Hubungan Antara Asthma Control Test (ACT) Dengan Spirometri Sebagai Alat Pengukur Tingkat Kontrol Asma

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma bronkial
2.1.1 Defenisi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang terdapat di
seluruh dunia. Asma berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran nafas yang
ditandai dengan episode mengi berulang, sesak nafas, batuk, rasa tertekan didada
terutama di malam hari atau dini hari.1, 6
Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Para ahli masih
belum sepakat mengenai defenisi asma. Secara praktis para ahli berpendapat: asma
adalah penyakit paru dengan karakteristik 1. Obstruksi saluran nafas yang reversible
baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2. Inflamasi saluran nafas 3.
Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktifitas).7
2.1.2 Epidemiologi
Asma merupakan masalah kesehatan yang paling umum di seluruh dunia,
dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat
terjadi pada anak-anak dan dewasa, dengan prevalensi secara global berkisar 1-18%.
Angka mortalitas asma diperkirakan 250.000 penduduk/ tahun.1
Menurut hasil penelitian Riskesda 2013, prevalensi asma berkisar 4,5%
dengan prevalensi wanita lebih tinggi dibanding pria. Berdasarkan usia, prevalensi
asma tertinggi pada usia 25-34 tahun, dengan prevalensi yang sama antara perkotaan

dan pedesaan.3
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia. Dari data survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986
menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas)
bersama-sama dengan bronchitis kronis dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
28

Universitas Sumatera Utara

bronchitis kronis dan emfisema sebagai peyebab kematian ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6%. 6
2.1.3 Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran nafas pada penderita asma.1, 2, 6,7

Gambar 2.1: Hubungan antara inflamasi, gejala klinis dan patofisisologi asma
Sumber: NHLBI 2007
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat
pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan

29

Universitas Sumatera Utara

bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,

obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel
mast dan antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis
asma. 1, 2, 6,7
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,2,6,7


30

Universitas Sumatera Utara

Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi saluran
nafas dapat dinilai secara objektif dengan spirometri yaitu nilai VEP1 (volume
ekspirasi paksa detik pertama) atau APE (arus puncak ekspirasi), sedangkan
penurunan KVP (kapasitas vital paksa) menggambarkan derajad hiperinflasi paru.1, 2,
6, 7

Patofisiologi asma (khususnya kasus yang berat) memiliki gambaran
hyperplasia sel mukus dan infiltrasi sel-sel inflamasi, dan didominasi oleh sel T
CD4+, eosinofil dan sel mast. Infiltrasi sel T mengekspresikan sitokin Th2 interleukin
13, interleukin 4 dan interleukin 5 yang berkoordinasi dalam pengaturan inflamasi
alergi.9,10,11
Disisi lain ditemukan sel Treg yang memilki kemampuan untuk mengontrol
respon Th2. Peran proteksi sel Treg pada asma didukung oleh penelitian epidemiologi
dan immunologi. Pada populasi di pertanian terjadi peningkatan jumlah dan fungsi

Treg dan sekresi sitokin Th2 yang rendah.9,10
Pada tikus, inflamasi Th2 juga merangsang remodeling saluran nafas jangka
panjang dengan fibrosis dan peningkatan otot polos. Sama halnya pada manusia,
perubahan struktur saluran nafas pada asma berkontribusi pada perkembangan dan
progreisifitas penyakit, pada kasus yang berat, obstruksi aliran nafas sering
diakibatkan hyperplasia sel mucus, penebalan membrane subepitelial, peningkatan
otot polos melalui hipertrofi dan hyperplasia, saluran nafas mulai fibrosis dengan
peningkatan deposit jaringan ikat dan terjadi juga proliferasi mioblast dan fibroblast.9
Aktivasi otot polos saluran nafas selama bronkokonstriksi merubah ukuran
saluran nafas dan menyebabkan stress mekanikal pada dinding saluran nafas. Sel
epital saluran nafas, sel otot polos dan fibroblast merupakan respon terhadap stress
mekanikal tersebut. Respon epitel terhadap stress mekanik adalah berinteraksi dengan
sel mesenkim untuk koordinasi remodeling jaringan.9

31

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Patofisiologi asma berat dan remodeling


2.1.4 Faktor resiko asma
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor individu dan faktor
lingkungan.
2.1.4.1 Faktor individu
1. Genetik
Chip yang memiliki ratusan ribu variasi genetik yang umum telah digunakan
pada genome-wide association studies (GWAS) untuk mencari hubungan
antara ribuan kasus asma dan kontrol. Penelitian ini melaporkan bukti adanya
locus yang berhubungan dengan asma yaitu pada gen CHI3L1 (yang juga
dikenal sebagai YKL40), IL6R, dan DENND1B pada kromosom 1, IL1RL1–

32

Universitas Sumatera Utara

IL18R1 pada kromosom 2, PDE4D and RAD50–IL13 pada kromosom 5,
HLA-DQ pada kromosom on chromosome 6, IL33 pada kromosom 9, SMAD3
pada kromosom15, ORMDL3–GSDMB pada kromosom 17, IL2RB pada
kromosom 22, dan PYHIN1pada kromosom 1 Afrika-Amerika. Tetapi pada
penelitian yg lain tidak ditemukan gen pada lokus yang sama seperti

gambaran pada GWAS. Sebuah penelitian yang menggunakan quantitative
genetic score dari pengaruh kombinasi ribuan polimorfism yang sering
dijumpai secara individu memiliki pengaruh yang kecil dalam risiko asma,
sehingga diduga asma melibatkan komponen poligenik.9,12
Faktor genetik yang berhubungan dengan perkembangan asma adalah
a. Atopi: produksi allergen – antibodi IgE spesifik
b. Hiperresponsif saluran nafas
c. Mediator inflamasi: cytokine, chemokin dan factor pertumbuhan
d. Rasio Th1 dan Th2
2. Obesitas
Prevalensi asma lebih banyak pada individu dengan body mass indeks
> 30 kg/m2 dengan tingkat kontrol asma yang jelek. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
3. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
4. Ras dan etnik

2.1.4.2 Faktor Lingkungan
1. Allergen
Dalam rumah: tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing dll

33

Universitas Sumatera Utara

Luar rumah: serbuk sari dan spora jamur
2. Infeksi pernafasan
Riwayat infeksi saluran pernafasan telah dihubungkan dengan kejadian asma.
Menurut study prospektif oleh sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita
asma dengan riwayat infeksi saluran pernafasan (respiratory sincytial virus)
akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.
3. Asap rokok
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan asma pada usia dini.
Menurut dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok memiliki resiko 4
kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama

kelahiran.
4. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara sebagai faktor resiko asma masih kontroversial. Polusi udara
berhubungan dengan penurunan fungsi paru, meskipun mekanismenya belum
diketahui dengan jelas.
5. Diet
Data dari beberapa penelitian menyebutkan hubungan antara kejadian mengi
usia dini meningkat pada bayi dengan pemberian susu sapi atau susu kedelai
dibandingkan dengan air susu ibu.
6. Bahan dilingkungan kerja
Lebih dari 300 bahan berhubungan dengan asma karena lingkungan
kerja.angka prevalensi meningkat pada dewasa dengan perkiraan 1 dari 10
kejadian asma.
7. Status sosioekonomi
Mielek dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomi dengan
prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi asma berat paling banyak
terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar
40%.

34


Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Diagnosis
2.1.5.1 Anamnesa
Diagnosa penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesa yang baik,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru terutama reversibility kelainan faal paru
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit/ gejala, yaitu:4, 6, 7, 8


Asma bersifat episodik, sering bersifat reversible dengan atau tanpa
pengobatan.



Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap allergen,
gejala musiman, riwayat alergi/ atopi dan riwayat keluarga pengidap
asma.




Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak nafas yang episodik, rasa
berat didada dan berdahak.



Gejala timbul/ memburuk terutama pada malam/ dini hari.



Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik.



Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.

Table 2.1: Gejala gejala kunci diagnosa asma

35

Universitas Sumatera Utara

2.1.5.2 Pemeriksaan fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah wheezing
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas.4, 6 Oleh
karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat
pemeriksaan terdapat gejala- gejala obstruksi saluran pernafasan.12
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat
menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal
ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi.4
2.1.5.3 Faal paru
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri
dan arus puncak ekspirasi (APE). Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai
obstruksi jalan nafas, reversibility kelainan faal paru, variability faal paru, sebagai
penilaian tidak langsung hiperensponsif jalan nafas. 4, 6
2.1.5.4 Foto thorax
Pemeriksaan foto thorax tidak rutin dilakukan untuk diagnosa asma, tetapi
digunakan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. 13
2.1.5.5 Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.

36

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).4, 6, 7

2.1.5.6 Penanda inflamasi.
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang
atau sulit dilakukan di luar riset. 4, 6, 7

2.1.5.7 Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada
subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan
pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um
sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang
memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik
untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara
dingin atau kering, histamin, dan metakolin. 4, 6, 7

2.1.6 Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung derajat sebelumnya.

37

Universitas Sumatera Utara

2.1.6.1 klasifikasi berdasarkan Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.8
2.1.6.2 klasifikasi menurut derajat berat asma14
Klasifikasi asma menurut derajat berat asma berguna untuk menentukan obat
yang diperlukan pada awal penangan asma. Menurut derajat berat asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat.8

2.1.6.3 klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefenisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma,
hal itu tidak realistis, maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol
yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah
memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat
yang aman dan tanpa efek samping. 8

38

Universitas Sumatera Utara

Table 2.2: klasifikasi asma berdasarkan derajat Kontrol asma

Sumber : GINA revisi 2010
Table 2.3: Klasifikasi kontrol asma berdasarkan National Heart, Lung and Blood
Institut

Sumber NHLBI 2007

39

Universitas Sumatera Utara

Table 2.4: klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

Table 2.5: Klasifikasi Derajat berat asma menurut NHLBI

40

Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Pengobatan
Pengobatan asma meliputi kontrol lingkungan dan terapi farmakologis, untuk
asma berat pengobatan komorbiditas juga penting. Paparan lingkungan merupakan
pencetus pada asma, tetapi peran kontrol lingkungan dan penghindaran allergen untuk
terapi asma masih kontroversial. Intervensi lingkungan yang menyeluruh termasuk
mengurangi paparan allergen kecoa dan tungau debu dapat mengurangi kematian
yang berhubungan dengan asma. Penghindaran allergen sebagai terapi tunggal pada
asma secara klinis tidak efektif. 9,15
Tujuan pengobatan asma untuk mencapai dan mempertahankan kontrol klinis
yang baik.1 Obat-obatan terapi asma dapat digolongkan menjaadi controller dan
reliever.1,16 Controller adalah obat-obatan yang digunakan rutin, dengan cara kerja
panjang untuk mempertahankan asma dalam kontrol klinis yang baik melalui efek
antiinflamasi. Seperti: glukortokoid sistemik dan inhalasi, leukotrien modifier, β2
agonis aksi panjang dengan glukortikoid inhalasi, teofilin lepas lambat dan anti IgE.
Sampai saat ini controller yang paling efektif adalah glukortikoid inhalasi. Reliever
adalah obat-obatan yang digunakan untuk melegakan bronkokonstriksi, seperti: β2
agonis aksi cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin lepas lambat, oral β2 agonis.9,16
Kortikosteroid inhalasi dengan atau tanpa β2 agonis aksi panjang merupakan
terapi utama untuk asma ringan sampai moderat. Jika digunakan regular,
kortikosteroid inhalasi efektif untuk kontrol asma, memperbaiki fungsi paru, dan
mengurangi resiko eksaserbasi. 9,16
Pengobatan untuk pasien dengan asma berat, yang tidak terkontrol dan sering
eksaserbasi walaupun dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan β2 agonis aksi
panjang atau dengan kortikosteroid oral, masih merupakan tantangan. Pasien ini
membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi dan mengalami keterbatasan karena
asma yang berat.9
Pasien dengan asma yang berat, khususnya anak-anak bersifat highly atopic
dan omalizumab, monoclonal antibody IgE menurunkan eksaserbasi asma sebesar
30%. Omalizumab juga menurunkan angka eksaserbasi pada pasien dewasa dengan
asma berat, tetapi pengaruhnya terhadap keluhan asma sehari-hari kurang

41

Universitas Sumatera Utara

memuaskan, dengan harganya yang mahal menjadi keterbatasan penggunaan obat ini.
Monoklonal antibody interleukin 5 rasional diberikan pada asma dengan gambaran
subfenotip sputum eosinofilia. Penelitian pada anak usia 12 tahun ke atas dengan
asma berat menunjukkan bahwa mepolizumab menurunkan kejadian eksaserbasi
tetapi tidak ada perbaikan pada kontrol asma dan fungsi paru.9
Tujuan terapi asma adalah untuk mengontrol penyakit, kontrol penyakit yang
baik akan mencegah munculnya keluhan, mengurangi kebutuhan β2 agonis aksi cepat,
membantu mempertahankan fungsi paru yang baik, mencegah eksaserbasi asma,dan
mencegah remodeling.1,17 Pentingnya kontrol yang baik pada asma, dan guideline
GINA meletakkan tatalaksana asma berdasarkan kontrolnya.1

Gambar 2.3 Kriteria kontrol asma dan pengobatannya

42

Universitas Sumatera Utara

2.1.8 Kriteria kontrol asma
Asma harus dikontrol dengan baik, karena proses inflamasi dan remodeling
akan terus berlangsung, asma yang tidak terkontrol akan mengganggu kualitas hidup,
biaya kesehatan yang tinggi dan morbiditas serta mortalitas.9
Kontrol asma dapat didefenisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma,
hal itu tidak realistis, maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol
yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah
memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat
yang aman dan tanpa efek samping. 7
Rekomendasi The 2007 National Asthma Education and Prevention Program
(NAEPP) mendefenisikan asma terkontrol adanya pengurangan gejala saat ini (
seperti gejala klinis, gangguan tidur, keterbatasan aktifitas harian, penggunaan obat
pelega) dan resiko akan datang ( seperti eksaserbasi asma, progresifitas penurunan
fungsi paru pada dewasa, gangguan pertumbuhan atau efek samping pengobatan).
Meskipun rekomendasi dari NAEPP bertujuan untuk strategi pencapaian kontrol
asma dan manajemen terapi, dari penelitian sebelumnya menunjukkan asma tidak
terkontrol terdapat pada sebagian besar pasien.18
Beberapa penelitian telah mempelajari faktor-faktor yang berhubungan
dengan tingkat kontrol asma. Schatz dkk menemukan hubungan antara akses layanan
kesehatan dan penggunaan yang sulit dijangkau terhadap buruknya kontrol asma.
Vogt dkk dan Bloomberg dkk mengindentifikasi tingkat sosio-ekonomi merupakan
faktor yang sangat penting. Secara keseluruhan, studi epidemiologi menunjukkan
bahwa akses layanan kesehatan dan penggunaannya, status merokok, ketidakpatuhan
terhadap

saran

dokter,

kesalahan

dalam

penggunaan

inhaler,

penggunaan

kortikosteroid oral, dan kurangnya perawatan spesialis merupakan faktor yang
signifikan terkait dengan kontrol asma yang buruk.18
Nguyen dkk melaporkan penelitian di eropa 82% pasien memiliki kontrol
asma yang buruk dan sebagian besar berdampak pada gangguan aktifitas hariannya.
Penelitian di USA melaporkan tiga perempat dari 60.000 pasien memiliki kontrol

43

Universitas Sumatera Utara

asma yang buruk dan tiga perempatnya menunjukan gangguan aktifitas seminggu
sebelumnya. 19
Penelitian yang dilakukan zainudin dkk pada tahun 2000 pada 2323 pasien
asma bronkial tentang kontrol asma pada pasien dewasa di asia-pasifik menunjukkan
bahwa derajat keparahan asma bervariasi secara bermakna sesuai area tempat
tinggalnya, dimana Vietnam dan cina daratan dilaporkan banyak kasus asma berat
dan persisten. Keparahan asma berhubungan erat dengan usia lanjut dan rendahnya
tingkat pendidikan pasien. 20
Penelitian yang dilakukan lai dkk di delapan Negara asia tentang kontrol asma
dan pengaruhnya terhadap biaya perawatan menunjukan hasil bahwa kontrol asma
yang buruk berhubungan dengan peningkatan kunjungan ke tempat pelayanan
kesehatan yang berdampak pada peningkatan biaya perawatan, penemuan ini merata
pada daerah asia pasifik. 21, 22

2.3 Spirometri
Spirometri merupakan alat diagnostik non invasive yang digunakan untuk
pemeriksaan faal paru.23 Spirometri merekam secara grafis atau digital volume
ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Pemeriksaan dengan spirometri ini dapat
digunakan untuk membedakan gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran
udara) dan gangguan fungsi paru restriktif ( hambatan pengembangan paru).23
Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila nilai
VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi paru restriktif bila nilai
kapasitas vital paksa kurang dari 80% dibanding dengan nilai standar.24,26

44

Universitas Sumatera Utara

Table 2.6: Indikasi spirometri26
Diagnostik

Untuk mengevaluasi gejala dan tanda
Untuk mengukur fungsi paru
Untuk skrining pada individu yang memiliki factor resiko penyakit
paru
Untuk menilai resiko pra operasi
Untuk menilai prognosa
Untuk menilai status kesehatan sebelum dimulai aktifitas fisik yang
berat

Monitoring

Untuk menilai keberhasilan pengobatan
Untuk menggambarkan perjalanan penyakit yang mempengaruhi
fungsi paru
Untuk memantau efek samping obat dengan toksisistas paru
Untuk memantau individu yang terpapar agen yang berbahaya

Evaluasi

Untuk menilai pasien dengan program rehabilitasi
Untuk menilai resiko penyakit sebagai evaluasi asuransi kesehatan

Kesehatan
masyarakat

Survey epidemiologi
Penelitian ilmiah

Sumber: M.R Miller standardization of spirometry
2.3.1 Faktor yang perlu dipertimbangkan ketika Memilih sebuah spirometri
27



Mudah digunakan



Mudah dibaca dengan menampilkan real-time grafis dari manuver



Menyediakan kualitas feedback langsung termasuk Reproduktifitas



Penyediaan laporan spirometri



Harga dan biaya operasional

45

Universitas Sumatera Utara



Keandalan dan kemudahan pemeliharaan



Pelatihan, pelayanan dan perbaikan spirometer disediakan



Kemampuan untuk percobaan spirometer dalam pengaturan sebelum membeli



Penyediaan disposable sensor atau sirkuit pernapasan yang dapat dengan
mudah dibersihkan dan didesinfeksi



Penyediaan nilai normal dengan batas bawah normal



Penyediaan

sarana

komprehensif

untuk

pengoperasian

spirometri,

pemeliharaan dan kalibrasi


Persyaratan kalibrasi



Kesesuaian dengan standar kinerja spirometri



Sesuai standar keselamatan listrik

2.3.2 Teknik penggunaan spirometri
Penderita 27


Tidak menggunakan bronkodilator minimal 8 jam (kerja singkat) atau 24 jam
( kerja panjang)



Tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 jam sebelum pemeriksaan



Tidak berpakaian ketat



Diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan
pemeriksaan



Diukur tinggi badan dan berat badan

Prosedur tindakan 27


Posisi berdiri tegak, kecuali tidak memungkinkan: dalam posisi duduk



Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui
mouth piece sekuat-kuatnya dan sampai semua udara dapat dikeluarkan
sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang bocor melalui celah antara
bibir dan mouth piece.

46

Universitas Sumatera Utara



Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (beda
antara 2 nilai terbesar dari ketiga percobaan ≤ 5% atau ≤ 100 ml)

2.3.3 Nilai spirometri 27
Secara konvensional spirometri digunakan untuk mengukur waktu, volume
inspirasi dan ekspirasi sehingga dapat dinilai efektifitas pengisian dan pengosongan
paru-paru.
Pengukuran yang umumnya dibuat:
1. Kapasital vital (VC)
Adalah volume udara maksimal dikeluarkan dari paru setelah suatu inspirasi
maksimal dalam satuan mililiter (ml).
2. Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1)
adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik pertama dengan
sekuat tenaga, yang dimulai dari paru pada posisi inspirasi maksimal, dalam
satuan mililiter per detik (ml/dtk).
3. Rasio FEV1/FVC
adalah perbandingan antara FEV1 dengan FVC, dinyatakan dalam persen (%)
4. FEF 25-75%
Adalah rata-rata aliran ekspirasi separuh maneuver FVC
5. PEF
Adalah maksimal kecepatan aliran ekspirasi.
6. FEF 50% dan FEF 75%
adalah aliran ekspirasi maksimal yang diukur pada titik di mana 50% dari
FVC telah berakhir (FEF50%) dan setelah 75% FVC telah berakhir
(FEF75%).
7. FVC6
adalah volume ekspirasi paksa selama 6 detik pertama dan dapat sebagai
pengganti FVC

47

Universitas Sumatera Utara

2.3.4 Prediksi Nilai normal 27
Setiap individu yang melakukan tes fungsi paru hasilnya dibandingkan
dengan nilai referensi yang diperoleh dari populasi normal seperti umur, jenis
kelamin, tinggi badan dan etnik yang menggunakan protocol pelaksanaan yang sama.
Nilai prediksi normal untuk fungsi ventilasi umumnya bervariasi sebagai berikut:
1. Jenis kelamin
Untuk tinggi badan dan umur yang sesuai, pria memiliki FEV1, FVC, FEF
25-75% dan PEF yang tinggi, akan tetapi memiliki nilai rasio FEV1/FVC
yang relative kecil.
2. Umur
Pada usia sampai 20 untuk wanita dan 25 tahun untuk pria nilai FEV1, FVC,
FEF 25-75% dan PEF akan terus meningkat, sedangkan rasio FEV1/FVC
akan relative menurun. Setelah usia ini, semua nilai prediksi akan mengalami
penurunan secara bertahap, namun tidak diketahui secara pasti nilai
penurunanya.
3. Tinggi badan
Semua indeks selain rasio FEV1/FVC akan meningkat sesuai dengan tinggi
badan.
4. Etnik
Kaukasian memiliki nilai FEV1 dan FVC yang paling tinggi dan polinesia
memiliki nilai yang paling rendah dari berbagai etnik di dunia. Etnik chinese
memiliki nilai FVC 20% lebih rendah dan Indian 10% lebih rendah dibanding
etnik kaukasian.
2.3.5 Interpretasi nilai spirometri 24
Pengukuran fungsi ventilasi paru sangat penting dalam menegakkan diagnosa,
memantau perjalanan penyakit, toleransi preoperative dan menentukan keberhasilan
pengobatan.Gangguan fungsi ventilasi dapat disimpulkan bila adanya kelainan nilai
FEV1, VC, PEF, atau FEV1/FVC.
Normal : FEV1 dan FVC ≥ 80% nilai prediksi
Rasio FEV1/FVC ≥ 0,7

48

Universitas Sumatera Utara

Obstruksi

: FEV1 < 80% nilai prediksi
FVC turun atau normal
FEV1, Rasio FEV1/FVC < 0,7

Restriksi

: FEV1 turun < 80% nilai prediksi atau normal
FVC turun < 80% nilai prediksi
Rasio FEV1/FVC normal atau meningkat

Campuran

: Penurunan nilai FVC dan rasio FEV1/FVC

Gambar 2.4: kurva kelainaan fungsi ventilasi paru

Table 2.7: Derajat abnormalitas fungsi ventilasi paru
Kelas

0
I
II
III
IV

Derajat
kerusakan

VC %

Normal
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat

>80
60-80
50-60
35-50
75
>75
>75
>75
N/ ↓

VC %
>80
>80
>80

↓↓

Obstruktif
FEV1?FVC
>75
60-75
40-60
21, terkontrol sebagian
19-20 dan untuk tidak terkontrol < 18, terdapat perbedaan yang bermakna kadar
FeNo dan fungsi paru terhadap skor ACT ≥ 21 dan skor ACT ≤18. 36
Penelitian yang dilakukan Thomas dkk menilai asthma control test sebagai
prediktor menilai kontrol asma sesuai kriteria GINA, menunjukan skor ACT ≤ 19
dapt memprediksi asma terkontrol sebagian/ asma tidak terkontrol sesuai kriteria
GINA sebesar 94 %, untuk skor ACT
≥ 20 dapat memprediksi asma terkontrol
sebesar 51% dengan kappa statistik 0.42 (moderate agreement).37
Penelitian yang dilakukan bora dkk menilai apakah kontrol asma yang dinilai
dengan asthma control test menggambarkan inflamasi saluran nafas. Menunjukkan
hasil skor ACT tidak berhubungan secara bermakna terhadap parameter inflamasi
saluran nafas. Dalam penelitian ini terdapat penurunan persentasi pasien dengan
methacoline bronchial provocation test positif dan kadar FeNo > 20 ppb
menggambarkan pentingnya konsep kontrol dalam manajemen pengobatan asma
bronkial.38
Berdasarkan data diatas, ACT potensial untuk dijadikan alat diagnostik
alternatif untuk menilai derajat kontrol asma dan hubungannya dalam memprediksi
derajat berat asma dengan atau tanpa adanya spirometri atau peak flow meter.

54

Universitas Sumatera Utara

Table 2.9: kuesioner Asthma control Test

55

Universitas Sumatera Utara

2.5 . Kerangka Teori

56

Universitas Sumatera Utara