Analisis Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan Desa Di Pemerintah Kota (Pemko) Padangsidimpuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsepsi Desa
Secara etimologis istilah atau perkataan “Desa” berasal dari bahasa

Sansekerta yang berarti “tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Selain itu
defenisi yang dikemukakan oleh Kartohadikoesoemo tentang Desa sebagai suatu
kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa
mengadakan pemerintahan sendiri.( Soeparmo,1977 : 15)
Wijaya (2002 : 65) menyatakan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam
sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten. Rumusan defenisi
Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999 adalah sebagai berikut:
“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal- usul yang
bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD
1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah

keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat”
Desa dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat
universal, terdapat dimana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang
terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap)
9

maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada
sektor pertanian.
Ciri utama yang terlekat pada setiap Desa adalah fungsinya sebagai tempat
tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Sementara
itu Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang Desa melalui pemilahan
pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: Kota,
negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, Desa, rukun tetangga
dan sebagainya).
Dalam hal ini Koentjaraningrat (1967 :162) mendefinisikan Desa sebagai
“komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat”. Koentjaraningrat tidak
memberikan penegasan bahwa komunitas Desa secara khusus tergantung pada
sektor pertanian. Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat Desa sebagai sebuah
komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri aktivitas ekonomi yang beragam,

tidak di sektor pertanian saja.
Desa pada mulanya terbentuk karena adanya kearifan lokal dan adat lokal
dalam suatu kelompok masyarakat untuk mengatur serta mengurus pengelolaan
sumberdaya lokal seperti kebun, sungai, tanah, hutan, dan sebagainya yang
diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat komunal. Atas dasar inilah
kemudian konstitusi dan regulasi negara memberikan pengakuan atas keberadaan
masyarakat adat atau Desa.
Pada dasarnya, Desa merupakan awal bagi terbentuknya masyarakat
politik dan pemerintahan di Indonesia.Jauh sebelum negara modern ini terbentuk,
kesatuan sosial sejenis Desa atau masyarakat adat telah menjadi institusi sosial
yang mempunyai posisi sangat penting.Mereka ini merupakan institusi yang

otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat
serta relatif mandiri dari campur tangan kekuasaan dari luar.(Santoso,2003 : 2)
Fiolosofi otonomi Desa dianggap sebagai kewenangan yang telah ada,
tumbuhmengakar dalam adat istiadat Desa bukan juga berarti pemberian atau
desentralisasi.Otonomi Desa berarti juga kemampuan masyarakat dalam mengatur
urusan rumah tangganya sendiri dan secara legal formal diatur oleh pemerintah
pusat.
Pambudi (2003 : 5 - 6 ) menyatakan dari sudut pandang politik dan

hukum, Desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan.Yaitu Desa
dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara
politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara.
Dengan sudut pandang ini Desa dipilah dalam beberapa unsur penting:
1. Adanya orang – orang atau kelompok orang.
2. Adanya pihak – pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin.
3. Adanya organisasi ( badan ) penyelenggara kekuasaan.
4. Adanya tempat atau wilayah yang menjadi teretori penyelenggara
kekuasaan.
5. Adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan
dalam proses pengambilan keputusan.
Selain Itu dengan mengacu pada teori strukturasi pemerintahan Desa
yangditurunkan dari pemikiran Giddens (1984), dapat ditunjukkan betapa
hubungan timbalbalikantara “agensi dan struktur” sangat mempengaruhi derajat
kinerja tata-pemerintahanDesa yang ditampilkan ke hadapan masyarakat.Teori
strukturasi

ini

membagi


dua

entitasyang

saling

berhubungan

dan

mempengaruhi.Pemerintahan Desa sebagai agen sangatdipengaruhi struktur
pemerintahan khususnya pada tataran yang lebih tinggi. Kinerjanya sangat
bergantung

bagaimana

anggaran

dibentuk.


Pengaruh

masyarakat

Desa

sebagaisuatu struktur juga dapat memengaruhi pemerintahan Desa dapat berjalan
Sebagai ruang (space), tetrsedianya arena perencanaan pembangunan,
social capital, penyelenggaraan pelayanan publik, gerakan sosial, pemberdayaan,
partisipasi, dan lain-lain.Kondisi demikian tentu harus terus dipelihara agar
tatanan kehidupan masyarakat Desa dapat tetap bertahan sesuai dengan semangat
hadirnya sebuah Desa dalam kehidupan masyarakat lokal.
Selain Desa juga ada Kelurahan yang juga digunakan dalam konteks tata
pemerintahan Indonesia.Sehingga perlu kiranya dipahami konseptualisasi antara
kedua lembaga tersebut yang dapat kita lihat melalui konsep self-governing
community dan local state government.
Sementara itu ada pula upaya untuk menjelaskan pengertian tentang Desa
melalui cara membandingkan karakteristik Desa yang kontras dengan
karakteristik Kota sebagaimana dikemukakan Roucek dan Warren (1962) dalam

tabel berikut ini.

Tabel 2.1. Perbandingan desa dan kota

Karakteristik Desa
1.

besarnya

Karakteristik Kota

peranan

kelompok 1. besarnya peranan kelompok sekunder.

primer.
2.

faktor


2. anonimitas merupakan ciri kehidupan
geografik

yang

menentukan sebagai dasar untuk
pembentukan kelompok/asosiasi.
3.

hubungan lebih bersifat intim dan

masyarakatnya.
3. heterogen.
4. mobilitas sosial tinggi.

awet.

5. tergantung pada spesialisasi.

4.


homogen.

6. hubungan antara orang satu dengan yang

5.

mobilitas sosial rendah.

6.

keluarga

lebih

ditekankan

fungsinya sebagai unit ekonomi.
7.


lebih di dasarkan atas kepentingan dari
pada kedaerahan.
7. lebih banyak tersedia lembaga atau
fasilitas untuk mendapatkan barang dan

populasi anak dalam proporsi
yang lebih besar.

2.2

pelayanan.
8. lebih banyak mengubah lingkungan.

Self Governing Community

Kata self-governing community diambil dari istilah masyarakat Eropa,
yang dalam bahasa perundang-undangan kita dimaksudkan sebagai “kesatuan
masyarakat hukum”. Sesungguhnya konsep demikian tersebut sering digunakan
dalam memahami “otonomi”, dimana otonomi dalam konteks daerah juga
dipahami sebagai hak dan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri

serta masyarakat didaerah tersebut. (Sutoro,2005 : 65)

Sebenarnya otonomi jika dilihat dari sisi yang lain terdiri dari tiga unsur
penting. Pertama, keleluasaan lokal untuk mengambil keputusan dalam rangka
mengatur rumah tangganya sendiri atau kepentingan masyarakatnya sesuai
kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat tersebut.Kedua,
Kekebalan dari “campur tangan” (intervensi) pemerintah yang bisa mengganggu
keleluasaan dan menmghambat kemandirian lokal. Makna kekebalan disini bukan
berarti berdaulat dan dapat berbuat sesuka hati tanpa dapat dibatasi. Dalam
konteks otonomi lokal, pemerintahan yang lebih tinggi tidak dibenarkan “campur
tangan” yang dapat merusak otonomi itu sendiri, akan tetapi memberikan “uluran
tangan’ yang berarti memfasilitasi daerah untuk meningkatkan kemandirian dan
kemampuannya, diantaranya dalam bentuk pembagian kewenangan, alokasi dana,
dan pengawasan. Ketiga, Kemampuan (kapasitas) lokal untuk mengurus serta
mengatur rumah tangganya sehingga tercapai tujuan peningkatan kesejahteraan,
kemandirian, pemerintahan yang baik, serta kemampuan dalam pemberdayaan
masyarakat.
Dengan adanya otonomi tersebut, maka kemudian gagasan otonomi harus
didukung dengan adanya desentralisasi.Desentralisasi merupakan pelimpahan
wewenang, tanggungjawab, kekuasaan, dan sumber daya dari pemerintah pusat ke

daerah termasuk pemerintahan Desa. Ketika otonomi dipahami sebagai kesatuan
masyarakat hukum (self-governing community) maka desentralisasi merupakan
bentuk kebijakan negara untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum ditingkat
lokal yang sekaligus membentuk pemerintahan lokal (local-self government) Pada
pemerintahan Indonesia, desentralisasi inilah yang menjadi “ruh” terhadap
keberadaan pemerintah daerah otonom atau otonomi daerah.

2.3

Local Government
Husein (2001 : 3) menyatakan Local government mengandung tiga arti,

yaitu Pertama, berarti pemerintahan lokal. Kedua, berarti pemerintahan lokal
yang dilakukan oleh pemerintah. Ketiga, berarti daerah otonom. Dalam arti yang
pertama merujuk pada lembaga/organnya, sehingga local government adalah
organ/badan/lembaga pemerintah di tingkat daerah. Istilah local government
kemudian dikenal dengan istilah local authority . Kedua istilah tersebut kemudian
merujuk pada council dan mayor yang rekrutmen pejabatnya melalui proses
election. Dalam konteks Indonesia, istilah ini merujuk pada kepala daerah dan
DPRD.
Dalam

arti

yang

kedua,

local

government

bermakna

sebagai

fungsi/kegiatannya, yang berarti pemerintahan daerah.Terdapat perbedaan antara
pemerintah daerah dengan pemerintahan daerah, dimana pemerintah daerah
adalah organisasinya yang berbentuk pasif, sementara pemerintahan daerah
merupakan bentuk aktifnya.Dengan demikian pemerintahan daerah adalah
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dalam pengertian ketiga, local government dimaknai sebagai daerah
otonom, yang definisinya diberikan oleh The United Nation of Public
Administration, yaitu subdivisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan secara
substansial memiliki kontrol atas urusan-urusan lokal. Badan pemerintahan ini
keseluruhannya dibentuk oleh dengan ditunjuk atau dipilih secara lokal.
Dari ketiga penjabaran mengenai local government tersebut, dapat terlihat
bahwa otonomi daerah berarti pemerintahan daerah otonom (self localgovernment).Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan yang badan

pemerintahannya dipilih oleh masyarakat setempat yang akan memiliki
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan regulasi yang
ada. Kelurahan sendiri dapat dimasukkan dalam pengertian local government
yang

pertama,

dimana

local

government

berarti

organ/badan/organisasi

pemerintah di daerah atau wadah yang menyelenggarakan pemerintahan di
daerah, dimana Kelurahan merupakan organisasi pemerintah daerah yang
birokratis dan wadah untuk menjalankan kegiatan pemerintahan.
Setidaknya terdapat tida posisi politik Desa di Indonesia:
1. Desa sebagai organisasi komunitas lokal yang memiliki pemerintahan
sendiri atau disebut sebagai self governing community, komunitas lokal
membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan
pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom.
2. Local self governmentmerupakan bentuk pemerintahan lokal yang otonom,
sebagai konsekwensi dari desentralisasi politik (devolusi).
3. Local state government, merupakan bentuk lain dari pemerintahan yang
sentralistik, yang tidak melakukan devolusi, melainkan hanya melakukan
dekonsentrasi. (Sutoro,2007 : 67)
Konsep pemerintahan Desa yang berbasis pada budaya lokal dimaksudkan
sebagai sebuah entitas yang bercirikan local geneous. Dengan kata lain, suatu
bentuk pemerintahan yang bersumber dari budaya masyarakat setempat. Parsudi
Suparlan mendefenisikan kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai

makhluk

social

yang

digunakannya

untuk

memahami

dan

menginterpetasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi suatu landasan

bagi tingkah lakunya. (http://prasetijo.wordpress.com/2008/09/11/ defenisikebudayaan-menurut-parsudi-suparlan-alm/).
Kebudayaan dalam hal ini sebagai blue print atau pedoman menyeluruh
bagi kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Dalam
perspektif ini kebudayaan terdiri dari perangkat-perangkat yang menjadi sistemsistem acuan atau model-model kognitif yang berlaku pada berbagai tingkat
pengetahuan, perasaan, dan kesadaran. Hal ini menunjukkan kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan yang bersifat operasional, yaitu sebagai keseluruhan
pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya
adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi,
serta untuk mendorong dan menciptakan tindakan –tindakan yang diperlukannya.
(Sobuwati,1993 : 35)
Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam
kepala manusia dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakukan dan hasil
kelakuan manusia). Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas rangkaian konsepkonsep dan model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah
laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam menghadapi suatu
lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan binaan. Kebudayaan sebagai
model-model pengetahuan tercakup di dalamnya serangkaian nilai-nilai, norma,
hukum maupun peraturan-peraturan yang ada di dalam kebudayaan itu sendiri.
Jadi, nilai-nilai tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi oleh pendukungnya.

Dengan demikian, pemerintahan Desa yang berbasis budaya lokal pada
dasarnya menunjuk kepada pemerintahan Desa dengan otonomi komunitas asli.
Hal ini telah dimulai oleh beberapa Desa seperti halnya di Sumatera Barat dengan
kembali kepada konsep awal yakni: Nagari Gantuang Ciri, Sumani, dan Alahan
Panjang. Ketiga nagari yang telah yang telah kembali ke konsep awal pemerintah
terkecil dan otonomi dalam konteks budaya Minangkabau merupakan suatu
tanggapan terhadap otonomi daerah yang diberlakukan pemerintah.(Nomba,2002 :
17)
Berkaitan dengan pemerintahan Desa yang berbasis pada budaya lokal
atau yang mengangkat kearifan lokal mencerminkan sistem pemerintahan yang
dibentuk oleh masyarakat lokal yang didasarkan oleh budaya masyarakat tersebut.
Pemerintahan Desa yang mencerminkan tatanan nilai, norma, hukum, maupun
peraturan dari kebudayaan masyarakat yang menetap di Desa tersebut. Di samping
itu, tercakup di dalamnya pemerintahan Desa yang menjamin keberlangsungan
kehidupan sosial yang terjaga dan terciptanya kesejahteraan sosial masyarakat
lokal.
Dari aspek politik, pemerintahan Desa yang berbasis budaya lokal sebagai
perwujudan dari self-governing community dan local government dalam
pengertian sebagai wilayah otonom yang diatur oleh hukum dan secara substansial
memiliki

kontrol

atas

urusan-urusan

lokal.Seyogianya

kemampuan

dan

keberadaan pemerintahan Desa yang berbasis budaya lokal dalam mengurus
rumah tangganya sendiri harus difasilitas dan dilegalisasi keberadaannya oleh
negara.
2.4

Otonomi Desa Menurut Undang-undang No. 6 Tahun 2014

Pasca kenaikan kelas PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menjadi UU Nomor 6
Tahun 2014, eksistensi Desa tampak memperoleh derajat keninggratan sebahu dengan
entitas pemerintahan daerah. Secara historis, posisi Desa sebenarnya pernah sederajat
lewat Undang-Undang 5 Tahun 1979, bahkan UU 19 Tahun 1965 yang segera layu
sebelum berkembang. Pasca reformasi 1998, pengaturan soal Desa seakan turun
ranjanglewatPeraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang ditindaklanjuti lewat
peraturan daerah masing-masing.Dengan harapan besar yang disandarkan pada UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi Desa dibayangkan
tumbuh kembali sebagaimana masa sebelum 1979. Sayangnya, otonomi Desa justru
mengalami penyusutan akibat ekspansi otonomi daerah. Semakin luas hak mengatur
dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan kewajiban
otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi Desa. Desa menjadi
powerless, kehilangan kewenangan sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki
otonomi asli.Otonomi Desa yang awalnya asli ketika itu berubah menjadi palsu.
Harus diakui bahwa pemalsuan otonomi Desa sebenarnya telah terjadi sejak
diterapkannya UU 5/1979. Orde baru praktis memalsukan semua kumpulan warga
dalam bentuk apapun kedalam identitas bernama Desa.Kebijakan uniformitas
mengakibatkan musnahnya sistem sosial mikro yang menjadi penunjang bagi upaya
penyelesaian masalah sosial secara fungsional. Desa dan semua perangkatnya berubah
menjadi mesin birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan rezim
berkuasa secara top down. Dengan sendirinya peran dan kedudukan Desa mengalami
pergeseran dari entitas sosial yang bertumpu pada kehendak basis alami terkecil
masyarakat menjadi unit pemerintahan mikro yang bersandar bagi kepentingan
pemerintah.

Kini Desa seakan siuman kembali setelah mengalami tidur panjang (1979-1999),
serta pelucutan sebagian besar otonomi aslinya pasca reformasi (1999-2013). UndangUndang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu
mengembalikan otonomi asli Desa sebagaimana pernah dirampas orde baru, serta pada
saat yang sama mengembangkan otonomi Desa untuk membatasi intervensi otonomi
daerah pasca reformasi. Jika mempelajari substansi pengaturan soal Desa dalam batang
tubuh, tampak bahwa rezim Desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama,
yaitu menegaskan kembali keragaman Desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh
UU 22/1999 dan UU 32/2004. Desadan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus
urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh
negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Bahkan lebih dari itu rezim ini memberi tempat bagi tumbuhnya Desa adat
diluar Desa administratif.Terhadap persoalan kedua tampak bahwa Desa diharapkan
mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang
mengancam hingga ke pori-pori Desa.Untuk mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini
memberi senjata yang lebih efektif digunakan Desa dalam meningkatkan bargaining
position ketika berhadapan dengan supraDesa.Persoalannya adalah apakah pengaturan
soal Desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi ancaman nyata bagi
pertumbuhan dan perkembangan otonomi Desa? Tulisan ini akan melihat akar
pertumbuhan dan perkembangan otonomi Desa di Indonesia serta sejumlah catatan
penting bagi peluang tumbuhnya otonomi Desa. Uraian ini juga akan menyertakan
beberapa catatan kritis terhadap pengaturan Desa yang berpotensi menjadi ancaman
dikemudian hari.
Secara umum tidak ada satupun sumber yang memberi informasi pasti tentang
awal tumbuhnya Desa atau semacamnya. Entitas mikro demikian pada awalnya

hanyalah kumpulan individu yang terikat menurut kekerabatan keluarga. Perluasan
keluarga melalui proses biologis, tuntutan ekonomi dan insting politik kemudian
membentuk marga yang semakin ekslusif dengan ciri tertentu misalnya keluarga besar
Chaniago di Sumatera Barat atau keluarga Latunrung di Sulawesi Selatan. Dalam
perspektif sosiologi pemerintahan, entitas pemerintahan terendah semacam Desa diakui
merupakan basis tumbuhnya pemerintahan yang lebih luas dan kompleks sebagaimana
pemerintahan modern dewasa ini. (Iver,1999 : 33-35)
Suroyo (Nurcholis, 2013 : 69) menyatakan Desa-Desa yang telah ada jauh
sebelum itu memiliki konstruksi organisasi paling minimalis dimana kepala Desa
merupakan simbol dalam semua entitas pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan
politik. Integrasi semua fungsi dalam personifikasi kepala Desa merupakan konstruksi
sistem politik totaliter klasik yang cenderung memberi diskresi bagi kepala Desa dalam
memainkan peran dominan bagi kehidupan kelompok. Secara kelembagaan kepala Desa
menjadi representasi politik sebab ia secara traditional dilahirkan untuk memimpin
kelompok masyarakat dalam sebutan yang tertua (tetua).
Sekalipun terjadi diferensiasi semacam lembaga ekonomi Desa yang berfungsi
mengelola kekayaan Desa, lembaga sosial mengatur perilaku masyarakat Desa, serta
lembaga keamanan yang bertanggungjawab terhadap ancaman pihak luar, namun
secara keseluruhan semua keputusan menjadi otoritas tunggal kepala Desa. Keputusan
yang berkaitan dengan alokasi sumber daya bagi kepentingan orang banyak, pemberian
hukuman yang setimpal bagi pelanggar sistem sosial, serta keputusan strategis dengan
alasan keselamatan anggota keluarga tetap saja ditentukan secara sentralistik kepala
Desa. Oleh karena Desa berada dalam cakupan pemerintahan yang lebih luas, maka
peranan kepala Desa dalam aspek budaya seringkali menjadi simbol bagi integrasi

kepentingan makro-kosmos (alam atas, supraDesa), dan mikro-kosmos (alam bawah,
infraDesa).
Dalam hubungan itu Theodore Smith (1985) menegaskan bahwa kepala Desa di
Indonesia pada hakekatnya memiliki dua aspek penting yaitu pengakuan secara
traditional masyarakat sekaligus mewakili pemerintah di Desa. Penting dipahami bahwa
aspek terakhir menjadi titik tumbuhnya otonomi Desa, dimana pengakuan masyarakat
secara de fakto adalah spirit utama bagi pemimpin di Desa untuk mengembangkannya
kedalam urusan pemerintahan yang semakin kompleks sebagai tuntutan yang terus
berkembang baik internal maupun eksternal. Pada titik tertinggi entitas semacam itu
berubah menjadi pemerintahan yang lebih kompleks seperti negara. Oleh karena negara
merupakan refleksi paling sempurna yang lahir dari rahim Desa, maka tidaklah salah jika
negara penting mengakui dan menghormati eksistensi Desa atau semacamnya sebagai
akar-akar pemerintahan.
Desa dengan berbagai aspek diatas pada pokoknya menjadi basis bagi
representasi semua entitas dalam batas kumpulan individu yang memiliki karakteristik
homogen, terikat kuat secara emosional dalam suatu sistem sosial budaya serta memiliki
organisasi yang bersifat primitif dimana kepala Desa menjadi sentral gravitasi politik,
ekonomi dan sosial budaya. Dalam batasan Beratha (1982:26), Desa dimaknai sebagai
salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir
semuanya saling mengenal, kebanyakan hidup dari pertanian, perikanan dan
sebagainya, usaha yang dapat dipegaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam
tempat tinggal itu terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan
kaidah-kaidah sosial. Batasan tersebut setidaknya menggambarkan karakteristik Desa
yang menurut Ferdinand Tonies (1887) sejalan dengan karakteristik gemenschaft
dibanding gesselschaft.

Secara historis jejak pertumbuhan dan perkembangan Desa di Indonesia
setidaknya dapat ditelusuri dari catatan Muntinghe kepada Raffles (dalam Thahir,
2013:690. Namun jauh sebelum temuan tersebut diyakini terdapat Desa atau dengan
beragam nama lain seperti Dusun, Marga, Kampung, Gampong, Dati, Nagari dan Wanua
yang tersebar di wilayah Jawa dan luar Jawa. Hingga memasuki politik etik Belanda,
catatan Van der Wals dkk (1872) ketika bertugas sebagai Pamongpraja muda di
beberapa daerah menunjukkan bahwa diferensiasi tersebut secara perlahan mengalami
perkembangan, dimana pengambilan keputusan menjadi bagian yang diputuskan oleh
lembaga hukum tersendiri semacam unit mahkamah syariahdi Aceh atau unit kerapatan
khusus di Minangkabau. Sekalipun demikian tetap saja pengambilan keputusan akhir
memberi peluang bagi keterlibatan pihak eksekutif kepala Desa dalam kolektivitas hakim
yang disepakati melalui hukum adat setempat.
Dalam proses semacam itu Desa tampak memperlihatkan bibit demokrasi,
dimana pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif, bersifat kelembagaan (adhoc),
melibatkan beberapa tokoh yang merepresentasikan kepentingan tertentu, serta dalam
suatu wadah yang relatif terpisahkan dari eksekutif. Namun demikian meskipun
pelembagaan politik memperlihatkan perubahan kearah deferensiasi, namun kebiasaan
pemilihan kepala Desa yang awalnya bersifat turun-temurun (tradisionalistik)
dikemudian hari berubah pula lewat pemilihan secara tak langsung yang diwakili oleh
sekelompok orang. Fenomena tersebut cukup menarik dalam pandangan Raffles (1811),
sehingga pola demokrasi representatif oleh sekelompok pengurus Desa yang memilih
kepala Desa kemudian diubah menjadi mekanisme demokrasi langsung dimana kepala
Desa dipilih oleh masyarakat dari beberapa orang yang dipandang mampu (Nurcholis,
2013:68). Upaya demikian bukan tanpa maksud sama sekali, Raffles berkeinginan
memutus jenjang hirarkhi yang selama ini terbentuk antara kaum ninggrat Jawa dengan

basis sosial sebagai produk peninggalan kebijakan kolonialisme Belanda mendekati
kebangkrutan VOC di Indonesia tahun 1798
Terlepas dari itu, hingga tahun 1854 Desa kemudian memperoleh pijakan lewat
Regeringsreglement (RR) yang kemudian melahirkan peraturan pelaksanaan berbentuk
Inlandse

Gemeente

Ordonantie

(IGO)

dan

Inlandse

Gemeente

Ordonantie

Buitengewesteen(IGOB). Pada masa pendudukan Jepang pengaturan soal Desa relatif tak
mengalami perubahan signifikan kecuali pembatasan soal masa jabatan kepala Desa
yang selama ini bergantung pada konsensus dalam masyarakat.
Pasca kemerdekaan Indonesia (1945), pengaturan soal Desa sebenarnya tak
memperoleh landasan konstitusional yang bersifat eksplisit, kecuali kesatuan
masyarakat hukum adat yang telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia
merdeka. Satuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sebagaimana terlihat
dalam pengaturan pasal 18B ayat (4) hingga amandemen terakhir pasal 18B ayat (2). Hal
ini menyiratkan bahwa hanya satuan masyarakat hukum adat sajalah yang diakui dan
dihormati negara, selain satuan daerah yang bersifat khusus/istimewa sebagaimana
diatur pula dalam pasal 18B ayat (1). Oleh karena konstitusi tak menyebut jelas
eksistensi Desa-Desa bentukan yang bersifat administratif (Desa dinas) setelah
kemerdekaan Indonesia, maka sejauh ini harus diakui bahwa logika konstitusi hanya
memberi landasan kuat bagi satuan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini di sebut
Desa adat sesuai penjelasan konstitusi awal.
Konsekuensi dari hal itu maka pengaturan selanjutnya oleh UU Nomor 22 Tahun
1948, UU Nomor 1 Tahun 1957 dan UU Nomor 19 Tahun 1965 menempatkan Desa
sebagai lokus otonomi tingkat tiga. Dengan alasan Desa dan semua entitas semacamnya
adalah sendi-sendi negara maka perluasan dan dinamisasi Desa dibutuhkan untuk
mendorong kemajuan negara secara umum. Sekalipun keinginan untuk meningkatkan

Desa memperoleh pijakan yang cukup, namun keadaan negara yang tak begitu stabil
mengakibatkan upaya mewujudkan Desa sebagai entitas otonom selain daerah otonom
tingkat satu dan dua tak dapat direalisasikan.
Memasuki tahun 1979, Desa mengalami degradasi dari Desain awal sebagai
daerah otonom tingkat tiga. Rezim orde baru lewat UU Nomor 5/1979 meletakkan Desa
sebagai instrumen birokrasi melalui kebijakan uniformitas terhadap semua entitas mikro
di level bawah dengan istilah Desa. Sepanjang kebijakan ini diterapkan, Desa-Desa adat
mengalami proses transisi dari suatu sistem nilai lama yang bertumpu pada kepentingan
sosial mikro menjadi satu sistem nilai yang bertumpu bagi kepentingan penguasa dan
birokrasi. Akibatnya seluruh tatanan Desa asli berangsur-angsur mengubah diri secara
sistemik atau terpaksa menjadi Desa bergaya administratif. Dalam kondisi semacam itu
sekalipun tetap bernama Desa, namun secara cepat kehilangan otonomi, berorientasi
keatas, serta praktis tak tumbuh sebagai entitas yang diharapkan dapat menyelesaikan
masalah Desa secara fungsional.
Sebenarnya, hancurnya sistem nilai Desa dalam 30 tahun terakhir pasca
kejatuhan orde baru disadari oleh rezim orde reformasi yang kemudian mencoba
memulihkan realitas Desa melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Sayangnya, upaya menghadirkan wajah Desa yang lebih
merdeka dalam aspek otonomi aslinya tak juga memperlihatkan hasil yang maksimal.
Hal ini justru disebabkan oleh kuatnya ekspansi otonomi daerah yang memasuki poripori Desa. Desa dan atau nama lain semestinya dapat ditumbuh-kembangkan oleh
pemerintah daerah melalui kebijakan yang sesuai dengan karakternya masing-masing.
Faktanya, semua kebijakan pemerintah daerah relatif melalui peraturan daerah
semakin membatasi otonomi Desa, bahkan melenyapkan peluang otonomi yang diakui
dan dihormati negara dalam konstitusi. Penempatan sekretaris Desa dari pegawai negeri

sipil serta longgarnya konsistensi daerah dalam alokasi dana Desa membuat Desa
semakin terpojok dalam kemiskinan otonomi. Akhirnya Desa tampak seperti keluar dari
himpitan negara selama 30 tahun dalam kerangka local state government, tiba-tiba
berada dibawah ketiakpemerintah daerahdalam pendekatan yang lebih interventif atas
nama otonomi daerah (local self government). Harus dikatakan bahwa episode Desa
dalam kurun waktu otonomi daerah dilaksanakan tak memberi perubahan signifikan,
kecuali sejumlah daerah yang secara politis mencoba mengintrodusir Desa lewat
bantuan diatas 1 milyar.

2.5

Birokrasi Pemerintahan
Secara teoritis, Thoha menyebutkan bahwa terdapat tiga unsur penting di

dalam konsep birokrasi.Pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis
(technical instrument).Kedua, birokrasi dilihat sebagai kekuatan independen di
dalam masyarakat sepanjang dilekatkan pada penerapan sebagai instrumen
teknis.Ketiga, pengembangan dari sikap ini para birokrat tak mampu memisahkan
perilaku mereka dari kepentingannya sebagai kelompok partikular.Sehingga bisa
keluar dari fungsi seharusnya sebab anggotanya cenderung datang dari kelas
sosial yang partikular juga. Elemen yang kedua dan ketiga tersebut mengandung
pengertian birokrasi hampir mustahil dipisahkan dari politik.
Birokrasi merupakan bidang kajian yang sudah menjadi perhatian para
ilmuwan sosial dan politik sejak lama.Hal ini disebabkan pengaruh birokrasi
terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang begitu besar, umumnya

dalam konteks pelayanan publik yang merupakan fungsi dari pemerintahan sebuah
negara. Menyitir Blau dan Meyer, preferensi birokratisasi telah mengalami
perubahan mendasar dan signifikan sejak seratus tahun terakhir. Birokrasi
menjelma menjadi lembaga yang dominan dan menjadi simbol lahirnya zaman
modern. (PM Blau dan MW Meyer, 2000)
Terminologi birokrasi dalam kepustakaan ilmu administrasi negara dan
ilmu politik senantiasa digunakan dalam beberapa pengertian, antara lain yang
mengatakan bahwa birokrasi sebagai keseluruhan pejabat negara dibawah pejabat
politik, atau keseluruhan pejabat negara dalam cabang eksekutif. Pada jenjang
administratif, negara memiliki ketergantungan yang kuat pada birokrasi yang
menjamin kemampuan negara untuk menanggulangi akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh proses-proses diferensiasi sebagai salah satu hasil dari
modernisasi. Disini Negara membutuhkan kemampuan para birokrat untuk
merumuskan kebijakan-kebijakan yang diperlukan pemerintah.
Birokrasi adalah organisasi terdepan dari pemerintahan suatu negara yang
berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.karena
birokrasi merupakan organisasi pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat
secara keseluruhan, maka secara politik birokrasi harus senantiasa netral dan tidak
berafiliasi pada salah satu kepentingan politik maupun organisasi politik, seperti
partai politik. Birokrasi merupakan tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengkoordinir
secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. (Batinggi, 1999)
Menurut Muhammad Ryas Rasyid (1999), birokrasi adalah hirarkial, diikat
oleh sistem legislasi yang relatif luas dalam mengalokasikan wewenang

kekuasaan, mendistribusikannya secara berkait-kait, sehingga baru bermakna
secara operasional apabila ada imajinasi setiap tingkat, setiap sector, setiap
fungsionaris bahwa ia tidak semata-mata mengarahkan lingkungan, tetapi juga
melayani lingkungan. Ciri sentral dari model birokrasi Weber adalah pembagian
kerja yang sistematis, dimana ciri-ciri idealnya adalah:
1.

Adanya suatu struktur hirarki, termasuk pendelegasian wewenang

dari atas ke bawah dalam organisasi. (a hierarchial structure involving delegation
of authority from the top bottom of organization);
2.

Adanya serangkaian posisi-posisi jabatan yang masing-masing

memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas. (a series an officials positions,
each having prescribed duties and responsinbilities);
3.

Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal

yang mengatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggotanya. (formal
rules, regulations and standard governing operations at the organization and
behavior of members);
4.

Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat yang

dipekerjakan atas dasar karir dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi
dan penampilan. (technically qualified personel employed on a career base, with
promotion based on qualifications and performance).
Dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan birokrasi dalam
konteks ini adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugastugas Negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah, dibawah departemen dan
lembaga non-departemen, baik di pusat maupun didaerah, seperti di tingkat
provinsi, kabupaten, kecamatan maupun Desa atau Kelurahan.

2.6

Good Governance
Pengertian Good Governance (Mardiasmo,1998 : 18) adalah suatu konsep

pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sector public oleh pemerintahan
yang baik. Lebih lanjut Bank Dunia menyebut Good Governance adalah suatu konsep
dalam penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab
sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan
investasi yang langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administrative, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. (Solichin,1990 :34)
Selain itu Bank dunia juga mensinonimkan Good Governance sebagai hubungan
sinergis dan konstruktif di antara negara, sector dan masyarakat. Dalam Sistem
Admnistrasi Indonesia penerapan good governance seperti dalam pengertian yang
dikembangkan oleh UNDP. Berdasarkan Dokumen Kebijakan UNDP dalam “Tata
Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, Januari 1997, yang
dikutip dari buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata
Pemerintahan di Indonesia ( Partnership for Governance Reform in Indonesia ), 2000,
disebutkan: Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan
administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana
warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,
menggunakan hak hukum.

Satu karakteristik lagi terhadap good governance yaitu adanya jaminan
perlakuan yang adil dan jaminan perlakuan kesetaraan. Hal ini berarti bahwa
pemberi layanan publik dituntut untuk tidak membeda-bedakan para pengguna

layanan, apapun status dan latar belakangnya. Selanjutnya berlandaskan beberapa
karakteristik good governance yang dikemukakan UNDP, Sedarmayanti
menyimpulkan

bahwa

wujud

good governance

adalah

penyelenggaraan

pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab serta efektif dan efisien,
dengan menjaga kesinergian hubungan yang konstruktif diantara ketiga domein
yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Selain itu setiap instansi
diharapkan
meningkatkan

dapat

mengembangkan langkah-langkah

pelayanan

kepada masyarakat

sehingga

strategi

untuk

terwujud

suatu

pelayanan prima menuju good governance.
2.7

Pelayanan Publik
Pelayanan

publik

didefinisikan oleh Pasolong (2008 : 128) sebagai

pemberian pelayanan keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang
telah ditetapkan , dan atau juga sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur
dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai
haknya. Merujuk pada dua definisi tersebut, maka dalam kegiatan pelayanan
publik terdapat dua kubu yang saling berhubungan yaitu pemberi layanan di satu
sisi dan pengguna layanan di sisi yang lain.
Menyinggung tentang implementasi pelayanan publik di Indonesia,
maka masyarakat berposisi sebagai pihak yang dilayani sedangkan pemerintah
sebagai pihak yang memberikan layanan. Adanya penegasan posisi kedua pihak
dalam pelayanan publik tesebut dilatarbelakangi oleh kasus pengalaman di era
sebelum reformasi pemerintahan

bergulir,

yang memposisikan pemerintah

sebagai pihak yang dilayani dan sebaliknya masyarakat sebagai pihak pemberi
layanan.
Kondisi posisi dalam pelayanan publik yang melenceng seperti ini
kemudian diluruskan sesuai perannya, dan hal ini ditegaskan dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, yaitu bahwa : 1)
Penyelenggara pelayanan

publik

yang

selanjutnya disebut

Penyelenggara

adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik,
dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan
publik. 2) Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk
sebagai

orang

perseorangan,

kelompok,

maupun

badan

hukum

yang

berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Kemudian ditinjau dari sisi jenisnya, pelayanan publik oleh Pasolong
diklasifikasikan ke dalam : 1) Pelayanan Barang, adalah pelayanan yang diberikan
oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan
berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampaiannya

kepada

konsumen

langsung dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan
produk akhir berwujud benda yang memberikan nilai tambah bagi penggunanya.
2) Pelayanan Jasa, adalah pelayanan yang diberikan unit pelayanan berupa sarana
dan prasarana serta penunjangnya, dimana produk akhirnya berupa jasa yang
juga mendatangkan manfaat bagi penerimanya. 3) Pelayanan Administratif,
adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan,
penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya

yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen, misalnya
sertifikat, ijin-ijin, rekomendasi, keterangan dan lain-lain. (Pasolong,2008 :128)
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik, menyebutkan beberapa asas pelayanan publik yang apabila dicermati
maknanya akan senada dengan kualitas pelayanan publik, yaitu meliputi (1)
Untuk kepentingan umum, (2) Adanya kepastian hukum, (3) Adanya kesamaan
hak, (4) Adanya keseimbangan hak dan kewajiban, (5) Adanya keprofesionalan,
(6) Adanya partisipasi, (7) Adanya persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, (8)
Adanya keterbukaan, (9) Adanya akuntabilitas, (10) Tersedianya fasilitas dan
perlakuan khusus bagi kelompok rentan, (11) Adanya ketepatan waktu serta
(12) Adanya kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Kualitas pelayanan publik dibagi ke dalam lima dimensi besar, meliputi :
(1). Keandalan, yaitu adanya kemampuan penyedia jasa dalam memberikan
jasa/produk yang tepat dan dapat diandalkan. Penyedia jasa harus mampu
memberikan pelayanan yang telah dijanjikan secara akurat, dapat dipercaya dan
dapat diandalkan. Disamping itu kinerja harus sesuai dengan harapan konsumen,
yang berarti adanya ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua
konsumen dengan tanpa membeda-bedakan konsumen dari sudut apapun juga,
tanpa kesalahan serta sikap yang simpatik dan akurasi yang tinggi. (2). Daya
Tanggap, yaitu adanya sikap baik untuk dapat membantu dan memberikan
pelayanan kepada konsumen dengan cepat. Penyedia jasa/produk termasuk para
bawahannya harus bersedia membantu memberikan pelayanan dengan tepat
sesuai kebutuhan konsumen. Dimensi ini menekankan pada sikap dari pemberi
jasa/produk yang penuh perhatian, tepat dan cepat dalam memberikan pelayanan,

sigap dalam menghadapi permintaan, pertanyaan,

keluhan

dan

masalah

konsumen dengan penyampaian informasi secara jelas. Adanya sikap membiarkan
konsumen menunggu tanpa adanya alasan yang jelas akan menyebabkan persepsi
negatif dalam kualitas pelayanan. (3). Jaminan, yaitu adanya kemampuan dan
kesopanan serta sifat dapat dipercaya bagi para karyawan, bebas dari bahaya,
bebas dari resiko dan keragu-raguan. Dimensi ini menekankan pada kemampuan
penyedia jasa/produk untuk membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri
para konsumen bahwa pihak penyedia jasa terutama para karyawannya mampu
memenuhi kebutuhan para konsumennya tersebut. (4). Perhatian, yaitu adanya
perhatian para karyawan terhadap kebutuhan konsumen. Dimensi ini memberikan
perhatian yang tulus

dan

bersifat

konsumen dengan berupaya

individual

memahami

yang diberikan kepada para

keinginannya. Dimensi ini juga

menekankan adanya kemampuan penyedia jasa/produk untuk memperlakukan
konsumen secara khusus dengan tanpa membeda-bedakannya. (5).Bukti Fisik,
yaitu penyediaan fasilitas jasa fisik seperti gedung, peralatan, interior serta
penampilan fisik personal penyedia jasa/produk. Dimensi ini menekankan pada
kemampuan penyedia jasa/produk dalam menampakkan bukti fisik yang bertujuan
memberikan rasa nyaman pada para konsumen. (Tjiptono, 2004 :28)
Salah satu

ukuran

keberhasilan

kualitas pelayanan adalah sangat

tergantung pada tingkat kepuasan pengguna layanan. Apabila pengguna layanan
merasa puas dengan pelayanan yang diberikan pemberi layanan maka berarti
pelayanan tersebut berkualitas,

dan

sebaliknya

apabila pengguna

layanan

merasa kecewa terhadap suatu pelayanan maka berarti pelayanan yang diberikan
tidak berkualitas. (Pasolong, 2008 :134)