BOOK AW Nugroho Literasi Public Relations

Literasi Public Relations:
Apa, Mengapa dan Bagaimana
Abraham Wahyu Nugroho, M.A.
Universitas Katolik Soegijapranata
� abraham@unika.ac.id

Pendahuluan
Konsep public relations (PR) diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi hubungan masyarakat (humas). Entah siapa yang
menginisiasi istilah “humas” ini. Meski demikian, konsep atau istilah
humas telah berkembang di Indonesia hingga saat ini. Itu artinya istilah
public dianggap sama dengan masyarakat. Sepertinya ini merupakan
persoalan yang sepele. Namun kiranya jangan disepelekan. Konsep
masyarakat dan publik memiliki implikasi pada kinerja public relations.
Implikasi yang dimaksud yaitu program public relations yang
tidak tepat sasaran atau tidak efektif. Dalam kajian manajemen, istilah
efektif dan eisien menjadi barometer pengukuran kinerja. Konsep
“masyarakat” terlalu umum dan berpotensi mempengaruhi fokus
kerja PR. Kegagalan dalam mendeinisikan “masyarakat” inilah yang
menyebabkan program yang tidak efektif. Akibatnya, program PR
menjadi kurang jelas. Bahkan, ketika muncul isu dan krisis, aktivitas

PR cenderung menjadi sekedar reaktif atau bahkan represif.
Beberapa buku public relations menyebut PR identik dengan
pekerjaan yang memiliki reputasi buruk, ahli pemutar fakta atau spin
doctor, manipulasi informasi, komunikasi sepihak (Moloney, 2006;
Moloney, 2000; Fawkes, 2004). Pada konteks praktik, sebagian orang
memiliki cara pandang parsial terhadap profesi public relations. Selain
konsep hubungan atau relasi dengan masyarakat, setidaknya ada empat
pandangan parsial mengenai profesi PR di Indonesia. Pertama, profesi
PR hanya berlaku untuk perusahaan atau korporasi. Kedua, pekerjaan

1

Manajemen Image Kebhinekaan Indonesia

PR layaknya petugas pemadam kebakaran. Ketiga, PR adalah pemandu
lagu pada tempat karaoke. Keempat, PR merupakan profesi yang
terbuka. Artinya, untuk melamar pekerjaan di bidang public relations
tidak harus berasal dari lulusan ilmu komunikasi atau public relations.
Beragam pandangan mengenai profesi PR perlu dicermati agar
kajian tentang public relations dapat dipahami secara komprehensif

dan tidak menjadi rejection item dalam benak masyarakat. Istilah
rejection item digunakan oleh Silih Agung Wasesa dalam bukunya yang
berjudul Political Branding & Public Relations untuk menunjukkan
bahwa “politik” menjadi istilah atau konsep yang ditolak dalam benak
masyarakat Indonesia. Sedangkan untuk mengetahui seberapa jauh
tingkat ketertolakan, perlu dilakukan riset independen (Wasesa, 2011:
114).
Pencermatan kajian PR dapat dilakukan melalui aktivitas literasi
public relations. Konsep literasi PR dipopulerkan oleh W. Timothy
Coombs dan Sherry J. Holladay dalam bukunya yang berjudul PR
Strategy and Application: Managing Inluence (2010) dan paper yang
berjudul Public relations literacy: Developing critical consumers of public
relations (2013). Penggunaan istilah literasi PR didasarkan pada konsep
yang terlebih dahulu berkembang, yaitu literasi media. Bahkan oleh
kedua penulis tersebut, literasi PR dianggap sebagai bagian dari literasi
media.
Tulisan ini mencoba memperkenalkan konsep literasi PR dan
mendorong praktik literasi PR di antara publik dalam public relations.
Oleh karena itu, paparan mengenai literasi public relations dalam
tulisan ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan, yaitu:

1. Apakah itu literasi public relations?
2. Mengapa perlu literasi public relations?
3. Bagaimana implementasi literasi public relations?

Pembahasan
Deinisi dan Arti Penting Literasi Public Relations
Banyak orang tidak menyadari bahwa public relations telah
membentuk perilaku tertentu dalam kehidupan mereka. Sebagai
contoh, kewajiban menggunakan sabuk pengaman saat mengendarai

2

Abraham Wahyu Nugroho, Literasi Public Relations...

mobil, memilih makanan yang sudah mendapat sertiikat halal, pergi
ke restoran setelah membaca advertorial di surat kabar, mengajak
masyarakat untuk mendukung tokoh politik tertentu, dan masih
banyak perilaku lainnya yang merupakan pengaruh dari praktik public
relations dalam masyarakat. Selain tidak menyadari dampak atau
pengaruh public relations dalam kehidupan manusia, sebagian orang

masih memandang public relations secara skeptis.
Kesadaran untuk melihat pengaruh praktik public relations
penting untuk menghindari penyalahgunaan praktik public relations
dalam masyarakat. Istilah spin doctor atau ahli pemutar fakta yang
ditujukan kepada praktisi PR merupakan persepsi parsial yang muncul
akibat penyalahgunaan praktik PR. Bahkan ada kelompok yang
ekstrim menolak istilah public relations dan menggantinya dengan
istilah corporate communication (komunikasi korporat). Maka tidak
heran jika banyak perusahaan yang tidak menggunakan istilah public
relations sebagai nama divisi atau departemen mereka.
Padahal kajian corporate communication juga identik dengan kajian
public relations. Ini artinya, persoalannya bukan terletak pada mana
yang benar: konsep corporate communication atau public relations.
Tetapi bagaimana memahami dan mempraktikkan kedua konsep
tersebut secara etis. Apalagi kajian PR, tidak terbatas pada persoalan
corporate saja.
Sebagai bentuk komunikasi dalam konteks publik, kajian public
relations sesuai dengan model komunikasi ketiga yang ditawarkan oleh
West dan Turner (2010), yaitu model transaksional. Model ini memandang
komunikasi sebagai saling mempengaruhi di antara peserta komunikasi.

Dengan demikian PR dapat diartikan sebagai manajemen hubungan yang
saling mempengaruhi antara komunikator dan komunikan.
Konsep literasi PR muncul terinspirasi dari konsep lain yang sudah
berkembang terlebih dulu, literasi media. Namun, gagasan atau ide
utama kedua konsep ini sama, yaitu bagaimana orang-orang berpikir
kritis, karena baik media maupun public relations memiliki pengaruh
atau dampak bagi kehidupan manusia. Di Indonesia, konsep literasi PR
dapat dikatakan kajian yang baru. Apalagi masih banyak orang yang
memahami PR secara parsial menunjukkan bahwa kajian literasi PR
layak untuk dikembangkan.
3

Manajemen Image Kebhinekaan Indonesia

Literasi PR membantu orang-orang dalam memahami pesan
PR, teknik yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut,
dan dampak penggunaan teknik tersebut. Konsep literasi PR secara
sederhana dideinisikan sebagai kemampuan berpikir secara kritis
terhadap praktik-praktik public relations dan dampak praktik tersebut
pada individu dan masyarakat (Coombs and Holladay, 2010: 11).

Sejalan dengan konsep literasi media, pengertian literasi PR tidak
hanya sebatas kemampuan untuk mengidentiikasi, menganalisis dan
mengevaluasi pesan PR, tetapi juga mampu menciptakan pesan PR dan
memahami peran mereka dalam masyarakat demokratis (Holladay and
Coombs, 2013: 126)
Selanjutnya, Coombs dan Holladay (2010: 11) mengajukan lima
pertanyaan panduan tentang bagaimana berpikir secara kritis, yang
meliputi:
1. Siapa orang yang menciptakan pesan atau komunikatornya?
2. Mengapa komunikator mengirim pesan atau melakukan tindakan
tersebut?
3. Siapa yang diuntungkan atau dirugikan karena pesan atau tindakan
tersebut?
4. Siapa khalayak sasaran atau komunikannya?
5. Suara siapakah yang didengar dan yang tidak didengar?
Komunikator dalam Public Relations: Kajian Tentang Peran dan
Fungsi
Jika selama ini, ada anggapan bahwa komunikator dalam public
relations adalah perusahaan besar atau korporasi, maka anggapan ini
perlu diluruskan. Komunikator dalam kajian PR sangatlah luas, bisa

individu maupun organisasi, bisa organisasi proit maupun organisasi
nonproit. Berdasarkan pemahaman ini, maka kajian public relations
berbeda dan lebih luas daripada kajian corporate communication.
Dalam konteks individu, Wasesa dalam bukunya Political Branding
& Public Relations, menjelaskan bahwa politisi dapat memanfaatkan
strategi PR untuk meraih simpati dan empati warga. Sedangkan
dalam konteks organisasi, khususnya organisasi nonproit, Waters
dalam bukunya Public Relations in the Nonproit Sector memberikan
penjelasan bahwa strategi PR juga dapat diterapkan dalam organisasi
4

Abraham Wahyu Nugroho, Literasi Public Relations...

nirlaba. Demikian juga kita ketahui bahwa public relations juga
digunakan oleh pemerintah.
Sedangkan dalam konteks organisasi proit, kajian public relations
memunculkan perdebatan mengenai fungsi dan peran PR dalam
perusahaan atau korporasi. Banyak mahasiswa ketika akan magang atau
kuliah kerja praktik, bingung mencari tempat magang karena tidak ada
divisi atau departemen public relations atau humas di perusahaan yang

dituju. Dalam hal ini, kemampuan berpikir kritis diperlukan untuk
menganalisis siapa yang menjadi komunikator dalam menjalankan
fungsi PR di perusahaan tersebut.
Tidak semua perusahaan atau korporasi memiliki divisi public
relations atau hubungan masyarakat. Ini terkait dengan konsep fungsi
dan peran public relations. Pemahaman istilah fungsi terkait dengan
pekerjaan PR, seperti hubungan media (media relations), hubungan
investor (investor relations), hubungan pelanggan (customer relations),
hubungan komunitas sekitar (community relations), hubungan
karyawan (employee relations), dan hubungan pemerintah (government
relations). Sedangkan pemahaman istilah peran terkait dengan subyek
atau pelaku. Sehingga sangat dimungkinkan fungsi PR terkait hubungan
karyawan diperankan oleh divisi sumber daya manusia (SDM) pada
perusahaan tersebut.
Komunikan dalam Public Relations: Publik atau Masyarakat?
Apakah masyarakat sama dengan publik? Mungkin pertanyaan
ini terdengar sangat sepele. Namun pertanyaan ini penulis ajukan
berdasarkan konsep yang berkembang di Indonesia. Bahwa istilah
“public” dalam public relations diterjemahkan menjadi “masyarakat”.
Padahal, antara publik dengan masyarakat memiliki arti yang berbeda.

Ketidakmampuan praktisi PR dalam menetapkan komunikan atau
publik akan berdampak pada efektivitas dan eisiensi program PR.
Istilah publik (public) memiliki pemahaman yang lebih spesiik,
yaitu sekelompok orang yang terikat isu (Coombs and Holladay:
2010:3). Publik terbentuk ketika sekelompok orang sadar bahwa
mereka terhubung satu sama lain dan memilih untuk mengambil
tindakan. Sedangkan istilah masyarakat sangat generik. Artinya, tidak
semua orang dalam masyarakat merupakan publik dari seseorang
atau organisasi. Penetapan publik dengan jelas dan tepat melalui
5

Manajemen Image Kebhinekaan Indonesia

proses identiikasi masalah dan perencanaan seperti dalam tahapan
manajemen public relations, akan mempermudah tahapan berikutnya,
yaitu tindakan komunikasi dan evaluasi.
Apalagi dengan berkembangnya teknologi komunikasi (new
media), praktisi PR menghadapi tantangan berat dalam menentukan
siapa publiknya. Tantangan yang dimaksud adalah fenomena buzzword
atau viral yang berkembang saat ini. Hal ini disebabkan buzzword

atau kata-kata semacam dengungan lebah tidak memiliki pola yang
beraturan, sehingga sulit untuk mencari siapa saja yang terikat isu yang
berkembang.
Implementasi Literasi Public Relations
Tidak hanya sebatas pemahaman konseptual, literasi public relations
sebaiknya dapat diterapkan secara praktis, seperti dalam konteks
hubungan media, manajemen reputasi dan kajian CSR. Ada berbagai
cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan literasi public
relations. Misalnya, dalam konteks kajian media relations, konsumen
atau publik ketika membaca berita dapat mempertimbangkan
sumber berita tersebut. Karena banyak isi berita yang dikembangkan
berdasarkan upaya public relations dalam mengkonstruksi realitas
tertentu. Sehingga, ketika membaca berita tentang organisasi atau
korporasi, pembaca perlu berpikir kritis tentang pemilihan narasumber
berita. Selain itu, pembaca perlu mengembangkan kerangka evaluasi
kritis tentang yang diperoleh organisasi atau korporasi dari hasil
pemberitaan tersebut.
Apalagi ketika new media berkembang seperti sekarang ini,
tuntutan untuk berpikir kritis lebih kuat karena siapa saja dapat
menyampaikan informasi secara online. Pemikiran kritis ini muncul

dalam proses veriikasi informasi. Ketika publik atau pembaca
memperoleh informasi dari website atau media sosial organisasi atau
perusahaan, perlu dipertimbangkan bahwa informasi itu bias. Oleh
karena itu, perlu dibandingkan dengan informasi dari sumber lain.
Contoh lain adalah pemasaran sosial. Meskipun tampaknya
pemasaran sosial memiliki motif pro sosial, bukan berarti tidak perlu
mengkritik makna pesan yang terkandung di dalamnya. Bagaimanapun
juga, banyak perusahaan yang terlibat dalam pemasaran sosial sebagai
strategi untuk membangun atau memperkuat reputasi. Jadi, ketika suatu
6

Abraham Wahyu Nugroho, Literasi Public Relations...

organisasi atau perusahaan mensponsori pemasaran sosial, publik perlu
berpikir apa yang diperoleh organisasi atau perusahaan dari hasil menjadi
sponsor sebuah kampanye sosial. Cara berpikir kritis semacam ini dapat
membantu memilah isu pro sosial dari kepentingan pribadi.
Terkait isu pro sosial, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
seharusnya membantu masyarakat dan publik secara efektif, tidak
hanya soal reputasi perusahaan saja. Hal ini bukan berarti menolak
CSR, atau menolak keuntungan yang didapat dari CSR. Melainkan
perlu kerangka berpikir kritis menyoal CSR, terkait:
1. Bagaimana penilaian CSR?
2. Keuntungan apakah yang diperoleh stakeholder dan bagaimana
mereka diuntungkan?
3. Apakah upaya CSR sekadar kosmetik atau melekat pada kebijakan
dan praktik perusahaan?
4. Apakah upaya CSR bertujuan menutupi kelemahan perusahaan?
5. Apa yang diperoleh aktivis atau kelompok pengawas dari upaya
mengkritisi CSR?
Dalam konteks yang lebih luas, diplomasi publik sebagai bentuk
PR internasional dapat membentuk persepsi kita tentang sebuah
negara. Oleh karena itu kita perlu berpikir kritis tentang liputan media
tentang sebuah negara. Misalnya, mengapa suatu negara mendapatkan
pemberitaan yang positif? Sebaliknya, mengapa suatu negara
memperoleh pemberitaan secara negatif? Apa liputan media tentang
suatu negara diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya dan objektif?
Paparan berbagai contoh implementasi literasi PR di atas pada
dasarnya berangkat dari lima pertanyaan panduan yang dikemukakan
oleh Coombs dan Holladay. Lima pertanyaan tersebut menggambarkan
bagaimana cara mengidentiikasi dan menganalisis pesan public
relations. Masyarakat yang melek PR akan melakukan investigasi
informasi. Inilah yang sebenarnya dikatakan sebagai pemicu atau
pemantik transparansi. Masyarakat akan memeriksa pesan PR yang
masuk dalam kehidupan mereka dengan hati-hati.
Perlunya Kurikulum Literasi Public Relations
Masih sedikitnya kajian mengenai literasi PR menunjukkan bahwa
konsep ini tergolong kajian yang masih baru. Meskipun didasarkan
7

Manajemen Image Kebhinekaan Indonesia

pada pendekatan kritis yang sudah berkembang terlebih dahulu, perlu
adanya langkah praktis dalam menerapkan program literasi. Holladay
dan Coombs (2013: 134) menawarkan kerangka kerja yang lebih
spesiik yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Sedangkan tempat
yang logis untuk melatih dan mengembangkan kerangka kerja tersebut
adalah institusi pendidikan tinggi. Kurikulum literasi public relations
perlu dikembangkan untuk mendidik orang untuk berpikir kritis dalam
menanggapi dan memproduksi pesan public relations. Sebagai sebuah
proses komunikasi transaksional, peserta yang terlibat diharapkan
memiliki daya tawar yang sama-sama kuat.

Penutup
Perhatian tentang literasi PR perlu dikembangkan, khususnya di
Indonesia. Alasannya tidak sedikit pihak yang skeptis mengenai praktik
public relations, tetapi tidak mengembangkan kerangka berpikir kritis.
Para praktisi maupun akademisi yang menekuni bidang public relations
memiliki pekerjaan rumah dalam mendorong masyarakat untuk
berpikir kritis terhadap pesan-pesan PR, sehingga dapat memicu
transparansi dan akuntabilitas praktik public relations. Jika persepsi
parsial terhadap PR terus berkembang, maka ironi tentang PR sendiri
akan semakin kuat. Membangun citra yang positif memang menjadi
tugas seorang PR, tetapi citra PR sendiri diragukan.

8

Abraham Wahyu Nugroho, Literasi Public Relations...

Datar Pustaka
Coombs, W. Timothy and Sherry J. Holladay. (2010). PR Strategy and
Application: Managing Inluence. Chicester: Blackwell.
Moloney, Kevin. 2000. Rethinking Public Relations: he spin and the
substance. New York: Routledge.
-------. 2006. Rethinking Public Relations: PR Propaganda and
Democracy. New York: Routledge.
Sherry J. Holladay and W. Timothy Coombs. (2013). Public relations
literacy: Developing critical consumers of public relations. Public
Relations Inquiry, 2(2), 125-146. doi: 10.1177/2046147X13483673
heaker, Alison. 2004. he Public Relations Handbook. London:
Rouledge.
Wasesa, Silih Agung dan Jim Macnamara. 2010. Strategi Public
Relations. Jakarta: Gramedia.
-------. 2011. Political Branding & Public Relations. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
West, Richard and Turner, Lynn H. 2010. Introducing Communication
heory. Analysis and Application. New York: McGraw Hill.

9