BAB I PENDAHULUAN - Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Pada PT. Mutiara Hijau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu negara dalam kelangsungannya selalu menuju

  kepada perkembangan yang dinamis dengan meningkatkan pembangunan di berbagai sektor kehidupan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Salah satu yang menjadi perhatian dan perlu penanganannya adalah dalam sektor perumahan dan pemukiman karena merupakan kebutuhan dasar hidup manusia disamping kebutuhan pokok lainnya seperti : sandang, pangan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lainnya.

  Disamping sebagai tempat tinggal ataupun hunian rumah juga menunjukkan dan menjadi tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran dari suatu negara.

  Pembangunan di bidang perumahan pemukiman diarahkan untuk meningkatkan kualitas hunian, lingkungan kehidupan, pertumbuhan wilayah dengan memperhatikan keseimbangan antara pengembangan pembangunan rumah di pedesaan dan perkotaan, memperluas lapangan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa rumah atau tempat bermukim yang tepat keberadaan seseorang secara formal sulit diakui sehingga dengan demikian rumah dan atau pemukiman merupakan pintu masuk ke dunia yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya, bahkan keadaan perumahan dan pemukiman secara umum sering dianggap sebagai barometer taraf hidup suatu bangsa.

  Pada tingkat nasional perumahan adalah penting sekali tidak saja untuk kesehatan dan kesejahteraan akan tetapi berkaitan dengan prinsip-prinsip politik sebagai kesempatan yang sederajat dan standar minimum, juga sebagai faktor vital dari ekonomi nasional. Jadi perumahan dan pemukiman adalah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat berfungsi sebagai sarana produktif keluarga dan merupakan titik strategik dalam pembangunan manusia seutuhnya karena dengan pemenuhan kebutuhan dasar akan mempercepat pembangunan keluarga yang pada akhirnya mempercepat pembangunan bangsa.

  Pada hakekatnya rumah atau pemukiman hanya dapat dilihat secara baik apabila ia dikaitkan dengan manusia yang menempatinya. Dengan demikian rumah merupakan pengejawantahan pribadi manusia. Rumah tidak dapat dilihat hanya sebagai sarana instrumental belaka, melainkan juga dalam kaitan dengan hubungan struktural di atas suatu kawasan oleh karena itu makna dan fungsi rumah akan mempunyai arti yang lebih luas yaitu sebagai perumahan : rumah sehat dalam suatu lingkungan pemukiman yang tertata baik. Sehubungan dengan itu upaya pembangunan perumahan dan pemukiman terus ditingkatkan untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang makin meningkat dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tetap memperhatikan persyaratan minimum bagi perumahan pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi.

  Perumahan mempunyai arti penting dan sangat menentukan bagi kehidupan seseorang dalam membangun dan mengembangkan watak dan pribadinya oleh karena itu setiap warga negara Indonesia perlu diusahakan untuk dapat memperoleh dan menikmati perumahan yang layak. Untuk merealisasikan hal tersebut kemitraan antara pemerintah dan badan usaha swasta, BUMN, koperasi, maupun masyarakat luas merupakan kunci untuk suksesnya pembangunan perumahan dan pemukiman tersebut.

  Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan pemukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan bimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi, berbagai aspek yang terkait antara lain : tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.

  Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kebutuhan masyarakat akan rumah dan pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi khususnya masyarakat yang berpenghasilan rendah telah memotivasi pemerintah bahkan pihak-pihak swasta dan masyarakat untuk merealisasikannya, didukung dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang sedang giatnya melaksanakan pembangunan khususnya di perkotaan dimana lahan yang tersedia semakin berkurang sebaliknya pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga menimbulkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dan pemukiman tersebut, di satu sisi negara kita masih mengalami kekurangan rumah terutama di daerah perkotaan dan juga masalah lain belum terjaminnya kualitas rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan untuk ditempati.

  Pembangunan perumahan pemukiman yang dibangun oleh pengembang atas dukungan dan kerjasama dengan pemerintah telah membuat tersedianya rumah bagi masyarakat (konsumen) dan juga telah mempermudah konsumen untuk menjatuhkan pilihannya atas rumah tersebut. Atas tersedianya rumah tersebut tidak lepas dari sarana dan informasi dalam hal pengalihannya kepada konsumen yang kemudian ditindaklanjuti dengan jual beli melalui akta yang telah dipersiapkan oleh pengembang.

  Sebagaimana diketahui, pengembang melakukan pemasaran atas rumah yang siap huni maupun rumah yang sedang dalam tahap pembangunan. Tak jarang konsumenpun banyak menjatuhkan pilihannya atas kedua hal tersebut. Terhadap pilihannya tersebut konsumen diwajibkan untuk membayar sejumlah uang muka (down payment) sebagai tanda jadi dan selanjutnya disodori akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB).

  Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen, pengembang sebagai pihak yang lebih kuat kedudukannya menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat yang disebut sebagai kontrak standar dimana isi dari klausula-klausula kontrak tersebut hanya memuat kepentingan-kepentingan pengembang saja sehingga tidak memuat keadilan untuk melindungi konsumen perumahan.

  Sejumlah kendalapun ditemui dalam upaya perlindungan konsumen perumahan baik yang timbul dari sikap pengusaha maupun dari pihak konsumen itu sendiri, antara lain :

  • mengenai masalah perlindungan konsumen perumahan. Kenyataan yang ada selama ini, meskipun telah ada peraturan perundang-undangan mengenai konsumen yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, namun kenyataannya

  Belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur para developer (pengembang) belum melihat peraturan itu sebagai bagian dari perlindungan konsumen perumahan dan menganggap ketentuan yang ada itu kurang jelas tentang apa yang harus dilakukannya. Demikian juga konsumen belum memahami apa yang menjadi hak-haknya untuk dilindungi.

  • Permukiman masih lemah dalam melindungi konsumen. Kenyataan yang dihadapi oleh konsumen perumahan adalah bahwa ternyata undang-undang tersebut yang diharapkan dapat melindungi konsumen dirasakan masih kurang. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut lebih difokuskan pada pembangunan perumahan itu sendiri.

  Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

  • pengetahuan konsumen terhadap hak-haknya sebagai konsumen.

  Minimnya kesadaran hukum konsumen disebabkan karena kurangnya

  Belum efektifnya pengawasan pemerintah terhadap kontrak baku yang ada.

  • Sulitnya beracara di pengadilan. Ketentuan tata cara beracara di pengadilan
  • sebagaimana telah ditetapkan belum menampung kepentingan konsumen baik dari hal biaya atau ongkos perkara, maupun dalam hal pembuktian sehingga menimbulkan keengganan bagi konsumen untuk berperkara di pengadilan.

  Sebagaimana telah diuraiakn di atas bahwa kebutuhan masyarakat (konsumen) akan rumah dan pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi khususnya masyarakat berpenghasilan rendah telah memotivasi pemerintah dan pihak pengembang swasta untuk merealisasikannya. Namun untuk memenuhi kebutuhan tersebut tak jarang selalu diikuti dengan masalah yang merugikan konsumen lewat sikap pengembang dalam memasarkan produknya.

  B. Permasalahan

  Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis dari berbagai literatur, informasi serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat tentang pembelian, pemilikan perumahan, pemukiman maka perlu kiranya penulis mengemukakan permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut : a.

  Bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia? b. Bagaimana prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang ? c.

  Bagaimana upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan ?

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  1. Tujuan Penulisan

  Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia.

  b.

  Untuk mengetahui prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang.

  c.

  Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan.

  2. Manfaat Penulisan

  Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut :

  1. Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu khususnya tentang perlindungan konsumen terhadap pembelian perumahan.

  2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian lanjutan.

  D. Keaslian Penelitian

  Sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Perumahan Pada PT. Mutiara Hijau belum pernah diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

  E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perumahan

  Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

  Perumahan tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati diri. Perumahan juga berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

  Adapun pengertian dari perumahan menurut peraturan Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman khususnya dalam pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa : “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”. Sedangkan pada angka (3) pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan.

2. Tujuan Pembangunan Perumahan

  Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. Hakikat pembangunan itu mengandung makna bahwa pembangunan nasional mengejar keseimbangan, keserasian dan keselarasn antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.

  Pembangunan nasional yang berkesinambungan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa sehingga senantiasa mampu mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan hidup lahir dan batin.

  Bertolak dari hakikat pembangunan nasional tersebut, maka pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersatu dan berdaulat dalam suasana peri kehidupan yang merdeka, bersahabat, tenteram dan damai.

  Dalam pembangunan nasional disebutkan pembangunan perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia sejalan dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, pembangunan perumahan ditujukan pula untuk mewujudkan pemukiman yang secara fungsional dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  Kebijaksanaan pembangunan perumahan juga bertujuan untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini telah dilaksanakan berdasarkan upaya-upaya antara lain : 1)

  Menciptakan keadaan dimana setiap keluarga dapat menempati rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur. Suatu kondisi yang memenuhi persyaratan kelayakan dalam hunian, kelayakan sosial, kelayakan kesehatan, kelayakan keamanan dan konstruksi, kelayakan kenyamanan dan keindahan serta kawasan pemukiman yang terbentuk tersebut dapat berfungsi sebagai wahana kehidupan dan penghidupan warganya yang semakin tertib dan meningkat mutunya. 2)

  Mendorong terciptanya kawasan pemukiman yang dapat berkembang sebagai pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya.

  3) Mengusahakan agar proses pembangunan perumahan pemukiman dapat menjadi peluang dalam memperluas kesempatan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi.

  4) Menetapkan kebijaksanaan yang bertumpu pada pandangan, bahwa pada hakikatnya pembangunan perumahan dan pemukiman itu merupakan tanggungjawab masyarkat sendiri.

  5) Mengarahkan peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan, bimbingan dan menciptakan iklim usaha serta iklim pembangunan, disamping itu mendorong dan menggerakkan serta merangsang peran serta masyarakat luas, menumbuhkan swakarsa dan mengembangkan swadaya masyarakat sehingga secara bertahap masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhan perumahan sendiri. Pemerintah juga mengatur agar pelaksanaan pembangunan perumahan itu dapat berjalan dengan tertib dan teratur.

  6) Memberikan arah kepada pembangunan dan pemukiman yang dilaksanakan berdasarkan asas-asas keadilan, pemerataan dan keterjangkauan, berwawasan lingkungan serta memperhatikan kondisi sosial budaya setempat.

  7) Memberikan penekanan kepada pembangunan perumahan dan pemukiman yang bersifat multi sektoral, yang perlu didukung oleh berbagai kebijaksanaan penunjang, meliputi aspek-aspek tata ruang, pertanahan, prasarana dan fasilitas lingkungan, teknologi membangun, industri bahan bangunan dan jasa konstruksi, pembiayaan, pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan, peraturan perundang-undangan serta penelitian dan pengembangan oleh karenanya diperlukan koordinasi yang efektif antara unsur-unsur instansi yang terkait dalam penanganan masalah perumahan dan pemukiman.

  Undang-undang nasional Indonesia yang mengatur tentang perumahan dan pemukiman antara lain : UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang mana dalam pasal 3 menyebutkan pembangunan rumah susun bertujuan untuk : 1)

  a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya. b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang. 2)

  Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1) huruf a.

  Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dalam pasal 4 menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan pemukiman yaitu : a.

  Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

  b.

  Mewujudkan perumahan dan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

  c.

  Memberi arah pada pertumbuhan wilauyah dan persebaran penduduk yang rasional.

  d.

  Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang- bidang lain.

  Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH memberikan komentar terhadap tujuan penataan perumahan dan pemukiman tersebut, yaitu : “Bahwa kebutuhan papan bagi masyarakat luas dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dan adanya perumahan dan pemukiman yang memenuhi standar. Disamping itu juga dengan perumahan yang tertib dan rapi tersebut menunjang adanya pembangunan di

   bidang ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.

1 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-undang Rumah Susun , Mandar Maju, Bandung, 1997, hal. 37-38.

  Secara ringkas bahwa tujuan pembangunan perumahan adalah mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai, di dalam lingkungan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, kuat dalam jangkauan daya beli rakyat banyak.

3. Kedudukan Konsumen Pada Perjanjian Jual Beli Rumah

  Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen, pada umumnya pengembang sebagai pihak yang kedudukannya lebih kuat, menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat (standard form contracts) .

  Dalam praktek perlindungan konsumen, formulir-formulir itu disebut sebagai kontrak standar. Penggunaan istilah kontrak dalam hal ini bukanlah istilah “kontrak rumah” sehari-hari yang digunakan masyarakat awam, yang membedakannya dengan “sewa rumah”. Kontrak disini dirumuskan sebagai berikut : “Suatu kontrak dibuat dimana para pihak memberikan persetujuannya, atau dimana mereka diminta persetujuannya dan hukum mengakui hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian”. Sedangkan standar disini memiliki pengertian baku. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kontrak standar adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak mengenai suatu hal yang telah ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan secara tertulis.

  Kontrak standar yang diciptakan pihak pengembang sering memuat klausula-klausula pengecualian (exemption clause), misalnya : meniadakan tanggungjawab pengembang dalam hal terlambat menyerahkan bangunan, membebaskan pengembang dari tuntutan atas kondisi/kualitas bangunan yang melampaui batas waktu seratus hari sejak serah terima bangunan fisik rumah atau satuan rumah susun, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran dikenakan penalti atau denda.

  Hondius menyebut pembuat kontrak standar itu sebagai “pembuat undang- undang swasta” atau “hakim swasta”. Lebih lanjut dikatakannya adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden), karena pihak lain berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai

   “hakim swasta”.

  Oleh karena kontrak, yang biasanya disebut juga dengan PPJB dibuat oleh pengembang, subjektifitas pengembang sangat mempengaruhi dalam memasukkan kepentingan-kepentingannya didalam PPJB, sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan didalam PPJB itu walaupun sudah ada UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, namun kepentingan konsumen tidak terlindungi.

  Pada umumnya kontrak standar atau PPJB dibuat dan dipersiapkan oleh pengembang sehingga secara leluasa ia dapat memasukkan kepentingan- kepentingannya dan sebaliknya pengembang dapat menganulir kepentingan- kepentingan konsumen, misalnya dalam hubungan antara nasabah dengan pihak bank kontraknya sudah dibuat secara standar. Demikian pula dalam hubungan antara pengembang dengan konsumen, PPJB sudah dipersiapkan secara baku dan sepihak oleh pengembang atau kuasa hukumnya, sedangkan konsumen tinggal menandatanganinya jika setuju silahkan pilih, jika tidak setuju silahkan cari pengembag lain, padahal pengembang lain pun melakukan hal yang sama.

  Sejumlah ketidakadilanpun dijumlah dalam klausula-klausula PPJB. Pertama akibat keterlambatan pembayaran yang dialami konsumen. Klausula- klausula dalam PPJB menentukan bahwa konsumen harus membayar denda yang tinggi, bahkan menghadapi pembatalan perjanjian dengan tanpa pengembalian sebagian atau keseluruhan uang muka yang sudah dibayarkan. Dalam hubungan ini, bila pengembang yang terlambat menyelesaikan atau menyerahkan bangunan, akibat yang dialaminya hanya sebatas denda atau bahkan akibat yang dialami pengembang tidak diatur sama sekali dalam PPJB dan kerugian-kerugian akibat keterlambatan itu juga tidak diperhitungkan.

  Kedua, pembatasan tanggungjawab pengembang akas klaim atau tuntutan konsumen. Dalam praktek, penerapannya dilakukan dengan mencantumkan klausula-klausula dalam PPJB yang pada intinya menetapkan suatu tengang waktu untuk mengajukan klaim atau kondisi/mutu bangunan atau hal-hal lain yang dijanjikan pengembang. Biasanya dalam PPJB dicantumkan klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 hari atau 100 hari setelah serah terima bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditentukan secara sepihak itu, klaim atas apapun tidak dilayani. Pembatasan ini tidak adil bagi konsumen karena waktu 90 hari atau 100 hari hanya cukup untuk meneliti kondisi atau kualitas bangunan yang terlihat kasat mata sedangkan untuk mengetahui cacat-cacat tersembunyi pada bangunan, seperti konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai 2 E.H. Hondius, Syarat-syarat Baku dalam Hukum Kontrak, Dalam Kompendium Hukum

  

Belanda, Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia – Negeri Belanda di S-Gravenhage, Leiden, dengan perbandingan dan sebagainya tidak cukup dalam waktu itu. Klaim konsumen tentang hal itu tidak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu tersebut. Ini sama saja mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya. Dalam keadaan ini pihak pengembang menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak yang lainnya (konsumen), sedangkan ia sedapat mungkin membatasi atau mengesampingkan tanggungjawabnya, termasuk dalam hal-hal adanya cacat tersembunyi pada obyek perjanjian.

  Pasal 1493 KUH Perdata memang memungkinkan untuk mengurangi kewajiban salah satu atau kedua belah pihak dengan menentukan sebagai berikut : “Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun”.

  Ketentuan ini sering digunakan untuk memojokkan konsumen secara hukum, padahal pasal berikutnya (pasal 1494 KUH Perdata) menegaskan bahwa : “meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun ia tetap bertanggungjawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini adalah batal”.

  Dengan melihat ketentuan ini bahwa sebenarnya pengembang dalam menciptakan kontrak standar tidak akan sewenang-wenang dalam memasukkan

  1978, hal. 139-158. kepentingan-kepentingannya, sebaliknya dengan merujuk pada asas kebebasan berkontrak dan meminta perbaikan atau perubahan klausula-klausula dalam PPJB.

  4. Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Perumahan Apabila telah diperoleh izin lokasi untuk yang dimohonkan maka sudah dapat dimulai kegiatan perolehan tanahnya. Kemudian bila telah diperoleh tanahnya, maka pemohon harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut, yang dalam hal ini adalah Hak Guna Bangunan.

  Kemudian setelah menerima permohonan Hak Guna Bangunan secara lengkap, maka panitia pemeriksa tanah yang telah ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan yang dalam hal ini disebut Panitia A memeriksa dan membuat risalah pemeriksaan tanah selambat-lambatnya sepuluh hari kerja sejak diterimanya permohonan tersebut secara lengkap.

  Adapun susunan Panitia A tersebut adalah : 1. Kepala seksi hak-hak atas tanah atau staf seksi hak-hak atas tanah yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai ketua merangkap anggota.

  2. Kepala seksi pengukuran dan pendaftaran tanah atau staf seksi pengukuran dan pendaftaran tanah yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai wakil ketua merangkap anggota.

  3. Kepala seksi atau staf pengaturan penguasaan tanah, kepala seksi atau staf seksi penatagunaan tanah dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan Kepala Desa/lurah yang bersangkutan atau aparat desa/kelurahan yang ditunjuk untuk mewakili sebagai anggota.

  4. Kepala sub seksi pengurusan hak-hak atas tanah atau staf sub seksi pengurusan hak-hak atas tanah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai sekretaris merangkap anggota.

  Kemudian selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja sejak risalah pemeriksaan tanah selesai, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan surat keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas permohonan tersebut yang luasnya tidak lebih dari 5 Ha. Untuk luas tanah yang lebih dari 5 Ha maka selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari kerja Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota telah menyampaikan permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi disertai pertimbangan- pertimbangannya. Kemudian Kepala Kantor Pertanahan Propinsi menerbitkan keputusan pemberian Hak Guna Bangunan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak diterimanya permohonan hak tersebut secara lengkap. Apabila ada penolakan terhadap permohonan hak atas tanah tersebut, maka disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada instansi yang terkait.

  Oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat akan dibukukan dan diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan dalam waktu tujuh hari kerja sejak diterimanya : a.

  Asli surat keputusan pemberian hak.

  b.

  Asli bukti pembayaran uang pemasukan/uang administrasi dan kewajiban lain yang diisyaratkan dalam keputusan pemberian hak.

  Adapun bentuk dan jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dimiliki perusahaan pembangunan perumahan adalah :

  1. Untuk perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya dari hak pemerintah dan atau pemerintah daerah dapat diberikan : a.

  Hak pengelolaan b. Hak Guna Bangunan da c. Hak Pakai 2. Untuk perusahaan pembangunan perumahan yang modalnya berasal dari swasta dapat diberikan : a.

  Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai b. Hak Pakai

  Jika diberikan hak pengelolaan, maka hak pengelolaan itu dengan suatu janji dapat diberikan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, kemudian dapat pula diberikan secara langsung Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai oleh negara.

  Untuk Perum Perumnas, dapat diberikan Hak Milik, namun badan hukum swasta lainnya tidak dapat diberikan hak milik, karena memang tidak ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk bisa memperoleh hak milik tersebut.

  Terhadap tanah-tanah hak, baru dapat dimiliki oleh pengembang pembangunan perumahan setelah memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak atas tanah dan harus terlebih dahulu mendapatkan izin lokasi sebagai persyaratan untuk pengembang. Peralihan haknya haruslah dilakukan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

  Terhadap tanah yang berasal dari hak milik yang bersertifikat, maka setelah dilakukan peralihan haknya, maka investor harus melepaskan hak milik tersebut dan memohonkan hak guna bangunannya. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atas permohonan pemegang hak milik menerbitkan hak guna bangunan untuk selama tiga puluh tahun dan ditetapkan berakhir pada tanggal 24 September pada tahun ke tiga puluh berikutnya terhitung sejak diterbitkannya keputusan pemberian izin lokasi.

  Untuk tanah-tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan dapat dilakukan langsung pemindahan haknya dihadapan PPAT dan kemudian dilakukan pendaftaran peralihan haknya di Kantor Pertanahan setempat dan sekaligus diberikan perpanjangan haknya dan akan berakhir pada tanggal 24 September pada tahun ke tiga puluh sejak dikeluarkannya izin lokasi.

  Sedangkan untuk tanah-tanah yang bersertifikat Hak Guna Usaha, bidang tanah tersebut diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunannya dengan dilampiri gambar situasi atau surat ukur pemisahan yang jangka waktu berakhir haknya adalah sama dengan berakhirnya Hak Guna Usaha tersebut. Demikian pula terhadap tanah-tanah dengan hak pakai harus terlebih dahulu dimohonkan Hak Guna Bangunannya.

  Berbeda dengan tanah-tanah perorangan atau tanah-tanah milik adat yang belum bersertifikat, maka harus terlebih dahulu dimohonkan sertifikat Hak Miliknya lalu hak tersebut dilepaskan dan dimohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah tersebut setelah lewat waktu pengumuman atas tanah tersebut.

  Adapun tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pemohon harus terlebih dahulu membebaskan tanah tersebut dari semua penggarap atau penguasaan lain atas tanah tersebut sebelum mengajukan haknya.

5. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Rumah

  Pemerintah telah memberikan peran secara nyata kepada swasta dalam pembangunan perumahan melalui developer swasta yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI), sehingga memberikan indikasi bahwa peranan developer swasta dalam pembangunan perumahan cukup besar, bahkan ada kecenderungan akan ditingkatkan lagi untuk masa yang akan datang.

  Adapun proses pelaksanaan perjanjian jual beli perumahan itu biasanya apabila calon konsumen yang ingin membeli sebuah rumah, maka calon konsumen tersebut akan mendatangi kantor developer perumahan tersebut dan memilih perumahan mana yang akan dipilih.

  Prosedur jual beli rumah yang dilakukan oleh developer biasanya hampir sama seperti yang dilakukan oleh kantor-kantor developer lainnya. Setelah memilih rumah yang akan dibeli, konsumen dan pihak developer akan menandatangani perjanjian pendahuluan untuk membuktikan adanya hubungan hukum antara konsumen dengan developer. Bagi konsumen yang membayar dengan uang kontan, maka pembayaran uang muka dilakukan di kantor developer dan sisanya dengan transfer uang melalui bank yang ditunjuk oleh developer ke nomor rekening perusahaan developer.

  Bagi konsumen yang akan membeli rumah dengan melalui fasilitas kredit perbankan, maka setelah ditandatanganinya perjanjian pendahuluan, konsumen beserta developer akan mengunjungi bank untuk menandatangani perjanjian pemberian kredit dari bank. Bank yang dipilih biasanya telah ditunjuk oleh pihak developer dan pihak bankpun telah menyediakan formulir perjanjian dalam bentuk baku. Setelah ditandatanganinya perjanjian antara bank dengan konsumen disaksikan oleh pihak developer, akan diadakan penyerahan rumah dan selanjutnya konsumen akan membayar cicilan dengan periode waktu yang telah ditentukan oleh developer.

F. Metode Penelitian

  Penggunaan metode penelitian ini penting supaya masalah-masalah di atas dapat terjawab dengan cepat.

  Dalam memperoleh data-data yang diperlukan sehingga isi skripsi ini dapat terungkap dengan jelas penulis menggunakan dua cara, kedua cara yang dimaksud adalah : 1.

  Penelitian kepustakaan (library research).

  Dalam rangka pengumpulan data-data melalui penelitian kepustakaan maka penulis meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Penelitian dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah para sarjana, majalah maupun surat kabar dan sumber teoritis lainnya yakni buku-buku dan catatan penulis yang diperoleh dari kegiatan perkuliahan yang berkaitan dengan materi skripsi yang penulis ajukan.

2. Penelitian lapangan (field research)

  Dalam penelitian ini penulis melakukan kegiatan dengan cara turun langsung ke lapangan sasaran penelitian. Pengumpulan bahan-bahan di lapangan untuk memperoleh data yang akurat, menemukan informasi langsung dengan mempergunakan instrumen penelitian sebagai berikut : a.

  Wawancara (interview) yaitu mengadakan tanya jawab dengan instansi- instansi maupun kantor-kantor yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

  b.

  Pengamatan (observasi) yaitu penelitian dengan cara melakukan pengamatan atau pencatatan secara sistimatis terhadap objek yang diteliti sesuai dengan data-data yang telah dikumpulkan penulis kemudian disajikan sebagai gambaran dari keadaan yang sebenarnya (deskriptif) dengan berpedoman kepada bentuk metode penelitian karya ilmiah yang kiranya dapat diterima oleh semua pihak.

G. Sistematika Penulisan

  Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

  Bab I : Pendahuluan Bab ini merupakan bab pembuka yang berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  Bab II : Tinjauan Tentang Hukum Konsumen Pada bab ini diuraikan tentang pengertian dan hak-hak dasar konsumen, dasar hukum, tujuan perlindungan konsumen serta hak- hak dan kewajiban konsumen.

  Bab III : Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Bab ini menguraikan tentang pengertian jual beli, dasar hukum, hak dan kewajiban dalam jual beli serta obyek jual beli

  Bab IV : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pembelian Rumah Pada PT. Mutiara Hijau Pada bab ini diuraikan tentang perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia, prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang serta upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan.

  Bab V : Kesimpulan dan saran Bab ini merupakan akhir dari tulisan ini yang berisikan kesimpulan dan saran yang penulis kemukakan.