Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Beritikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG

BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

VALENTINO ARUAN

NIM 040200283

Departemen Hukum Keperdataan

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof.Dr.Tan Kamello,SH.MS

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Prof.Dr.Tan Kamello,SH.MS

Zulkifli Sembiring, SH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM


(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………..

i

ABSTRAK ………..

iii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ……… 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 4

D. Keaslian Penulisan ……….. 5

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 5

F. Metode Penelitian………. 10

G. Sistematika Penulisan ………. 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN….. 14

A. Pengertian Perjanjian ……….. 14

B. Jenis-jenis Perjanjian ……….. 17

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ……….. 22

D. Asas-asas Hukum Perjanjian……… 28

E. Akibat Perjanjian ……… 31

BAB III : KETENTUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI.. 34

A. Pengertian Jual Beli ………. 34


(3)

C. Saat Terjadinya Jual Beli ……… 41

D. Wanprestasi ……… 45

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

A. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli ………… 48 B. Penjualan Benda Kepunyaan Orang Lain ………… 56 C. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli yang Bertitikad Baik 59

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN..

A. Kesimpulan ………. 64

B. Saran ……… 65


(4)

ABSTRAK

Secara lahiriah, kehidupan manusia tidaklah dikendalikan tanpa hukum yang mengaturnya termasuk dalam suatu perjanjian jual beli. Tujuan perjanjian jual beli adalah memindahkan hak milik atau barang dari penjual kepada pembeli. Perjanjian jual beli selain bersifat konsensual juga bersifat obligatoir dalam arti meletakkan hak dan kewajiban bagi para pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Seringkali dalam jual beli pembeli melakukan jual beli atas barang tanpa diketahui apakah penjual adalah pemilik barang atau bukan karena terhadap barang bergerak terdapat suatu suatu asas barang siapa yang menguasai kebendaan bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Sehingga seringkali pembeli yang beritikad baik membeli barang dirugikan jika dikemudian hari diketahui barang tersebut sebenarnya bukan milik penjual. Yang menjadi permasalahan dari penulisan skripsi ini adalah apa yang menjadi kewajiban bagi para pihak dalam jual beli, bagaimana jika jual beli dilakukan terhadap kepunyaan orang lain, dan bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik.

Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research).

Adapun hasil penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut yang menjadi kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli adalah pihak penjual mempunyai dua kewajiban utama yakni untuk menyerahkan barang yang menjadi objek perjanjian dan menanggungnya, sedangkan pihak pembeli mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Jual beli barang orang lain menurut ketentuan Pasal 1471 adalah batal sehingga menjadi dasar bagi pembeli untuk menuntut ganti kerugian apabila si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu merupakan kepunyaan orang lain. Terhadap pembeli yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli adalah dilindungi oleh hukum jika ia pada waktu pembelian tidak mengetahui bahwa penjual bukan pemiliknya sehingga ia dapat menuntut pembatalan dari perjanjian yang telah dibuatnya. Adapun saran yang dibuat agar terhadap jual beli barang milik orang lain hendaknya si pembeli benar-benar memperhatikan status kebendaan yang dibelinya, apakah benda yang dikuasai oleh si penjual tersebut benar-benar miliknya. Terhadap pembeli yang beritikad baik sudah sepatutnya dilindungi oleh hukum karena ia tidak mengetahui bahwa barang tersebut adalah kepunyaan orang lain dan tidak mengetahui tentang adanya cacat yang melekat pada barang yang dibelinya artinya cacat mengenai asal usulnya.


(5)

ABSTRAK

Secara lahiriah, kehidupan manusia tidaklah dikendalikan tanpa hukum yang mengaturnya termasuk dalam suatu perjanjian jual beli. Tujuan perjanjian jual beli adalah memindahkan hak milik atau barang dari penjual kepada pembeli. Perjanjian jual beli selain bersifat konsensual juga bersifat obligatoir dalam arti meletakkan hak dan kewajiban bagi para pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Seringkali dalam jual beli pembeli melakukan jual beli atas barang tanpa diketahui apakah penjual adalah pemilik barang atau bukan karena terhadap barang bergerak terdapat suatu suatu asas barang siapa yang menguasai kebendaan bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Sehingga seringkali pembeli yang beritikad baik membeli barang dirugikan jika dikemudian hari diketahui barang tersebut sebenarnya bukan milik penjual. Yang menjadi permasalahan dari penulisan skripsi ini adalah apa yang menjadi kewajiban bagi para pihak dalam jual beli, bagaimana jika jual beli dilakukan terhadap kepunyaan orang lain, dan bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik.

Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research).

Adapun hasil penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut yang menjadi kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli adalah pihak penjual mempunyai dua kewajiban utama yakni untuk menyerahkan barang yang menjadi objek perjanjian dan menanggungnya, sedangkan pihak pembeli mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Jual beli barang orang lain menurut ketentuan Pasal 1471 adalah batal sehingga menjadi dasar bagi pembeli untuk menuntut ganti kerugian apabila si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu merupakan kepunyaan orang lain. Terhadap pembeli yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli adalah dilindungi oleh hukum jika ia pada waktu pembelian tidak mengetahui bahwa penjual bukan pemiliknya sehingga ia dapat menuntut pembatalan dari perjanjian yang telah dibuatnya. Adapun saran yang dibuat agar terhadap jual beli barang milik orang lain hendaknya si pembeli benar-benar memperhatikan status kebendaan yang dibelinya, apakah benda yang dikuasai oleh si penjual tersebut benar-benar miliknya. Terhadap pembeli yang beritikad baik sudah sepatutnya dilindungi oleh hukum karena ia tidak mengetahui bahwa barang tersebut adalah kepunyaan orang lain dan tidak mengetahui tentang adanya cacat yang melekat pada barang yang dibelinya artinya cacat mengenai asal usulnya.


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua buah perbuatan manusia, maka gambaran ini tidak ada yang sempurna. Kalau orang mulai melaksanakan persetujuan itu, timbullah bermacam-macam persoalan yang pada waktu persetujuan terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak. 1

1

R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm.102.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan hukum seperti jual beli sering dilakukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada hakekatnya perjanjian jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang yang diperjualbelikan karena dalam jual beli pihak penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya itu kepada pembeli, sedangkan pihak pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga dari barang itu kepada pihak penjual.

Masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Kejujuran atau itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum.


(7)

Umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam pergaulan hidup ditengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik haruslah dilindungi dan sebaliknya pihak yang tidak jujur atau tidak beritikad baik patut merasakan akibat dari ketidakjujurannya itu. Itikad baik adalah faktor yang paling penting dalam hukum karena tingkah dari anggota masyarakat itu tidak selamanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ada juga dalam peraturan yang berdasarkan persetujuan masing-masing pihak dan oleh karena peraturan-peraturan tersebut hanya dibuat oleh manusia biasa maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang sempurna.

Kejujuran atau itikad baik, dapat dilihat dalam dua macam, yaitu pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum atau pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perhubungan hukum itu.2

Kejujuran pada waktu mulainya dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya perhubungan hukum itu sudah dipenuhi semua, sedang kemudian ternyata bahwa ada syarat yang tidak terpenuhi. Dalam hal yang demikian itu, bagi pihak yang jujur dianggap seolah-olah syarat-syarat tersebut dipenuhi semua, atau dengan kata lain yang jujur tidak boleh dirugikan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat termaksud di dalam perjanjian itu. Sebaliknya satu pihak dikatakan tidak jujur pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum, apabila ia pada waktu itu tahu betul tentang adanya keadaan yang menghalang-halangi pemenuhan suatu syarat untuk

2


(8)

berlakunya perhubungan itu. Sedangkan pihak lain mungkin jujur tentang hal itu, artinya tidak mengetahui adanya hal tersebut. Dalam hal ini pihak yang tidak jujur pada umumnya harus bertanggung jawab atas ketidakjujuran itu dan harus memikul risiko.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketentuan mengenai itikad baik, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat 3 yang menetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini berarti, bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut dibuat dengan disertai oleh itikad baik, dalam hal ini termasuk perjanjian jual-beli.

Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh civil law. Dalam perkembangannya diterima pula dalam hukum kontrak di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australian, Selandia baru, dan Kanada. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan terutama yang berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik.

B.Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah merupakan persoalan yang harus dicari pemecahannya. Perumusan masalah biasanya mempunyai banyak aspek. Dalam perumusan masalah dapat dilihat manfaat penelitian, yang diharapkan dapat menemukan pemecahan atau jawaban. Untuk menjawab secara tuntas semua


(9)

kemungkinan sebab-sebab itu mungkin diperlukan banyak penelitian. Manfaat ilmiah dari suatu penelitian perlu ditonjolkan atau dikembangkan.

Permasalahan yang akan menjadi pangkal tolak dalam pembahasan adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli? 2. Bagaimana jual beli yang dilakukan terhadap barang orang lain?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli.

b. Untuk mengetahui jual beli yang dilakukan terhadap barang orang lain.

c. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli.

2. Manfaat Penulisan a. Secara teoretis

Secara teoretis diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untk menambah pengetahuan dan wawasan terutama mengenai hukum perjanjian khusunya mengenai perjanjian jual beli.


(10)

b. Secara Praktis

Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul yang dipilih adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Beritikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli”, merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada, penulis yakin subtansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dengan seseorang yang lain atau lebih akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang dinamakan perikatan, jadi dapat disimpulkan perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber lainnya.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan arti perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak. Dalam mana suatu


(11)

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.3

Beberapa ajaran saat terjadinya perjanjian antara pihak adalah :

1. Teori kehendak (willstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat; 2. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarjan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran;

3. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima; 4. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan.

Hasanuddin Rahman mengatakan dari pengertian Pasal 1457 KUH Perdata di atas dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa:4

1. Terdapat dua pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual beli tersebut;

3

R.Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm.9.

4


(12)

2. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/ menerima pembayaran dan berkewajiban menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak yang lainnya berhak mendapatkan/menerima suatu kebendaan dan berkewajiban menyerahkan suatu pembayaran;

3. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi pihak yang lain.

4. Bila salah satu hak tidak terpenuhi atau kewajiban tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.

Berdasarkan penjelasan para sarjana di atas, jual beli merupakan suatu bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.

Jual beli senantiasa terletak pada dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak dan pembayaran pada pihak lainnya. Pada sisi hukum perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.

Walaupun demikian KUH Perdata melihat jual beli hanya dari sisi perikatan semata-mata, yaitu dalam bentuk kewajiban dalam lapangan harta kekayaan, dari masing-masing pihak secara bertimbal balik, oleh karena itu jual beli dimasukkan dalam Buku Ketiga KUH Perdata tentang perikatan.


(13)

Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata membahas mengenai pelaksanaan suatu perjanjian dan berbunyi :” Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu, tetapi juga oleh itikad baik.

Martijn Hasselin menyebutkan semua itikad baik yang bersifat objektif mengacu kepada konsep normatif. Sesungguhnya itikad baik seringkali dilihat sebagai suatu norma tertinggi dari hukum kontrak, hukum perikatan, bahkan hukum perdata. Itikad baik seringpula dikatakan sebagai berhubungan dengan standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu sendiri, yakni suatu prinsip legal ethical, sehingga itikad baik bermakna honesty. Dengan demikian, pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi lain, itikad baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral

values). Dengan keadaan yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai norma

terbuka (open norm), yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara abstrak, tetapi ditetapkan melalui kongkretisasi kasus demi kasus dengan memperhatikan kondisi yang ada.5

Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda, yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith performance berkaitan dengan kepatutan (yang objektif), atau reasonableness pelaksanaan kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik digunakan sebagai

5

Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta : Pascasarjana UI, 2004, hlm.34-35.


(14)

implide term, yang digunakan dalam hukum Romawi, mensyaratkan adanya

kerjasama diantara para pihak untuk tidak menimbulkan kerugian dari

reasonableness expectation. Good faith purchase, di lain pihak, berkaitan dengan

a contracting party’s subjective state of mind; apakah seseorang membeli dengan

itikad baik sepenuhnya digantungkan pada ketidaktauannya, kecurigaan, dan pemberitahuan yang berkaitan dengan kontrak.6

Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan daripada kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian. Dalam kejujuran pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum berupa pengiraan dalam hati sanubari terhadap syarat untuk memperoleh hak milik barang telah dipenuhi. Sedangkan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang dilakukan kedua belah pihak dalam hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus berjalan dalam hari sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak lain dengan menggunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu kedua belah pihak membentuk suatu persetujuan. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.7

Dalam pandangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar dianggap adanya pengertian kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran bersifat

6

Ibid, hlm.161.

7


(15)

subjektif. Perbedaan antara kejujuran subjektif dan kejujuran objektif itu oleh para ahli hukum Belanda tadi terutama dibicarakan dalam hubungan dengan suatu persetujuan, dalam mana para pihak bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian, kepada pihak ketiga atau suatu badan hukum atau kepada salah seorang daripada para pihak, yaitu selaku pemberi nasehat yang mengikat (bindend advise). Dimana hakim tidak boleh meninjau lagi isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu.Sedangkan apabila dilihat dari kejujuran subjektif ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dapat dianggap bersifat subjektif, sedang untuk mencapai agar isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu, dapat ditinjau, dapatlah dipergunakan Pasal 1339 KUH Perdata yang memperbolehkan hakim memperhatikan hal kepatuhan (billikheid) di samping kejujuran (goede trouw).8

F.Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.9

Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam

8

Ibid, hlm.106.

9


(16)

peraturan perundang-undangan.10

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan

informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder Penelitian yang digunakan terdiri dari :

Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum.

2. Sumber Data

11

1) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian.

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia,dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan

10

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.14

11

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2006, hlm.192.


(17)

dengan topik dalam skripsi ini, seperti: Buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.

4. Analisa Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dari penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa bab, yang diperinci sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis memaparkan hal-hal yang bersifat umum sebagai langkah awal dari penulisan ini yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, akibat perjanjian.


(18)

Dalam bab ini dibahas tentang pengertian jual beli, macam-macam jual beli, saat terjadinya jual beli, serta wanprestasi.

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

Dalam bab ini dibahas mengenai hak dan kewajiban dalam jual beli, penjualan benda kepunyaan orang lain, perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dan menututp seluruh pembahasan penulisan dalam skripsi ini. Dalam bab ini ditarik kesimpulan yang merupakan saripati bab-bab pembahasan, kemudian penulis mencoba memberikan saran yang diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pembaca.


(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A.Pengertian Perjanjian

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.12

Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu, bersumber pada apa yang disebut dengan perjanjian atau sumber lainnya, yaitu undang-undang. Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yag melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak dari para pihak yang bersangkutan. Jadi perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau merupakan suatu peristiwa.

Pada Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maksudnya bahwa suatu perjanjian adalah suatu recht handeling artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang bersangkutan ditujukan agar timbul akibat hukum.

12


(20)

Dengan demikian, suatu perjanjian adalah hubungan timbal balik atau bilateral, maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menrima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari hak-hak yang diperolehnya.

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.13

Wirjono Prodjdikoro mengatakan bahwa:

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang.

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.14

Menurut M.Yahya Harahap, perjanjian mengandung suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.15

13

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm.65.

14

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981, hlm.11.

15


(21)

Subekti mengatakan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.16

Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Perjanjian merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Dalam kaitannya sebagai hukum yang berfungsi melengkapi saja, ketentuan – ketentuan perjanjian yang terdapat di dalam KUH Perdata akan dikesampingkan apabila dalam suatu perjanjian para pihak telah membuat pengaturannya sendiri.

Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi, hal tersebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu;

4. Sesuatu sebab yang halal.

Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhi semua ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut di atas. Pernyataan sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian, sedangkan tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal

16


(22)

digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian.

B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Untuk syarat sahnya suatu perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan empat syarat:

1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian; 2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (perikatan); 3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek tertentu; 4. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal.17 a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu secara timbale balik. Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak.

Kesepakatan itu artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena:

1) Kekhilafan atau kekeliruan (dwaling);

17


(23)

2) Pemerasan/ Paksaan (dwang); 3) Penipuan (bedrog)

Unsur kekhilafan/ kekeliruan dibagi dalam dua bagian, yakni kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona. Dan kekhilafan barangnya dinamakan error in substansia. Mengenai kekhilafan/kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai intisari pokok perjanjian. Jadi harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan kekhilafan/kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal (Pasal 1322 KUH Perdata).

Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan, misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian (Pasal 1324 KUH Perdata).

Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi apabila menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal. Untuk mengatakan terjadi suatu penipuan, maka harus ada kompleks dari muslihat-muslihat itu.

R.Subekti mengatakan penipuan (bedrog) terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberi perizinan.18

18


(24)

Suatu penipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang tidak benar (palsu) disertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat dan harus ada rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan orang menjadi percaya, dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan seseorang. Misalnya, perbuatan memperjualbelikan sebuah rumah yang bukan merupakan hak miliknya dengan memalsukan surat-suratnya.19

b. Kecakapan para pihak pembuat perjanjian

Subjek untuk melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Subjek hukum terbagi dua, yaitu manusia dan badan hukum. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata “ setiap orang adalah cakap untuk mebuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Jadi menurut ketentuan pasal ini, semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan hukum yang dinyatakan oleh undang-undang.

Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu.20

19

Achmad Iksan, Hukum Perdata IB, Jakarta: Pembimbing Masa, 1969, hlm.20.

20


(25)

Apabila dilihat dari sudut ketertiban umum, maka oleh karena orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang itu sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya.21

Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat perjanjian mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata “ barang yang menjadi objek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat dihitung atau ditentukan”.

Sebelumnya dalam Pasal 1332 KUH Perdata dikatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan. Dengan demikian barang-barang di luar perdagangan tidak dapat menjadi objek perjanjian, misalnya, barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan udara.

Dengan demikian perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

21


(26)

Pengertian sebab pada syarat keeempat untuk sahnya perjanjian tiada lain daripada isi perjanjian. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa maksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab yang halal.

Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi dimaksud dengan sebab atau causa dari sesuatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.

Yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Akibat hukum terhadap perjanjian bercausa tidak halal, perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim.

Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian dibedakan antara syarat objektif dan syarat subjektif, bahwa di dalam syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, yang artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan perjanjian. Dengan kata lain bahwa tujuan yang mengadakan perikatan semula adalah gagal, maka dari itu tidak ada suatu alasan bagi pihak untuk menuntut di muka hakim.


(27)

Dalam hal syarat subjektif, maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta perjanjian itu dibatalkan. Dalam hal ini yang berhak meminta pembatalan adalah yang merasa dirinya tertipu oleh suatu hal.

Dari keempat syarat sahnya perjanjian di atas tidak ada diberikan suatu formalitas yang tertentu di samping kata sepakat para pihak mengenai hal-hal pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap undang-undang yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat berlaku dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis.

C. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai jenis-jenis perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan mengenyampingkan peraturan-perturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:

1. perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dan lain-lain.


(28)

2. Perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.22

Dalam KUH Perdata Pasal 1234 , perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Perikatan untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu barang; 2. Perikatan untuk berbuat sesuatu;

3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

Ad.1. Perikatan untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu barang Ketentuan ini, siatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238 KUH Perdata. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar-menukar, penghibahan, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan lain-lain.

2. Perikatan untuk berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannyanya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah : perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis dan lain-lain.

22

R.M.Suryodiningrat, Perikatam-perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung: Tarsito, 1978, hlm.10.


(29)

Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau di luar KUH Perdata dan macam-macam perjanjian dilihat dari lainnya, R. Subekti membagi lagi macam-macam perjanjian dilihat dari bentuknya, yaitu:23

a) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggungjawabkan.

b) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu, perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.

c) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya.

d) Perikatan tanggung menanggung adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan

23


(30)

satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama hendak menagih suatu piutang dari satu orang, tetapi perikatan semacam ini sedikit sekali dalam praktek.

e) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

f) Perikatan dengan penetapan hukum, adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menetapi kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

Di samping itu, jenis-jenis perjanjian menurut Mariam Darus adalah sebagai berikut:24

24

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan


(31)

a) Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.

b) Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak.

c) Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, akan tetapi terdapat dalam masyarakat. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas dan lahirnya berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

d) Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian oleh pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

e) Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah mencapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Selain itu, ada pula perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan uang, misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata). Perjanjian terakhir ini dinamakan perjanjian riil.


(32)

f) Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Jenis perjanjian yang istimewa adalah:

1) Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian oleh para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya perjanjian pembebasan uang;

2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian para pihak yang menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka; 3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal

1774 KUH Perdata;

4) Perjanjian sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, misalnya perjanjian pemborongan (Pasal 1601 b KUH Perdata). Asser dalam Mariam Darus mengatakan bahwa “ setiap perjanjian mempunyai bagian inti dan bukan bagian inti”. Bagian inti disebut essensialia dan bukan bagian inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia. Essensialia adalah bagian-bagian yang tidak dapat tidak harus ada dalam suatu pejanjian karena bagian ini menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta. Naturalia adalah bagian yang secara diam-diam melekat pada perjanjian, akan tetapi dalam hal ini dapat diperjanjikan secara tegas dihapuskan. Aksidentalia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian, yaitu secara tegas diperjanjikan oleh para pihak seperti ketentuan mengenai domisili para pihak.


(33)

Asas hukum adalah suatu pikiran yang bersifat umum dan abstrak yang melatarbelakangi hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut tidak tertuang dalam hukum yang konkrit. Pengertian tersebut dapat ditarik dari pendapat Sudikno Mertokusumo, yang memberi penjelasan sebagai berikut:

Pengertian asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit terebut.25

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah: 1. Asas konsensualisme

Konsensualisme berasal dari perkataan lain “consensus” yang berarti sepakat. Jadi asas konsensualisme berarti bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan untuk syarat sahnya suatu perjanjian memerlukan sepakat mereka yang mengikatkan diri.

Dalam Pasal tersebut tidak disebutkan adanya formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai, sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian sudah sah apabila telah ada kesepakatan para pihak mengenai hal-hal yang pokok. Terhadap asas konsesualisme ini terdapat pengecualian yaitu untuk beberapa perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu. Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak, perjanjian harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta. Perjanjian

25

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm.33.


(34)

semacam ini misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian kerja, perjanjian perdamaian, perjanjian asuransi, perjanjian mendirikan perusahaan dan sebagainya.

2. Asas kebebasan berkontrak

Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan kebebasan pada setiap orang untuk membuat perjanjian apapun, dengan ketentuan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini diberikan oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dari perkataan semua yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa setiap orang atau masyarakat bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya maupun objeknya dan jenis perjanjian tersebut.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun yang belum diatur dalam KUH Perdata atau peraturan- peraturan lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka maka hukum perjanjian mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini berarti bahwa masyarakat selain bebas membuat isi perjanjian apapun, mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengesampingkan atau tidak mempergunakan peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata. Dengan kata lain, para pihak dapat membuat


(35)

ketentuan-ketentuan yang akan berlaku di antara mereka. Undang-undang hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum diatur di antara mereka.

Seringkali didapati bahwa dalam membuat suatu perjanjian, para pihak tersebut tidak mengatur secara tuntas segala kemungkinan yang akan terjadi. Dengan demikian tepatlah jika hukum perjanjian sebagai hukum pelengkap, sehingga dapat dipergunakan untuk melengkapi perjanjian-perjanjian yang tidak lengkap tersebut.

3. Pakta Sunt Sevanda

Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan dalam perjanjian yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Dari perkataan “berlaku sebagai undang-undang dan tak dapat ditarik kembali” berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya. Jadi para pihak harus mentaati apa yang telah mereka


(36)

sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawan. Asas ini berarti siapa berjanji harus menepatinya atau siapa yang berhutang harus membayarnya.

4. Asas itikad baik

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini, terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan “ persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Artinya sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan.

Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatuhan, yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan.

D. Akibat Perjanjian

Akibat adalah pengaruh terhadap para pihak dan juga mengandung arti sebagai sanksi bagi pihak yang lalai melaksanakan kewajibannya. Suatu hal


(37)

daripada ketidakjujuran dalam suatu perjanjian akan membawa akibat terhadap perjanjian itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, bahwa hukum perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata menganut asas konsensualisme, artinya suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya bahwa pernyataan kedua belah pihak bertemu dalam sepakat. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian perjanjian mulai mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, terhitung sejak tercapainya kesepkatan para pihak.

Di samping bentuk perjanjian konsensual seperti tersebut di atas ada pula bentuk perjanjian lainnya yaitu perjanjian formal dan perjanjian riil. Untuk kedua perjanjian itu tidak cukup hanya dengan kata sepakat tapi diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata.

Suatu perjanjian disebut formal akan menjadi sah apabila harus dilaksanakan dengan suatu tindakan tertentu, apabila tidak dilakukan maka perjanjian tersebut tidak sah. Untuk perjanjian perdamaian yang harus dilaksanakan secara tertulis, kalau tidak maka ia tidak sah. Demikian pula terhadap perjanjian riil, perjanjian itu menjadi atau mulai sah apabila telah dilaksanakan suatu penyerahan.

Akibat dari perjanjian diatur dengan tegas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang mengatakan :


(38)

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dari sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Dengan istilah lain, pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum mempunyai kekuatan yang mengikat bagi mereka yang membuatnya. Jadi di sini para pihak yang mengadakan perjanjian itu diberi kesempatan untuk mengadakan atau menetapkan sendiri ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi mereka. Namun demikian seperti Pasal 1338 KUH Perdata telah menentukan bahwa perjanjian haruslah dilakukan dengan itikad baik.

Pasal 1341 KUH Perdata mengatakan bahwa pihak kreditur dapat mengajukan tuntutan pembatalan atas segala perbuatan debitur yang bersifat tidak wajar dan merugikan. Secara tidak langsung pasal ini dapat merupakan reaksi dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, artinya apabila si debitur tetap memperlakukan kekayaannya dengan sewenang-wenang dalam arti tidak jujur atau tidak beritikad baik.

Adapun mengenai akibat dari suatu perjanjian adalah sesuai dengan apa yang para pihk perjanjikan. Bila perjanjian untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu, para pihak harus melaksanakannya, sedangkan bila perjanjian untuk berbuat sesuatu, maka para pihak baru berbuat sesuai dengan yang diperjanjikan.


(39)

BAB III

KETENTUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang kerap kali diadakan, yang subjeknya terdiri dari pihak penjual dan pembeli. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), perjanjian jual beli ini diatur pada Buku Ketiga Bab Kelima. Pengertian jual beli dapat dilihat pada bunyi Pasal 1457 KUH Perdata yang berbunyi:

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Pada pokoknya jual beli adalah perjanjian dimana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya kepada pihak yang lainnya (pembeli) untuk menyerahkan hak milik dari suatu barang dengan menerima sejumlah harga yang telah disepakati bersama.

Dari bunyi pasal di atas, dapat diperhatikan bahwa wujud harga pembayarannya tidak lain adalah alat pembayaran yang sah. Pihak penjual dan pembeli saling mengikatkan dirinya untuk mewujudkan suatu prestasi dimana kedua belah pihak bersepakat atas barang dan nilai tukarnya (berupa harga).

Dari perikatan jual beli ada dua subjek yaitu si penjual dan si pembeli yang masing mempunyai berbagai kewajiban dan hak. Maka mereka masing-masing dalam beberapa hal merupakan pihak berwajib dan dalam hal-hal lain


(40)

merupakan pihak berhak, hal ini berhubungan dengan sifat bertimbal balik dari persetujuan jual beli.

R.M.Suryodiningrat, memberikan definisi jual beli sebagai berikut :

Jual beli adalah perjanjian/ persetujuan/ kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda/barang kepada pihak lainnya (pembeli), yang mengikatkan dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.26

Jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikatkan dirinya berjanji untuk membayar harga barang.

M.Yahya Harahap mengatakan bahwa:

27

a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli;

Dari beberapa defenisi yang ada yaitu definisi menurut KUH Perdata dan para sarjana di atas, maka dapat dilihat dalam jual beli ada terdapat hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para pihak, yaitu:

b. Hak pihak penjual untuk membatalkan jual beli barang;

c. Kewajiban pihak pembeli, membayar harga barang yang dibeli kepada penjual;

26

R.M.Suryodiningrat, Op.cit, hlm.14.

27


(41)

d. Hak pihak pembeli, mempertanggungjawabkan pembayaran harga pada si penjual apabila pemakaian barang tersebut diganggu oleh pihak ketiga (Pasal 1516 KUH Perdata).

Berdasarkan kewajiban para pihak di atas, maka yang menjadi unsur pokoknya adalah mengenai barang yang akan dialihkan dan harga dari barang yang akan dialihkan tersebut. Oleh karena itu, pengertian jual beli pada intinya adalah tindakan mengalihkan hak milik atas suatu barang berdasarkan adanya suatu harga yang telah disepakati bersama.

Dalam perjanjian jual beli, barang-barang yang menjadi objek perjanjian haruslah cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak milik kepada si pembeli, dengan demikian sah menurut hukum.28

Menurut hukum perdata ada tiga macam penyerahan yuridis, yaitu:

Hak milik atas barang yang diperjualbelikan, baru beralih setelah diadakan penyerahan. Yang diserahkan oleh penjual kepada pembeli adalah hak milik barangnya, jadi bukan sekedar kekuasaan atas barang tadi yang harus dilakukan penyerahan atau levering secara yuridis.

Yang dimaksud dengan penyerahan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1475 KUH Perdata:

“Penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli”

29

a. Penyerahan barang bergerak

28

R.Subekti, Op.cit, hlm.2.

29


(42)

b. Penyerahan barang tak bergerak c. Penyerahan piutang atas nama

Ad.1. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya (Pasal 612 KUH Perdata)

Ad.2. Penyerahan barang tak bergerak terjadi dengan pengutipan sebuah “akta transport” dalam register tanah di depan Pegawai Balik Nama (Ordonansi Balik Nama LN.1834-27). Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No.5 Tahun 1960) dengan pembuat aktanya jual beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Ad.3. Penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan sebuah akta yang diberitahukan kepada si berutang (akta cessie, Pasal 613 KUH Perdata).

Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah ( mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi, “ jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

B. Macam-macam Jual Beli

Dalam praktek perdagangan, dikenal beberapa macam jual beli, yang antara lain adalah sebagai berikut:


(43)

1. Jual beli dengan percobaan

Apabil barang-barang jual beli dengan percobaan, maka dihadapi suatu persetujuan jual beli dengan syarat tangguh. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1463 KUH Perdata

“ Jual beli dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang biasa dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan syarat tangguh”.

Dalam hal ini terjadi tidaknya jual beli tergantung pada hasil percobaan yang akan dilakukan oleh calon pembeli, belum tentu pembeli telah mencoba barang yang bersangkutan itu merasa puas dengan sifat-sifat barang itu, sehingga ia mengambil keputusan untuk melahirkan perjanjian jual beli.

Contoh : jual beli lemari es, pesawat radio, televisi. Pembukt ian dibebankan kepada penjual bahwa benda telah dicoba dan kemudian disetujui dan setidaknya tergantung pada pembeli.

2. Jual beli dengan pemberian panjar

Jual beli ini diatur dalam Pasal 1464 KUH Perdata. Dalam Jual beli ini, baik pembeli tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli dengan mengikhlaskan panjar yang telah diberikan pembeli kepada penjual, begitu juga penjual tidak dapat membatalkannya dengan mengembalikan panjar itu kembali kepada pembeli.

3. Jual beli dengan hak membeli kembali

Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji dimana penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya


(44)

yang telah dijual. Dengan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya disertai dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli untuk menyelenggarakan pembelian serta penyerahan, begitu pula biaya-biaya yang perlu untuk pembetulan-pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang telah dijual bertambah harganya.

Dengan definisi yang diambil dari Pasal 1519 KUH Perdata ditambah dengan ketentuan Pasal 1532 KUH Perdata dari perjanjian jual beli dengan janji hak membeli kembali.30

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dalam praktek sering dipakai untuk menyelubungi suatu perjanjian pinjam uang dengan pemberian jaminan kebendaan, yang seharusnya dibuat secara hypotik.

Hak untuk membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu yang lama lebih dari 5 (lima) tahun, apabila si penjual lalai mengajukan tuntutannya untuk membeli kembali dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, maka tetaplah si pembeli sebagai pemilik barang yang telah dibelinya itu. Demikian ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1520 dan Pasal 1521 KUH Perdata.

31

4. Jual beli dengan contoh

Jual beli dengan contoh (monster), tidak diatur dalam KUH Perdata, melainkan diatur dalam Pasal 69 KUH Dagang yang berbunyi sebagai berikut:

“Makelar dari setiap penjualan atas contoh mengenai sejumlah (parij) barang-barang dengan perantaranya menyimpan contohnya sampai saat

30

R.Subekti, Op.cit, hlm.28.

31


(45)

telah dilakukannya penyerahan, dilengkapi dengan catatan mengenai contoh itu untuk mengenalinya kembali apa ia (makelar) tidak dibebaskan dari kewajiban itu”.

Dalam hal ini yang diperjualbelikan adalah barang sejenis dan sifatnya dan telah ditetapkan atas dasar kata sepakat dengan penyerahan contoh kepada pembeli yang harus disimpan kepada makelar sampai pada saat telah dilakukannya penyerahan yang diperjualbelikan. Walaupun hal ini tidak diatur dalam KUH Perdata, namun jual beli seperti itu sering dijumpai dalam praktek, perdagangan sehari-hari dalam masyarakat. Karena hal ini dianggap oleh para pedagang/pengusaha sebagai efisiensi kerja dan menghemat biaya, karena apabila barang tersebut keseluruhannya diangkut masih dalam bentuk tawar menwar saja, maka risikonya sangat besar. Sedangkan jual beli tersebut belum dapat dipastikan terujud atau tidak.

Timbulnya jual beli seperti ini menunjukkan hakekat dari kesepakatan para pihak adalah merupakan kepercayaan antara pihak-pihak dengan melihat contoh barang saja maka perjanjian jual beli dapat berlangsung. Jadi apabila barang itu cocok dengan apa yang dipercontohkan maka jual beli itu akan diteruskan, tetapi apabila berlainan dengan apa yang sebelumnya, maka jual beli itu dapat dibatalkan.

5. Beli Sewa

Beli sewa disebut juga huurkoop. Dalam hal ini, penyerahan dilakukan secara berangsuran. Namun demikian sudah ada penyerahan, hanya dalam persetujuan ditegaskan bahwa dengan penyerahan ini hak milik belum


(46)

berpindah. Hak milik baru berpindah setelah harga dibayar lunas. Karena itu beli sewa merupakan suatu pembelian dengan perpindahan hak milik yang ditangguhkan dan termasuk dalam jual beli angsuran.

C.Saat Terjadinya Jual Beli

Unsur pokok terjadinya jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian dalam KUH Perdata, perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Setelah kedua belah pihak setuju barang dan harga maka lahirlah jual beli yang sah. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi:

“jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”

Asas konsensualitas menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua atau lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan ata konsensus, meskipun kesepakatan itu telah dicapai secara lisan semata-mata. 32

Untuk sahnya perjanjian jual beli haruslah dipenuhi unsur-unsur untuk dapat tercapainya jual beli tersebut. Unsur yang berupa adanya barang, harga, dan

32

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Memahami Prinsip Keterbukaan (aanvullend


(47)

kesepakatan. Selain itu juga tidak dapa dipisahkan dari syarat yang tertera pada Pasal 1320 KUH Perdata.

Jual beli tiada lain daripada persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan harga inilah yang menjadi

essensialia perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tak

mungkin terjdi jual beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual beli dianggap tidak ada.33

33

M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm.181.

Konsensualisme berasal dari perkataan konsensus, yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah juga dikehendaki oleh yang lain.

Sifat penting lainnya dari jual beli menurut sistem KUH Perdata adalah bahwa perjanjian jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru meletakkan hak dan meletakkan hak menuntut diserahkan hak milik atas barangnya. Penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujuinya.

Sifat jual beli ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata yang menyebutkan:

“ Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, 616”.


(48)

Sifat obligatoir ini mempunyai konsekuensi jika terjadi jual beli atas suatu barang, tetapi belum diserahkan kemudian dijual kembali untuk kedua kalinya oleh penjual dan dilever kepada si pembeli kedua ini, maka pembeli yang pertama tidak dapat mengatakan, bahwa barang itu miliknya tetapi belum dilakukan penyerahan tegasnya.

Dalam perjanjian ini dikandung maksud bahwa selama jangka waktu tertentu tidak akan menjualnya lagi kepada orang lain, karena ia setiap waktu dapat diminta menyerakan kembali kepada penjual. Namun kalau si pembeli menjual kepada orang lain serta barangnya adalah barang bergerak maka pembeli kedua ini aman, artinya tidak dapat dituntut untuk menyerahkan barangnya kepada si penjual pertama. Penjual pertama hanya dapat menuntut ganti rugi kepada si pembeli pertama, lain halnya bila diperjanjikan dalam jual beli itu adalah benda tidak bergerak untuk membeli kembali barang yang dijual, boleh menggunakan haknya itu kepada seseorang pembeli kedua, meskipun dalam perjanjian jual beli yang kedua itu tidak disebutkan tentang adanya janji tersebut, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1523 KUH Perdata. Ini berarti jika diperjualbelikan itu adalah benda tidak bergerak, maka janji untuk membeli kembali yang telah diadakan untuk kepentingan si penjual harus ditaati oleh pihak ketiga.

Yang menjadi objek dalam perjanjian jual beli adalah sesuatu yang berwujud benda/barang (zaak). Bertitik tolak dari pengertian benda/barang ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek harta benda atau harta kekayaan. Maka yang dapat dijadikan objek jual beli adalah segala sesuatu yang bernilai harta kekayaan (vermogen). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata


(49)

yang menyatakan “hanya barang-barang yang bisa diperniagakan saja yang boleh dijadikan pokok perjanjian”.34

34

Ibid., hlm.182.

Di samping benda/barang, harga merupakan salah satu essensialia perjanjian jual beli. Harga berarti sesuatu jumlah yang harus dibayarkan dalam bentuk uang. Pembayaran harga dengan uanglah yang bisa dikategorikan ke dalam jual beli. Harga yang berbentuk lain di luar uang, berada di luar jangkauan perjanjian jual beli.

Harga barang itu, harus benar-benar harga sepadan dengan nilai yang sesungguhnya. Kesepadanan antara harga dengan barang, sangat perlu untuk dapat melihat hakekat persetujuan yang diperbuat dalam konkreto. Sebab kalau harga barang yang dijual sangat murah atau sama sekali tidak ada, jelas perjanjian yang terjadi bukan jual beli, melainkan hibah.

Kesepadanan antara harga dengan nilai barang memang bukan merupakan syarat sahnya suatu persetujuan jual beli. Akan tetapi kesepadanan harga ini dapat dikembalikan kepada tujuan jual beli itu sendiri. Yakni, jual beli tiada lain bermaksud untuk mendapatkan pembayaran yang pantas atas harga barang yang dijual. Serta harga yang pantas/sepadan perlu sebagai alat untuk memperlindungi penjual dari tindakan kekerasan atau pemaksaan harga yang rendah. Juga memperlindungi penjual atas salah sangka (dwaling) dan tipu muslihat.


(50)

Di dalam suatu perikatan apabila si berhutang karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan bahwa si berhutang itu wanprestasi atau lalai/ingkar. Atau ia juga melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.

Ada juga terjadi kemungkinan bahwa si berhutang itu tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi tidak dilaksanakannya apa yang diperjanjikan itu adalah di luar kesalahan si berhutang. Dalam hal ini dikatakan bahwa si berhutang berada dalam keadaan force majeure, dan masalah siapa yang wajib memikul kerugian dipecahkan oleh ajaran risiko.

Wujud dari wanprestasi ada 3 (tiga) macam:35

a. Si berhutang sama sekali tidak melaksanakan prestasi; b. Si berhutang terlambat melaksanakan prestasi;

c. Si berhutang keliru atau tidak semestinya melaksanakan prestasi.

Di dalam kenyataannya adalah sukar untuk menentukan kapan seorang berhutang itu dikatakan melakukan wanprestasi, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian itu.

Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu diangkal olehnya, harus dibuktikan di muka hakim. Kadang-kadang tidak mudah untuk mengatakan seseorang lalai atau alpa, karena seringkali tidak dijanjikan dengan tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan

35


(51)

melakukan wanprestasi yang dijanjikan. Dalam jual beli misalnya tidak ditetapkan kapan barangnya harus diantar ke rumah si pembeli, atau kapan si pembeli ini harus membayar uang harga barang tadi.

Terhadap kelalaian atau kealpaan di berhutang (si berhutang atau debitur sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hak-hak kreditu kalau terjadi ingkar janji adalah sebagai berikut:36

1) Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

2) Hak untuk menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);

3) Hak untuk menuntut ganti rugi (schade vergoeding);

4) Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan disertai dengan ganti rugi;

5) Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Apabila undang-undang menyebutkan rugi maka yang dimaksud adalah kerugian yang nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan di antara keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji.

Pada asasnya bentuk ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang, oleh karena menurut ahli-ahli Hukum Perdata maupun Yurispruedensi uang merupakan

36


(52)

alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk yang lain yang diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan keadaan semula (in

natura) dan larangan untuk mengulangi. Keduanya ini kalai tidak ditepati dapat

diperkuat dengan uang paksa tetapi uang paksa bukan merupakan bentuk atau wujud ganti rugi.


(53)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

A. Hak dan Kewajiban Dalam Jual Beli

Untuk melaksanakan suatu perjanjian harus terlebih dahulu ditetapkan apa saja isi dari perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban tidak hanya timbul dari apa yang telah tegas dinyatakan dalam perjanjian, akan tetapi juga termasuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Hal ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi: “suatu perjanjian tidak hanya megikat untuk hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Mengenai hak dan kewajiban para penjual dan pembeli erat kaitannya dengan pembayaran dalam jual beli. Pembayaran di dalam hal ini adalah setiap tindakan para pihak untuk melaksanakan prestasi yang telah dijanjikan. Jadi, pengertian pembayaran dalam jual beli adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban para pihak dalam jual beli.

Menurut Pasal 1474 KUH Perdata, terdapat dua kewajiban pokok dari penjual, yaitu:

1. Kewajiban menyerahkan barang;


(54)

Selanjutnya kewajiban penyerahan barang diatur dalam Pasal 1475 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1484 KUH Perdata, sedangkan kewajiban menanggung pemakaian barang atas barang yang diatur dalam Pasal 1491 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1492 KUH Perdata.

Ad.1. Kewajiban menyerahkan barang

Yang dimaksud dengan penyerahan barang adalah setiap tindakan untuk memindahkan barang yang dijual oleh penjual, ke dalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli. Dengan tindakan penyerahan yang dilakukan oleh penjual tersebut, maka pembeli mendapat hak milik atas barang yang dimaksud (Pasal 1475 KUH Perdata).

Oleh karena dalam sistem KUH Perdata dikenal 3 (tiga) jenis benda, maka penyerahan barangpun mengenal 3 (tiga) cara, yaitu:

a. Penyerahan benda bergerak (kecuali yang tak bertubuh) dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering) atau dengan penyerahan kunci-kunci bangunan dimana benda-benda tersebut berada (Pasal 612 KUH Perdata). Dan selanjutnya menurut Pasal 612 ayat 2 KUH Perdata penyerahan tidak perlu dilakukan apabila benda yang harus diserahkan telah dikuasai oleh orang yang akan menerima penyerahannya, misalnya jual beli lukisan yang telah dikuasai oleh pembelinya.

b. Penyerahan benda tang tak bergerak dilakukan dengan akte notaris kecuali mengenai tanah yang harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Menurut PP No.24 Tahun 1997 harus didaftarkan di kantor pendaftaran tanah.


(55)

c. Penyerahan piutang atas nama dan hak lainnya, dilakukan dengan akta notaries atau akta di bawah tangan (cessie) yang harus diberitahukan kepada debitur atau secara tertulis disetujui dan diakui (Pasal 613 KUH Perdata).

H.M.N.Purwosutjipto menafsirkan dari ketentuan Pasal 612 dan 613 KUH Perdata terdapat beberapa jenis penyerahan mengenai benda bergerak, yaitu:

a. Penyerahan fisik, yakni penyerahan barang dari tangan ke tangan;

b. Penyerahan kunci gudang, di dalam mana benda bergerak yag diserahkan itu disimpan;

c. Penyerahan akta cessie atau endosemen bagi benda bergerak tak bertubuh; d. Penyerahan dokumen, penyerahan seperti ini sudah menjadi kebiasaan

dalam jual beli perusahaan. Pemegang dokumen ini berhak memiliki barang-barang yang disebut dalam dokumen itu.37

Selanjutnya tentang biaya penyerahan dan tempat penyerahan dilakukan diatur dalam Pasal 1476 dan Pasal 1477 KUH Perdata. Pasal 1476 KUH Perdata menyebutkan bahwa bila biaya penyerahan dipikul oleh penjual, sedangkan apabila pengambilan dipikul oleh pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya secara lain. Pasal 1477 KUH Perdata menetapkan bahwa penyerahan dilakukan di tempat dimana benda berada pada saat terjadinya jual beli, jika tentang itu tidak telah diadakan persetujuan lain.

Dari ketentuan-ketentuan dua pasal tersebut dapat diketahui bahwa hukum perjanjian umumnya dan hukum jual beli khusunya menganut asas kebebasan,

37

H.M.N.Purwositjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jual Beli


(56)

karena pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian tersendiri tentang biaya penyerahan dan tempat penyerahan barang yang menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata. Hal tersebut terlihat dari bunyi ketentuan kedua pasal tersebut yang berbunyi: “jika telah diperjanjikan sebaliknya”.

Kemudian barang yang harus diserahkan meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimasukkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika hal itu ada (Pasal 1482 KUH Perdata).

Penjual diwajibkan menyerahkan barang yang bersangkutan dalam keadaan utuh menurut isinya, dengan beberapa perubahan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1483 sampai dengan Pasal 1488 KUH Perdata. Hal ini berlaku bagi benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Ad.2. Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring) Di dalam Pasal 1474 KUH Perdata telah ditentukan bahwa penjual wajib menanggung. Penanggungan ini menurut Pasal 1491 KUH Perdata terdiri dari:

a) Pengusaan barang secara aman dan tentram oleh pembeli

b) Penghindaran adanya cacat tersembunyi, atau sedemikian rupa, sehingga menimbulkan alasan untuk membatalkan perjanjiannya yang bersangkutan.

Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual tehadap si pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua, terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut


(57)

yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya.

Misalnya untuk menuntut pihak ketiga atas benda tersebut walaupun dalam ketentuan Pasal 1491 dan 1492 KUH Perdata ditentukan bahwa penjual berkewajiban menanggung atas penggunaan barang yang dijualnya, tetapi di dalam Pasal 1493 KUH Perdata ditentukan bahwa pihak-pihak yang bersangkutan dapat memperjanjikan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut dapat diperluas ataupun diringankan, bahwa penjual dapat dibebaskan sama sekali dari kewajiban menanggung.

Namun hal ini dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1494 KUH Perdata dan Pasal 1495 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak menanggung sesuatu apapun, namun penjual tetap bertanggung jawab apa yang merupakan akibat dari suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh penjual. Semua persetujuan yang bertentangan dengan itu adalah batal. Dan selanjutnya dalam Pasal 1495 KUH Perdata ditetapkan bahwa penjual, dalam hal adanya janji yang sama, jika terjadi sesuatu penghukuman terhadap pembeli untuk menyerahkan barangnya kepada orang lain, diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila pembeli ini pada waktu pembelian dilakukan mengetahui tentang adanya putusan hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu atau jika pembeli telah membeli barang itu dengan pernyataan tegas akan memikul sendiri untung ruginya.

Dalam Pasal 1496 KUH Perdata ditetapkan apabila dijanjikan penanggungan, atau apabila tidak terdapat perjanjian mengenai hal tersebut,


(58)

pembeli berhak menuntut dari penjual, di dalam hal adanya penghukuman untuk menyerahkan barang yang dibelinya kepada orang lain, yaitu:

a) Pengembalian harga pembelian;

b) Pengembalian hasil-hasil, apabila hasil tersebut harus diserahkan pada pemilik sejati yang menuntut penyerahan;

c) Biaya-biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan pembeli untuk ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh penggugat asal;

d) Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya sekedar itu telah dibayar oleh pembeli.

Akan tetapi apabila pembeli tidak mengikutsertakan penjual dalam perkara gugatan pihak ketiga termasuk di atas, sedangkan penjual sebenarnya dapat membuktikan berdasarkan alasan-alasan yang cukup kuat untuk membantah semua dalil pihak ketiga (penggugat) sehingga gugatan itu akan ditolak oleh pengadilan, maka segala risiko kalah perkara menurut Pasal 1503 KUH Perdata harus dipikul pembeli sendiri.

Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi dapat disimpulan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1504 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa cacat itu harus mengakibatkan barang yang bersangkutan tidak dapat dipergunakan menurut sifat dan tujuannya, atau mengurangi penggunaan barang tersebut, sehingga apabila pembeli mengetahui cacat tersembunyi tidak akan membelinya dengan harga yang lebih rendah.


(1)

ada pihak yang mencari keuntungan sendiri dalam melaksankan suatu perjanjian dengan mencari kelemahan dan kekurangan dari perjanjian tersebut.

Dalam perjanjian jual beli sering terjadi adanya gangguan pihak ketiga, dimana pihak pembelilah yang selalu dirugikan, sehingga pembeli akan terhalang untuk menikmati apa yang dibelinya dan lebih jauh dari itu berdasarkan putusan hakim, bahwa pihak ketiga tersebut yang dinyatakan sebagai pemilik dari benda atau barang yang baru dibeli olehnya dengan sendirinya benda atau barang tersebut kembali kepada pemilik asalnya.

Di dalam Pasal 1488 KUH Perdata, menyebutkan bahwa:

Dalam semua hal dimana si pembeli berhak meniadakan pembelian, si penjual diwajibkan selainnya mengembalikan harga barang jika itu telah diterimanya, juga mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan pembelian dan penyerahan, sekedar si pembeli menurut persetujuan telah dibayarnya.

Karena tindakan si penjual, maka si pembeli menuntur ganti rugi yang bersumber pada Pasal 1488 KUH Perdata untuk membatalkan perjanjian jual beli. Dan selanjutnya dalam Pasal 1496 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1512 KUH Perdata, adalah sebagai sebab dan tata cara yang dapat ditempuh melalui penetapan hakim.

Masalah ganti rugi dalam perjanjian jual beli, pihak pembeli lebih diperhatikan dan dilindungi kepentingannya. Hal ini disebabkan karena dimana lahirnya perjanjian jual beli itu dikarenakan kemauan dan kehendak penjual mengoperkan barang miliknya pada orang lain artinya kedudukan si pembeli itu ada, setelah adanya si penjual.


(2)

Memang tidak jarang terjadi bahwa di dalam praktek adakalanya pihak pembeli yang mencari suatu barang atau motivasi dari jual beli itu dari pembeli. Namun pada asasnya penjual merupakan pihak pertama dan pembeli sebagai pihak kedua.

Dalam hal si penjual sebagai pihak pertama yang memiliki motivasi, maka diartikan bahwa banyak yang dapat dilakukan oleh si penjual itu yang dalam proses jual beli itu. Dengan berdasarkan inilah maka undang-undang sangat memperhatikan melindungi kepentingan pembeli, terlebih-lebih apalagi si pembeli itu dapat membuktikan bahwa ia beritikad baik.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab yang terdahulu, maka dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Yang menjadi kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli adalah pihak penjual mempunyai dua kewajiban utama yakni untuk menyerahkan barang yang menjadi objek perjanjian dan menanggungnya, sedangkan pihak pembeli mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian.

2. Jual beli barang orang lain menurut ketentuan Pasal 1471 adalah batal sehingga menjadi dasar bagi pembeli untuk menuntut ganti kerugian apabila si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu merupakan kepunyaan orang lain. Hal ini untuk bertujuan agar seseorang tidak mengalihkan hak yang lebih dari yang diterimanya.

3. Terhadap pembeli yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli adalah dilindungi oleh hukum jika ia pada waktu pembelian tidak mengetahui bahwa penjual bukan pemiliknya sehingga ia dapat menuntut pembatalan dari perjanjian yang telah dibuatnya khususnya mengenai penjualan barang bergerak kepunyaan orang lain dimana terdapat suatu asas bezit geldt als volkomen title dimana terhadap barang bergerak yang tidak berupa bunga


(4)

maupun piutang maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya sebagaimana tercantum dalam Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata.

B. Saran

1. Bahwa terhadap jual beli barang milik orang lain hendaknya si pembeli benar-benar memperhatikan status kebendaan yang dibelinya, apakah benda yang dikuasai oleh si penjual tersebut benar-benar miliknya.

2. Terhadap pembeli yang beritikad baik sudah sepatutnya dilindungi oleh hukum karena ia tidak mengetahui bahwa barang tersebut adalah kepunyaan orang lain dan tidak mengetahui tentang adanya cacat yang melekat pada barang yang dibelinya artinya cacat mengenai asal usulnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

_______________, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1993.

Dalimin, Pengantar Hukum Dagang, Yogyakarta: Liberty, 1992.

Harahap, M.Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.

Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2006.

Iksan, Achmad, Hukum Perdata IB, Jakarta: Pembimbing Masa, 1969.

Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta : Pascasarjana UI, 2004.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1986.

Prodjodikoro, R.Wirjono, Azas-azas Hukum Perjanjian,Bandung: Mandar Maju, 2000.

_______________, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981.

Purwositjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jual Beli Perusahaan, Cetakan Keempat,Djambatan, 1992.

Rahman, Hasanuddin, Contract Darfting, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta: UI Press,1986.

_______________, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Soerjopraktiknjo, Hartono, Aneka Perjanjian Jual Beli, Yogyakarta: Seksi Notariat Fak.Hukum UGM, 1982.


(6)

Subekti ,R., Hukum Perjanjian, Cetakan VII, Bandung: Intermasa, 1978. _______________, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1995.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta Pembimbing Masa, 1980.

Suryodiningrat, R.M., Perikatam-perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung: Tarsito, 1978.

Wery, P.L., Perkembangan Hukum tentang Itikad Baik di Nederland, Jakarta: Percetakan Negara RI, 1990.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Memahami Prinsip Keterbukaan (aanvullend recht) dalam Hukum Perdata, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.