Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

(1)

ANATOMI HIDUNG DAN

SINUS PARANASAL

Oleh

dr. FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL

NIP : 198109142009121002

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA DAN LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN USU


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I EMBRIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL 1

BAB II ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL 3

2.1 Hidung bagian luar 3

2.1.1 Permukaan hidung luar 4

2.1.2 Rangka Hidung bagian luar 6

2.1.3 Otot Hidung 9

2.1.4 Vaskularisasi Hidung luar 9

2.1.5 Persyarafan Hidung Luar 10

2.2 Hidung bagian dalam 11

2.2.1 Dinding Medial 13

2.2.2 Dinding Inferior Hidung 14 2.2.3 Dinding Superior Hidung 14 2.2.4 Dinding Lateral Hidung 14 2.3 Anatomi Sinus Paranasal 26

2.3.1 Sinus Frontalis 27

2.3.2 Sinus Ethmoidalis 28

2.3.3 Sinus Maksilaris 30 2.3.4 Sinus Sphenoidalis 31


(3)

2.4 Fisiologi Hidung 32 2.5 Fisiologi Sinus Paranasal 40


(4)

BAB I

EMBRIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS

Pada akhir minggu ke 4 mulai tampak tonjol-tonjol wajah yang terutama di bentuk oleh mesenkim yang berasal dari krista neuralis dan terutama dibentuk oleh lengkung faring pertama. Tonjol maksila dikenali disebelah lateral stomodeum dan tonjolan mandibula di sebelah kaudal stomodeum. Kemudian selama minggu ke 5, plakoda-plakoda hidung mengalami invaginasi membentuk lobang hidung. Plakoda hidung ini membentuk suatu rigi jaringan yang mengelilingi masing-masing lobang dan membentuk tonjol hidung, dibagian luar lobang adalah tonjol hidung lateral serta di tepi dalam adalah tonjol hidung medial.1,2

Kemudian selama 2 minggu selanjutnya, tonjol maksila terus bertambah besar ukurannya dan tumbuh kearah medial sehingga mendesak tonjol hidung medial kearah garis tengah. Selanjutnya, celah antara tonjol hidung medial dan tonjol maksila menghilang dan keduanya bersatu. Bibir atas dibentuk oleh kedua tonjol hidung medial dan kedua tonjol maksila itu. 1,2

Mula-ula tonjol maksila dan tonjol hidung lateral terpisah oleh sebuah alur yang dalam disebut alur nasolakrimal yang akan membentuk ductus nasolacrimalis dimana ujung atasnya membentuk saccus lacrimalis. Kemudian tonjolan maksila akan membesar dan membentuk pipi dan maksila. 1,2

Hidung terbentuk darl tonjol-tonjol wajah kelima, dimana tonjolan frontal akan membentuk jembatannya, kemudian gabungan tonjol-tonjol hidung medial membentuk lengkung cuping dan ujung hidung dan tonjolan hidung lateral akan membentuk sisi-isinya (alae) 3

Pada minggu ke 6, lubang hidung makin bertambah dalam, sebagian karena tumbuhnya tonjol-onjol hidung yang ada disekitarnya dan sebagian lainnya karena lobang ini menembus kedalam mesenkim dibawahnya. Mula-mula membrana


(5)

oronasalis akan memisahkan kedua lubang hidung tadi dari rongga, mulut primitif, melalui foramina yang baru terbentuk, yakni koana primitive. Koana ini terletak disisi kanan dan kiri garis tengah dan tepat di belakang palatum primer.3

Sinus-inus udara paranasalis berkembang sebagai divertikula dinding lateral hidung dan meluas kedalam maksila, tulang ethmoid frontalis dan tulang sfenoid. Sinus-inus ini mencapai luas maksimumnya pada masa pubertas dan dengan demikian ikut membentuk wajah yang tetap.3


(6)

BAB II

ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Hidung secara garis besar terbagi dari : piramid hidung (hidung luar) dan rongga hidung dengan vaskularisasi dan persarafannya. Secara fisologi hidung berfungsi sebagaai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara, penyaring udara, indera penciuman, resonansi udara, membantu proses bicara dan reflek nasal

2.1 HIDUNG BAGIAN LUAR 4,5

Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dan bibir atas. Struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu :

a. Kubah tulang, yaitu bagian paling atas yang tidak dapat digerakkan.

b. Kubah kartilago, bagian di tengah, yaitu bagian yang dapat sedikit digerakkan.

c. Lobulus hidung, bagian paling bawah, merupakan bagian yang paling mudah digerakkan.


(7)

Gambar 1 Hidung Bagian Luar

2.1.1 PERMUKAAN HIDUNG LUAR 4

Hidung luar disebut nasal piramid karena bila diproyeksikan dari depan menyerupai piramid triangular. Adapun bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (apeks/tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior/nares eksterna).

Bagian atas yang berhubungan dengan dahi disebut root, dan bagian bawah berupa sudut bebas disebut apeks atau up, serta bagian yang menghubungkan keduanya disebut dorsum nasi. Bagian lateral dari hidung disebut nasafacial angels, sedangkan bagian yang berhubungan dengan bibir atas disebut naso labial sulcus. Kedua ala dan septum mengapit kedua lubang hidung


(8)

luar. Bagian hidung yang berhubungan dengan luar disebut nares anterior, dan bagian yang berhubungan dengan belakang disebut nares posterior. Ukuran nares posterior lebih besar dari pada nares anterior, yaitu : tinggi 2,5 cm dan lebar 1,25 cm.

Hubungan antara dorsum dengan puncak hidung menentukan bentuk hidung luar, bila bentuk lurus disebut tipe Grecian nose, yang membentuk sudut disebut tipe Roman nose, dan yang melekuk/pesek dinamakan tipe Pug nose. Variasi dari tipe hidung ini bersifat individual dan familial. Sedangkan perbandingan lebar kedua ala dengan panjang hidung, kemudian dikalikan 100 disebut Nasal Indeks. Bila < 47 disebut hidung sempit (lephtorhine), biasanya pada ras kulit putih. Bila nasal indek > 35 disebut Platyrhine, biasanya pada ras kulit hitam dan diantara keduanya disebut Messorrhine (intermediate), yang terdapat pada ras kulit kuning.

Pada kulit hidung dijumpai kelenjar lemak (glandula sebasea) dan kelenjar keringat (glandula sudorifera), ke arah tip kulit lebih tebal dan banyak mengandung kelenjar lemak serta lebih erat berhubungan dengan kartulago hidung bila dibandingkan dengan kulit diatasnya. Pada daerah rhinnion, kulit diatasnya lebih tipis.

Beberapa istilah yang berhubungan dengan hidung luar :


(9)

 Nasion titik pertemuan sutura frontonasalis

 Supra tip adalah daerah pada dorsum nasi antara rhinion dan tip.

 Filtrum adalah cekungan dangkal hidung dan bibir atas yang memanjang.

2.1.2 RANGKA HIDUNG BAGIAN LUAR 4,5

Kerangka hidung bagian luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat serta beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Bagian tulang biasanya sempit dan tebal di bagian atas, tetapi lebih lebar di bagian bawahnya. Terdiri dari tulang hidung (as nasalis), prosessus frontalis

as maksila dan prosesus nasalis as frontalis.

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepadang kartigo nasalis lateralis inferior, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior septalis/kuadrangularis.

Os Nasal

Tampak sempit dan tebal di bagian atas, dan tipis pada bagian bawah. Tulang ini bersatu dibagian tengah. Adapun batas-batasnya sebelah atas berartikulasi dengan prosesus nasalis os frontalis, bagian lateralnya berhubungan dengan prosesus frontalis os maksila kanan dan kiri, bagian ventral


(10)

berhubungan dengan prosesus nasalis as frontalis, lamina perpendikularis os

etmoid dan kartilago septalis.

Kartilago Lateralis Superior

Terletak antara os nasal dan apeks sepanjang dorsum nasi, tampak celah diantara kartilago ini dengan septum. Pada bagian kranial saling berhubungan di garis tengah, demikian dengan septum, sehingga kartilago ini sering disebut kartilago nasoseptal.

Tulang rawan ini berbentuk triangular. Adapun batas-batasnya adalah bagian superior berhubungan dengan os nasal dan prosesus frontalis os maksila, bagian inferior berhubungan dengan permukaan kartilago lateralis inferior yang dipisahkan oleh jaringan fibrosa dan memungkinkan pergerakan alas nasi. Pinggir bebas dari kartilago ini tampak dari kavum nasi bila diangkat dengan retraktor sebagai lumen nasi atau lumen vestibuli disebut juga nasal valve atau katup hidung, yang terletak diantara vestibulum dan kavum nasi.

Kartilago Lateralis Inferior/Kartilago Alaris Mayor

Bentuk dan ukurannya bervariasi pada setiap individu, umumnya berbentuk tapal kuda, dan menjaga agar apertura nasalis tetap terbuka. Kartilago ini terdiri dari crus medial dan crus lateral. Crus medial lebih lemah, terletak pada tepi kaudal septum nasi dan sebagian lagi pada membrane kolumella, sedangkan krus lateral lebih kuat dan lebar dan membentuk rangka ala nasi.


(11)

Kartilago ini berguna untuk mempertahankan bentuk hidung dari lobulus hidung atau sepertiga bawah hidung luar. Mobilitas lobulus hidung penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus, dan bersin.

Gambar 2 rangka Hidung Luar (netter, Atlas of Human Anatomy)

Kartilago Sesamoidea

Terletak pada sisi lateral antara kartilago lateral superior dan kartilago lateralis inferior. Kartilago ini dapat dijumpai satu atau lebih.

Perlekatan hidung bagian luar pada tulang berbentuk segitiga seperti buah pir disebut apertura piriformis, dengan batas pada laterosuperiornya dibentuk oleh os nasal dan prosesus frontalis os maksila, dasarnya dibentuk oleh prosesus


(12)

alveolaris, os maksila, dan pada tengahnya terdapat bagian yang menonjol disebut

spina nasalis anterior.

2.1.3. OTOT HIDUNG 4,5

Pada umunya otot hidung terdiri dari muskuli konstriktor dan dilatator, dimana menentukan poisi dari ala nasi dan nares anterior. Otot ini terlihat saat bersin, bernafas, marah dan ketakutan.

Adapun otot konstriktor yaitu M. nasalis (pars transversa dan pars

alaris). M. depresos alae nasi, M. depresor septi nasi. Sedangkan otot dilatator

terdiri dari M. procerus yang berhubungan dengan alis mata, M. levator labii

superior alae nasi dan M. dilatator nasi anterior dan posterior.

2.1.4. VASKULARISASI HIDUNG LUAR 1,4,5

Arteri yang memperdarahi hidung luar terutama berasal dari cabang fasialis (A. Maksilaris eksterna), yang berjalan di atas ala nasi dan memperdarahi daerah hidung dan septum nasi bagian bawah. Arteri nasalis dorsalis (cabang A. Optalmika) menembus septum orbitalis di atas palpebra bagian medial lalu berjalan ke bawah pada sisi hidung dan beranastomosis dengan cabang nasalis A. Fasialis, pada perjalanannya memberi cabang untuk sakus lakrimalis.

Pembuluh darah lainnya adalah cabang kecil dari A. Nasalis eksterna (dari A. Etmoidalis anterior) yang terletak pada pertemuan os nasalis dan kartilago nasalis


(13)

dan memperdarahi kulit sepanjang dorsum nasi sampai ke apeks. Sedangkan pembuluh balik dialirkan melalui V. Fasialis anterior dan V. Optalmika

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung (Netter)

2.1.5. PERSYARAFAN HIDUNG LUAR 4

Persarafan untuk hidung bagian luar untuk kulit dan otot-ototnya meliputi :

2.1.5.1 Kulit hidung

Kulit hidung dari pangkal sampai bridge dan sisi atas hidung diprsarafi oleh cabang nasosiliaris dan frontalis dari n. oftalmika, sebagian cabang-cabang berpusat pada n. supratroklearis dan infra stroklearis.


(14)

Kulit bagian bawah dipersarafi oleh ramus-ramus yang berasal cabang infraorbitalis dan n. maksilaris, sedangkan cabang nasalis eksterna dari n.etmoidalis anterior muncul diantara tulang dan kartilago nasalis lateralis yang mempersarafi kulit diatas dorsum nasi menuju ke bagian bawah dari puncak hidung.

Gambar 5 Persarafan untuk Hidung Luar

2.2 HIDUNG BAGIAN DALAM (KAVUM NASI) 4,5

Struktur ini membentang dan os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Secara vertikal kavum nasi terdapat mulai dari palatum sampai lempeng kribiformis.


(15)

Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah yang membagi rongga hidung (kavum nasi) membagi secara anatomi menjadi dua buah fossa nasalis. Nares anterior terbuka kedalam vestibulum nasi.

Vestibulum nasi adalah daerah dibawah alae nasi yang batas medialnya septum nasi tidak begitu jelas, sedangkan batas lateral merupakan suatu penonjolan yang memisahkan dan menandai ujung bawah kartilago lateral superior disebut lumen nasi atau lumen vestibuli. Vestibulum dilapisi kulit yang ditumbuhi rambut halus (vibrissae) dan mengandung kelenjar lemak dan keringat yang terdapat pada bagian kaudalnya.

Bagian posterior hidung adalah nares posterior/koana dibentuk oleh lamina horizon os palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis dan bagian luat oleh lamina pterigoideus sfenoidalis. Kedua fossa nasalis dilapisi membran luar oleh lamina pterigoideus sfenoidalis. Kedua fossa nasalis dilapisi membran mukosa yang melekat erat pada periostium dan perikondrium. Sebagian besar membran mukosa tersebut banyak mengandung pembuluh darah dan sejumlah kelenjar mukoserous. Epitel yang melapisi membran mukosa adalah epitel pseudostratified kolumnar bersilia.

Rongga hidung dibentuk mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dalam hal ini dibahas rongga hidung atas dinding lateral dan dinding medial, beserta perdaragan dan persarafannya.


(16)

Gambar 6 tulang dan kartilago hidung

2.2.1. DINDING MEDIAL (SEPTUM NASI) 4,5

Septum nasi membagi rongga hidung menjadi 2 bagian atas ruang kiri dan kanan. Struktur ini terbentuk dari bagian tulang, bagian kartilago dan sedikit dari bagian membranosa (pada anterior)

Berdasarkan letak, di bagian anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumedia membran, bagian posterosuperior oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian posteroinferior oleh os vomer, krista os maksila dan krista os palatum.


(17)

2.2.1.1Bagian Tulang dan Kartilago

Bagian tulang adalah lamina perpendikularis on etmoidalis, os vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatum.

Lamina perpendikularis os emoidalis

Membentuk 1/3 atas dari septum nasi. Tulang ini melanjuutkan keatas dan membagi kavum nasi menjadi sisi kiri dan kanan. Pada bagian anterior berhubungan dengan os nasal, di posterior dengan os sphenoid, di posteroinferior dengan os vomer, dan dengan kartilago septal di anteroinferior.

Os Vomer

Membentuk bagian posterior dan inferior septum nasi dan bersatu dengan 2 ala melalui rostrum sfenoid. Berartikulasi dengan korpus os sfenoid dan dengan lamina perpendikularis di atas, sedangkan pada bagian bawah berartikulasi dengan krista os maksila dan os palatum.

Krista anasalis os maksila dan krista nasalis os palatina

Bagian kartilago terdiri dari kartilago septum (lamina kuardrangularis) dan kolumella. 3) kartilago vomeronasal.

Kartilago quadrilateral (Kartilago septum)

Membentuk anterior septal angle. Pada sisi atas berhubungan dengan kartilago lateral atas. Secara anatomis artikulasio kartilago ini memungkinkan


(18)

adanya pergerakan. Dilapisi serat-serat kolagen dan adanya fasial attachment yang memberikan efek pseudoarthosis. Artikulasio antara perikondrium dan periostium krista nasalis diperkuat oleh jaringan ikat, sehingga memudahkan pergerakan dan rotasi dan dapat mengurangi bahaya fraktur/tekanan pada dorsum nasi.

Kolumella

Nama lainnya kolumna atau septum mobil atau septum membran. Bagian ini merupakan ujung bebas dari septum nasi, dan mengandung kartilago dan diperkuat oleh krus medial dari kartilago alaris kiri dan kanan. Kolumella tidak melekat erat pada pinggir bawah kartilago septal, sehingga memberikan keuntungan dalam submukosa pada septum deviasi.

Kartilago vomeronasal

Kartilago ini merupakan kartilago kecil pada kedua sisi kartilago septal sepanjang batas inferior, dimana terdapat organ vomeronasal dari “Jacobson” yang rudimenter. Pada manusia hanya merupakan kantung pendek sepanjang 2-6 mm dan ditutupi oleh epitel yang sama dengan epital kavum nasi.

2.2.1.2Vaskularisasi dinding medial

Kavum nasi mendapat perdarahan dari A. carotis eksterna dan interna. Dinding peosterosuperior septum mendapat perdarahan dari cabang sfenopalatina A. maksilaris. Bagian anteroinferior septum mendapat persarafan dari A. palatina mayor melalui canalis insisivus. Cabang superior labialis dari A. facialis juga


(19)

memperdarahi daerah anterior, dan A. etmoidalis anterior dan posterior (cabang A. carotis interna) memperdarahi bagian superior. Semua pembuluh ini membentuk anyaman di mukosa membentuk pleksus kieselbach dan, terletak di

Little area pada bagian anterior septum, lokasi ini tempat tersering dari

epistaksis.

Sistim aliran vena bagian posterior melalui vena-vena sfenopalatina dan bagian anterior melalui vena facialis. Vena dari etmoidalis anterior dan posterior dari bagian superior, menuju sistim oftalmikeus superior. Perlu diperhatikan ada hubungan langsung dengan vena-vena pada permukaan orbital dari lobus frontalis melalui lamina kribiformis, dan via foramen caecum ke sinus sagitalis superior.

2.2.1.3Persarafan dinding medial

Umumnya sensasi utama septum oleh cabang trigeminal N. trigeminal. N. Nasopalatina masuk melalui foramen sfenopatina menyebrang atap hidung ke bagian atas septum, dan turun ke depan dan bawah ke kanalis insisivus, dan mempersarafi palatum durum. Bagian posteroinferior dipersarafi dari cabang nervus canalis ptergoideus, dan posteroinferior dari cabang anterior N. palatina mayor. Pada anterosuperior dari septum dari N. nasosiliar cabang dari N. etmoidalis anterior, sedangkan anteroinferior septum menerima dari N. alveolaris anterosuperior.


(20)

2.2.2. DINDING INFERIOR HIDUNG 4

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan prosesus horizontal os palatum.

2.2.3. DINDING SUPERIOR HIDUNG 4

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasalis, prosesus nasalis os maksila, korpus os sfenoid, dan korpus os etmoid.

2.2.4. DINDING LATERAL HIDUNG 4

Struktur dinding lateral lebih komplek.l dindingnya sebagian berbatasan dengan sinus paranasal dan terdapat tiga buah penonjolan yaitu konka superior, konka media dan konka inferior. Pada 60% kasus dijumpai adanya konka suprema yang terletak di atas konka superior. Diantara konka dengan dinding lateralnya terdapat celah yang disebut meatus. Penamaan meatus ini sesuai dengan letak dari konkanya.


(21)

Gambar 7. Dinding lateral Hidung

2.2.4.1 Rangka dinding lateral hidung

Struktur kerangka yang membentuk dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media bagian dari os etmoid, konka inferior yang merupakan tulang tersendiri, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

Penonjolan pada bagian anterior konka media adalah agger nasi yang dibentuk oleh sel-sel agger nasi yaitu sel-sel etmoid paling anterior. Penonjolan lain berada di sebelah anferior agger nasi dan anterior dari prosesus uncinatus disebut tulang nasolakrimalis, yang dibentuk oleh duktus nasolakrimalis yang berjalan dari sakus lakrimalis menuju muaranya di meatus inferios.


(22)

Gambaran histologi dari dinding lateral, sebagian besar dilapisi epitel kolumnar bersilia meskipun ada variasi di daerah bagian atas berupa epitel offaktorius yang menyebar dari lempeng kribiformis. Gambaran metaplasia skuamosa sering ditemukan pada dinding lateral yang aliran udaranya besar seperti konka inferior dan ditemukan pada dinding lateral yang aliran udaranya besar seperti konka inferior dan anterior.

2.2.4.2 Bagian mukosa

Konka superior dan meatus superior

Berasal dari massa lateralis dari os etmoid, dengan ukuran panjang + ½ dari konka lainnya (+ 2,5 cm). Letaknya dibawah lamina kribiformis os etmoid, anterior terhadap sinus sfenoidalis. Pada bagian pasterosuperior konka ini bagian fossa nasal yang disebut resesus sfenoetmoidalis, sebagai suatu lekukan kecil tempat muara ostium sinus sfenoid pada dinding posterior resesus.

Konka ini dilapisi sel olfaktorius yang mengandung sel sensoris nervus olfaktorius, dan dilapisi membran mukosa yang tipis dan kurang vaskularisasi. Meatus superior merupakan muara dari drainase sinus etmodalis bagian posterior dengan satu atau lebih muara dalam berbagai ukuran.

Konka media dan meatus media

Konka media termasuk bagian dari os etmoid dan melindungi meatus media sebagai tempat muara beberapa sinus. Sedikit di bawah ujung dari konka,


(23)

terdapat resesus frontalis sebagai muara duktus nasofrontalis dari sinus frontalis, dan ostium dari beberapa seletmoidalis anterior. Sedikit ke depan diatas perletakan konka media (kira-kira pertengahan dorsum nasi dengan ujung konka media) terdapat ager nasi yang merupakan surgical landmark batas anterior sinus etmoidalis anterior.

Meatus media memanjang dimulai dari resus frontalis, lalu ke bawah dan belakang membentuk bagian yang berhubungan dengan ramus desenden, suatu struktur oleh bula etmoid, prosesus uncinatus, dan hiatus semilunaris, serta berfungsi pada sistim drainase sinus.

Konka inferior dan meatus inferior

Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan berukuran paling besar dan dominan pada dinding lateral hidung. Konka ini dilapisi membran mukosa yang tebal dan mengandung pleksus venosus yang melekat erat pada periostium dan perikodrium. Letaknya memanjang dan meluas dari corpus os maksila ke simpel etmoidalis pada lamina perpendikularis os etmoid, sampai berakhir di inferior terhadap konka media pada os palatina kira-kira 1 cm anterior orificium tuba auditiva. Pada bagian sentral melengkung sehingga meatus pada tempat tersebut paling lebar dan tinggi, sedangkan di bagian anterior dan posteriornya menyempit. Bagian konka cembung ke arah septum. Tulang konka ini mempunyai bentuk berlubang-lubang seolah-olah bersel, sehingga penampakan konka menjadi kasar.


(24)

Struktur penting dari meatus inferior adalah muara (ostium) duktus naso lakrimalis. Letak ostium biasanya 1/3 bagian anterior dinding lateral meatus inferior, namun dapat terjadi letak yang lebih tinggi, atau lebih bawah melekat pada bada batas meatus, atau lebih bawah lagi. Muara duktus ini juga bervariasi, dari bentuk oval sempit sampai bulat besar, bentuknya seperti formasi papilla, membentuk fossa yang dangkal, atau lekukan yang dalam, dan pada beberapa keadaan dapat terjadi duplikasi. Ostium letak tinggi cenderung lebih besar, sedangkan letak rendah kebanyakan sempit dengan duktus nasolakrimalis yang berjalan secara oblik melalui membran mukosa dan biasanya dilindungi oleh lipatan membran mukosa yang disebut plika lakrimalis atau katup dari ‘Hassner’

Sel agger nasi

Sel agger nasi membentuk batas anterior resesus frontalis, berada tepat pada potongan koronal yang sama dengan duktus nasolakrimalis. Sel yang membesar dapat meluas ke sinus frontalis menyebabkan penyempitan resesus frontalis. Sel agger nasi dapat pula terdorong ke atas dan kedalam dasar sinus frontalis menyebabkan sumbatan drainase sinus frontalis.

Resesus Frontalis

Letak resesus frontalis dengan batas anterior yaitu dinding depan agger nasi dan meluas ke belakang berbatasan dengan a. etmmoidalis anterior atau


(25)

perlekatan bula etmmoid pada dasar otak, batas lateral dibatasi oleh lamina papirasea dan bagian medial oleh konka media.

Perlekatan atas dari prosesus uncinatus menentukan pola drainase sinus frontal. Umumnya perlekatan atas prosesus unsinatus adalah lamina papirasea sehingga infundibulum bagian atas buntu dan berakhir pada lamina papirasea, sebagai resesus terminalis. Pada keadaan ini resesus frontalis berdrainase ke dalam rongga antara unsinatus dan konka media.

Prosesus Uncinatus

Berbentuk bumerang, merupakan tulang tipis yang melengkung di posterior tulang lakrimal dan di sebelah bawah pada ujung superior konkainferior, berjalan sejajar dengan lengkung permukaan anterior bula ethmoid. Sisi belakang prosesus unsinatus merupakan sisi yang bebas. Ke arah atas dapat melekat pada lamina pipirasea, atap sinus etmoid, atau konka media. Pada tempat bersatunya prosesus uncinatus dengan lamina papiracea, infundibulum os etmoid berjalan diatasnya sampai “blind pounch” yang disebut resesus terminalis.

Bula Etmoid

Merupakan sel etmoid yang paling utama, dapat diidentifikasi di belakang prosesus uncinatus. Ukurannya bervariasi dan dapat berpneumatisasi pada 60-705 kasus. Ke arah atas, ia dapat melekat pada dasar otak tepat di depan arteri etmoid


(26)

anterior, sedangkan di sebelah inferior dan posterior bersatu dengan lamina basalis.

Hiatus Semilunaris

Terdapat celah dua dimensi diantara sisi belakang unsinarus dan aspek anterior bula etmoid, disebut hiatus semilunaris anterior dan celah antara aspek posterior bula etmoid dan lamina basalis hiatus semilunaris posterior. Hiatus semilunaris anterior membuka ke lateral ke dalam ruangan tiga dimensi yang disebut infundibulum yang berbatasan dengan prosesus unsinatus di sebalah depan, bula etmmoid di sebelah posterior dan lamina papirasea di lateral.

Infundibulum Etmoid

Bagian ini terlihat jelas dengan mengangkat prosesus unsinatus. Infundibulum dapat meluas ke anterior dan superior menuju resesus frontal, namun umumnya infundibulum menjadi resesus yang buntu karena unsinatus melekat pada laminapapirasea di bagian superior. Resesus ini disebut resesus terminalis. Pada keadaan tersebut, sinus frontalis tidak berdrainase ke infundibulum tetapi berdrainase ke medial prosesus unsinatus dan lateral konka media.


(27)

2.2.4.3 Vaskularisasi dinding lateral hidung

Perdarahan dinding lateral hidung berasal dari beberapa sumber yang merupakan canamg dari A. karotis interna dan A. karotis eksterna. Cabang nasalis posterior dari A. sfenopalatina berjalan bersama saraf melalui foramen sfenopalatina dan memperdarahi konka. Arteri etmoidalis anterior merupakan cabang dari A optalmika, berada di atap sinus etmoid dan membentuk batas posterior dari resesus frontalis, memperdarahi sepertiga bagian anterior dinding lateral hidung. Arteri berada di bidang koronal yang sama dengan dinding anterior bula etmoid dan beranastomosis dengan arteri sfenopalatina.

Sesudah meninggalkan orbita melalui foramen etmoid anterior, arteri ini berjalan di antara sel etmoid dan masuk ke olfactory groove untuk kemudian masuk ke dalam celah sempit di sisi krista galli dan kembali melalui lamina kribosa untuk masuk ke rongga hidung. Arteri Etmoidalis posterior berjalandi antara atap sinus sfenoid dan sinus etmoid posterior. Arteri ini memperdarahi konka superior.

2.2.4.4 Inervasi Dinding Lateral Hidung 4,5

Nervus trigeminus cabang oftalmika (NV.1)

Saraf ini disebut juga saraf nasosiliaris, memberikan cabang ke mukosa hidung, termasuk dinding lateral hidung. Cabang dari nervus ini yang mempersarafi dinding lateral hidung adalah :

1. N. etmoidalis anterior 2. N. etmoidalis posterior


(28)

Nervus trigeminus cabang maksilaris (NV.2)

Saraf ini menerima sensasi dari sebagian besar fossa nasalis dan hidung. Setelah melalui foramen sfenopalatina, saraf ini akan bersalingan di gangglion sfenopalatina untuk kemudian mempersarafi dinding lateral hidung, septum nasi, palatum dan nasofaring.

Nervus Olfaktorius (N 1)

Membran mukosa olfaktorius mengandung sel-sel yang berasal dari serabut saraf olfaktorius yang dilapisi neuroepitelium. Bagian basal sel ini tipis dan berjalan ke atas untuk membentuk pleksus, serabut saraf tidak bermielin yang mangandung lebih kurang 20 erabut saraf. Serabut saraf ini menembus lamina kribiformis dan menuju ke bulbus olfaktorius pada setiap sisi simpel galli. Segera setelah lahir, serabut saraf ini berkurang 1 % per tahun.

Sistim Limfatik

Sistim limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh faialis yang menuju leher. Jaringan ini hampir mengurus seluruh bagian hidung anterior-vestibulum dan daerah prekonka.

Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama daerah hidung belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan


(29)

bagian hidung yang berkaitan, berjalan diatas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar retrofaringea. Kelompok media, berjalan dibawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari seprum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe sepanjang pembuluh jugularis interna.

2.3 ANATOMI SINUS PARANASAL 4,5,6

Sinus paranasalis berkembang sebagai suatu rongga berisi udara disekitar rongga hidung yang dibatasi tulang wajah dan kranial. Memiliki struktur tidak teratur, dan seperti halnya lapisan epitel pada hidung, tuba eustachius, telinga tengah dan regio respiratorius dari faring, sinus paranasal dilapisi mebrana mukosa dengan lapisan epitel pseudostratified kolumnar bersilia (respiratory epitelium), namun dengan karakteristik lebis tipis dan kurang vaskularisasi bila dibandingkan dengan membran mukosa hidung.

Secara klasik sinus paranasal dibagi dalam 4 pasang sinus, yaitu : sinus frontalis, sinus etmmoidalis, sinus maksilaris dan sinus sfenoidalis. Berdasarkan kepentingan klinis, sinus paranasal dibagi 2 kelompok, yaiu kelompok anterior meliputi inus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior yang bermuara di bawah konka media, serta kelompok belakang meliputi sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis yang bermuara pada beberapa lokasi di konka media.


(30)

Gambar 8. Sinus Paranasal ( url : http://natomi.med)

2.3.1 Sinus Frontalis

Tulang frontal membentuk dahi dan atap orbita dan mengalami pneumatisasi berbagai derajat, juga membentuk atap sinus etmoid dan dikenal sebagai fovea etmoidalis ossiis frontalis, di daerah ini tulang relatif tabel dan lebih tipis di atap orbita Kalvaria anterior mengalami penebalan dari 4 mm saat baru lahir menjadi 16 mm pada waktu dewasa.

Epitel respiratorius dari dinus frontalis mempunyai sedikit sel goblet (5900/mm2) dan beberapa kelenjar seromusinus (0.08/mm2).

Sinus frontalis mendapat suplai darah dari A. supraorbitalis dan A. etmoidalis anterior. Drainase sistim vena mengalir ke sinus sagitalis dan sinus


(31)

sfenoparietal, serta anastomosis vena pada takik supraorbita yang menghubungkan pembuluh darah oftalmikus superior dan supraorbitalis.

Inervasi dan sinus frontalis adalah dari n. surpraorbitalis, dan aliran limfe menuju kelenjar submandibula.

2.3.2 Sinus Etmoidalis

Tulang yang membentuk terdiri dari 5 bagian yaitu : dua labirin etmoidalis, menutupi etmmoidalis sisi lain dari lamina perpendikularis bagian atas dari tulang septum nasi. Tulang lain lamina cribiformmis, perluasan garis tengah superior krista gali.

Lamina kribifoormis membagi rongga hidung dari rongga kranial anterior. Penetrasi pada lamina ini diberi nama sesuai dengan asalnya, seperti serabut olgakrorius, pembuluh darah dan saraf etmoidalis. Dua buah ala anterior melengkapi foramen saekum yang sering meneruskan cabang vena sinus sagitalis superior. Atap labirin etmmoid teruma menempati os frontal. Titik pertemuan os frontal dan os etmoid yaitu diatas ceruk kribiformis pada ketinggian bervariasi (1-7 mm) dan atap-atap etmooid disebut sering asimetris (10% Dessi et al, 1994) dengan atap sebelah kanansering lebih rendah dari kiri.

Sepertiga anterior konka media melekat secara vertikal pada basis kranii di sisi lateral cerk kribiformis dengan os frontal membentuk atap os etmmoid. Sepertiga posterior melekat secara horizontal pada lamina papiracea dan dinding


(32)

medial maksila. Antara 2 bagian konka ini terdapat lempeng oblik dari tulang lamella basalis yang membagi labirin etmmoid menjadi sel anterior dan posterior.

Labirin etmoid merupakan hasil pengumpulan dan pembelahan dari sel-sel. Dinding lateralnya membentuk lamina orbitalis atau lamina papiracea. Lamina orbitalis ini sangat tipis dan akan membelah terutama pada orang sangat muda atau sangat tua. Sel-sel anterior umumnya lebih kecil dan banyak (2-8 sel) dari pada sel posterior (1-5).

Sel etmoidalis posterior dapat meluas ke lateral os sphenoid sampai 1,5 cm dari dinding posterior dari dinding anterior sfenoid. Sel etmid melakukan pneumatisasi dinding orbita, membentuk sel haller yang dapat mengganggu infundibuloetmoidalis (Haller, 1996). Proses pneumatisasi terjadi pada sistim anterior + 75 % dan sel posterior sebanyak 30%.

Sinus etmoidalis dilapisi oleh sel epitel respiratori kolumnar brsilia yang tipis. Ketebalan sel goblet rendah dibandingkan dengan sinus maksilaris, dengan rata-rata 6500/mm2. Kelenjar seromusin tuboalveolaris ditemukan sepanjang mukosa lebih banyak dietmoid bila dibandingkan sinus lain.

Perdarahan didapat dari A. sfenopalatina dan etmoidalis anterior dan posterior serta melalui vena yang sama. Persarafannya oleh N. etmmoidalis anterior dan posterior serta cabang-cabang orbita dari ganglion pterygopalatina. Aliran limfe menuju nodus submandibuler dan posterior menuju nodus retrafaringeal.


(33)

2.3.3 Sinus Maksilaris

Tulang maksilaris adalah tulang muka terbesar kedua, membentuk sebagian besar atap mulut, dinding lateral dan dari dasar rongga hidung serta dasar dari orbita. Biasanya digambarkan berbentuk piramid kaudrilateral dan berisi sinus maksilaris. Sinus ini relatif simetris dan jarang tidak ada.

Mempunyai 4 prosesus yaitu prosesus zygomatikus, P frontalis, P. palatina dan alveolaris. Terdapat artikulasi dengan delan tulang yaitu maksila, zygoma frontal, palatina, etmoid, lakrimal, konka inferior dan os nasal. Permukaan anterior memiliki elevasi dan depresi, berhubungan dengan pertumbuhan gigi dan namanya sesuai dengan gigi yang berdekatan seperti fosa canina. Foramen infraorbitalis diatas fossa canina dan dilalui n. infraorbitalis.

Batas dari sinus maksilaris adalah atap sinus membentuk sebagian besar dasar orbita. Atap ini dilalui kanalis infraorbitalis yang akan terbelah, bagian anteromedial berlekuk dan lakrimal notch berhubungan dengan sakur lakrimalis, batas inferior umumnya lebih tebal, tetapi dapat ditembus agar gigi (premolar 2 dan molar 3). Pada posterior permukaan infratemporal tulang berbentuk konveks dilewati oleh n. alveolaris superior dan posterior. Medial membentuk dasar dari piramid dan berisi lubang besar yaitu hiatus maksila. Kanalis lakrimalis dibentuk antara maksila, os lakrimal dan konka inferior, melalui tempat dimana duktus nasolakrimalis lewat ke anterior dari meatus superior.


(34)

Sinus maksilaris dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang mempunyai ketebalan goblet tertinggi dari sinus paranasal lainnya 99700/mm). Kelenjar seromusin relatif jarang, tetapi umumnya terletak di ostium.

Suplai dari arteri maksilaris, infraorbital, palatina mayor dan cabang-cabang kecil dari facialis. Sedangkan aliran balik menuju vena fasialis anterior dan pleksus pterigoideus. Persarafan dari N. infraorbitalis, N. alveolaris superior dan N. palatina mayor (cabang maksilaris N. Trigeminus). Aliran kelenjar getah bening relatif kurang, tetapi sebagian besar menuju fosa pretigopalatina dan nodus submandibular.

2.3.4 Sinus Sfenoidalis

Tulang yang membentuk sinus sfenoidalis merupakan tulang terbesar pada basis kranii dan membatasi fossa kranii anterior dan posterior. Pada setiap sisi setengah dari wajah terletak ostium sinus. Ostium ini besar (diameter 5-8 mm) pada tengkorak yang bermaserasi, tetapi sebagian tumpah tindih dan ditutupi oleh konka sfenoid dan membran mukosa.

Sinus sfenoid bermuara ke resesus sfenoethmoidalis, konka superior dan media. Pneumatisasi pada sinus dapat meluas sampai ke ala magna.

Dijumpai empat bentuk umum pneumatisasi (Elwany et al, 1983) :


(35)

 Preselar, pneumatisasi sinus sejauh dinding tulang anterior dari fosa pituitary (11%)

 Sellar, pneumatisasi meluas sampai ke bawah fosa pituitary (59%)

 Pneumatisasi campuran (27%)

Disamping itu tulang ini juga dilewati oleh beberapa foramina :

 Foramen rotundum dilalui oleh N. maksilaris

 Foramen rotundum, dilalui N mandibularis, A. meningeal asesrius dan kadang-kadang N. petrosus minor

 Foramen spinosum yang dilalui oleh A, meningea media dengan cabang dari A. mandibularis.

 Pada 40% dijumpai foramen venosus sfenoidalis yang berhubungan dengan foramen ovale.

Sel goblet pada epitel respirasi yang melapisi sinus sfenoidalis sama banyak dengan yang ditemukan pada sinus etmmoid (6200/mm2) meskipun jumlah kolagen seromusin lebih sedikit (0,06/mm2)

2.4 FISIOLOGI HIDUNG 1,5

Fungsi hidung diantaranya adalah :

1. Sebagai alat penciuman (olfactory organ) 2. Sebagai alat pernafasan (respiratory organ)


(36)

3. Respirasi, dimana sebagai organ yang mempersiapkan udara inspirasi sesuai dengan permukaan paru (Pertukaran panas, humidifikasi, Resistensi hidung)

4. Resonansi suara

5. Perlindungan terhadap saluran nafas bawah 6. Refleksi nasal

2.4.1 Sebagai alat penciuman

Reseptor penciuman terletak pada epitel olfaktoius dalam membrana mukosa, pada manusia terletak pada atap dari cavum nasi, cobcha superior dan 1/3 bagian atas dari septum nasi. Membrana mukosa olfaktorius dilapisi oleh epitel silindris bertingkat tidak bersilia yang terdiri dari tiga macam sel yaitu

sustentakuler cells (sel penyokong), olfactoring cells (sel penciuman) dan basal

cells.

Area olfaktorius besarnya tidak sama pada setiap spesimen, dimana pada manusia luasnya lebih kurang 200 s/d 400 mm dengan kepadatan 5.104 sel/mm2.

Mekanisme perjalanan syaraf penciuman

Serabut syaraf penciuman (N. olfaktorius) yang keluar dari area olfaktorius jumlahnya sekitar 20 buah dan tidak bermyelin, kemudian berjalan menuju lamina kribiformis os. Ethmoidalis dan masuk ke bulbus olfaktorius. Ujung staraf olfaktorius membentuk sinaps yang kompleks dengan glomerulus


(37)

olfaktorius yang dihubungkan dengan sel-sel mitral atau “tuffed cell”. Tiap glomerulus menerima impuls dari 26.000 reseptor penciuman dan dihubungkan dengan 25 sel-sel mitral.

Dari bulbus olfaktorius selanjutnya berjalan sepasang traktus olfaktorius dan stria olfaktorius lateralis menuju pusat penciuman di otak, dimana akan berakhir di “prepyriform frontal cortex” dan nukleus amigdaloid. Akson dari tuffed cells berjalan melalui komisura anterior menuju bulbus olfaktorius yang kontralateral dan juga ke hipothalamus

Efek penciuman tergantung dari :

Apakah bersifat volatil (zat cair yang mudah menguap)  Konsentrasi zat dalam udara inspirasi.

 Kekuatan suatu zat menabrak mukosa olfaktoring (kecepatan gerak molekul dan massa zat).

 Volume udara yang mencapai mukosa olfaktorius.  Kelarutan lemak-air.

 Keadaan mukosa olfaktorius.

 Integritas perjalanan syaraf olfaktorius.

2.4.2 Sebagai alat pernafasan

Hidung sebagai alat pernafasan yaitu sebagai jalan masuknya oksigen ke dalam pare-pare yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh, serta mengeluarkan


(38)

hidrat arang sebagai sisa-sisa metabolisme. Pertukaran ini kebanyakan terjadi di alveoli paru-paru, fungsi hidung disini membuat udara yang dihisap akan mudah mengalami pertukaran tersebut tanpa merusak alveoli.

Perjalanan udara setelah masuk ke dalam rongga hidung secara vertikal, berbelok 80-90 derajat ke posterior sampai mencapai nasal vault. Aliran udara kemudian melintang secara horizontal sampai membentur dinding posterior nasofaring, kemudian membelok 80-90 derajat ke bawah bersama-sama aliran udara sisi sebelahnya untuk masuk kedalam faring. Dua belokan tajam dari 80-90 derajat dari aliran udara ini disebut impaction point.

Impaction (benturan) terhadap adenoid memungkinkan partikel-partikel tersebut ditangkap didalam krypta dan menimbulkan reaksi immunologi

Sebagian aliran udara mencapai area olfaktorius, menghirup udara

(sniffing) kemungkinan merupakan mekanisme untuk meninggikan hantaran

udara ke area olfaktorius. Um umnya udara ekspirasi merupakan aliran udara berputar (eddy current) karena adanya obstruksi relatif di daerah katup hidung anterior. Septum yang bengkok atau obstruksi jalan nafas lainnya akan meningkatkan putaran arus ini. Pada respirasi yang tenang putaran arus akan berkurang dan akan meningkat bila respirasi makin cepat.

Aliran udara cukup sempit dan tidak lebih dari 1-2 mm sedangkan permukaan lateral rongga hidung berukuran besar, ini mengakibatkan kontak langsung antara udara respirasi dengan permukaan mukosa.


(39)

Katup hidung bagian anterior atau ostium interim pada limen nasi terletak 1,5 - 2 cm sebelah posterior dari nares anterior. Pada potongan melintang di daerah ini berdiameter 10-40 mm persegi pada tiap sisi, sehingga merupakan bagian tersempit dari jalan nafas.

Rongga hidung mempunyai tahanan sebesar 50% dari jalan nafas secara keseluruhan. Sebelah posterior dari potongan melintang hidung ini membesar pada daerah utama pasage hidung bagian horizontal dimana aliran udara tetap sempit sehingga juga menyediakan daerah permukaan yang luas ditempat kontak dengan aliran udara. Di daerah khoana posterior pada potongan melintang juga tampak sempit, sehingga ini dapat menjelaskan adanya variasi tekanan intranasal dari -5 atau 6 mm H2O sampai + 5 atau 6 mm H2O pada waktu inspirasi atau ekspirasi.

Terdapat perubahan siklus resistensi hidung (nasal resistance) antara satu lubang hidung ke lubang hidung lainnya. Peingkatan resistensi hidung yang lama, misalnya pada pembesaran adenoid atau nasal pack yang terlaiu padat, dapat menyebabkan cor pulmonale, kardiomegali dan edema paru-paru. Peningkatan resistnsi hidung mengakibatkan bemafas melalui mulut sehingga tidak terdapat fungsi hidung sebagai pembersih dan air conditioning.

Terjadi peningkatan resistensi bronckhial bila membrana mukosa hidung dan nasofaring tersngsang misalnya oleh debu silika.

Kecepatan aliran udara (air speed) pada katup hidung anterior mencapai 3,3 m/detik pada tingkat aliran udara inspirasi 200 ml/detik dibandingkan dengan 1


(40)

m/detik dalam bronchus. Kecepatan aliran udara akan melambat walaupun pada potongan melintang lebar dan aliran udara sempit, ini memungkinkan udara inspirasi tetap kontak dengan bagian permukaan yang luas dalam jangka waktu yang lama. Keadaan ini merupakan kondisi ideal untuk air conditioning dimana sekresi yang tidak terkontaminasi dari sinus anterior memasuki rongga hidung.

Pengeluaran partikel-partikel berbahaya dengan ukuran 5-6 urn sekitar 85-90% dikeluarkan dari hidung dan nasofaring, sedangkan partikel yang lebih besar lagi dapat ditangkap oleh vimbrissae. Partikel yang lebih kecil dapat masuk daluran nafas bagian bawah dan diabsorbsi. Gabungan virus dengan partikel yang berukuran melebihi 5-6 urn dapat bertahan dalam rongga hidung. Selama pernafasan hidung, spray aerosol tertahan dalam hidung dan tidak berpenetrasi ke saluran nafas bawah. Pengeluaran partikel dari hidung dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kecepatan aliran udara inspirasi pada 2 point impaction.

Air conditioning terjadi di daerah dimana udara inspirasi melintang di bagian horizontal nasal airway. Disini udara dipanaskan atau didinginkan secara radiasi yang dipancarkan dan mukosa pembuluh darah. Humidifikasi dari udara inspirasi terjadi secara penguapan dari mucous blanket yang menyelimuti membrana mukosa, hal ini merupakan mekanisme yang efisien yang dibuktikan dengan observasi bahwa udara inspirasi mendekati suhu tubuh normal dan kelembaban relatif dalam nasofaring hampir 100%.


(41)

2.4.3. Fungsi Respirasi

Hidung sebagai organ yang mempersiapkan udara pernafasan mempunyai 3 fungsi, yaitu

 Humidifikasi.  Pertukaran panas.

 Filtrasi (proteksi dan pembersih)

Humidifkasi a. Inspirasi

Saturasi udara inspirasi dengan cepat akan diikuti peninggian temperatur.Energi diperlukan untuk 2 hal yaitu untuk peninggian termperatur udara inspirasi dan panas laten untuk evaporasi, untuk itu diperlukan energi lebih kurang 2100 KJ/hari. Pada orang dewasa kira-kira hanya seperlimanya digunakan untuk meninggikan temperatur udara inspirasi, tetapi ini tergantung pula ciari temperatur ambient dan humidifikasi relatif udara inspirasi. Kurang lebih 10% dan panas tubuh dikeluarkan melalui udara lewat hidung. Walaupun ada variasi daripada temperatur udara inspirasi, tetapi udara pada nasofaring sekitar 31 derajat celcius dengan kejenuhan sekitar 95%.

b. Ekspirasi

Temperatur udara eksirasi pada hidung sedikit di bawah temperatur tubuh, ini akan menurun selama pasage udara sepanjang rongga hidung dan akan membiarkan sejumlah air berkondensi ke dalam mukosa. Temperatur bagian


(42)

Pertukaran panas.

Temperatur pada udara inspirasi dapat bervariasi antara -50 s/d 50 derajat celcius dan pada hidung temperatur udara ini dapat disesuaikan dengan temperatur pada pare-pare. Perubahan panas ini dapat terjadi secara konduksi, konversi dan radiasi. Bila hanya terjadi konduksi maka tidak akan terjadi aliran udara dan panas akan ditransfer dengan peningkatan pergerakan molekuler. Naik turunnya temperatur udara dapat menyebabkan arus konversi yang akan mempengaruhi aliran udara dalam rongga hidung dan timbulnya turbulensi. Radiasi tidak berpengaruh besar dalam penghangatan udara inspirasi, tetapi mempengaruhi pada humidifikasi.

Filtrasi (proteksi dan pembersih)

Salah satu fungsi dan hidung yaitu mencegah masuknya partikel udara inspirasi ke dalam saluran nafas bagian bawah, fungsi ini dapat dilakukan secara mekanik atau kimiawi. Partikel yang berdiameter antara 5-10u, dapat disaring oleh bulu hidung 70%-80% atau tertangkap oleh mukosa di atas glotis.


(43)

Partikei dengan diameter kurang dari 1u tidak dapat ditahan daiam rongga hidung. Kesanggupan hidung untuk memfiltrsi partikel-partikel tersebut disebabkan karena morfologi hidung yang menentukan arab aliran udara maupun turbulensi udara.

Benda asing, bakteri dan lain lain yang tidak tertangkap oleh vimbrissae biasanya ditangkap oleh suatu lapisan iendir yang disebut Mucous blanket".

2.4.4 Fungsi Dalam Resonansi Suara

Suara yang ditimbulkan seseorang dalam keadaan sehat akan berbeda dalam keadaan waktu menderita influenza, dimana mukosa hidung pada saat ini sedang mengalami edema. Suara dihasilkan dengan mengubah getaran udara dari Taring. Frekwensi suara tinggi yang menimbulkan suara konsonan dibantu juga oleh faring, lidah dan gigi. Hidung menambah kualitas suara dengan cara membiarkan sebagian udara keluar

2.5. FISIOLOGI SINUS PARANASAL 1,5,6

2.5.1. Fisioiogi Epitel Sinus

Mukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan dari rongga hidung walaupun lebih tipis yaitu terdiri dari epitel kolumner semu bertingkat bersilia dengan 4 tipe sel dasar yaitu :


(44)

Sel kolumnar bersilia mempunyai 50 — 200 silia per sel, dimana setiap set mengandung 2 mikrotubuler ganda dengan lengan dyein yang terletak di perifer yang akan membentuk gerakan

b. Sel kolumner tidak bersilia

Mempunyai mikrovili berjalan diantara sel tipe 1. Mikrovili ini membantu memperbesar permukaan epitel agar proses humidifikasi dan penghangatan dapat berjalan.

c. Sel basalis

Dapat bervariasi dalam berbagai bentuk, ukuran dan jumlah. Kemungkinan merupakan stem sel primitif yang berdiferensiasi menjadi sel epitel.

d. Sel goblet

Sel ini bisa ataupun tidak dilapisi mikrovili, menghasilkan mukus yang tebal setelah stimulasi bahan — bahan iritan.

Dibawah membrana basalis mukosa sinus, lamina propria terlihat tipis serta ditemukan glandula serosa dan mukosa. Kedua glandula ini dibawah kontrol sistem parasimpatis untuk menghasilkan mukus yang kental dan sistem simpatis untuk menghasikan mukus yang tipis. Konsentrasi sel goblet dan glandula submukosa ini lebih kecil dibandingkan di rongga hidung, tetapi terutama sinus maksilaris mempunyai sel goblet lebih banyak dibandingkan sinus paransal lainnya.


(45)

Mukus Blanket

Mukus blanket terdiri dari 2 lapisan. Lapisan sol yang merupakan lapisan yang tipis dan perisilar, sehingga silia dapat bergerak bebas melakukan gerakan. Bagian atasnya adalah lapisan gel, merupakan mukus yang tebal, tempat melekat silia. Mikrovili akan berperan di lapisan sot, sedangkan sel goblet dan glandula submukosa pada lapisan gel.

Kandungan mukus adalah sebagai berikut :

 Mukopolisakarida yang berfungsi sebagai proteksi terhadap kelembaban yang 'rendah dan udara dingin

 Komposisi Ig A yang berperan menghambat bakteri pada permukaan sel  Komposisi Ig G dan Interferon seperti sel — sel inflmasi lainnya, juga

ditemukan sekresi sinonasal lainnya yang berperan sebagai anti viral  Lisosim dan Laktoferin berguna menghambat bakteri

Bila ada partikel asing yang terjebak, sinus secara efektif akan mengalirkannya melalui mucus dengan sistem mucosillicay clearence,. Silia akan menggerakan mukus dengan kecepatan 3 - 25 mm/menit menuju ostium sinus.

2.5.3 FUNGSI SINUS PARANASAL

Hingga saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fungsi sinus paranasal. Beberapa teori telah dikemukakan bahwa fungsi dari sinus paranasal antara lain :


(46)

a. Sebagai pengatur kondisi udara

Sinus berfungsi sebagai runag tmbahan untuk menghangatkan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.

b. Sebagai penahan suhu

Sinus paranasal dapat berfungsi buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah — ubah

c. Membantu keseimbangan kepala d. Membantu resonansi suara

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara f. Membantu produksi mucus


(47)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bolger E. William.2001. Anatomy of the Paranasal Sinuses. In : Disease of the Sinuses, Diagnosis and Management. Edited by Kennedy. B.C. Decker Inc. Hamilton London. Page : 1-11.

2. Sobotta. Caput, Nasus externus, Cavitas nasi. In : Atlas der Anatomie des Menschen, 19th ed., Edited by J. Staubesand, Urband & Schwarzendberg, Munchen 1989; 62-9.

3. Miller A.J, Amedee R.G. Sinus Anatomy and Function. In : Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second Edition. Edited by : Bailey B.J. Lippincott Raven Pub. Philadelphia New York. Page :413-421.

4. Hollinshead, W.H. 1966. The Nose and Sinus Paranasal. In : anatomy for surgeons, The Head and Neck. Reprinted Edition. A Hober-Harper International Edition. New York, Page : 270-345.

5. Stammberger Heinz. 2003 .F.E.S.S. In Endoscopic Diagnosis and Surgery of the Paranasal Sinuses and anterior Skull Base. University Ear, Nose and Throat Hospital Graz, Austria.

6. Sjahriar Rasad, Sukonto Kartoleksono, Iwan Ekayuda. 1992. Sinus Paranaslaes.


(48)

(1)

Partikei dengan diameter kurang dari 1u tidak dapat ditahan daiam rongga hidung. Kesanggupan hidung untuk memfiltrsi partikel-partikel tersebut disebabkan karena morfologi hidung yang menentukan arab aliran udara maupun turbulensi udara.

Benda asing, bakteri dan lain lain yang tidak tertangkap oleh vimbrissae biasanya ditangkap oleh suatu lapisan iendir yang disebut Mucous blanket".

2.4.4 Fungsi Dalam Resonansi Suara

Suara yang ditimbulkan seseorang dalam keadaan sehat akan berbeda dalam keadaan waktu menderita influenza, dimana mukosa hidung pada saat ini sedang mengalami edema. Suara dihasilkan dengan mengubah getaran udara dari Taring. Frekwensi suara tinggi yang menimbulkan suara konsonan dibantu juga oleh faring, lidah dan gigi. Hidung menambah kualitas suara dengan cara membiarkan sebagian udara keluar

2.5. FISIOLOGI SINUS PARANASAL 1,5,6 2.5.1. Fisioiogi Epitel Sinus

Mukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan dari rongga hidung walaupun lebih tipis yaitu terdiri dari epitel kolumner semu bertingkat bersilia dengan 4 tipe sel dasar yaitu :


(2)

Sel kolumnar bersilia mempunyai 50 — 200 silia per sel, dimana setiap set mengandung 2 mikrotubuler ganda dengan lengan dyein yang terletak di perifer yang akan membentuk gerakan

b. Sel kolumner tidak bersilia

Mempunyai mikrovili berjalan diantara sel tipe 1. Mikrovili ini membantu memperbesar permukaan epitel agar proses humidifikasi dan penghangatan dapat berjalan.

c. Sel basalis

Dapat bervariasi dalam berbagai bentuk, ukuran dan jumlah. Kemungkinan merupakan stem sel primitif yang berdiferensiasi menjadi sel epitel.

d. Sel goblet

Sel ini bisa ataupun tidak dilapisi mikrovili, menghasilkan mukus yang tebal setelah stimulasi bahan — bahan iritan.

Dibawah membrana basalis mukosa sinus, lamina propria terlihat tipis serta ditemukan glandula serosa dan mukosa. Kedua glandula ini dibawah kontrol sistem parasimpatis untuk menghasilkan mukus yang kental dan sistem simpatis untuk menghasikan mukus yang tipis. Konsentrasi sel goblet dan glandula submukosa ini lebih kecil dibandingkan di rongga hidung, tetapi terutama sinus maksilaris mempunyai sel goblet lebih banyak dibandingkan sinus paransal lainnya.


(3)

Mukus Blanket

Mukus blanket terdiri dari 2 lapisan. Lapisan sol yang merupakan lapisan yang tipis dan perisilar, sehingga silia dapat bergerak bebas melakukan gerakan. Bagian atasnya adalah lapisan gel, merupakan mukus yang tebal, tempat melekat silia. Mikrovili akan berperan di lapisan sot, sedangkan sel goblet dan glandula submukosa pada lapisan gel.

Kandungan mukus adalah sebagai berikut :

 Mukopolisakarida yang berfungsi sebagai proteksi terhadap kelembaban yang 'rendah dan udara dingin

 Komposisi Ig A yang berperan menghambat bakteri pada permukaan sel  Komposisi Ig G dan Interferon seperti sel — sel inflmasi lainnya, juga

ditemukan sekresi sinonasal lainnya yang berperan sebagai anti viral  Lisosim dan Laktoferin berguna menghambat bakteri

Bila ada partikel asing yang terjebak, sinus secara efektif akan mengalirkannya melalui mucus dengan sistem mucosillicay clearence,. Silia akan menggerakan mukus dengan kecepatan 3 - 25 mm/menit menuju ostium sinus.

2.5.3 FUNGSI SINUS PARANASAL

Hingga saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fungsi sinus paranasal. Beberapa teori telah dikemukakan bahwa fungsi dari sinus paranasal antara lain :


(4)

a. Sebagai pengatur kondisi udara

Sinus berfungsi sebagai runag tmbahan untuk menghangatkan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.

b. Sebagai penahan suhu

Sinus paranasal dapat berfungsi buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah — ubah

c. Membantu keseimbangan kepala d. Membantu resonansi suara

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara f. Membantu produksi mucus


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bolger E. William.2001. Anatomy of the Paranasal Sinuses. In : Disease of the Sinuses, Diagnosis and Management. Edited by Kennedy. B.C. Decker Inc. Hamilton London. Page : 1-11.

2. Sobotta. Caput, Nasus externus, Cavitas nasi. In : Atlas der Anatomie des Menschen, 19th ed., Edited by J. Staubesand, Urband & Schwarzendberg, Munchen 1989; 62-9.

3. Miller A.J, Amedee R.G. Sinus Anatomy and Function. In : Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second Edition. Edited by : Bailey B.J. Lippincott Raven Pub. Philadelphia New York. Page :413-421.

4. Hollinshead, W.H. 1966. The Nose and Sinus Paranasal. In : anatomy for surgeons, The Head and Neck. Reprinted Edition. A Hober-Harper International Edition. New York, Page : 270-345.

5. Stammberger Heinz. 2003 .F.E.S.S. In Endoscopic Diagnosis and Surgery of the Paranasal Sinuses and anterior Skull Base. University Ear, Nose and Throat Hospital Graz, Austria.

6. Sjahriar Rasad, Sukonto Kartoleksono, Iwan Ekayuda. 1992. Sinus Paranaslaes.


(6)