Pengembangan Pembelajaran Sastra Lokal u
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SASTRA LOKAL UNTUK
MEMBANGUN KARAKTER POSITIF ANAK SEKOLAH DASAR
Patrisius Istiarto Djiwandono
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Ma Chung
[email protected]
Abstrak
Makalah ini menyarikan temuan yang telah didapat dari sebuah rangkaian penelitian
dalam skema Hibah Bersaing yang bertujuan utama merancang pembelajaran karakter melalui
muatan sastra lokal Malang. Terbagi menjadi 3 tahun, studi pada tahun pertama yang dilaporkan
dalam makalah ini bertujuan menegaskan definisi sastra dan sastra lokal Malang, serta menggali
data awal (baseline data) dari guru dan murid Sekolah Dasar tentang pemahaman karakter positif
dan muatan sastra lokal yang digunakan untuk mendidik karakter. Hasil menunjukkan bahwa di
sekolah belum ada upaya sistematis, terorganisir, dan berkelanjutan dalam pengembangan
karakter. Juga belum banyak muatan sastra lokal yang digunakan sebagai dasar pengembangan
karakter. Cerita yang mereka kenal hanya beberapa gelintir saja, dan itupun dengan pencerapan
pesan moral yang kurang terarah. Sementara itu, para pakar sastra yang digali pendapatnya lewat
wawancara menegaskan bahwa sastra lokal mempunyai potensi untuk menjadi dasar dalam
pengembangan karakter. Disarankan untuk melakukan pendidikan karakter ini lewat permainan
dan drama karena sifatnya yang selaras dengan dunia anak-anak.
Latar Belakang
Pendidikan karakter sudah dicanangkan sebagai salah satu agenda penting dalam
pendidikan nasional. Dunia pun semakin menyadari bahwa keunggulan akal dan rasio harus
diimbangi dengan kepribadian yang baik sehingga peradaban manusia tidak menggelinding ke
arah yang salah. Pendidikan karakter sendiri lazimnya dimulai dan dikembangkan tidak hanya di
tengah keluarga dan lingkungan sosial, namun juga diperkuat oleh pendidikan di sekolah. Lebih
jauh lagi, pendidikan karakter itu harus ditanamkan sejak usia dini sehingga generasi muda
[Type text]
Page 1
berkembang dengan pondasi karakter positif yang membuatnya kokoh mengarungi gejolak
kehidupan di masa-masa berikutnya.
Tentunya sudah banyak upaya yang dirintis untuk memantapkan pendidikan karakter di
usia dini. Dalam pada itu, jika dicermati lebih dalam, ternyata karya-karya sastra di berbagai
daerah mempunyai kandungan nilai-nilai moral yang sangat potensial untuk ditanamkan sebagai
bagian dari karakter anak didik. Melalui suatu upaya pengintegrasian sastra lokal dengan
kurikulum, dapat diupayakan pengembangan karakter positif melalui sastra lokal. Sayangnya,
sejauh ini belum ada upaya yang cukup sistematis untuk menentukan seberapa besar potensi dari
pengembangan peran sastra lokal dalam pendidikan karakter ini. Penelitian ini bertujuan untuk
melakukan pengembangan upaya pendidikan karakter melalui sastra lokal yang terentang mulai
dari perancangannya, dampaknya, dan akhirnya model pembelajaran dan materi belajar untuk
mencapai tujuan tersebut. Karena tujuan penelitian tersebut sangat luas, makalah ini hanya akan
menyajikan sebagian darinya, yakni tentang pengertian sastra lokal, muatan sastra lokal,
pendidikan karakter di mata guru dan murid, dan bagaimana potensi sastra lokal untuk
menajamkan karakter.
Masalah dan Studi Terdahulu
Uraian di atas menyiratkan inti masalah yang terasa di dunia pendidikan, khususnya
dunia pendidikan di tingkat sekolah dasar. Selain belum mantapnya pengelolaan pembelajaran
karakter, ternyata para pendidik di tingkat ini pun belum melirik potensi muatan sastra lokal
untuk dasar pengembangan karakter positif para murid. Sebagaimana yang akan tergambar di
bagian berikutnya dari makalah ini, sebagian besar murid dan guru masih sampai pada tahap
mengenali kemungkinan penggunaan materi sastra lokal untuk mengembangkan karakter. Selain
cerita-cerita yang mereka sebutkan terkesan klise, tindak instruksional yang secara sistematis
dilakukan untuk menempa karakter murid pun belum kelihatan solid.
Beberapa studi terdahulu telah dilakukan di ranah pengembangan karakter dan kaitannya
bahasa dan sastra. Di lingkup nasional, beberapa penelitian mencoba merintis model-model
pembelajaran yang pas untuk mengembangkan karakter positif bagi siswa-siswa. Sauri dan
Rahmat (2007) meneliti tentang pengembangan model santun berbahasa sebagai strategi
pencegahan kemerosotan moral di kalangan pelajar perkotaan. Mereka berangkat dari dugaan
bahwa dinamika dan lingkungan berpengaruh pada perkembangan perilaku remaja dan lembaga
[Type text]
Page 2
pendidikan di perkotaan. Pendekatan naturalistik yang digunakan mengungkap fakta bahwa
sikap berbahasa siswa dipengaruhi oleh lawan bicara. Mereka menggunakan bahasa yang santun
hanya ketika mereka berbicara dengan kepala sekolah, guru atau orang yang lebih tua.
Studi oleh Sauri dan Nurdin (2008) meneliti pengembangan model pendidikan nilai
berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendekatan statistic inferensial sebagai prosedur
kuantitatif, serta teknik angket dan wawancara mendalam untuk prosedur kualitatif menghasilkan
luaran yang mencakup (1) model pendidikan nilai dan personalisasi nilai berbasis lingkungan
pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga), dan pendidikan nonformal
(masyarakat), (2) metodologi pengembangan pendidikan nilai yang dapat digunakan guru di
lingkungan sekolah, orang tua dalam lingkungan keluarga, dan tokoh masyarakat dalam
lingkungan masyarakat, serta (3) model konseptual pendidikan nilai yang efektif untuk
pendidikan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tergerak oleh kekuatan global yang telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia,
termasuk para siswa SMP, Mulyani (2010) mengembangkan model pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia menggunakan media audio visual berbasis kearifan lokal dengan tujuan untuk
membentuk
kepribadian anak SMP. Masalah sentral penelitian ini adalah seberapa efektif
pengembangan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia melalui media audio visual
berbasis kearifan
budaya lokal dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa dan
membentuk kepribadian siswa SMP. Dengan desain Riset Pengembangan dan berdasarkan hasil
observasi, wawancara, dan jurnal untuk guru dan siswa, terungkap bahwa penggunaan media
pembelajaran audio-visual berbasis kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat
bermanfaat.
Para
siswa
berpendapat
bahwa
pembelajaran
menjadi
tidak
monoton,
menyenangkan, lebih bervariasi sehingga minat, kreativitas, keaktifan dan kompetensi berbahasa
mereka bisa meningkat. Selain itu, kepribadian siswa mengalami perubahan, yakni menjadi lebih
mandiri, cinta tanah air, toleran, disiplin, kerja keras, jujur, kreatif, menghargai prestasi,
membantu teman yang mengalami kesulitan, dan bisa menjadi pendengar yang baik.
Sulistyarini (2011) meneliti tentang pemanfaatan budaya lokal, dalam hal ini sastra lisan
Jawa, dalam penanaman nilai dan pendidikan karakter anak didik. Didapati bahwa sastra lisan
Jawa “menyimpan sejumlah sistem informasi sistem budaya seperti filosofi, nilai, norma dan
perilaku masyarakat.” Karena alasan itu, cerita rakyat memiliki kedudukan dan fungsi yang
sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tidak berakar pada sistem
[Type text]
Page 3
budaya yang kuat akan tergerus dalam arus globalisasi, menjadi masyarakat yang kalah dan
selalu merasa minder. Akhirnya, masyarakat tersebut akan kehilangan karakternya dan menjadi
kelompok yang tidak berbeda dan tidak unik. Demikian pentingnya posisi cerita rakyat—dan
tradisi lisannya—hingga ia bisa menjadi salah satu penanda bila ada tanda perubahan dalam
suatu masyarakat. Di sisi lain, cerita rakyat, sebagaimana dikutip Sulistyarini, memiliki
kegunaan ganda, yakni sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan proyeksi
keinginan terpendam. Sulistyarini, karenanya, berkesimpulan bahwa untuk menanamkan nilainilai luhur dan membangun serta mempertahankan karakter suatu masyarakat, cerita rakyat atau
sastra lisan merupakan sebuah alat yang baik.
Wurianto (2011) menulis bahwa karakter manusia dibentuk melalui penanaman nilai
melalui berbagai media dan metode. Salah satu cara yang potensial untuk membangun karakter
adalah melalui sastra. Sastra adalah wahana menuangkan kearifan suatu masyarakat, yang
diperoleh melalui proses yang panjang dan menyakitkan, dan karenanya bisa dijadikan pedoman
tingkah laku generasi muda. Sastra Jawa klasik dianggap sebagai puncak kearifan lokal
masyarakat Jawa. Di samping itu,
ada banyak ragam budaya yang turut berperan dalam
mengembangkan karakter. Salah satunya adalah sastra lisan (folklore). Sarana ini bisa
menanamkan nilai-nilai mulai kepada anak didik tanpa nada menggurui.
Inti masalah yang kedua berkaitan dengan pengertian sastra, khususnya sastra lokal.
Selama ini belum jelas benar apakah sastra itu, dan apakah sastra lokal itu. Wawancara dengan
beberapa pakar sastra akan memperjelas kedua konsep tersebut.
Metode
Laporan ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Bersaing berjangka waktu 3 tahun.
Untuk keseluruhan penelitian dalam jangka waktu tersebut, metode penelitian yang dipakai
adalah Studi Pengembangan
(Development Research). Pada tahun pertama, dilakukan
pendekatan studi deskriptif karena tujuannya adalah memetakan data awal (baseline) tentang
pendapat guru dan murid tentang penggunaan materi sastra lokal dan tentang pendidikan
karakter. Selain itu, desain deskriptif tersebut juga cocok untuk mencapai tujuan kedua, yakni
mendapatkan pengertian yang komprehensif dan jelas tentang sastra dan sastra lokal.
[Type text]
Page 4
Untuk mencapai tujuan pertama, yakni menangkap arti sastra dan sastra lokal serta
bagaimana sebaiknya sastra dikemas untuk mengajarkan karakter dilakukan wawancara dengan 3
orang pakar sastra dari Universitas Negeri Malang.
Untuk mencapai tujuan kedua, yakni pendidikan karakter di mata guru dan murid
Sekolah Dasar, dilakukan penyebaran angket dan wawancara dengan 3 orang guru dan beberapa
murid kelas 4 sampai kelas 6 di SD Pagentan di Singosari, Malang.
Untuk mencapai tujuan ketiga, yakni mengenali potensi sastra lokal untuk menajamkan
karakter, dilakukan wawancara dengan ketiga pakar sastra.
Angket kepada para guru berisi jawaban terbuka (open-ended) dan menanyakan 3 hal: (1)
apakah pengertian karakter yang baik; (2) bagaimana selama ini pendidikan karakter diberikan di
sekolah, dan (3) apakah ada cerita-cerita lokal Malang yang digunakan untuk mendidik karakter
siswa.
Wawancara kepada para guru juga menanyakan ketiga hal tersebut.
Angket kepada para murid dari kelas 4 sampai 6 juga menanyakan hal yang sama.
Demikian juga, wawancara kepada mereka.
Jawaban di angket dianalisis bersama oleh ketiga peneliti. Untuk memastikan tercapainya
keajegan antar peneliti, dilakukan penghitungan dengan rumus Cohen-Kappa, dan hasilnya
adalah tercapai keajegan pengkodingan sebesar 0.87.
Wawancara dengan pakar sastra dilakukan selama sekitar satu jam untuk menggali
pendapat profesional mereka tentang pengertian sastra, pengertian sastra lokal Malang, dan
bagaimana sebaiknya muatan lokal itu digunakan untuk mengembangkan karakter positif di
kalangan anak SD.
Wawancara ini dipindah dalam bentuk transkrip tertulis, yang kemudian dianalisis
dengan software nVivo versi 10 untuk mendapatkan beberapa kategori tema.
Dua orang pakar sastra dan satu penulis buku sastra diwawancarai untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif tentang sastra dan sastra lokal. Wawancara yang direkam itu
kemudian ditranskripsikan, dan diolah dengan Nvivo versi 10.
Hasil dan Pembahasan
[Type text]
Page 5
Bagian ini menguraikan pendapat para pakar sastra tentang definisi sastra lokal, serta
potensi sastra lokal untuk mengasah karakter. Pembahasan dibagi menjadi dua topik utama:
pengertian sastra dan sastra lokal Malang, dan pembelajaran karakter melalui karya sastra.
Pengertian Sastra dan Sastra Lokal
Semua pakar yang diwawancarai sependapat bahwa sastra dimengertikan sebagai karya
tulis, walaupun tumbuh dari tadisi lisan. Sastra adalah suatu karya yang banyak diwarnai dengan
fiksionalitas dan imajinasi.
Pakar pertama menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu karya sastra termasuk
karya lokal atau tidak, perlu dilihat bahasanya. Jadi cerita panji atau bentuk cerita lain yang
berbahasa Malang sudah bisa dianggap sebagai sastra lokal Malang. Ini senada dengan pendapat
pakar kedua yang mengatakan bahwa sastra lokal adalah yang berbahasa lokal atau mempunyai
sensibilitas lokal. Secara lebih sempit, sastra lokal adalah yang ditulis oleh penulis-penulis yang
tumbuh, berkarya di Malang, dan mengangkat tema-tema lokal Malang. Sebagai contoh,
disebutkan penulis Ratna Indraswari Ibrahim yang meskipun karya-karyanya berbahasa
Indonesia namun menceritakan masalah-masalah sosial politik yang muncul di Malang.
Menurut pakar pertama, beberapa jenis sastra lokal Malang meliputi cerita panji dan
babad, cerita di kawasan Singosari, Tengger, dan Coban Rondo, Wayang Topeng dan Wayang
Gandrung, bahkan lagu-lagu tradisional.
Muatan Sastra Lokal dan Potensinya
Dari para pakar sastra didapat sebuah gambaran lebih komprehensif tentang sastra,
khususnya sastra lokal Malang. Wawancara dengan Drs. Amri mengungkapkan beberapa aspek
kesusastraan. Pertama, yang disebut sastra sebenarnya harus dimaknai sebagai sebuah karya tutur
(lisan). Kedua, karya sastra ditentukan dari bahasa yang dipakainya. Jika sebuah karya
diceritakan dalam bahasa Indonesia, maka karya itu disebut karya sastra Indonesia. Maka karya
[Type text]
Page 6
sastra Malang, apapun bentuknya, jika diceritakan dalam bahasa Jawa dialek Malang maka dia
menjadi karya sastra lokal Malang.
Dalam hubungannya dengan teknik pembelajaran yang tepat untuk mendidik karakter,
pakar yang diwawancarai ini menyebutkan teknik pembelajaran berupa permainan yang cocok
untuk anak-anak usia Sekolah Dasar. Muatan sastra lokal dapat dikemas dalam bentuk permainan
atau main peran yang kemudian bisa dimainkan oleh anak-anak, sedemikian sehingga terjadi
internalisasi karakter positif ke dalam diri mereka.
Inti sari dari hasil wawancara dengan Bapak Drs. Amri adalah sebagai berikut:
1. Cerita-cerita lokal baik sekali untuk dijadikan materi pendidikan karakter karena
bersumber dari budaya Indonesia.
2. Cerita di sekitar kawasan Malang yang bisa diangkat sebagai materi pendidikan karakter
adalah cerita-cerita di kawasan Singosari, Tengger, dan Coban Rondo yang berkaitan dg
Sedudo, Nganjuk. Juga cerita-cerita tentang Gajayana.
3. Ekspresi sastra khas Malang muncul dalam bentuk cerita Panji dalam bentuk wayang
Topeng atau Wayang Gandrung.
4. Sastra per definisi adalah karya tulis, padahal bisa berakar dari tradisi lisan. Jenis karya
sastra ditentukan oleh bahasanya.
5. Pada dasarnya sebagian besar sastra lokal memungkinkan untuk dijadikan materi
pengembangan karakter, apalagi untuk anak usia sekolah dasar. Tidak terikat pada cerita
rakyat yang punya kerangka cerita, lagu-lagu tradisional seperti “Bapak Pucung” atau
“Megatruh” pun bisa diangkat sebagai materi pengembangan karakter.
6. Penyajian muatan sastra lokal lebih baik dibuat bervariasi; bisa berupa permainan/games
atau nembang bersama, mengingat dunia anak-anak erat sekali dengan bermain-main.
Mereka akan lebih mudah menerima karakter positif melalui aktivitas seperti itu karena
tidak membosankan, tidak harus berpikir terlalu berat untuk mencernanya, sehingga akan
lebih menyenangkan.
7. Cerita yang memuat sisi positif dan sisi negatif bisa digunakan sebagai materi, dengan
penekanan pada karakter positif yang ingin ditonjolkan.
Pembelajaran Sastra untuk Pendidikan Karakter
[Type text]
Page 7
Pengertian karakter, sebagaimana dikemukakan oleh Latif (2014) adalah “cetakan dasar
kepribadian seseorang . . . yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, serta kekhasan
potensi dan kapasitasnya sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman”. Bagian
berikut ini menguraikan secara terperinci pendapat ketiga pakar sastra yang kami wawancarai
tentang bagaimana mengembangkan pengajaran sastra untuk mendidik karakter anak sekolah
dasar. Pada umumnya, ketiga pakar sepakat bahwa materi sastra lokal menyimpan potensi untuk
dijadikan sebagai bahan pendidikan karakter.
Saryono (komunikasi pribadi, 2014)
mengemukakan bahwa karakter itu tidak bisa kita comot dari negeri yang jauh karena karakter
yang dibangun harus memiliki otentisitas. Khasanah oorang-orang besar itu kuyup dengan
khasanah lokal, tidak pernah mengadopsi dari bangsa lain. Misalnya, Gandhi menjadi hebat
karena konsep khas lokalnya, yaitu Ahimsa, Satyagraha. Nelson Mandela juga menjadi terkenal
karena konsep Ubuntunya itu. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sastra-sastra lokal
selalu mempunyai peluang untuk membentuk karakter yang otentik.
Amri (komunikasi pribadi, 2014) menyarankan penyajian materi sastra lokal secara
bervariasi, yang bisa berupa permainan/games atau nembang bersama. Mereka akan lebih mudah
menerima karakter positif melalui aktivitas seperti itu karena tidak membosankan, tidak harus
berpikir terlalu berat untuk mencernanya, sehingga akan lebih menyenangkan. Ini penting karena
dunia anak-anak erat sekali dengan bermain-main. Dia juga mengatakan bahwa kalau karakter
‘keberanian’ yang ingin ditonjolkan, maka perilaku karakter yang menunjukkan keberanianlah
yang harus disajikan dalam materi pengembangannya.
Saryono (komunikasi pribadi, 2014) menambahkan bahwa tindakan-tindakan etik tanpa
imajinasi moral juga tidak ada gunanya. Yang kurang di Indonesia, menurutnya, adalah bahwa
pendidikan karakter itu diasosiasikan sebagai tindakan saja. Yang harus diingat adalah bahwa
karakter itu juga harus dilandasi oleh moral knowing dan moral feeling. Tanpa imajinasi moral
tidak akan terbentuk karakter. Disitulah sastra punya peran yang sangat besar untuk memperkuat
moral feeling atau ethical feeling itu. Di Indonesia, ada 2 hal yang menjadi kendala
pengembangan karakter lewat karya sastra, yaitu karya sastra belum dianggap sebagai bahan
untuk pengembangan karakter, dan yang kedua imajinasi dianggap tidak penting.
[Type text]
Page 8
Dia mengemukakan bahwa pengembangan karakter lewat sastra lokal bisa dicapai
melalui 2 jalur, yakni menyatu dengan pembelajaran, atau di luar pembelajaran. Ada istilah
“tumpang sari”, yaitu pembelajaran dengan tumpang sari. Tumpang sari adalah menanam satu
tanaman pokok tapi juga tanaman yg lain tumbuh dengan bagus. Hal ini bisa juga diterapkan di
kelas. Sebagai contoh, pada pelajaran agama dan PKN bisa disisipkan pengajaran seni-seni
sastra.
Selanjutnya beliau juga meyakini bahwa model-model jagoan seperti Gatutkaca dan
Antareja bisa menjadi pengganti jagoan-jagoan Barat yang selama ini diidolakan para murid.
Ccerita sastra lokal Malang ditambah dengan sastra pentas, seperti wayang Malang, wayang
topeng Malang, bisa menjadi sarana pembentukan karakter. Aspek kesastraannya bisa dipakai
untuk mengembangkan karakter.
Maka menurutnya tidak cukup hanya membaca karya sastra, namun juga lewat
mempraktekkan, mempertunjukkan, dan ditambah juga dengan sarasehan, yaitu mendiskusikan
pesan-pesan moral itu.
Menarik untuk mengupas hal keteladanan lewat tokoh-tokoh dalam cerita sastra. Menurut
Saryono (komunikasi pribadi, 2014) keteladanan yang baik tidak timbul dari tokoh yg tipologis,
yaitu tokoh yang jelas kelihatan jahat atau buruknya; tokoh seperti ini umumnya digambarkan
sangat jahat saja, atau sangat baik saja. Yang ideal adalah tokoh yang psikologis, yaitu yang
yang berkembang menjadi baik setelah melalui pergulatan dalam diri antara nilai-nilai baik
dengan nafsu jahat. Jadi peneladannannya adalah meniru bagaimana tokoh itu berkembang
menjadi orang baik, orang hebat, orang bermoral. Tokoh yang tipologis, yang hanya hitam saja
atau putih saja justru tidak menguntungkan anak-anak. Anak-anak harus diberi pengertian bahwa
ada perjuangan-perjuangan yang harus dilalui untuk menjadi insan baik. Jadi menurutnya yang
layak diteladani itu tidak terjadi secara tiba-tiba, tapi memerlukan usaha dan perjuangan.
Pendapat Saryono di atas ternyata berbeda dengan pendapat
Wahyudi (komunikasi
pribadi, 2014). Menurut beliau, secara psikologis anak-anak masih berada pada dunia yang
dikotomis: hitam atau
[Type text]
putih, baik atau buruk, miskin atau kaya, pandai atau bodoh, dan
Page 9
sebagainya. Perbedaan ini ini nampaknya menjadi bahan untuk dipertimbangkan ketika
menyusun rancangan pembelajaran untuk anak-anak usia SD.
Tak kalah pentingnya adalah pendapat
profesional
mereka tentang tugas guru yang baik dan
dalam pembelajaran sastra. Guru yang baik harus bisa memilih karya sastra,
memandu dalam proses mempelajari karya sastra itu, kemudian memberikan konfirmasi mana
yang harus diteladani dan mana yang tidak. Ini karena sastra yang baik selalu dilematis, memuat
gambaran-gambaran
yang lebih kompleks. Disinilah peran guru sangat penting dalam
memberikan konfirmasi.
Pendidikan Karakter di Mata Guru dan Murid
Melalui wawancara dan angket dengan para guru SDN Pagentan, Singosari, diperoleh
gambaran umum tentang pendidikan karakter di sekolah tersebut. Setelah melalui pengkodean
transkrip wawancara dan angket open-ended, didapat beberapa cara yang umumnya dilakukan
pihak sekolah dalam melakukan pembentukan karakter positif. Tabel di bawah ini meringkas
cara tersebut dan jumlah guru yang mengatakan telah melakukannya:
Tabel 1. Pengembangan Karakter Positif di Sekolah
No
Cara pembinaan karakter
Jumlah responden (%)
1.
Guru sebagai model
33.33
2.
Penanaman nilai lewat agama
16.67
3.
Menunjukkan perilaku baik
50
4.
Menceritakan dongeng
33.33
5.
Berceramah
16.67
6.
Menghadapkan ke Kepala Sekolah
33.33
[Type text]
Page 10
No
Cara pembinaan karakter
Jumlah responden (%)
7.
Langsung menindak
33.33
8.
Meminta pendapat anak
16.67
9.
Lewat kegiatan bersama (senam, sholat, menyanyi, 16.67
membersihkan halaman)
10.
Memakai kelembutan
16.67
11.
Kerja kelompok
16.67
Tampak dari hasil di atas bahwa sebagian besar guru memilih untuk menunjukkan
perilaku baik sebagai teladan untuk para muridnya. Adapun cerita/dongeng ternyata tidak banyak
dipakai, sekalipun dari pengakuan mereka yang menggunakannya ditemukan cukup beragam
jenis cerita.
Pada tanggal 8 Mei 2014 dilakukan wawancara dengan 4 orang guru SDN Pagentan 2.
Wawancara semi-terstruktur ini bertujuan menggali pendapat mereka tentang bagaimana sekolah
mendidik karakter para murid, cerita-cerita apa yang sudah pernah disampaikan kepada para
murid sebagai upaya pengembangan karakter positifnya, dan apa yang harus dilakukan untuk
menjadikan cerita-cerita tersebut sebagai materi pengembangan karakter.
Inti sari dari wawancara dengan ketiga guru tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1. Pendidikan karakter diajarkan melalui beberapa kebiasaan, seperti menyapu halaman,
senam, atau upacara.
2. Pendidikan karakter juga dilakukan melalui keteladanan guru dan teguran langsung.
3. Beberapa cerita yang bisa digunakan sebagai materi pendidikan karakter: Malin
Kundang, Thomas Alva Edison, Ken Arok dan Ken Dedes, Coban Rondo.
4. Dalam kaitannya dengan cerita-cerita, pendidikan karakter sebaiknya ditanamkan melalui
pementasan-pementasan, atau bermain peran.
5. Karakter baik yang ditanamkan meliputi menjaga kebersihan, hormat pada orang tua,
tanggung jawab, teladan dari pemimpin, dan kerukunan sesama keluarga.
[Type text]
Page 11
Cerita-cerita yang Digunakan di Sekolah
Temuan berikutnya yang didapat dari hasil wawancara dan angket adalah cerita-cerita
yang disampaikan oleh para guru dalam upaya mereka mengembangkan karakter positif anak
didiknya. Berikut ini disajikan tabel yang memuat cerita-cerita yang biasanya mereka pakai, dan
jumlah responden yang mengaku menggunakannya:
Tabel 2. Cerita-Cerita yang Digunakan di Sekolah
No
Cerita
Jumlah responden (%)
1.
Malin Kundang
100
2.
Si Kancil
50
3.
Singosari
50
4.
Bawang Merah Bawang Putih
33.33
5.
Sangkuriang/Tangkuban Prahu
33.33
6.
Raden Ajeng Kartini
16.67
7.
Roro Jonggrang
16.67
8.
Sunan Kalijaga
16.67
9.
Putri Cinderella
16.67
10.
Kejujuran Pak Lurus
16.67
11.
Nabi Muhammad
16.67
12.
Terjadinya Banyuwangi
16.67
13.
Thomas A. Edison
16.67
[Type text]
Page 12
Tabel di atas menunjukkan bahwa cerita yang paling sering dipakai adalah bukan yang
berlatar budaya Malang, namun merupakan cerita yang umum dikenal di Nusantara. Cerita
Singosari cukup banyak dipakai (separuh dari jumlah responden) untuk mengembangkan
karakter positif.
Tabel berikut di bawah ini menunjukkan rangkuman jawaban para murid SD tentang
cerita lokal yang sering diperdengarkan ke mereka oleh para gurunya.
Tabel 3. Cerita Lokal Menurut Para Murid SD (dalam persen)
Kerajaan/Candi Perebutan
Singosari
Ken Dedes
52
40
Kerajaan
Majapahit
12
Candi
Songgoriti
4
Candi
Sumber
Awan
4
Malin
Kundang
4
Menarik untuk melihat bahwa sebagian besar dari mereka menyebutkan cerita tentang
Singosari dan perebutan Ken Dedes oleh Ken Arok dan Tunggul Ametung. Rupanya hanya
sebatas itulah cerita-cerita yang mereka sering dengar dari gurunya. Agak memprihatinkan untuk
mengetahui bahwa hal yang paling mereka ingat tentang Ken Dedes adalah pertarungan antara
Ken Arok dan Tunggul Ametung memperebutkan Ken Dedes, yang berujung pada tewasnya
Tunggul Ametung dan naiknya Ken Arok menjadi raja dan memperistri Ken Dedes.
Materi Sastra Lokal Malang
Dari wawancara dengan Bapak Wahyudi diperoleh beberapa kumpulan karya sastra lokal
Malang. Karya-karya tersebut meliputi cerita-cerita legenda, puisi, dan cerpen yang kesemuanya
dapat digolongkan sebagai karya sastra lokal Malang menurut definisi yang telah diuraikan di
atas.
Tabel ini memuat beberapa karya sastra lokal Malang yang berhasil digali:
Tabel 4. Beberapa Karya Sastra Lokal Malang
[Type text]
Page 13
No
Judul
1
Asal Usul Nama Malang
2
Ken Arok
3
Coban Rondo
4
Aji Saka
5
Legenda Gunung Arjuna
6
Jaka Unthuk
7
Empu Supa
8
Bagus Setya dan Bagus Tuhu
9
Bambang Durjana
Kesimpulan
Makalah ini telah menguraikan keterkaitan antara upaya pendidikan karakter anak-anak
usia Sekolah Dasar dan potensi muatan sastra lokal Malang dalam pengembangan karakter
tersebut. Upaya ini telah mulai banyak dikaji secara empiris oleh beberapa peneliti, yang secara
umum menyimpulkan bahwa muatan satra atau kebahasaan selalu berpotensi untuk
mengembangkan karakter luhur. Khususnya di daerah Malang, ternyata belum ada upaya untuk
mengembangkan sastra lokal menjadi dasar pendidikan karakter. Maka dilakukan penelitian yang
bertujuan menyajikan definisi sastra lokal dan muatan sastra lokal, menggambarkan potensi
sastra lokal untuk menajamkan karakter, dan menyajikan pendidikan karakter di mata guru dan
murid Sekolah Dasar.
Melalui teknik penyebaran angket dan wawancara dengan para pakar sastra dan guruguru serta beberapa murid sebuah Sekolah Dasar, didapat suatu profil sastra lokal dan pendapat
tentang bagaimana sastra itu harus dikembangkan menjadi bagian pembelajaran di sekolah.
Sastra lokal Malang dimengertikan sebagai karya fiksi hasil imajinasi yang ditulis dalam bahasa
lokal Malang, atau memuat topik-topik tentang komunitas Malang, atau oleh orang yang lahir
dan besar di Malang. Sastra lokal Malang dikatakan mempunyai potensi besar dalam
[Type text]
Page 14
pengembangan karakter, dan penyajiannya sebagai pelajaran bisa dalam bentuk main peran dan
pementasan drama.
Dalam pada itu, didapat juga profil pandangan guru dan murid tentang sastra lokal
Malang dan pendidikan karakter di sekolah. Umumnya, sastra lokal yang mereka ketahui hanya
terdiri dari beberapa gelintir saja, dan belum ada upaya sangat sistematis dan berkelanjutan untuk
menjadikan sastra lokal sebagai dasar pijakan bagi pengembangan karakter anak didik.
DAFTAR RUJUKAN
Latif, Y. 2014. Keteladanan Pancasila. Kompas, 25 Maret 2014, hal 15.
Mulyani, M. 2010. Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Menggunakan Media Audio Visual Berbasis Kearifan Lokal Yang beroriantasi Pada
Pembentukan Kepribadian Anak SMP. Laporan Penelitian. Diunduh 10 Januari 2013.
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog /byld/269992.
Nugrahani, F. 2011. Penanaman nilai-nilai kearifan lokal melalui pembelajaran unggahungguhing basa dalam upaya pembentukan karakter generasi muda. Makalah dalam
seminar nasional Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal di
Universitas Muhammadiyah Malang 30 April 2011. Diunduh 26 Juli 2012 dari
http://www.mpbi-pascaunivet.ac.id/nilaikearifan.pdf.
Sauri, S. & Nurdin, D. 2008. Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat. Laporan Penelitian. Diunduh 9 Februari 2013.
http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/26/pengembangan-model-pendidikan-nilai-berbasissekolah,keluarga,-dan-masyarakat.
Sauri, S. & Rahmat, A.S. 2007. Pengembangan Model Santun Berbahasa Sebagai Strategi
Penanggulangan Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar Perkotaan. Laporan Penelitian.
Diunduh 14 Januari 2013 http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/244 /pengembanganmodel-santun berbahasa-sebagai-strategi-penanggulangan-dekadensi-moral-dikalangan-pelajar-perkotaan.
[Type text]
Page 15
Sulistyarini, D. 2011. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat sebagai Sarana Pendidikan Budi
Pekerti. Makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari
2013. http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/03-makalah-komisi-b/642-13-nilaimoral-dalam-cerita-rakyat-sebagai-sarana-pendidikan-budi-pekerti
Wurianto, A.B. 2011. Transformasi Nilai - Nilai Luhur Sastra Jawa Klasik sebagai
Pengembang "Content" Pendidikan Karakter Berkearifan Lokal Di Sekolah. Makalah
dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari 2013.
http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/02-makalah-komisi-a/631-02-transformasinilai-nilai-luhur-sastra-jawa-klasik
[Type text]
Page 16
MEMBANGUN KARAKTER POSITIF ANAK SEKOLAH DASAR
Patrisius Istiarto Djiwandono
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Ma Chung
[email protected]
Abstrak
Makalah ini menyarikan temuan yang telah didapat dari sebuah rangkaian penelitian
dalam skema Hibah Bersaing yang bertujuan utama merancang pembelajaran karakter melalui
muatan sastra lokal Malang. Terbagi menjadi 3 tahun, studi pada tahun pertama yang dilaporkan
dalam makalah ini bertujuan menegaskan definisi sastra dan sastra lokal Malang, serta menggali
data awal (baseline data) dari guru dan murid Sekolah Dasar tentang pemahaman karakter positif
dan muatan sastra lokal yang digunakan untuk mendidik karakter. Hasil menunjukkan bahwa di
sekolah belum ada upaya sistematis, terorganisir, dan berkelanjutan dalam pengembangan
karakter. Juga belum banyak muatan sastra lokal yang digunakan sebagai dasar pengembangan
karakter. Cerita yang mereka kenal hanya beberapa gelintir saja, dan itupun dengan pencerapan
pesan moral yang kurang terarah. Sementara itu, para pakar sastra yang digali pendapatnya lewat
wawancara menegaskan bahwa sastra lokal mempunyai potensi untuk menjadi dasar dalam
pengembangan karakter. Disarankan untuk melakukan pendidikan karakter ini lewat permainan
dan drama karena sifatnya yang selaras dengan dunia anak-anak.
Latar Belakang
Pendidikan karakter sudah dicanangkan sebagai salah satu agenda penting dalam
pendidikan nasional. Dunia pun semakin menyadari bahwa keunggulan akal dan rasio harus
diimbangi dengan kepribadian yang baik sehingga peradaban manusia tidak menggelinding ke
arah yang salah. Pendidikan karakter sendiri lazimnya dimulai dan dikembangkan tidak hanya di
tengah keluarga dan lingkungan sosial, namun juga diperkuat oleh pendidikan di sekolah. Lebih
jauh lagi, pendidikan karakter itu harus ditanamkan sejak usia dini sehingga generasi muda
[Type text]
Page 1
berkembang dengan pondasi karakter positif yang membuatnya kokoh mengarungi gejolak
kehidupan di masa-masa berikutnya.
Tentunya sudah banyak upaya yang dirintis untuk memantapkan pendidikan karakter di
usia dini. Dalam pada itu, jika dicermati lebih dalam, ternyata karya-karya sastra di berbagai
daerah mempunyai kandungan nilai-nilai moral yang sangat potensial untuk ditanamkan sebagai
bagian dari karakter anak didik. Melalui suatu upaya pengintegrasian sastra lokal dengan
kurikulum, dapat diupayakan pengembangan karakter positif melalui sastra lokal. Sayangnya,
sejauh ini belum ada upaya yang cukup sistematis untuk menentukan seberapa besar potensi dari
pengembangan peran sastra lokal dalam pendidikan karakter ini. Penelitian ini bertujuan untuk
melakukan pengembangan upaya pendidikan karakter melalui sastra lokal yang terentang mulai
dari perancangannya, dampaknya, dan akhirnya model pembelajaran dan materi belajar untuk
mencapai tujuan tersebut. Karena tujuan penelitian tersebut sangat luas, makalah ini hanya akan
menyajikan sebagian darinya, yakni tentang pengertian sastra lokal, muatan sastra lokal,
pendidikan karakter di mata guru dan murid, dan bagaimana potensi sastra lokal untuk
menajamkan karakter.
Masalah dan Studi Terdahulu
Uraian di atas menyiratkan inti masalah yang terasa di dunia pendidikan, khususnya
dunia pendidikan di tingkat sekolah dasar. Selain belum mantapnya pengelolaan pembelajaran
karakter, ternyata para pendidik di tingkat ini pun belum melirik potensi muatan sastra lokal
untuk dasar pengembangan karakter positif para murid. Sebagaimana yang akan tergambar di
bagian berikutnya dari makalah ini, sebagian besar murid dan guru masih sampai pada tahap
mengenali kemungkinan penggunaan materi sastra lokal untuk mengembangkan karakter. Selain
cerita-cerita yang mereka sebutkan terkesan klise, tindak instruksional yang secara sistematis
dilakukan untuk menempa karakter murid pun belum kelihatan solid.
Beberapa studi terdahulu telah dilakukan di ranah pengembangan karakter dan kaitannya
bahasa dan sastra. Di lingkup nasional, beberapa penelitian mencoba merintis model-model
pembelajaran yang pas untuk mengembangkan karakter positif bagi siswa-siswa. Sauri dan
Rahmat (2007) meneliti tentang pengembangan model santun berbahasa sebagai strategi
pencegahan kemerosotan moral di kalangan pelajar perkotaan. Mereka berangkat dari dugaan
bahwa dinamika dan lingkungan berpengaruh pada perkembangan perilaku remaja dan lembaga
[Type text]
Page 2
pendidikan di perkotaan. Pendekatan naturalistik yang digunakan mengungkap fakta bahwa
sikap berbahasa siswa dipengaruhi oleh lawan bicara. Mereka menggunakan bahasa yang santun
hanya ketika mereka berbicara dengan kepala sekolah, guru atau orang yang lebih tua.
Studi oleh Sauri dan Nurdin (2008) meneliti pengembangan model pendidikan nilai
berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendekatan statistic inferensial sebagai prosedur
kuantitatif, serta teknik angket dan wawancara mendalam untuk prosedur kualitatif menghasilkan
luaran yang mencakup (1) model pendidikan nilai dan personalisasi nilai berbasis lingkungan
pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga), dan pendidikan nonformal
(masyarakat), (2) metodologi pengembangan pendidikan nilai yang dapat digunakan guru di
lingkungan sekolah, orang tua dalam lingkungan keluarga, dan tokoh masyarakat dalam
lingkungan masyarakat, serta (3) model konseptual pendidikan nilai yang efektif untuk
pendidikan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tergerak oleh kekuatan global yang telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia,
termasuk para siswa SMP, Mulyani (2010) mengembangkan model pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia menggunakan media audio visual berbasis kearifan lokal dengan tujuan untuk
membentuk
kepribadian anak SMP. Masalah sentral penelitian ini adalah seberapa efektif
pengembangan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia melalui media audio visual
berbasis kearifan
budaya lokal dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa dan
membentuk kepribadian siswa SMP. Dengan desain Riset Pengembangan dan berdasarkan hasil
observasi, wawancara, dan jurnal untuk guru dan siswa, terungkap bahwa penggunaan media
pembelajaran audio-visual berbasis kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat
bermanfaat.
Para
siswa
berpendapat
bahwa
pembelajaran
menjadi
tidak
monoton,
menyenangkan, lebih bervariasi sehingga minat, kreativitas, keaktifan dan kompetensi berbahasa
mereka bisa meningkat. Selain itu, kepribadian siswa mengalami perubahan, yakni menjadi lebih
mandiri, cinta tanah air, toleran, disiplin, kerja keras, jujur, kreatif, menghargai prestasi,
membantu teman yang mengalami kesulitan, dan bisa menjadi pendengar yang baik.
Sulistyarini (2011) meneliti tentang pemanfaatan budaya lokal, dalam hal ini sastra lisan
Jawa, dalam penanaman nilai dan pendidikan karakter anak didik. Didapati bahwa sastra lisan
Jawa “menyimpan sejumlah sistem informasi sistem budaya seperti filosofi, nilai, norma dan
perilaku masyarakat.” Karena alasan itu, cerita rakyat memiliki kedudukan dan fungsi yang
sangat penting dalam masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tidak berakar pada sistem
[Type text]
Page 3
budaya yang kuat akan tergerus dalam arus globalisasi, menjadi masyarakat yang kalah dan
selalu merasa minder. Akhirnya, masyarakat tersebut akan kehilangan karakternya dan menjadi
kelompok yang tidak berbeda dan tidak unik. Demikian pentingnya posisi cerita rakyat—dan
tradisi lisannya—hingga ia bisa menjadi salah satu penanda bila ada tanda perubahan dalam
suatu masyarakat. Di sisi lain, cerita rakyat, sebagaimana dikutip Sulistyarini, memiliki
kegunaan ganda, yakni sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan proyeksi
keinginan terpendam. Sulistyarini, karenanya, berkesimpulan bahwa untuk menanamkan nilainilai luhur dan membangun serta mempertahankan karakter suatu masyarakat, cerita rakyat atau
sastra lisan merupakan sebuah alat yang baik.
Wurianto (2011) menulis bahwa karakter manusia dibentuk melalui penanaman nilai
melalui berbagai media dan metode. Salah satu cara yang potensial untuk membangun karakter
adalah melalui sastra. Sastra adalah wahana menuangkan kearifan suatu masyarakat, yang
diperoleh melalui proses yang panjang dan menyakitkan, dan karenanya bisa dijadikan pedoman
tingkah laku generasi muda. Sastra Jawa klasik dianggap sebagai puncak kearifan lokal
masyarakat Jawa. Di samping itu,
ada banyak ragam budaya yang turut berperan dalam
mengembangkan karakter. Salah satunya adalah sastra lisan (folklore). Sarana ini bisa
menanamkan nilai-nilai mulai kepada anak didik tanpa nada menggurui.
Inti masalah yang kedua berkaitan dengan pengertian sastra, khususnya sastra lokal.
Selama ini belum jelas benar apakah sastra itu, dan apakah sastra lokal itu. Wawancara dengan
beberapa pakar sastra akan memperjelas kedua konsep tersebut.
Metode
Laporan ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Bersaing berjangka waktu 3 tahun.
Untuk keseluruhan penelitian dalam jangka waktu tersebut, metode penelitian yang dipakai
adalah Studi Pengembangan
(Development Research). Pada tahun pertama, dilakukan
pendekatan studi deskriptif karena tujuannya adalah memetakan data awal (baseline) tentang
pendapat guru dan murid tentang penggunaan materi sastra lokal dan tentang pendidikan
karakter. Selain itu, desain deskriptif tersebut juga cocok untuk mencapai tujuan kedua, yakni
mendapatkan pengertian yang komprehensif dan jelas tentang sastra dan sastra lokal.
[Type text]
Page 4
Untuk mencapai tujuan pertama, yakni menangkap arti sastra dan sastra lokal serta
bagaimana sebaiknya sastra dikemas untuk mengajarkan karakter dilakukan wawancara dengan 3
orang pakar sastra dari Universitas Negeri Malang.
Untuk mencapai tujuan kedua, yakni pendidikan karakter di mata guru dan murid
Sekolah Dasar, dilakukan penyebaran angket dan wawancara dengan 3 orang guru dan beberapa
murid kelas 4 sampai kelas 6 di SD Pagentan di Singosari, Malang.
Untuk mencapai tujuan ketiga, yakni mengenali potensi sastra lokal untuk menajamkan
karakter, dilakukan wawancara dengan ketiga pakar sastra.
Angket kepada para guru berisi jawaban terbuka (open-ended) dan menanyakan 3 hal: (1)
apakah pengertian karakter yang baik; (2) bagaimana selama ini pendidikan karakter diberikan di
sekolah, dan (3) apakah ada cerita-cerita lokal Malang yang digunakan untuk mendidik karakter
siswa.
Wawancara kepada para guru juga menanyakan ketiga hal tersebut.
Angket kepada para murid dari kelas 4 sampai 6 juga menanyakan hal yang sama.
Demikian juga, wawancara kepada mereka.
Jawaban di angket dianalisis bersama oleh ketiga peneliti. Untuk memastikan tercapainya
keajegan antar peneliti, dilakukan penghitungan dengan rumus Cohen-Kappa, dan hasilnya
adalah tercapai keajegan pengkodingan sebesar 0.87.
Wawancara dengan pakar sastra dilakukan selama sekitar satu jam untuk menggali
pendapat profesional mereka tentang pengertian sastra, pengertian sastra lokal Malang, dan
bagaimana sebaiknya muatan lokal itu digunakan untuk mengembangkan karakter positif di
kalangan anak SD.
Wawancara ini dipindah dalam bentuk transkrip tertulis, yang kemudian dianalisis
dengan software nVivo versi 10 untuk mendapatkan beberapa kategori tema.
Dua orang pakar sastra dan satu penulis buku sastra diwawancarai untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif tentang sastra dan sastra lokal. Wawancara yang direkam itu
kemudian ditranskripsikan, dan diolah dengan Nvivo versi 10.
Hasil dan Pembahasan
[Type text]
Page 5
Bagian ini menguraikan pendapat para pakar sastra tentang definisi sastra lokal, serta
potensi sastra lokal untuk mengasah karakter. Pembahasan dibagi menjadi dua topik utama:
pengertian sastra dan sastra lokal Malang, dan pembelajaran karakter melalui karya sastra.
Pengertian Sastra dan Sastra Lokal
Semua pakar yang diwawancarai sependapat bahwa sastra dimengertikan sebagai karya
tulis, walaupun tumbuh dari tadisi lisan. Sastra adalah suatu karya yang banyak diwarnai dengan
fiksionalitas dan imajinasi.
Pakar pertama menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu karya sastra termasuk
karya lokal atau tidak, perlu dilihat bahasanya. Jadi cerita panji atau bentuk cerita lain yang
berbahasa Malang sudah bisa dianggap sebagai sastra lokal Malang. Ini senada dengan pendapat
pakar kedua yang mengatakan bahwa sastra lokal adalah yang berbahasa lokal atau mempunyai
sensibilitas lokal. Secara lebih sempit, sastra lokal adalah yang ditulis oleh penulis-penulis yang
tumbuh, berkarya di Malang, dan mengangkat tema-tema lokal Malang. Sebagai contoh,
disebutkan penulis Ratna Indraswari Ibrahim yang meskipun karya-karyanya berbahasa
Indonesia namun menceritakan masalah-masalah sosial politik yang muncul di Malang.
Menurut pakar pertama, beberapa jenis sastra lokal Malang meliputi cerita panji dan
babad, cerita di kawasan Singosari, Tengger, dan Coban Rondo, Wayang Topeng dan Wayang
Gandrung, bahkan lagu-lagu tradisional.
Muatan Sastra Lokal dan Potensinya
Dari para pakar sastra didapat sebuah gambaran lebih komprehensif tentang sastra,
khususnya sastra lokal Malang. Wawancara dengan Drs. Amri mengungkapkan beberapa aspek
kesusastraan. Pertama, yang disebut sastra sebenarnya harus dimaknai sebagai sebuah karya tutur
(lisan). Kedua, karya sastra ditentukan dari bahasa yang dipakainya. Jika sebuah karya
diceritakan dalam bahasa Indonesia, maka karya itu disebut karya sastra Indonesia. Maka karya
[Type text]
Page 6
sastra Malang, apapun bentuknya, jika diceritakan dalam bahasa Jawa dialek Malang maka dia
menjadi karya sastra lokal Malang.
Dalam hubungannya dengan teknik pembelajaran yang tepat untuk mendidik karakter,
pakar yang diwawancarai ini menyebutkan teknik pembelajaran berupa permainan yang cocok
untuk anak-anak usia Sekolah Dasar. Muatan sastra lokal dapat dikemas dalam bentuk permainan
atau main peran yang kemudian bisa dimainkan oleh anak-anak, sedemikian sehingga terjadi
internalisasi karakter positif ke dalam diri mereka.
Inti sari dari hasil wawancara dengan Bapak Drs. Amri adalah sebagai berikut:
1. Cerita-cerita lokal baik sekali untuk dijadikan materi pendidikan karakter karena
bersumber dari budaya Indonesia.
2. Cerita di sekitar kawasan Malang yang bisa diangkat sebagai materi pendidikan karakter
adalah cerita-cerita di kawasan Singosari, Tengger, dan Coban Rondo yang berkaitan dg
Sedudo, Nganjuk. Juga cerita-cerita tentang Gajayana.
3. Ekspresi sastra khas Malang muncul dalam bentuk cerita Panji dalam bentuk wayang
Topeng atau Wayang Gandrung.
4. Sastra per definisi adalah karya tulis, padahal bisa berakar dari tradisi lisan. Jenis karya
sastra ditentukan oleh bahasanya.
5. Pada dasarnya sebagian besar sastra lokal memungkinkan untuk dijadikan materi
pengembangan karakter, apalagi untuk anak usia sekolah dasar. Tidak terikat pada cerita
rakyat yang punya kerangka cerita, lagu-lagu tradisional seperti “Bapak Pucung” atau
“Megatruh” pun bisa diangkat sebagai materi pengembangan karakter.
6. Penyajian muatan sastra lokal lebih baik dibuat bervariasi; bisa berupa permainan/games
atau nembang bersama, mengingat dunia anak-anak erat sekali dengan bermain-main.
Mereka akan lebih mudah menerima karakter positif melalui aktivitas seperti itu karena
tidak membosankan, tidak harus berpikir terlalu berat untuk mencernanya, sehingga akan
lebih menyenangkan.
7. Cerita yang memuat sisi positif dan sisi negatif bisa digunakan sebagai materi, dengan
penekanan pada karakter positif yang ingin ditonjolkan.
Pembelajaran Sastra untuk Pendidikan Karakter
[Type text]
Page 7
Pengertian karakter, sebagaimana dikemukakan oleh Latif (2014) adalah “cetakan dasar
kepribadian seseorang . . . yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, serta kekhasan
potensi dan kapasitasnya sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman”. Bagian
berikut ini menguraikan secara terperinci pendapat ketiga pakar sastra yang kami wawancarai
tentang bagaimana mengembangkan pengajaran sastra untuk mendidik karakter anak sekolah
dasar. Pada umumnya, ketiga pakar sepakat bahwa materi sastra lokal menyimpan potensi untuk
dijadikan sebagai bahan pendidikan karakter.
Saryono (komunikasi pribadi, 2014)
mengemukakan bahwa karakter itu tidak bisa kita comot dari negeri yang jauh karena karakter
yang dibangun harus memiliki otentisitas. Khasanah oorang-orang besar itu kuyup dengan
khasanah lokal, tidak pernah mengadopsi dari bangsa lain. Misalnya, Gandhi menjadi hebat
karena konsep khas lokalnya, yaitu Ahimsa, Satyagraha. Nelson Mandela juga menjadi terkenal
karena konsep Ubuntunya itu. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sastra-sastra lokal
selalu mempunyai peluang untuk membentuk karakter yang otentik.
Amri (komunikasi pribadi, 2014) menyarankan penyajian materi sastra lokal secara
bervariasi, yang bisa berupa permainan/games atau nembang bersama. Mereka akan lebih mudah
menerima karakter positif melalui aktivitas seperti itu karena tidak membosankan, tidak harus
berpikir terlalu berat untuk mencernanya, sehingga akan lebih menyenangkan. Ini penting karena
dunia anak-anak erat sekali dengan bermain-main. Dia juga mengatakan bahwa kalau karakter
‘keberanian’ yang ingin ditonjolkan, maka perilaku karakter yang menunjukkan keberanianlah
yang harus disajikan dalam materi pengembangannya.
Saryono (komunikasi pribadi, 2014) menambahkan bahwa tindakan-tindakan etik tanpa
imajinasi moral juga tidak ada gunanya. Yang kurang di Indonesia, menurutnya, adalah bahwa
pendidikan karakter itu diasosiasikan sebagai tindakan saja. Yang harus diingat adalah bahwa
karakter itu juga harus dilandasi oleh moral knowing dan moral feeling. Tanpa imajinasi moral
tidak akan terbentuk karakter. Disitulah sastra punya peran yang sangat besar untuk memperkuat
moral feeling atau ethical feeling itu. Di Indonesia, ada 2 hal yang menjadi kendala
pengembangan karakter lewat karya sastra, yaitu karya sastra belum dianggap sebagai bahan
untuk pengembangan karakter, dan yang kedua imajinasi dianggap tidak penting.
[Type text]
Page 8
Dia mengemukakan bahwa pengembangan karakter lewat sastra lokal bisa dicapai
melalui 2 jalur, yakni menyatu dengan pembelajaran, atau di luar pembelajaran. Ada istilah
“tumpang sari”, yaitu pembelajaran dengan tumpang sari. Tumpang sari adalah menanam satu
tanaman pokok tapi juga tanaman yg lain tumbuh dengan bagus. Hal ini bisa juga diterapkan di
kelas. Sebagai contoh, pada pelajaran agama dan PKN bisa disisipkan pengajaran seni-seni
sastra.
Selanjutnya beliau juga meyakini bahwa model-model jagoan seperti Gatutkaca dan
Antareja bisa menjadi pengganti jagoan-jagoan Barat yang selama ini diidolakan para murid.
Ccerita sastra lokal Malang ditambah dengan sastra pentas, seperti wayang Malang, wayang
topeng Malang, bisa menjadi sarana pembentukan karakter. Aspek kesastraannya bisa dipakai
untuk mengembangkan karakter.
Maka menurutnya tidak cukup hanya membaca karya sastra, namun juga lewat
mempraktekkan, mempertunjukkan, dan ditambah juga dengan sarasehan, yaitu mendiskusikan
pesan-pesan moral itu.
Menarik untuk mengupas hal keteladanan lewat tokoh-tokoh dalam cerita sastra. Menurut
Saryono (komunikasi pribadi, 2014) keteladanan yang baik tidak timbul dari tokoh yg tipologis,
yaitu tokoh yang jelas kelihatan jahat atau buruknya; tokoh seperti ini umumnya digambarkan
sangat jahat saja, atau sangat baik saja. Yang ideal adalah tokoh yang psikologis, yaitu yang
yang berkembang menjadi baik setelah melalui pergulatan dalam diri antara nilai-nilai baik
dengan nafsu jahat. Jadi peneladannannya adalah meniru bagaimana tokoh itu berkembang
menjadi orang baik, orang hebat, orang bermoral. Tokoh yang tipologis, yang hanya hitam saja
atau putih saja justru tidak menguntungkan anak-anak. Anak-anak harus diberi pengertian bahwa
ada perjuangan-perjuangan yang harus dilalui untuk menjadi insan baik. Jadi menurutnya yang
layak diteladani itu tidak terjadi secara tiba-tiba, tapi memerlukan usaha dan perjuangan.
Pendapat Saryono di atas ternyata berbeda dengan pendapat
Wahyudi (komunikasi
pribadi, 2014). Menurut beliau, secara psikologis anak-anak masih berada pada dunia yang
dikotomis: hitam atau
[Type text]
putih, baik atau buruk, miskin atau kaya, pandai atau bodoh, dan
Page 9
sebagainya. Perbedaan ini ini nampaknya menjadi bahan untuk dipertimbangkan ketika
menyusun rancangan pembelajaran untuk anak-anak usia SD.
Tak kalah pentingnya adalah pendapat
profesional
mereka tentang tugas guru yang baik dan
dalam pembelajaran sastra. Guru yang baik harus bisa memilih karya sastra,
memandu dalam proses mempelajari karya sastra itu, kemudian memberikan konfirmasi mana
yang harus diteladani dan mana yang tidak. Ini karena sastra yang baik selalu dilematis, memuat
gambaran-gambaran
yang lebih kompleks. Disinilah peran guru sangat penting dalam
memberikan konfirmasi.
Pendidikan Karakter di Mata Guru dan Murid
Melalui wawancara dan angket dengan para guru SDN Pagentan, Singosari, diperoleh
gambaran umum tentang pendidikan karakter di sekolah tersebut. Setelah melalui pengkodean
transkrip wawancara dan angket open-ended, didapat beberapa cara yang umumnya dilakukan
pihak sekolah dalam melakukan pembentukan karakter positif. Tabel di bawah ini meringkas
cara tersebut dan jumlah guru yang mengatakan telah melakukannya:
Tabel 1. Pengembangan Karakter Positif di Sekolah
No
Cara pembinaan karakter
Jumlah responden (%)
1.
Guru sebagai model
33.33
2.
Penanaman nilai lewat agama
16.67
3.
Menunjukkan perilaku baik
50
4.
Menceritakan dongeng
33.33
5.
Berceramah
16.67
6.
Menghadapkan ke Kepala Sekolah
33.33
[Type text]
Page 10
No
Cara pembinaan karakter
Jumlah responden (%)
7.
Langsung menindak
33.33
8.
Meminta pendapat anak
16.67
9.
Lewat kegiatan bersama (senam, sholat, menyanyi, 16.67
membersihkan halaman)
10.
Memakai kelembutan
16.67
11.
Kerja kelompok
16.67
Tampak dari hasil di atas bahwa sebagian besar guru memilih untuk menunjukkan
perilaku baik sebagai teladan untuk para muridnya. Adapun cerita/dongeng ternyata tidak banyak
dipakai, sekalipun dari pengakuan mereka yang menggunakannya ditemukan cukup beragam
jenis cerita.
Pada tanggal 8 Mei 2014 dilakukan wawancara dengan 4 orang guru SDN Pagentan 2.
Wawancara semi-terstruktur ini bertujuan menggali pendapat mereka tentang bagaimana sekolah
mendidik karakter para murid, cerita-cerita apa yang sudah pernah disampaikan kepada para
murid sebagai upaya pengembangan karakter positifnya, dan apa yang harus dilakukan untuk
menjadikan cerita-cerita tersebut sebagai materi pengembangan karakter.
Inti sari dari wawancara dengan ketiga guru tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1. Pendidikan karakter diajarkan melalui beberapa kebiasaan, seperti menyapu halaman,
senam, atau upacara.
2. Pendidikan karakter juga dilakukan melalui keteladanan guru dan teguran langsung.
3. Beberapa cerita yang bisa digunakan sebagai materi pendidikan karakter: Malin
Kundang, Thomas Alva Edison, Ken Arok dan Ken Dedes, Coban Rondo.
4. Dalam kaitannya dengan cerita-cerita, pendidikan karakter sebaiknya ditanamkan melalui
pementasan-pementasan, atau bermain peran.
5. Karakter baik yang ditanamkan meliputi menjaga kebersihan, hormat pada orang tua,
tanggung jawab, teladan dari pemimpin, dan kerukunan sesama keluarga.
[Type text]
Page 11
Cerita-cerita yang Digunakan di Sekolah
Temuan berikutnya yang didapat dari hasil wawancara dan angket adalah cerita-cerita
yang disampaikan oleh para guru dalam upaya mereka mengembangkan karakter positif anak
didiknya. Berikut ini disajikan tabel yang memuat cerita-cerita yang biasanya mereka pakai, dan
jumlah responden yang mengaku menggunakannya:
Tabel 2. Cerita-Cerita yang Digunakan di Sekolah
No
Cerita
Jumlah responden (%)
1.
Malin Kundang
100
2.
Si Kancil
50
3.
Singosari
50
4.
Bawang Merah Bawang Putih
33.33
5.
Sangkuriang/Tangkuban Prahu
33.33
6.
Raden Ajeng Kartini
16.67
7.
Roro Jonggrang
16.67
8.
Sunan Kalijaga
16.67
9.
Putri Cinderella
16.67
10.
Kejujuran Pak Lurus
16.67
11.
Nabi Muhammad
16.67
12.
Terjadinya Banyuwangi
16.67
13.
Thomas A. Edison
16.67
[Type text]
Page 12
Tabel di atas menunjukkan bahwa cerita yang paling sering dipakai adalah bukan yang
berlatar budaya Malang, namun merupakan cerita yang umum dikenal di Nusantara. Cerita
Singosari cukup banyak dipakai (separuh dari jumlah responden) untuk mengembangkan
karakter positif.
Tabel berikut di bawah ini menunjukkan rangkuman jawaban para murid SD tentang
cerita lokal yang sering diperdengarkan ke mereka oleh para gurunya.
Tabel 3. Cerita Lokal Menurut Para Murid SD (dalam persen)
Kerajaan/Candi Perebutan
Singosari
Ken Dedes
52
40
Kerajaan
Majapahit
12
Candi
Songgoriti
4
Candi
Sumber
Awan
4
Malin
Kundang
4
Menarik untuk melihat bahwa sebagian besar dari mereka menyebutkan cerita tentang
Singosari dan perebutan Ken Dedes oleh Ken Arok dan Tunggul Ametung. Rupanya hanya
sebatas itulah cerita-cerita yang mereka sering dengar dari gurunya. Agak memprihatinkan untuk
mengetahui bahwa hal yang paling mereka ingat tentang Ken Dedes adalah pertarungan antara
Ken Arok dan Tunggul Ametung memperebutkan Ken Dedes, yang berujung pada tewasnya
Tunggul Ametung dan naiknya Ken Arok menjadi raja dan memperistri Ken Dedes.
Materi Sastra Lokal Malang
Dari wawancara dengan Bapak Wahyudi diperoleh beberapa kumpulan karya sastra lokal
Malang. Karya-karya tersebut meliputi cerita-cerita legenda, puisi, dan cerpen yang kesemuanya
dapat digolongkan sebagai karya sastra lokal Malang menurut definisi yang telah diuraikan di
atas.
Tabel ini memuat beberapa karya sastra lokal Malang yang berhasil digali:
Tabel 4. Beberapa Karya Sastra Lokal Malang
[Type text]
Page 13
No
Judul
1
Asal Usul Nama Malang
2
Ken Arok
3
Coban Rondo
4
Aji Saka
5
Legenda Gunung Arjuna
6
Jaka Unthuk
7
Empu Supa
8
Bagus Setya dan Bagus Tuhu
9
Bambang Durjana
Kesimpulan
Makalah ini telah menguraikan keterkaitan antara upaya pendidikan karakter anak-anak
usia Sekolah Dasar dan potensi muatan sastra lokal Malang dalam pengembangan karakter
tersebut. Upaya ini telah mulai banyak dikaji secara empiris oleh beberapa peneliti, yang secara
umum menyimpulkan bahwa muatan satra atau kebahasaan selalu berpotensi untuk
mengembangkan karakter luhur. Khususnya di daerah Malang, ternyata belum ada upaya untuk
mengembangkan sastra lokal menjadi dasar pendidikan karakter. Maka dilakukan penelitian yang
bertujuan menyajikan definisi sastra lokal dan muatan sastra lokal, menggambarkan potensi
sastra lokal untuk menajamkan karakter, dan menyajikan pendidikan karakter di mata guru dan
murid Sekolah Dasar.
Melalui teknik penyebaran angket dan wawancara dengan para pakar sastra dan guruguru serta beberapa murid sebuah Sekolah Dasar, didapat suatu profil sastra lokal dan pendapat
tentang bagaimana sastra itu harus dikembangkan menjadi bagian pembelajaran di sekolah.
Sastra lokal Malang dimengertikan sebagai karya fiksi hasil imajinasi yang ditulis dalam bahasa
lokal Malang, atau memuat topik-topik tentang komunitas Malang, atau oleh orang yang lahir
dan besar di Malang. Sastra lokal Malang dikatakan mempunyai potensi besar dalam
[Type text]
Page 14
pengembangan karakter, dan penyajiannya sebagai pelajaran bisa dalam bentuk main peran dan
pementasan drama.
Dalam pada itu, didapat juga profil pandangan guru dan murid tentang sastra lokal
Malang dan pendidikan karakter di sekolah. Umumnya, sastra lokal yang mereka ketahui hanya
terdiri dari beberapa gelintir saja, dan belum ada upaya sangat sistematis dan berkelanjutan untuk
menjadikan sastra lokal sebagai dasar pijakan bagi pengembangan karakter anak didik.
DAFTAR RUJUKAN
Latif, Y. 2014. Keteladanan Pancasila. Kompas, 25 Maret 2014, hal 15.
Mulyani, M. 2010. Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Menggunakan Media Audio Visual Berbasis Kearifan Lokal Yang beroriantasi Pada
Pembentukan Kepribadian Anak SMP. Laporan Penelitian. Diunduh 10 Januari 2013.
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog /byld/269992.
Nugrahani, F. 2011. Penanaman nilai-nilai kearifan lokal melalui pembelajaran unggahungguhing basa dalam upaya pembentukan karakter generasi muda. Makalah dalam
seminar nasional Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal di
Universitas Muhammadiyah Malang 30 April 2011. Diunduh 26 Juli 2012 dari
http://www.mpbi-pascaunivet.ac.id/nilaikearifan.pdf.
Sauri, S. & Nurdin, D. 2008. Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Sekolah,
Keluarga, dan Masyarakat. Laporan Penelitian. Diunduh 9 Februari 2013.
http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/26/pengembangan-model-pendidikan-nilai-berbasissekolah,keluarga,-dan-masyarakat.
Sauri, S. & Rahmat, A.S. 2007. Pengembangan Model Santun Berbahasa Sebagai Strategi
Penanggulangan Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar Perkotaan. Laporan Penelitian.
Diunduh 14 Januari 2013 http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/244 /pengembanganmodel-santun berbahasa-sebagai-strategi-penanggulangan-dekadensi-moral-dikalangan-pelajar-perkotaan.
[Type text]
Page 15
Sulistyarini, D. 2011. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat sebagai Sarana Pendidikan Budi
Pekerti. Makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari
2013. http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/03-makalah-komisi-b/642-13-nilaimoral-dalam-cerita-rakyat-sebagai-sarana-pendidikan-budi-pekerti
Wurianto, A.B. 2011. Transformasi Nilai - Nilai Luhur Sastra Jawa Klasik sebagai
Pengembang "Content" Pendidikan Karakter Berkearifan Lokal Di Sekolah. Makalah
dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari 2013.
http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/02-makalah-komisi-a/631-02-transformasinilai-nilai-luhur-sastra-jawa-klasik
[Type text]
Page 16