MAKALAH KONSEP DASAR JUAL BELI HUKUM SAL (2)
MAKALAH
KONSEP DASAR JUAL BELI HUKUM SALAM DAN ISTISNA
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer
Perbankan yang diampu oleh Dosen Imam Mustofa, SHI., MSI.
Oleh:
AMAR MAYSUR
NPM. 141278710
KELAS D
JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO
1438 H / 2017 M
A. Jual Beli Salam
1. Definisi Bai Salam
Dalam pengertian yang sederhana, bai salam artinya pembelian
barang
yang
barangnya
diserahkan
dikemudian
hari,
sedangkan
pembayarannya dilakukan dimuka. Aplikasinya pada pembiayaan sektor
pertanian dan manufakturing.1
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat
yang harus dipenuhi, tujuan utama dari bai salam yaitu untuk memenuhi
kebutuha para petani kecil yang memerlukan modal untuk masa tanam dan
untuk menghidupi keluarganya sampai masa panen tiba. Setelah pelarangan
riba mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan
sehingga di perbolehkan mereka untuk menjual produk pertaniannya
dimuka.
Selain salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima
pembayaran dimuka, salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada
umumnya harga pada akad salam lebuh murah dari pada harga pada akad
tunai.2
2. Rukun Bai Salam
Pelaksanaan bai salam harus memenuhi beberapa rukun di bawah ini:
a. Muslam/pembeli
b. Muslam ilaih/penjaul
c. Modal atau uang
d. Sighat atau ucapan (ijab khabul)3
3. Syarat Bai Salam
Ketentuan syarat jual beli salam meliputi:
a. Pelaku adalah cakap hukum dan baligh
b. Objek akad:
1
Veithzal Rivai dan Arvian Arifin, Islamic Banking Sebuah Teori Konsep dan Aplikasi ,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 68.
2
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Kahrisma Putra Utama Offset,
2007), h. 90.
3
Sunarto Zulkifli, Pandaun Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2003), h. 40.
Ketentuan syariah yang terkait dengan modal salam, yaitu:
1) Modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya.
2) Modal salam berbentuk uang tunai. Para ulama berbeda pendapat
masalah bolehnya pembayaran dalam bentuk aset perdagangan.
Beberapa ulama menganggapnya boleh.
3) Modal salam diserahkan pada saat akad berlangsung, tidak boleh
utang atau pelunasan piutang. Hal ini adalah untuk mencegah
praktik riba melalui mekansme salam. 4
Ketentuan syariah yang terkait dengan barang salam, yaitu:
1) Barang
tersebut
harus
dibedakan/didefinisikan
mempunyai
spesifikasi dan karakteristik yang jelas seperti kualitas, jenis, ukuran
dan lain sebagainya, sehingga tidak ada gharar . Misalnya, jenis IR
64, salak pondok berukuran sedang, jeruk medang yang ukuran
kilogram sedang.
2) Barang tersebut harus dapat kualifikasi/ditakar/ditimbang
3) Waktu penyerahan barang harus jelas, tidak harus dalam tanggal
tertentu tapi boleh dengan kurun waktu tertentu. Misalnya, dalam
kurun waktu 6 bulan atau musim panen disesuaikan dengan
kemungkinan ketersediaan barang yang dipesan. Hal tersebut
diperlukan untuk mencegah gharar atau ketidakpastian , harus ada
pada waktu yang ditentuakan.
4) Barang tidak harus ditangan penjual tetapi harus ada pada waktu
yang telah ditentukan.
5) Apabila barang tidak ada pada waktu yang telah ditentukan akad
menjadi fasakh/rusak dan pembeli dapat memilih apakah menunggu
sampai dengan barang yang dipesan tersedia atau membatalkan akad
sehingga penjual harus mengembalikan dana yang telah diterima. 5
4
5
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 91.
Ibid., h. 92.
6) Apabila barang yang diteriama cacat atau tidak sesuai dengan yang
disepakati dalam akad, maka pembeli boleh melakukan khiar atau
memilih untuk menerima atau menolak. Jika pembeli memilik
menolak maka penjual memiliki utang yang dapat diselesaikan
dengan mengembalikan dana atau menyerahkan produk sesuai
dengan akad.
7) Apabila barang memiliki kualitas yang lebih baik, maka penjual
tidak boleh meminta tambahan dan hal ini dianggap sebagai
pelayanan kepuasan pelanggan.
8) Apabila barang yang dikirim memiliki kualitans yang lebih rendah
maka pembeli boleh memilih menolak atau menerima pengurangan
harga.
9) Barang boleh dikirim sebelum jatuh tempo asalkan disetujui oleh
kedua belah pihak dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai
dengan kesepakatan, dan tidak boleh menuntut penambahan harga.
10) Penjualan kembali barang yang dipesan tidak dibolehkan secara
syariah
11) Penggantian barang yang dipesan dengan barang lain. Para ulama
melarang penggantian spesifikasi barang yang dipesan dengan
barang lain. Bila barang tersebut di ganti dengan barang yang
memiliki spesifikasi dan kualitas barang yang sama, tetapi
sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Misalnya,
yangdi pesan beras IR 64 dari Cianjur diganti dengan beras IR 64
dari Kerawang.
12) Apabila tempat penyerahan barang tidak disebutkan, akad tetap sah.
Namun sebaiknya dijelaskan saat akad. Apabila di sebutkan maka
harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang
pembeli.
c. Akad atau ijab khabul.6
6
Ibid..,
4. Landasan Hukum Jual Beli Salam.
a. Al-qur’an
Al-Baqarah ayat 282:
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya ”7
Ibnu abbas menjelaskan pengertian dari ayat di atas adalah ada kaitanya
dengan bai salam, “aku bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk
jangka waktu tertentu telah dihalakan oleh Allah dalam kitab-Nya dan
diiinkan-Nya”8
b. Hadis
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa rasulullah SAW datang ke
Madinah dimana penduduknya sedang melakukan salaf (salam) dalam
buah-buahan (untuk menjaga waktu) satu, dua, dan tiga tahun beliau
berkata:
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula,
untuk menjaga waktu yang diketahui” 9
c. Dasar hukum salam dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Di bawah ini adalah dasar hukum Salam dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah:
1) BAB V Akibat Bai’ Bagian Kedua Bai’ Salam
7
Muhammad Syafi’i Antinio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 108.
8
Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Garafika, 2008), h. 32.
9
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4, (Jakarta: Salemba Empat, 2015),
h. 203.
a) Pasal 100
(1) Akad bai’ salam terikat dengan adanya ijab dan kabul seperti
dalam penjualan biasa.
(2) Akad bai’ salam sebafai mana yang dimaksud pada ayat (1)
dilakuan sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan.
(3) Pasal 101
(4) Bai’ salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan
kualitas barang sudah jelas.
(5) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan
dan/atau meteran.
(6) Spesifikasi barang harus diketahui secara sempurna oleh para
pihak
b) Pasal 102
Bai’ salam harus memenuhi syarat bahwa barang yang
dijual, waktu, dan tempat penyerahan di nyatakan dengan jelas.
c) Pasal 103
Pembayaran barang dalam bai’ salam dapat dilakukan pada
waktu dan tempat yang disepakati.10
10
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 100-103.
B. Jual Beli Hukum Istisna
1. Definisi Jual Beli Istisna
Jual beli istisna menurut para ulama merupakan suatu jenis Khusus dari
akad baya as-salam (jual beli Salam).11
Al-Istishna adalah akad jual beli pesanan antara dua pihak
produsen/pengrajin/penerima pesanan (shani’) dengan pemesan (mustashni’)
untuk mem buat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’)
dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau
akhir.12
Pembayaran dimuka maksudnya adalah pembayaran dilakukan secara
keseluruhan pada saat akad sebelum barang diserahkan oleh pihak penjual
kepada pembeli. Pembayaran di tengah maksudnya adalah pembayaran
dilakukan pada saat barang diterima oleh pembeli. Sementara pembayaran
diakhir maksudnya adalah pembayaran yang dilakukan setelah barang
pesanan diserahkan kepada pembeli.13
Pada dasarnya, istisna merupakan transaksi jual beli cicilan seperti
transaksi murabahah muajjal. Namun berbeda dengan jual beli murabahah
di mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan,
sementar dalam jual beli istisna barang diserahkan di muka, walaupun
uangnya juga sama-sama dibayar cicilan tau boleh saja di awal pada saat
akad, di tengah saat penyerahan barang atau di belakang setelah barang
diserahkan.14 Contohnya seperti kredit motor.
Secara etimologi istisna berarti meminta kepada seseorang untuk di
buat barang tertentu dengan spesifikasi tertentu. Istisna juga diartikan sebagai
11
Siti Mujiatun, Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Islam dan Istisna, Jurnal Riset
akuntansi dan Bisnis, 2014 (202-216), h. 202.
12
Eni Puji Lestari, Resiko Pembiayaan Dalam Akad Istisna Pada Bank Umum Syariah,
Jurnal Adzkiya , 2014, (1-19), h. 4.
13
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 147.
14
Andiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Keuangan dan Keuangan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), h. 126.
akad untuk membeli barang yang akan di buat oleh seseorang. Jadi dalam
istisna barang yang menjadi objek adalah barang-barang buatan atau hasil
karya. Bahan dasar untuk membuat barang tersebut bersal dari orang yang
membuatnya, apabila barang yang dibuat tersebut berasal dari orang yang
dibuatkan atau yang memesan, makad akad tersebut adalah akad ijarah bukan
akad istisna. Sebagai contoh si Andi meminta kepada Ahmad yang berprofesi
sebagai pembuat furnitur untuk membuat satu set kursi. Semua bahan yang di
buat berasal dari Ahmad sebagai penerima pesanan. Andi hanya menjelaskan
spesifikasi tentag kursi yang dipesan tersebut tanpa memberikan uang
mukadan tidak junga melunasinya pada saat terjadinya akad tersebut.
2. Rukun dan Syarat Hukum Istisna
a. Rukun istisna
1) pemesan (Mustasni)
2) Penjual atau pembuat barang (sani)
3) Hasil produksi atau barang yang diserahkan (masnu)
4) Ijab khabul (sighat) 15
b. Syarat istisna
Ketentuan syariah dalam istisna yaitu sebagai berikut:
1) Pelaku harus cakap hukum dan baligh
2) Objek akad:
Ketentuan tentang pembayaran
a) Alat bayar harus diketahui jumlahnya dan bentuknya, baik berupa
uanag, barang
atau manfaat, demikian juga dengan cara
pembayarannya.
b) Harga yang telah ditetapkan diakad tidak bolek diubah.
Akantetapi setelah akad ditandatangani pembeli mengubah
spesifikasi barang yang dipesan maka penambahan biaya akibat
perubahan ini menjadi tanggung jawab pembeli.
15
Imam Mustofa, Fiqih Mualmalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 85.
c) Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan.
d) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
Ketentuan tentang barang
a) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu)
sehingga tidak ada lagi jahalah dan perselisihan dapat dihindari.
b) Barang pesanan diserahkan kemudian.
c) Waktu dan penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
d) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
e) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis
berdasarkan kesepakatan.
f) Jika barang cacat atau tidak sesuai spesifikasi, maka pembeli
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjurkan atau
membatalkan akad.
g) Jika barang sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan ,
hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual
tidak rugi karena ia telah menjalankan kewajiban sesuai
kesepakatan.
c. Akad/ijab khabul.16
3. Hukum Jual Beli Istisna
a. Para ahlifiqih Maliki, Syia’ah dan Hambali, mengqiaskan bai Al-istisna
dengan bai Al-salam karena dalam keduanya barang yang di pesan belum
berada di tangan penjual manakala kontrak ditandatangani.
b. Hanifiah membuat legitimasi istisna secara istihsan (menganggap baik
dan perlu), karena pentingnya umat terhadapnya. Hal ini menurutnya
16
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia , (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 197.
telah dilakukan sepanjang waktu dimana-mana dan tidak seorangpun
menyanggahnya. 17
c. Istisna dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Di bawah ini adalah dasar hukum istisna dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, yaitu:
1) BAB V Akibat Bai’ Bagian Ketiga Bai’ istishna’
a) Pasal 104
Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat
atas barang yang dipesan.
b) Pasal 105
Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang dipesan.
c) Pasal 106
Dalam Bai’ istishna, identitas dan deskrifsi barang yang dijual
harus sesuai permintaan pemesan.
d) Pasal 107
Pembayaran dalam Bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan
tempat yang disepakati.
e) Pasal 108
(1) Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satu pihak pun
boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah
di sepakati.
(2) Apa bila objek dari barang yang dipesan tidak sesuai dengan
spesifikasinya,
maka
pemesan
dapat
menggunakan
hakpilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan
pesanan. 18
17
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 32.
18
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 104-108.
C. Kesimpulan
Bai salam artinya pembelian barang yang barangnya diserahkan
dikemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka. Pelaksanaan
bai salam harus memenuhi beberapa rukun di bawah ini:
1. Muslam/pembeli
2. Muslam ilaih/ penjaul
3. Modal atau uang
4. Sighat atau ucapan (ijab khabul)
Dasar hukum bai salam terdapat pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat
282 dan hadis.
Al-Istishna
adalah akad jual beli pesanan antara dua pihak
produsen/pengrajin/penerima pesanan (shani’) dengan pemesan (mustashni’)
untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’)
dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen
sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Rukun istisna yai tu:
1. pemesan (Mustasni)
2. Penjual atau pembuat barang (sani)
3. Hasil produksi atau barang yang diserahkan (masnu)
4. Ijab khabul (sighat)
Dasar hukum istisna yaitu:
1. Para ahlifiqih Maliki, Syia’ah dan Hambali, mengqiaskan bai Al-istisna
dengan bai Al-salam karena dalam keduanya barang yang di pesan belum
berada di tangan penjual manakala kontrak ditandatangani.
2. Hanifiah membuat legitimasi istisna secara istihsan (menganggap baik dan
perlu), karena pentingnya umat terhadapnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Garafika, 2008.
Antinio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Kahrisma Putra Utama Offset,
2007.
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2011.
Karim, Andiwarman A., Bank Islam Analisis Keuangan dan Keuangan, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 104-108
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 100-103
Lestari, Eni Puji “Resiko Pembiayaan Dalam Akad Istisna Pada Bank Umum
Syariah”, Jurnal Azkiya , 2014.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta: UII
Press, 2000.
Mujiatun, Siti, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Islam dan Istisna”. Jurnal Riset
akuntansi dan Bisnis, 2014.
Mustofa, Imam, Fiqih Mualmalah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Nurhayati, Sri , Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Nurhayati, Sri, Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4, Jakarta: Salemba Empat,
2015.
Rivai,Veithzal dan Arifin, Arvian, Islamic Banking Sebuah Teori Konsep dan
Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Zulkifli, Sunarto, Pandaun Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2003.
KONSEP DASAR JUAL BELI HUKUM SALAM DAN ISTISNA
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer
Perbankan yang diampu oleh Dosen Imam Mustofa, SHI., MSI.
Oleh:
AMAR MAYSUR
NPM. 141278710
KELAS D
JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO
1438 H / 2017 M
A. Jual Beli Salam
1. Definisi Bai Salam
Dalam pengertian yang sederhana, bai salam artinya pembelian
barang
yang
barangnya
diserahkan
dikemudian
hari,
sedangkan
pembayarannya dilakukan dimuka. Aplikasinya pada pembiayaan sektor
pertanian dan manufakturing.1
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat
yang harus dipenuhi, tujuan utama dari bai salam yaitu untuk memenuhi
kebutuha para petani kecil yang memerlukan modal untuk masa tanam dan
untuk menghidupi keluarganya sampai masa panen tiba. Setelah pelarangan
riba mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan
sehingga di perbolehkan mereka untuk menjual produk pertaniannya
dimuka.
Selain salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima
pembayaran dimuka, salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada
umumnya harga pada akad salam lebuh murah dari pada harga pada akad
tunai.2
2. Rukun Bai Salam
Pelaksanaan bai salam harus memenuhi beberapa rukun di bawah ini:
a. Muslam/pembeli
b. Muslam ilaih/penjaul
c. Modal atau uang
d. Sighat atau ucapan (ijab khabul)3
3. Syarat Bai Salam
Ketentuan syarat jual beli salam meliputi:
a. Pelaku adalah cakap hukum dan baligh
b. Objek akad:
1
Veithzal Rivai dan Arvian Arifin, Islamic Banking Sebuah Teori Konsep dan Aplikasi ,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 68.
2
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Kahrisma Putra Utama Offset,
2007), h. 90.
3
Sunarto Zulkifli, Pandaun Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2003), h. 40.
Ketentuan syariah yang terkait dengan modal salam, yaitu:
1) Modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya.
2) Modal salam berbentuk uang tunai. Para ulama berbeda pendapat
masalah bolehnya pembayaran dalam bentuk aset perdagangan.
Beberapa ulama menganggapnya boleh.
3) Modal salam diserahkan pada saat akad berlangsung, tidak boleh
utang atau pelunasan piutang. Hal ini adalah untuk mencegah
praktik riba melalui mekansme salam. 4
Ketentuan syariah yang terkait dengan barang salam, yaitu:
1) Barang
tersebut
harus
dibedakan/didefinisikan
mempunyai
spesifikasi dan karakteristik yang jelas seperti kualitas, jenis, ukuran
dan lain sebagainya, sehingga tidak ada gharar . Misalnya, jenis IR
64, salak pondok berukuran sedang, jeruk medang yang ukuran
kilogram sedang.
2) Barang tersebut harus dapat kualifikasi/ditakar/ditimbang
3) Waktu penyerahan barang harus jelas, tidak harus dalam tanggal
tertentu tapi boleh dengan kurun waktu tertentu. Misalnya, dalam
kurun waktu 6 bulan atau musim panen disesuaikan dengan
kemungkinan ketersediaan barang yang dipesan. Hal tersebut
diperlukan untuk mencegah gharar atau ketidakpastian , harus ada
pada waktu yang ditentuakan.
4) Barang tidak harus ditangan penjual tetapi harus ada pada waktu
yang telah ditentukan.
5) Apabila barang tidak ada pada waktu yang telah ditentukan akad
menjadi fasakh/rusak dan pembeli dapat memilih apakah menunggu
sampai dengan barang yang dipesan tersedia atau membatalkan akad
sehingga penjual harus mengembalikan dana yang telah diterima. 5
4
5
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 91.
Ibid., h. 92.
6) Apabila barang yang diteriama cacat atau tidak sesuai dengan yang
disepakati dalam akad, maka pembeli boleh melakukan khiar atau
memilih untuk menerima atau menolak. Jika pembeli memilik
menolak maka penjual memiliki utang yang dapat diselesaikan
dengan mengembalikan dana atau menyerahkan produk sesuai
dengan akad.
7) Apabila barang memiliki kualitas yang lebih baik, maka penjual
tidak boleh meminta tambahan dan hal ini dianggap sebagai
pelayanan kepuasan pelanggan.
8) Apabila barang yang dikirim memiliki kualitans yang lebih rendah
maka pembeli boleh memilih menolak atau menerima pengurangan
harga.
9) Barang boleh dikirim sebelum jatuh tempo asalkan disetujui oleh
kedua belah pihak dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai
dengan kesepakatan, dan tidak boleh menuntut penambahan harga.
10) Penjualan kembali barang yang dipesan tidak dibolehkan secara
syariah
11) Penggantian barang yang dipesan dengan barang lain. Para ulama
melarang penggantian spesifikasi barang yang dipesan dengan
barang lain. Bila barang tersebut di ganti dengan barang yang
memiliki spesifikasi dan kualitas barang yang sama, tetapi
sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Misalnya,
yangdi pesan beras IR 64 dari Cianjur diganti dengan beras IR 64
dari Kerawang.
12) Apabila tempat penyerahan barang tidak disebutkan, akad tetap sah.
Namun sebaiknya dijelaskan saat akad. Apabila di sebutkan maka
harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang
pembeli.
c. Akad atau ijab khabul.6
6
Ibid..,
4. Landasan Hukum Jual Beli Salam.
a. Al-qur’an
Al-Baqarah ayat 282:
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya ”7
Ibnu abbas menjelaskan pengertian dari ayat di atas adalah ada kaitanya
dengan bai salam, “aku bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk
jangka waktu tertentu telah dihalakan oleh Allah dalam kitab-Nya dan
diiinkan-Nya”8
b. Hadis
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa rasulullah SAW datang ke
Madinah dimana penduduknya sedang melakukan salaf (salam) dalam
buah-buahan (untuk menjaga waktu) satu, dua, dan tiga tahun beliau
berkata:
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula,
untuk menjaga waktu yang diketahui” 9
c. Dasar hukum salam dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Di bawah ini adalah dasar hukum Salam dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah:
1) BAB V Akibat Bai’ Bagian Kedua Bai’ Salam
7
Muhammad Syafi’i Antinio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 108.
8
Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Garafika, 2008), h. 32.
9
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4, (Jakarta: Salemba Empat, 2015),
h. 203.
a) Pasal 100
(1) Akad bai’ salam terikat dengan adanya ijab dan kabul seperti
dalam penjualan biasa.
(2) Akad bai’ salam sebafai mana yang dimaksud pada ayat (1)
dilakuan sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan.
(3) Pasal 101
(4) Bai’ salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan
kualitas barang sudah jelas.
(5) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan
dan/atau meteran.
(6) Spesifikasi barang harus diketahui secara sempurna oleh para
pihak
b) Pasal 102
Bai’ salam harus memenuhi syarat bahwa barang yang
dijual, waktu, dan tempat penyerahan di nyatakan dengan jelas.
c) Pasal 103
Pembayaran barang dalam bai’ salam dapat dilakukan pada
waktu dan tempat yang disepakati.10
10
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 100-103.
B. Jual Beli Hukum Istisna
1. Definisi Jual Beli Istisna
Jual beli istisna menurut para ulama merupakan suatu jenis Khusus dari
akad baya as-salam (jual beli Salam).11
Al-Istishna adalah akad jual beli pesanan antara dua pihak
produsen/pengrajin/penerima pesanan (shani’) dengan pemesan (mustashni’)
untuk mem buat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’)
dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau
akhir.12
Pembayaran dimuka maksudnya adalah pembayaran dilakukan secara
keseluruhan pada saat akad sebelum barang diserahkan oleh pihak penjual
kepada pembeli. Pembayaran di tengah maksudnya adalah pembayaran
dilakukan pada saat barang diterima oleh pembeli. Sementara pembayaran
diakhir maksudnya adalah pembayaran yang dilakukan setelah barang
pesanan diserahkan kepada pembeli.13
Pada dasarnya, istisna merupakan transaksi jual beli cicilan seperti
transaksi murabahah muajjal. Namun berbeda dengan jual beli murabahah
di mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya dibayar cicilan,
sementar dalam jual beli istisna barang diserahkan di muka, walaupun
uangnya juga sama-sama dibayar cicilan tau boleh saja di awal pada saat
akad, di tengah saat penyerahan barang atau di belakang setelah barang
diserahkan.14 Contohnya seperti kredit motor.
Secara etimologi istisna berarti meminta kepada seseorang untuk di
buat barang tertentu dengan spesifikasi tertentu. Istisna juga diartikan sebagai
11
Siti Mujiatun, Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Islam dan Istisna, Jurnal Riset
akuntansi dan Bisnis, 2014 (202-216), h. 202.
12
Eni Puji Lestari, Resiko Pembiayaan Dalam Akad Istisna Pada Bank Umum Syariah,
Jurnal Adzkiya , 2014, (1-19), h. 4.
13
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 147.
14
Andiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Keuangan dan Keuangan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010), h. 126.
akad untuk membeli barang yang akan di buat oleh seseorang. Jadi dalam
istisna barang yang menjadi objek adalah barang-barang buatan atau hasil
karya. Bahan dasar untuk membuat barang tersebut bersal dari orang yang
membuatnya, apabila barang yang dibuat tersebut berasal dari orang yang
dibuatkan atau yang memesan, makad akad tersebut adalah akad ijarah bukan
akad istisna. Sebagai contoh si Andi meminta kepada Ahmad yang berprofesi
sebagai pembuat furnitur untuk membuat satu set kursi. Semua bahan yang di
buat berasal dari Ahmad sebagai penerima pesanan. Andi hanya menjelaskan
spesifikasi tentag kursi yang dipesan tersebut tanpa memberikan uang
mukadan tidak junga melunasinya pada saat terjadinya akad tersebut.
2. Rukun dan Syarat Hukum Istisna
a. Rukun istisna
1) pemesan (Mustasni)
2) Penjual atau pembuat barang (sani)
3) Hasil produksi atau barang yang diserahkan (masnu)
4) Ijab khabul (sighat) 15
b. Syarat istisna
Ketentuan syariah dalam istisna yaitu sebagai berikut:
1) Pelaku harus cakap hukum dan baligh
2) Objek akad:
Ketentuan tentang pembayaran
a) Alat bayar harus diketahui jumlahnya dan bentuknya, baik berupa
uanag, barang
atau manfaat, demikian juga dengan cara
pembayarannya.
b) Harga yang telah ditetapkan diakad tidak bolek diubah.
Akantetapi setelah akad ditandatangani pembeli mengubah
spesifikasi barang yang dipesan maka penambahan biaya akibat
perubahan ini menjadi tanggung jawab pembeli.
15
Imam Mustofa, Fiqih Mualmalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 85.
c) Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan.
d) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
Ketentuan tentang barang
a) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu)
sehingga tidak ada lagi jahalah dan perselisihan dapat dihindari.
b) Barang pesanan diserahkan kemudian.
c) Waktu dan penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
d) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
e) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis
berdasarkan kesepakatan.
f) Jika barang cacat atau tidak sesuai spesifikasi, maka pembeli
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjurkan atau
membatalkan akad.
g) Jika barang sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan ,
hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual
tidak rugi karena ia telah menjalankan kewajiban sesuai
kesepakatan.
c. Akad/ijab khabul.16
3. Hukum Jual Beli Istisna
a. Para ahlifiqih Maliki, Syia’ah dan Hambali, mengqiaskan bai Al-istisna
dengan bai Al-salam karena dalam keduanya barang yang di pesan belum
berada di tangan penjual manakala kontrak ditandatangani.
b. Hanifiah membuat legitimasi istisna secara istihsan (menganggap baik
dan perlu), karena pentingnya umat terhadapnya. Hal ini menurutnya
16
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia , (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 197.
telah dilakukan sepanjang waktu dimana-mana dan tidak seorangpun
menyanggahnya. 17
c. Istisna dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Di bawah ini adalah dasar hukum istisna dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, yaitu:
1) BAB V Akibat Bai’ Bagian Ketiga Bai’ istishna’
a) Pasal 104
Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat
atas barang yang dipesan.
b) Pasal 105
Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang dipesan.
c) Pasal 106
Dalam Bai’ istishna, identitas dan deskrifsi barang yang dijual
harus sesuai permintaan pemesan.
d) Pasal 107
Pembayaran dalam Bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan
tempat yang disepakati.
e) Pasal 108
(1) Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satu pihak pun
boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah
di sepakati.
(2) Apa bila objek dari barang yang dipesan tidak sesuai dengan
spesifikasinya,
maka
pemesan
dapat
menggunakan
hakpilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan
pesanan. 18
17
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 32.
18
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 104-108.
C. Kesimpulan
Bai salam artinya pembelian barang yang barangnya diserahkan
dikemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka. Pelaksanaan
bai salam harus memenuhi beberapa rukun di bawah ini:
1. Muslam/pembeli
2. Muslam ilaih/ penjaul
3. Modal atau uang
4. Sighat atau ucapan (ijab khabul)
Dasar hukum bai salam terdapat pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat
282 dan hadis.
Al-Istishna
adalah akad jual beli pesanan antara dua pihak
produsen/pengrajin/penerima pesanan (shani’) dengan pemesan (mustashni’)
untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’)
dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen
sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Rukun istisna yai tu:
1. pemesan (Mustasni)
2. Penjual atau pembuat barang (sani)
3. Hasil produksi atau barang yang diserahkan (masnu)
4. Ijab khabul (sighat)
Dasar hukum istisna yaitu:
1. Para ahlifiqih Maliki, Syia’ah dan Hambali, mengqiaskan bai Al-istisna
dengan bai Al-salam karena dalam keduanya barang yang di pesan belum
berada di tangan penjual manakala kontrak ditandatangani.
2. Hanifiah membuat legitimasi istisna secara istihsan (menganggap baik dan
perlu), karena pentingnya umat terhadapnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Garafika, 2008.
Antinio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Kahrisma Putra Utama Offset,
2007.
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2011.
Karim, Andiwarman A., Bank Islam Analisis Keuangan dan Keuangan, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 104-108
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab V Pasal 100-103
Lestari, Eni Puji “Resiko Pembiayaan Dalam Akad Istisna Pada Bank Umum
Syariah”, Jurnal Azkiya , 2014.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta: UII
Press, 2000.
Mujiatun, Siti, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Islam dan Istisna”. Jurnal Riset
akuntansi dan Bisnis, 2014.
Mustofa, Imam, Fiqih Mualmalah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Nurhayati, Sri , Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Nurhayati, Sri, Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4, Jakarta: Salemba Empat,
2015.
Rivai,Veithzal dan Arifin, Arvian, Islamic Banking Sebuah Teori Konsep dan
Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Zulkifli, Sunarto, Pandaun Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2003.