Hal itu saja tidak cukup dalam menggerakan pembangunan ekonomi nasional. Perguruan
Tinggi di Indonesia harus mewujudkan mission differentiation. Melalui hal tersebut dapat dikembangkan beberapa
kebijakan untuk mereformasi sistem pendidikan tinggi dan penelitian. Sebagai contoh beberapa negara seperti India,
Thailand dan Malaysia, telah mengkategorikan insititusi pendidikan tinggi sesuai misi yang diembannya. Seperti riset
universty atau institution of national of comprehensive university.

Pemerintah, kemerinstekdikti dan seluruh pemangku kepentingan dunia pendidikan tinggi Indonesia harus berpacu
menyesuaikan laju perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Hal tersebut penting agar kualitas
pendidikan tinggi tetap terjaga dan bisa mencetak lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha masa depan.
Sistem di perguruan tinggi harus mampu memanfaatkan perkembangan teknologi. Kompetensi dan produktivias para
dosen harus terus ditingkatkan. Jika masih memakai cara-cara lama, pendidikan tinggi nasional akan ketinggalan.
Pemerintah melalui Kemeristekdikti telah mengembangkan regulasi dalam memanfaatkan perkembangan teknologi
TIK di antaranya terkait pengurusan pembukaan program studi dan pengajuan guru besar. Dengan memanfaatkan
sistem berbasis teknologi waktu telah dipangkas menjadi jauh lebih singkat. Selain meningkatkan sistem dan
regulasi, pada era perkembangan teknologi informasi dan komunkasi yang cepat ini, dibutuhkan sentuhan inovasi
yang mampu mendorong perubahan lebih maju, khsusnya dalam proses pembelajaran, manajemen tata kelolah,
pelayanan, dan fasilitas dan sarana utama dan penunjang pendidikan.
Perguruan tinggi di tuntut menghasilkan inovasi. Inovasi sangat penting untuk meningkatkan daya saing suatu
bangsa pada segala bidang. Program studi di perguruan tinggi juga harus berkembang sesuai dengan kebutuhan
zaman. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pemebelajaran dan penelitian, Hal lain yang dilakukan
pemerintah guna meningkatkan kinerja dan kualitas kampus swasta adalah mendorong PTS untuk melakukan
merger. Penggabungan (merger) menjadi solusi terakhir jika PTS yang bermasalah tak mampu memperbaiki diri,
baik dari sisi pengelolaan keuangan maupun kesiapan infrasturktur lainnya. Kualitas PTS saat ini terbilan rendah,
jumlah PTS yang telah terakreditasi institusi A sebanyak 26 PTS dari jumlah keseluruhan 3154 PTS.
Dengan dinamika dan warna-warni yang selama ini disumbangkan oleh dunia pendidikan terhadap kehidupan
bangsa, masih belum bisa dikatakan bahwa dunia pendidikan kita berprestasi di atas rata-rata. Mungkin juga

perkembangan dunia pendidikan kita dapat dibilang standart. Meskipun dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan
Nasional 2003 telah dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Hal tersebut masih belum bisa dikatakan sebagai acuan atau pedoman untuk menghasilakan sumber daya manusia
yang memiliki kualitas terbaik, akan tetapi dengan dikeluarkannya pernyataan tersebut dapat menjadi suatu upaya
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Perguruan tinggi tidak hanya bernuansa memberikan
penelitian serta pendidikan saja, juga harus membentuk suatu sikap dalam bertindak secara mandiri. Hal yang
dijelaskan tadi dapat berupa menghindari segala tindakan kekerasan (violence) seperti aksi pemukulan atau
penganiayaan dan tindakan ketidak jujuran akademis (academic dishonesty) seperti kasus penjiplakan (plagiarism),
perjokian, dan cheating.
Prospek Pendidikan Tinggi Di Indonesia
Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia ternyata juga banyak didukung oleh partisipasi aktif perguruan tinggi
swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah perguruan tinggi negeri. Jumlah perguruan tinggi berkembang
sangat pesat di Indonesia. Peningkatan pertumbuhan itu dimulai sejak 2005. Pada tahun 2005, ada 2.408 perguruan
tinggi yang tercatat di Indonesia. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dalam kurun sepuluh tahun. Sampai bulan Maret
2017 jumlah perguruan tinggi mencapai 4.264 di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 97 persen atau
sekitar 4.100 perguruan tinggi dikelola oleh swasta.

Berdasarkan data di PDPT per 17 April 2018 terdapat total 4600 perguruan tinggi dengan 26984 program studi,
yang didominasi oleh prodi-prodi kependidikan dan keguruan sebanyak 5760 prodi. Dominasi prodi kependidikan
dan keguruan itu tidak dapat dilepaskan dari adanya keharusan bagi guru untuk sekurang-kurangnya mempunyai
latar belakang pendidikan sarjana. Situasi ini telah dimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh sejumlah
perguruan tinggi dengan memberikan pendidikan tinggi yang tidak bermutu, di antaranya dalam bentuk rasio
mahasiswa terhadap dosen hingga di atas 400. Seluruh prodi yang mempunyai rasio seperti itu satu per satu telah di
non-aktif-kan PDPT-nya. Dalam era persaingan antar bangsa yang amat sengit, di mana mutu akan menjadi penentu
maka hal-hal seperti itu tentu amat memprihatinkan.
Keberadaan Pendidikan tinggi telah memberikan kontribusi yang cukup significant terhadap pembangunan di
Indonesia. Beberapa politisi dan negarawan besar seperti presiden RI pertama (the founding father), sejumlah
pejabat negara, pengusaha dan ilmuawan ternama telah dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa
perguruan tinggi negeri lainnya merupakan perguruan tinggi yang telah aktif berpartisipasi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan
pengabdian pada masyarakat). Hasil-hasil penelitian staf akademiknya telah dipublikasikan liwat jurnal ilmiah dan
diseminasikan melalui seminar,loka karya dan publikasi media.
Arah pengembangan kebijakan pendidikan tinggi Indonesia beberapa tahun mendatang dilatarbelakangi oleh
hadirnya globalisasi (MEA 2016), dengan implikasi berupa kebutuhan peningkatan kemampuan berkompetisi bangsa
Indonesia dalam masyarakat dunia yang semakin berbasis pengetahuan (knowledge based society). Pendidikan
tinggi harus mampu menghasilkan dua hal penting untuk menghadapi era globalisa dan pengetahuan; 1) insan
berkarakter dan kreatif yang berbasis pada penguasaan ilmu pengetahuan, dan, 2) inovasi teknologi melalui

konvergensi berbagai cabang keilmuan. Inovasi dalam arti teknologi yang telah diwujudkan dalam bentuk kegiatan
industri yang menciptakan lapangan kerja sehingga berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kedua hal ini mustahil diwujudkan tanpa pembangunan budaya mutu di perguruan tinggi. Mutu sendiri secara umum
didefinisikan sebagai pemenuhan tuntutan standar; sesuatu disebut bermutu apabila memenuhi standar.
Di era yang semakin kompetitif ini, keberlanjutan akan sangat ditentukan oleh mutu. Hal ini juga berlaku bagi
perguruan tinggi. Cepat atau lambat perguruan tinggi yang tidak bermutu akan mati karena ditinggalkan oleh
masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikannya. Daya beli masyarakat akan terus meningkat dengan semakin
menguatnya ekonomi bangsa dan masyarakat juga akan semakin cerdas dalam menilai suatu perguruan tinggi.

Kehadiran perguruan tinggi kelas dunia di Indonesia hanya soal waktu saja; sebagian dari mereka (seperti
Nottingham University, Monash University dsb) sudah membuka kampus di Malaysia.
Waktu bagi perguruan tinggi Indonesia semakin sempit untuk mempersiapkan diri menghadapi kompetisi
memperebutkan pangsa pasar. Berbagai kebijakan pendidikan tinggi Indonesia di antaranya adalah untuk
mendorong peningkatan mutu perguruan tinggi. Kehadiran Standar Nasional Pendidikan Tinggi dimaksudkan untuk
hal tersebut. Setiap perguruan tinggi di Indonesia terikat untuk memenuhi standar ini yang sesungguhnya
pemenuhannya merupakan mutu minimum yang harus dimiliki oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia. Standar ini
mempunyai dua fungsi penting, pertama menjadi acuan mutu minimum dan kedua menjadi penangkal masuknya PT
asing abal-abal. Oleh karena itu betapapun sulitnya untuk dipenuhi namun standar ini tidak mungkin diturunkan.
Teasdale (1999) dalam bukunya berjudul "Local Knowledge and Wisdom in Higher Education" menyinggung sejarah
kejayaan pusat pendidikan dunia pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan tinggi dunia pernah

terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seperti Bagdad, Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu tidak
sedikit bangsa barat dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan cara barter yaitu menukar hasil pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada abad millinium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada negara-negara berkembang (developed
countries) seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New Zealand.
Realita ini diindikasikan dengan banyaknya hasil-hasil penelitian ilmiah (scientific findings) dalam bidang ilmu
pengetahuan dan technology (science dan technology) yang telah dipublikasikan di berbagai media, website inernet
dan beberapa jurnal ilmiah yang bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh perguruan-perguraun tinggi di
negara tersebut. Lagi pula, negara-negara tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka
berpegang pada paradigma "build nation build schools" yang mengandung pengertian kontekstual yaitu "memajukan
bangsa melalui pendidikan".
Telah tercatat pula dalam sejarah bahwa pada beberapa dekade yang lalu pendidikan tinggi di Indonesia pernah
menjadi kiblat bagi mahasiswa dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang ingin melanjutkan pendidikan
tinggi di Indonesia. Banyak mahasiswa asal negeri jiran tersebut yang belajar di beberapa perguruan tinggi ternama
di Indonesia. Namun sayangnya, menurut informasi dari beberapa sumber yang dapat dipercaya melansir bahwa
dewasa ini ada lebih banyak jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan Singapura dibandingkan
dengan jumlah mahasiswa Malaysia dan Singapura yang belajar di Indonesia.
Hal lain yang patut di apresiasi adalah kesadaran masyarakat Indonesia, terutama generasi muda terhadap dunia
pendidikan semakin meningkat. Hal ini tercermin dari hasil studi riset yang dilakukan oleh LSP3I (edisi September
2017). Studi tersebut menunjukkan, 42 persen masyarakat Indonesia berusia 18-24 tahun berniat melanjutkan

pendidikan dalam satu tahun ke depan. Sementara 18 persen dari seluruh responden akan mengikuti kursus.
Menariknya, hasil survei juga menunjukkan sebagian besar responden yang berencana untuk melanjutkan
pendidikan akan membiayai pendidikan mereka dengan biaya pribadi. Hanya tiga dari 10 responden berusia 18-24
tahun berharap menggunakan biaya orangtua untuk melanjutkan pendidikan. Hasil studi ini juga mengungkap,
pendidikan pun mulai menjadi faktor penting dalam penetapan anggaran pendidikan keluarga. Sebesar 78 persen
dari responden secara rutin menyisihkan sekira 8-30 persen dari pendapatan mereka untuk biaya pendidikan
keluarga. Mayoritas orangtua pun memilih agar anak-anak mereka dapat masuk ke perguruan tinggi negeri.
Hal ini menunjukan adanya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi, terutama menggarisbawahi akan pentingnya pendidikan untuk terus tumbuh. Yang
menggembirakan, kesadaran ini berasal dari generasi muda yang notabenenya akan memainkan peran penting di
masa mendatang. Tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi,
juga sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan pemerataan akses
penddidikan tinggi.

Permasalahan Pendidikan Tinggi Indonesi kekinian
Lepas dari banyaknya kelebihan pendidikan tinggi di Indonesia, terdapat juga beberapa kekurangan yang perlu
dibenahi. Hal ini mungkin disebabkan oleh program dan kebijakan pendidikan tinggi yang masih perlu di benahi.
Adapun kekurangan yang mungkin perlu diperhatikan dan dibenahi secara umum adalah:
Pertama,pelayanan jasa pendidikan tinggi baru dinikmati oleh mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ke atas
atau hanya segelintir kalangan kelas menegah ke bawah yang dapat menikmati jasa pendidikan tinggi. Idealnya,

pelayanan jasa pendidikan tinggi tidak menciptakan dikotomi dan disparitas terutama berakaitan dengan akses
rekrutmen mahasiswa baru. Pejabat perguruan tinggi harus dapat memfasilitasi mahasiswa yang kurang mampu tapi
berprestasi untuk memperoleh susbsidi atau beasiswa yang dapat menunjang studi mahasiswa dari kalangan
ekonomi lemah tersebut.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil (antara 2 sampai 4 sks permata
kuliah). Lagi pula, penelitian yang memakan waktu satu sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot
sks yang sangat kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot sks penelitian mahasiswa di luar negeri. Di
negara maju mahasiswa belajar sedikit mata kuliah tapi mendalam (in-depth).
Ketiga, kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students
dengan bobot mata kuliah yang padat SKS. Pendidikan tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama
yang sudah bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading) ditambah dengan tugastugas pokok mereka di instansi pemerintah atau swasta. Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program parttime students yang dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja walaupun program pendidikannya
relatif lebih lama tapi pasti.
Keempat, kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan off-campus
progam. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebenaran harus pindah ke kota lain oleh karena tuntutan ekonomi atau
tugas kantor terpaksa harus bolos atau berhenti kuliah. Padahal program off-campus (distant learning) mungkin
dapat menjadi solusi seperti yang ditawarkan oleh Universitas Terbuka.
Kelima, stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang, misalnya untuk
melanjutkan pendidikan S3 seorang mahasiswa harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa
yang bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan tinggi kita belum menawarkan program
honours seperti kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat nilai Cumlaude bisa langsung mengambil program S3 (leading to PhD) tanpa melalui pendidikan Magister (S2).

Keenam, Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan
penelitian (combined course work dan research), idealnya perguruan tinggi juga menawarkan beberapa pilihan
program pendidikan misalnya, program research student (mahasiswa peneliti melalui bimbingan), Combined course
work (seperti di Indonesia) dan pure course work (jalur mata kuliah tanpa penelitian) yang mungkin cocok untuk
praktisi atau pekerja profesional. Melalui program seperti ini mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu
jenis jalur pendidikan tinggi yang diinginkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Program seperti ini
sebenarnya sangat fleksibel dan mungkin sangat menguntungkan mahasiswa.
Selanjutnya, untuk program combined course work atau kuliah dan setelah itu diikuti dengan tugas akhir kegiatan
penelitian, misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini sebaiknya direvisi menjadi program yang lebih fleksibel
yaitu mahasiswa ditawarkan salah satu dari beberapa alternative program pendidikan tinggi, pertama " program yang
bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80 % dan bobot penelitian lebih kecil atau sekitar 20 % atau sebaliknya
mata kuliah 20 % dan bobot penelitian 80 % dan atau fifty-fity yaitu 50 % bobot mata kuliah dan 50% penelitian.

Kemudian, untuk evaluasi program pendidikan seharus bersifat fair dan tidak diskriminatif. Selama ini evaluasi dan
assessment pendidikan baru diterapkan secara sepihak. Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa yang
dievaluasi hasil belajarnya misalnya, melalui mid-semester dan final semester. Seharusnya perguruan tinggi juga
melakukan evaluasi kinerja staf dosen (academic performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada
mahasiswa setiap akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengn tujuan untuk memberikan
umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar dosen yang bersangkutan.
Di samping itu, perguruan tinggi haruslah merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada

program orientasi yang bersifat informative dan edukatif karena beberapa waktu yang lalu program orientasi
mahasiswa banyak diwarnai oleh kegiatn perpeloncoan yang bersifat kurang mendidik dan mungkin membuka
peluang terjadinya tindakan kekerasan dan aksi balas dendam sesama mahasiswa yang berbeda angkatan. Saya
kira kini sudah saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru, yaitu pertama
materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni pemberian informasi yang cukup
komprehensif dan lugas mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemamfaatannya serta beberapa
informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi. kedua, program orientasi haruslah bersifat
mendidik (edukatif), misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai mekanisme
pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan model pebelajaran di sekolah menengah.
Mutu pendidikan tinggi di Indonesia kemungkinan akan lebih berkualitas dan dapat sejajar dengan kualitas
pendidikan tinggi khususnya di negara negara asean jika seandainya stake holders pendidikan tinggi termasuk policy
makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan
merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodic dengan banyak mempertimbangkan feedbacks
atau umpan balik dari stakeholders pendidikan.
Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat. Salam Pendidikan Tinggi Indonesia
Sumber :
https://www.ristekdikti.go.id/open-53/#DMfSUfeHAfY95Qew.99
http://www. ristekdikti.go.id
http://www.dikti.go.id/Archive2007/kpptjp/tetra_h.gi
https://forlap.ristekdikti.go.id/

https://yusrintosepu.wixsite.com/lsptigairegvsulawesi