BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Hidung - Profil Tumor Yang Berasal Dari Kavum Nasi Dan Sinus Paranasal Berdasarkan Histopatologis Di THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2009 – Desember 2011

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

2.1.1

Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar
dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu paling atas kubah tulang yang tak
dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak keatas dan
belakang dari apeks disebut batang hidung (Higler, 1997).
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan.
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang kartilago

nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala
mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Kerangka tulang dan tulang
rawan ini dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung (Dhingra, 2007;
Soetjipto et al, 2007).
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri
dari

m.dilator nares (anterior dan posterior), m.proserus, kaput angulare

m.kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dam.nasalis
dan m.depressor septi (Hwang & Abdalkhani, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar (Dhingra, 2007)

Hidung bagian dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi
kiri yang dipisahkan oleh septum nasi. Lubang hidung bagian depan disebut
nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior

atau koana (Dhingra, 2007; Soetjipto & Wardani, 2007).
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial terdapat septum nasi dan dinding lateral
terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terkecil ialah
konka suprema dan biasanya rudimenter. Celah antara konka inferior dan
dasar hidung dinamakan meatus inferior. Celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior (Soetjipto & Wardani, 2007).
Kavum nasi terdiri dari (Hwang & Abdalkhani, 2009; Dhingra, 2007;
Soetjipto, 2007):
1. Dasar hidung: dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.

Universitas Sumatera Utara

2. Atap hidung: terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, prosesus
frontalis os nasal, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa.
3. Dinding lateral: dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka

inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus
medial.
4. Konka: pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka
inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila.
Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
etmoid.
5. Meatus nasi: diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media
terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus media terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.
6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2. Penampang Lateral Hidung (Dhingra, 2007)

2.1.2 Pendarahan Hidung
Pendarahan pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri
karotis eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung
(Dhingra, 2007)
2.1.2.1 Pendarahan arteri karotis interna
Arteri optalmikus yang berasal dari arteri karotis interna bercabang
menjadi arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior masuk ke
kavum nasi. Arteri etmoidalis anterior mendarahi septum bagian anterior dan
dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior mendarahi septum bagian
posterior dan dinding lateral hidung(Dhingra, 2007; Hwang & Abdalkhani,
2009).
2.1.2.2 Pendarahan arteri karotis eksterna
Arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna kemudian
bercabang menjadi arteri sfenopalatina dan arteri palatine mayor. Arteri
sfenopalatina

masuk


ke

dalam

rongga

hidung

melalui

foramen

Universitas Sumatera Utara

sphenopalatina yang terletak sebelah lateral ujung posterior konka media.
Di dalam rongga hidung arteri sfenopalatina bercabang menjadi lateral nasal
artery yang mendarahi dinding lateral hidung dan posterior septal nasal artery
yang mendarahi septum nasi. Arteri karotis interna juga bercabang menjadi
arteri fasialis lalu menjadi arteri labialis superior (Dhingra, 2007; Lee, 2008;
Hwang & Abdalkhani, 2009).

Pada bagian anterior septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri spenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri labialis superior, arteri
palatina mayor yang disebut plexus kieselbach. Letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber perdarahan
hidung (Dhingra, 2007).
Pada

bagian

posterior

konka

media

terdapat

anastomose

arteri


spenopalatina dan ascendeing pharyngeal artery (woodruff’s area). Daerah
ini sering menyebabkan epistaksis posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).

Representasi skematis anatomi arterial normal region sinonasal. ACA mengindikasikan anterior cerebral
artery; AEA, anterior ethmoidal artery; APA, ascending palatine artery; APhA, ascendeing pharyngeal artery;
DPA, sescending palatine artery; ECA, external carotid artery; FA, facial artery; ICA, internal carotid artery;
ILT, inferior lateral trunk; IMA, internal maxillary artery; OFA, orbotofrontal artery; OphA, ophthalmic
artery; PEA, posterior ethmoidal artery; SLA, superior labial artery; SPA sphenopalatine artery

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Sistem pendarahan hidung (Willems, 2009)
2.1.3 Persarafan hidung
Bagian antero-superior rongga hidung dan septum mendapat persarafan
sensoris dari nervus etmoidalis anterior sedangkan bagian postero-superior
rongga hidung dan septum oleh nervus etmoidalis posterior. Keduanya
merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus
oftalmikus. Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang,
memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan ke septum

bagian superior, selanjutnya ke bagian antero-inferior dan mencapai palatum
durum melalui foramen insisivus (Hwang & Abdalkhani, 2009; Lee, 2008).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian
atas konka superior dan bagian septum yang berhadapan (Hwang &
Abdalkhani, 2009).

(A) Lateral wall. Sphenopaltine ganglion situated at the posterior end of middle turbinate
supplies most of posterior teo-thirds of nose. (B) nerves on the medial wall

Gambar 4. Sistem persarafan hidung (Dhingra, 2007)

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Anatomi sinus paranasal
Sinus maksila adalah sinus terbesar dari semua sinus.

Sinus maksila

memiliki bentuk piramida dan dibatasi menjadi empat bagian yakni dinding

anterior yang dibentuk dari permukaan wajah dari maksila dan berhubungan
dengan jaringan lunak pipi. Dinding posterior berhubungan dengan bagian
infratemporal dan fosa pterygopalatina. Dinding medial berhubungan dengan
bagian pertengahan maksila dengan meatus inferior, pada daerah ini dinding
sangat tipis dan berupa membran sedangkan dasar dari maksila dibentuk
dari prosesus palatine dan alveolar dari maksila dan terletak kira –kira 1 cm di
bawah dasar hidung (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani, 2009).
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (Soejipto &
Mangunkusumo, 2007)
Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses
perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan evaginasi dari dinding
lateral hidung dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoid
posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel
ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia
satu tahun, etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu
membesar dengan cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar 4-17 sel
pada

sisi


masing-masing

dengan

total

volume

rata-rata

14-15

ml

(Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani ,2009).
Sinus etmoid berongga – rongga , terdiri dari sel – sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya,
sinus etmoid terbagi menjadi dua yakni sinus etmoid anterior yang bermuara

di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior (Soejipto & Mangunkusumo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa
kehamilan yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal
anterosuperior. Sinus frontal jarang tampak pada pemeriksaan foto polos
sebelum umur 5 atau 6 tahun, setelah itu pelan-pelan tumbuh, total volume
6-7 ml. Sinus frontal mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis .
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Kira –kira 15 % dari orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Sinus frontal dipisahkan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini (Soejipto &
Mangunkusumo, 2007).
Sinus sfenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan
yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior rongga
hidung. Sinus ini berupa suatu takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur
3 tahun ketika pneumatisasi mulai lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk
menjangkau tingkatan sella tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran
orang dewasa setelah berumur 18 tahun, total volume 7.5 ml. Sinus sfenoid
mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid
posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).
2.1.5 FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan
masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat

bahwa

sinus paranasal tidak mempunyai fungsiapa-apa karena terbentuknya
sebagai akibat pertumbuhan tulang muka (Soetjipto & mangunkusumo,
2000).
Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat
membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,

Universitas Sumatera Utara

melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan
penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal

hanya

berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2000).
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:
A. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)
Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan,
sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus
dan rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak
mempunyai

vaskularisasi

dan

kelenjar

sebanyak

mukosa

hidung

(Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).
B. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung
dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).
C. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).
D. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi

Universitas Sumatera Utara

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya
sinus pada hewan tingkat rendah (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).
E. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2000).
F. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto
& Mangunkusumo, 2000).

2.1.6 Klasifikasi Tumor di Kavum Nasi dan Sinus Paranasal
Secara garis besar tumor di kavum nasi dan sinus paranasal terbagi atas
dua yakni: (Bailey, 2006, Marentette et al, 2009, Lund et al, 2010).
1. Tumor Jinak
2. Tumor Ganas

1.

Tumor Jinak
Chondroma
Craniopharyngioma
Fibrous Dysplasia
Inverted Papilloma
Lymphangioma
Meningioma
Neurofibroma

Universitas Sumatera Utara

Ossifying fibroma
Osteoma
Osteoblastoma
Hemangioma
Schwannoma

2.

Tumor Ganas
Adenoid cystic carcinoma
Basaloid carcinoma
Chondrosarcoma
Chordoma
Esthesioneuroblastoma
Fibrosarcorma
Hemangiopericytoma
Lymphoma
Malignant fibrous histiocytoma
Osteosarcoma
Rhabdomyosarcoma
Malignant schwannoma
Sinonasal melanoma
Sinonasal undifferentiated carcinoma
Squamous cell carcinoma

2.2

EPIDEMIOLOGI
Swamy & Gowda ( 2004) dalam penelitiannya dari tahun 2000 sampai

dengan 2001 di Bangalore melaporkan 30 kasus tumor jinak hidung dan
sinus paranasal dimana yang terbanyak adalah squamous papilloma
sebanyak 4 kasus (13,33%), diikuti inverted papiloma (13,31%), hemangioma

Universitas Sumatera Utara

(10%), ossifying fibroma (6,6%), Fibroma dan Fibrous dysplasia sebanyak
3,33%. Laki-laki memiliki kekerapan lebih tinggi (73,33%) dibanding
perempuan (26,67%). Lokasi tumor terbanyak kavum nasi (66,66%), sinus
paranasal ( 20%), septum (6%), hidung luar (6%).
Lund et al (2009) melaporkan osteoma adalah tumor jinak terbanyak yang
ditemukan di hidung dan sinus paranasal. Osteoma biasanya muncul pada
dekade ke -2 dan ke -6. Rasio lelaki dan perempuan 1,3 – 1 : 2.
Prevalensi inverted papiloma dilaporkan sekitar 0,5 – 4 % dari seluruh
tumor hidung yang ada. Insiden berkisar antara 0,75 – 1,5 % dari 100.000
kasus pertahun. Laki – laki lebih banyak dari perempuan yakni sekitar 3 :1
dan lebih sering menyerang ras kaukasia. Inverted Papiloma sering
menyerang dekade ke 5- sampai dekade 7 (Thapa , 2010). Tetapi, insiden
bisa terjadi pada usia yang lebih muda, dilaporkan pada usia 10 tahun
(Lyngdoh et al, 2006).
Hemangioma biasanya menyerang populasi perempuan dengan insiden
tertinggi pada dekade ke-3. Lokasi hemangioma terbanyak pada porsi
anterior di nasal septum dan bagian konka (Lund et al, 2010).
Tumor jinak biasanya menyebabkan obstruksi nasal seperti squamous
papilloma yang berasal dari vestibulum. Inverted papiloma biasanya berasal
dari dinding lateral dan tumbuh ke dalam hidung dan sinus. Hemangioma dari
tipe kapiler berasal dari nasal septum sebagai polip yang berdarah. Fibroma
biasanya jarang. Osteoma biasanya berasal dari sinus frontal dan jarang
berasal dari sinus etmoid dan sinus maksilaris (Iqbal & Hussain, 2006).
Insiden tumor kavum nasi dan sinus paranasal (tumor ganas sinus
parasanal) rendah pada kebanyakan populasi (