Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing Pada Pt Kartika Swarna Dwipa (Kantor Distributor Tupperware)

(1)

TUPPERWARE)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH NOVIA UTAMI

110200057

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI MULTI LEVEL MARKETING

PADA PT KARTIKA SWARNA DWIPA (KANTOR DISTRIBUTOR TUPPERWARE)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh: NOVIA UTAMI

110200057

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. HASIM PURBA, S.H.,M.HUM NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

M. HUSNI, S.H.,M.Hum Dr. DEDI HARIANTO, S.H.,M.Hum

NIP : 195802021988031004 NIP : 196908201995121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : NOVIA UTAMI

NIM : 110200057

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI MULTI LEVEL MARKETING PADA PT KARTIKA SWARNA DWIPA (KANTOR DISTRIBUTOR TUPPERWARE)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, April 2015

Novia Utami


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya yang tiada berkesudahan dan telah memberikan penulis kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM

TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI MULTI LEVEL MARKETING PADA PT KARTIKA SWARNA DWIPA (KANTOR DISTRIBUTOR TUPPERWARE)”, yang membahas mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh perusahaan Tupperware kepada konsumennya apabila terjadi kerusakan atas produk/barang yang dibeli dan digunakan oleh konsumen. Untuk memperoleh informasi dan data-data dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian pada kantor distributor Tupperware di Medan, yakni PT Kartika Swarna Dwipa sebagai objek dalam penelitian ini.

Penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat bagi setiap mahasiswa untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyaknya kekurangan, baik itu disebabkan literatur maupun pengetahuan penulis sehingga pembuatan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.


(5)

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Kekhususan Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini;

9. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini;


(6)

10.Bapak Affan Mukti, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis;

11.Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12.Teristimewa untuk kedua orang tua yang sangat penulis sayangi yaitu Darwan Ulfadinata, S.H. (Papa) dan Linda, S.Pd (Mama), kepada adik-adik penulis Clarita Utami dan Erdio Ulfadinata, dan kepada seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas seluruh kasih sayang, motivasi, kesabaran, pengorbanan, bantuan dan terutama doa yang kalian semua berikan pada penulis selama ini yang sangat berarti bagi penulis, khususnya dalam proses penyelesaian skripsi ini;

13.Kepada Ibu Brenda Marta Cristina, selaku pimpinan dari PT Kartika Swarna Dwipa, yang telah memberikan izin pada penulis untuk melakukan riset dengan cara wawancara di PT Kartika Swarna Dwipa untuk penyelesaian skripsi ini, dan kepada Kak Rafika Saputri, selaku staff di PT Kartika Swarna Dwipa, yang telah menyempatkan diri untuk memberitahukan informasi-informasi yang penulis butuhkan untuk penyelesaian skripsi ini;

14.Kepada sahabat-sahabat terbaik yang sekaligus sebagai teman seperjuangan penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu Octaviana Fransiska, Intan Elisabeth Pasaribu, Kartika P.L.M., Emma Yosephine Sinaga, Citra K.R.P. Tarigan, Rurin T. Tambun, Imelda Rosari Sinurat, Putri A.


(7)

Nadapdap, Stella, dan John Willi, yang telah banyak membantu penulis dalam segala hal dan selalu memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;

15.Kepada sahabat-sahabat penulis lainnya, yaitu Billy Williem, BIT, yang telah banyak membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini, juga kepada Lisa Effendy dan Juliani, yang selalu memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;

16.Kepada guru penulis yang sangat penulis hormati dan sayangi, Bapak Hamonangan Simamora, S.Pd., yang tanpa lelah selalu membimbing, mengajari, dan memberikan doa, dukungan, nasehat, serta motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;

17.Kepada semua teman-teman kelas Grup A, teman-teman Departemen Perdata BW, dan teman-teman stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan ini;

18.Kepada senior-senior penulis yang penulis hormati, Bang Angfier Sinaga, S.H., Bang Robert, S.H., Kak Imelda, S.H., Kak Rivera Wijaya, S.H., Kak Jessalyn, S.Kg., dan senior-senior lainnya yang turut memberikan arahan, dukungan, dan motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini; 19.Kepada Ibu Jet Fun, selaku salah satu agen Tupperware, yang telah berkenan


(8)

20.Dan segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang dibagikan bersama.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, April 2015 NOVIA UTAMI 110200057


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Keaslian Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 17

A. Pengertian dan Pengaturan Perlindungan Konsumen ... 17

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 17

2. Pengaturan Perlindungan Konsumen ... 19

3. Subjek Hukum Perlindungan Konsumen ... 22

B. Hak dan Kewajiban dari Konsumen serta Pelaku Usaha ... 28

1. Hak dan Kewajiban dari Konsumen ... 29

2. Hak dan Kewajiban dari Pelaku Usaha ... 34

C. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen ... 37


(10)

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based

On Fault) ... 41

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (Presumption of Liability Principle) ... 43

3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (Presumption Nonliability Principle) ... 45

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)... 46

5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (Limitation of Liability Principle) ... 46

BAB III MULTILEVEL MARKETING SEBAGAI BENTUK KEGIATAN BISNIS ... 48

A. Pengertian Multi Level Marketing ... 48

B. Jenis-Jenis Multi Level Marketing ... 54

C. Sistem Kerja Multi Level Marketing ... 59

D. Keunggulan dan Kelemahan Multi Level Marketing ... 62

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI MULTI LEVEL MARKETING ... 66

A. Mekanisme Transaksi Multi Level Marketing pada PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Distributor Tupperware ... 72

B. Keluhan Konsumen Terkait Produk-Produk yang dihasilkan oleh Perusahaan Tupperware pada PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Distributor Tupperware ... 81

C. Bentuk Perlindungan Hukum yang diberikan oleh PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Distributor Tupperware Terhadap Konsumen ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98


(11)

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... i

LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Tanda Riset 2. Hasil Wawancara

3. Formulir Pendaftaran Konsultan Baru Tupperware Indonesia 4. Kuesioner Keluhan Konsumen


(12)

ABSTRAK

Novia Utami*) M. Husni, S.H.,M.Hum**) Dr. Dedi Harianto, S.H.,M.Hum***)

Salah satu strategi pemasaran yang sangat marak di dunia saat ini adalah pemasaran melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Dalam proses perkembangannya, bisnis Multi Level Marketing di Indonesia tidak berjalan mulus karena banyak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi konsumen, kemudian menyebabkan konsumen tidak percaya pada bisnis Multi Level Marketing ini. Oleh karenanya, konsumen sangat menuntut untuk diberikan suatu bentuk perlindungan hukum dari perusahaan yang menjalankan bisnis Multi Level Marketing ini.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah adalah penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan penelitian yuridis empiris yaitu dengan melakukan penelitian di PT Kartika Swarna Dwipa selaku kantor distributor Tupperware di Medan.

Kesimpulan menunjukkan bahwa mekanisme transaksi jual beli dalam perusahaan Tupperware melalui tiga tahap transaksi konsumen, yaitu Tahap Pra-Transaksi Konsumen, Tahap Pra-Transaksi Konsumen, dan Tahap Purna-Pra-Transaksi Konsumen . Keluhan-keluhan yang sering terjadi di perusahaan Tupperware adalah mengenai keterlambatan pendistribusian barang karena perubahan sistem dari pusat serta kualitas produk yang dihasilkan Tupperware. Perusahaan Tupperware, dalam menjalankan bisnisnya, memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada para konsumennya berupa garansi seumur hidup apabila produk/barang Tupperware tersebut rusak selama pemakaian normal (bukan karena digigit tikus, disayat, maupun sengaja dipecahkan). Untuk melakukan claim ganti rugi, konsumen dapat langsung membawa barang yang rusak ke divisi barang rusak, kemudian akan diganti dengan barang baru. Selama menjalankan bisnisnya, perusahaan distributor Tupperware (PT Kartika Swarna Dwipa) belum pernah mengalami sengketa yang besar, melainkan hanya pernah terjadi kesalahpahaman antara staff dengan konsumen, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak perusahaan Tupperware dengan pihak konsumen. Apabila terjadi sengketa, maka pihak perusahaan Tupperware dan konsumen akan menyelesaikannya melalui penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, yaitu dengan cara melakukan negosiasi.

Kata kunci : Multi Level Marketing, Konsumen, Perlindungan Hukum.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. **)

Dosen Pembimbing I. ***)


(13)

ABSTRAK

Novia Utami*) M. Husni, S.H.,M.Hum**) Dr. Dedi Harianto, S.H.,M.Hum***)

Salah satu strategi pemasaran yang sangat marak di dunia saat ini adalah pemasaran melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Dalam proses perkembangannya, bisnis Multi Level Marketing di Indonesia tidak berjalan mulus karena banyak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi konsumen, kemudian menyebabkan konsumen tidak percaya pada bisnis Multi Level Marketing ini. Oleh karenanya, konsumen sangat menuntut untuk diberikan suatu bentuk perlindungan hukum dari perusahaan yang menjalankan bisnis Multi Level Marketing ini.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah adalah penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan penelitian yuridis empiris yaitu dengan melakukan penelitian di PT Kartika Swarna Dwipa selaku kantor distributor Tupperware di Medan.

Kesimpulan menunjukkan bahwa mekanisme transaksi jual beli dalam perusahaan Tupperware melalui tiga tahap transaksi konsumen, yaitu Tahap Pra-Transaksi Konsumen, Tahap Pra-Transaksi Konsumen, dan Tahap Purna-Pra-Transaksi Konsumen . Keluhan-keluhan yang sering terjadi di perusahaan Tupperware adalah mengenai keterlambatan pendistribusian barang karena perubahan sistem dari pusat serta kualitas produk yang dihasilkan Tupperware. Perusahaan Tupperware, dalam menjalankan bisnisnya, memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada para konsumennya berupa garansi seumur hidup apabila produk/barang Tupperware tersebut rusak selama pemakaian normal (bukan karena digigit tikus, disayat, maupun sengaja dipecahkan). Untuk melakukan claim ganti rugi, konsumen dapat langsung membawa barang yang rusak ke divisi barang rusak, kemudian akan diganti dengan barang baru. Selama menjalankan bisnisnya, perusahaan distributor Tupperware (PT Kartika Swarna Dwipa) belum pernah mengalami sengketa yang besar, melainkan hanya pernah terjadi kesalahpahaman antara staff dengan konsumen, namun tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak perusahaan Tupperware dengan pihak konsumen. Apabila terjadi sengketa, maka pihak perusahaan Tupperware dan konsumen akan menyelesaikannya melalui penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, yaitu dengan cara melakukan negosiasi.

Kata kunci : Multi Level Marketing, Konsumen, Perlindungan Hukum.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. **)

Dosen Pembimbing I. ***)


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi perdagangan merupakan suatu proses kegiatan perdagangan, dimana terjadi perluasan pasar di negara-negara di seluruh dunia tanpa adanya rintangan batas wilayah negara. Globalisasi perdagangan menghapuskan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang, dan jasa. Ketika globalisasi perdagangan terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat.

Dalam situasi ekonomi global menuju era perdagangan bebas serta seiring dengan persaingan usaha yang semakin ketat, setiap produsen atau perusahaan penghasil barang dan jasa sangat berupaya untuk mempertahankan konsumen atau pelanggannya, serta mempertahankan pasar atau untuk memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas. Situasi ekonomi global ini juga menyebabkan setiap produsen sangat berjuang untuk membawa perusahaannya menuju pemasaran global.

Orientasi pemasaran global pada dasarnya dapat merubah berbagai konsep, cara pandang, dan cara pendekatan mengenai banyak hal, termasuk strategi pemasaran, dimana kegiatan pemasaran merupakan salah satu kegiatan perusahaan yang paling penting. Pemasaran dapat dipandang sebagai tugas untuk menciptakan, memperkenalkan, dan menyerahkan produk kepada pelanggan. Pemasaran sering juga disebut sebagai seni menjual produk atau the art of selling


(15)

products. Pemasaran merupakan fungsi atau kegiatan dari perusahaan, dimana perusahaan tersebut langsung berhubungan dengan lingkungan eksternal. Karena pemasaran memiliki peranan penting dalam kelangsungan hidup perusahaan, maka pemasar perlu mengembangkan suatu strategi dalam melakukan kegiatan pemasaran tersebut.

Konsep-konsep pemasaran dipandang dari strategi pemasaran global telah berubah dari waktu ke waktu, sebagaimana tahapan berikut :2

1. Konsep pemasaran pada awalnya adalah memfokuskan pada produk yang lebih baik yang berdasarkan pada standar dan nilai internal. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh laba, dengan menjual atau membujuk pelanggan potensial untuk menukar uangnya dengan produk perusahaan.

2. Pada dekade enam puluhan, fokus pemasaran dialihkan dari produk kepada pelanggan. Sasaran masih tetap pada laba, tetapi cara pencapaian menjadi luas, yaitu dengan pembaruan pemasaran marketing mix atau

product, price, promotion, and place (4P), yaitu produk, harga, promosi, dan saluran distribusi.

3. Sebagai konsep baru pemasaran, dengan pembaruan dari konsep pemasaran menjadi konsep strategi. Konsep strategi pemasaran pada dasarnya mengubah fokus pemasaran dari pelanggan atau produk kepada pelanggan dalam konteks lingkungan eksternal yang lebih luas. Di samping itu juga terjadi perubahan pada tujuan pemasaran, yaitu dari laba menjadi keuntungan pihak yang berkepentingan (yaitu orang perorangan atau kelompok yang mempunyai kepentingan dalam kegiatan perusahaan termasuk di dalamnya karyawan, manajemen, pelanggan, masyarakat, dan negara). Untuk itu harus memanfaatkan pelanggan yang ada termasuk pesaing, kebijakan yang berlaku, peraturan pemerintah serta kekuatan makro, ekonomi, sosial, politik secara luas.

Salah satu strategi pemasaran yang sangat marak di dunia saat ini adalah pemasaran melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Menurut data Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), sampai pada tahun 2014 ini, ada 83

2

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 6-7.


(16)

3

(delapan puluh tiga) perusahaan Multi Level Marketing yang tergabung menjadi anggota APLI. Belum lagi masih ada ratusan perusahaan Multi Level Marketing

yang belum dan tidak terdaftar sebagai anggota APLI. Pada umumnya, perusahaan yang tidak terdaftar sebagai anggota APLI merupakan perusahaan yang hanya berkedok Multi Level Marketing, dimana dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan ini cenderung tidak bertanggungjawab.3

Sejak masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 80-an (delapan puluhan), jaringan bisnis penjualan langsung (direct selling) Multi Level Marketing terus marak dan tumbuh subur, dan bertambah merebak lagi setelah adanya krisis moneter dan ekonomi.4 Salah satu dampak krisis ekonomi adalah terjadinya kesulitan likuiditas perusahaan dan adanya penurunan daya beli masyarakat sebagai konsumen.5

Krisis ekonomi juga mengakibatkan kegiatan distribusi dan promosi terganggu karena biayanya menjadi lebih tinggi. Dalam kondisi krisis ekonomi ini, upaya perusahaan antara lain adalah melakukan efisiensi termasuk efisiensi dalam kegiatan distribusi dan periklanan, serta berusaha menjaga agar tetap dekat dengan konsumen. Untuk dapat menjalankan kedua fungsi tersebut, salah satu

3 Henny Sekartati, ”Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Melalui

Multi Level Marketing (Studi Kasus Pada Perusahaan MLM Elken)”, Skripsi, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007), hal. 3.

4

Alvhy Cliquers Mion, MLM Dalam Pandangan Islam, (http://www.scribd.com/doc/147290997/MLM-Dalam-Pandangan-Islam),diakses pada tanggal 2 Desember 2014.

5 Heri Sudarsono, “Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perbankan di Indonesia :

Perbandingan Antara Bank Konvensional dan Bank Syariah”, La-Riba Jurnal Ekonomi Islam, Volume III, Nomor 1 (Juli, 2009), hal. 12-13.


(17)

alternatif strategi yang dapat digunakan oleh perusahaan adalah melakukan kegiatan pemasaran dengan sistem Multi Level Marketing.

Multi Level Marketing biasa disebut juga dengan Network Marketing atau

Direct Selling atau Pemasaran Berjenjang. Multi Level Marketing ini merupakan suatu cara atau metode yang dirancang oleh perusahaan untuk menawarkan suatu produk dan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan, dengan jalan melaksanakan penjualan secara langsung kepada konsumen melalui suatu jaringan yang dikembangkan oleh para distributor lepas.6

Tugas utama para distributor pada perusahaan Multi Level Marketing

relatif sederhana yaitu menjual produk secara langsung kepada konsumen dan mencari teman atau anggota baru agar ikut bergabung dan memasarkan produk-produk perusahaan. Untuk dapat meraih kesuksesan dalam sistem ini, setiap distributor harus bekerja keras menjual produk-produk perusahaan kepada konsumen dan mencari mitra kerja untuk melakukan hal yang sama sebanyak-banyaknya, sehingga mereka dapat mempunyai jaringan yang luas.7

Dalam proses perkembangannya, bisnis Multi Level Marketing di Indonesia tidak berjalan dengan mulus. Hal ini dikarenakan bisnis Multi Level Marketing ini banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak atau orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari konsumen, sehingga mengakibatkan kerugian bagi para konsumen.

6 Hermawan Kartajaya, “Menjaga MLM Tetap Berjaya”

, Jurnal Swasembada, Volume XIV, Nomor 13 (25 Juni-8 Juli, 1998), hal. 66.

7

Oktavianus Yudistira Nyotoprabowo, The Biggest Secret To Success In MLM Finally Revealed, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 11.


(18)

5

Oleh karena produsen atau pelaku usaha lebih mengetahui dengan jelas sifat dan keadaan barang yang dihasilkannya mulai dari proses produksi hingga pada proses pemasokannya ke dalam pasar, maka produsen atau pelaku usaha wajib bertanggungjawab apabila terjadi sesuatu pada produk yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen (product liability). Konsumen tidak seharusnya menjadi korban untuk dirugikan oleh para produsen, karena pada dasarnya pihak produsen atau pelaku usaha memiliki suatu kewajiban untuk selalu berhati-hati dalam memproduksi barang atau jasa. Selama pihak produsen atau pelaku usaha menerapkan perilaku hati-hati tersebut, maka mereka tidak akan menghasilkan produk-produk yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak konsumen (Caveat Venditor).8

Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan antara perusahaan penghasil barang atau jasa, atau produsen dengan pihak pemakai barang atau jasa (dalam hal ini adalah pemakai akhir dari suatu barang atau jasa), atau konsumen yang bersifat terus menerus dan berkesinambungan, dimana kedua belah pihak memiliki rasa saling membutuhkan dan mempunyai ketergantungan yang tinggi antara satu pihak dengan pihak lainnya. Dari rasa saling membutuhkan dan saling ketergantungan tersebut, maka timbullah hubungan hukum berupa perjanjian9 (dalam hal ini adalah jual beli10) antara pihak produsen dan konsumen tersebut.

8

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), hal. 15.

9

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

10


(19)

Di dalam hubungan hukum antara pihak produsen dengan pihak konsumen tersebut, terdapat hubungan yang bersifat saling menguntungkan, dimana produsen akan mendapat keuntungan apabila konsumen menggunakan barang atau jasa yang dihasilkannya, dan konsumen juga akan mendapatkan keuntungan bahwa dengan barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun di sisi lain, hubungan tersebut juga dapat menimbulkan kerugian pada konsumen apabila terjadi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum11 yang dilakukan oleh pihak produsen.

Hubungan hukum berupa perjanjian (jual beli) yang dilakukan antara pihak produsen dan konsumen tersebut tidak selamanya dapat berjalan dengan mulus, dalam arti tidak selamanya masing-masing pihak akan merasa puas, terlebih jika pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan sebelumnya.12 Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak produsen dikatakan melakukan wanprestasi, yaitu kelalaian untuk memenuhi syarat-syarat yang telah tercantum di dalam perjanjian. Dengan kata lain, wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi suatu prestasi (menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi dari suatu perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu).

Wanprestasi bisa saja terjadi dalam bisnis Multi Level Marketing, seperti yang terjadi di dalam perusahaan Tupperware, dimana terdapat beberapa konsumen yang mengeluhkan mengenai keterlambatan pendistribusian barang

11

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

12

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 1-2.


(20)

7

dari pusat ke daerah, yang membuat konsumen cemas menanti dan mempertanyakan apakah barang yang dipesan telah dikirim atau belum dikirim, dan apakah barang tersebut benar-benar akan dikirim ataukah konsumen telah ditipu oleh sang agen. Selain keterlambatan pendistribusian barang, terdapat pula konsumen yang mengeluhkan bahwa dari produk/barang Tupperware yang dibelinya, terjadi ketidaksesuaian ukuran tutup wadah dengan wadahnya13.

Di samping wanprestasi, kerugian konsumen juga dapat disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum, dimana banyak terjadi penjualan produk-produk Tupperware melalui internet atau online shop dari orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai agen atau distributor Tupperware, namun ternyata setelah pemesanan dan pembayaran, barang yang dipesan tidak pernah dikirim ke konsumen.

Kerugian-kerugian tersebutlah yang menyebabkan masyarakat Indonesia sebagai konsumen merasa tertipu dan tidak percaya pada bisnis Multi Level Marketing ini. Masyarakat merasa hak-hak mereka sebagai seorang konsumen telah dilanggar dan diabaikan oleh pihak produsen.

Akibatnya, timbul banyak pertanyaan dari masyarakat mengenai bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh perusahaan penghasil barang dan jasa yang menggunakan sistem pemasaran Multi Level Marketing kepada konsumen menyangkut barang-barang yang dihasilkannya. Timbulnya pertanyaan tersebut dikarenakan masyarakat sangat mengharapkan adanya suatu perlindungan hukum untuk melindungi hak-hak mereka sebagai konsumen dan mendapatkan

13

Berdasarkan hasil tanya jawab dengan Ibu Jet Fun, salah seorang agen Tupperware, pada tanggal 9 Februari 2015.


(21)

kepastian hukum atas barang-barang yang telah dibeli dari perusahaan Multi Level Marketing tersebut agar mereka tidak selalu dirugikan oleh pihak produsen.

Oleh karena permasalahan-permasalahan yang dikemukakan di atas, maka

dibuatlah penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing Pada PT Kartika Swarna Dwipa (Kantor Distributor Tupperware) untuk membahas lebih lanjut mengenai tindakan perusahaan Multi Level Marketing dalam memberikan perlindungan hukum terhadap para konsumennya agar konsumen merasa aman dan percaya untuk menggunakan produk-produk dari perusahaan Multi Level Marketing tersebut.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian singkat yang telah dikemukakan diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana mekanisme transaksi melalui Multi Level Marketing pada PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Kantor Distributor Tupperware?

2. Apa sajakah masalah yang sering dikeluhkan oleh konsumen mengenai produk-produk yang dihasilkan oleh Perusahaan Tupperware pada PT Kartika Swarna Dwipa?

3. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Kantor Distributor Tupperware terhadap konsumennya?


(22)

9

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana mekanisme transaksi melalui

Multi Level Marketing pada PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Kantor Distributor Tupperware.

2. Untuk mengetahui masalah apa saja yang sering dikeluhkan oleh konsumen mengenai produk-produk yang dihasilkan oleh Perusahaan Tupperware pada PT Kartika Swarna Dwipa.

3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Kantor Distributor Tupperware terhadap konsumennya.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi penyempurnaan peraturan di bidang perlindungan konsumen, khususnya berkaitan dengan transaksi jual beli melalui sistem

Multi Level Marketing. Selain itu, hasil penelitian ini juga akan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang perlindungan konsumen pada umumnya, dan mekanisme transaksi dalam sistem Multi Level Marketing,


(23)

serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI), Badan Legislatif, dan Pemerintah dalam menata Peraturan Perlindungan Konsumen serta peraturan yang berkaitan dengan sistem pemasaran Multi Level Marketing

di Indonesia, juga bagi pelaku usaha dan masyarakat umum mengenai berbagai problema yang dihadapi dalam bisnis Multi Level Marketing.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi :

1. Jenis dan Metode Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini, jenis penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang mengacu kepada norma yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan, kitab hukum, putusan pengadilan, dan lain sebagainya (penelitian terhadap data sekunder).14 Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari sumber pertama, antara lain : dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan

14

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,


(24)

11

seterusnya.15 Data sekunder penting kedudukannya dalam skripsi ini sebagai sumber pertama dan didapat melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur terkait. Metode pendekatan yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analitis. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan maksud utama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar mampu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.16 Dengan metode deskriptif analitis artinya skripsi ini tidak hanya mengkaji data secara lengkap tetapi juga menganalisis data tersebut dengan gejala-gejala yang diteliti, apakah gejala tersebut sesuai atau tidak dengan data umum yang disajikan.

2. Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder (data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber utama). Ciri-ciri dari data sekunder, adalah:17

a. pada data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera;

b. baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidakmempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisa, maupun konstruksi data.

15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986), hal. 12.

16Ibid.

, hal. 10.

17Ibid,.


(25)

Lebih rinci data sekunder berupa data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, kamus, dan data lain yang terdiri atas :18

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Norma atau kaedah dasar, seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri. Dalam skripsi ini, bahan hukum primer meliputi : Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73/MPP/KEP/3/2000 Tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang, dan lain sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Berkaitan dengan skripsi ini, maka bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, jurnal hukum, karangan ilmiah, data resmi pemerintah tentang Perlindungan Konsumen, Multi Level Marketing, Tupperware, dan lain sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, bahan dari internet, dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, meliputi Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Ensiklopedia, dan lain sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode Studi Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus yang berkaitan dengan judul skripsi yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan penganalisaan masalah-masalah yang dihadapi.19 Adapun metode lain

18

Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit., hal. 24-25.

19Ibid.,


(26)

13

yang digunakan selain Library Research yaitu Studi Lapangan (Field Research), artinya dengan mencari dan mempelajari data melalui wawancara dari seseorang (informan), yaitu seorang karyawan dari PT Kartika Swarna Dwipa, yang memang mengetahui tentang gejala yang diteliti maupun dengan observasi di lapangan tempat gejala yang diteliti berada. Pengertian informan adalah orang yang memberikan informasi mengenai sikap, tindakan, persepsi, tanggapan atau segala sesuatu tentang orang lain yang memiliki hubungan tertentu dengan dirinya. Wawancara yang dilakukan pada seorang informan dapat berbentuk wawancara terstruktur maupun tidak terstruktur tergantung pada kemampuan yang meneliti. Oleh karena itu, di dalam Field Research, sarana utama yang dipakai adalah cara Field Interview dan/atau Field Observation.20

4. Analisis Data

Pada umumnya, dalam penelitian-penelitian sosial dikenal dua macam analisis data, yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Dalam skripsi ini, riset yang dilakukan bersifat deskriptif dan tidak menggunakan data dalam bentuk angka-angka, dengan kata lain penelitian ini bersifat kualitatif. Oleh karena itu, terhadap data-data yang telah terkumpul, digunakan analisis data kualitatif yaitu pengumpulan data-data primer melalui pengamatan dan wawancara, untuk kemudian dikaitkan dengan data sekunder maupun data lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

20

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 87.


(27)

5. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan dalam skripsi ini akan ditarik dengan metode deduktif. Artinya, cara penarikan kesimpulan yang dilakukan akan dibahas terlebih dahulu tentang data-data secara umum yang sudah diketahui, diyakini, dan dikumpulkan secara lengkap, kemudian, melalui data atau gejala umum ini akan dibandingkan serta dianalisis dengan data-data dan gejala-gejala yang diteliti dalam lapangan yang bersifat khusus21. Dengan begitu, kesimpulan dapat didapat berupa apakah data atau gejala di lapangan sesuai atau tidak sesuai dengan data yang yang bersifat umum yang diyakini tersebut.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing pada PT Kartika

Swarna Dwipa (Kantor Distributor Tupperware)” merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan oleh karena itu, sudah seharusnya bahwa penulisan skripsi ini didasarkan pada ide dan pemikiran secara pribadi, terlepas dari segala bentuk peniruan (plagiat).

Sepanjang yang diketahui, berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara jurusan Perdata BW, penulisan skripsi dengan judul yang disebutkan di atas

21

Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 23.


(28)

15

belum pernah dilakukan pada perusahaan Multi Level Marketing yang sama. Namun, terdapat beberapa skripsi yang telah mengulas masalah perlindungan konsumen dalam transaksi Multi Level Marketing, misalnya “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (Studi

Kasus pada Perusahaan MLM Elken)” oleh Henny Sekartati (NIM : 030200121),

“Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Melalui Multi Level Marketing (Studi Kasus pada Perusahaan MLM Sophie Martin)” oleh Rika Sugesti Mandalani (NIM : 000200156), serta “Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha dalam Multi Level Marketing Atas Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Riset pada Perusahaan MLM Syariah Ahad-Net Mitra Salur Sut 06)” oleh Amalia Sari (NIM : 010200082).

Berdasarkan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, dapat dipastikan bahwa permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini akan berbeda dengan skripsi yang diatas.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, sistem penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab dan masing-masing bab dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian sesuai kepentingan penulisan.

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika Penulisan.


(29)

Bab II mengenai Tinjauan Umum Mengenai Perlindungan Konsumen, dalam bab ini menguraikan tentang Pengertian, Pengaturan, serta Subjek Hukum Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban dari Konsumen serta Pelaku Usaha, Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen, serta Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen.

Bab III mengenai Multi Level Marketing Sebagai Bentuk Kegiatan Bisnis, dalam bab ini menguraikan tentang Pengertian Multi Level Marketing, Jenis-Jenis

Multi Level Marketing, Sistem Kerja Multi Level Marketing, serta Keunggulan dan Kelemahan Multi Level Marketing.

Bab IV mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing, dalam bab ini menguraikan tentang Mekanisme Transaksi Multi Level Marketing pada PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Kantor Distributor Tupperware, Keluhan Konsumen Terkait Produk-Produk yang dihasilkan oleh Perusahaan Tupperware pada PT Kartika Swarna Dwipa, serta Bentuk Perlindungan Hukum yang diberikan oleh PT Kartika Swarna Dwipa sebagai Kantor Distributor Tupperware Terhadap Konsumen.

Bab V membahas Kesimpulan dari bab-bab yang ada sebelumnya dan Saran yang mungkin dapat berguna dan dipergunakan untuk menyempurnakan skripsi ini.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian dan Pengaturan Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan istilah yang seringkali disamaartikan. Ada yang beranggapan bahwa hukum konsumen adalah juga hukum perlindungan konsumen. Namun ada pula yang membedakannya, dengan berpendapat bahwa baik mengenai substansi maupun mengenai penekanan luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain.

M. J. Leder menyatakan bahwa “In a sense there is no such creature as

consumer law”.22 Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni “….rules of law which recognize the bargaining weakness of the

individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”.23 Karena konsumen berada pada posisi yang lemah, maka konsumen harus dilindungi oleh hukum, yang sifat dan tujuannya adalah memberikan perlindungan atau pengayoman terhadap masyarakat. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit untuk dipisahkan dan ditarik batasannya.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution, misalnya, berpendapat bahwa “hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah

22

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 9.

23


(31)

bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.” Adapun, menurut Az. Nasution, yang dimaksud dengan hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”24 Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikannya sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”25

Selanjutnya, Az. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tidak tertulis maupun tertulis, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi negara, dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.26

Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Az. Nasution berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat memaksa, tetapi memberikan perlindungan kepada konsumen tidak termasuk dalam hukum perlindungan

24

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Daya Widya, 1999), hal. 23.

25Ibid

.

26

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 13.


(32)

19

konsumen?27 Untuk jelasnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini :

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli : (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.

Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan konsumen.

Artinya, inti persoalannya bukan terletak pada kaidah yang harus “mengatur” atau “memaksa”. Dengan demikian, seharusnya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungan, misalnya bagaimana cara konsumen untuk mempertahankan hak-hak yang dimilikinya terhadap gangguan dari pihak-hak lain.

2. Pengaturan Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti tersebut, barulah perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh keyakinan.

Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan

27Ibid


(33)

barang dan jasa. Ada pula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang dikarenakan dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang dan jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan. Serta, ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam hukum perdata karena hubungan antara konsumen dan produsen atau pelaku usaha dalam aspek pemenuhan barang dan jasa merupakan hubungan hukum perdata.28

Terlepas dari klaim penggolongan cabang-cabang hukum diatas, pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. Rancangan Undang-Undang ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999.

Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang tersebut, maka perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dalam Undang-Undang tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ini disebutkan mengenai

pengertian perlindungan konsumen bahwa “Perlindungan Konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui Undang-Undang khusus, memberikan harapan

28

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 19.


(34)

21

agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, upaya perlindungan terhadap konsumen kurang dirasakan oleh masyarakat karena disamping tersebarnya ketentuan perlindungan konsumen dalam berbagai peraturan perundang-undangan, pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut memang belum dirasakan oleh masyarakat sebagai perlindungan terhadap konsumen, sebagai contoh adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang yang memberikan perlindungan konsumen sejak tahun 1961, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Barang, serta disusul dengan berbagai Undang-Undang lainnya.29

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum yang lainnya, konsumen mempunyai hak serta posisi yang berimbang, dimana mereka bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha, dan dengan diundangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.30 Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di Tanah Air.

29

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 68.

30


(35)

3. Subjek Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum dibuat untuk manusia, dimana kaidah-kaidahnya yang berisi perintah dan larangan itu ditujukan kepada anggota-anggota masyarakat. Hukum itu mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat, antara subjek hukum. Adapun subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum31. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum adalah manusia (persoon). Jadi, manusia oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban atau disebut subjek hukum atau sebagai orang. Pada dasarnya, subjek hukum terdiri atas manusia dan badan hukum.32

Setiap manusia, tanpa terkecuali, selama hidupnya, sejak dilahirkan sampai meninggal dunia adalah subjek hukum, atau pendukung hak dan kewajiban. Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum, misalnya mengadakan persetujuan-persetujuan, melakukan perkawinan, membuat testament, dan memberikan hibah.33

Dalam perlindungan konsumen, dapat ditemui dua pihak yang berlaku sebagai subjek dari hukum perlindungan konsumen, terdiri dari pihak pembuat atau penghasil suatu barang dan/atau jasa, yang disebut dengan produsen, serta pihak yang membutuhkan sesuatu barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh produsen, yang disebut konsumen.

31

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), hal. 73.

32

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 120.


(36)

23

Baik produsen maupun konsumen berada dalam hubungan yang mutlak bersifat interdependen, dimana produsen membutuhkan konsumen sebagai pihak yang menerima atau membutuhkan barang dan/atau jasa yang dihasilkannya, dan sebaliknya, konsumen membutuhkan produsen untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya.

a. Konsumen

Kata konsumen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yakni “consumer”, atau dalam bahasa Belanda “consument”, “konsument”. Konsumen secara harafiah adalah orang yang memerlukan, membelanjakan, atau menggunakan; pemakai atau pembutuh.34 Pengertian tentang konsumen secara yuridis telah diletakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Konsumen atau pemakai/pengguna barang dan/atau jasa terdiri atas 2 (dua) kelompok, yakni :35

1) pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) dengan tujuan memproduksi (membuat) barang dan/atau jasa lain, atau mendapatkan barang dan/atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial), yang disebut sebagai konsumen antara, dan

2) pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangganya (untuk tujuan non komersial), yang disebut sebagai konsumen akhir.

34

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), hal. 22-23.

35


(37)

Dari pengelompokan pemakai/pengguna barang dan/atau jasa tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat 2 (dua) kategori konsumen yang dalam literatur ekonomi modern dikenal dengan 2 (dua) istilah, yaitu :36

1) Derived Buyer atau derived consumer atau consumer of industrial market

atau intermediate consumer, yaitu konsumen (pemakai atau pengguna) barang dan/atau jasa dengan tujuan memproduksi barang dan/atau jasa lain. Konsumen mendapatkan barang dan/atau jasa bertujuan komersil dengan menjual kembali barang dan/atau jasa tersebut. Barang dan/atau

jasa keperluan usahanya didapatkan dari „pasar industri‟ (industrial market) yang disebut juga sebagai „pasar produsen‟ (producer market)

dimana seseorang atau suatu organisasi (konsumen pasar produsen) mendapatkan barang dan/atau jasa yang dia butuhkan untuk menjalankan kegiatan usahanya.

2) Ultimate consumer atau final consumer atau end user, yaitu konsumen (pemakai atau pengguna) barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen mendapatkan barang dan/atau jasa bertujuan non komersial atau sebagai konsumen akhir dari „pasar

konsumen‟ (consumer market) yang pada umumnya mengedarkan produk konsumen.

Kategori kedua diatas telah diadopsi menjadi pengertian konsumen secara yuridis formal yang dituangkan pada Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yaitu “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Selanjutnya pada Bab Penjelasan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa:

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhirdari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan

36Ibid


(38)

25

suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir. Dari uraian pengertian konsumen diatas, maka selanjutnya dapat ditarik dua pembagian pengertian konsumen, yaitu dalam arti luas yang mencakup dua kriteria konsumen (konsumen antara dan konsumen akhir), dan pengertian konsumen dalam arti sempit, yaitu hanya mengacu pada konsumen akhir (end consumer). Diantara dua jenis atau kategori konsumen tersebut, yang dilindungi di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanyalah konsumen akhir (end consumer).

b. Pelaku Usaha

Mengenai pengertian pelaku usaha, menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut :

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Selanjutnya pada Bab Penjelasan tentang Pasal 1 Angka 3

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa “Pelaku usaha yang termasuk

dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.”

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang


(39)

Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa, terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku, pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan cara mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakannya dengan produk asli, pada produk tertentu;importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.37

Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.38

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen untuk menuntut ganti rugi. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak akan begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan dapat diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik apabila Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam Directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi

37

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 8-9.

38Ibid


(40)

27

untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.39

Di dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa :

1) produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang, dan setiap orang yang memasang nama, mereknya, atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

2) tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk

leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti

Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

3) dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku pada kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat 2, sekalipun nama produsen dicantumkan.

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan. Urutan kedua, yaitu apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri. Urutan terakhir, yaitu apabila produsen maupun

39Ibid


(41)

importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. 40

Urutan-urutan diatas hanya berlaku apabila suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena ada kemungkinan produk mengalami cacat di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.

B. Hak dan Kewajiban dari Konsumen serta Pelaku Usaha

Hak merupakan sesuatu yang patut diterima setelah melakukan suatu hal atau kewajiban tertentu, dimana apabila setelah melakukan kewajiban namun hak tidak diberikan, maka boleh dituntut secara paksa agar hak tersebut diberikan. Sebelum memperoleh hak, ada suatu perbuatan yang harus dilakukan terlebih dahulu, yang dinamakan dengan kewajiban. Kewajiban merupakan sesuatu yang harus atau wajib untuk dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh hak.

Dalam hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha juga terdapat hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pihak, seperti contohnya, konsumen berhak memperoleh barang dan/atau jasa yang ingin ia dapatkan setelah memenuhi kewajibannya untuk membayar kepada pelaku usaha atas barang dan/atau jasa tersebut. Sebaliknya, pelaku usaha juga memiliki hak untuk menerima pembayaran dari konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya setelah memenuhi kewajibannya untuk memberikan barang dan/atau jasa yang diinginkan konsumen. Berikut ini pembahasan selengkapnya mengenai hak dan kewajiban dari konsumen serta pelaku usaha.

40Ibid


(42)

29

1. Hak dan Kewajiban dari Konsumen

Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar masyarakat bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya adalah apabila terjadi suatu tindakan yang tidak adil terhadapnya, maka secara spontan ia akan dapat menyadari hal tersebut lalu segera mengambil tindakan untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya akan berdiam diri ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak-hak yang dimiliki oleh konsumen adalah sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa;

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


(43)

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat, pada tanggal 15 Maret 1962, melalui pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Serikat yang berjudul “Special Message for the Protection of the Consumer Interest”41 atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen”

(Declaration of Consumer Right).

Bob Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi tersebut menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer basic rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut :42

a. Hak untuk Mendapat atau Memperoleh Keamanan atau The Right To Be Secured

Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/jasa yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk makanan atau minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatannya. Artinya, produk makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia. Di Amerika Serikat, hak ini merupakan hak tertua yang tidak kontroversial karena didukung oleh masyarakat ekonomi.

b. Hak untuk Memperoleh Informasi atau The Right To Be Informed

Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif tentang suatu produk barang/jasa yang dibeli atau dikonsumsi. Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa mengetahui bagaimana kondisi barang/jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi. Jika suatu saat ada resiko negatif dari barang/jasa yang telah dikonsumsinya, konsumen telah mengetahui hal tersebut sebelumnya. Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari mengonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label atau kemasan produk.

41

Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan yang Menyesatkan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 11.

42

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 24-25.


(44)

31

c. Hak untuk Memilih atau The Right To Choose

Setiap konsumen berhak memilih produk barang/jasa dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak-haknya. Ia harus dalam keadaan atau kondisi yang bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barang/jasa yang akan ia konsumsi. d. Hak untuk Didengarkan atau The Right To Be Heard

Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan hak-hak konsumen.

Empat hak dasar sebagaimana disampaikan oleh Presiden Amerika, John F. Kennedy tersebut memberikan pemikiran baru tentang perlindungan hak-hak konsumen. Empat dasar tersebut sering digunakan dalam merumuskan hak-hak dan perlindungan konsumen.43

Setelah itu, pembicaraan tentang perlindungan konsumen mulai sering didengungkan di berbagai forum internasional. Perhatian dunia internasional tertuju pada Kongres ke-7 (ketujuh) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang meminta agar masyarakat internasional memperhatikan masalah-masalah yang berhubungan antara lain dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat(public health) serta pelanggaran terhadap ketentuan atau persyaratan barang dan jasa bagi konsumen (offences against the provisions of goods and services to consumers).44

Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Konsumen (Guideliness for Consumer Protrction) juga

43Ibid

., hal. 25.

44Ibid


(45)

merumuskan beberapa aspek penting yang merupakan bagian penting dalam perlindungan kepentingan konsumen yang perlu diperhatikan, yaitu :45

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Masyarakat Eropa (European Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen, yaitu Hak Perlindungan Kesehatan dan Keamanan, Hak Perlindungan Kepentingan Ekonomi, Hak Mendapat Ganti Rugi, Hak Atas Penerangan, Hak Untuk Didengar. 46

Berdasarkan beberapa uraian mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, terdapat beberapa hak yang sering disebutkan dan merupakan hak yang penting bagi konsumen, yaitu hak untuk memperoleh jaminan atas keamanan dan kesehatan dari penggunaan barang atau produk yang dijual oleh pelaku usaha, dimana hal ini berkaitan dengan hak konsumen yang lain, yaitu hak untuk memperoleh informasi yang jelas dan memadai mengenai tata cara penggunaan barang atau produk tersebut. Selain informasi yang jelas dan memadai, konsumen juga perlu diberikan pembinaan atau pendidikan agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan barang atau produk tersebut.

45Ibid

., hal. 26.

46Ibid


(46)

33

Hak selanjutnya yang paling dibutuhkan oleh konsumen adalah hak untuk didengarkan keluhan atau klaimnya serta mendapatkan tindakan perlindungan hukum atas keluhan atau klaimnya tersebut, dimana pihak pelaku usaha harus memberikan kompensasi, ganti rugi, ataupun penggantian terhadap produk atau barang tersebut apabila produk atau barang tersebut tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha kepada konsumen, karena hal tersebut dapat menyebabkan kerugian pada konsumen.

Untuk itu, sangatlah penting dan perlu bagi konsumen untuk memperhatikan hal-hal yang harus diperjuangkan apabila hak-haknya dilanggar. Seorang konsumen harusnya tidak hanya tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa ketika hak-hak yang ia miliki jelas-jelas dilanggar oleh pelaku usaha.

Selain memiliki hak, konsumen juga memiliki kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa kewajiban konsumen adalah sebagai berikut :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa


(47)

mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan asalkan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku.

Kewajiban-kewajiban tersebut haruslah dilakukan oleh konsumen, sebab hal-hal tersebut sangatlah berguna bagi konsumen agar konsumen dapat selalu berhati-hati ketika melakukan transaksi ekonomi dan hubungan perdagangan. Dengan cara seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan menghampirinya. Untuk itu, memperhatikan kewajiban-kewajiban konsumen sama pentingnya dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen.

2. Hak dan Kewajiban dari Pelaku Usaha

Sama halnya dengan konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajibannya tersendiri. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;


(48)

35

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.47

Menyangkut hak pelaku usaha yang disebutkan dalam huruf b, c, dan d, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan terhadap konsumen tidak dilakukan secara berlebihan sehingga tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha.48

Mengenai hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yang dimaksud adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Perbankan, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

Selain memiliki hak, pelaku usaha juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakannya. Adapun kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

47

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 50-51.

48Ibid


(49)

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan melakukan itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen atau pelaku usaha, sedangkan


(50)

37

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.49

Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha, yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, karena informasi merupakan hak dari konsumen. Apabila pelaku usaha memberikan informasi atau penjelasan yang kurang memadai kepada konsumen, maka hal tersebut merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang dapat merugikan konsumen.50

Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan hal yang wajib dilakukan oleh pelaku usaha agar produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut tidak dianggap cacat karena ketiadaan informasi maupun informasi yang kurang. Sebaliknya, konsumen juga memiliki kewajiban untuk membaca lalu mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dari suatu produk agar konsumen dapat memakai atau memanfaatkannya secara baik dan benar demi keamanan konsumen.

C. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata „asas‟ diartikan sebagai dasar (sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat); dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi); hukum dasar.

49Ibid.,

hal. 54.

50Ibid


(1)

6. Bagaimanakah mekanisme transaksi jual beli dalam perusahaan Tupperware ini?

Jawab : Mekanisme transaksinya mudah saja, yaitu konsumen hanya perlu datang ke kantor distributor Tupperware, kemudian setelah memilih dan menyetujui harga produk yang ingin dibeli, maka konsumen dapat melakukan pemesanan atau order atas produk-produk yang diminati, kemudian konsumen membayar sejumlah biaya atas produk yang dipesan tersebut di kasir, lalu konsumen akan langsung mendapatkan produk yang diinginkan tersebut pada saat itu juga.

7. Bagaimana apabila barang yang diinginkan konsumen sedang tidak ada di tempat atau sedang kosong barangnya?

Jawab : Apabila barang sedang kosong atau tidak ada di tempat, biasanya dari pihak kantor distributor akan mengeluarkan invoice atau faktur kepada konsumen dengan membuat kode “BB”, yang

maksudnya adalah “Barangnya Belum”. Apabila kemudian

produk tersebut sudah ada, maka pada hari masuknya produk tersebut, konsumen sudah bisa langsung mengambil produk tersebut ke kantor distributor dengan membawa invoice atau faktur tersebut untuk diperlihatkan kepada pihak kantor distributor.


(2)

8. Apakah dalam perusahaan Tupperware ini terdapat kode etik yang tertulis untuk melindungi hak-hak konsumen maupun hak-hak dari perusahaan Tupperware sebagai pelaku usaha?

Jawab : Kode etik sebenarnya ada, tetapi tidak ada kode etik yang tertulis. Kode etik tersebut seperti misalnya antara sesama distributor yang masing-masing memiliki downline tidak boleh saling berebutan atau saling mencuri anak atau downline-nya. Selain itu, perusahaan Tupperware juga melarang seorang member untuk terdaftar dalam dua distributor yang berbeda.

9. Kode etik yang dikemukakan tadi merupakan kode etik bagi pelaku usaha, lalu apakah ada kode etik yang dibuat untuk melindungi hak-hak konsumen? Jawab : Kalau itu saya kurang tahu, namun sepertinya tidak ada.

10. Apakah Saudara mengetahui peraturan hukum apa sajakah yang mendasari bisnis Multi Level Marketing atau Penjualan Berjenjang ini?

Jawab : Saya tidak tahu sama sekali mengenai hal itu.

11. Apa sajakah hal yang sering dikeluhkan oleh konsumen pada perusahaan Tupperware (PT Kartika Swarna Dwipa) ini?

Jawab : Keluhan-keluhan yang sering dikeluhkan oleh konsumen produk Tupperware disini yaitu mengenai adanya keterlambatan dalam pendistribusian barang yang telah dipesan kepada konsumen. Keterlambatan tersebut terjadi karena disebabkan oleh adanya perubahan sistem yang terjadi di Tupperware pusat, yang akhirnya berakibat pada terjadinya gangguan terhadap ekspedisi


(3)

barang, yang mengakibatkan barang-barang yang telah dipesan oleh konsumen terpaksa harus ditunda atau di-pending terlebih dulu.

12. Apakah konsumen pernah mengeluhkan mengenai kualitas atau mutu dari produk Tupperware?

Jawab : Tidak pernah. Konsumen tidak pernah mengeluhkan tentang kualitas ataupun mutu dari produk Tupperware, karena perusahaan Tupperware memberikan garansi seumur idup, yang mana pihak konsumen dapat melakukan claim ganti rugi apabila terjadi kerusakan pada produk Tupperware. Maka dari itu, konsumen tidak pernah mengeluh mengenai kualitas atau mutu dari produk Tupperware.

13. Bagaimanakah cara perusahaan Tupperware ini menanggapi keluhan-keluhan yang datang dari para konsumen?

Jawab : Untuk menampung keluhan-keluhan dari konsumen, pihak Tupperware telah mempersiapkan kuesioner kepuasan konsumen yang akan diberikan pada setiap konsumen untuk diisi dan apabila konsumen memiliki keluhan, maka konsumen tersebut dapat menyampaikan keluhannya tersebut di dalam kuesioner. Kuesioner tersebut kemudian akan dimasukkan ke dalam sebuah kotak. Kemudian setelah terisi penuh, pimpinan perusahaan akan membaca satu per satu keluhan dari konsumen tersebut. Apabila keluhan-keluhan konsumen tersebut berhubungan dengan


(4)

pelayanan dari karyawan/staff Tupperware, maka pimpinan perusahaan akan mengadakan rapat untuk mengevaluasi kinerja dari para karyawan/staff tersebut. Namun apabila keluhan-keluhan konsumen tersebut berhubungan dengan produk-produk Tupperware, maka pimpinan perusahaan akan mengajak para konsumen tersebut untuk rapat dan menjelaskan lebih lanjut mengenai kendala-kendalanya.

14. Apakah pernah terjadi sengketa antara konsumen dengan pihak PT Kartika Swarna Dwipa?

Jawab : Seingat saya, apabila sengketa yang benar-benar sengketa tidak ada, yang ada hanya berupa kesalahpahaman saja.

15. Apabila terjadi kesalahpahaman antara pihak konsumen dengan pihak PT Kartika Swarna Dwipa, bagaimanakah penyelesaiannya?

Jawab : Biasanya kita menyelesaikannya secara bersama-sama, dimana orang-orang yang bersangkutan atau yang saling berselisih paham dipertemukan untuk dibahas dan ditemukan solusinya.

16. Bagaimana tata cara untuk melakukan claim ganti rugi terhadap produk Tupperware yang rusak?

Jawab : Jika seorang konsumen ingin melakukan claim kerusakan atau claim ganti rugi atas produk Tupperware yang dibelinya, maka konsumen tersebut hanya perlu datang ke kantor distributor dengan membawa produk Tupperware yang rusak tersebut untuk kemudian dilakukan claim ganti rugi di divisi defective atau divisi


(5)

barang rusak. Namun, tidak semua produk/barang Tupperware yang rusak dapat dilakukan claim ganti rugi, dimana produk/barang yang rusak tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Produk/barang yang rusak tersebut hanya dapat dilakukan claim apabila produk/barang tersebut rusak dalam pemakaian normal, misalnya saja tutup dari botol Tupperware yang patah di bagian tengahnya karena saat membuka botol sering ditekan di bagian tengah. Sedangkan untuk produk/barang Tupperware yang rusak karena digigit tikus, terbakar, sengaja dipecahkan, dan disayat tidak dapat dilakukan claim ganti rugi atas kerusakan produk/barang tersebut.

17. Berapa lama waktu yang dibutuhkan konsumen untuk dapat menerima penggantian kerugian atas produk Tupperware yang rusak tersebut?

Jawab : Setelah dilakukan claim ganti rugi, apabila stock produk/barang yang rusak tersebut masih tersedia di gudang, maka produk/barang yang rusak tersebut akan langsung diganti dengan produk/barang baru yang sama dengan produk/barang yang diclaim, dimana perusahaan Tupperware berkewajiban untuk menyediakan stock barang untuk segera memenuhi pemesanan. Namun, apabila produk/barang yang diclaim tersebut sudah lama dan tidak diproduksi lagi di Tupperware, maka dari pihak perusahaan Tupperware akan menghargai produk tersebut sesuai berapa harganya, lalu kemudian konsumen akan diberikan


(6)

voucher belanja sesuai harga produk/barang yang diclaim tersebut sehingga konsumen dapat menggunakan voucher tersebut untuk berbelanja di Tupperware.