Analisis Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan Desa Di Pemerintah Kota (Pemko) Padangsidimpuan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Munculnya istilah good governance sekarang mendorong para ilmuwan

politik untuk tidak sekedar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga,
melainkan juga pemerintahan sebagai proses multi arah, yaitu proses memerintah
yang melibatkan pemerintah dengan unsur-unsur di luar pemerintah. Governance
adalah bentuk interaksi antara negara dan masyarakat sipil. (Dwipayana,2003: 8)
Governance tidaklah sama dengan government (pemerintah) dalam arti
sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang
luas. Jon Pierre dan Guy Peters misalnya, memahami governance sebagai sebuah
konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan
lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu
politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir tentang
governance, demikian Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang
bagaimana mengendalikan ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai
tujuan-tujuan bersama. (Jon Pirre dan Guy Peters,2000 : 1)

Bank Dunia, mendefinisikan governance sebagai tindakan pemegang
kekuasaan untuk mengelola urusan-urusan nasional. Governance bisa juga
diartikan sebagai pengelolaan struktur rezim dengan sebuah pandangan untuk
memperkuat

legitimasi

penyelenggaraan

kekuasaan

di

mata

kehidupan

publik.Legitimasi adalah variabel yang tergantung yang dihasilkan oleh
governance yang efektif. (Dwipayana, 2003 : 9)
1


Jika perspektif government memandang negara adalah segala-galanya
maka perspektif governance mempunyai sejumlah paradigma baru dalam
mengelola negara yang bersandar pada enam prinsip utama :
1. Negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan
hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara yang mempunyai kapasitas
memadai untuk memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk
mencapaii tujuan besar.
2. Negara bukan lagi sentrum “kekuasaan formal” tetapi sebagai sentrum
“kapasitas

politik”.

Kekuasaan

negara

harus

ditransformasikan


dari

“kekuasaan atas” (power over) menuju “kekuasaan untuk” (power to).
3. Negara harus berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level: ke atas pada
organisasi transnasional, ke samping pada NGO dan swasta, serta ke bawah
pada daerah dan masyarakat lokal.
4. Negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar
mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan
pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis.
5. Negara harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda
pembuatan keputusan dan pemberian layanan publik.
6. Penyelenggara negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi dan
akuntabilitas publik. (Dwipayana, 2003 : 12)
Dalam

melihat

penyelenggaraan


pemerintahan

negara,

khususnya

penyelenggaraan negara yang berada pada posisi paling bawah yang langsung
bersentuhan dengan masyarakat, di Indonesia dapat ditemukan pada pemerintahan
Desa. Desa merupakan sesuatu organisasi yang penting sebagai bagian dari

kesatuan organisasi pemerintahan. Desa menjadi tumpuan karena di Desalah
terdapat aktivitas masyarakat yang menghidupi Kota. Di Desa juga terdapat
aktivitas masyarakat yang mengedepankan aspek sosial kultural. Selain itu di
Desa pula isu-isu seputar nilai-nilai kearifan lokal serta isu-isu lingkungan dan
perlindungan kelestarian alam diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang
berbeda-beda.
Kebijakan yang mengatur tentang Desa di Indonesia menunjukkan dampak
yang luas terhadap kehidupan di Desa itu sendiri, baik dalam aspek sosial,
ekonomi, politik maupun sosiologis. Di masa pemerintahan Orde Baru,
pengaturan tentang pemerintahan Desa terdapat dalam UU No.5/1979. Dilihat dari

UU ini, Desa disebut sebagai wilayah administratif. Belakangan diketahui bahwa
undang-undang No UU No.5/1979 menyebabkan Desa kehilangan ciri khasnya.
Komunitas Desa harus menerapkan sistem pemerintahan Desa yang berbeda
dengan sistem yang mereka gunakan sebelum lahirnya UU No.5/1979.
Dalam perspektif ini UU No.5/1979 menyebabkan hilangnya corak Desa
yang lama.UU No. 5/1979 juga menyebabkan hilangnya hak-hak yang dimiliki
oleh Desa dalam hal pengaturan dan penguasaan atas aset utama masyarakat Desa.
Aset masyarakat Desa tersebut berupa lingkungan alam yang nilainya tidak bisa
dipisah-pisahkan. Tanah, air yang berasal dari sungai, hutan yang menjadi resapan
air maupun aset alam lainnya menjadikan Desa sebagai basis kehidupan
masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam secara damai. Pola ini
memberikan dampak keuntungan bersama.
Perubahan tatanan ini secara empirik telah membuktikan berdampak buruk
pada perubahan karakter sosial masyarakat Desa. Masyarakat Desa berubah dari

komunitas yang saling membantu satu sama lain menjadi komunitas yang
terpecah-pecah. Padahal kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat Desa salah
satunya adalah kekuatan modal sosial. Persatuan masyarakat Desa yang kuat
adalah suatu sistem yang integral yang memberikan peluang kepada masyarakat
Desa untuk menjalankan program Desa secara bersama-sama dan untuk

kepentingan bersama.
Pada dasarnya, Desa merupakan awal bagi terbentuknya masyarakat
politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara modern ini terbentuk,
kesatuan sosial sejenis Desa atau masyarakat adat telah menjadi institusi sosial
yang mempunyai posisi sangat penting.Mereka ini merupakan institusi yang
otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat
serta relatif mandiri dari campur tangan kekuasaan dari luar.(Santoso,2003 : 2)
Regulasi yang pernah ada di Indonesia, yakni UU No. 5/1979 tentang
Pemerintahan Daerah digantikan pemerintah dengan UU No. 22/1999. Dalam
perkembangannya UU No.22/1999 direvisi menjadi UU No. 32/2004 (khususnya
Bab XI tentang pemerintahan Desa). Perubahan ini dapat diintrepretasikan sebagai
jalan untuk mengembalikan Desa sebagaimana hakikat Desa. Apalagi landasan
perubahan tersebut sering dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya tentang kemakmuran rakyat. Kondisi ini memberikan harapan tentang
perubahan Desa menjadi lebih baik sebagaimana yang diharapkan.
Dengan disahkannya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Desa oleh DPR pada Rabu, 18 Desember 2013 setelah kurang lebih tujuh tahun
mengalami pembahasan yang alot antara pemerintah dan DPR, maka Desa perlu bersiap
untuk dapat menjalankan amanat UU tersebut. Tantangan terberat yang dihadapi dalam


penerapan otonomi Desa ini adalah begitu tidak meratanya kemampuan dari perangkat
Desa yang ada di masing-masing daerah dalam hal pengelolaan sumber daya yang ada
dan menyerap keinginan masyarakat bawah guna dituangkan dalam sebuah peraturan.
Persoalan sumber daya manusia pada pemerintahan Desa ini tentu saja
bernpengaruh terhadap persepsi masyarakat Desa terhadap kemampuan aparatur Desa
dalam mengelola pemerintahan Desa.Kondisi seperti ini perlu menjadi acuan dalam
kajian ini sehingga semangat otonomi Desa tidak hanya berupa semangat namun serta
merta dibarengi oleh aplikasi-aplikasi nyata di lapangan.

Dari pemaparan yang tersaji diatas, menarik untuk di teliti perihal
keberadaan Desa di dalam sebuah Kota. Sebagai sebuah Kota, Padang Sidempuan
hingga saat ini masih memiiki status pemerintahan terendahnya berbentuk
pemerintahan Desa, dimana lazim keberadaan Desa berada di wilayah kabupaten
yang berbeda dengan yang terjadi di Kota Padang Sidempuan.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita kaji merujuk keberadaan Desa
yang berada dalam suatu pemerintahan Kota. Hal pertama terkait dengan keadaan
kekinian yakni, berdampak pada pemulihan peran Desa sebagai media
pemberdayaan masyarakat di tengah pusaran geliat sebuah Kota. Selanjutnya,
mengenai apakah semangat UU Desa yang berujung pada pemberian kewenangan
lebih luas kepada pemerintah Desa berbanding lurus dengan kemampuan aparatur

Desa dan pemahaman masyarakat terhadap pemerintahan Desa saat ini. Selain
itu, isu yang penting juga adalah bagaimana Desa mampu mempertahankan status
sosialnya di dalam komunitas masyarakat Kota.
Di dalam satu pemerintahan Kabupaten/Kota, fungsi pemerintahan
dijalankan melalui struktur birokrasi yang bersifat hirarkis dari tingkat dinas
sampai dengan tingkat Kelurahan. Di beberapa pemerintahan daerah tingkat II,

struktur pemerintahan yang paling rendah dikenal dengan struktur Desa. Struktur
Desa ini bersifat otonom dan diatur oleh undang-undang tersendiri yang disebut
dengan undang-undang pemerintahan Desa. Terdapat perbedaan yang mendasar
dari struktur yang ada pada Desa dan Kelurahan. Kelurahan merupakan struktur
birokrasi terendah yang dipimpin oleh satu orang lurah dan merupakan pejabat
yang diangkat melalui jalur karir kepegawaian. Sedangkan Desa merupakan
struktur terendah yang pimpinannya (kepala Desa) dipilih langsung oleh
masyarakat yang bersangkutan melalui pemilihan kepala Desa (pilkades) dan
menjalankan pemerintahan Desa secara otonom dengan dibantu oleh sekretaris
Desa (sekdes).
Sekretaris Desa merupakan perangkat Desa yang berasal dari birokrat
pemerintah daerah setempat. Dengan struktur yang berbeda antara Kelurahan dan
Desa tersebut, menarik untuk meneliti/menganalisis bagaimana pelaksanaan

fungsi pemerintahan Desa yang berada pada suatu wilayah daerah otonom Kota.
Fungsi pemerintahan ini mencakup manajemen pemerintahan, pelayanan,
implementasi kebijakan dan sinergitas antara pemerintahan Desa yang otonom
tersebut dengan daerah otonom Kota (pemerintah Kota) yang berada di atasnya.
Pada pemerintahan Kota Padang Sidempuan masih terdapat struktur
pemerintahan Desa sebagai struktur terendah dalam pelayanan masyarakat.
Hubungan struktural dan manajemen pemerintahan pemko Padangsidimpuan
melalui kecamatan kepada struktur pemerintahan Desa tersebut sebagai wujud
maksimalisasi kinerja pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat sangat menarik untuk diteliti. Hal ini karena pengelolaan

pemerintahan yang berbeda antara Desa dan Kelurahan di dalam satu
pemerintahan daerah.
1.2.

Rumusan Masalah

Hal yang diutarakan diatas menjadi bagian dari pertanyaan-pertanyaan
yang menarik untuk dikaji berkenaan dengan keberadaan pemerintahan Desa di
dalam satu pemerintahan Kota dalam konteks pembangunan masyarakat.

Rumusan masalah yang dapat disimpulkan penulis pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana sinergitas pelaksanaan fungsi pemerintahan Kota dengan
fungsi pemerintahan Desa?
2. Bagaimana peran Desa dalam pembangunan di Kota Padang Sidimpuan?
3. Bagaimana kesiapan Desa dalam menjalankan Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 mengenai Otonomi Desa?
1.3.

Tujuan Penelitian

Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan mendiskripsikan pelaksanaan fungsi pemerintahan Desa
yang ada di Kota Padangsidimpuan.
2. Mengetahui peran Desa dalam pembangunan di Kota Padangsidimpuan.
3. Mengetahui persiapan Desa yang ada di Kota Padangsidimpuan dalam
melaksanakan UU No. 6 tahun 2014 mengenai Otonomi Desa.

1.4.

Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Bagi peneliti, untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan
khususnya

dalam

penelitian,

sehingga

mampu

mengungkapkan

permasalahan yang dihadapi.
2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
penyelengaraan tugas dan fungsi pemerintahan Desa.
3. Bagi pemerintah Daerah. diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
kontribusi pemikiran secara konseptual, khususnya kepada pemerintah
daerah Kota Padangsidimpuan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat.