Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

BAB II
PERKEMBANGAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM SISTEM
PEMIDANAAN DI INDONESIA

A.

Sejarah Lahirnya dan Perkembangan Pidana Denda di Indonesia
Sekalipun telah diadakan usaha-usaha pembaruan dan perbaikan untuk

mengurangi berlakunya pidana perampasan kemerdekaan, namun merupakan
suatu kenyataan bahwa pada pidana perampasan kemerdekaan akan melekat
kerugian-kerugian yang kadang kala sulit untuk dihindari dan diatasi, bilamana
ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai.
Ditinjau dari segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang saling bertentangan,
yang antara lain adalah sebagai berikut: 40
1.

Bahwa tujuan penjara yang pertama adalah menjamin pengamanan
narapidana, dan tujuan yang kedua adalah memberikan kesempatan kepada
narapidana untuk direhabilitasi;


2.

Bahwa fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan dehumanisasi
pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi
narapidana

yang

terlalu

lama

di

dalam

lembaga,

yaitu


berupa

ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya
secara produktif di dalam pergaulan masyarakat.
Oleh sebab itu, sekalipun penjara diusahakan untuk tumbuh sebagai
instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai
40

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 43.

29
Universitas Sumatera Utara

30

lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan, pengendalian narapidana
tidak dapat ditinggalkan dengan begitu saja.
Di samping kerugian yang bersumber pada hakikat pengertian tersebut,
maka kerugian yang cukup memprihatinankan terlihat dari apa yang dikemukakan

oleh seorang sosiolog bernama Clemer sebagaimana telah dikutip oleh Muladi :
berdasarkan pengamatannya di penjara-penjara dengan sistem keamanan
maksimum di Amerika Serikat, maka dapat disimpulkan bahwa kita harus melihat
kehidupan penjara lebih daripada sekedar hanya merupakan dinding-dinding dan
ruji-ruji, sel-sel dan kunci-kunci.41
Penjara harus berlaku di suatu masyarakat, di mana penjara sebagai suatu
sistem sosial informal yang disebut sebagai subkultur narapidana. Subkultur
narapidana ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual
dari masing-masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut
ke dalam masyarakat narapidana yang oleh Clemmer disebut sebagai
“Prisonisasi”. Dikatakan bahwa di dalam proses prisonisasi ini narapidana baru
harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku baru harus
membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat
narapidana. Ia juga harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai
dari masyarakat narapidana tersebut.42
Di samping faktor-faktor universal, terdapat pula faktor-faktor lain yang
menentukan, sehingga orang menjadi terpenjara. Hal ini meliputi lamanya pidana
yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan yang terus41

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan dalam Pidana, (Bandung:

Alumni, 1984), hlm. 142.
42
Niniek Suparni, op.cit., hlm 44.

Universitas Sumatera Utara

31

menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam kelompokkelompok kerja, sel dan lain sebagainya.
Makin lama pidana penjara tersebut dijalani, maka kecenderungan untuk
terpenjara menjadi semakin besar pula. Yang kemudian seseorang yang menjadi
terpenjara secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak
pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.43
Pidana penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh
penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari sebab di tempat inilah
penjahat-penjahat kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui
pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personel yang paling baik
pun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara
tersebut.
Pada masa sekarang ini maksud dijatuhkannya pidana perampasan

kemerdekaan adalah, bahwa dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan
sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya
diharapkan terpidana akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Untuk
pelaksanaan pembinaan tersebut diperlukan waktu yang cukup. Selain itu program
pembinaan dan metode pembinaan akan tergantung pada waktu yang tersedia,
yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil akhir dari pembinaan.44
Waktu yang singkat dalam hal pidana perampasan kemerdekaan jangka
pendek akan menghambat usaha pencapaian tujuan tersebut. Pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek tidak mendukung kemungkinan untuk diadakannya
43
44

Ibid.
Ibid., hlm. 45.

Universitas Sumatera Utara

32

rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan lain pihak bahkan dapat menimbulkan

apa yang disebut “Stigma” atau “Cap Jahat”45.
Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif
yang berturut-turut menimbulkan stigma lagi. Karena suatu kejahatan maka
seseorang secara resmi dipidana, sehingga ia kehilangan pekerjaannya dan
selanjutnya akan menempatkannya di luar lingkungan teman-temannya, dan
kemudian stigmasisasi menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang
benar/baik-baik.
Stigmasasi ini mungkin merupakan hasil daripada pembinaan atas
kejahatan, sehingga stigma tersebut juga merupakan hasil daripada reaksi-reaksi.
Stigma tersebut juga merupakan hasil dari pada reaksi-reaksi. Stigma ini terjadi
melalui pihak ketiga dan dalam hal ini media massa berperananan besar di dalam
stigmatitasi dengan menyebutkan nama seseorang atau bahkan hanya dengan
menyebutkan nama depan/ inisialnya saja di dalam surat kabar. Secara psikologis,
stigmatisasi ini menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana,
karena dengan demikian publik akan mengetahui bahwa yang bersangkutan
adalah seorang penjahat, dengan segala akibatnya.
Hal lainnya yang dapat lebih memperburuk keadaan pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek adalah panjang dan lamanya waktu dari mulai tahap
penyidikan untuk sampai kepada putusan hakim. Seringkali antara masa tahanan
yang telah dijalani terpidana dengan lamanya pidana yang dijatuhkan oleh Hakim


45

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

33

tidak terpaut lama, bahkan tidak jarang pula begitu putusan dijatuhkan terpidana
sudah harus dikeluarkan dari lembaga atau tempat yang bersangkutan di tahan.
Masalah terkait pembinaan dapat diatasi dengan memulai pembinaan sejak
awal masa penahanan, akan tetapi hambatan di dalam masa pembinaan tersebut
ialah belum adanya kepastian tentang kesalahan terdakwa, sehingga program
pembinaan tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Satu-satunya keuntungan dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan
jangka pendek ialah, bahwa dengan jangka waktu yang pendek berarti penderitaan
agak berkurang, baik terhadap terpidana sendiri maupun terhadap keluarganya.
Akan tetapi apabila ditinjau dari segi masyarakat akan terasa menguntungkan,
karena biaya yang diperlukan lebih sedikit apabila dibandingkan dengan pidana

perampasan kemerdekaan yang berjangka waktu panjang.46
Dengan demikian sampai saat ini keberadaan pidana perampasan
kemerdekaan akan tetap ada atau sulit dihindari, meskipun kerugian-kerugian
yang melekat padanya pada masa mendatang keberadaan pidana perampasan
kemerdekan tetap merupakan pendukung sistem peradilan pidana. Yang penting
adalah seberapa jauh penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi,
sehingga terdapat keserasian, keselarasan dan keseimbangan penggunaannya
dengan pidana non kemerdekaan. Penjatuhan pidana denda sebagai alternative
dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana

46

Ibid., hlm. 46

Universitas Sumatera Utara

34

pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim, khususnya dalam praktek
peradilan di Indonesia.47

Pidana denda adalah termasuk jenis pidana yang tertua di dunia, di samping
pidana mati. Dalam hukum Adat dikenal pidana berupa pembayaran baik kepada
penguasa (Kerajaan) maupun sebagai pengganti kerugian kepada korban. Bentuk
pembayaran ini mulai dari bentuk uang sampai bentuk “in natura”, seperti ternak,
hasil kebun, dan lain sebagainya.
Perkembangan pidana denda dipandang lebih ringan daripada pidana
penjara, apalagi jika dibandingkan dengan pidana mati. Pasal 13 KUHP sendiri
telah mengatakan demikian. Ada kecenderungan bahwa di banyak negara
sekarang ini dan untuk masa yang akan datang, terjadi perkembangan daripada
pidana denda. Pidana denda sudah tidak lagi merupakan pidana kelas dua setelah
pidana kebebasan atau pidana hilang kemerdekaan.
Y.E. Lokollo dengan mengacu pada beberapa kepustakaan mengatakan
bahwa perkembangan pidana denda tidak saja mengenai banyaknya penggunaan
pidana dalam penjatuhan pidana, akan tetapi juga mengenai besarnya minimum
dan maksimum denda. Dikemukakannya pula lebih lanjut bahwa penyebab
perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara
tajam tingkat kesejahteraan masyarakat di bidang materiil, kemampuan fnansial
pada semua golongan masyarakat. Sebagai akibat membaiknya tingkat

47


Ibid.

Universitas Sumatera Utara

35

kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak (karakter)
dari kriminalitas.48
Penggeseran di dalam pemidanaan yang menampilkan pidana denda
mengganti

posisi

pidana

kebebasan,

berorientasi


pada

pertimbangan

meningkatnya kesejahteraan dan kemampuan financial pada semua golongan
masyarakat tersebut.49
Kebenaran alasan ini memang dapat diterima, namun bagaimanakah
gambaran di negara kira, negara Indonesia? Apakah keadaan di Indonesia sejauh
ini dapat digambarkan dalam pendapat di atas? Bukankah pencurian atau
perampokan maupun penipuan yang terjadi lebih disebabkan oleh keadaan dan
kebutuhan ekonomi yang mendesk bagi sementara masyarakat (dalam arti tingkat
kesejahteraan dan kemampuan financial masyarakat yang masih rendah). Bahkan
banyak terjadi akhir-akhir dasawarsa ini tindak pidana pencurian, perampokan
didahului dengan pembunuhan. Bukankah keadaan seperti ini karena desakan
kebutuhan finansial untuk menghidupi keluarga atau dirinya sendiri.
Kurangnya lapangan kerja yang berdampak kurangnya pendapat seseorang
cenderung meningkatkan kriminalitas. Bahkan tidak mungkin bagi seorang
pekerja karena kurangnya pemenuhan hidupnya yang paling minim sekalipun,
akan berbuat hal-hal yang dianggap terecela dalam masyarakat. Hal ini berkaitan
dengan menghangatnya permasalahaan di kalangan pegawai negeri yang korupsi
kecil-kecilan atau menerima suap yang tak lain adalah untuk mencukupi biaya

48
49

Ibid., hlm. 47.
Ibid, hal. 48

Universitas Sumatera Utara

36

hidup yang tidak tercukupkan dari gaji yang diterimanya. Begitulah gambaran
yang terjadi atau mungkin terjadi di sekitar kita.
Tentunya di samping gambaran di atas, ada pula tindak pidana yang
dilakukan

oleh

orang-orang

yang

tingkat

kemampuan

finansial

dan

kesejahteraannya sudah melebihi dari cukup yang melakukannya hanya karena
nafsu keserakahan seperti yang terjadi dalam kasus Bank Duta, kasus- kasus lain
yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah ataupun kasus-kasus manipulasi lainnya.
Pidana mati adalah suatu pidana yang ditujukan kepada jiwa orang, pidana
penjara penjara dan kurungan kepada kebebasan orang, sedangkan pidana denda
tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar sejumlah uang
tertentu. Diantara jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam KUHP (WvS) jenis
pidana denda merupakan pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, mungkin
setua pidana mati.50
Sebelum menjadi sanksi yang mendukung semua pemidanaan (KUHP),
pidana denda telah dikenal secara luas hampir setiap masyarakat, termasuk
masyarakat primitif, walaupun dengan bentuknya yang primitif, dan tradisional
Indonesia. Pada zaman kerajaan Majapahit, sanksi pidana denda biasanya
dikenakan pada kasus-kasus penghinaan atau pencurian dan pembunuhan binatang
pemeliharaan yang menjadi kesenangan raja.
Apabila denda tidak dibayar, maka orang yang bersalah harus menjadi
hamba atau budak dengan menjalankan apa yang diperintahkan tuannya. Bila
utang benda dapat dilunasi maka setiap saat ia dapat berhenti menjadi hamba. Dan

50

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

37

tidak berhak menetapkan berapa lama orang yang bersalah itu menghamba untuk
melunasi utang bendanya adalah raja yang berkuasa.

B.

Faktor-Faktor yang Mendorong Perluasan Pidana Denda
Apabila kita perhatikan perkembangan hukum pidana dewasa ini di

Indonesia, terutama hukum pidana khusus maupun ketentuan-ketentuan pidana
dalam berbagai perundang-undangan lainnya, terdapat suatu kecenderungan
memperluas penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Caranya baik dengan
meningkatkan jumlah pidana denda maksimum yang diancamkan, kemungkinan
kumulasi pidana penjara atau kurungan denda (yang dimungkinkan dalam
KUHP), maupun dengan mengancamkan pidana denda secara mandiri
sebagaimana tercantum misalnya dalam UU Darurat RI No. 7 Tahun 1955
Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang masih berlaku sampai saat ini.51
Kecenderungan-kecenderungan tersebut tentu saja didorong oleh berbagai
faktor dan situasi yang memerlukan penelitian yang lebih luas dalam kerangka
mempelajari permasalahan pidana pokok ini. Namun berbagi literatur dan hasil
penelitian tim pengkajian hukum tentang penerapan pidana denda, dapat
dikemukakan beberapa faktor pendorong meningkatkan dan berkembangnya
pidana denda. Y.E. Lokollo mengemukakan bahwa penyebab perkembangan
pidana denda antara lain disebabkan oleh membaiknya secara tajam tingkat
kemampuan finansial dan kesejahteraan masyarakat di bidang materi. Sebagai

51

Abdul, Pidana Denda, http://abdul-rossi.blogspot.com/2011/04/pidana-denda.html,
diakses tanggal 5 Agustus 2015, jam 20.45 WIB.

Universitas Sumatera Utara

38

akibat membaik nya tingkat kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap
perubahan watak (karakter) dari kriminalitas.52
Selanjutnya perkembangan pidana denda ini didorong pula oleh
perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat di bidang perekonomian
yang erat pula kaitannya dengan apa yang disebut sebagai “white collar crime”
dan “professional crime”, yang dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam
jumlah yang besar. Apabila si pelaku hanya dikenakan pidana penjara, maka ia
masih mempunyai kemungkinan untuk menikmati hasil kejahatan tersebut. Dalam
hal inilah pidana dapat didayagunakan untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak
pidana yang dilakukan terpidana. Tentu saja untuk maksud ini harus didukung
oleh sarana-sarana untuk melaksanakan keputusan pidana denda yang dijatuhkan
oleh hakim.
Faktor ini erat kaitannya dengan perkembangan dalam pidana yang
menyangkut subyek hukum dalam hukum

pidana. Dimana dalam KUHP

sekarang pada dasarnya hanya orang yang dapat menjadi subyek hukum pidana.
Dalam “Memory van Toelichting” Pasal 51 Nederlandache W.v.S (pasal 59
KUHP) dikatakan: “suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan
fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya tidak dapat dihindarkan lagi kemungkinan badan
hukum (korporasi) melakukan tindak pidana dan tanggung jawab tidak terlepas
dari pertanggungjawaban pihak pengurusnya.53

52
53

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

39

Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah semakin tidak disukainya pidana
penjara atau kurungan, karena dinilai seringkali tidak efektif terutama bagi tindak
pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi maupun narkotika. Kurang
disukainya pidana penjara ini juga bertolak dari susut pandang “Cost and Benefit”
yang berkaitan dengan masalah efisiensi. Semakin banyak penghuni penjara
berarti semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara, sedang uang
negara berarti uang rakyat juga. Jumlah biaya yang dikeluarkan tidak sebanding
dengan output yang diperoleh dari pidana perampasan kemerdekaan itu.

C.

Pengaturan Pidana Denda di Indonesia

1.

Pengaturan Pidana Denda Dalam KUHP
Di dalam Pasal 10 KUHP, pidana pokok terbagi atas :
1) Pidana Mati
2) Pidana Penjara
3) Pidana Kurungan
4) Pidana Denda
5) Pidana Tutupan
Pidana Denda merupakan suatu bentuk pidana tertua yang lebih tua daripada

pidana penjara. Mungkin setua dengan pidana mati.54Pembuat undang-undang
tidak menentukan suatu batas maksimum yang umum, namun setiap pasal dalam
KUHP ditentukan batas maksimum pidana denda yang dapat dijatuhkan oleh
Hakim. Berbeda halnya dengan batas maksimum umum pidana denda yang dapat
54

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita,
1993), hal 53.

Universitas Sumatera Utara

40

dijatuhkan oleh Hakim. Berbeda halnya dengan batas maksimum umum pidana
denda, maka dalam KUHP ada ditentukan satu batas minimum yang umum pidana
denda yang tertulis dalam Pasal 30 ayat (1) yaitu : Banyaknya denda sekurangkurangnya dua puluh lima sen.55
Oleh

karena,

ancaman-ancaman

hukum

terhadap

tindak

pidana

menyebabkan orang mati karena kesalahan, menyebabkan orang luka brat karena
kesalahan dan menyebabkan karena kesalahannya, kebakaran, peletusan atau
banjir, dalam Pasal 359, 360 dan 188 KUHP terlalu ringan sehingga perlu
diperberat. Kemudian diundangkanlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 yang
dalam pasal 1 ditentukan bahwa :
Ancaman hukuman dalam pasal-pasal 359, 360 dan 188 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dinaikkan sehingga pasal-pasal tersebut seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 359 :
Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan
selama-lamanya satu tahun.
Pasal 360 :
(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian
rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau hukuman kurungan
selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya tiga
ratus rupiah.

55

R. Soesilo, op.cit., hal 51.

Universitas Sumatera Utara

41

Pasal 188 :
Barangsiapa menyebabkan karena kesalahannya kebakaran, peletusan atau
banjir, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau hukuman denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, jika terjadi bahaya umum untuk barang
karena hal itu, jika terjadi bahaya kepada maut orang lain, atau jika hal itu
berakibat matinya seseorang.

Kemudian, dikarenakan jumlah-jumlah pidana denda dalam Perundangundangan pidana, baik dalam KUHP yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1918 maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan
sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah terdapat ancaman-ancaman hukuman
denda yang tidak seimbang lagi dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan,
berhubung ancaman-ancaman hukuman denda itu sekarang menjadi terlalu ringan
jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada masa kini, sehingga jumlah
ancaman hukuman denda itu perlu dinaikkan. Sebagai ukuran diambil
pertimbangan bahwa semua harga barang sejak tanggal 17 Agustus 1945 rata-rata
telah meningkat sampai 15 kali harga pada waktu itu. Oleh karena itu, maksimum
jumlah hukuman denda itu dilipatgandakan dengan 15 kali dalam mata uang
rupiah. Sehingga, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 18 Tahun 1960, yang dalam pasal 1 ditentukan bahwa :
(1) Tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam KUHP,
sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan
Undang-undang No. 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 1)
maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum
tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, harus dibaca
dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali.

Universitas Sumatera Utara

42

Jadi, mengingat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 18
Tahun 1960 ini maka batas minimum yang umum denda itu sekarang menjadi 15
x 25 sen = Rp . 3,75
Ayat (2) :
Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah hukuman denda dalam
ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana
ekonomi.
Jadi, diantara peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sebelum tanggal
17 Agustus 1945 ada beberapa aturan yang telah diperberat ancaman dendanya,
yaitu tindak pidana yang telah digolongkan tindak pidana ekonomi sehingga tidak
perlu lagi dinaikkan jumlah dendanya.
Pidana denda mempunyai sifat perdata mirip dengan pembayaran yang
diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain. Perbedaannya ialah denda dalam perkara pidana dibayarkan
kepada negara atau masyarakat dalam perkara perdata kepada orang pribadi atau
badan hukum. Pidana denda dalam perkara pidana juga dapat diganti dengan
pidana kurungan jika tidak dibayar. Selain itu, denda tidaklah diperhitungkan
sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan
sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun
terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi
kasus dengan putusan Hakim, minimum umum satu hari dan maksimum enam
bulan (Pasal 30 ayat 3 KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi delapan

Universitas Sumatera Utara

43

bulan dalam hal gabungan (concursus), residivis dan delik jabatan menurut pasal
52 dan 52 bis (pasal 30 ayat 5 KUHP).
Berdasarkan ketentuan pasal 30 KUHP tersebut, pidana denda dalam KUHP
adalah hanya berbentuk uang dan tidak boleh berbentuk barang, hanya saja
apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terpidana baik karena ketidakmampuan
atau ketidakmaunya, maka pidana denda itu dapat diganti ke dalam bentuk pidana
kurungan yang disebut dengan hukuman kurungan subsider atau pengganti.

2.

Perumusan Pidana Denda dalam Rancangan KUHP
Perumusan pidana denda dalam KUHP yang berlaku sekarang dapat

digambarkan dengan anggapan pidana denda digolongkan dalam kelompok
pidana ringan dalam delik pelanggaran dan disamping itu ada juga anggapan
bahwa pidana denda kurang efektif jika dibandingkan dengan pidana perampasan
kemerdekaan sebagai pidana yang berat. Oleh karena itu, perumusan pidana denda
dalam rancangan KUHP pada hakikatnya merupakan untuk mencari jalan keluar
untuk menyeimbangkan dengan bentuk-bentuk pidana lainnya.
Di dalam konsep Rancangan KUHP Nasional tahun 2012 susunan kelompok
pidana pokok berdasarkan berat ringannya adalah sebagai berikut:
1) Pidana Penjara;
2) Pidana Tutupan;
3) Pidana Pengawasan;
4) Pidana Denda;
5) Pidana Kerja Sosial.

Universitas Sumatera Utara

44

Perumusan pidana denda dalam konsep Rancangan KUHP Nasional tahun
2012 terdapat dalam Buku I mengenai ketentuan Umum.

Pasal 80
(1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar
oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu:
a. Kategori I Rp . 6.000.000,00 (enam juta rupiah);
b. Kategori II Rp . 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
c. Kategori III Rp . 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
d. Kategori IV Rp . 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
e. Kategori V Rp . 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan
f. Kategori VI Rp .12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi
berikutnya.
(5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan:
a. Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas)
tahun adalah pidana denda Kategori V;
b. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI.
(6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) adalah pidana denda Kategori IV.
(7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pidana denda sebagai salah satu sarana dalam politik criminal tidak kalah
efektif dengan jenis pidana lainnya, oleh karena itu dalam KUHP ini jenis pidana
denda ayat 2 dipergunakan jumlah besarnya upah maksimum harian.
Dalam ketentuan ayat 3, pidana denda dirumuskan secara kategoris.
Perumusan secara kategoris ini dimaksudkan agar :
a. Diperoleh apa yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk
berbagai tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

45

b. Lebih mudah melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi
dan moneter.
Mengingat pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanya
pidana denda, maka wajar apabila ancaman maksimum pidana denda yang
dijatuhkan pada korporasi lebih berat daripda ancaman maksimum pidana denda
yang dijatuhkan pada orang perseorangan. Untuk itu telah dipilih cara menentukan
maksimum pidana denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana yaitu
kategori lebih tinggi berikutnya.
Dalam hal rumusan tindak pidana dalam suatu Perundang-undangan tidak
mencantumkan ancaman pidana denda terhadap korporasi, maka perlu ketentuan
ayat (5) ini, dengan minimum pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat
(6).
Dalam Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa penjatuhan pidana denda itu
harus mempertimbangkan kemampuan terpidana. Sedangkan dalam ayat (2)
menyatakan bahwa dalam penilaian kemampuan terpidana wajib memperhatikan
apa yang dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan
kemasyarakatannya.
Pasal 82 ayat (1) menyatakan Pidana denda dapat dibayar dengan cara
mencicil dalam jangka waktu sesuai dengan putusan hakim. Sedangkan dalam
ayat (2) nya menyatakan apabila pidana denda tidak dibayar penuh dengan jangka
waktu yang ditetapkan maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat
diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. Menurut pasal 83 ayat (1) jika
pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak memungkinkan maka pidana denda

Universitas Sumatera Utara

46

yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial, pidana
pengawasan, atau pidana penjara, dengan ketentuan pidana denda tersebut tidak
melebihi pidana denda Kategori I.
Lamanya pidana pengganti diterapkan di dalam Pasal 83 ayat (2) yaitu :
a.

Untuk pidana kerja sosial pengganti, berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4);

b.

Untuk pidana pengawasan, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1
(satu) tahun;

c.

Untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4
(empat) bulan, jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan atau
karena adanya faktor pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 134.
Perhitungan lamanya pidana pengganti berdasarkan ayat (3) didasarkan pada

ukuran untuk setiap pidana denda Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) atau
kurang, disepadankan dengan:
a. Satu jam pidana kerja sosial pengganti;
b. Satu hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti
Berdasarkan Pasal 83 ayat (4), jika setelah menjalani pidana pengganti, sebagian
pidana denda dibayar maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran
yang sepadan sesuai dengan ketentuan ayat (3).
Sesuai dengan Pasal 84 ayat (1) yang mengatakan jika pengambilan
kekayaan atau pendapatan tidak dapat dilakukan maka untuk pidana denda di atas

Universitas Sumatera Utara

47

kategori I yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang
bersangkutan. Sedangkan jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak dapat
dilakukan maka untuk korporasi sesuai dengan Pasal 85 dikenakan pidana
pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Jadi, jelaslah bahwa pengaturan masalah denda dalam KUHP berbeda
dengan pengaturan pidana denda dalam Rancangan KUHP tersebut dapat
dikatakan cukup mendetail. Hanya saja permasalahan pidana denda dalam
Rancangan KUHP ini pada dasarnya merupakan permasalahan untuk mencari
jalan keluar atas kelemahan-kelemahan dalam pengaturan pidana denda menurut
KUHP.
Sehingga pola pidana denda ini secara singkat dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1)

Pidana denda mempergunakan sistem kategori karena apabila menyebutkan
jumlah uangnya selalu akan terjadi perubahan nilai uang.

2)

Pidana denda akan diberikan gengsi yang lebih tinggi.

3)

Suatu delik yang diancam penjara dimungkinkan untuk diancam pidana
denda.

4)

Minimum pidana denda adalah tiga juta rupiah, sedangkan maksimumnya
adalah denda kategori 6 (untuk korporasi).

5)

Disepakati padanan pidana penjara dan pidana denda sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

48

Bobot Tindak Pidana

Pidana Denda

1. Sangat Ringan

Kategori 1 : Rp . 6.000.000,-

2. Ringan

Kategori 2 : Rp . 30.000.000,-

3. Sedang

Kategori 3 : Rp . 120.000.000,-

4. Berat

Kategori 4 : Rp . 300.000.000,-

5. Sangat Serius

Korporasi :
Kategori 5 : 1.200.000.000,Kategori 6 : 12.000.000.000,-

Berdasarkan konsep Rancangan KUHP itu Hakim dapat menetapkan dalam
putusannya berapa lama terpidana harus membayar dendanya dengan cara
mengangsur (mencicil).

3.

Pengaturan Pidana Denda di luar KUHP
Di dalam pasal 30 KUHP, kedudukan pidana denda terlihat sangat ringan

dimana dirumuskan bahwa minimum dari pidana denda adalah 25 sen dan
maksimum pidana pengganti denda hanya 6 bulan kurungan. Sedangkan, dalam
hal pemberatan hukuman (samenloop/recidivis) paling lama hanya 8 bulan pidana
kurungan.
Kedudukan dari pidana denda yang seperti ini mungkin yang menyebabkan
tidak populernya jenis pidana denda dibandingkan dengan jenis tindak pidana
yang lain. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan adanya pidana denda, dalam

Universitas Sumatera Utara

49

perkembangan pidana selanjutnya pidana di luar KUHP terdapat kecenderungan
untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda. Hal ini terlihat misalnya:

1.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,
supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.56
Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang ini tertera dalam Pasal 5 yaitu:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan penjara singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau
b. Memberi sesuatu kepada kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima pembe rian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Undang-undang ini memuat sanksi denda yang cukup berat. Hal ini
memperlihatkan kesungguhan untuk mncegah/ memberantas tindak pidana
korupsi dengan kesadaran bahwa tindak pidana korupsi merupakan perbuatan

56

Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, 2010, hlm. 306.

Universitas Sumatera Utara

50

yang sangat tercela walaupun jumlah yang dikorup tidak seberapa misalnya
kurang dari Rp . 5.000.000,- (lima juta rupiah) maka sanksi pidana penjaranya
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp . 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).57
Selain itu, pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan (pasal 18
ayat (1) huruf (b), sesuai dengan rumusan pasal 18 ayat (3) maka jika tidak
dibayar atau terpidana tidak mempunyai harta benda, diganti dengan pidana
penjara. Dalam hal ini, jika Penuntut Umum membuat pidana tambahan berupa
uang pengganti harus memuat permintaan bahwa jika uang pengganti tidak
dibayar maka diganti dengan pidana penjara yang lamanya dimuat dalam putusan
pengadilan.58
Mengenai sanksi, meskipun ditentukan bahwa korporasi dimuat sebagai
subjek dalam tindak pidana korupsi tentang pengenaan sanksi hanya dapat
dijatuhkan sanksi denda.

2.

Undang- undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang
Pencucian uang adalah Setiap Perbuatan yang menempatkan, mentransfer,

mengalihkan,

membelanjakan,

membayarkan,

menghibahkan,

menitipkan,

membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau
surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan
57

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta :
Djambatan, 2004)., hal 78.
58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

51

atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah.
Didalam Pasal 3 menyatakan bahwa setiap orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan,

membelanjakan,

membayarkan, menghibahkan,

menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian
Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).59
Pasal 4 menyatakan setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya

atas

Harta

Kekayaan

yang

diketahuinya

atau

patut

diduganyamerupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Ketentuan dalam Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara

59

Undang- Undang Nomor. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Universitas Sumatera Utara

52

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Menurut Pasal 7 penjatuhan pidana pokok terhadap korporasi
adalah pidana denda paling banyak yaitu Rp. 100.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).

3.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.
Pada Pasal 98 ayat (1) menyatakan bahwa pidana denda yang diberikan
kepada setiap orang yang dengan sengaja mengakibatkan baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup paling sedikit Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).60 Apabila perbuatan
tersebut mengakibatkan luka ataupun bahaya kesehatan manusia, maka menurut

60

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Universitas Sumatera Utara

53

Pasal 98 ayat (2) akan dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,(empat miliar rupiah dan paling banyak Rp. 12.000.000.000,- (dua belas miliar
rupiah). Akan tetapi apabila perbuatan tersebut malah mengakibatkan orang luka
berat atau mati, maka sesuai ayat (3) dikenakan pidana denda paling sedikit Rp.
5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,(lima belas miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang
karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan hidup maka akan
dikenakan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). Apabila perbuatan
tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia maka pada
ayat (2) mengatakan bahwa pidana denda yang dikenakan paling sedikit
Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,(enam miliar rupiah). Pada ayat (3) dikatakan jika perbuatan tersebut
mengakibatkan luka berat atau` kematian maka dikenakan pidana denda paling
sedikit Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp
9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Pasal 100 mengatakan setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah,
baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 101 mengatakan bahwa
setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-

Universitas Sumatera Utara

54

undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf g, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Berbeda dengan Pasal 102 yang mengatakan setiap orang yang melakukan
pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4),
dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pada Pasal 103, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak
melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan
pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Di dalam Pasal 104 mengatakan
bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media
lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Menurut Pasal 105 bahwa Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69

ayat

(1)

huruf

Rp4.000.000.000,00

c

dipidana

(empat

miliar

dengan

pidana

rupiah)

dan

denda
paling

paling

sedikit

banyak

Rp

12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Sedangkan Pasal 106 mengatur
tentang orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d,
dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Universitas Sumatera Utara

55

4.

Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Dalam pasal 3 Undang-undang ini dijelaskan bahwa tujuan daripada
pengaturan di bidang psikotropika ini adalah :61
a.

Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan.

b.

Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.

c.

Memberantas peredaran gelap psikotropika.
Pasal- pasal yang memuat ketentuan pidana denda dalam undang-undang ini

adalah
a. Pasal 59 yang mengatakan bahwa:
(1) Barangsiapa :
a)

Menggunakan psikotropika golongan I

b)

Memproduksi dan/ atau menggunakan dalam proses produksi
psikotropika golongan I

c)

Mengedarkan psikotropika golongan I

d)

Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan
ilmu pengetahuan; atau

e)

Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/ atau membawa
psikotropika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
tahun, paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

61

Tim Mahardika, Kumpulan Undang-Undang
Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011, hlm. 114.

Tentang Narkotikadan Psikotropika,

Universitas Sumatera Utara

56

150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2)

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana
denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(3)

Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi,
maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi
dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).

b.

Pasal 62 mengatakan bahwa barangsiapa secara tanpa hak,
memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

c.

Pasal 65 memberikan hukuman pidana denda paling banyak Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) bagi barangsiapa yang tidak melaporkan
penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah.

5.

Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Peraturan mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika terdiri dari beberapa pasal, yaitu:62
a.

Pasal 111 yang pada ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit
Rp.800.000.000,- ( delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.8.000.000.000,- ( delapan miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak
62

Ibid., hlm. 131

Universitas Sumatera Utara

57

atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
b.

Pasal 112 pada ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,- ( delapan miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman.

c.

Pasal

113

ayat

Rp.1.000.000.000,-

(1)

memberikan

(satu

miliar

pidana

rupiah)

dan

denda

paling

paling

sedikit

banyak

Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I.
d.

Pasal

114

ayat

(1)

Rp.1.000.000.000,-

memberikan

(satu

miliar

pidana
rupiah)

denda
dan

paling
paling

sedikit
banyak

Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I.
e.

Pasal 115 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan
miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I.

f.

Pasal 116 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00

(satu

miliar

rupiah)

dan

paling

banyak

Rp

Universitas Sumatera Utara

58

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang
lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain..
g.

Pasal 117 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
600.000.000,00

(enam

ratus

juta

rupiah)

dan

paling

banyak

Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan II.
h.

Pasal 118 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan II.

i.

Pasal 119 ayat

(1)

memberikan

pidana

denda

paling

sedikit

Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan II.
j.

Pasal 120 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
600.000.000,00

(enam

ratus

juta

rupiah)

dan

paling

banyak

Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau

Universitas Sumatera Utara

59

melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan II.
k.

Pasal 121 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang
lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain.

l.

Pasal 122 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan III.
m. Pasal 123 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
600.000.000,00

(enam

ratus

juta

rupiah)

dan

paling

banyak

Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan III.
n.

Pasal

124

ayat

Rp.600.000.000,00

(1)

memberikan

(enam

ratus

juta

pidana
rupiah)

denda

paling

sedikit

dan

paling

banyak

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan III.

Universitas Sumatera Utara

60

o.

Pasal 125 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan III.
p.

Pasal 126 ayat (1) memberikan pidana denda paling sedikit Rp
600.000.000,00

(enam

ratus

juta

rupiah)

dan

paling

banyak

Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang tanpa hak atau
melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain.
q.

Pasal 128 ayat (1) memberikan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah) untuk Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup
umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak
melapor.

r.

Pasal 129 memberikan pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika
untuk pembuatan Narkotika;
2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

Universitas Sumatera Utara

61

4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika
untuk pembuatan Narkotika.

6.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis

berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk
nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri
atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.
Sedangkan Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.
Beberapa pasal yang memuat ketentuan pidana denda dalam Hak Cipta
adalah:63
a. Pasal 112 memberikan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta) untuk setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)64 dan/atau Pasal 5265 untuk

63

Tim Mahardika, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang
Hak Cipta, Yogyakarta: 2015, hlm. 68.
64
Pasal 7 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2015 Tentang Narkotika berbunyi:
“ Informasi manajemen Hak Cipta sebagaimana d

Dokumen yang terkait

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

PENDAHULUAN PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

1 4 16

PENUTUP PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

0 2 9

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14