Opini Qurban Munadi

Qurban Untuk Membahagiakan
Oleh: Munadi Usman
Umat Islam telah memasuki hari Raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulhijjah
1437 H, hari di mana umat Islam diperintahkan untuk menunaikan shalat sunat hari raya dan
menyembelih qurban. Walaupun telah menjadi rutinitas tahunan, peringatan hari raya ini
senantiasa disambut meriah oleh segenap umat Islam diseluruh penjuru dunia dengan alunan
takbir yang menggema, shalat ied dan penyembelihan hewan qurban di mana-mana. Hal ini
menandakan masih berseminya semangat positif dalam diri umat Islam untuk mengagungkan
syiar agama.
Iedil Adha merupakan hari yang penuh makna bagi umat Islam, dikarenakan
mempunyai nilai historis tentang pengorbanan Nabi Ibrahim as menyembelih anaknya Ismail.
Peristiwa tersebut merupakan pelajaran penting bagi umat Islam dalam rangka pengabdian
tanpa batas kepada Sang Khalik, dengan merelakan apapun untuk dikurbankan, sekalipun
sesuatu yang amat sangat dicintainya dalam kehidupan. Nabi Ibrahim merupakan suri
tauladan yang agung dalam dimensi ketaatan kepada Allah Swt, beliau rela melakukan
apapun demi mencapai keridhaan Allah Swt. Sehingga berkat pengorbanannya, beliau
diberikan gelar sebagai “khalilullah” (kekasih Allah).
Ketaatan Nabi Ibrahim tampak dari kesediaan beliau untuk menyumbangkan harta
dijalan Allah dalam jumlah tidak terbatas, dikisahkan bahwa beliau selalu menyembelih
ribuan ekor ternak setiap tahunnya untuk qurban. Bahkan menurut beliau itu belum seberapa,
seandainya Allah mengaruniakan seorang anak untuknya, kemudian diperintahkan untuk

disembelih sebagai qurban juga siap dilakukan. Hajat Nabi Ibrahim ternyata dikabulkan oleh
Allah Swt dengan dikaruniakan seorang anak laki-laki dari isteri keduanya, yaitu Siti Hajar.
Beliau sangat bahagia dengan kelahiran anak tersebut, dan menamakannya dengan Ismail.
Ketika usia Ismail memasuki masa remaja, Allah menagihkan janji Nabi Ibrahim
untuk menyembelih anaknya, pesan tersebut disampaikan melalui mimpi pada malam 8 dan 9
Zulhijjah. Setelah meyakini bahwa pesan lewat mimpi tersebut berasal dari Allah Swt, Nabi
Ibrahim pun menunaikan janjinya dengan membawa Ismail ke suatu tempat yang sekarang
dikenal dengan Mina, disitulah Nabi Ibrahim menunaikan janjinya untuk menyembelih
Ismail. Walaupun beliau sangat sayang kepada anaknya, namun tidak menyurutkan niat untuk
menyembelihnya demi mendapat keridhaan Allah Swt. Ketika peristiwa penyembelihan
berlangsung, para malaikat dilangit menangis tersedu-sedu menyaksikannya sambil
mengucapkan takbir bersahut-sahutan membesarkan nama Allah Swt.
Qurban dan Keikhlasan
Menyimak kisah Nabi Ibrahim di atas dapat dipahami bahwa hakikat qurban adalah
pengorbanan tanpa batas dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. Kesempurnaan qurban
dapat tercapai ketika seseorang rela menyumbangkan suatu yang amat sangat dicintainya
kepada jalan Allah Swt. Masing-masing manusia telah diberikan karunia oleh Allah Swt
berupa harta benda, walaupun dalam jumlah yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Harta tersebut dapat disumbangkan kejalan Allah melalui qurban, dengan menyembelih
ternak berupa sapi atau kambing. Namun yang harus diperhatikan bahwa kesempurnaan


qurban terdapat pada sesuatu yang baik dan yang sangat dicintainya. Allah Swt telah
mengisyaratkan tentang pengorbanan yang sempurna dengan sesuatu yang sangat dicintai
melalui firman-Nya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran : 92).
Ayat di atas menegaskan bahwa seseorang akan mencapai kebaikan di sisi Allah Swt
jika mau menyumbangkan harta yang paling dicintainya kepada kebaikan, salah satunya
melalui qurban. Harta yang paling dicintai jika dirincikan ada dua bentuk, yaitu: Pertama,
harta dalam jumlah banyak, seseorang pasti sangat menginginkan supaya memiliki harta yang
banyak; Kedua, barang berharga yang indah dan sangat disukainya walaupun tidak banyak,
barang tersebut dalam pandangannya berkesan dan istimewa serta sangat sulit untuk
dilepaskan darinya. Jika seseorang sanggup untuk menyumbangkan harta yang banyak, atau
harta berharga miliknya yang istimewa tersebut kepada jalan Allah, niscaya seseorang akan
memperoleh kebaikan. Sesungguhnya Allah Swt melihat sejauhmana pengabdian seseorang
hamba kepada-Nya lewat pengorbanan tanpa batas melalui harta benda yang sangat
dicintainya. Kecintaan seorang hamba kepada Allah diukur dari kesediaan menyerahkan
dirinya, harta benda dan lainnya kepada Sang Khalik dengan sepenuh hati dan tanpa ada rasa
beban.
Allah Swt hanya akan menerima pengorbanan yang dilakukan dengan ikhlas oleh

hambanya dan akan menolak selainnya. Hal ini sebagaimana disiyaratkan oleh Allah dalam
al-Quran melalui kisah Qabil dan Habil anak Nabi Adam, Allah berfirman: Ia berkata
(Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al Maidah:27). Sebagaimana dikisahkan
bahwa Qabil dan Habil masing-masing diperintahkan untuk berqurban ketika terjadi sengketa
mengenai pernikahan dengan Iqlima, walaupun sudah dititahkan oleh Nabi Adam untuk
dinikahkan dengan Habil, namun Qabil tidak menerima dan bersikeras untuk menikahinya.
Akhirnya keduanya diperintahkan untuk berqurban, dan siapa yang qurbannya diterima,
dialah yang berhak untuk menikahi Iqlima.
Sebagai peternak, Habil menyerahkan seekor domba yang sehat untuk dijadikan
qurban, sedangkan Qabil adalah seorang petani, ia menyerahkan hasil kebunnya yang tidak
berkualitas atau telah busuk sebagai qurban. Kedua qurban tersebut diletakkan disuatu
tempat, keesokan harinya mereka datang kembali ke tempat tersebut untuk melihat qurban
masing-masing, ternyata qurban Habil yang diterima oleh Allah Swt dengan cara diangkat
kelangit, sedangkan qurban Qabil masih tetap disitu seperti semula. Qurban dari Habil
diterima berkat keikhlasan dan kepatuhannya terhadap perintah Allah Swt dengan
melaksanakan qurban secara sungguh-sungguh dan merelakan harta terbaik yang dimilikinya.

Qurban dan Kebahagiaan
Ibadah qurban mengandung nilai sosial yang tinggi dan kepedulian terhadap sesama.

Dengan berqurban, berarti dapat saling berbagi kebahagiaan, mengasah kepekaan, dan
menghidupkan hati nurani. Qurban merupakan sarana untuk mewujudkan kebahagiaan bagi
orang miskin, orang yang mau berqurban merupakan hamba yang paling dicintai Allah
sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya; “Manusia yang paling

dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan pekerjaan yang paling
dicintai Allah adalah menggembirakan seorang muslim, atau menjauhkan kesusahan
darinya, atau membayarkan utangnya, atau menghilangkan laparnya. Sungguh aku berjalan
bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada
beri’ktikaf di masjid ini (Masjid Nabawi) selama sebulan” (HR. Thabrani).
Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw menyebutkan salah satu pekerjaan yang sangat
dicintai Allah adalah menciptakan rasa gembira dalam hati umat Islam dengan memberikan
makanan kepada mereka yang kelaparan atau tidak pernah merasakan makanan yang lezat.
Daging merupakan salah satu makanan lezat yang sangat disukai oleh manusia, namun
sebahagian mereka sulit memperolehnya karena keterbatasan ekonomi dan mahalnya harga
daging dipasar. Maka melalui qurban kita dapat menebar kebahagian kepada mereka untuk
merasakan makanan yang lezat tersebut.
Manusia yang mempunyai kemampuan harta harus terpanggil untuk melaksanakan
qurban sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib sesama dan juga wujud rasa syukur atas
nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Allah berfirman: " Sesungguhnya Kami telah

memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah " (QS.Al-Kautsar). Ayat ini menegaskan bahwa ber-qurban merupakan wujud
kongkrit dari rasa syukur terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada seorang hamba, di
samping juga melaksanakan ibadah yang lain seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain
sebagainya.
Seseorang yang tidak mau berqurban, sementara ia mempunyai kemudahan, agama
Islam sangat mencelanya. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memiliki
kelapangan (harta) kemudian dia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati
musalla (tempat shalat) kami”. (HR. Ahmad & Ibnu Majah). Demikianlah agama Islam
memerintahkan umatnya untuk saling peduli dan berbagi kebahagian antar sesama supaya
terwujudnya rasa kebahagian yang merata dalam masyarakat, dan tereliminirnya gap antara si
kaya dan si miskin. Wallahu’alam bissawab.. Penulis adalah Dosen Usul Fiqh IAIN
Malikussaleh
Lhokseumawe,
Alumni
Dayah
MUDI
Samalanga.
Email:
[email protected]