Profil Tumor Yang Berasal Dari Kavum Nasi Dan Sinus Paranasal Berdasarkan Histopatologis Di THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2009 – Desember 2011

(1)

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H. ADAM

MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2009 – DESEMBER 2011

Oleh

Cut Elvira Novita

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK FAKULTA KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas dan syarat untuk mencapai gelar Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Sjahril Pasaribu, Dr, dr, Sp.A (K), DTM&H, dan mantan rektor Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A (K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah Siregar, dr, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.

Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.


(3)

Yang terhormat, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.

Yang terhormat Prof Dr dr. delfitri Munir Sp.THT-Kl (K) sebagai ketua pembimbing tesis, dr. Andrina YM. Rambe Sp. THT-KL dan dr. Devira Zahara M.ked (ORL.HNS) Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Magister ini. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K); dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K); Prof. Askaroellah Aboet, dr, KL (K); Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K); dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-Sp.THT-KL (K); dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-Sp.THT-KL; dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K); Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K); dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL; Alm. dr. Hafni, Sp.THT-KL (K); dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL; dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL; dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL; dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL; dr. Harry Agustaf A, M.ked(ORL-HNS) Sp.THT-KL; dr. Farhat, M.ked(ORL-HNS) Sp.THT-KL; dr. T. Siti Hajar Haryuna, KL, dr. Aliandri, KL; dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL; dr. Devira Zahara, M.ked(ORL-HNS) Sp.THT-KL, dr.H.R.Yusa Herwanto, M.ked(ORL-HNS) Sp.THT-KL, dr.M. Pahala Hanafi Hrp, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.

Yang terhormat dr. Putri CH.Eyanoer, MSEPId.Ph.D yang telah banyak membantu saya di bidang metodologi penelitian dalam pengolahan data tesis ini.


(4)

Yang terhormat perawat / paramedis dan seluruh karyawan / karyawati RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya Departemen / SMF THT-KL yang selalu membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda dr.Teuku Razif Sp.A, Ibunda Hj.Ellyani Ginting, ananda sampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan dan dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil sehingga penulis dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama, bangsa dan Negara. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua penulis serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi penulis sewaktu kecil.

Yang tercinta Bapak mertua Amiruddin Raz dan Ibu mertua Zulisni Amir yang telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada suamiku tercinta Zulfadhli Raz, S.kom tiada kata yang lebih indah yang dapat saya ucapkan selain ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya kepada ibunda sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada adik – adik ipar, Amriani Raz, SE, drg. Amrina Raz dan Ramadhina Raz, penulis mengucapkan terimakasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama, baik dalam suka maupun dalam duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberkahi kita semua.


(5)

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis menjadi amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.

Medan, Februari 2013


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1 Tujuan Umum ... 2

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Anatomi hidung dan sinus parasanal ... 4

2.1.1 Anatomi Hidung ... 4

2.1.2 Pendarahan hidung ... 7

2.1.2.1 Pendarahan arteri karotis interna ... 7

2.1.2.2 Pendarahan arteri karotis eksterna ... 7

2.1.3 Persarafan hidung ... 8

2.1.4 Anatomi Sinus Paranasal ... 9

2.1.5 Fisiologi Sinus Paranasal ... 11

2.1.6 Klasifikasi Tumor di Kavum Nasi dan Sinus Paranasal ... 12

2.2 Epidemiologi ... 14

2.3 Etiologi ... 15

2.4 Gambaran Klinis ... 15


(7)

2.5.1 Pemeriksaan Fisik ... 17

2.5.2 Radiologi ... 18

2.6 Tumor Jinak Kavum Nasi dan Sinus Paranasal ... 19

2.6.1 Inverted Papiloma ... 20

2.6.2 Tumor Fibro-oseus dan Tulang ... 21

2.6.3 Hemangioma ... 22

2.7 Tumor Ganas kavum nasi dan Sinus Paranasal ... 23

2.7.1 Karsinoma sel skuamosa ... 23

2.7.2 Undifferentiated Carcinoma ... 24

2.7.3 Limfoma Maligna ... 24

2.7.4 Adenokarsinoma ... 25

2.7.5 Melanoma Maligna ... 25

2.7.6 Penatalaksanaan tumor ganas ... 25

2.7.6.1 Pembedahan ... 25

2.7.6.2 Drainase / Debriment ... 26

2.7.6.3 Reseksi Tumor ... 26

2.7.6.4 Rehabilitasi ... 26

2.7.6.5 Terapi radiasi ... 27

2.7.6.6. Kemoterapi ... 27

2.8 Klasifikasi TNM dan Sistem Staging Tumor Ganas ... 27

2.9 Kerangka Konsep ... 29

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Rancangan Penelitian ... 30

3.2 Tempat dan waktu penelitian ... 30

3.2.1 Tempat penelitian ... 30

3.2.2 Waktu Penelitian ... 30

3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel ... 30

3.3.1 Populasi ... 30


(8)

3.4 Variabel Penelitian ... 30

3.5 Defenisi Operasional ... 31

3.6 Pengolahan data ... 33

3.7 Kerangka Kerja ... 33

3.8 Jadwal Penelitian ... 34

BAB 4. Hasil Penelitian 4.1 Distribusi frekuensi penderita dengan tumor berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal ... 35

4.2 Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan umur ... 36

4.3 Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan jenis kelamin ... 37

4.4 Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan suku bangsa ... 38

4.5 Distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan keluhan utama ... 38

4.6 Distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan keluhan utama ... 39

4.7 Distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan histopatologis... 39

4.8 Distribusi frekuensi tumor jinak terhadap lokasi asal tumor. ... 40

4.9 Distribusi histopatologis tumor ganas ... 40

4.10 Distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan lokasi tumor ... 41

BAB 5 PEMBAHASAN ... 42

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49

PERSONALIA PENELITIAN ... 55


(9)

(10)

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H. ADAM

MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2009 – DESEMBER 2011

Abstrak

Latar Belakang : Tumor di daerah kavum nasi dan sinus paranasal, baik jinak ataupun ganas jarang ditemukan pada daerah kepala dan leher. Tumor di kavum nasi dan sinus paranasal terdiri atas tumor jinak dan ganas. Gejala dari tumor ini hampir sama dengan gejala infeksi biasa sehingga menyebabkan sulitnya mendiagnosis dini pada tumor ini.

Tujuan: Mengetahui karakteristik tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan histopatologis di THT-KL di Bagian THT-KL RSUP H. Adam Malik-Medan Periode Januari 2009 – Desember 2011.

Metode: Rancangan penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan design case series. Pengambilan sampel penelitian adalah secara retrospektif dengan melihat rekam medik yaitu seluruh penderita tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal yang datang ke bagian THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2011.

Hasil: Pada penelitian ini dijumpai penderita tumor ganas THT-KL pada Januari 2009 sampai Desember 2011 sebanyak 40 penderita dimana tumor yang banyak ditemui adalah tumor ganas 72,5% dan kelompok umur terbanyak adalah 41- 50 tahun (42,5%) dengan umur termuda adalah 17 tahun,Jenis kelamin paling banyak ditemukan pada laki-laki (65%) Suku terbanyak adalah Batak (47,5 %), keluhan utama tersering pada tumor jinak adalah hidung tersumbat (45,5%) dan tumor ganas (79,3 %), Hstopatologis tumor jinak terbanyak yakni inverted papiloma(72,7%), lokasi asal tumor jinak dan ganas terbanyak di daerah kavum nasi dan sinus paranasal (72,7% dan 79,3%)) , histopatologis tumor ganas terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (48,2,%),


(11)

THE PROFILE TUMORS THAT ORIGINATE FROM NASAL CAVITY AND PARANASAL SINUSES IN ENT DEPARTMENT OF H. ADAM MALIK HOSPITAL

MEDAN IN JANUARY 2009 - DECEMBER 2011

Abstract

Background: Tumors of nasal cavity and paranasal sinuses, either benign or malignant is very rarely found in the head and neck area. These tumors was diveded by benign and malignant tumors. The symptoms of tumors in the nasal cavity and paranasal sinuses is almost the same as the symptoms of common infections, causing difficulty of early diagnosis of theses tumours.

Purpose: Knowing the characteristics of Tumors that originate from nasal cavity and paranasal sinuses in ENT Department of H. Adam Malik Hospital Medan in January 2009 - December 2011.

Methods: This study design is a descriptive study using case series design. Sampling is a retrospective study by looking at medical records of all patients with who tumors in the nasal cavity and paranasal sinuses came to ENT Department of Medical Faculty University of Sumatera Utara / H. Adam Malik Hospital Medan from January 2009 to December 2011.

Results: In this study, patients with malignant tumors that came in ENT departement in January 2009 until December 2011 as many as 40 patients where the most tumors are malignant tumors (75%),The highest age group is 41-50 years (42.5%) with the youngest age was 17 years, and most commonly found in men (65%) The most tribe was Batak (47,5%) , the most main complaint in benign tumors of mass in the nasal cavity (45.5%), the most main complaint of malignant tumor was nasal congestion (79,3%), the most histopathologic benign tumors was inverted papilloma (72.7%) the most located malignant and benign tumors are in nasal cavity and panasal sinuses ( 72,7% and 79,3%) and the most histopathologic malignant tumors are squamous cell carcinomas (48,2

Keywords: Characteristics, tumors, descriptive, nasal cavity %)


(12)

(13)

PROFIL TUMOR YANG BERASAL DARI KAVUM NASI DAN SINUS PARANASAL BERDASARKAN HISTOPATOLOGIS DI THT-KL RSUP H. ADAM

MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2009 – DESEMBER 2011

Abstrak

Latar Belakang : Tumor di daerah kavum nasi dan sinus paranasal, baik jinak ataupun ganas jarang ditemukan pada daerah kepala dan leher. Tumor di kavum nasi dan sinus paranasal terdiri atas tumor jinak dan ganas. Gejala dari tumor ini hampir sama dengan gejala infeksi biasa sehingga menyebabkan sulitnya mendiagnosis dini pada tumor ini.

Tujuan: Mengetahui karakteristik tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan histopatologis di THT-KL di Bagian THT-KL RSUP H. Adam Malik-Medan Periode Januari 2009 – Desember 2011.

Metode: Rancangan penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan design case series. Pengambilan sampel penelitian adalah secara retrospektif dengan melihat rekam medik yaitu seluruh penderita tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal yang datang ke bagian THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2011.

Hasil: Pada penelitian ini dijumpai penderita tumor ganas THT-KL pada Januari 2009 sampai Desember 2011 sebanyak 40 penderita dimana tumor yang banyak ditemui adalah tumor ganas 72,5% dan kelompok umur terbanyak adalah 41- 50 tahun (42,5%) dengan umur termuda adalah 17 tahun,Jenis kelamin paling banyak ditemukan pada laki-laki (65%) Suku terbanyak adalah Batak (47,5 %), keluhan utama tersering pada tumor jinak adalah hidung tersumbat (45,5%) dan tumor ganas (79,3 %), Hstopatologis tumor jinak terbanyak yakni inverted papiloma(72,7%), lokasi asal tumor jinak dan ganas terbanyak di daerah kavum nasi dan sinus paranasal (72,7% dan 79,3%)) , histopatologis tumor ganas terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (48,2,%),


(14)

THE PROFILE TUMORS THAT ORIGINATE FROM NASAL CAVITY AND PARANASAL SINUSES IN ENT DEPARTMENT OF H. ADAM MALIK HOSPITAL

MEDAN IN JANUARY 2009 - DECEMBER 2011

Abstract

Background: Tumors of nasal cavity and paranasal sinuses, either benign or malignant is very rarely found in the head and neck area. These tumors was diveded by benign and malignant tumors. The symptoms of tumors in the nasal cavity and paranasal sinuses is almost the same as the symptoms of common infections, causing difficulty of early diagnosis of theses tumours.

Purpose: Knowing the characteristics of Tumors that originate from nasal cavity and paranasal sinuses in ENT Department of H. Adam Malik Hospital Medan in January 2009 - December 2011.

Methods: This study design is a descriptive study using case series design. Sampling is a retrospective study by looking at medical records of all patients with who tumors in the nasal cavity and paranasal sinuses came to ENT Department of Medical Faculty University of Sumatera Utara / H. Adam Malik Hospital Medan from January 2009 to December 2011.

Results: In this study, patients with malignant tumors that came in ENT departement in January 2009 until December 2011 as many as 40 patients where the most tumors are malignant tumors (75%),The highest age group is 41-50 years (42.5%) with the youngest age was 17 years, and most commonly found in men (65%) The most tribe was Batak (47,5%) , the most main complaint in benign tumors of mass in the nasal cavity (45.5%), the most main complaint of malignant tumor was nasal congestion (79,3%), the most histopathologic benign tumors was inverted papilloma (72.7%) the most located malignant and benign tumors are in nasal cavity and panasal sinuses ( 72,7% and 79,3%) and the most histopathologic malignant tumors are squamous cell carcinomas (48,2

Keywords: Characteristics, tumors, descriptive, nasal cavity %)


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Tumor di daerah kavum nasi dan sinus paranasal, baik jinak ataupun ganas jarang ditemukan pada daerah kepala dan leher. Kavum nasi dan sinus paranasal akan membentuk suatu unit fungsional sehingga tumor di

daerah tersebut bisa melibatkan kedua lokasi tersebut (Mandpe 2008, Chuekezy & Nwosu, 2010).

Secara garis besar, tumor pada kavum nasi dan sinus paranasal terbagi atas 4 bagian besar yakni : 1) tumor jinak, 2) tumor non neoplastik 3), tumor ganas, 4) tumor kistik (Vijay, 2006). Klasifikasi terbaru tumor yang berasal di kavum nasi dan sinus paranasal terdiri atas tumor jinak dan tumor ganas (Marentette, 2009, Lund et al, 2010).

Penelitian yang dilakukan di Oweria, Nigeria menemukan tumor jinak lebih banyak ditemukan yakni sekitar (58,97%) dibandingkan tumor ganas (41,03%) dengan tumor jinak yang terbanyak adalah inverted papiloma sebesar 13,3% dan hemangioma sebesar 10% (Gowda & Swamy, 2004, Chuekezy & Nwosu,2010). Sedangkan tumor ganas di hidung dan sinus paranasal diperkirakan sekitar 1 % dari seluruh keganasan dan hanya 3% dari seluruh keganasan di saluran nafas atas (Lund, 2009). Penelitian mengenai tumor jinak di Indonesia sendiri sampai saat ini belum diketahui angka pastinya.

Insiden tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal (tumor ganas sinonasal) rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan <0,1/100.000 pada wanita). Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di Departemen THT FKUI/RS


(16)

Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin,, 2007). Rifqi mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumorganas kavum nasi dan sinus paranasal adalah 9,3– 25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Insiden tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal di RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2005 sampai dengan 2009 yaitu 51 orang, jumlah penderita laki-laki ditemukan sebanyak 30 orang (58,8%) dan jumlah penderita perempuan ditemukan sebanyak 21 orang (41,2%).

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana profil tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan histopatologis di RSUP H.Adam Malik periode Januari 2009 sampai dengan Desember 2011

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana profil tumor yang berasal yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan histopatologis di RSUP H.Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Desember 2011

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum

Mengetahui profil tumor yang berasal yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan histopatologis di RSUP H.Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Desember 2011.


(17)

1.3 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi penderita dengan tumor yang berasal yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal.

2. Mengetahui distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan umur.

3. Mengetahui distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan jenis kelamin.

4. Mengetahui distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan suku bangsa.

5. Mengetahui distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan keluhan utama. 6. Mengetahui distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan keluhan

utama.

7. Mengetahui distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan histopatologis. 8. Mengetahui distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan lokasi tumor. 9. Mengetahui distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan

histopatologis.

10. Mengetahui distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan lokasi tumor.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat diharapkan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai tumor kavum nasi dan sinus paranasal.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (Higler, 1997).

Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Kerangka tulang dan tulang rawan ini dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung (Dhingra, 2007; Soetjipto et al, 2007).

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari m.dilator nares (anterior dan posterior), m.proserus, kaput angulare m.kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dam.nasalis dan m.depressor septi (Hwang & Abdalkhani, 2009).


(19)

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar (Dhingra, 2007)

Hidung bagian dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang dipisahkan oleh septum nasi. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior atau koana (Dhingra, 2007; Soetjipto & Wardani, 2007).

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial terdapat septum nasi dan dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terkecil ialah konka suprema dan biasanya rudimenter. Celah antara konka inferior dan dasar hidung dinamakan meatus inferior. Celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior (Soetjipto & Wardani, 2007).

Kavum nasi terdiri dari (Hwang & Abdalkhani, 2009; Dhingra, 2007; Soetjipto, 2007):

1. Dasar hidung: dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.


(20)

2. Atap hidung: terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, prosesus frontalis os nasal, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa.

3. Dinding lateral: dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka: pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid.

5. Meatus nasi: diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.


(21)

Gambar 2. Penampang Lateral Hidung (Dhingra, 2007)

2.1.2 Pendarahan Hidung

Pendarahan pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri

karotis eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung (Dhingra, 2007)

2.1.2.1 Pendarahan arteri karotis interna

Arteri optalmikus yang berasal dari arteri karotis interna bercabang menjadi arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior masuk ke kavum nasi. Arteri etmoidalis anterior mendarahi septum bagian anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior mendarahi septum bagian posterior dan dinding lateral hidung(Dhingra, 2007; Hwang & Abdalkhani, 2009).

2.1.2.2 Pendarahan arteri karotis eksterna

Arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna kemudian bercabang menjadi arteri sfenopalatina dan arteri palatine mayor. Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung melalui foramen


(22)

sphenopalatina yang terletak sebelah lateral ujung posterior konka media. Di dalam rongga hidung arteri sfenopalatina bercabang menjadi lateral nasal artery yang mendarahi dinding lateral hidung dan posterior septal nasal artery yang mendarahi septum nasi. Arteri karotis interna juga bercabang menjadi arteri fasialis lalu menjadi arteri labialis superior (Dhingra, 2007; Lee, 2008; Hwang & Abdalkhani, 2009).

Pada bagian anterior septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri spenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri labialis superior, arteri palatina mayor yang disebut plexus kieselbach. Letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber perdarahan hidung (Dhingra, 2007).

Pada bagian posterior konka media terdapat anastomose arteri spenopalatina dan ascendeing pharyngeal artery (woodruff’s area). Daerah ini sering menyebabkan epistaksis posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).

Representasi skematis anatomi arterial normal region sinonasal. ACA mengindikasikan anterior cerebral artery; AEA, anterior ethmoidal artery; APA, ascending palatine artery; APhA, ascendeing pharyngeal artery; DPA, sescending palatine artery; ECA, external carotid artery; FA, facial artery; ICA, internal carotid artery; ILT, inferior lateral trunk; IMA, internal maxillary artery; OFA, orbotofrontal artery; OphA, ophthalmic artery; PEA, posterior ethmoidal artery; SLA, superior labial artery; SPA sphenopalatine artery


(23)

Gambar 3. Sistem pendarahan hidung (Willems, 2009)

2.1.3 Persarafan hidung

Bagian antero-superior rongga hidung dan septum mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior sedangkan bagian postero-superior rongga hidung dan septum oleh nervus etmoidalis posterior. Keduanya merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus. Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya ke bagian antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui foramen insisivus (Hwang & Abdalkhani, 2009; Lee, 2008). Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas konka superior dan bagian septum yang berhadapan (Hwang & Abdalkhani, 2009).

Gambar 4. Sistem persarafan hidung (Dhingra, 2007)

(A) Lateral wall. Sphenopaltine ganglion situated at the posterior end of middle turbinate supplies most of posterior teo-thirds of nose. (B) nerves on the medial wall


(24)

2.1.4 Anatomi sinus paranasal

Sinus maksila adalah sinus terbesar dari semua sinus. Sinus maksila memiliki bentuk piramida dan dibatasi menjadi empat bagian yakni dinding anterior yang dibentuk dari permukaan wajah dari maksila dan berhubungan dengan jaringan lunak pipi. Dinding posterior berhubungan dengan bagian infratemporal dan fosa pterygopalatina. Dinding medial berhubungan dengan bagian pertengahan maksila dengan meatus inferior, pada daerah ini dinding sangat tipis dan berupa membran sedangkan dasar dari maksila dibentuk dari prosesus palatine dan alveolar dari maksila dan terletak kira –kira 1 cm di bawah dasar hidung (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani, 2009).

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (Soejipto & Mangunkusumo, 2007)

Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral hidung dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoid posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun, etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-15 ml (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani ,2009).

Sinus etmoid berongga – rongga , terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid terbagi menjadi dua yakni sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior (Soejipto & Mangunkusumo, 2007).


(25)

Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus frontal jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur 5 atau 6 tahun, setelah itu pelan-pelan tumbuh, total volume 6-7 ml. Sinus frontal mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis . Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kira –kira 15 % dari orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini (Soejipto & Mangunkusumo, 2007).

Sinus sfenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior rongga hidung. Sinus ini berupa suatu takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur 3 tahun ketika pneumatisasi mulai lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk menjangkau tingkatan sella tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah berumur 18 tahun, total volume 7.5 ml. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).

2.1.5 FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsiapa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka (Soetjipto & mangunkusumo, 2000).

Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,


(26)

melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal: A. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)

Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak

mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

B. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

C. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

D. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi


(27)

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

E. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

F. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

2.1.6 Klasifikasi Tumor di Kavum Nasi dan Sinus Paranasal

Secara garis besar tumor di kavum nasi dan sinus paranasal terbagi atas dua yakni: (Bailey, 2006, Marentette et al, 2009, Lund et al, 2010).

1. Tumor Jinak 2. Tumor Ganas

1. Tumor Jinak

Chondroma

Craniopharyngioma Fibrous Dysplasia Inverted Papilloma Lymphangioma Meningioma Neurofibroma


(28)

Ossifying fibroma Osteoma

Osteoblastoma Hemangioma Schwannoma

2. Tumor Ganas

Adenoid cystic carcinoma Basaloid carcinoma Chondrosarcoma Chordoma

Esthesioneuroblastoma Fibrosarcorma

Hemangiopericytoma Lymphoma

Malignant fibrous histiocytoma Osteosarcoma

Rhabdomyosarcoma Malignant schwannoma Sinonasal melanoma

Sinonasal undifferentiated carcinoma Squamous cell carcinoma

2.2 EPIDEMIOLOGI

Swamy & Gowda ( 2004) dalam penelitiannya dari tahun 2000 sampai dengan 2001 di Bangalore melaporkan 30 kasus tumor jinak hidung dan sinus paranasal dimana yang terbanyak adalah squamous papilloma sebanyak 4 kasus (13,33%), diikuti inverted papiloma (13,31%), hemangioma


(29)

(10%), ossifying fibroma (6,6%), Fibroma dan Fibrous dysplasia sebanyak 3,33%. Laki-laki memiliki kekerapan lebih tinggi (73,33%) dibanding perempuan (26,67%). Lokasi tumor terbanyak kavum nasi (66,66%), sinus paranasal ( 20%), septum (6%), hidung luar (6%).

Lund et al (2009) melaporkan osteoma adalah tumor jinak terbanyak yang ditemukan di hidung dan sinus paranasal. Osteoma biasanya muncul pada dekade ke -2 dan ke -6. Rasio lelaki dan perempuan 1,3 – 1 : 2.

Prevalensi inverted papiloma dilaporkan sekitar 0,5 – 4 % dari seluruh tumor hidung yang ada. Insiden berkisar antara 0,75 – 1,5 % dari 100.000 kasus pertahun. Laki – laki lebih banyak dari perempuan yakni sekitar 3 :1 dan lebih sering menyerang ras kaukasia. Inverted Papiloma sering menyerang dekade ke 5- sampai dekade 7 (Thapa , 2010). Tetapi, insiden bisa terjadi pada usia yang lebih muda, dilaporkan pada usia 10 tahun (Lyngdoh et al, 2006).

Hemangioma biasanya menyerang populasi perempuan dengan insiden tertinggi pada dekade ke-3. Lokasi hemangioma terbanyak pada porsi anterior di nasal septum dan bagian konka (Lund et al, 2010).

Tumor jinak biasanya menyebabkan obstruksi nasal seperti squamous papilloma yang berasal dari vestibulum. Inverted papiloma biasanya berasal dari dinding lateral dan tumbuh ke dalam hidung dan sinus. Hemangioma dari tipe kapiler berasal dari nasal septum sebagai polip yang berdarah. Fibroma biasanya jarang. Osteoma biasanya berasal dari sinus frontal dan jarang berasal dari sinus etmoid dan sinus maksilaris (Iqbal & Hussain, 2006).

Insiden tumor kavum nasi dan sinus paranasal (tumor ganas sinus parasanal) rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan <0,1/100.000 pada wanita). Insiden tertinggi keganasan sinus parasanal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di Departemen


(30)

THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, 2007). Rifqi mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2005 sampai dengan Desember 2009 pasien yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 51 kasus terdiri dari 30 laki- laki dan 21 perempuan (Salim, 2010).

2.3 ETIOLOGI

Kavum nasi dan sinus paranasal merupakan daerah yang jarang untuk tumor di daerah kepala dan leher. Sejumlah faktor berupa paparan industri, termasuk nikel, kromium, debu kayu, kulit, formaldehide, minyak mineral, isopropil,radium,iradiasi dan merokok. Hubungan antara faktor makan dan keganasan dari kavum nasi dan sinus paranasal serta alkohol dan makanan diasinkan meningkatkan terjadi resiko. Selain itu, Human Papiloma virus (HPV) dianggap memiliki hubungan dengan inverted papiloma dan karsinoma sel skuamosa (Chukuezy & Nwosu, 2010).

2.4 Gambaran Klinis

Tumor yang berasal pada kavum nasi dan sinus paranasal merupakan tumor yang jarang. Gejala pada tumor bisa menjadi samar dan pasien sering didiagnosa dengan rinosinusitis. Keterlambatan yang signifikan pada diagnosa tumor ini terjadi sampai usaha pengobatan rinosinusitis dengan obat –obatan tidak berhasil ataupunditemukan pemeriksaan tambahan berupa anjuran pemeriksaan radiologi (Marentette et al, 2009).


(31)

Pada penelitian Swamy dan Gowda (2001) menemukan gambaran klinis terbanyak pada pasien tumor jinak yakni hidung tersumbat (56%), epistaksis (53%) dan hidung berair (50%).

Tanda dan gejala klinis pada pasien dengan tumor ini terbagi menjadi dua yakni gejala dini dan gejala lanjut. Tanda dan gejala klinis berupa epistaksis, hidung tersumbat dan hidung berbau. Hidung tersumbat di salah satu sisi merupakan indikator yang paling penting untuk membedakan tumor dengan penyakit peradangan di kavum nasi dan sinus paranasal. Epistaksis ringan maupun berat biasanya terjadi tumor ganas yang tidak berdefferensiasi dan karsinoma sel skuamosa (Marentette et al, 2009).

Gejala lanjut pada tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berupa parasthesia, gangguan penciuman, nyeri ketika membuka mulut, gangguan pendengaran, proptosis dan maloklusi. Parasthesia disebabkan karena tumor meluas ke cabang dari saraf trigeminal. Gangguan penciuman terjadi karena perluasan tumor di kedua kavum nasi, sedangkan proptosis disebabkan oleh invasi tumor ke orbita (Marentette et al, 2009). Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey, 2006).

2.5 Diagnosis


(32)

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan adanya tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal meliputi pemeriksaan kepala dan leher yang komplit.

1. Kavum nasi dan sinus paranasal

Pemeriksaan dari kavum nasi dan sinus paranasal dapat menunjukkan adanya massa pada kavum nasi. Septum dapat ditandai sebagai tanda apakah terjadi deviasi kontralateral disebabkan karena ekspansi dari tumor karena erosi tumor biasa meluas ke daerah kontralateral. Pada evaluasi dengan endoskopi berguna pada tumor jinak seperti inverted papiloma untuk mengevaluasi mukosa dari tumor sehingga dapat dibedakan dibedakan dengan polip..

2. Kavum oris.

Gigi dan palatum perlu diperiksa untuk melihat apakah ada invasi ke maksila.

3. Wajah dan mata

Pembengkakan pada wajah, pipi dan kulit hidung merupakan indikasi bahwa tumor telah meluas ke dinding jaringan melalui dinding tulang anterior. Proptosis biasanya meluas melalui lamina papirasea menekan periorbital pada yang tumor jinak seperti mukokel dan bisa disebabkan karena keganasan yang melibatkan invasi intraorbital. Diplopia biasanya terlihat dengan proptosis dan kehilangan penglihatan dapat menjadi tanda terjadi keterlibatan penekanan saraf optikus.

4. Saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial merupakan kelanjutan dari invasi tumor di kavum nasi dan sinus paranasal. Gangguan saraf kranial olfaktorius (I) biasanya terjadi pada esthesioneuroblastomas. Saraf kranial lain melibatkan saraf optikus (II), saraf okulomotorius( III), saraf trokhlearis


(33)

(IV), saraf abdusen ( VI) dan supraorbital serta cabang maksilaris dari saraf trigeminal.

5. Penemuan fisik lain

Penemuan fisik lain yang dapat bisa berupa otitis media serosa karena keterlibatan tuba eustahius dan massa di leher karena metastase tumor ke kelenjar getah bening (Mandpe, 2008 ).

2.5.2 Radiologi

Deteksi dengan tomografi komputer pada kavum nasi dan sinus paranasal (CT scan) lebih akurat daripada foto polos untuk menilai struktur tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinus paranasal dan dengan simptom persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan potongan aksial dan koronal dengan kontras atau magnetic resonance imaging (MRI). CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinus paranasal dan dasar tomografi tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid (Bailey, 2006).

MRI dipergunakan untuk membedakan tumor sekitar dengan jaringan lunak, membedakan sekresi di dalam kavum nasi dan sinus paranasal yang tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan pencitraan pada potongan sagital dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. MRI potongan koronal dipergunakan untuk mengevaluasi foramen rotundum, kanal vidian, foramen ovale dan kanal optik. Potongan sagital berguna untuk menunjukkan pergantian sinyal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave berintensitas tinggi pada lemak di dalam fossa pterigopalatina oleh sinyal tumor yang mirip dengan otak (Bailey, 2006; Maroldi et al, 2004).


(34)

Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk menetukan stadium dan angka ketahanan hidup. Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan anatomi yang jelas membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya tumor (Bailey, 2006).

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal (Roezin, 2007).

2.6 Tumor Jinak Kavum Nasi dan Sinus Paranasal

Chukuezy dan Nwosu (2010) pada penelitiannya selama 10 tahun di Nigeria melaporkan tumor jinak lebih banyak dibandingkan tumor ganas, yakni sekitar 58,97%. Tumor jinak terbanyak yang ditemui adalah hemangioma (30,78%), inverted papiloma (15,38%), epitelial papiloma (5,13%). Sementara London et al (2002) menemukan osteoma adalah tumor jinak tebanyak yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi.

Barandafar et al (2006) pada penelitiannya pada 105 pasien di tahun 1997 – 2003 menemukan tumor jinak terbanyak adalah inverted papiloma (24 pasien), lesi fibroseus ( osteoma, fibrous dysplasia, ossyfing fibroma ) sebanyak 23 pasien dan hemangioma sebanyak 6 pasien.

Chuekezy dan Nwosu (2010) menemukan penderita tumor ganas sebanyak 51,28% pria dan 48,72% adalah perempuan dengan rasio 1,1 : 1. Swamy (2004) melaporkan penelitiannya terhadap 30 orang , menemukan jenis kelamin terbanyak adalah pria 22 orang dan wanita 8 orang. Dengan tempat tumor terbanyak di kavum nasi 66,6%, sinus paranasal 20 %, septum 2%, hidung bagian luar 2%. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah sumbatan hidung (51 %), massa si hidung (47%), epistaksis (38%), hidung berair (25% dan pipi bengkak sebanyak 8% (Iqbal & Hussain, 2006),


(35)

sedangkan penelitian lain oleh Swamy et al ( 2004) menemukan sumbatan di hidung (56,6%), hidung berair (50%), massa di hidung (40%) dan epistaksis (50 %).

2.6.1 Inverted papiloma

Inverted papiloma didefinisikan sebagai tumor jinak epitelial yang terdiri dari diferensiasi sel epitel kolumnar atau sel epitel silia respiratori yang memiliki variabel diferensiasi skuamosa. (Thapa, 2010). Tumor ini sangat menarik, karena meskipun jinak, tumor ini memiliki kecenderungan untuk rekuren dan cenderung menjadi ganas (Lund et al, 2009).

Insiden terjadinya belum pernah dilaporkan sebelumnya pada studi epidemiologi pada grup populasi normal. Inverted papiloma berkisar 0,5-4% dari tumor hidung yang dioperasi dengan onset umur berkisar antara 15 -96 tahun dengan insiden tertinggi pada dekade ke 5 dan 6 (Lund et al, 2009). Tempat tersering dari inverted papiloma adalah dinding lateral dari kavum nasi, dan dinding medial dari sinus maksila, meskipun demikian bisa ditemui di sinus lainnya.(Thapa, 2010).

Gejala yang ditimbulkan meliputi sumbatan hidung, epistaksis, hidung berair, dan sinusitis yang rekuren. Meskipun gejala tersering dari tumor ini adalah sumbatan hidung yang unilateral. Keterlibatan kedua sinus dilaporkan sebanyak 1-9% pada pasien dengan inverted papiloma (Thapa, 2010 ; Iqbal et al, 2008).

CT Scan diperlukan untuk melihat adanya erosi tulang sehingga dapat memberitahukan kepada kita kemungkinan untuk terjadinya keganasan. Sedangkan MRI sangat penting untuk membedakan mukus atau papiloma lainnya. (Lund et al , 2009).

Secara histopatologis, inverted papiloma berupa penebalan lapisan epitel dengan invaginasi kriptiform yang ditopang oleh stroma. Klasifikasi epitel terdiri atas skuamus, transisional dan tipe apikal. (Kim, 2001).


(36)

Klasifikasi inverted papiloma menurut Han et al :

Stadium Perluasan

Stadium 1 Tumor terbatas di kavum nasi, dinding hidung lateral sinus maksila medial, sinus etmoid dan sinus sfenoid .

Stadium 2 Seperti stadium 1 kecuali tumor meluas dari lateral ke dinding medial maksila

Stadium 3 Tumor telah melibatkan sinus frontal

Stadium 4 Tumor telah meluas keluar dari sinus ( orbita dan intra kranial)

Penanganan inverted papiloma meliputi rinotomi lateral atau midfacial degloving dan pendekatan secara endoskopik (Thapa, 2010).

2.6.2 Tumor Fibro-oseus dan tulang

Tumor fibro-oseus termasuk tumor jinak dengan abnornalitas tulang yang dapat terjadi di region kavum nasi dan dan sinus paranasal. Tumor fibro-oseus ini terbagi menjadi tiga grup besar yakni Fibrous dysplasia, ossifying fibroma dan osteoma. Etiologi sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti (Lund et al, 2009).

Insiden pada fibrous dysplasia biasanya terjadi pada dekade pertama dan kedua dari kehidupan dimana laki-laki dan perempuan memiliki rasio yang sama. Pada ossifying fibroma biasanya terjadi pada dekade kedua dan keempat dari kehidupan. Dimana rasio antara laki-laki dan perempuan sebesar 1:5. Pada osteoma dengan rasio antara laki-laki dan perempuan antara 1,5-1 sampai 3,1-1. Osteoma dapat di temukan pada semua usia, namun sering ditemukan pada dekade ketiga dan keempat kehidupan (Lund et al , 2009).


(37)

Gejala paling sering yang dikeluhkan pasien pada fibrous dysplasia adalah ketidaksimetrisan wajah yang diikuti rasa nyeri, gejala okuler dan gangguan neurologis. Pada diagnosis fibrous dysplasia ditegakkan dengan CT Scan yakni tampak gambaran groundglass pada tulang. Penanganan pada kasus fibrous dysplasia berupa pembedahan yaitu pembedahan dengan bantuan endoskopik. Sedangkan pada ossifying fibroma gejala bergantung pada perluasan tumor. Gejala meliputi nyeri pada wajah, pembengkakan pada wajah, sumbatan di hidung, gejala okuler dan rinosinusitis kronis. Draft et al melaporkan bahwa penanganan ossifying fibroma berupa pembedahan dengan endoskopik sehingga mengurangi terjadi komplikasi (Lund et al, 2009).

Gejala juga bergantung pada perluasan tumor. Sejumlah penulis melaporkan bahwa osteoma menimbulkan gejala orbita seperti diplopia, epifora, bahkan sampai kebutaan . Penanganan berupa pembedahan dengan endoskopik.(Lund et al, 2009).

2.6.3 Hemangioma

Hemangioma adalah tumor jinak pada hidung yang etiologinya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Etiologinya dihubungkan dengan kehamilan, kontrasepsi oral dan trauma (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008). Gejala paling sering dari hemangioma adalah hidung tersumbat dan hidung berdarah. Hemangioma kadang – kadang sulit dibedakan dengan polip yang berdarah dan polip angimatous . Hemangioma paling sering terjadi di anterior nasal septum (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008).

Hemangioma bisa terjadi pada semua dekade, tetapi insiden paling tinggi pada dekade ketiga dari kehidupan dan lebh sering mengenai perempuan dibanding laki – laki (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008) Secara makroskopis, hemangioma digambarkan sebagai lesi polipoid dengan permukaan yang licin (Lazar et al, 2004) sedangkan secara histopatologis, hemangioma


(38)

digambarkan sebagai vaskularisasi sub mukosal pada lobus ataupun kluster yang terdiri dari kapiler – kapiler sentral (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008). Penatalaksanaan dari hemangioma adalah eksisi luas dari tumor termasuk batas dari mukosa sehat dan perikondrium (Lazar et al, 2004).

2.7 Tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal

Fansula dan Lasisi (2007) pada penelitian menemukan 59,42% dari 138 tumor ganas sinus parasanal selama periode 1996 sd 2006. Pada penelitian ini, ditemui 56(68,29%) laki- laki dan 26 (31,71%) perempuan. Usia sekitar 4 sd 69 tahun dengan umur rata- rata 4- 69 tahun.

Analisis histopatologis menjelaskan bahwa sekitar 91,46% adalah tumor ganas epitelial dan 8,54% adalah tumor non epiehelial. Karsinoma sel skuamosa sekitar 90,67 % dari tumor epitelial dan 82, 93 % dari tumor ganas sinus parasanal sedangkan Rhabdomyosarcoma sekitar (14, 29%) dari sekitar tumor non epitelial (Fansula & Lasisi, 2007)

Gambaran dari tumor ganas sinus parasanal 55% dari sinus maksilaris, 35% dari kavum nasi, 9% dari sinus etmoid, dan sisanya berasal dari sinus frontal dan sinus sfenoid (Fansula & Lasisi, 2007). Pada penelitian, ditemui 92 % dengan kasus karsinoma sel skuamosa , dimana adenokarsinoma sekitar 10 -25 % dari seluruh keganasan dan limfoma sekitar 57,14% dari seluruh keganasan non epitelial di sinus paranasal. Iqbal (2006) pada penelitiannya yang dilakukan di tahun 1995 sd 1998 menemukan bahwa 85% adalah karsinoma sel skuamosa dan 60 % ditemui di maksila, 30 % di kavum nasi dan 10 % melibatkan sinus etmoid. Adenokarsinoma biasanya ditemui pekerja kayu dan 5 – 20% dari tumor ganas sinonasal melibatkan sinus etmoid. Gejala yang paling sering dari tumor ganas sinus parasanal adalah sumbatan hidung (42%), diikuti epistaksis (31%) dan nyeri wajah (27%).


(39)

Karsinoma sel skuamosa merupakan karsinoma tersering yang ditemukan pada keganasan di sinus paranasal (Bailey, 2006)

Karsinoma sel skuamosa terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), kavum nasi (sekitar 10-15%), sinus sfenoidalis dan frontalis sekitar 1% (Dhingra, ; Adams, 1997).

Secara histopatologis, karsinoma sel skuamosa dibagi menjadi 2 tipe yakni : keratinizing dan non keratinizing. Dalam karsinoma sel skuamosa keratinizing, sel tumor menunjukkan keratinisasi antar jembatan dan gambaran seperti mutiara. Sel tumor biasanya memiliki inti membesar, hiperkromatik, dengan inti anaplastik. Sedangkan pada karsinoma sel skuamosa non keratinizing berbentuk padat, bersarang dengan ukuran bervariasi, sering dengan perbatasan yang smooth. Sel tumor secara individual menunjukkan inti besar yang seragam, bulat atau oval dengan nukleolus yang menonjol (Thomson, 2006).

2.7.2 Undifferentiated Carcinoma

Tumor ini sangat jarang dan sangat agresif berdiferensiasi menunjukkan pleomorphism dan nekrosis. Pada pasien dengan tumor ganas sinus parasanal berdiferensiasi, gejala biasanya sulit dibedakan dengan tumor lain. Umur rata – rata pada pasien ini biasanya pada dekade ke- 6 dan dengan predominan laki – laki sebagai penderita terbanyak. Secara histopatologis, Sel-sel tersebut diatur dalam sarang, lobulus dan lembaran tanpa diferensiasi skuamosa atau kelenjar. Sel-sel memiliki rasio nuklir untuk sitoplasma tinggi dengan medium sampai besar inti yang dikelilingi oleh sedikit sitoplasma. Nukleolus biasanya menonjol dan yang paling sering adalah comedonekrosis. Angka mitosis biasanya meningkat. Invasi limfe- vaskular biasanya sering ditemukan (Thomson, 2006).


(40)

Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang ditemukan di Negara barat, umumnya dijumpai di negara-negara Asia. Karakteristik morfologi dari limfoma ini adalah nekrosis masif dan apaptosis, serta di jumpai infasi pembuluh darah dan angiodestruksi oleh sel neoplastik. Sel ini agak memanjang dengan inti slender dengan inti kromatin. Sel-sel ini biasanya dijumpai dengan sel-sel blastoid (Kitamura et al, 2005).

2. 7.4 Adenokarsinoma

Adenokarsinoma pada sinus paranasal dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Simptom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya (Abecasis et al, 2004 ).

Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis (Leivo, 2007).

2.7.5 Melanoma Maligna

Melanoma maligna dari mukosa sinus adalah penyakit yang jarang dan memiliki angka kehidupan yang rendah. Diagnosis sering terlambat dikarenakan onset yang tiba-tiba dan pasien telah datang pada stadium lanjut. Tumor biasanya sangat jarang berasal dari sinus paranasal dibandingkan kavum nasi. Secara histopatologis kebanyakan sel dengan eosinofil dalam jumlah banyak dengan sitoplasma yang mengelilingi inti menunjukkan inti eosinofil ataupun sel spindle (Lund et al, 2009).


(41)

2.7.6 Penatalaksanaan tumor ganas 2.7.6.1 Pembedahan

Jaringan dapat diambil dengan bantuan pembedahan endoskopik sinus atau melalui prosedur transkutan/ trans oral seperti pada antrostomi Caldwell-Luc dan rinotomi. Prosedur endoskopik dipilih dengan alasan untuk mendapatkan akses yang baik pada operasi dan kontrol hemostatik yang baik sehingga dapat menurunkan morbilitas dan tidak mengkontaminasi jaringan lunak lainnya (Bailey, 2006)..

2.7.6.2. Drainase/Debridement

Drainase adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).

2.7.6.3 Reseksi Tumor

Pembedahan dengan reseksi selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Eksisi paliatif dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi yang besar, atau untuk membebaskan penderita dari perasaan minder akan pembesaran tumor tersebut. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinus parasanal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam pencitraan preoperatif, intraoperative image-guidance system,instrumen dengan endoskopik dan material untuk hemostasis, teknik endonasal untuk mengangkat tumor kavum nasi dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam rongga kavum nasi, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. (Nicolai et al, 2008 ; Lund et al, 2007; Bailey, 2006; Zinreich, 2006).


(42)

2.7.6.4 Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan menggunakan prosthesis pada gigi atau rekontruksi dengan bantuan flap seperti flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free myocutaneous dan flap kutaneus (Bailey, 2006).

2.7.6.5 Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

2.7.6.6 Kemoterapi

Kemoterapi untuk penanganan pada tumor dari daerah kavum nasi dan sinus paranasal biasanya berupa terapi paliatif, menggunakan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan sumbatan. Samant et al pada tahun 2004 melaporkan penggunaan cisplatin intra-arteri dengan radiasi konkomitan pada pasien dengan tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal dengan angka ketahanan hidup kira –kira 53%. Pasien dengan prognosa yang buruk yang tidak bisa dilakukan tindakan operasi sebaiknya menggunakan protokol kombinasi kemoterapi dan radiasi (Bailey, 2006).

2.8 Klasifikasi TNM dan Sistem Staging Tumor Ganas

Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium, yang digunakan di Indonesia adalah klasifikasi AJCC 2010 yang hanya berlaku untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk


(43)

sinus sphenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Definisi sistem TNM nya adalah sebagai berikut.

Sinus maksila

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor terbatas pada sinus maksila

T2 : Tumor menyebabkan erosi tulang termasuk palatum durum dan meatus media, tanpa

penyebaran ke dinding posterior sinus maksila.

T3 : tumor menginvasi dinding posterior sinus maksila, jaringan subkutaneus, dinding medial dan dasar orbita, fossa pterygoid, sinus etmoid.

T4a : tumor menginvasi dinding anterior orbita, kulit pipi, fossa intratemporal, lempeng pterygoid, plate cribiformis, sinus frontal dan sfenoid .

T4b : Tumor menginvasi atap orbita, dura, kranial, fosa media kranial, saraf kranial.

Kavum nasi dan Sinus etmoid Tis : Carcinoma in situ

T1 :tumor terbatas pada satu sisi,

Regional Lymph Nodes (N) N0 : tidak ada penyebaran ke KGB leher

N1 : Metastase single KGB leher ipsilateral, dengan ukuran ≤ 3cm N2a : metastase ke single KGB leher ipsilateral, dengan ukuran 3≤x<6 cm

N2b : metastase ke multiple KGB leher ipsilateral, dengan ukuran 3≤x<6 cm

N3 : metastase ke single/multiple KGB leher, dengan ukuran ≥ 6 cm

Distant Metastasis (M) M0: tidak ada metastase jauh M1 : ditemukan metastase jauh

STAGE GROUPING 0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0 II T2 N0 M0 III T3 N0 M0 T1 N1 M0 T2 N1 M0


(44)

dengan atau tanpa destruksi tulang.

T2 : tumor menginvasi dua sisi termasuk complex nasoethmoidal, dengan atau tanpa destruksi tulang.

T3 : tumor meluas ke dinding medial dan dasar orbita, sinus maksila, palatum atau plate cribiformis.

T4a : tumor menginvasi orbita anterior, kulit dari hidung dan pipi, ekstensi minimal dari fossa kranial anterior, plate pterygoid, sinus sfenoid dan frontal.

T3 N1 M0 IVA T4a N0 M0 T4a N1 M0 T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N2 M0 T4a N2 M0 IVB T4b Any N M0 Any T N3 M0 IVC Any T Any N M1


(45)

2.9 Kerangka Konsep

Kotak biru = variabel dalam penelitian

Faktor predisposisi: • Alkohol • Merokok Etiologi :

• Virus

• Karsinogen lingkungan

• Hormonal

Tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus parasanal.

• Pembedahan

• Kemoterapi

• radioterapi

Tumor Jinak

Pembedahan

Tipe Histopatologis

Tumor ganas • Jenis Kelamin

• Umur

• Suku bangsa

• Keluhan Utama


(46)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian bersifat deskriptif

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di SMF THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2012 sd Januari 2013 dengan menggunakan rekam medis dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2011.

3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah semua penderita dengan tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal yang telah dilakukan tindakan biopsi jaringan di RSUP H. Adam Malik Medan pada januari 2009 sampai dengan Desember 2011.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah total populasi

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti : jenis kelamin, umur, suku bangsa, histopatologi, keluhan utama dan lokasi tumor.


(47)

3.5. Definisi Operasional

• Tumor yang berasal di kavum nasi dan sinus paranasal adalah lesi padat ataupun berisi cairan yang dapat dibentuk dari pertumbuhan abnormal sel neoplastik dan digambarkan dengan pembesaran ukuran dari sel di kavum nasi dan sinus paranasal yang terdiri atas tumor jinak dan tumor ganas yang tercatat pada rekam medis pasien.

• Jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan yang tercatat pada rekam medis pasien.

• Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya berdasarkan kalender Masehi yang tercatat pada rekam medis pasien, dikelompokkan atas :

1. ≤ 10 tahun

2. 11-20 tahun 3. 21-30 tahun 4. 31- 40 tahun 5. 41-50 tahun 6. 51-60 tahun 7. 61-70 tahun

8. ≥ 71 tahun

• Suku bangsa adalah suatu masyarakat dengan budaya, bahasa, agama, dan lain-lain yang tersendiri yang tercatat dalam rekam medis. Suku bangsa terdiri atas:

1. Aceh 2. Batak 3. Jawa 4. Cina

• Keluhan utama adalah keadaan atau kondisi yang menyebabkan penderita datang berobat yang tercatat dalam rekam medis.


(48)

• Keluhan utama tumor jinak

1. Hidung tersumbat adalah penyumbatan saluran hidung akibat peradangan pada saluran hidung ataupun tumor jinak

2. Epistaksis adalah perdarahan dari hidung terjadi akibat sebab lokal dan sebab umum.

3. Massa di hidung adalah lesi padat atau cair yang dibentuk dari pertumbuhan abnormal dengan pembesaran ukuran dari sel di kavumnasi dan sinus paranasal

• Keluhan utama tumor ganas

1. Hidung tersumbat adalah penyumbatan saluran hidung akibat peradangan pada saluran hidung ataupun tumor ganas

2. Pipi bengkak adalah pembesaran abnormal dari bagian wajah disebabkan meluasnya tumor

3. Proptosis adalah tonjolan pada bola mata disebabkan oleh tumor ganas yang meluas.

• Tipe histolopatologis adalah jenis dari suatu tumor jinak maupun ganas yang sediaannya diambil dari jaringan biopsi atau hasil operasi dan dilihat di bawah mikroskop oleh seorang ahli patologi yang tercatat dalam rekam medis. Histopatologis tumor terdiri atas:

1. Histopatologis tumor jinak :

• Inverted papiloma

• Hemangioma

Ossyfyng fibroma

2. Histopatologis tumor ganas:

Keratinizing skuamous cell carcinoma

Non keratinizing skuamous cell carcinoma

Undifferentiated carcinoma


(49)

Adenokarsinoma

• Lokasi tumor adalah adalah tempat massa berasal dan meluas yang tercatat dalam rekam medis. Lokasi tumor terdiri atas :

1. Kavum nasi 2. Sinus paranasal

3. Kavum nasi dan sinus paranasal

3.6 Pengolahan Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dihitung presentasenya berdasarkan jenis tumor, umur, jenis kelamin, suku bangsa, keluhan utama, lokasi, tipe histopatologis yang diambil dari data rekam Medik SMF THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

3.7. Kerangka Kerja

Gambar 3.1 Skema kerangka Kerja Rekam Medik

Penderita dengan tumor yang

berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal. ( Januari 2009

Jenis Tumor Umur Jenis Kelamin Suku bangsa Keluhan Utama Tumor Jinak Tumor Ganas Jenis Tumor Umur Jenis Kelamin Suku bangsa Keluhan Utama


(50)

3.8 Jadwal Penelitian

No Jenis kegiatan Waktu

Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb

1 Persiapan & proposal

2 Pengumpulan data

3 Pengolahan data

4 Penyusunan laporan

5 Seminar hasil


(51)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deksripktif dengan menggunakan design case series dimana pengambilan data dari data klinis di Bagian Rekam Medis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Data penelitian adalah seluruh kasus penderita tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal tahun 2009 sd 2011, dimana didapatkan 40 penderita dengan 26 lelaki dan 14 perempuan, dengan umur tertua 72 tahun dan termuda 17 tahun.

4.1. Distribusi frekuensi penderita dengan tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal yang terbagi atas kelompok tumor jinak dan ganas

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi penderita dengan tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi penderita dengan tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal tahun 2009 -2011 terdapat pada kelompok tumor ganas sebanyak 29 orang (72,5 %) dan tumor jinak sebanyak 11 orang (27,5 %).

Karakteristik tumor N %

Tumor jinak 11 27.5

Tumor ganas 29 72.5


(52)

4.2. Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan umur

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan umur

Umur

Karakteristik tumor

Total

Tumor jinak Tumor ganas

n % n % n %

21-30 3 27.3 2 6.9 5 12.5

31-40 1 9.0 2 6.9 3 7.5

41-50 3 27,3 14 48.3 17 42.5

51-60 2 18.2 8 27.6 10 25

61-70 2 18.2 2 6.9 4 10

>= 71 0 0.0 1 3.4 1 2.5

Total 11 100.0 29 100.0 40 100.0

Dari tabel diatas dapat diliat bahwa frekuensi tertinggi penderita tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal tahun 2009 - 2011 terdapat pada kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 17 orang (42,5%). Frekuensi tertinggi tumor jinak terbanyak terdapat pada kelompok usia 41- 50 tahun sebanyak 3 penderita( 27,3 %). Frekuensi tertinggi tumor ganas pada kelompok usia 41-50 tahun yakni 14 penderita (48,3%). Usia termuda pada usia 17 tahun dan usia tertua pada usia 72 tahun.


(53)

4.3 Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin

Karakteristik tumor

Total Tumor jinak Tumor ganas

n % n % n %

Laki-laki 7 63,6 19 65.5 26 65.0

Perempuan 4 36.4 10 34.5 14 35.0

Total 11 100.0 29 100.0 40 100.0

Dari tabel diatas diketahui bahwa frekuensi penderita laki – laki lebih banyak yakni sebanyak 26 penderita (65%) dibanding perempuan sebanyak 14 penderita (35%). Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa frekuensi penderita kelompok laki laki lebih tinggi sebanyak 7 penderita (70%) dibandingkan perempuan sebanyak 4 penderita (30%) pada tumor jinak dan frekuensi penderita kelompok laki-laki lebih tinggi sebanyak 19 penderita (65,5%) dibanding kelompok perempuan 10 penderita (34,5 %) pada tumor ganas.


(54)

4.4 Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan suku bangsa.

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal berdasarkan suku bangsa.

Suku

Karakteristik tumor

Total

Tumor jinak Tumor ganas

n % n % n %

Aceh 2 18,2 8 27.6 10 25.0

Batak 5 45.4 14 48.3 19 47.5

Jawa 4 36,4 7 24.1 11 27.5

Total 11 100.0 29 100.0 40 100.0

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa frekuensi suku batak lebih banyak terkena yakni sebanyak 19 penderita ( 47,5%), diikuti suku Jawa sebanyak 11 penderita (27,5%) sedangkan suku Aceh sebanyak 10 penderita (25%). Hal yang sama ditemukan pada tumor jinak dan ganas yakni 5 penderita (45,4%) dan 14 penderita (48,3%).

4.5 Distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan keluhan utama.

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan keluhan utama.

Keluhan utama tumor jinak n %

Hidung tersumbat 5 45.5

Epistaksis 2 18.1

Massa di hidung 4 36.4


(55)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa frekuensi keluhan utama tumor jinak tersering adalah hidung tersumbat sebanyak 5 penderita(45,5%), diikuti massa di hidung sebanyak 4 penderita (36,4%) dan epistaksis sebesar 2 penderita ( 18,1 %).

4.6 Distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan keluhan utama.

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan keluhan utama.

Keluhan utama tumor ganas n %

Hidung tersumbat 23 79,.3

Pipi bengkak 5 17.2

Proptosis 1 3.5

Total 29 100.0

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa frekuensi keluhan utama yang terbanyak adalah hidung tersumbat adalah 23 penderita (79,3%) , diikuti pipi bengkak 5 penderita (17,2%) dan proptosis 1 penderita (3,5 %).

4.7 Distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan histopatologis.

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi tumor jinak berdasarkan histopatologis.

Histopatologis tumor jinak N %

Inverted papiloma 8 72,7

Hemangioma 1 9.1

Ossyfyng fibroma 2 18.2

Total 11 100.0

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa frekuensi histopatologis yang terbanyak adalah inverted papiloma adalah 8 penderita (72,7%), Ossyfing fibroma adalah 2 orang (18,2%) dan Hemangioma adalah 1 orang (9,1%)


(56)

4.8 Distribusi frekuensi tumor jinak terhadap lokasi asal tumor.

Tabel 4.8 Distribusi frekuensi tumor jinak terhadap lokasi asal tumor.

Lokasi tumor jinak n %

Kavum nasi 2 18.2

Sinus paranasal 1 9.1

Kavum nasi dan sinus paranasal 8 72.7

Total 11 100.0

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa lokasi tumor jinak terbanyak di kavum nasi dan sinus paranasal sebanyak 8 orang (72,7%) diikuti kavum nasi sebanyak 2 penderita (18,2%) dan si

4.9 Distribusi histopatologis tumor ganas.

Tabel 4.9 Distribusi histopatologis tumor ganas.

Histopatologis tumor ganas n %

Keratinizing skuamous cell carcinoma 7 24.1 Non keratinizing skuamous cell carcinoma 7 24.1

Undifferentiated carcinoma 12 41.5

Limfoma maligna 1 3.4

Adenokarsinoma 2 6.9

Total 29 100.0

Dari tabel diatas, diketahui frekuensi histopatologis tumor ganas tertinggi pada undifferentiated carcinoma sebanyak 12 penderita ( 41,5 %), Keratinizing skuamous cell carcinoma sebanyak 7 penderita (24.1%), Non


(57)

Keratinizing skuamous cell carcinoma ( 24,1%), Adenokarsinoma sebanyak 3 penderita ( 6,9%), limfoma maligna sebanyak 1 penderita (3,4%).

4.10 Distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan lokasi tumor.

Tabel 4.10 Distribusi frekuensi tumor ganas berdasarkan lokasi tumor.

Lokasi tumor ganas n %

kavum nasi 1 3.4

Sinus paranasal 5 17.3

Kavum nasi dan sinus

paranasal 23 79.3

Total 29 100.0

Dari tabel diatas diketahui bahwa frekuensi lokasi tumor ganas di hidung dan sinus paranasal sebanyak 23 penderita (79,3%), diikuti sinus paranasal sebanyak 5 penderita ( 17,3%) dan kavum nasi 1 penderita (3,4%).


(58)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 40 penderita dijumpai frekuensi tumor ganas lebih besar daripada tumor jinak yakni 72,5% dan tumor jinak 27,5%. Hal ini sesuai dengan penelitian Iqbal dan Hussain (2006) yang menemukan tumor ganas lebih banyak dari tumor jinak yakni 62, 75 % dan 37,25%. Mazlina et al (2006) dan Nepal et al (2010) pada penelitiannya juga menemukan tumor ganas lebih banyak yakni 59% dan 77 % serta tumor jinak yakni 41 % dan 23 %. Hal ini disebabkan karena diagnosis dari keganasan tumor kavum nasi dan sinus paranasal sangat sulit, bukan saja dikarenakan tumor ini sangat jarang, tetapi juga dikarenakan tumor ganas juga sukar dibedakan dengan tumor yang jinak sehingga akan membuat keterlambatan yang signifikan karena pasien menganggap penyakitnya tidak berbahaya (Tufano et all, 1999).

Kelompok umur 41-50 tahun merupakan kelompok yang paling banyak dijumpai pada tumor jinak dan ganas,yakni sekitar 42,5 % dengan rata-rata umur 46,6 tahun, umur termuda adalah 17 tahun dan tertua adalah 72 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Chukezy dan Nwosu (2010) sebesar 25,7 % dengan rata-rata umur berkisar antara 38 tahun sampai 49 tahun. Penelitian hampir serupa juga ditemui oleh Nepal et al (2010) yang menemukan 77% keganasan berasal dari usia tua yakni usia 41 sampai 60 tahun. Kelompok usia tua lebih banyak menderita tumor ini disebabkan karena pada usia tua sistem imunitas dan mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi kurang berfungsi dengan baik. Mekanisme perbaikan DNA yang dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA


(59)

yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali (Soehartono et al, 2007).

Kelompok laki laki lebih banyak menderita tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal dibandingkan perempuan yakni sekitar 65 % dan 35 %. Hal ini hampir sama dengan penelitian Iqbal dan Hussein (2006), Chukuezy dan Nwosu ( 2010) yang menemukan mean jenis kelamin 60 % kasus pada laki-laki dan 33,7 % kasus pada perempuan. Pada tumor ganas, Agussalim (2010) menemukan bahwa kelompok laki –laki lebih banyak menderita tumor ganas yakni sekitar (58,8%) dibandingkan perempuan (41,2 %). Hal yang sama dikemukakan oleh Fansula dan Lasisi (2007) yang menemukan frekuensi laki –laki dibanding perempuan 68 % dan 31,71 %. Hal ini disebabkan karena kelompok laki-laki yang lebih banyak beraktivitas diluar dibanding perempuan sehingga zat karsinogenik seperti nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropyl dan lain – lain lebih banyak terpapar pada laki – laki. Selain itu, lelaki lebih banyak merokok dan minum minuman keras (alkohol) dimana laporan terkini menunjukkan tingginya insiden keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasal dengan perokok (Zimmer & Carrau, 2006).

Bangsa Batak lebih banyak dijumpai yakni sekitar 47,5 % diikuti suku Jawa 27,5 % dan suku Aceh 25 %. Dari sini muncul satu pemikiran bahwa selain karsinogenik, mutasi genetik kemungkinan berperan langsung dalam memicu pertumbuhan tumor ganas sinonasal. Apakah mutasi DNA pada penderita karsinoma nasofaring bersuku Batak adalah sama dengan penderita tumor ganas sinonasal? Hal lain mungkin disebabkan lokasi rumah sakit yang merupakan rumah sakit rujukan dimana penduduk sekitar yang dirujuk di RSUP H.Adam Malik mayoritas suku Batak.

Keluhan utama tumor jinak adalah hidung tersumbat yakni sebanyak 45,1%, diikuti massa di hidung dan epistaksis sebanyak 33,3% dan 22,5%. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Swamy dan Gowda (2004)


(60)

menunjukkan frekuensi hidung tersumbat sebanyak 56,6 %, diikuti dengan epistaksis 53 % dan massa di hidung 44%. Sedangkan penelitian oleh Iqbal dan Hussain (2006) menemukan keluhan hidung tersumbat terbanyak adalah hidung tersumbat (100 %), massa di hidung (92,5%) dan epistaksis (74%).

Pada penelitian ini, keluhan utama tumor ganas tersering adalah hidung tersumbat (79,3 %) diikuti pipi bengkak (17,2%). Hal ini juga ditemui pada penelitian Chikuezy dan Nwosu (2010) dimana hidung tersumbat merupakan keluhan utama terbanyak pada tumor ganas yang berasal dari kavum nasi dan sinus paranasal yakni sekitar 94,81 %, diikuti massa di hidung (87,18 %), epistaksis (71,79%) , bengkak di pipi (46,15%), proptosis (28,21%). Hal yang sama ditemukan pada penelitian Agussalim (2011) yang menemukan keluhan terbanyak pada pasien adalah hidung tersumbat (56,9%). Hidung tersumbat disebabkan oleh massa yang meluas, sedangkan epistaksis biasanya terjadi karena mukosa mengalami ulserasi atau tumor yang meluas ke dinding sinus (Thomson, 2006).

Histopatologis tumor jinak terbanyak ditemui pada Inverted papiloma yakni sebesar 72,7,% diikuti Ossyfing Fibroma (18,2%) dan hemangioma (9,1%). Hal ini sesuai dengan penelitian Nepal et al (2010) yang menemukan inverted papiloma merupakan tumor jinak terbanyak (23,22%), diikuti squamous papiloma sebanyak (21,43%) dan Hemangioma sebanyak 19,64%. Inverted papiloma sendiri penyebabnya dihubungkan dengan inflamasi kronis dan infeksi virus HPV (Iqbal, 2008). Menurut peneliti, tingginya inverted papiloma pada frekuensi tumor jinak disebabkan oleh karena tingginya tingkat infeksi kronis di kavum nasi dan sinus paranasal. Sayangnya belum ada penelitian yang lebih lanjut mengenai hubungan antara virus HPV dengan inverted papiloma di Indonesia. Penelitian serupa mengenai insiden tumor jinak yang berasal dari kavum nasi dan dan sinus paranasal di Indonesia belum ditemukan.


(61)

Lokasi tumor jinak bisa hanya melibatkan hidung, sinus paranasal atau kedua-duanya. Pada penelitian ini, lokasi tumor jinak tersering adalah kavum nasi dan sinus paranasal (72,7%), kavum nasi (18,2 %) dan sinus paranasal (9,1%). Tetapi tidak sesuai dengan dengan penelitian Swamy dan Gowda (2006) yang menemukan lokasi tumor jinak tersering adalah kavum nasi (66,6%) dan sinus paranasal (20%). Hal ini mungkin disebabkan pasien,- pasien yang berobat ke RSUP H.Adam malik Medan datang dengan stadium lanjut sehingga tumor tidak hanya melibatkan kavum nasi saja melainkan dinding sinus juga terlibat, karena menganggap gejalanya hampir sama dengan proses peradangan biasa.

Pada penelitian ini, histopatologis tumor terbanyak yang dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa yakni sekitar 48,2%. Hal ini sesuai dengan penelitian Agussalim (2010) yang menemukan bahwa karsinoma sel skuamosa sekitar (72,6%). Fasunla dan Lasisi di Nigeria (2007) mendapatkan squamous cell carcinoma sebagai jenis histopatologi yang terbanyak yaitu sebesar 69,0%. Kepustakaan menyebutkan bahwa sebagian besar keganasan pada hidung dan sinus paranasal berasal dari epitel dan jenis yang terbanyak adalah squamous cell carcinoma (Thomson, 2006 & Lund, 2009 ). Pada penelitian didapatkan keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 24,1% dan non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 24,1%. Tingginya resiko squamous cell carcinoma disebabkan tingginya peminum alhokol dan merokok pada pasien karsinoma. Zhu et al pada penelitiannya menemukan paparan rokok terhadap meningkatnya resiko untuk berkembangnya suatu squamous cell carcinoma. Selain itu tingginya kasus Inverted papiloma juga meningkatkan resiko terjadinya squamous cell carcinoma dimana sekitar 10 % kasus Inverted papiloma dihubungkan dengan terjadinya resiko squamous cell carcinoma ( Wolpe, 2006 & Lund, 2009).


(62)

Lokasi tumor ganas terbanyak adalah kavum nasi dan sinus paranasal sebesar ( 79,3%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Agussalim ( 2010 ) yang menemukan lokasi tumor ganas terbanyak pada kavum nasi dan sinus paranasal (60,8 %). Hal ini disebabkan karena pasien datang dalam keadaan terlambat berobat, sehingga tumor sudah melibatkan kavum nasi dan sinus paranasal. Gejala klinis dari keganasan tumor biasanya tidak spesifik dan sering menyerupai penyakit non keganasan, sehingga pasien menganggap penyakit ini seperti radang biasa (Chuekezy & Nwosu, 2010). Jika pasien lebih waspada, mungkin keterlibatan tumor tidak melibatkan kedua lokasi tersebut.


(1)

Lokasi tumor ganas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kavum nasi 1 3.4 3.4 3.4

Sinonasal 5 17.2 17.2 20.7

Hidung dan sinonasal 23 79.3 79.3 100.0

Total 29 100.0 100.0

Crosstabs

Umur * Karakteristik tumor

Crosstab

Karakteristik tumor

Tumor jinak Tumor ganas Total

Umur 21-30 Count 3 2 5

% within Karakteristik tumor 27.3% 6.9% 12.5%

31-40 Count 1 2 3

% within Karakteristik tumor 9.1% 6.9% 7.5%


(2)

51-60 Count 2 8 10

% within Karakteristik tumor 18.2% 27.6% 25.0%

61-70 Count 2 2 4

% within Karakteristik tumor 18.2% 6.9% 10.0%

>= 71 Count 0 1 1

% within Karakteristik tumor .0% 3.4% 2.5%

Total Count 11 29 40


(3)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 5.205a 5 .391

Likelihood Ratio 5.107 5 .403

Linear-by-Linear Association .888 1 .346

N of Valid Cases 40

a. 10 cells (83,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,28.

Jenis kelamin * Karakteristik tumor

Crosstab

Karakteristik tumor

Tumor jinak Tumor ganas Total

Jenis kelamin Laki-laki Count 7 19 26

% within Karakteristik tumor 63.6% 65.5% 65.0%

Perempuan Count 4 10 14

% within Karakteristik tumor 36.4% 34.5% 35.0%


(4)

Karakteristik tumor

Tumor jinak Tumor ganas Total

Jenis kelamin Laki-laki Count 7 19 26

% within Karakteristik tumor 63.6% 65.5% 65.0%

Perempuan Count 4 10 14

% within Karakteristik tumor 36.4% 34.5% 35.0%

Total Count 11 29 40

% within Karakteristik tumor 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .012a 1 .911

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .012 1 .911

Fisher's Exact Test 1.000 .596

Linear-by-Linear Association .012 1 .912

N of Valid Cases 40


(5)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .012a 1 .911

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .012 1 .911

Fisher's Exact Test 1.000 .596

Linear-by-Linear Association .012 1 .912

N of Valid Cases 40

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,85.

b. Computed only for a 2x2 table

Suku * Karakteristik tumor

Crosstab

Karakteristik tumor

Tumor jinak Tumor ganas Total

Suku Aceh Count 2 8 10


(6)

% within Karakteristik tumor 45.5% 48.3% 47.5%

Jawa Count 4 7 11

% within Karakteristik tumor 36.4% 24.1% 27.5%

Total Count 11 29 40

% within Karakteristik tumor 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .729a 2 .695

Likelihood Ratio .724 2 .696

Linear-by-Linear Association .694 1 .405

N of Valid Cases 40

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,75.