Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanian Jual Beli Mobil Kredit (Studi Pada PT BII Finance Center)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT

(STUDI PADA PT BII FINANCE CENTER)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DIAN UTAMI

NIM : 080200200

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: DIAN UTAMI

NIM

:

080200200

DEPARTEMEN

: HUKUM KEPERDATAAN BW

JUDUL SKRIPSI

: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT

(STUDI PADA PT BII FINANCE CENTER)

Dengan ini menyatakan :

1.

Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2.

Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka

segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau

tekanan dari pihak mana pun.

Medan, 3 Desember 2013

Hormat saya

DIAN UTAMI

Nim : 080200200


(3)

ABSTRAK 

  Disamping jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 K.U.H.Perdata, di dalam  praktek dapat terjadi perjanjian jual beli lainnya asal memenuhi syarat sahnya perjanjian  seperti perjanjian jual beli secara tunai, perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual  beli dengan garansi ataupun tanpa garansi. Di dalam suatu perjanjian jual beli, pihak  pembeli biasanya akan selalu meneliti keadaan dan kondisi suatu barang yang akan  dibelinya, apakah dalam kondisi baik ataukah ada kecacatan. Namun apabila barang  yang dijual belikan berupa kendaraan roda empat (mobil) secara kredit, maka pihak  pembeli tidak mungkin dapat mengetahui kondisi kendaraan roda empat (mobil) secara  kredit apabila tidak dicoba secara langsung guna mengetahui pakaha berfungsi atau  tidak.  Untuk  itu  seseorang  yang  membeli  kendaraan  roda  empat  (mobil)  dapat  menuntut terhadap penjual apabila pada kendaraan roda empat (mobil) yang telah  dibelinya ternyata terdapat adanya cacat tersembunyi yang tidak diketahui pada saat  membeli.  Beberapa permasalahan yang diangkat, antara lain

 

bagaimana 

Pengaturan  Perlindungan Hukum terhadap kkonsumen dalam perjanjian jual beli secara kredit, 

bagaimana

 pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual beli  mobil kredit dan 

bagaimana

 upaya‐upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen PT  BII Finance Center apabila dirugikan dalam jual beli mobil kredit. 

  Adapun metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat  normatif,  berupa  data  sekunder  yuridis  normatif  dan  yuridis  empiris,  data  yang  digunakan  adalah  data  primer  dan  data  sekunder  serta  pengumpulan  data  yang  digunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dianalisis secara  kualitatif. 

  Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan Perlindungan Hukum  Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Kredit yakni jual beli yang diatur  dalam Pasal 1457 K.U.H.Perdata, di dalam praktek dapat terjadi perjanjian jual beli  lainnya asal memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti perjanjian jual beli secara tunai,  perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual beli dengan garansi ataupun tanpa  garansi. Selanjutnya Pasal 1504 K.U.H.Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin  cacat  yang  tersembunyi  yang  terdapat  pada  barang  yang  dijualnya.  Pasal  1504  K.U.H.Perdata  ini  menyatakan  bahwa:  “Penjual  wajib  untuk  menjamin  cacat  tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya, yang mengakibatkan barang itu  tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi daya  pemakaian itu sedemikian rupa”. Kewajiban konsumen sesuai dengan Pasal 5 Undang‐ Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,  setelah adanya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan  semakin  membaik  karena berdasarkan Pasal  18 UUPK dilarang memuat  klausula‐ klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Upaya‐ Upaya Hukum yang dapat dilakukan konsumen PT BII Finance Center apabila dirugikan 


(4)

dalam  Jual  Beli  Mobil  Kredit  yakni  Penyelesaian  masalah  apabila  terjadi  kredit  bermasalah di perusahaan pembiayaan ditempuh dengan dua cara yaitu dengan jalur  litigasi dan non‐litigasi. 

 


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KONSUMEN DALAM PERJANIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT (STUDI

PADA PT BII FINANCE CENTER)

Berkat bimbingan dan arahan serta petunjuk dari dosen pembimbing sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa

dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan sera kekurangannya, oleh

karena itu penulis sangat mengharapkan masukan-masukan dan arahan-arahan

yang bersifat membangun agar penulis dapat menjadi lebih baik lagi di kemudian

hari.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan

dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1.

Prof.Dr.Runtung,SH,M.Hum, sebagai dekan fakultas hukum Universitas

Sumatera Utara.

2.

Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum, sebagai pembantu dekan I fakultas

hukum Universitas Sumatera Utara.

3.

Bapak Syafrudin Hasibuan,SH,MH,DFM, sebagai pembantu dekan II

fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

4.

Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum, sebagai pembantu dekan III

fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

5.

Bapak Dr.H.Hasim,SH,M.Hum, sebagai ketua jurusan departemen hukum

fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

6.

Bapak Zulkifli Sembiring,SH,M.Hum, sebagai dosen penasehat akademik

fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

7.

Bapak Muhammad Husni,SH,M.Hum, sebagai dosen pembimbing I,

terima kasih atas segala bimbingan dan masukan kepada penulis selama

penulisan skripsi ini.

8.

Bapak M. Siddik, SH,M.Hum, srbagai dosen pembimbing II, terima kasih

atas segala bimbingan dan masukan kepada penulis selama penulisan

skripsi ini.

9.

Bapak dan Ibu dosen serta staff pegawai fakultas hukum Universitas

Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan

administrasi selama ini.

10.

Yang teristimewa buat ayah dan mama tercinta Gunawan dan mbabasa br

sitepu Spd, terima kasih atas doa yang selalu ayah dan mama panjatkan,

serta tidak pernah mengenal kata lelah dalam memberikan dukungan

terhadap penulis agar penulis kelak menjadi orang yang berguna bagi diri

sendiri, keluarga serta nusa dan bangsa.

11.

Buat yang saya sayangi adek Chairunnysa, adek Arif Budiman serta Adek

Satriawan, terima kasih banyak selama ini selalu memberikan motivasi


(7)

yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan

dan skripsi ini.

12.

Buat semua unde-unde, bibik-bibik, kila, keponakan dan sepupu-sepupu,

dari ayah dan mama terima kasih banyak selama ini selalu memberikan

motivasi yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan

perkuliahan dan skripsi ini.

13.

Buat sahabat-sahabat penulis Susi, Uci, Arin, Romi, Jefri, Barita, vitra,

dan teman-teman Stambuk 2008 yang selama ini sama-sama berjuang

dalam perkuliahan yang kita hadapi, terima kasih untuk pertemanannya.

14.

Buat sahabat-sahabat dari SMA Negeri 1 Tanjung Balai, Ade, deny,

Faisal, veri, ali, dan semua teman-teman Stambuk 2008 terima kasih

banyak selama ini selalu memberikan motivasi yang menjadi penyemangat

bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

15.

Buat karyawan PT BII FINANCE CENTER, terima kasih yang telah

membantu penulis dalam memberikan informasi dan data-data dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya . Atas perhatian

penulis ucapkan terima kasih.

Hormat saya

Dian Utami

 


(8)

DAFTAR ISI      ABSTRAK 

KATA PENGANTAR  DAFTAR ISI 

 

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...   1 

B. Perumusan Masalah ...   7 

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...   8 

D. Keaslian Penulisan ...   9   

   E.   Metode Penelitian ...   9 

    F.  Sistematika Penulisan ...   11 

BAB II: PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SECARA KREDIT    A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut UUPK………    13 

B. Prinsip dan Bentuk Perlindungan Hukum……….   18   

C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam Undang‐Undang   Perlindungan Konsumen………   25 

  D. Perjanjian Kredit  ditinjau dari Undang‐undang Nomor 8 Tahun 1999   Tentang Perlindungan Konsumen………..   30   


(9)

E. Jual beli menurut KUH Perdata………..   38   

BAB III:   PELAKSANAAN  PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM 

PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL KREDIT   

A.

Proses/Prosedur perjanjian jual beli Jual Beli Mobil secara kredit………    51 

 

B.

Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli……….   54   

C.

Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli………..   59   

D.

Ketentuan Jual Beli Mobil Kredit………  61   

E.

Mekanisme Pemberian kredit……….  63   

BAB IV :   UPAYA‐UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN KONSUMEN PT BII  FINANCE CENTER APABILA DIRUGIKAN DALAM JUAL BELI MOBIL KREDIT  

A. Tanggungjawab pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian  

jual beli jika barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah………..    71 

B. Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit 

menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen……… . 80 


(10)

Litigasi……….    85 

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

...

91

B.

Saran

...

93

DAFTAR PUSTAKA

                                     


(11)

ABSTRAK 

  Disamping jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 K.U.H.Perdata, di dalam  praktek dapat terjadi perjanjian jual beli lainnya asal memenuhi syarat sahnya perjanjian  seperti perjanjian jual beli secara tunai, perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual  beli dengan garansi ataupun tanpa garansi. Di dalam suatu perjanjian jual beli, pihak  pembeli biasanya akan selalu meneliti keadaan dan kondisi suatu barang yang akan  dibelinya, apakah dalam kondisi baik ataukah ada kecacatan. Namun apabila barang  yang dijual belikan berupa kendaraan roda empat (mobil) secara kredit, maka pihak  pembeli tidak mungkin dapat mengetahui kondisi kendaraan roda empat (mobil) secara  kredit apabila tidak dicoba secara langsung guna mengetahui pakaha berfungsi atau  tidak.  Untuk  itu  seseorang  yang  membeli  kendaraan  roda  empat  (mobil)  dapat  menuntut terhadap penjual apabila pada kendaraan roda empat (mobil) yang telah  dibelinya ternyata terdapat adanya cacat tersembunyi yang tidak diketahui pada saat  membeli.  Beberapa permasalahan yang diangkat, antara lain

 

bagaimana 

Pengaturan  Perlindungan Hukum terhadap kkonsumen dalam perjanjian jual beli secara kredit, 

bagaimana

 pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian jual beli  mobil kredit dan 

bagaimana

 upaya‐upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen PT  BII Finance Center apabila dirugikan dalam jual beli mobil kredit. 

  Adapun metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat  normatif,  berupa  data  sekunder  yuridis  normatif  dan  yuridis  empiris,  data  yang  digunakan  adalah  data  primer  dan  data  sekunder  serta  pengumpulan  data  yang  digunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dianalisis secara  kualitatif. 

  Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan Perlindungan Hukum  Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Kredit yakni jual beli yang diatur  dalam Pasal 1457 K.U.H.Perdata, di dalam praktek dapat terjadi perjanjian jual beli  lainnya asal memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti perjanjian jual beli secara tunai,  perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual beli dengan garansi ataupun tanpa  garansi. Selanjutnya Pasal 1504 K.U.H.Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin  cacat  yang  tersembunyi  yang  terdapat  pada  barang  yang  dijualnya.  Pasal  1504  K.U.H.Perdata  ini  menyatakan  bahwa:  “Penjual  wajib  untuk  menjamin  cacat  tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya, yang mengakibatkan barang itu  tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi daya  pemakaian itu sedemikian rupa”. Kewajiban konsumen sesuai dengan Pasal 5 Undang‐ Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,  setelah adanya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan  semakin  membaik  karena berdasarkan Pasal  18 UUPK dilarang memuat  klausula‐ klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Upaya‐ Upaya Hukum yang dapat dilakukan konsumen PT BII Finance Center apabila dirugikan 


(12)

dalam  Jual  Beli  Mobil  Kredit  yakni  Penyelesaian  masalah  apabila  terjadi  kredit  bermasalah di perusahaan pembiayaan ditempuh dengan dua cara yaitu dengan jalur  litigasi dan non‐litigasi. 

 


(13)

BAB I 

PENDAHULUAN 

A.

 

Latar Belakang Masalah   

Sesuai dengan Pasal 28A Undang‐Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa  “setiap  orang  berhak  untuk  hidup  serta  berhak  mempertahankan  hidup  dan  kehidupannya”,  maka  jual‐belipun adalah  hak  setiap  individu/  manusia,  dikatakan  demikian karena jual beli merupakan suatu kegiatan manusia yang diperlukan untuk  memenuhi kebutuhan hidupnya sehari‐hari. 

Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang diperjual-belikan

mulai dari jual beli biasa seperti jual beli permen di kios-kios sampai jual beli

yang dilakukan secara tertulis seperti jual beli tanah, bebas untuk dilakukan

dengan syarat tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada transaksi jual beli, terkandung suatu perjanjian yang melahirkan hak

dan kewajiban bagi para pihaknya. Penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak

milik atas barang yang dijualnya, sekaligus berhak untuk menuntut pembayaran

harga yang telah disetujui, sedangkan pembeli berkewajiban untuk membayar

harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas

barang yang dibelinya.

1

Pembayaran yang harus dilakukan oleh pembeli dapat

ditempuh dengan berbagai cara, yaitu pembayaran secara tunai seketika atau

       1

Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987, Hal. 17.


(14)

pembayaran secara cicilan/ kredit, hal ini tergantung dari apa yang disepakati

sebelumnya oleh penjual dan pembeli.

Kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari bermacam-macam kebutuhan.

Manusia harus berusaha dengan cara bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan

tersebut. Bekerja dapat dilakukan sendiri tanpa harus bekerja pada orang lain,

misalnya dengan berwiraswasta. Seorang wiraswasta membutuhkan tempat usaha

yang strategis, terutama bila usaha yang digeluti tengah tengah mengalami

kemajuan pesat. Untuk mendapatkan tempat usaha yang baru tersebut ada

berbagai cara yang dapat ditempuh, diantaranya adalah dengan melakukan jual

beli mobil kredit dengan pihak lain. Adanya hubungan jual beli mobil kredit

etersebut diawali dengan pembuatan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang

dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian sendiri bisa berupa perjanjian

lisan bisa pula dalam bentuk perjanjian tertulis.

2

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu

perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang

halal. Dengan memenuhi persyaratan ini, masyarakat dapat membuat perjanjian

apa saja. Pasal 1320 KUHPerdata disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas

konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai

hal-hal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan

berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari

       2


(15)

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, sehingga perjanjian harus dibuat dengan

memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para

pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak

tersebut.

Perjanjian merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu

dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek

hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain

berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang disepakati.

Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata, berbunyi : “Perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih dengan mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lebih.”

3

Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan

oleh manusia adalah, kendaraan roda empat (mobil). Kendaraan roda empat

(mobil) saat ini menjadi salah satu kebutuhan utama transportasi bagi sebagian

masyarakat Indonesia, karena dipandang dari sudut fungsionalnya, kendaraan roda

empat (mobil) dapat dimanfaatkan sebagai sarana transportasi keluarga maupun

mengangkut barang, serta lebih efisien dan praktis untuk dipergunakan berpergian

ke luar kota. Untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kendaraan roda

empat (mobil), maka banyak perusahaan yang bergerak dibidang jual beli

kendaraan roda empat (mobil). Namun disamping jual beli kendaraan roda empat,

banyak juga perusahaan yang bergerak dalam bidang jual beli mobil secara kredit

tersebut.

       3

Salim H.S, Hukum Kontrak & Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal 25


(16)

Pengertian jual beli berdasarkan ketentuan Pasal 1457 K.U.H.Perdata

adalah: Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar harga yang

telah dijanjikan. Hukum perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang

berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya

kepada seseorang untuk membuat perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum serta kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak ini

ditafsirkan dari Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan, bahwa:

Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi

mereka yang membuatnya. Disamping jual beli yang diatur dalam Pasal 1457

K.U.H.Perdata, di dalam praktek dapat terjadi perjanjian jual beli lainnya asal

memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti perjanjian jual beli secara tunai,

perjanjian jual beli secara kredit, perjanjian jual beli dengan garansi ataupun tanpa

garansi. Di dalam suatu perjanjian jual beli, pihak pembeli biasanya akan selalu

meneliti keadaan dan kondisi suatu barang yang akan dibelinya, apakah dalam

kondisi baik ataukah ada kecacatan. Namun apabila barang yang dijual belikan

berupa kendaraan roda empat (mobil) secara kredit, maka pihak pembeli tidak

mungkin dapat mengetahui kondisi kendaraan roda empat (mobil) secara kredit

apabila tidak dicoba secara langsung guna mengetahui pakaha berfungsi atau

tidak. Untuk itu seseorang yang membeli kendaraan roda empat (mobil) dapat

menuntut terhadap penjual apabila pada kendaraan roda empat (mobil) yang telah

dibelinya ternyata terdapat adanya cacat tersembunyi yang tidak diketahui pada

saat membeli. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 1504 K.U.H.Perdata yang


(17)

menyatakan bahwa: Penjual wajib untuk menjamin cacat tersembunyi yang

terdapat pada barang yang dijualnya, yang mengakibatkan barang itu tidak dapat

dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi daya

pemakaian itu sedemikian rupa.

Dalam praktek perjanjian lembaga sewa guna memiliki posisi yang kuat bila di  bandingkan dengan pembeli hal ini dikarena adanya resiko yang tidak mau diambil oleh  pihak sewa guna apabila terjadinya kemacetan dalam angsuran yang telah ditetapkan  kedua belah pihak. Maka dibuatlah klausula‐klausula yang memberikan hak kepada  penjual untuk menuntut dan penarikan barang menurut perjanjian yang dilakukannya.  Jika   terjadi persoalan, umumnya yang ditarik adalah obyek dari perjanjian. Penarikan  menurut Undang‐Undang akan memerlukan waktu yang relatif lama, karena harus  melalui  perintah  Hakim.  Untuk  menghindari  risiko  tersebut,  sering  pihak  penjual  menempuh jalan pintas dengan penarikan barang obyek sewa guna (otomotif) secara  langsung.4 

Sepeti halnya suatu perjanjian antara  pelaku usaha yang pada umumnya lebih  kuat, dihadapkan dengan pihak konsumen yang cenderung mempunyai posisi lemah,  bagi pihak yang lemah hanya terdapat dua pilihan, yaitu apabila mereka membutuhkan  jasa atau barang yang ditawarkan kepadanya, maka ia harus menyetujui semua syarat‐ syarat yang diajukan kepadanya, tanpa menghiraukan apakah konsumen mengetahui  dan atau memahami urusan perjanjian tersebut atau   tidak, dan sebaliknya, apabila  mereka tidak menyetujui syarat‐syarat yang diajukan kepadanya, maka mereka harus  meninggalkan atau tidak mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha tersebut  (take it        

4 

Abdulkadir, Muhammad. Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan.  Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992, hal 44 


(18)

or leave it contract). “Dalam perjanjian baku sering ditemukan  pencantuman klausula‐ klausula  yang  antara  lain  mengatur  cara,  penyelesaian  sengketa,  dan  klausula  eksonerasi,  yaitu  klausula  yang  mengandung  kondisi  membatasi  atau  bahkan  menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak  pelaku usaha.”5 

Walaupun telah ada tentang perijinan kegiatan jual beli angsuran dan sewa  secara kredit. Namun pengaturan lembaga sewa guna tersebut tidak menjelaskan secara  rinci, tentang kedudukan pembeli/penyewa‐guna‐konsumen dalam lembaga sewa beli.  Keadaan yang demikian telah mendorong instansi terkait untuk melindungi konsumen  terhadap keadaan‐keadaan yang tidak seimbang yang diciptakan oleh pelaku usaha.    

Pemberian kredit secara luas dimasyarakat seperti pada masa sekarang ini  menampakkan  adanya  usaha  untuk  memberikan  kesempatan  bagi pihak  ekonomi  menengah dan ekonomi lemah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka  meningkatkan status sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kehidupan sehari‐hari,  kata  kredit  bukan  merupakan  hal  yang asing  bagi  masyarakat.Kredit  tidak  hanya  dijumpai di perkotaan namun juga dipedesaan. Karena pada umumnya seperti pada  masa sekarang ini dalam memperoleh barang atau kebutuhan hidupnya masyarakat di  kota atau di desa memperoleh dengan cara kredit. Yang dimaksud jual beli secara kredit  disini adalah jual beli yang cara pembayarannya atau dengan kata lain pembayarannya  secara diangsur atau bertahap, tidak sekaligus atau tunai dengan jangka waktu yang  telah ditentukan oleh masing‐masing pihak yang membuat perjanjian jual beli itu.  Mengingat pentingnya kedudukan cara pemenuhan kebutuhan manusia secara kredit        

5


(19)

dalam proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, sudah semestinya jika pemberi  kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak  jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang  berkepentingan.  Perkembangan  kebutuhan  kredit  dan  pemberian  fasilitas  kredit  memerlukan jaminan demi keamanan pengembalian atau angsuran kredit tersebut.6 

Dari hal di atas maka dapat dilihat dalam jual beli secara kredit mobil di PT BII  Finance Center tersebut, memberikan kredit kepada leasing yang mendanai. Karena jual  beli mobil secara kredit itu belum lunas pembayarannya atau masih dalam masa cicilan  atau masa angsuran sesuai perjanjian kredit jangka waktu kredit yang telah disepakati.  Oleh karena disebabkan hal‐hal diatas maka sebagai pembeli yang telah membuat surat  perjanjian  jual  beli  mobil  secara  kredit  dengan  pihak PT BII Finance Center, yang bersangkutan belum lunas pembayarannya. 

Dalam suatu masyarakat yang sudah sangat berkembang seperti Indonesia,  perjanjian jual–beli kendaraan secara kredit yang paling sederhana sampai yang paling  canggih setiap hari dibuat, adapun suatui perjanjian yang dibuat ada yang lisan, ada yang  dengan akta dibawah tangan,ada pula pihak‐pihak yang sengaja datang kepada notaris  dan minta agar dibuatkan akta jual‐beli,tidak jarang dari perjanjian tersebut tidak  dilakukan  oleh  salah  satu  pihak,sehingga  timbul  masalah,apabila  tidak  dapat  diselesaikan  secara  damai,tentu  dengan  terpaksa  akan  diselesaikan  dengan  jalur  pengadilan.7 

       6

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi: Jual Beli, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004, hal 8

7


(20)

  Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam  bentuk  skripsi  dengan  judul  “Perlindungan  Hukum  Terhadap  Konsumen  dalam  Perjanjian Jual Beli Mobil Kredit (Studi pada PT BII Finance Center).” 

 

B. Perumusan Masalah 

  Adapun yang merupakan permasalah yang timbul dalam penulisan ini adalah  sebagai berikut : 

1.

Bagaimana

 Tanggungjawab pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian jual  beli jika barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah? 

2.

Bagaimana

Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? 

3.

Bagaimana

 Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi dan  Litigasi? 

 

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 

1. Tujuan Penelitian 

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah : 

a. Untuk  mengetahui  Tanggungjawab  pelaku  usaha  dan  konsumen  dalam  perjanjian jual beli jika barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah 


(21)

b. Untuk  mengetahui  Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 

c. Untuk mengetahui Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi  dan Litigasi. 

2. Manfaat penelitian 

Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: 

a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan  pemahaman hukum jual beli kredit. 

b. Untuk  menerapkan  pengetahuan  penulis  secara  praktis  agar  masyarakat  mengetahui bagaimana upaya hukum  bagi para  dalam perjanjian jual beli  kendaraan roda empat (mobil) kredit. 

D. Keaslian Penulisan 

Adapun judul tulisan ini adalah Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam  Perjanjian Jual Beli Mobil Kredit (Studi pada PT BII Finance Center), judul skripsi ini  belum pernah ditulis, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama.  Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

E. Metode Penelitian 

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif,  yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi: 


(22)

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.8 Langkah  pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum  primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan‐peraturan yang berkaitan  dengan Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, Undang‐ Undang Nomor 8 Tahun  1999 tentang Perlindungan Konsumen dan undang‐undang No. 10 tahun 2009.  Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan  persoalan ini dalam perspektif hukum kepariwisataan. 

2. Data dan Sumber Data 

  Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 9: 

a.

Bahan hukum primer yaitu bahan‐bahan hukum yang isinya mempunyai  kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Kitab  Undang‐Undang Hukum Perdata, Undang‐ Undang Nomor 8 Tahun 1999  tentang Perlindungan Konsumen dan undang‐undang No. 10 tahun 2009. 

b.

Bahan  hukum  sekunder  yaitu  bahan  hukum  yang  isinya  menjelaskan 

mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku‐buku,  makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet. 

3. Teknik Pengumpulan Data 

Untuk  memperoleh  suatu  kebenaran  ilmiah  dalam  penulisan  skripsi,  maka  digunakan metode pengumpulan data dengan cara10 : 

a. Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan  sistematis  buku‐buku,  surat  kabar,  makalah  ilmiah,  majalah,  internet,        

8

Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986) hal 9-10.

9

Ibid, hal 51-52

10


(23)

peraturan perundang‐undangan dan bahan‐bahan lain yang berhubungan  dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. 

4. Analisis Data 

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu  data  yang  diperoleh  kemudian  dikemudian  disusun  secara  sistematis  dan  selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang  akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode  kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis,  yaitu data‐data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh. 

 

F. Sistematika Penulisan   

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap‐tiap bab berbagi atas beberapa sub‐ sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat  digambarkan sebagai berikut : 

BAB I  :  Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang  Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan  Manfaat  Penulisan,  Keaslian  Penulisan,  Metode  Penelitian,  dan  Sistematika Penulisan. 

BAB II  :   Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Kredit. Bab ini berisikan tentang Perlindungan Hukum  Bagi  Konsumen  Menurut  UUPK,  Prinsip  dan  Bentuk  Perlindungan  Hukum,  Hak  dan  Kewajiban  Pelaku  Usaha  Dalam  Undang‐Undang 


(24)

Perlindungan Konsumen, Perjanjian Kredit  ditinjau dari Undang‐undang  Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Jual beli  menurut KUH Perdata. 

BAB III  :  Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian 

Jual  Beli  Mobil  Kredit.  Bab  ini  berisikan  tentang  Proses/Prosedur  perjanjian jual beli Jual Beli Mobil secara kredit, Dasar Hukum Perjanjian  Jual Beli, Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli, Ketentuan Jual  Beli Mobil Kredit dan Mekanisme Pemberian kredit. 

BAB IV  :  Upaya‐Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Konsumen PT BII FINANCE  CENTER Apabila Dirugikan Dalam Jual Beli Mobil Kredit. Bab ini berisi  tentang  Perlindungan Hukum terhadap nasabah atas pemberian perjanjian kredit menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui  Jalur Non Litigasi dan Litigasi. 

BAB V  :  Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian  bab‐bab  sebelumnya,  yang  berisikan  kesimpulan  yang  dibuat  berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran‐saran. 

       


(25)

BAB II 

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SECARA KREDIT 

 

A. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut UUPK 

Konsumen memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian.  Ini disebabkan barang yang diproduksi maupun yang dijual oleh pelaku usaha11 akan  dikonsumsi oleh konsumen sehingga pelaku usaha harus memiliki itikad baik dalam  menjualkan barang kepada konsumen. Pelaku usaha dan pemerintah dituntut aktif  dalam membuat, menyesuaikan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku  sehingga melindungi kepentingan konsumen sebagaimana yang diatur dalam Undang  Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa ini juga sejalan  dengan Undang‐undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 ayat 1  bahwa “semua sama dimata hukum dan wajib menjunjung hukum di setiap kehidupan  sehari‐hari”. Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dapat dilaksanakan dengan  cara mengatur, mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi, dan peredaran  produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatan maupun keuangannya12. 

Faktanya pelaku usaha kurang memprioritaskan kepentingan‐kepentingan serta  hak‐hak konsumen, itu disebabkan pelaku usaha hanya mementingkan keuntungan yang  dihasilkan  dari  penjualan  barang.  Sehubungan  dengan  hal  ini  pemerintah  telah  membuat  peraturan  perlindungan  konsumen  sebagai  upaya  untuk  memberi        

11

Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Pelaku usaha yang dimaksud adalah termasuk perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.

12

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), Hal. 23-24.


(26)

perlindungan kepada konsumen dari tindakan‐tindakan pelaku usaha yang merugikan  kepentingan konsumen. 13 

Perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 UUPK  bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian  hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. ”Undang‐undang ini sangat  jelas untuk menjadi sarana perlindungan hukum bagi kepentingan konsumen. Undang‐ undang yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan konsumen di Indonesia  yaitu  Undang‐Undang No.  8  tahun  1999  tentang  Perlindungan Konsumen  (UUPK)  diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk Iebih menyadari akan hak dan  kewajibannya. Pasal 4 butir a & c UUPK menyebutkan, bahwa konsumen berhak atas  kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.  Selanjutnya konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai  kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Kedua hak konsumen ini, berkaitan erat  dengan  keamanan  produk  bagi  konsumen.  Misalnya  pelaku  usaha  di  dalam  menggunakan bahan tambahan makanan dalam produk makanannya, harus bersifat  nyaman,  aman,  dan  tidak  menimbulkan  efek  buruk  bagi  konsumen.  dan  harus  diinformasikan secara benar, jelas, dan jujur kepada konsumen. Jika suatu produk  merugikan konsumen, maka produsen bertanggungjawab untuk mengganti kerugian  yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produsen meskipun antara  pelaku dan 

       13 

Yusuf Shofie, 2000, Perlindugan Konsumen dan Instrumen‐Instrumen Hukumnya, PT  Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 71 


(27)

korban tidak terdapat persetujuan lebih dahulu yang disebut dengan kewajiban produk.  Selain kewajiban produk tersebut, UUPK juga mengatur tentang perbuatan 

yang dilarang bagi pelaku usaha antara lain yang berkaitan dengan standar produk,  yaitu:  Apabila  dilihat  dari  perbuatan  produsen  yang  memproduksi,  menjual  atau  memasarkan  makanan  berformalin  tersebut,  tentunya  produsen  tersebut  telah  melanggar  ketentuan/pasal‐pasal  yang  diatur  dalam  UUPK  tersebut.  Dalam  hal  pertanggungjawabannya, UUPK juga mengaturnya dalam beberapa pasal, antara lain:  Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran  dan/atau  kerugian  konsumen  akibat  mengkonsumsi  barang  dan/atau  jasa  yang  dihasilkan atau diperdagangkan, Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan  kemungkinan adanya tuntuan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai  unsur kesalahan; Pelaku usaha periklanan bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi  dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut; Pembuktian mengenai ada  tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi oleh konsumen merupakan beban  dan tanggung jawab pelaku usaha. 

Ada yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari  hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa: “Hukum  perlindungan konsumen merupakan bagian darimhukum konsumen yang memuat asas‐ asas atau kaidah‐kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi  kepentingan  Konsumen  .”14    Selain  berpendapat  seperti  itu,  Az.  Nasution  juga  mengemukakan bahwa: Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hokum        

14

Az. Nasution. Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada  perlindungan konsumen. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995. 


(28)

konsumen yang memuat asas‐asas atau kaidah‐kaidah bersifat mengatur dan juga  mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Hukum konsumen adalah  hukum  yang  bersifat  komperhensif  mencakup  berbagai  hal.  Sedangkan  hukum  perlindungan konsumen lebih merupakan bagian yang khusus mengatasi perlindungan  Konsumen.15  

Menurut  Johannes  Gunawan  dalam  tulisannya  yang  berjudul  “Hukum  Perlindungan konsumen”, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan  pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat  setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).16 Perlindungan hukum terhadap  konsumen yang  dilakukan pada  saat sebelum terjadinya  transaksi (no conflict/pre  purchase) dapat dilakukan dengan cara : 

1. Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat  sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen  melalui  peraturan  perundangan  yang  telah  dibuat.  Sehingga  dengan  adanya  peraturan perundangan tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan  hukum  sebelum  terjadinya  transaksi,  karena  telah  ada  batasan‐batasan  dan  ketentuan‐ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.  2. Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang 

dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku 

       15

Ibid, hal. 82. 16 

Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan,  Bandung, 1999, hal. 3 


(29)

usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih  hati‐hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.17 

UUPK  juga  mengatur  perlindungan  hukum  terhadap  konsumen  sebelum  terjadinya transaksi. Di dalam Penjelasan Umum Angka 1 UUPK dijelaskan bahwa,  undang‐undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang  kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk  melakukan  upaya  pemberdayaan  konsumen  melalui  pembinaan  dan  pendidikan  Konsumen. Pengertian perlindungan konsumen disebutkan dalam Pasal 1 Angka (1)  UUPK, yaitu “segala upaya yang menj amin adanya kepastian hukum untuk memberi  perlindungan kepada Konsumen.” Oleh karena itu dalam Penjelasan Umum Angka 1  UUPK disebutkan bahwa, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan  undangundang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan  komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. karena tidak mudah  mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku  usaha  adalah  mendapat  keuntungan  yang  semaksimal  mungkin  dengan  modal  seminimal mungkin.18 Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada  saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase) dapat dilakukan melalui jalur  Pengadilan Negeri (PN) atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa  konsumen (BPSK), berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa. UUPK menjamin  adanya  kepastian  hukum  bagi  Konsumen  dan  tentunya  perlindungan  Konsumen  tersebut tidak pula merugikan Produsen, namun karena kedudukan konsumen yang  lemah maka Pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan melalui peraturan        

17

Ibid, hal. 4

18 

Halim Barkatullah, Abdul. Hak‐Hak Konsumen. Cet 1. Bandung: Penerbit Nusa Media,  2010, hal 49 


(30)

perundangundanganan yang berlaku, dan Pemerintah juga melakukan pengawasan  terhadap dilaksanakannya peraturan perundang‐undangan tersebut oleh berbagai pihak  yang terkait.19 

   

B. Prinsip dan Bentuk Perlindungan Hukum 

Kebutuhan‐kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya hukum ekonomi 

dalam perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globalisasi  seperti sekarang ini, ditandai dengan saling ketergantungan antara negara satu dengan  negara lain. Indonesia dituntut membentuk hukum nasional yang mampu berperan  dalam memperlancar lalu lintas hukum di tingkat internasional. Unsur‐unsur dari makna  perlindungan konsumen ini yaitu unsur tindakan melindungi, unsur adanya pihak‐pihak  yang melindungi dan unsur cara melindungi. Adalah fakta bahwa terdapat ketentuan‐ ketentuan yang baik berasal dari legal culture bangsa lain ataupun konvensi‐konvensi  internasional yang dapat dimanfaatkan dalam rangka modernsasi hukum nasional. Yang  perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggung  jawab produk (product liability).20 

Secara  historis,  product  liability  lahir  karena  adanya  ketidakseimbangan  tanggung jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya  menerapkan strategi producy oriented dalam pemasaran produknya, harus merubah        

19 

Resti Nurhayati. Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 8  tahun 1999. Semarang : Kisi Hukum Majalah Ilmiah FH Unika Soegijapranata, 2001. 

20 


(31)

strateginya menjadi consumer orientedProduct liability adalah suatu tanggung jawab  secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang  atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau  dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan  dilihat dari konvensi tentang product liability diperluas terhadap badan/orang yang  terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk.  Unsur‐unsur dari makna perlindungan konsumen yaitu unsur tindakan melindungi, unsur  adanya pihak‐pihak yang melindungi dan unsur cara melindungi. Berdasarkan unsur‐ unsur ini berarti perlindungan mengandung makna suatu tindakan perlindungan atau  tindakan melindungi dari pihak‐pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu  dengan menggunakan cara‐cara tertentu. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  perlindungan  konsumen  dapat  dilakukan  melalui  berbagai  bentuk  diantaranya  perlindungan ekonomi, sosial, politik dan perlindungan hukum. Tetap dari bentuk‐ bentuk perlindungan terhadap konsumen tersebut yang terpenting adalah perlindungan  yang tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan kalimat untuk kepentingan pihak lain,  serta  rumusannya  hanya  terpaku  pada  orang  atau  mahluk  lain,  padahal  dalam  kenyataan tidak hanya orang saja yang disebut konsumen, tetapi masih ada yang lain  yakni badan usaha.21 

Bentuk perlindungan konsumen ini dilakukan dan diberikan UUPK yakni dengan  adanya penetapan serta pengaturan hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban konsumen yang  terdapat pada pasal 4‐5 UUPK. Dengan adanya ketentuan pengaturan ini, memberikan  batasan terhadap kewajiban‐kewajiban produsen (Pasal 7 UUPK) dan hak‐hak produsen        

21 

Nining Muktamar; 2005, Berperkara Secara Mudah, Murah dan Cepat, Pengenalan  Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen, Piramedia, Jakarta. 


(32)

(Pasal 6 UUPK) serta perbuatan apa saja yang tidak dapat dilakukan pelaku usaha  terhadap konsumen (Pasal 8‐17 UUPK). Perlindungan konsumen ini juga ditegaskan lagi  dengan adanya permberian sanksi administratif ataupun sanksi pidana (Pasal 60 dan 62  UUPK) terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi tanggung jawab sebagaimana  ditentukan dalam UUPK, yakni pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan 3, Pasal  20, Pasal 25 dan Pasal 26 akan dijatuhkan sanksi administratif oleh BPSK berupa  penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Bagi  pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 8, pasal 9, Pasal  10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1 huruf (a), huruf (b), huruf (c), huruf (e), ayat  2 dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana  denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Serta pelaku usaha yang  melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1,  Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat 1 huruf (d) dan huruf (f) dipidana dengan penjara  paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima  ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan lika berat, sakit berat,  cacat hingga menyebabkan kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.  Selain itu, konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga  yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui  peradilan  yang  berada  di  lingkungan  peradilan  umum  (Pasal  45  ayat  1  UUPK).  Penyelesaian  sengketa  konsumen  dapat  ditempuh  melalui  pengadilan  (dengan  menggunakan ketentuan Hukum Acara Perdata) atau diluar pengadilan berdasarkan  pilihan sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat 2 UUPK). 

Bentuk perlindungan konsumen ini dilakukan dan diberikan UUPK yakni dengan  adanya penetapan serta pengaturan hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban konsumen yang 


(33)

terdapat pada pasal 4‐5 UUPK. Dengan adanya ketentuan pengaturan ini, memberikan  batasan terhadap kewajiban‐kewajiban produsen (Pasal 7 UUPK) dan hak‐hak produsen  (Pasal 6 UUPK) serta perbuatan apa saja yang tidak dapat dilakukan pelaku usaha  terhadap konsumen (Pasal 8‐17 UUPK). Bentuk perlindungan konsumen di Indonesia  dipopulerkan  sekitar 25  tahun  yang lalu, yakni dengan  berdirinya suatu  lembaga  swadaya  masyarakat  yang  bernama  Yayasan  Lembaga  Konsumen  Indonesia(YLKI).  Setelah  YLKI, kemudian  muncul beberapa  organisasi  serupa,  antara  lain  Lembaga  Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak tahun  1988 dan bergabung sebagai anggota Consumers International (CI). Di luar itu, dewasa  ini  cukup  banyak  lembaga  swadaya  masyarakat  serupa  yang  berorientasi  pada  kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia  (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai provinsi di tanah air.28 Yayasan ini 

sejak  semula  tidak  ingin  berkonfrontasi  dengan  produsen  (pelaku usaha),  apabila  dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni dengan menyelenggarakan  pekan promosi Swakarya II dan  III yang benar‐benar dimanfaatkan oleh kalangan  produsen  dalam  negeri.  YLKI  bertujuan  melindungi  konsumen,  menjaga  martabat  produsen, dan membantu permerintah. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk  membantu konsumen agar hak‐haknya terlindungi. Di samping itu tujuan YLKI adalah  untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya  sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.22  

       22


(34)

Prinsip‐prinsip  perlindungan  hukum  bagi  rakyat  Indonesia  berlandas  pada  Pancasila  sebagai  dasar  ideologi  dan  dasar  falsafah  Negara.  Prinsip‐prinsip  yang  mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila adalah :23 

1. Prinsip‐prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan  yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak  asasi manusia. Pengakuan akan harkat dan  martabat manusia pada dasarnya  terkandung dalam nilai‐nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara.  Dengan  kata  lain,  Pancasila  merupakan  sumber  pengakuan  akan  harkat  dan  martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui  kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan yang diarahkan pada  usaha untuk mencapain kesejahteraan bersama. 

2. Prinsip Negara Hukum 

Prinsip kedua yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan  pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara  serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan  asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila,  yang  pada  akhirnya  mengarah  pada  usaha  tercapainya  keserasian  dan  keseimbangan  dalam  kehidupan.  Nurmandjito  membagi  bentuk  perlindungan  hukum menjadi 2 (dua), yaitu : 

a. Perlindungan  hukum  yang  preventif.  Perlindungan  hukum  ini  memberikan  kesempatan  kepada  rakyat  untuk  mengajukan  keberatan  (inspraak)  atas        

23 

Nurmandjito; 2000, Kesiapan Perangkat Perundang‐undangan Tentang Perlindungan  Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal 48 


(35)

pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang  definitif.  Sehingga,  perlindungan  hukum  ini  bertujuan  untuk  mencegah  terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang  didasarkan  pada  kebebasan  bertindak.  Dan  dengan  adanya  perlindungan  hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati‐hati dalam  mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat  dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana  keputusan tersebut. 

b. Perlindungan hukum yang represif. Perlindungan hukum ini berfungsi untuk  menyelesaikan  apabila  terjadi  sengketa.  Indonesia  dewasa  ini  terdapat  berbagai badan  yang  secara  partial  menangani perlindungan  hukum bagi  rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu: 

1) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum. Dewasa ini dalam praktek telah  ditempuh  jalan  untuk  menyerahkan  suatu  perkara  tertentu  kepada  Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. 

2) Instansi  Pemerintah  yang  merupakan  lembaga  banding  administrasi.  Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah  yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding  terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh  tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk  merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. 

3) Badan‐badan khusus. Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk  menyelesaikan suatu sengketa. Badan‐badan khusus tersebut antara lain 


(36)

adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor  Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara. 

Adapun Prinsip Prinsip dalam Hukum Perlindungan Konsumen yakni:

24

1. Let The Buyer Beware 

 Pelaku Usaha kedudukannya seimbang dengan konsumen sehingga tidak perlu  proteksi 

 konsumen diminta untuk berhati hati dan bertanggung jawab sendiri 

 konsumen  tidak  mendapatkan  akses  informasi  karena  pelaku  usaha  tidak  terbuka 

 DAlam UUPK Caveat Emptor berubah menjadi caveat venditor  2. The due Care Theory 

 pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati hati dalam memasyarakatkan  produk,  baik  barang  maupun  jasa.  Selama  berhati  hati  ia  tidak  dapat  dipersalahkan. 

 Pasal  1865  Kuhperdata  secara  tegas  menyatakan,  barangsiapa  yang  mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau  membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristirwa, maka ia  diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristirwa tersebut. 

 kelemahan beban berat konsumen dalam membuktikan  3. The Privity of Contract 

       24 

Permadi; 2006. Pola Sikap Masyarakat terhadap Masalah Perlindungan Konsumen.  Jakarta: Bina Cipta, hal 39 


(37)

 Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi  konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin  suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal hal  diluar yang diperjanjikan. 

 fenomena  kontrak  kontrak  standar  yang  bantak  beredar  di  masyarakat  merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi  dominasi pelaku usaha. 

4. Kontrak bukan Syarat 

 Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan  syarat untuk menetapkan eksistensi suatu huungan hukum 25 

 

C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam Undang‐Undang Perlindungan Konsumen  Pada pokoknya hak dan kewajiban satu pihak terhadap pihak lainnya lahir dari  suatu  perjanjian  maupun  undang‐undang.  Secara  umum  telah  diketahui  bahwa  perjanjian tertulis antar konsumen dengan pelaku usaha tidak dapat dikemukakan,  sehingga kebanyakan orang hanya berbicara mengenai pemenuhan kebutuhan dari  konsumen yang mempergunakan, memanfaatkan maupun memakai barang dan/atau  jasa yang disediakan oleh pelaku usaha. 

Untuk  memberikan  kepastian  hukum  dan  kejelasan  akan  hak‐hak  dan  kewajiban‐kewajiban  para  pihak,  Undang‐undang  Perlindungan  Konsumen  telah  memberikan  batasan  mengenai  hak‐hak  dan  kewajiban‐kewajiban.  Hak‐hak  dan  kewajiban‐kewajiban dari  pelaku  usaha  sebagaimana diatur  dalam  Undang‐undang        

25

http://ranggiwirasakti.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-dalam-hukum.html diakses 26 Oktober 2013


(38)

Pelindungan Konsumen Pasal 6 (tentang hak pelaku usaha) dan Pasal 7 (mengenai  kewajiban pelaku usaha).  

Shidarta mengemukakan bahwa dalam UUPK digunakan kata pelaku usaha yang  bermakna lebih luas karena untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana),  produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan.26 Pengertian  pelaku usaha secara normatif termuat dalam Pasal 1 Angka (3) UUPK, yaitu “setiap  orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun  bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam  wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama‐sama melalui  perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Lebih  lanjut hal tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 Angka (3) UUPK, bahwa pelaku  usaha yang termasuk dalam pengertian diatas adalah perusahaan, korporasi, Badan  Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain‐lain. Dari  definisi‐definisi  di  atas  dapat  disimpulkan,  pelaku  usaha  adalah  setiap  orang  perseorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan  kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, dan menyelenggarakan  kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 

Hak pelaku usaha dalam Pasal 6 UUPK adalah: 

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai  kondisi dan nilai tukar barang dan/jasa yang diperdagangkan 

2. Hak  untuk  mendapatkan  perlindungan  hukum  dari  tindakan  konsumen  yang  beritikad tidak baik 

       26


(39)

3. Hak melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa  konsumen 

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hokum bahwa kerugian  konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/jasa yang diperdagangkan 

5. Hak‐hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan‐undangan lainnya.  Ketententuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku di Indonesia yang  mengatur tentang kewajiban bagi para Pelaku Usaha sebenarnya sudah jelas di atur  dalam Undang‐undang Republik Indonesia No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen  namun  ternyata  masih  banyak  para  pelaku  usaha  yang  mengabaikan  kewajiban ‐ kewajiban tersebut yang mana peraturan yang mengatur tentang kewajiban  bagi Pelaku Usaha seperti yang tersebut di bawah ini dalam Pengaturan mengenai  kewajiban dari pelaku usaha tertuang dalam Pasal 7 UUPK, yaitu : 

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan  barang  dan/atau  jasa  serta  memberi  penjelasan  penggunaan,  perbaikan,  dan  pemeliharaan. 

3. Memperlakukan  atau  melayani  konsumen  secara  benar  dan  jujur  serta  tidak  diskriminatif. 

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan  berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang  dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang  dibuat dan/atau yang diperdagangkan. 


(40)

6. Memberi  kompensasi,  ganti  rugi  dan/atau  penggantian  atas  kerugian  akibat  penggunaan,  pemakaian,  dan  pemanfaatan  barang  dan/atau  jasa  yang  diperdagangkan. 

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa  yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 

  Dalam perjanjian jual beli secara kredit, maka terdapat kewajiban bagi para  pihak‐pihak yang berjanji. Pasal 1477 KUHP Perdata, dikatakan tentang dua kewajiban  penjual, yakni : 

1. Menyerahkan (leveren) barang yang dijualnya 

Dalam  penyerahan  ini  dapat  kita  baca  dalam  pasal  1475  KUHPerdata  yakni  pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli.  Selain itu ada pula dua macam penyerahan yakni : penyerahan secara nyata  (feitelijk levering) dan penyerahan menurut hukum (jurische levering). Misalnya, si  A menjual rumahnya kepada si B, si A sebagai penjual harus mengusahakan atau  memungkinkan agar si B dapat mengusahakan rumah tersebut. Ini dilakukan oleh si  A dengan menyerahkan semua kunci‐kunci rumah itu kepada si B. inilah yang  dimaksudkan dengan penyerahan secara nyata (feitlijk levering). Tetapi dengan  penyerahan ini si B belum menjadi pemilik rumah itu, sebab yang dibeli si B adalah  barang yang bergerak dan pemindah tanganan hak milik atas barang tak bergerak  harus dilakukan dengan mendaftarkan akta jual belinya itu dalam daftar yang  disediakan untuk maksud tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 616,  617 dan 620 KUHPerdata, inilah yang dimaksud dengan penyerahan menurut  hukum, (jurisdische levering). Apabila pendaftaran tersebut dilaksanakan barulah si  B menjadi pemilik rumah yang dibelinya itu. 


(41)

2. Menanggungnya 

Menurut pasal 1474 KUHPerdata kewajiban lain dari penjual ialah menanggung.  Menanggung ini mempunyai tujuan yakni : penguasaan (bezit) secara aman dan  tenteram dari barang yang dijual, dan cacat yang tidak dapat dilihat. Kedua tujuan  dapat kita baca dalam pasal 1491 KUHPerdata yang berbunyi :”Penanggungan yang  menjadi kewajiban penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin dua hal  yaitu, pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram, kedua  terhadap adanya cacat‐cacat barang tersebut yang tersembunyi atau sedemikian  rupa sehingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”. 

Bermacam‐macam  caranya  orang  dapat  mengganggu  si  pembeli  dalam  penguasaan barangnya secara aman dan tenteram. Diantaranya itu dapat dilakukan oleh  pihak‐pihak ketiga dengan perbuatan melanggarhukum (onrechtmatigedaad). Dalam hal  ini pembeli dapat melawan pihak ketiga yang melakukan perbuatan yang melanggar  hukum itu. Adanya syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih  ada ditangan penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum menjadi pemilik oleh  karena itu, maka selama periode pembayaran angsuran atau selama masa menganggur,  pembeli tidak dapat menjual atau menggadaikan   atau memindahtangankan barang  (objek perjanjian) tersebut. Apabila terjadi pemindah tanganan objek perjanjian beli  sewa selama masa angsuran, maka dapat dianggap sebagai penggelapan. Selain itu  didalam  masa  angsuran  pembeli  juga  diwajibkan  untuk  memelihara  barang  yang  dibelinya dan tidak boleh menyalah gunakannya atau pun merubahnya. 

Pada masa pembayaran angsuran, maka pembeli diwajibkan untuk memelihara  dan merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah miliknya. Kewajiban tersebut  dapat disamakan sebagai kewajiban penyewa dalam perjanjian sewa menyewa. Selama 


(42)

dalam keadaan pembayaran angsuran pembeli dapat menggunakan objek perjanjian  dan  tidak menyewakan atau tindakan yang berlainan  dengan tujuannya.  Ia harus  merupakan “tuan rumah” yang baik dan bertanggung jawab atas keselamatan barang.  Apabila dilihat seperti dalam keadaan tersebut diatas, maka terdapat gambaran seakan‐ akan pembeli adalah penyewa, sesungguhnya tidaklah demikian. Niat utamanya adalah  adanya peralihan hak. Pembeli sewa (dehuurkoper) lebih merupakan pembeli daripada  penyewa, sehingga memikul tanggungjawab atas objek perjanjian.27 

D. Perjanjian Kredit   ditinjau dari Undang‐undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang  Perlindungan Konsumen 

 

Perjanjian kredit tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak kreditor dalam hal ini  bank. Pihak debitor sebagai pihak yang mengajukan kredit tidak memiliki kewenangan  untuk turut campur dalam membuat rumusan isi perjanjian tersebut. Dalam posisi yang  seperti  ini  pihak  debitor  merupakan  pihak  yang  kedudukannya  berada  di  bawah  kreditor, sehingga debitor tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap isi perjanjian.  Bentuk perjanjian yang digunakan dalam perjanjian kredit tersebut adalah merupakan  bentuk perjanjian baku atau kontrak standar. Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab  Undang‐Undang Hukum Perdata adalah: ”Suatu perbuatan yang mengikatkan diri antara  satu orang atau lebih terhadap suatu subyek tertentu. Hal ini berarti bahwa kontrak  menimbulkan adanya hak‐hak dan kewajiban‐kewajiban di antara para pihak yang  membuatnya.” Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan antara dua  pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang  tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kesusilaan, dan ketertiban  umum.  Selain  melihat  unsur–unsur  sahnya,  perjanjian  yang  dibuat  harus        

27


(43)

memperhatikan asas kebebasan berkontrak. Para pihak bebas menentukan isi kontrak  dan objek perjanjian. Namun dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak  mempunyai keterbatasan. Untuk itu perlindungan bagi debitor selaku konsumen dalam  perbankan perlu diperhatikan lebih lanjut.28 

Dengan  dikeluarkannya  Undang‐Undang  Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan  Konsumen  maka  hak‐hak  konsumen  yang  diatur  di  dalam  Pasal  18  melarang adanya klausula eksonerasi ( pengecualian ) dalam perjanjian kredit bank.  Undang‐Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah melarang  bank untuk menyatakan tunduknya debitor pada peraturan yang berupa aturan baru,  tambahan, lanjutan, atau perubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam  masa perjanjian kredit. Nasabah peminjam kredit juga merupakan konsumen yang hak‐ hak dasarnya harus dilindungi. Perjanjian baku yang dibuat bank dalam perjanjian kredit  terkadang masih mengabaikan hak‐hak dasar konsumen. 

Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan perjanjian yang dibuat menimbulkan 

hak dan kewajiban pada masing‐masing pihak. Perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum  yang cakap hukum tidak boleh merugikan ataupun menguntungkan salah satu pihak  tertentu saja. Jika dalam suatu perjanjian baku menguntungkan pihak kreditor saja maka  perjanjian ini menjadi tidak seimbang dan bisa batal demi hukum. Pihak bank dalam  membuat perjanjian kredit hanya melihat dan berpikir pada pertimbangannya sendiri.  Perjanjian yang dibuat oleh pihak bank sebagai kreditor hanya memikirkan bagaimana ia  dapat mengambil keuntungan yang sebesar‐besarnya dan meminimalisir  terjadinya 

       28 


(44)

kerugian.  Undang‐undang  Perlindungan  Konsumen  menegaskan  bahwa  setiap  konsumen harus dilindungi hak‐haknya. Hak‐hak tersebut antara lain adalah hak untuk  mendapatkan informasi yang jelas, hak untuk tidak didiskriminasi, dan kaitannya dalam  perjanjian standart adalah hak untuk tidak melakukan perubahan‐perubahan terhadap  isi perjanjian secara sepihak oleh pihak bank. Masyarakat dalam hal pengajuan kredit  biasanya tidak menyadari bahwa sebenarnya ada payung  hukum yang melindungi  masyarakat dari tindakan pelanggaran hak‐hak konsumen di dalam perjanjian kredit  tersebut.29 

Perjanjian  kredit  bank  sebagaimana  telah  diuraikan  diatas,  cenderung  menempatkan posisi tawar pemohon kredit menjadi lebih lemah sebagai akibat adanya  klausula  yang  ditentukan  secara  sepihak  oleh  pihak  perbankan.  Meskipun  pihak  pemohon kredit telah menerima syarat‐syarat dalam perjanjian yang berarti telah secara  sukarela  bersedia mengikatkan  diri untuk  menerima persyaratan‐persyaratan  yang  dimaksud, penting kiranya adanya itikad baik dari pihak bank untuk menjaga agar terms  and condition pada perjanjian tersebut memenuhi unsur‐unsur keadilan, kepatutan,  keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara faktual berada dalam posisi  yang  tidak  seimbang.30  Bila  ditinjau  dari  hukum  perjanjian,  memang  tidak  ada  pengaturan secara rinci mengenai batasan klausula baku dalam KUH Perdata yang  diterapkan  dalam  praktek  dunia  usaha,  sehingga  hal  ini  menggambarkan  belum  diberikannya perlindungan yang seimbang bagi para pihak. Dengan diundangkannya        

29 

Subekti & R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk  Wetboek), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal 52 

30 

Patrik, Purwahid, Dasar‐dasar hukum perikatan (perikatan yang lahir dari perjanjian  dan dari undang‐undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 67 


(45)

Undang‐undang  Nomor  8  Tahun  1999  tentang  Perlindungan  Konsumen  (UUPK),  kekosongan hukum tersebut menjadi terjawab melalui pengaturan dan batasan‐batasan  tentang bagaimana seharusnya perlindungan konsumen diberikan secara berimbang,  berdasarkan keadilan dan kepastian hukum terhadap penggunaan perjanjian baku.31  

UUPK dalam hal ini telah menuangkan secara tegas dalam pasal 2 mengenai asas  perlindungan  konsumen  yang  digunakan  sebagai  landasan  untuk  mewujudkan  perlindungan bagi konsumen, termasuk dalam penerapan perjanjian baku. Adapun  beberapa asas perlindungan konsumen yang dimaksud disini yaitu Asas Manfaat, Asas  Keadilan, Asas Keseimbangan, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, serta Asas  Kepastian  Hukum.  Adanya  Asas  Manfaat  dimaksudkan  agar  segala  upaya  dalam  penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya  bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sehingga partisipasi  seluruh  rakyat  dapat  diwujudkan  secara  maksimal  dan  membedakan  kesempatan  kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan  kewajibannya secara adil sesuai dengan Asas Keadilan. Selanjutnya Asas Keseimbangan  bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku  usaha,  dan  pemerintah.  Begitu  pula  dengan  Asas  Keamanan  dan  Keselamatan  Konsumen,  yang  dimaksudkan  untuk  memberikan  jaminan  atas  keamanan  dan  keselamatan  kepada  konsumen  dalam  penggunaan,  pemakaian,  dan  pemanfaatan  barang dan jasa yang digunakan. Agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum  dan  memperoleh  keadilan  dalam  penyelenggaraan  perlindungan  konsumen,  serta 

       31 

Siahaan NHT; 2005, Perlindungan Konsumen & Tanggung jawab Produk, Panta Rei, hal  38 


(46)

Negara memberikan jaminan adanya kepastian hukum sesuai dengan Asas Kepastian  Hukum. 

Tentunya dalam perjanjian pemberian kredit antara pemohon dan pihak bank  apabila ditinjau dari UUPK haruslah berpegang pada kelima asas di atas. Dari segi  manfaat, perjanjian pemberian kredit pastinya telah memberikan manfaat yang besar  bagi pemohon kredit yang membutuhkan bantuan financial, sehingga kebutuhan akan  uang dapat terpenuhi melalui peran pelaku usaha yaitu perbankan. Demikian pula dari  sisi pihak bank sendiri, dengan adanya transaksi pemberian kredit dapat meningkatkan  keuntungan  melalui rentang positif suku bunga bank atau positive spread (bunga  pinjaman lebih tinggi daripada bunga simpanan).32 Yang juga perlu diperhatikan dalam  perjanjian pemberian kredit adalah dari segi keseimbangan para pihak. Tentunya dengan  penetapan sejumlah persyaratan oleh pihak bank dimaksudkan untuk menyeimbangkan  pengeluaran dan resiko atas fasilitas pemberian kredit tersebut, namun upaya untuk  menjaga kedudukan yang berimbang antara pelaku usaha dan konsumen haruslah tetap  dijaga. Seringkali karena kurangnya informasi bagi pemohon kredit dan posisinya yang  sangat tergantung pada bank pada akhirnya membuat nasabah harus tunduk pada  perjanjian yang telah ditandatangani tersebut.33 

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK disebutkan bahwa: “Klausula baku adalah  setiap aturan atau ketentuan dan syarat‐syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan 

       32

Ketut Rindjin, 2000, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.112.

33 

Widijantoro; 1999, Dari  Tradisi  Hukum Caveat  Emptor  Menuju Product Liability  Mengenai Hak dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha –UUPK, Rajawali Press, Jakarta, hal 71 


(47)

terlebih  dahulu  secara  sepihak  oleh  pelaku  usaha  yang  dituangkan  dalam  suatu  dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” 

Dengan adanya ketentuan ini, setiap syarat yang digunakan dalam dokumen  (bon pembelian, kwitansi pembayaran, tanda penyerahan kiriman, dan lain sebagainya)  atau perjanjian (perjanjian kredit bank, perjanjian pembelian, perjanjian asuransi, dan  sejenisnya)  dilarang  dipergunakan  sepanjang  bertentangan  dengan  ketentuan  sebagaimana telah tertuang dalam pasal 18 UUPK yang menetapkan bahwa dalam  menawarkan barang dan/atau  jasa  yang  ditujukan  untuk  diperdagangkan dilarang  membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian  apabila klausula baku tersebut:34 

(1) Isinya: 

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang  yang dibeli konsumen; 

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang  dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara  langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang  berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; 

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan  jasa yang dibeli oleh konsumen; 

       34


(1)

mempunyai tim legal sendiri dan dukungan dana yang kuat. Terlebih lagi mereka  telah menandatangani perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia. 

Sebenarnya seperti yang  diuraikan  pada pembahasan pertama  bahwa  kegiatan usaha pinjaman tunai ini yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan  secara  administratif  belum  mempunyai  landasan  hukum  administratif  yang  mendasari berjalannya kegiatan usaha pinjaman dana tunai ini sehingga belum ada  pengaturan  penyelesaian  kredit  bermasalah  yang  menjadi  pedoman  bagi  perusahaan pembiayaan. Diharapkan nanti apabila pemerintah akan membuat  aturan baru mengenai perusahaan pembiayaan dapat juga mengatur mengenai  pedoman penyelesaian kredit bermasalah yang dapat melindungi hak konsumen  dan perusahaan pembiayaan. 

 

 

 

 

 

 

 

 


(2)

BAB V 

PENUTUP 

 

A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat

menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta

sekaligus merupakan jawaban dari pada permasalahan yang penulis buat, yaitu:

1.

Tanggung jawab pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian jual beli jika

barang (mobil) secara kredit hilang dan musnah

Mengenai, musnahnya barang

yang terutang menurut Pasal 1444 KUH Perdata, yaitu:

“Jika barang tertentu

yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau

hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau

tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di

luar kesalahan debitur

dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

jika berkaca

pada ketentuan hukum yang berlaku dalam KUH Perdata, jika terjadi

kehilangan terhadap barang yang terutang yang dilakukan dengan tidak

sengaja oleh debitur, maka debitur tidak diwajibkan untuk menyelesaikan

pembayaran terhadap cicilan barang tersebut.

2.

Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli

Mobil Kredit yakni tahap dimana telah terjadi adanya kesepakatan antar pihak

konsumen dengan pihak PT BII Finance Center melalui ditandatanganinya

formulir yang sudah dibuat sepihak oleh pihak PT BII Finance Center,


(3)

sehingga menimbulkan hubungan hukum di antara kedua belah pihak

menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3.

Upaya-Upaya Hukum yang dapat dilakukan konsumen PT BII Finance Center

apabila dirugikan dalam Jual Beli Mobil Kredit yakni Penyelesaian masalah

apabila terjadi kredit bermasalah di perusahaan pembiayaan ditempuh dengan

dua cara yaitu dengan jalur litigasi dan non-litigasi. Jalur non-litigasi,

penyelesaian kredit bermasalah ditempuh di luar jalur hukum seperti

negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian/meminta pendapat ahli, evaluasi

netral dini (

early neutral evaluation

), pencarian fakta netral (

neutral fact

finding

) Sedangkan jalur litigasi, penyelesaian masalah ditempuh melalui

jalur hukum yaitu dengan mengajukan gugatan ke pengadilan .

B. Saran

Penulis memberikan saran, bahwa :

1. Perjanjian yang dilakukan oleh PT BII Finance Center hendaknya dilaksanakan secara  transparan, apabila terjadi wanprestasi ada solusi yang baik tanpa menggunakan  kekerasan, adanya negosiasi antara konsumen (debitur) dengan pihak PT BII Finance  Center. 

2. Konsumen pada PT BII Finance Center harus sadar akan kewajibannya untuk tepat  waktu dalam melakukan pembayaran angsuran atau cicilan kendaraan yang di kredit  agar masalah kredit macet yang selama ini sangat merugikan PT BII Finance Center  dapat diminimalisir. Tindakan wanprestasi konsumen (debitur) hendaknya harus  dilihat dulu penyebabnya terjadi wanprestasi tersebut. 

3. Debitur hendaknya lebih teliti dalam membaca isi perjanjian karena perjanjian 

tersebut dibuat secara sepihak oleh debitur.


(4)

DAFTAR PUSTAKA 

Buku 

Abdulkadir, Muhammad. Perjanjian  Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan.  Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992 

Abdul Aziz Dahlan, et.all., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van  Hoeve, 1997 

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo  Persada, 2007 

Az. Nasution. Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada  perlindungan konsumen. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995 

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Cetakan  Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1996 

Djoko  Prakoso  dan  Bambang  Riyadi  Lany,  Dasar  Hukum  Persetujuan  Tertentu  di  Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987 

Erman Rajagukguk, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju.  2000. 

Halim Barkatullah, Abdul. Hak‐Hak Konsumen. Cet 1. Bandung: Penerbit Nusa Media,  2010 

Happy Susanto, Hak‐Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008. 

Hernoko,  Agua  Yudha.  Hukum  Perjanjian  Asas  Proporsionalitas  Dalam  Kontrak  Komersil.Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008 

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia PT. Buku Kita, Jakarta, 2009. 

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya  Bakti, 2010 

Johannes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan,  Bandung, 1999 

Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Gramedia  Pustaka Utama, Jakarta, 2000 


(5)

M. Yahya Harahap, Segi‐Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986 

Nining Muktamar, Berperkara Secara Mudah, Murah dan CepatPengenalan Mekanisme  Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen, Piramedia, 2005 

Nurmandjito,  Kesiapan  Perangkat  Perundang‐undangan  Tentang  Perlindungan  Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000 

Patrik, Purwahid, Dasar‐dasar hukum perikatan (perikatan yang lahir dari perjanjian dan  dari undang‐undang), Mandar Maju, Bandung, 1994 

Permadi, Pola Sikap Masyarakat terhadap Masalah Perlindungan Konsumen. Jakarta:  Bina Cipta, 2006 

Resti Nurhayati. Perlindungan Konsumen Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 8 tahun  1999. Semarang : Kisi Hukum Majalah Ilmiah FH Unika Soegijapranata, 2001  Salim H.S, Hukum Kontrak & Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003  Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti, 

Bandung, 1995 

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000  Siahaan NHT, Perlindungan Konsumen & Tanggung jawab Produk, Panta Rei, 2005  Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986. 

Subekti, R., Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995 

_________,  Jaminan‐jaminan  Untuk  Pemberian  Kredit  Termasuk  Hak  Tanggungan  Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 

_________ & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk  Wetboek), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003 

Yusuf Shofie, Perlindugan Konsumen dan Instrumen‐Instrumen Hukumnya, PT Citra  Aditya Bakti, Bandung, 2000 

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi: Jual Beli, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004  Widijantoro; Dari Tradisi Hukum Caveat Emptor Menuju Product Liability Mengenai Hak 

dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha –UUPK, Rajawali Press, Jakarta, 1999  Wirjono Prodjodikoro, Azaz‐ azaz Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta 

Cetakan Ketujuh, 1983   


(6)

Internet   

http://ranggiwirasakti.blogspot.com/2012/11/prinsip‐prinsip‐dalam‐hukum.html diakses  26 Oktober 2013 

http://ruslibatubara‐ruslibatubara.blogspot.com/2012/03/hukum‐jual‐beli‐secara‐ kredit.html diakses 26 Oktober 2013 

http://mvpivanaputra‐show.blogspot.com/2013/03/perjanjian‐jual‐beli‐menurut‐ kuhperdata.html diakses 26 Oktober 2013 

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:ZOIHGcFy1vwJ:ayurai.dosen. narotama.ac.id/ diakses 26 Oktober 2013 

Peraturan dan Perundang‐undangan 

1.

KUH Perdata