Sintesis Nanorod Ba(Nd)xFe12O19 Menggunakan Templat Dari Pati Tapioka

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Magnetik
Semua benda atau material terdiri dari dari atom-atom, setiap atom terdiri

dari inti atom dan elektron, jumlah elektron berbeda setiap atom, elektron tersebut
bergerak mengelilingi inti atom pada lintasannya masing masing yang disebut
mengorbit sesuai dengan model Bohr dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Atom Model Bohr Elektron Mengorbit Inti
(Karlsson and Soderstrom, 2012)
Karlsson and Soderstrom, (2012) menuliskan bahwa : elektron mengorbit inti
atom dengan momentum sudut orbital L :
L = r × mev

(1)

r, me dan v adalah radius orbital elektron, massa dan kecepatan elektron. Hal ini

dapat ditunjukkan bahwa magnet momen dipol m untuk loop arus kecil dapat
ditulis sebagai :
m = I AuN = I r2π uN

(2)

A adalah luas dalam loop dan uN vektor satuan normal untuk A. Selanjutnya, saat
arus listrik I didefinisikan sebagai partikel bermuatan bergerak, dan ditulis sebagai
:
(3)
e adalah muatan elektron dan ω adalah frekuensi sudut elektron. Persamaan 1, 2
dan 3 digabungkan memberikan :

10
Universitas Sumatera Utara

(4)

faktor -e/2me disebut rasio gyromagnetik. Hal ini diilustrasikan sesuai Gambar
2.2 dibawah ini.


Gambar 2.2 Ilustrasi Momen Dipol Magnetik m (Karlsson and Soderstrom,
2012)
Elektron mengorbit inti sambil berputar pada sumbunya. Putaran elektron
pada sumbunya terdiri dari dua arah searah jarum jam dan berlawanan arah jarum
jam hal ini disebut dengan spin positif (+) dan spin negatif (-). Jika suatu elektron
mempunyai 2 (dua) spin, spin positif (+) dan spin negatif (-) disebut elektron
berspin berpasangan, sebaliknya disebut elektron berspin tidak berpasangan atau
berspin tunggal, dalam gerak spin elektron timbul momentum sudut. Menurut
Miller (2014) fenomena magnetik didasarkan pada spin elektron yang tidak
berpasangan pada atom. Prinsip utama dari kemagnetan suatu atom bergantung
pada spin elektronnya. Jika elektron pada atom suatu medium berpasangan, maka
elektron tersebut tidak akan menarik garis-garis gaya magnetik luar dan
sebaliknya. Kombinasi gerak elektron (mengorbit dan gerak pada sumbunya)
dapat saling menguatkan atau saling melemahkan dalam menghasilkan medan
magnet atom. Medan magnet atom tersebut berbeda pada setiap atom karena
setiap atom jumlah dan arah gerak spin elektron juga berbeda. Perbedaan medan
magnet di suatu atom atau material dikenal dengan jenis magnet. Berdasarkan
kombinasi gerak elektron (mengorbit dan gerak pada sumbunya) pada suatu bahan


11
Universitas Sumatera Utara

maka bahan magnet dapat digolongkan menjadi lima yaitu : diamagnetik,
paramagnetik, feromagnetik, antiferomagnetik dan

ferimagnetik. Keterangan

jenis magnet tersebut dijelaskan pada bagian berikut.

2.1.1 Diamagnetik.
Diamagnetik adalah bahan magnet yang tidak memiliki momen magnet atau
medan magnet (kulit elektronnya lengkap dan terisi oleh spin elektron yang
berpasangan), momen magnet hanya muncul saat diberikan medan magnet
eksternal tetapi mengahsilkan arah momen magnetik yang berlawanan dengan
arah kuat medan magnet eksternal sehingga akan menghasilkan resultan yang
berarah negatif. Menurut Issa, B. et al (2013) diamagnetik tidak mempertahankan
momen magnetik saat medan magnet eksternal dihapus, contoh bahan
diamagnetik seperti tembaga, perak, emas. Ilustrasi arah momen magnet
diamagnetik pada saat ada dan tidak ada medan magnet eksternal dapat dilihat

pada Gambar 2.3.

Diamagnetic
Gambar 2.3 Ilustrasi Dipol Magnetik Diamagnetik (Kolhatkar et al, 2013)
2.1.2 Paramagnetik
Paramagnetik adalah bahan magnet yang memiliki momen magnet (terdapat
spin elektron tidak berpasangan) tetapi dalam keadaan acak, sifat magnet hanya
muncul saat diberikan medan magnet eksternal. Ketika medan magnet ekternal
diberikan pada material paramagnetik maka dipol magnetik akan mengikuti arah
medan magnet eksternal. Paramagnetik merupakan jenis magnet nonpermanen.
Menurut Issa, B. et al (2013) bahan paramagnetik tidak mempertahankan momen

12
Universitas Sumatera Utara

magnetik saat medan magnet eksternal dihapus, contoh bahan paramagnetik
seperti gadolinium, magnesium, lithium, dan tantalum. Ilustrasi arah momen
magnet paramagnetik pada saat ada dan tidak ada medan magnet eksternal dapat
dilihat pada Gambar 2.4.


Paramagnetic
Gambar 2.4 Ilustrasi Dipol Magnetik Paramagnetik (Kolhatkar et al, 2013)
2.1.3 Feromagnetik
Feromagnetik adalah bahan magnet yang memiliki momen magnet (terdapat
spin elektron tidak berpasangan) momen magnet teratur dan searah, sama besar,
saling menguatkan, sifat magnet tetap ada walaupun tidak diberikan medan
magnet eksternal (permanen). Feromagnetik disebut juga magnet permanen.
Menurut Issa, B. et al (2013) ketika bahan feromagnetik ditempatkan dalam
medan magnet, momen magnetik dari domain menyelaraskan sepanjang arah
medan magnet yang membentuk momen magnetik besar,

contoh bahan

feromagnetik seperti besi, nikel, dan kobalt. Ilustrasi arah momen magnet
feromagnetik dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Ferromagnetic
Gambar 2.5 Ilustrasi Dipol Magnetik Feromagnetik (Kolhatkar et al, 2013)
13
Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Antiferomagnetik
Antiferomagnetik

merupakan

jenis

magnet

permanen

(kelompok

feromagnetik), momen magnet saling berlawanan dan sama besar dengan
demikian tidak memiliki margin momen magnet. Jenis magnet ini menjadi
paramagnetik diatas suhu transisi, yang dikenal sebagai neel tempearture, TN (Cr:
TN = 370C). Menurut Issa, B. et al (2013) contoh bahan antiferromagnetik seperti
MnO, CoO, NiO, dan CuCl2 adalah senyawa dari dua atom yang berbeda yang
menempati kisi yang berbeda posisi. Dua atom memiliki momen magnetik yang

sama besarnya dan berlawanan arah yang menghasilkan momen magnetik nol.
Ilustrasi arah momen magnet antiferomagnetik dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan
Gambar 2.7.

Antiferromagnetic
Gambar 2.6 Ilustrasi Dipol Magnetik Antiferomagnetik (Kolhatkar et al, 2013)

Gambar 2.7 Ilustrasi Anti Paralel Momen Magnetik Spin Antiferomagnetik
MnO (Callister, 2007)

14
Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Ferimagnetik
Ferimagnetik

merupakan

bahan


magnet

permanen

(kelompok

feromagnetik), momen magnet saling berlawanan tetapi tidak sama besar dengan
demikian memiliki margin momen magnet seperti magnetit Fe3O4 dan maghemite
-Fe2O3. Ilustrasi arah momen magnet ferimagnetik dapat dilihat pada Gambar
2.8.

Ferrimagnetic
Gambar 2.8 Ilustrasi Dipol Magnetik Ferimagnetik (Kolhatkar et al, 2013)
Karlsson and Soderstrom (2012) memberikan contoh material berdasarkan
bahan magnet pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Contoh Material Berdasarkan Bahan Magnet
(Karlsson and Soderstrom, 2012)
Bahan Magnet

Contoh material


Tembaga (Cu), Karbon (C), Hidrogen (H2), Natrium
Klorida (NaCl)
Paramagnetik
Aluminium (Al), Oksigen (O2)
Feromagnetik
Besi (Fe), Nikel (Ni), Feronikel (FeNi)
Antiferomagnetik Chromium (Cr), Besi oksida (FeO), Nikel oksida (NiO)
Ferimagnetik
Strontium ferit (SrFe12O19), Barium heksaferit (BaFe12O19)
Diamagentik

2.2

Sifat Bahan Magnet
Sifat bahan magnet secara umum yang terdapat pada magnet logam dan

magnet keramik adalah : temperatur curie, magnetik saturasi, magnetik remanensi
dan koersivitas. Magnetik saturasi, magnetik remanensi dan koersivitas dibahas
pada kurva histeresis.


15
Universitas Sumatera Utara

2.2.1

Temperatur Curie
Temperatur Curie yaitu nilai temperatur yang mengakibatkan momen

magnet dari suatu material akan hilang. Jika suatu material dipanaskan maka
atom–atom material tersebut akan bervibrasi. Jika vibrasi atom semakin
meningkat akibat temperatur terus semakin tinggi maka gaya kopel antar momen
dipol menjadikan susunan dipol tidak teratur hal ini menyebabkan terjadinya
penetralan yakni total medan magnet menjadi hilang. Dengan demikian jika
temperatur ferimagnetik dan feromagnetik melebihi temperatur ini maka ia akan
berubah sifat menjadi paramagnetik.

2.2.2

Kurva Histerisis

Kurva histerisis adalah hasil magnetisasi pada suatu bahan yang

menunjukkan adanya pengaruh momen magnet terhadap pemberian variasi
momen magnet ektrernal dengan arah yang berlawanan dalam bentuk kurva. Jika
suatu bahan feromagnetik atau ferimagnetik di bawah temperatur Curie awalnya
belum dimagnetisasi, maka momen magnet bahan (B) = 0 dan medan magnet
eksternal (H) = 0 berarti dipol magnetik bahan tersebut arahnya acak seperti yang
ditunjukkan pada kurva pada Gambar 2.9. Jika H terus ditingkatkan atau
dimagnetisasi, maka bidang B mulai meningkat perlahan-lahan, kemudian lebih
cepat akhirnya mencapai saturasi hal ini ditandai dengan semua jumlah dipol
magnetik yang serah medan magnet ekternal tersebut atau keadaan jenuh sesuai
dengan lintasan dari U ke Z pada Gambar 2.9.
Sebaliknya jika medan magnet eksternal dikurangi maka nilai momen
magnet akan turun tapi kurva penurunan momen magnet bahan tidak mengikuti
kurva saat magnetisasi awal, hal ini disebabkan oleh dipol magnetik bahan yang
telah saling menguatkan yang disebut dengan remanen menandakan bahan sudah
bersifat magnet permanen. Ketika kuat medan magnet eksternal menjadi nol
(H=0), induksi magnetnya tidak serta merta menjadi nol ini menandakan masih
terdapat medan magnet (momen magnet remanensi). Agar induksi magnetisasi
menjadi nol, maka diperlukan medan magnet eksternal yang berlawanan arah.

16
Universitas Sumatera Utara

Bila diberi nilai H negatif, dipol magnetik diarahkan kembali pada arah negatif
sampai saturasi.

Gambar 2.9 Kurva Perubahan Nilai B (feromagnetik dan ferimagnetik) Terhadap
Perubahan H pada Proses Magnetisasi (Callister, 2007)
Ilustrasi magnetisasi bahan feromagmetik dan ferimagnetik membentuk
kurva histerisis dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Kurva Histerisis Material Feromagnetik (R = Remanen,
H = Koersivitas) (Callister, 2007)

17
Universitas Sumatera Utara

Sifat magnet suatu bahan dapat dilihat dari kurva histerisisnya, nilai Br
atau momen magnet remanen menunjukkan tingkat kualitas magnet permanen.
Semakin tinggi nilai Br suatu bahan magnet maka semakin tinggi momen
magnetik suatu magnet permanen (tanpa medan eksternal). Hc merupakan
koersivitas yakni indikator kekuatan suatu magnet untuk mempertahankan sifat
magnetnya dari gangguan medan magnet eksternal atau kemampuan untuk
menahan demagnetisasi. Semakin besar nilai koersivitas suatu bahan magnet
maka semakin besar sifat magnet permanennya.
Menurut Kolhatkar et al (2013) magnetisasi saturasi (Ms) adalah
magnetisasi maksimum dari momen magnetik yang dapat dicapai pada medan
magnetik ekatrenal, setelah medan ini tidak ada peningkatan magnetisasi lagi,
magnetisasi Remanensi (Mr) adalah Induksi magnetisasi yang tersisa setelah
medan magnet eksternal dihapus dan Koersivitas (Hc) intensitas medan koersif
eksternal diperlukan untuk memaksa magnetisasi ke nol. Kurva histerisis
berdasarkan jenis magnet dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Perbandingan Kurva Histerisis Berdasarkan Jenis Magnet.
(Kolhatkar et al, 2013)
Penulisan satuan sifat magnet ada yang menggunakan sistem centimetregram-second (cgs) dan ada yang menggunakan sistem internasional (SI), untuk
memudahkan pemahaman nilai suatu sifat magnet perlu adanya konversi antara
sistem cgs dan SI, berikut ini diberikan tabel konversi sifat magnet antara sistem
cgs dan sistem SI yakni Tabel 2.2 berikut.
18
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Konversi Satuan Sifat Magnet
(Pullar, 2012)
No

Satuan CGS

1
2
3
4

Gauss (G)
Oersted (Oe)
Gauss (G)
emu/g

Faktor konversi
ke satuan SI
10-4
103/4
103/4
1

Satuan SI
Tesla (T)
A/m
A/m
A m2 kg-1

Ukuran kurva histerisis suatu bahan magnet dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menentukan bahan tersebut termasuk jenis hard magnet atau soft magnet.
Menurut James (2015) hard magnet adalah magnet yang memiliki kurva histerisis
tebal/ besar sedangkan soft magnet memiliki kurva histerisis tipis/ kecil. Hard
magnet sulit untuk dimagnetisasi dan didemagnetisasi sedangkan soft magnet
mudah untuk dimagnetisasi dan didemagnetisasi. Berdasarkan kurva histerisis
menurut Gutfleisch (2011) bahan yang termasuk jenis soft magnet adalah bahan
yang nilai Hc nya 31 kAm-1(0,039 T), ilustrasi hard magnet dan soft magnet
berdasarkan kurva histerisis dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Tipikal Kurva Histerisis pada a.Hard Magnet dan b.Soft Magnet
(James, 2015)

19
Universitas Sumatera Utara

Menurut Karlsson and Soderstrom (2012) material hard magnet dibagi
dalam tiga kelompok : magnet logam tanah jarang (seperti Nd-Fe-B and Sm-Co),
magnet paduan logam (seperti agnet Al-Ni-Co) dan magnet ferit atau magnet
keramik biasanya mengacu pada barium atau strontium ferit (Ba/ SrFe12O19).
Menurut Gutfleisch (2011) contoh material soft magnet antara lain : soft Fe,
Fe49Co49V2, Ni50Fe50 permalloy, Finemet, Ni78Fe17Mo5, supermalloy.
Selaian nilai Hc, pada magnet permanen perlu juga diketahui nilai rasio Mr/
Ms. Menurut An et al (2012) rasio Mr/Ms merupakan indeks penting dari tingkat
penyelarasan magnetik. Menurut Pullar (2012) sampel isotropik yang tidak selaras
dengan suatu bahan magnet dikatakan berorientasi dengan baik jika Rasio Mr/Ms
menunjukkan nilai setengah.

2.3

Barium Heksaferit
Barium heksaferit (BaFe12O19) merupakan jenis M-ferit heksagonal (BaM)

yang telah banyak diteliti karena sifat yang sangat baik seperti temperatur Curie
tinggi, stabilitas kimia yang baik, ketahanan korosi, dan koersivitas besar (An et
al, 2014a; Kaynar et al 2015). Barium hexaferrite (BaFe12O19) dengan struktur
magnetoplumbite adalah magnet permanen keramik terkenal. Telah banyak
digunakan sebagai media perekaman magnetik high-density dan menyerap
gelombang mikro karena saturasi magnetisasi yang tinggi, koersivitas besar dan
stabilitas kimia yang sangat baik (Huang et al, 2013).
BaFe12O19 merupakan magnet permanen (Yu, 2013; Ahmed et al, 2013;
Choi et al, 2014; An at al, 2014a) berbasis ferit, dapat juga ditulis sebagai
Ba6.(Fe2O3). Martirosyan (2011) telah melakukan penelitian tentang barium
heksaferit ia mengatakan studi terbaru difokuskan pada sintesis serbuk
nanokristalin untuk meningkatkan sifat magnetik dengan meningkatkan luas
permukaan dan sintering pada suhu rendah hal ini menghemat

biaya,

mendapatkan barium heksaferit dalam ukuran nano (kurang dari 100 nm) tetap
merupakan sebuah tantangan. Kajian BaFe12O19 berstruktur nano memiliki sifat
magnetik dan listrik yang berbeda jika dibandingkan dengan BaFe12O19 bulk
(Mandizadeh, 2014). Menurut Galvao et al (2014) sifat magnetik suatu bahan

20
Universitas Sumatera Utara

dipengaruhi oleh bentuk anisotropi dan ukuran nano partikel. Sementara itu
menurut Mohapatra (2015) bahan ferit yang bermofologi nanorod memiliki
medan magnet yang lebih besar dari bahan ferit yang bermorfologi nanosphare
(volume bahan setara). Disamping itu partikel magnet bermorfologi nanorod
momen dipol nya cenderung tertata dengan baik (sejajar) hal ini akan mendukung
wujudnya nilai remanensi yang tinggi setelah proses magnetisasi.

2.3.1

Struktur Barium Heksaferit
Molekul M-ferit mengandung array blok S dan blok R, dengan tumpang

tindih bentuk segi enam dan bentuk kubik (Pullar,2012). Unit molekul Barium
heksaferit terbuat dari satu blok S dan satu blok R, dengan tumpang tindih
heksagonal dan dikemas lapisan cubically. Satu unit molekul Barium heksaferit
terdiri dari 2 x BaFe12O19 dengan rincian 2 atom Ba2+, 24 atom Fe3+ dan 38 atom
O (Pullar,2012). Struktur kristal molekul BaFe12O19 dapat dilihat pada Gambar
2.13.

Ba
O
Fe

Gambar 2.13

2.3.2

Struktur Kristal BaFe12O19 (a) Susunan S blok dan R blok. (b)
dan (c) Perspektif Dilihat Dari Sel Satuan Molekul. (Pullar, 2012)

Fasa Barium Heksaferit
Fasa barium heksaferit adalah fasa terbentuknya kristal barium heksaferit

yang berasal dari BaO dan Fe2O3, hal ini dapat dilihat pada diagram fasa BaO-

21
Universitas Sumatera Utara

Fe2O3-MeO (Gambar 2.14) dan diagram fasa Fe2O3-BaO (Gambar 2.15).
Lambang M, S, T, U,W, X, Y, Z pada Gambar 2.14 adalah lambang dari jenis ferit
heksagonal. Pullar (2012) mengelompokkan jenis ferit heksagonal sebagai berikut
: M adalah jenis ferit seperti : BaFe12O19 (BaM or barium ferrite), SrFe12O19 (SrM
or strontium ferrite), Cobalt–titanium substituted M ferrite, Sr- or BaFe122xCoxTixO19

(CoTiM).U

adalah

jenis

ferit

(Ba4Me2Fe36O60),

seperti

Ba4Co2Fe36O60, atau Co2U. W adalah jenis ferit (BaMe2Fe16O27), seperti
BaCo2Fe16O27, atau Co2W.X adalah jenis ferit (Ba2Me2Fe28O46), seperti
Ba2Co2Fe28O46, atau Co2X.Y adalah jenis ferit (Ba2Me2Fe12O22), seperti
Ba2Co2Fe12O22, atau Co2Y.Z adalah jenis ferit (Ba3Me2Fe24O41) seperti
Ba3Co2Fe24O41, atau Co2Z. Sedangkan S merupakan Blok S (Me2Fe4O8) dan T
merupakan Blok T (Ba2Fe8O14).
Menurut Pullar (2012) Lambang M pada Gambar 2.14 menandakan
lambang ferit heksagonal jenis M-feritseperti BaFe12O19 (BaM atau barium ferit).
Berdasarkan Gambar 2.14 fasa M terbentuk pada perbandingan BaO = 85 % mol
dan Fe2O3 = 15% mol. Berdasarkan Gambar 2.15 terlihat fasa BaO.6(Fe2O3) atau
BaFe12O19 terbentuk sekitar pada temperatur 10000C.

Gambar 2.14 Diagram Fasa BaO-Fe2O3-MeO (Pullar, 2012).
22
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.15 Diagram Fasa Sistem Fe2O3-BaO (Chauhan, 2010)
Berdasarkan Gambar 2.15 fasa BaO.6Fe2O3 terbentuk pada temperatur 10000C.
Menurut Chauhan (2010) kalsinasi memfasilitasi difusi solid state BaO dan Fe2O3
dan mengubah bahan baku ke tahap hexaferrite. Suhu kalsinasi juga memainkan
peran penting dalam pembentukan fase heksaferit. Jika suhu kalsinasi rendah,
maka kristal BaFe12O19 tidak terbentuk. Demikian pula jika suhu kalsinasi terlalu
tinggi timbul fasa struktur kristal tambahan.
2.3.3

Sifat Magnetik Barium Heksaferit
Menurut Pullar (2012) sifat magnetik Barium heksaferit pada suhu kamar

dapat diperoleh sebagai berikut :
a. M saturasi (Ms)

=

72 Am2 kg-1

b. Koersivitas (Hc) = 594 kAm-1(teori) terendah 159-255 kAm-1
c. M remanensi (Mr)= 65Am2 kg-1
d. Temperatur Curie = 450 0C
e. Bohr magnetons

=

20 µB

Tidak ada nilai yang tepat diberikan untuk Hc karena bervariasi berdasarkan
metode pengolahan dan ukuran butir. Sedangkan contoh kurva histerisis barium

23
Universitas Sumatera Utara

heksaferit dapat dilihat pada Gambar 2.16 berikut. Pada gambar terlihat perubahan
nilai Hc terhadap perubahan suhu sintering.

Gambar 2.16 Kurva Histerisis Variasi Suhu Sintering Barium Heksaferit
(Pullar,2012).
2.4

Pembuatan Barium Hekaferit
Menurut Kaynar et al (2015) beberapa metode yang paling umum untuk

mempersiapkan BaFe12O19 termasuk keramik adalah : sol-gel, sintesis
hydrothermal dan ball-milling. Dalam metode keramik, campuran oksida besi dan
barium karbonat dikalsinasi pada suhu (800 – 1150)0C untuk membentuk satu
fasabarium heksaferit, penelitian ini menggunakan metode sol-gel untuk membuat
barium heksaferit.

2.4.1

Metode Sol-gel
Metode sol-gel adalah proses teknik kimia basah (kimia solusi deposisi),

yang terdiri dari dua proses Sol (solution) atau larutan dan gel (gelation) atau
pengentalan, suspensi koloid atau sol terbentuk dari hidrolisis dan polimerisasi
reaksi dari prekursor, garam logam biasanya anorganik atau logam senyawa
organik seperti oksida logam (Khalaf et al, 2012). Proses sol-gel telah banyak
digunakan di bidang ilmu material (Tseng et al, 2010) sangat fleksibel untuk
memproduksi struktur filtrasi molekul dengan radius pori di wilayah ~ 10 Å atau

24
Universitas Sumatera Utara

lebih rendah (Darmawan et al, 2011). Proses sol-gel adalah proses dinamis,
berlangsung reaksi kondensasi (cross-linking) dari sebagian besar hidrofilik
molekul prekursor/ oligomer menghasilkan pemadatan dari jaringan (Feinle A. et
al, 2015).

Gambar 2.17 Penerapan Proses Sol-gel
(Dimitriev et al, 2008)
Untuk mendapatkan oksida logam pada proses sol-gel melalui dua tahap
proses yaitu proses hidrolisis dan proses kondensasi seperti terlihat pada Gambar
2.17. Metode Sol-gel memiliki kelebihan antara lain : non-vakum, suhu rendah
mengontrol kemurnian, stoikiometri, doping dan homogen pada pencampuran
pada tingkat molekuler, tapi terbatas materi penerapannya (Chilibon, 2012).

2.4.1.1 Hidrolisis
Hidrolisis adalah reaksi antara prekursor dengan air yang akan
menghasilkan hidroksida logam dalam reaksi hidrolisis ion hidroksil menjadi
terikat pada atom logam berarti hidrolisis menghasilkan larutan prekursor. Kristal
keramik padat yang diperoleh tergantung dari kondisi hidrolisis awal, karena
hidrolisis mengontrol struktur gel polimer, dan mempengaruhi proses densifikasi
dan kristalisasi (Chilibon, 2012), dengan demikian hasil hidrolisis harus
merupakan larutan yang homogen. Untuk mendapatkan larutan yang homogen

25
Universitas Sumatera Utara

harus dilakukan homogenisasi larutan yaitu proses pengadukan larutan
menggunakan homogenizer (pengaduk berkecepatan tinggi) seperti Ultra Turrax
Homogenizer, foto Ultra Turrax Homogenizer dapat dilihat pada Gambar 2.18
dibawah ini. Proses homogenisasi merupakan bagian akhir dari proses hidrolisis.

Gambar 2.18 Ultra Turrax Homogenizer
(IKA® WERKE, 2016)

2.4.1.2 Kondensasi
Kondensasi adalah proses pengentalan menjadi gel dengan cara
membebaskan molekul kecil, seperti air atau alkohol membentuk polimerisasi
(Tseng et al, 2010). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondensasi
adalah pH dan temperatur. Pada proses sol-gel ketika pelarut dihilangkan dengan
penguapan, gel organik yang dihasilkan disebut xerogel (Esther G et al, 2013).
Proses kondensasi dilakukan hingga terbentuknya xerogel. Xerogel
diperoleh melalui tahapan pengeringan. Pengeringan adalah proses pemanasan
larutan menggunakan oven dengan temperatur 1000C agar terjadi proses
kondensasi sekaligus proses penguapan untuk mengubah dari fasa cair menjadi
fasa padat yang akhirnya terbentuk endapan (struktur gel) hal ini disebut dengan
xerogel. Pada proses pembuatan barium heksaferit berdasarkan metod sol-gel
melalui kondensasi membentuk gel dan setelah proses pengeringan terbentuk

26
Universitas Sumatera Utara

endapan kering (xerogel) yakni oksida logam, berupa Fe2O3 dan BaO. Gambar
skema secara umum proses sol-gel dapat dilihat pada Gambar 2.19. dibawah ini.

Gambar 2.19 Skematik Proses Sol-Gel
(Elsalamony RA, 2016)

2.4.2 Kalsinasi
Kalsinasi merupakan salah satu istilah perlakuan panas yang sering
digunakan pada temperatur tinggi tertentu tetapi masih dibawah titik lebur dan
ditahan selama waktu tertentu agar sempurna terbentuk kristal yang diinginkan.
Nilai temperatur kalsinasi yang diperlukan tergantung dari proses apa yang
diinginkan sesuai dengan diagram fasanya. Kalsinasi dilakukan didalam oven/
furnace, jenis oven/ furnace yang digunakan tergantung dari bahan dan proses
yang diinginkan. Pembuatan barium heksaferit yang berawal dari oksida logam
Fe2O3 dan BaO dapat dilakukan kalsinasi dengan temperatur sekitar 10000C
sesuai dengan diagram fasa sistem BaO – Fe2O3 (Gambar 2.15) dan Menurut
Pullar (2012) sisntesis BaFe12O19 dari perkursor sol-gel organik fase tunggal BaM
terbentuk pada temperatur 10000C.

27
Universitas Sumatera Utara

2.5

Prekursor
Prekursor merupakan istilah untuk bahan awal pembuatan material, pada

pembuatan barium heksaferit pada penelitian ini digunakan prekursor yakni :
Barium Nitrat (Ba(NO3)2) untuk mendapatkan molekul BaO, Ferric nitrate
nonahydrate

(Fe(NO3)3.9H2O)

untuk

mendapatkan

molekul

Fe2O3

dan

Neodymium(III) Chloride Hexahydrate (NdCl3.6H2O) untuk mendapatkan atom
Nd sebagai doping yang akhirnya untuk mendapatkan partikel Ba(Nd)xFe12O19.

2.5.1

Barium Nitrat (Ba(NO3)2)
Barium nitrat (Ba(NO3)2) berbentuk serbuk halus berwarna putih sifat

beracun dengan kation Ba2+. Barium nitrat mudah terhidrolisis menjadi Ba(OH)2
digunakan dalam membuat barium oksida, barium dioksida, kaca optik, keramik
dan glasir. Dari Ba(NO3)2 akan diperoleh atom Ba sebagai atom penyusun
molekul Ba(Nd)xFe12O19. Gambar fisik dan struktur kimia Barium nitrat dapat
dilihat pada Gambar 2.20, Gambar 2.21.

Gambar 2.20 Barium Nitrat
(Divjyot chemicals Private Limited, 2016)

Gambar 2.21 Struktur Kimia Barium Nitrat
(Cole-Parmer, 2016)
28
Universitas Sumatera Utara

Sifat fisika/ kimia Barium Nitrat dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Sifat Fisika dan Kimia Barium Nitrat
(Cole-Parmer, 2016)
No Sifat Fisika dan Kmia
Nilai
0
1
Kelarutan dalam air
90 g/l (20 C)
2
Masa molar
261,34 g/mol
3
Titik lebur
592 °C
4
Densitas
3,24 g/cm3 (20 0C)

2.5.2 Ferric Nitrate Nonahydrate (Fe(NO3)3.9H2O)
Ferric nitrate nonahydrate atau Besi (III) Nitrat Nonahidrat berbentuk
garam lembab bewarna ungu pucat dengan kation Fe3+. Besar kemampuannya
untuk menyerap molekul, mudah terhidrolisis menjadi Fe(OH)3, merupakan
senyawa kimia logam besi atau besi oksida dengan asam nitrat, digunakan sebagai
katalis, oksidan reagen analitis, zat penyerap radioaktif. Dari Fe(NO3)3.9H2O akan
diperoleh atom Fe sebagai atom penyusun molekul Ba(Nd)xFe12O19. Gambar fisik
dan struktur kimia ferric nitrate nonahydrate dapat dilihat pada Gambar 2.22 dan
Gambar 2.23. Sifat fisika dan kimia ferric nitrate nonahydrate dapat dilihat pada
Tabel 2.4.

Gambar 2.22 Ferric Nitrate Nonahydrate
(Ravi Chem Industries, 2016)

29
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.23 Struktur Kimia Ferric Nitrate Nonahydrate
(Cole-Parmer, 2016)
Tabel 2.4 Sifat Fisika dan Kimia Ferric Nitrate Nonahydrate
(Cole-Parmer, 2016)
No
Sifat Fisika/Kmia
Nilai
0
1
Kelarutan dalam air
(20 C) larut
2
Masa molar
403,95 g/mol
3
Titik lebur
47 °C
4
Densitas
1,68 g/cm3(200C)

2.5.3 Neodymium (III) Chloride Hexahydrate (NdCl3.6H2O)
Neodymium(III) Chloride Hexahydrate berupa garam lembab bewarna
ungu, cepat menyerap air dan mudah mencair, digunakan untuk produksi logam
neodymium dan senyawa, sebagai pewarna untuk gelas dan keramik, juga
digunakan dalam katalis. Dianjurkan agar tetap bersegel dan disimpan di tempat
kering dan sejuk. Dari NdCl3.6H2O akan diperoleh atom Nd sebagai atom
penyusun molekul Ba(Nd)xFe12O19 (doping). Gambar fisik dan struktur kimia
Neodymium(III) Chloride Hexahydrate dapat dilihat pada Gambar 2.24 dan
Gambar 2.25.

Gambar 2.24 Neodymium(III) Chloride Hexahydrate
(Beyondchem, 2016)

30
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.25 Struktur Kimia Neodymium (III) Chloride Hexahydrate.
(LookChem, 2016)
Sifat fisika dan kimia Neodymium (III) Chloride Hexahydrate dapat dilihat pada
Tabel 2.5
Tabel 2.5 Sifat Fisika dan Kimia Neodymium (III) Chloride Hexahydrate
(LookChem, 2016)
No
Sifat Fisika/Kmia
Nilai
1
Kelarutan dalam air
Larut
2
Masa molar
358,688 g/mol
3
Titik lebur
124 °C
4
Densitas
2,282 g/cm3
2.6

Kitosan
Kitosan adalah polisakarida kationik alami terdiri dari (a2-amino-2-deoksi-

-D-glukan) yang diperoleh dari deasetilasi basa kitin. Kitin ini berasal dari kulit
serangga dan krustasea laut seperti udang dan kepiting (El-hefian et al, 2011).
Menurut Narimane et al (2014) krustasea laut adalah sumber terkaya kitin tersedia
dengan jumlah yang cukup untuk mendukung komersial industri kitin/ kitosan.
Metode yang biasanya digunakan untuk isolasi kitin dari cangkang krustasea
terdiri dari tiga langkah: deproteinisasi, demineralisasi dan dekolorisasi. Setelah
itu, kitin dideasetilasi untuk membuat kitosan atau produk lain untuk beragam
aplikasi. Proses produksi kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.26 dan gambar
struktur kimia kitosan ada pada Gambar 2.27.

31
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.26 Proses Produksi Kitosan dari Limbah Udang
(Narimane et al, 2014)

Gambar 2.27 Struktur Kimia Kitosan (Yogeshkumar, 2013)
Gugus amino dalam Kitosan memiliki nilai pKa ~ 6.5, yang mengarah ke
protonasi yang mudah mengikat permukaan bermuatan negatif (Yogeshkumar et
al, 2013). Kitosan dapat bertindak sebagai dispersant, karena secara struktural
kitosan mengandung amino dan hidroksil gugus fungsional yang mampu
mengikat ion logam.
Dispersant adalah zat yang digunakan untuk mencegah pengendapan atau
penggumpalan partikel tersuspensi dalam cairan. Kitosan dapat digunakan sebagai
dispersant (Zhang, et al, 2010). Peran kitosan sebagai dispersant dengan cara
mengikat ion logam dapat diilustrasikan pada Gambar 2.28 yang menggambarkan
interaksi antara kitosan dengan atom ion logam (Fe3O4). Kitosan baik untuk
nanopartikel besi oksida (Tsai et al, 2010).

32
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.28 Ilustrasi Kitosan Sebagai Dispersant (mengikat ion Fe3O4)
(Zarnegar dan Safari,2014)
Menurut Hafdani dan Sadeghinia (2011) kitosan tidak larut dalam
kebanyakan pelarut organik dan air pada pH netral, tetapi larut dalam larutan
encer asam organik seperti asetat, format, tartarat, valerat, laktat, glikolat, dan
asam sitrat dan juga larut dalam asam anorganik encer seperti klorida dan asam
sulfat.
Kitosan merupakan polimer rantai panjang glukosamin dengan bobot
molekul 2,5x10-5 Dalton dan memiliki rumus molekul [C6H11NO4]n (Pebriani
dkk, 2012).

2.7

Pati Tapioka
Pati Tapioka berasal dari ekstrak umbi singkong. Pati tapioka pada

dasarnya karbohidrat, dikenal sebagai polisakarida dan mengandung beberapa
molekul gula. Pati disusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan
amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda. Menurut Durejaa et al (2011),
Lin et al (2011) pati merupakan biopolimer terdiri dari unit glukosa dan memiliki
dua konstituen utama amilosa dan amilopektin. Amilosa berstruktur linear
sedangkan amilopektin berstruktur cabang.

Gambar amilosa dan amilopektin

dapat dilihat pada Gambar 2.29.
33
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.29 Struktur Kimia Amilosa dan Amilopektin.
(Polymeren, 2016)

2.8

Karakterisasi
Untuk mengetahui secara ilmiah suatu bahan magnet mengenai bentuk

kristal, morfologi, komposisi atom dan sifat magnetnya maka bahan magnet
tersebut harus diuji menggunakan peralatan ukur sebagai berikut :
1.

X-R Diffractometer untuk mengetahui kristal yang terbentuk pada sampel.

2.

Scanner Electron Microscope - EDS untuk mengetahui bentuk dan ukuran
morfologi yang terbentuk pada sampel dan untuk mengetahui komposisi atom
yang terkandung pada sampel.

3 Vibrarting Sample Magnetometer untuk mengatahui nilai sifat magnetik suatu
sampel.

2.8.1 X-Ray Diffractometer (XRD)
X-Ray Diffractometer (XRD) merupakan suatu teknik karakterisasi material
untuk mengetahui struktur kristal yang terdapat pada suatu bahan/ sampel
berlandaskan hukum Bragg menggunakan metode difraksi sinar-x. Teknik ini
digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara
menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel.
Sinar-x merupakan radiasi elektromagnetik yang memiliki energi tinggi sekitar
34
Universitas Sumatera Utara

200 eV sampai 1 MeV. Menurut Budi (2011) sinar-x memiliki daya tembus yang
cukup besar dan panjang gelombangnya berorde 10-10 m yang bersesuaian dengan
ukuran kisi kristal. Dengan demikian itu sinar-x dapat digunakan untuk
menganalisis struktur kristal bahan padatan melalui peristiwa difraksi. Gambar
prinsip dasar hukum Bragg dapat diihat pada Gambar 2.30.

Gambar 2.30 Prinsip Dasar Hukum Bragg
(Fultzand Howe, 2013)
Berdasarkan Gambar 2.30 menurut Fultz and Howe (2013) terlihat sudut
datang dari dua sinar paralel θ.,

, d adalah jarak antara bidang atas dan

bidang bawah, selisih panjang lintasan sinar datang dan sinar pantul adalah 2d sin
θ. Konstruktif interferensi gelombang terjadi ketika perbedaan panjang lintasan
kedua sinar adalah sama dengan satu panjang gelombang (λ) maka hukum Bragg
dapat ditulis dengan persamaan berikut:
nλ =sin θ βd

(5)

Menurut Budi (2011) peristiwa difraksi sinar-x pada kristal padatan dinyatakan
dengan persamaan Bragg:
n λ=2dhklsin θ
�hkl adalah jarak antar bidang kristal,

(6)

adalah sudut difraksi, � adalah panjang

gelombang dan n = 1, β, γ … Jarak antar bidang kristal sejajar yang berdekatan

35
Universitas Sumatera Utara

merupakan fungsi dari indeks Miller (hkl) dan tetapan kisi (a). Untuk struktur
kristal kubus dapat ditulis:



(7)



Dari persamaan (6) dan (7) untuk n = 1 dapat diperoleh hubungan sbb:

(8)

dengan �=(ℎ2+ 2+ 2). Jika s diketahui maka nilai h, k, l akan diperoleh. Struktur

kristal berbeda akan menunjukan kumpulan nilai s yang berbeda pula. Untuk

struktur kristal sistem kubus nilai kumpulan s yang ditunjukan adalah sbb: Kubus
sederhana : 1, β, γ, 4, 5, 6, 8, 9, 10 … , kubus pusat badan (bcc) : 2, 4, 6, 8, 10, 12,
14 …, kubus pusat muka (fcc) : γ, 4, 8, 11, 1β, 16 …(Budi, 2011). Untuk kristal
heksagonal menurut Wang and Lu (2014) kisi Bravais kristal sistem heksagonal
sumbu sel konvensional dan sudut adalah a = b ≠c, α =

= 90o,

= 120o, jarak

dhkl antar bidang hkl dapat dicari dari persamaan berikut

(9)
Kombinasi persamaan (6) dengan persamaan (9) diperoleh :

(10)

Persamaan (10) dapat ditulis menjadi :



(11)

Dengan mengetahui nilai hkl,  dan

berdasarkan persamaan (11) dapat

dicari nilai a dan c sehingga kita dapat menentukan apakah kristal yang terbentuk

36
Universitas Sumatera Utara

adalah heksagonal atau bukan dengan ketentuan a = b ≠ c, selain itu dengan
bantuan perangkat lunak difraksi sinar-x kita langsung dapat mengetahui bentuk
kristal berdasarkan pola difraksi sinar-x yang ada. Puncak-puncak yang terjadi
pada pola difraksi sinar – x (yang disebut juga dengan kurva XRD) menujukkan
intensitas yang tinggi. Intensitas menjadi tinggi karena adanya gabungan
konstruktif dari pantulan sinar-x (diffracted wavefront) yang berfasa sama.
Atom yang berbeda pada struktur kristal dapat menyebabkan perbedaan
fasa pada pantulan sinar-x. Untuk mendapatkan pola difaksi dari suatu sampel
digunakan difraktometer sinar-x. Difraktometer sinar-x adalah perangkat untuk
penerapan difraksi sinar-x. Difraktometer sinar-x terdiri dari tiga elemen dasar:
sebuah tabung sinar-x, pemegang sampel dan detektor sinar-x (Banaciu, 2015).
Gambar skematik beberapa komponen difraktometer yang khas dapat dilhat
seperti pada Gambar 2.31.

Goniometer

Gambar 2.31 Diagram Skematik Beberapa Komponen Difraktometer yang
Khas (Fultz and Howe, 2013).
Menurut Fultz dan Howe (2013) goniometer dapat menyediakan untuk
rotasi spesimen di bidang permukaannya dengan sudut φ, dan di bidang
goniometer oleh sudut ω. Sudut φ dan ω tidak mempengaruhi pola difraksi untuk
37
Universitas Sumatera Utara

polikristal dengan orientasi acak, tetapi penting untuk sampel dengan kristalografi
tekstur. Sedangkan menurut Banaciu (2015) geometri sebuah difraktometer sinarx membuat sampel berputar di jalur collimated sinar-x pada sudut  sedangkan
detektor sinar-x dipasang pada lengan untuk mengumpulkan difraksi sinar-x dan
berputar pada sudut 2. Alat yang digunakan untuk mempertahankan sudut dan
memutar sampel disebut goniometer. Contoh pola difraksi sinar–x dari sampel
BaFe12O19 dapat dilihat pada Gambar 2.32. Pola difraksi sinar-x pada Gambar
2.31 menggambarkan hubungan antara sudut (2 Theta) dengan Intensitas puncak
yang terbentuk dengan satuan arbitrary unit (a.u.) yang artinya satuan sembarang
sedangkan angka dalam kurung adalah informasi hkl setiap puncak yang terbentuk
dengan adanya puncak-puncak tersebut menandakan BaFe12O19 merupakan
kristal.

Gambar 2.32 Contoh Pola Difraksi Sinar-X BaFe12O19
(Kanagesan et al, 2011)
2.8.2 Scanner Electron Microscope (SEM) dan Energy Dispersive X-ray
Spectroscopy (EDS)
Scanner Electron Microscope (SEM) adalah suatu jenis mikroskop yang
menggunakan pancaran elektron sebagai pengganti cahaya untuk membentuk
sebuah gambar seperti pada mikroskop biasa, SEM memiliki resolusi lebih tinggi,

38
Universitas Sumatera Utara

sehingga spesimen berjarak dekat dapat diperbesar pada tingkat yang jauh lebih
tinggi (10x hingga 180.000x). SEM dapat digunakan untuk melihat suatu
morfologi material serbuk dalam ukuran nanometer, tampilan citra mirip citra 3
dimensi. Berkas elektron yang ditembakkan dari electron gun diteruskan menuju
sampel melaui anoda, lensa magnetik, scanning coil yang berada dalam ruang
hampa seperti terlihat pada Gambar 2.33. Setelah berkas mengenai sampel, berkas
dipantulkan dan ditangkap oleh detektor. Detektor mengumpulkan X-Ray tersebut,
elektron backscattered, dan elektron sekunder dan mengubahnya menjadi sinyal
yang dikirim ke layar monitor menghasilkan citra akhir yang mirip tampilan foto
3 dimensi. Menurut Suga et al (2014) energi elektron sekunder  50 eV dan
energi inbackscattered electrons ≥ 50 eV. Gambar skema SEM dapat dilihat pada
Gambar 2.33 dan contoh hasil foto SEM dapat dilihat pada Gambar 2.34.

(b)

(a)

Gambar 2.33 (a) Skema Komponen SEM, (b) Hamburan Berkas Elektron
Setelah Mengenai Sampel
(Purdue university, 2016)

39
Universitas Sumatera Utara

Posisi objek dan pembesaran hingga ketajaman foto akhir dapat diatur
dikomputer. Dengan menggunakan SEM maka peneliti mendapatkan gambar
mikrostruktur sampel. Dari gambar mikrostruktur sampel tersebut akan
didapatkan informasi lain seperti ukuran partikel, keseragaman partikel, bentuk
partikel dan aspek rasio partikel.

Gambar 2.34 Contoh Foto Hasil SEM Barium Heksaferit
(Sozeriet al, 2012)

Energy Dispersive x-ray Spectroscopy (EDS) merpakan perangkat yang
melekat pada SEM mampu menganalisis komposisi kimia secara kauntitatis dan
kualitatif dengan resolusi lateral pada ukuran mikron dan resolusi kedalaman pada
ukuran submikron. Informasi yang dihasilkan EDS diperoleh dari sinar-x yang
dihasilkan ketika elektron dari kulit terluar berpindah ke kulit yang lebih dalam.
Energi pancaran elektron tersebut diukur dan dihitung dan akan dihasilkan grafik
puncak puncak tertentu yang mewakili unsur yang terkandung pada sampel.
Disamping itu EDS juga mampu melakukan pemetaan elemen dengan
memberikan warna yang berbeda dari setiap elemen dipermukaan bahan (sampel).
Contoh hasil foto EDS barium heksaferit dapat dilihat pada Gambar 2.35.

40
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.35 Contoh Foto Hasil EDS Barium Heksaferit
(Mandizadeh et al, 2014)
2.8.3 Vibration Sample Magnetometer (VSM)
Vibrating Sample Magnetometer (VSM) adalah alat untuk mengukur sifat
magnetik suatu bahan/ sampel dengan presisi yang sangat tinggi. Alat tersebut
bekerja berdasarkan metode induksi yaitu mengukur magnetisasi dari sinyal yang
ditimbulkan/ diinduksikan oleh bahan/ sampel yang bergetar dalam lingkungan
medan magnet pada sepasang kumparan berdasarkan hukum Faraday.
Hasil pengujian sifat magnetik berupa kurva histerisis. Diagram skema
VSM dapat dilihat pada Gambar 2.36 di bawah ini.

Gambar 2.36 Diagram Skematik VSM
(Gupta and Yadav, 2013)

41
Universitas Sumatera Utara

Pada metode ini, bahan/ sampel yang akan diukur magnetisasinya dipasang
pada ujung bawah batang (yang berhubungan dengan vibrator) bergetar secara
vertikal dalam lingkungan medan magnet luar H, jika sampel/ bahan
termagnetisasi, secara permanen ataupun sebagai respon dari adanya medan
magnet luar, getaran ini akan mengakibatkan pembahan garis gaya magnetik
dalam hal ini magnetisasi dilakukan hingga terjadi saturasi (dipol magnetik satu
arah). Selanjutnya dalam proses pengukuran, medan magnet luar yang diberikan,
suhu, sudut dan interval waktu pengukuran dapat divariasikan melalui kendali
komputer. Komputer akan merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi
medan magnet luar, suhu, sudut ataupun waktu. Contoh kurva histerisis BaFe12O19
dapat dilihat pada Gambar 2.37

Gambar 2.37 Contoh Hasil VSM Kurva Histerisis BaFe12O19
(Dursun et al, 2012)

2.9

Komputasi Material.
Komputasi

material

merupakan

proses

rancang

bangun

dan

mengembangkan material baru agar mempunyai sifat-sifat dan fungsionalitas
tertentu menggunakan pendekatan numerik dalam hal ini material dimodelkan
sebagai suatu sistem partikel-partikel bermuatan yang saling berinteraksi. Pada
umumnya partikel-partikel itu adalah inti atom dan elektron.
Merancang bangun material pada umumnya dimulai dengan membangun
model matematis energi total dari sistem. Model energi yang banyak digunakan
42
Universitas Sumatera Utara

pada saat ini sangatlah bervariasi, dari yang amat sederhana, berbasis mekanika
klasik hingga yang amat rumit berbasis mekanika kuantum karena melibatkan
elektron,

metodologi yang digunakan dalam rekayasa kuantum dan rancang

bangun material adalah dinamika molekuler mengacu pada perhitungan mekanika
kuantum melalui beberapa pendekatan matematis tanpa memasukkan data
eksperimen. Salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk merancang bangun
material adalah Quantum Espresso.

2.9.1 Quantum Espresso.
Espersso merupakan singkatan dari opEn Source Package for Research
inElectronic Structure, Simulation, and Optimization. QUANTUM ESPRESSO
adalah perangkat lunak open source berbasis linux berisi perhitungan elektronikstruktur dan bahan pemodelan, berdasarkan teori kerapatan fungsional dan
pseudopotentials. Tampilan Situs Quantum Espresso seperti Gambar 2.38.

Gambar 2.38 Tampilan Situs Quantum Espresso
Program inti utama dalam Quantum Espresso adalah : PWSCF (Plane
Wave Self Consistent Field) yang digunakan untuk melakukan perhitungan
struktur elektronik berdasarkan solusi konsisten diri dari persamaan Kohn-Sham.

43
Universitas Sumatera Utara

File eksekusi bernama pw.x.CP (Car Parrinello) yang digunakan untuk
melaksanakan Car-Parrinello dinamika molekul simulasi.
QUANTUM ESPRESSO di jalankan menggunakan sistem operasi Linux
atau yang dikenal dengan nama Sistem operasi Ubuntu. Tampilan sistem Ubuntu
15.04 dapat dilihat pada Gambar 2.39 berikut.

Gambar 2.39 Tampilan Sistem Operasi Ubuntu 15.04

2.9.2 Density Functional Theory (DFT)
Menurut Sulistyani E.T., (2012). Teori fungsional densitas/ kerapatan
(density functional theory) merupakan teori untuk mempelajari perilaku-perilaku
keadaan dasar sistem-sistem elektron melalui prinsip variasi. DFT dimungkinkan
untuk mempelajari berbagai perilaku suatu sistem melalui besaran densitas
(kerapatan) yang hanya bergantung pada titik dalam ruang. Dalam hal ini, energi
total sistem merupakan fungsional dari kepadatan.
Teori ini merupakan salah satu gagasan eksak tentang masalah banyak
partikel. Walaupun secara formal eksak, namun fungsional tersebut secara umum
tidak diketahui. Oleh karena itu, tetap diperlukan suatu pendekatan pada bagian
tertentu dalam fungsional energi. Pendekatan ini dilakukan karena melalui metode

44
Universitas Sumatera Utara

ini dalam mempelajari karakteristik struktur atom dipandang lebih mudah dan
lebih praktis untuk mendapatkan hasil.
Teori fungsional densitas/ kerapatan :
a. Merupakan teori untuk mempelajari perilaku-perilaku keadaan dasar sistemsistem elektron melalui prinsip variasi.
b. Merupakan suatu pendekatan pada struktur elektronik atom dan molekul.
c. Menghitung total energi elektronik suatu molekul dan distribusi kerapatan
elektron secara keseluruhan.
d. Kerapatan elektron yang ditentukan dengan DFT mampu menunjukkan sifat
dari molekul tersebut.
e. Hubungan elektron pada DFT didefinisikan sebagai perbedaan antara energi
Hartree-Fock dan solusi eksak dari persamaan Schrodinger.
f. Untuk mempelajari berbagai perilaku suatu sistem melalui besaran densitas
(kerapatan) yang hanya bergantung pada titik dalam ruang. Dalam hal ini,
energi total sistem merupakan fungsional dari kepadatan.
g. Merupakan salah satu gagasan eksak tentang masalah banyak partikel.
Walaupun secara formal eksak, namun fungsional tersebut secara umum
tidak diketahui.
h. Alternatif untuk mempelajari perilaku-perilaku keadaan dasar sistem-sistem
elektron melalui prinsip variasi.

2.10 Penelitian Terdahulu dan Keterbaruan Penelitian
Barium heksaferit adalah magnet keramik merupakan bahan ferimagnetik
dengan demikian magnet keramik tersebut tidak sekuat magnet logam, tetapi
magnet tersebut termasuk magnet permanen dan tahan karat. Telah banyak
dilakukan penelitan tentang barium heksaferit untuk mendapatkan magnet nano
dengan variasi sifat magnetnya dan menurunkan biaya pembuatan yakni
mempersingkat waktu proses pembutan dengan menerapkan berbagai macam
metode pemrosesan, metode-metode pemrosesan tersebut pada umumnya terbagi
kedalam dua cara yakni Top-down yakni memperkecil bahan baku yang awalnya
besar menjadi material nano secara fisika dan cara Bottom-Up yakni pembentukan

45
Universitas Sumatera Utara

material nano secara sisntesis atau dengan kata lain melalui proses kimiawi salah
satunya metode sol-gel.

Berikut ini adalah sebagian penelitian yang terkait

dengan disertasi ini yaitu penelitian tentang barium heksaferit menggunakan
metode sol-gel.
Gurbuz et al (2012) mensintesis barium heksaferit menggunakan metode
sol-gel. Sebagai prekursor dugunakan : Barium nitrat (Ba(NO3)2, 99.999 %,
Aldrich), ferric citrate mono hydrate (C6H5FeO7.H2O, 18–20 %, Fluka),
manganese (II) nitrate tetrahydrate (Mn(NO3)2.4H2O,98.5 %, Merck), copper (II)
nitrate trihydrate (Cu(NO3)2.3H2O, 99–104 %, Fluka), strontium nitrate
(Sr(NO3)2) dan nickel (II) nitrate hexahydrate (Ni(NO3)2.6H2O, 99.999 %,
Aldrich), cobalt (II) chloride hexahydrate (CoCl2.6H2O, Sigma-Aldrich) sebagai
prekursor. Hasil sintesis dikeringkan pada temperatur 1800C selama 15 jam lalu
disinter pada temperatur 10000C selama 5 jam menghasilkan partikel barium
heksaferit bermorfologi bulat dengan diameter 460 nm. Sifat magnet yang
diperoleh : momen magnet saturasi (Ms) = 55,64 emu/g dan koersivitas (Hc) =
214,598 kA/m= 0,27 T.
Murthy et al (2012) mensistesis barium heksaferit menggunakan metode
sol-gel. Sebagai prekursor digunakan Ba(NO3)2.4H2O, Fe(NO3)2.9H2Odan asam
sitrat dengan berbobot sesuai dengan rasio stoikiometri kemudian menambahkan
NH3 untuk mendapatkan pH 12. Hasil sisntesis dipanaskan pada range temperatur
75–1500C, kemudian dikalsinasi pada temperatur 9500C selama 2 jam
menghasilkan partikel barium heksaferit berformologi heksadesimal berkuran 90
nm dengan sifat magnet : Ms = 70 emu/g dan koersivitas Hc = 0,532 T.
Jazirehpour et al (2012) mensistesis barium heksaferit menggunakan
metode sol-gel. Sebagai prekursor digunakan barium carbonat (BaCO3), iron
nitrate (Fe(NO3)3.9H2O), magnesium nitrate (Mg(NO3)2.6H2O), titanium tetraisopropoxide dan menambahkan ethylene glycol (EG) sebagai templat. Hasil
sintesis dikalsinasi pada temperatur 9500C selama 5 jam menghasilkan partikel
barium heksaferit beforfologi heksagonal berukuran rata-rata 30 nm dengan sifat
magnet : Ms = 53,2 emu/g, momen magnet remanensi (Mr) = 30 emu/g dan Hc =
0,49 T.

46
Universitas Sumatera Utara

Li et al (2012) mensistesis barium heksaferit menggunakan metode solgel. Sebagi prekursor digunakan barium nitrat (Ba(NO3)2), besi nitrat (Fe(NO3)3)
dan asam citrat (C6H8O7·H2O), menambahkan amonia untuk mendapatkan pH 7-9.
Hasil sintesis dikeringkan pada temperatur 1200C selama 10 jam kemudian
dikalsinasi pada temperatur yang berbeda selama 4 jam pada tingkat 1200C/ jam
sampai pada temperatur 9500C pada proses kalsinasi ditambah Bi2O3. Diperoleh
partikel barium heksaferit berformologi heksadesimal berukuran 0,5 – 2 m
dengan sifat magnet : Ms = 57,9 emu/g dan Hc = 0,044 T.
Huang et al (2013) mensistesis barium heksaferit menggunakan metode
sol-gel. Sebagi prekursor digunakan Barium nitrate (Ba(NO3)2), dan ferri nitrat
(Fe(NO3)3.9H2O)

menambahkan

polyethylene

terephthalate/

asam

citrat

(PET/CA) sebagai templat microfiber. Hasil sistesis dilakukan presintered pada
temperatur 4500C selama 2 jam dan dikalsinasi pada temperatur 11000C selama 2
jam menghasilkan partikel barium heksaferit bermorfologi nanofiber rata-rata
berukuran diameter 800 nm dengan sifat magnet : Ms = 68.47 Am2/kg (emu/g) .
Chawla et al (2014) mensintesis barium heksaferit mnggunakan metode
sol-gel menambahkan ethyleneglycol (50% volume/ larutan) sebagai templat.
Hasil sintesis dipanaskan pada temperatur 80-900C untuk mendapatkan gel
selanjutnya dipanaskan pada temperatur 2500C selama 2 jam dan dilanjutkan
dengan sintering pada temperatur 8500C ditahan selama 5 jam menghasilkan
partikel barium heksaferit rata-rata bermorfologi heksagonal berukuran 41,62 nm
dengan sifat magnet : Ms = 62,45 emu/g, Mr = 33,44 emu/g dan Hc = 0,543 T.
Berikut ini penelitian sebelumnya yang terkait dengan disertasi ini tentang
barium heksaferit menghasilkan nanorod adalah sebagai berikut :
Cao et al (2010) mensintesis barium heksaferit menggunakan metode
reaksi precipitation-toptactic. Sebagai prekursor digunakan : FeSO4·7H2O,
FeCl2·4H2O, BaCl2.2H2O ditambahkan NaOH sebagai pelarut dan α-FeOOH
untuk oksidasi , -FeOOH untuk membentuk inti kristal serta NaCO3. Selanjutnya
larutan prekursor dikalsinasi pada temperatur : 350, 600, 800, 900 dan 1000 0C.
Kalsinasi pada temperatur 10000C menghasilkan partikel bermorfologi seperti
rod berukuran diameter 7β,β4 nm (α) dan 74,74 nm (), dengan sifat magnet Ms =
47
Universitas Sumatera Utara

51.30 emu/g, Mr = 26.83 emu/g, Hc = 0,55β T (α) dan Ms= 49.99 emu/g, Mr =
24.33 emu/g, Hc = 0,330 T ().
Galvao et al (2014) mensistesis nano barium heksaferit menggunakan
metode pechini. Sebagi prekursor digunakan asam sitrat (Cargill, 98%), besi nitrat
(Vetec, 99%), barium carbonat (Vetec, 99%) danethylene glycol (Vetec, 98%).
Larutan perkursor diaduk menggunakan stirrer pada temperatur 700C. Kemudian
larutan tersebut dipanaskan pada temperatur 900C untuk mendapatkan gel, dan
dipanaskan lagi pada temperatur 3500C selama 2 jam untuk mendapatkan serbuk,
setelah serbuk dihaluskan dikalsinasi pada temperatur 9000C selama 2, 4, 8 dan 16
jam. Kalsinasi pada temperatur 9000C selama 2 jam menghasilkan partikel barium
heksaferit bermorfologi rod yang berukuran diameter = 70 nm dan panjang = 325
nm dengan sifat magnet : Ms dan Hc bervariasi tergantung lamanya kalsinasi
sebagai berikut: 2 jam Ms = 41emu/g, Hc = 0,48 T.
Xu et al (2014) mensistesis barium heksaferit menggunakan metode reaksi
topochemical. Sebagai prekursor digunakan : barium nitrat (Ba(NO3)2) dan ferri
nitrat (Fe(NO3)2.9H2O) menambahkan α-FeOOH sebagai templat. Larutan
disintesis didalam autoclave pada temperatur 2200C selama 24 jam. Prekursor
dikumpulkan dengan centrifugation, dicuci beberapa kali dengan air suling dan
ethanol. Setelah dikeringkan pada temperatur 600C, prekursor dipanaskan pada
temperatur 4500C selama 3 jam di udara, kemudian serbuk yang dihasilkan
dikalsinasi p