Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

(1)

A. Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan tekonologi, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma, biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Hukum tidak dapat dilepaskan dari manusia, oleh karena itu sangatlah sulit untuk membayangkan adanya suatu masyarakat tanpa hukum.1

Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketenteraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan Negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas secara tuntas.2

1 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 1. 2


(2)

Dewasa ini masalah hukum pidana banyak dibicarakan dan menjadi sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan bahkan ada usaha untuk menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional. Usaha tersebut adalah bertujuan untuk mengatasi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang, yang merupakan peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya masih dipakai pada masa orde baru di zaman kemerdekaan ini, yang ternyata banyak pengaturan di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maupun dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.3

Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah masalah pemidanaan. Bukan merupakan hukum pidana apabila suatu peraturan hanya mengatur norma tanpa diikuti dengan suatu ancaman pidana. Meskipun bukan yang terutama akan tetapi sifat dari pidana merupakan suatu penderitaan. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalaninya.4

Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.

3 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 1.

4 Ibid.


(3)

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada menyatakan tujuan dari pemidanaan. Adapun tujuan dari pemidanaan adalah: 5

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Apabila tujuan pemidanaan ingin ditinjau secara tepat, maka aspek peninjauannya perlu dibedakan ke dalam tiga taraf aspek yakni dari aspek legislatif (pemberi ancaman pidana), yudikatif (penegak ancaman pidana) dan eksekutif (pelaksana ancaman pidana).6

Dengan konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, baik tentang tujuan serta jenis-jenis pidana, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan mempunyai pengertian bukan saja melakukan pembinaan terhadap narapidana, akan tetapi lebih dari itu adalah untuk ikut mencegah serta memberantas kejahatan yang terjadi dimasyarakat.

Tujuan pemidanaan itu juga menjadi pedoman bagi hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Hal ini akan memudahkan bagi hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Hakim juga

5 Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012. 6


(4)

dituntut menjadi lebih mengerti terhadap suatu perbuatan itu dan tujuan pemidanaan itu.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, jenis-jenis pidana yang dicantumkan terhadap pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP yaitu terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan. Salah satu bagian dari pidana pokok adalah pidana denda.

Suatu tindak pidana hanya akan diancamkan dengan pidana denda apabila dinilai tidak perlu diancam dengan pidana penjara, atau bobotnya dinilai kurang dari satu tahun. Menurut ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru, dalam hal tindak pidana yang tidak diancaman dengan minimal khusus maka Hakim masih memiliki kebebasan untuk menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan jangka pendek, demikian juga untuk denda yang tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara. 7

Pidana denda yang apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda, sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besar pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana.8

Disadari pula dengan berkembangnya jenis-jenis delik baru dalam masyarakat (khususnya di bidang perekonomian yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat), maka di samping ganti

7 Niniek Suparni, op.cit., hlm 8. 8


(5)

kerugian, pidana denda akan menempati kedudukan yang penting. Terlebih lagi apabila dihubungkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Meskipun telah diberikan patokan ancaman minimum maupun maksimum pidana denda, namun masih diperlukan pembahasan tentang penerapan pidana denda tersebut. Sebab akan sangat berpengaruh besarnya perbedaan antara ancaman sanksi pidana yang telah ditentukan dengan besarnya sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan. Dalam hal yang demikian bukanlah berarti bahwa pidana berat akan menjamin efektivitas pidana, akan tetapi diharapkan penjatuhan pidana juga mempertimbangkan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi ancaman pidana yang telah ditentukan.

Sikap Hakim terhadap penilaian pada ancaman pidana denda cenderung digunakan hanya untuk tindak pidana yang ringan-ringan saja, sehingga pidana penjara tetap merupakan yang utama.

Keseluruhan masalah di atas adalah mengenai pemidanaan, khususnya mengenai jenis pidana denda yang dihubungkan dengan ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP. Pidana denda lebih terlihat di dalam peraturan-peraturan daerah, karena memang sifat dari Peraturan Daerah untuk memberikan perlindungan terhadap terjadinya pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang sifatnya ringan. Namun demikian efektivitasnya pun masih tetap diragukan, sehingga diperlukan suatu pengkajian terhadap penerapan pidana denda.9

9


(6)

Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang, serta membahayakan masyarakat dan Negara. Oleh karena itu, perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai

dengan ungkapan “koruptor teriak koruptor”.

Salah satu pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang Negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Korupsi pun sering dikaitkan dengan perilaku yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Menurut Huntington (1968), korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Sedangkan Transparency International (2010) sebagai salah satu organisasi masyarakat yang memerangi korupsi, mendefenisikan korupsi sebagai tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.10

Kasus korupsi yang marak di Indonesia saat ini bukan hanya kasus korupsi yang ditimbulkan oleh pejabat dan petinggi-petinggi negara namun pengusaha-pengusaha kelas atas pun sudah mulai meramaikan kasus tersebut. Bahkan lembaga hokum tertinggi di Indonesia pun sudah menunjukkan perannya dalam

10 http://www.scribd.com/doc/252884949/Paper-Korupsi#scribd diakses pada hari rabu tanggal 22 April 2015 pukul 23.00 WIB.


(7)

kasus tersebut seperti kasus korupsi yang menjerat ketua Mahkamah Konstitusi di yang baru saja terjadi. Korupsi seakan sudah menjadi hal yang biasa bagi Indonesia namun hal tersebut sangat merugikan bangsa Indonesia itu sendiri. Korupsi menimbulkan banyak kerugian baik untuk negara maupun untuk masyarakatnya. Korupsi merupakan tindakan yang melanggar hukum.

Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. menurut Ibnu Khaldun penyebab-penyebab terjadinya korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dan berlebih dalam kelompok yang memerintah atau kelompok penguasa yang menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dalam menopang pembangunan nasional.11

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.12

Pemberantasan dan pembuktian terjadinya suatu tindak pidana korupsi tidaklah mudah seperti membalikkan tangan. Tindak pidana korupsi dapat terungkap setelah berlangsung dalam waktu yang lama. Umumnya tindak pidana korupsi melibatkan sekelompok orang yang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana korupsi tersebut. Kekhawatiran akan keterlibatannya sebagai

11.Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, halaman. 7

12


(8)

tersangka, maka diantara sekelompok orang tersebut akan saling menutupi sehingga secara sadar atau tidak sadar, tindak pidana korupsi itu dilakukan secara terorganisir dalam lingkungan kerjanya.13

Berbagai strategi pemberantasan korupsi telah dilakukan dalam rangka pertanggungjawaban pidana dan menciptakan efek jera kepada para pelaku korupsi juga kepada masyarakat. Hukuman yang diberikan berupa pidana penjara dan pidana denda.

Keefektifan penerapan pidana denda ini dalam juga masih menjadi hal yang dipertanyakan oleh kalangan masyarakat, karena penjatuhan pidana oleh Hakim, yang dimana terdapat subsidair pidana kurungan membuat masyarakat kebingungan akan kegunaan pidana denda yang bersifat tidak mutlak tersebut. Dalam kasus korupsi, hakim lebih cenderung memberikan pidana penjara yang tinggi dan hanya mengenakan pidana denda yang relatif rendah.14 Terkait dengan kasus pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kebijakan pemberian pidana denda harus dilakukan secara efisien, pasti dan rasional dan juga pidana denda harus dikenakan semaksimal mungkin.

Landasan kecenderungan Hakim dalam menjatuhkan tindak pidana penjara bagi pelaku adalah agar pelaku bisa jera dan bertobat atas tindak pidana yang telah dilakukan. Hal ini mengingat bahwa hukuman denda tidak akan bisa membuat pelaku tindak pidana bisa sadar atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sehingga hukuman penjara yang dijatuhkan oleh hakim sangat efektif untuk menjadikan pembuat tindak pidana bertobat dan jera atas tindak pidana yang telah

13 Ibid.

14


(9)

dilakukannya. Dalam pertimbangan sosiologis, pertimbangan hakim juga didasarkan atas efek dari hukuman penjara yang akan menjadikan pelaku tindak pidana bisa memperoleh perbaikan moral agar bisa kembali ke masyarakat dengan baik masih memerlukan rehbailitasi, baik rehabilitasi nama baik dan rehabilitasi perilaku bagi si terdakwa yang dijatuhkan pidana penjara.15

Pidana denda untuk Tindak Pidana Korupsi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang No. 20 Tahun 2001. Undang-Undang ini telah mengalami perubahan sebanyak lima kali, yaitu pada tahun 1957, 1960, 1971, 1999, dan yang terakhir 2001. Perubahan terdapat dalam delik dan ancaman pidananya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang diangkat adalah:

1. Bagaimanakah Perkembangan Sanksi Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan pidana denda dalam pemidanaan berdasarkan konteks Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

15


(10)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah berdasarkan dari perumusan masalah yang dikemukakan yaitu:

1. Untuk mengetahui Perkembangan Sanksi Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan pidana denda dalam pemidanaan berdasarkan konteks Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat secara teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak, baik masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berkecimpung dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya perkembangan ilmu hukum pidana dan perkembangan pidana denda (khususnya pidana denda Indonesia).

2. Manfaat secara praktis

Selain manfaat secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan pula dapat berguna dalam memecahkan berbagai permasalahan bagi pihak-pihak yang memerlukannya, yaitu bagi pemerintah dan instansi penegak hukum dalam memecahkan permasalahan-permasalahan penerapan pidana denda dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.


(11)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Eksistensi Pidana Denda Dalam

Pemidanaan Berdasarkan Konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi” adalah merupakan hasil pemikiran sendiri. Pada sekarang ini banyak

terjadi kasus tindak pidana korupsi sehingga merasa tertarik untuk membahas eksistensi pidana denda dan penerapannya di dalam tindak pidana korupsi ini lebih lanjut menjadi sebuah skripsi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas judul-judul skripsi yang ada dalam Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka tidak ada ditemukan skripsi yang sama dengan skripsi “Eksistensi Pidana Denda Dalam Pemidanaan Berdasarkan Konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi”. Atas dasar yang dikemukakan di atas maka keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bila di kemudian hari terdapat permasalahan mengenai keaslian skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pengertian pemidanaan sering juga digunakan dengan istilah hukuman, penghukuman, penjatuhan pemidanaan, dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “woedt gestrqft” merupakan istilah-istilah yang


(12)

konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah non konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan

“diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf”.16

Perkataan pemidanaan menurut Sudarto adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa:

“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan

sebagai menetapkan hukuman atau menetapkan sebagai hukumannya (berechten). Menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.17

Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum.18 Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau yang bersifat penderaan.

Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum.19

Ted Honderich dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah berpendapat, pemidanaan harus memuat tiga unsur, yaitu: 20

16 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama: Bandung, 2011, hlm. 12. 17

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armiko: Bandung, 1984, hlm. 36. 18 Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, Remadja Karya: Bandung, 1987, hlm. 36.

19 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 7. 20


(13)

a. Pemidanaan harus mengandung kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress), yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban akibat tindakan subjek lain. Tindakan subjek lain tersebut dianggap telah mengakibatkan penderitaan bagi orang lain dan melawan hukum yang berlaku secara sah.

b. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Oleh karena itu pemidanaan bukan tindakan balas dendam terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

c. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur yang ketiga mengundang

pertanyaan tentang “hukuman kolektif”

Kehidupan masyarakat Pancasila, baik kepentingan individu dan masyarakat menduduki posisi yang seimbang. Keduanya saling melengkapi dan membatasi. Keserasian antara kedua kepentingan tersebut menjamin terwujudnya keadilan, ketentraman dan keselarasan dalam masyarakat. Idealisme berakar pada kenyataan sosial (sosial, budaya, dan struktur) Negara dan bangsa Indonesia. Menurut Mohammad Noor Syam dalam disertasinya, bahwa sosial budaya struktur bangsa Indonesia itu berpuncak pada asas kerohanian yang dimulai dari kepercayaan kepada Tuham Yang Maha Esa, kekeluargaan, musyawarah mufakat dan gotong


(14)

royong. Kesemuanya secara mendasar tersirat dalam sila-sila Pancasila seutuhnya. Inti sari ajarannya meliputi asas normatif yang mengajarkan antar hubungan manusia sebagai pribadi dan subjek moral sekaligus subjek budaya adalah anugerah dan amanat sebagaimana adanya keseimbangan antara hak asasi manusia dengan kewajiban asasi.21

Asas keseimbangan ini mengandung arti bahwa pemidanaan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan korban. Pemidanaan tidak boleh hanya menekankan pada salah satu kepentingan. Hanya menekankan kepentingan masyarakat akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka. Pada sisi lain hanya memperdulikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh gambaran pemidanaan yang sangat individualistis, yang hanya memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya, sedangkan terlalu menekankan kepentingan korban saja, akan memunculkan sosok pemidanaan yang hanya menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa dapat mengakomodasi kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum.

Hukuman-hukuman yang diberikan tersebut merupakan suatu proses penjatuhan hukuman/pidana yang meliputi seluruh rangkaian peristiwa dan tahapan-tahapan dalam penjatuhan suatu pidana sedangkan arti pidana merupakan hukuman yang dijatuhkan yang berupa nestapa atau penderitaan.

Setiap pelaksanaan pemidanaan pada pelaku tindak pidana mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diperoleh. Pencapaian tujuan dari suatu

21


(15)

pemidanaan dari sejak zaman klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini dapat diuraikan dari beberapa teori yaitu:

a. Teori Retributif

Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.

Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding) terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat. Teori retributif dalam tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan morally

justified (pembenaran secara moral), karena pelaku kejahatan dapat dikatakan

layak untuk menerima hukuman atas kejahatan yang dilakukan. Asumsi pembenaran untuk menghukum pelaku tindak pidana sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap moral tertentu. Pelanggaran moral yang mendasari aturan hukum yang dilakukan secara sengaja dan sadar dalam hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dari kesalahan hukum si pelaku.22

22


(16)

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif menurut Romli Atmasasamita mempunyai sandaran pembenaran yaitu:23

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijatuhi alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya, bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar maka akan menerima ganjarannya.

3. Pidana yang dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan.

Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari

23 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 83-84.


(17)

proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.24

b. Teori Deterrence

Zimring dan Hawkins25 berpendapat bahwa dalam teori deterrence ancaman pemidanaan dilakukan adalah untuk membuat rasa takut pada masyarakat dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Nigel Walker26 menyebut aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Nigel Walker menyebut aliran ini sebagai paham reduktif. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan.

2. Pencegahan terhadap si pelaku yang potensial dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kegiatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada pelaku, sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.

24 Marlina, op.cit., hlm.43 25 Ibid., hlm. 50

26 Ibid.


(18)

3. Perbaikan si pelaku, yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana.

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan.

5. Melindungi masyarakat melalui pidana penjara yang cukup lama. c. Teori Treatment

Teori treatment sebagai tujuan dari pemidanaan adalah bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan bukan kepada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan adaah untuk memberikan tindakan perawatan dan perbaikan kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.27

d. Teori Sosial Defense

Menurut Marc Ancel28, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan inspirasi masyarakat pada umumnya.

Seiring dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu maka seiring dengan itu juga pemidanaan mengalami perkembangan yang mana terdapat suatu konsep baru tentang pemidanaan yang dikenal dengan Restorative Justice. Konsep tersebut merupakan konsep pemidanaan yang bermaksud untuk menemukan jalan

27 Ibid., hlm. 59.

28Jam Remmelik, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting KUHP dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003, hlm. 35.


(19)

utnuk menegakkan sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang, misalnya antara kepentingan si pelaku dengan korban.

Konsep Restorative Justice ini proses penyelesaian pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Pertemuan yang dilakukan antara pelaku dan korban maka mediator akan memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukan. Praktek Restorative Justice ini di Indonesia juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Praktek

Restorative Justice telah diakui banyak Negara yang mana dalam pelaksanaannya

saat sekarang ini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara. Tujuan dari Restorative Justice adalah:

1. Untuk mengembalikan korban, pelaku, dan masyarakat pada kondisi semula sebelum terjadi kejahatan.

2. Sebagai suatu kerangka berpikir untuk mencari tentang adanya suatu alternatif penyelesaian yang menciptakan keadilan yang berprikemanusiaan. 3. Untuk mencari jalan keluar dari keadilan model tradisional yang berpusat

pada penghukuman menuju kepada keadilan masyarakat.

4. Memberi kesempatan yang lebih besar kepada korban untuk menyampaikan kerugian yang dideritanya baik kerugian materi atau harta benda maupun moral sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukan kepadanya.

5. Memberikan kesempatan yang lebih besar pada kepada pelaku untuk menyampaikan sebab-sebab dan alasan kenapa dirinya melakukan tindak


(20)

pidana/perbuatan terlarang yang menyebabkan kerugian pada korban dan masyarakat.

Menurut Muladi29 untuk mencapai tujuan dari pemidanaan itu maka dalam perangkat tujuan pemidanaan itu ada dua hal yang harus tercakup:

a) Perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan, sekalipun dalam hal ini

vargelen harus diartikan bukanlah membalas dendam tetapi pengimbalan

atau pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku.

b) Bahwa di dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus mencakup pula tujuan berupa pemeliharaan solidaritas masyarakat. Pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan masyarakat.

2. Pengertian Pidana Denda

Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Denda adalah hukuman yang dikenakan kepada kekayaan, hukuman kurungan dan penjara kepada kemerdekaan, dan hukuman mati kepada jiwa orang. Berdasarkan definisi tersebut disimpulkan bahwa objek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang, dan objek dari pidana mati adalah jiwa orang, maka objek dari pidana denda adalah harta benda dari si terpidana.30

Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang dasarnya dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa. Pidana denda ini diancamkan sebagai pidana alternatif dari pidana kurungan terhadap hampir semua pelanggar yang tercantum

29 Marlina, op.cit., hlm. 10. 30


(21)

dalam buku III KUHP terhadap semua kejahatan ringan. Pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dari pidana penjara, demikian pula terhadap kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja.31

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif, walaupun bentuknya bersifat primitif pula. Di Indonesia sendiri mengenai denda ini telah ada sejak zaman Majapahit dan masyarakat tradisional lainnya. Pidana denda ini dapat berupa ganti kerugian dan dapat pula berbentuk pidana adat misalnya penyerahan hewan ternak seperti kambing, kerbau dan lainnya.32

Pidana denda mempunyai sifat denda, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbedaan pidana denda dengan perkara perdata adalah pidana denda dibayarkan kepada Negara atau masyarakat dan perkara perdata dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar. Jumlah pidana denda tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban.

Pidana denda sebagai salah satu jenis pidana (punishment) tentu saja bukan dimaksudkan untuk sekedar tujuan-tujuan ekonomis misalnya sekedar untuk menambah pemasukan keuangan Negara, melainkan harus dikaitkan dengan

31 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana , PT Raja Grafindo Pustaka: Jakarta, 1997, hlm. 144.

32


(22)

tujuan-tujuan pemidanaan (goals of punishment). Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif (pembuat undang-undang), tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun pelaksanaannya oleh komponen sistem peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan. Pidana denda harus dikaitkan dengan pencapaian tujuan pemidanaan karena bila tidak demikian, maka penerapan pidana denda tersebut tidak akan bermanfaat (useless meaning) bagi tujuan pelaksanaan peradilan pidana (administration of criminal justice) dan seterusnya tidak akan bermanfaat pula bagi masyarakat.

3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal

pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.

Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu

Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie

(korruptie). Kita dapat memberikan diri bahwa dari Bahasa Belanda inilah kata itu

turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi.”

Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa: 33

a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.

33


(23)

b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.

c) - Korup (busuk; suka menerima uang suap/ uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);

-Korupsi (perbuatan busuk seperti pengelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);

-Koruptor (orang yang korupsi).

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.34

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perudang-perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia35 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut:

“Penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan, dan

sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.”

34 Ibid, hlm. 9.

35


(24)

Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu merupakan suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa.

Sekarang di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan Negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif, begitu pula dengan politik maupun ekonomi.

Misalnya Alatas memasukkan “nepotisme” dalam kelompok korupsi, dalam

klasifikasinya (memasang keluarga atau teman dalam posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.36

Tindak Pidana Korupsi berasal dari KUHP, dapat diketahui antara lain dari:37

a. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang rumusannya, antara lain sebagai berikut:

“…… dengan tidak mengacu pasal-pasal… tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pada Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang diacu….”

36 Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 6.

37


(25)

b. Pasal 43B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana…

dinyatakan tidak berlaku.”

Berdasarkan rumusan di atas, maka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jelas-jelas mengambil alih 13 (tiga belas) pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Tindak Pidana Korupsi.

Mubyarto (yang rupanya menyorot korupsi/penyuapan dari segi politik dan ekonomi semata), mengutip pendapat Smith sebagai berikut:

Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya…. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.38

Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington berikut ini.

“Akan tetapi, tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini

menggaggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atas birokrasi tetap terbuka. Namun, jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung mobilitas ke atas.”

38 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika: Jakarta, 1980, hlm. 60.


(26)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yakni dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan pustaka dan data-data sekunder. Penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya. Penelitian dari jenis ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data sekunder tersebut digunakan sebagai sumber atau bahan informasi, yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Penulisan skripsi ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti, peraturan perundang-undangan berupa KUHP, dan bahan hukum primer lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian;

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya tulis dari kalangan hukum seperti literatur hukum pidana dan bahan hukum sekunder lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian;

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum


(27)

sekunder, seperti Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ensiklopedia, media elektronik dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini dipergunakan Teknik Studi Kepustakaan (Library Research). Metode melalui kepustakaan (Library Research) yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.

4. Analisa data

Analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisa kualitatif, yaitu pengolahan data berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis dan kemudian dianalisa secara kualitatif, untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diteliti.39

G. Sistematika Penulisan

Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin disampaikan maka dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang penulisan sehingga mengangkat permasalahan tersebut, perumusan masalah, tujuan dan

39 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001, halaman 55.


(28)

manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan.

BAB II Perkembangan Sanksi Pidana Denda Dalam Sistem

Pemidanaan Di Indonesia

Bab ini menguraikan tentang sejarah lahirnya pidana denda di Indonesia, perkembangan pidana denda di Indonesia, dan pemidanaan dalam konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

BAB III Penerapan Pidana Denda dan Pemidanaan dalam Konteks

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi

Bab ini menguraikan tentang pengaturan pidana denda di Indonesia, pidana denda sebagai alternatif pidana penjara dan penerapan pidana denda dan pemidanaan dalam konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

BAB IV Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.


(1)

b) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.

c) - Korup (busuk; suka menerima uang suap/ uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);

-Korupsi (perbuatan busuk seperti pengelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);

-Koruptor (orang yang korupsi).

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.34

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perudang-perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia35 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut:

“Penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.”

34 Ibid, hlm. 9.

35


(2)

Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu merupakan suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa.

Sekarang di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan Negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif, begitu pula dengan politik maupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan “nepotisme” dalam kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman dalam posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.36

Tindak Pidana Korupsi berasal dari KUHP, dapat diketahui antara lain dari:37

a. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang rumusannya, antara lain sebagai berikut:

“…… dengan tidak mengacu pasal-pasal… tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diacu….”

36 Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2012, hlm. 6.

37


(3)

b. Pasal 43B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana… dinyatakan tidak berlaku.”

Berdasarkan rumusan di atas, maka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jelas-jelas mengambil alih 13 (tiga belas) pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Tindak Pidana Korupsi.

Mubyarto (yang rupanya menyorot korupsi/penyuapan dari segi politik dan ekonomi semata), mengutip pendapat Smith sebagai berikut:

Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya…. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.38

Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington berikut ini.

“Akan tetapi, tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini menggaggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atas birokrasi tetap terbuka. Namun, jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung mobilitas ke atas.”

38 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika:


(4)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yakni dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan pustaka dan data-data sekunder. Penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya. Penelitian dari jenis ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data sekunder tersebut digunakan sebagai sumber atau bahan informasi, yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Penulisan skripsi ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti, peraturan perundang-undangan berupa KUHP, dan bahan hukum primer lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian;

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya tulis dari kalangan hukum seperti literatur hukum pidana dan bahan hukum sekunder lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian;

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum


(5)

sekunder, seperti Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ensiklopedia, media elektronik dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini dipergunakan Teknik Studi Kepustakaan (Library Research). Metode melalui kepustakaan (Library Research) yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.

4. Analisa data

Analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisa kualitatif, yaitu pengolahan data berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis dan kemudian dianalisa secara kualitatif, untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diteliti.39

G. Sistematika Penulisan

Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin disampaikan maka dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang penulisan sehingga mengangkat permasalahan tersebut, perumusan masalah, tujuan dan

39 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali


(6)

manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan.

BAB II Perkembangan Sanksi Pidana Denda Dalam Sistem

Pemidanaan Di Indonesia

Bab ini menguraikan tentang sejarah lahirnya pidana denda di Indonesia, perkembangan pidana denda di Indonesia, dan pemidanaan dalam konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

BAB III Penerapan Pidana Denda dan Pemidanaan dalam Konteks

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi

Bab ini menguraikan tentang pengaturan pidana denda di Indonesia, pidana denda sebagai alternatif pidana penjara dan penerapan pidana denda dan pemidanaan dalam konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

BAB IV Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.


Dokumen yang terkait

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

PENDAHULUAN PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

1 4 16

PENUTUP PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KONVENSI PBB MENGENAI KORUPSI, 2003 TERHADAP PENGEMBALIAN ASET NEGARA.

0 2 9

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14