Heteroseksualitas Sebagai Norma dan Inst
Intan Erwany
Tugas Mata Kuliah Gender,
Seksualitas,
dan Hegemoni Kebudayaan
Heteroseksualitas Sebagai Norma
dan Institusi
(Sebuah Kajian Teoritis)
memaknai “seks” sebagai sesuatu yang
alamiah yang menjadi fakta biologis dan
“gender” sebagai suatu hasil konstruksi
masyarakat yang menempatkan dan
memosisikan subjek tubuh sesuai
dengan seks atau jenis kelaminnya.
Misalnya, laki-laki diharuskan menjadi
maskulin dan perempuan diharuskan
menjadi feminin, laki-laki tidak diizinikan
menangis dan perempuan diizinkan
menangis, serta laki-laki berada di ranah
publik dan perempuan berada di ranah
domestik.
Binerisme antara laki-laki dan
perempuan ini terus bergulir sedemikian
rupa dan menjadi ideologi dasar dalam
hubungan heteroseksual di masyarakat.
Alih- alih menjadi ideologi yang
menempatkan heteroseksual sebagai
normatif atau sering disebut sebagai
heteronormativitas, hal ini justru
menciptakan opresi dan jurang pemisah
dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Dalam esai yang ditulis oleh Adrienne
Rich (1929) dan Richard Dyer (1945),
mereka memprotes keras mengenai
wacana dominan yang menempatkan
heteroseksual sebagai norma dan
institusi yang mengharuskan laki-laki
dan perempuan untuk
melaksanakannya. Tidak hanya itu, jika
heteronormativitas yang dianggap paing
benar dan alamiah, justru
melipatkangandakan opresi terhadap
kelompok minoritas yang menyimpang,
seperti lesbian, gay dan biseksual. Rich
mengklaim bahwa selama ini para
feminis selalu menggunakan sudut
pandang heteroseksual untuk melihat
segala permasalahan opresi yang terjadi
pada perempuan, sehingga mereka telah
gagal dalam melihat dan membicarakan
opresi terhadap lesbian. Oleh karena itu,
baik identitas lesbian sebagai
perempuan sekaligus sebagai lesbian
maupun identitas homoseksual sebagai
laki-laki sekaligus sebagai gay
memungkinkan terjadinya opresi ganda,
ketika peran dan orientasi mereka
menyimpang dari wacana dominan.
1. Latar Belakang
Dewasa ini permasalahan
seksualitas mulai tampil tanpa henti
dalam wacana publik, yang semula telah
direpresi dan dianggap sebagai
persoalan ranah pribadi. Hal ini sejalan
dengan pandangan Foucault yang
menganjurkan bahwa seks harus
dibicarakan tidak hanya untuk dikutuk,
atau ditoleransi, tetapi untuk dikelola,
disisipkan dalam berbagai sistem
kegunaan, untuk diatur demi kebaikan
semua orang, untuk dibuat berfungsi
semaksimal mungkin (2008: 43).
Konteks seksualitas yang saya maksud
tidak hanya sebatas permasalahan
coitus antara laki-laki dan perempuan
saja, melainkan juga seksualitas disini
memiliki makna yang luas dalam aspek
kehidupan, misalnya permasalahan
tentang seks (jenis kelamin), gender,
identitas gender, peran gender, orientasi
seksual, erotisme, kesenangan,
keintiman, hingga permasalahan
reproduksi. Sedemikian sehingga
wacana seksualitas yang di alami dan
diekspresikan dalam pikiran, fantasi,
hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah
laku, dan kebiasaan pada masyarakat
dapat dimobilisasi sedemikian rupa
untuk kepentingan bersama.
Perbincangan seksualitas sendiri
membuka celah diskusi tentang
pembedaan seks dan gender yang
selama ini menjadi cikal-bakal opresi
bagi relasi perempuan dan laki-laki.
Bingkai pembedaan seks dan gender ini
dapat berguna untuk menjelaskan
bagaimana situasi kontruksi yang tejadi
di tengah masyarakat saat ini. Dengan
kata lain, pembedaan seks dan gender
Berdasarkan permasalahan
sebagai cara kerja yang efektif untuk
mengenai heteroseksual di atas, pada
membongkar dan menata kembali mana
tulisan ini saya menggunakan sudut
yang menjadi fakta alamiah dan mana
pandang feminis untuk membahas
yang hasil konstruksi dari kultural dan
permasalahan yang terjadi saat
historis. Permasalahan seks dan gender
heteroseksual mulai dilembagakan oleh
mulai diperdebatkan dalam esai Gayle
masyarakat. Dari hasil pembacaan saya
Rubin (1975) dengan istilah sex/gender
dari kedua tulisan Dyer dan Rich
distinction. Dalam konsepnya, Rubin
mengenai permasalahan
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
1
heteroseksualitas, saya fokus pada
beberapa gagasan yang mirip dalam
tulisan tersebut, yakni pertama,
mengenai isu binerisme seks dan gender
yang melanggengkan opresi terhadap
relasi laki-laki sebagai maskulin dan
perempuan sebagai feminin, sedemikan
sehingga laki-laki dan perempuan tidak
dapat melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan dirinya. Oleh sebab
itu, penting bagi saya untuk mengetahui
bagaimana mekanisme
heteroseksualitas itu saling bekerja dan
beredar dalam masyarakat. Kedua,
saya juga sedikit membahas mengenai
permasalahan atas relasi
heteronormativitas yang berdampak dan
membuka ruang terjadinya opresi ganda
terhadap eksistensi lesbian. Dengan kata
lain, secara tidak langsung wacana
kenormativitasan yang selama ini
menjadi ketentuan mutlak, tidak hanya
mengopresi hubungan antara laki-laki
dan perempuan saja, melainkan kaum
lesbian yang memiliki identitas sebagai
perempuan dan sebagai lesbian.
2. Pembahasan
Dewasa ini perdebatan dalam
menafsirkan perbedaan konstruksi lakilaki dan perempuan, yaitu konsep seks
dan gender menjadi isu sentral yang
hangat pada studi feminis. Banyak
teoritkus yang memberikan perspketif
berbeda berkenaan dengan
permasalahan seks dan gender ini. Seks
dan gender menjadi penting untuk
dibicarakan karena menjadi akar opresi
antara perempuan. Pembedaan ini
seperti yang dikatakan oleh Prabasmoro
merupakan bingkai pikir yang sangat
berguna untuk menjelaskan bahwa
situasi opresif yang dihadapi perempuan
bukanlah suatu takdir dan bukan juga
merupakan suatu hal yang “alamiah”
(2006: 51). Secara umum konsep “seks”
berkenaan dengan “jenis kelamin” yang
digunakan untuk membedakan
penubuhan──lelaki (male) atau
perempuan (female) berdasarkan unsur
biologis dan anatomi tubuh manusia.
Sementara gender merupakan sebuah
konstruksi yang bersifat kultural dan
historis. Akan tetapi, perlu dicermati
kembali dari pembedaan seks dan
gender, seolah-olah konsep ini secara
implisit membangun kerangka oposisi
biner yang menuntut laki-laki sebagai
maskulin dan perempuan sebagai
feminin. bahwa
Namun demikian, Prabasmoro
dengan lugas mengatakan wacana yang
mempertentangkan laki-laki dan
perempuan dalam oposisi biner sebagai
yang lebih tinggi dan lebih rendah,
pencari nafkah dan pengatur rumah
tangga, publik dan domestik, rasional
dan emosional, aktif dan pasif, dan
sebagainya sebenarnya adalah opresi
yang menimpa laki-laki juga (2006 :27).
Dari ilustrasi Prabasmoro, bagi saya
cukup masuk akal bahwa saat seks dan
gender distereotipekan sebagai
hubungan antara kutub utara dan
selatan, maka ideologi patriarki yang
menempatkan laki-laki di ranah publik
tentulah tidak mudah masuk ke dalam
wilayah domestik yang selama ini di
klaim sebagai ororitas perempuan,
sedemikan sehingga memungkinkan
bagi laki-laki mengalami opresi juga.
Perspektif berbeda ditawarkan oleh
Alice Rossi sebagaimana dikutip oleh
Rich yang mengatakan bahwa secara
biologis laki-laki hanya memiliki satu
orientasi keintiman── keintiman seksual
laki-laki yang mendorong mereka
kepada perempuan, sementara
perempuan mempunyai dua orientasi
keintiman, yaitu orientasi seksualnya
terhadap laki-laki dan terhadap anaknya
(2003: 12). Namun, Rich mengkritik
pandangan Rossi tesebut seolah-olah
memposisikan seksualitas perempuan
hanya tertuju pada laki-laki. Berdasarkan
argumentasi Rossi, asumsi saya bahwa
perbedaan “orientasi keintiman” laki-laki
dan perempuan merujuk pada
penubuhan.Tubuh yang dimilikinya
merupakan atribut yang selamanya
melekat pada setiap manusia dan
fungsinya tidak dapat dipertukarkan.
Organ tubuh tersebut bersifat permanen,
tidak berubah, dan menjadi ketentuan
biologis.
Tubuh laki-laki mempunyai pelbagai
ciri jenis kelamin yang membedakan
mereka dari perempuan. Sebagian dari
tubuh biologis laki-laki terdiri dari penis
dan sistem reproduksi yang
mengandung sperma, sedemikian
sehingga dalam kerangka coitus antara
laki-laki dan perempuan sperma tersebut
harus melewati rahim yang dimiliki oleh
perempuan. Sehingga dapat dikatakan
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
2
bahwa orientasi laki-laki
diinterpretasikan hanya pada
perempuan. Sementara, secara biologis
tubuh perempuan mempunyai perangkat
reproduksi──payudara, vagina, ovarium
(indung telur) dan lainnya. Sedemikian
sehingga perempuan menjadi sosok
yang berperan dalam pengasuhan dan
menyalurkan seluruh orientasi
seksualnya kepada anak. Misalnya,
ketika melakukan kegiatan menyusui,
perempuan bisa merasakan sisi erotik
atau keintiman terhadap anaknya──kulit
ibu bersentuhan dengan kulit bayi,
keintiman pelukan ibu dan air susu yang
dihisap anak melalui payudara ibunya
memberikan sebuah kenikmatan kepada
perempuan.
Yang menjadi pemasalahan adalah
jika pengasuhan anak menjadi tanggung
jawab penuh oleh perempuan tanpa
adanya kontribusi laki-laki di dalamnya
serta mengharuskan pembagian tugas
itu dengan sudut pandang seks atau
jenis kelamin. Dalam The Mermaid and
the Minotaur: Sexual Arrangements and
the Human Malaise, dengan penuh
semangat Dorothy Dinnerstein (1923)
membagi pengasuhan anak antara
perempuan dan laki-laki, yang akhirnya
membawa pandangannya dalam suatu
simbiosis male/female pada “gender
arrangements” yang ia rasa menuntut
spesifik lain, kekerasan dan kepunahan
diri lebih jauh. Berdasarkan pandangan
Dinnerstein, Rich melihat bahwa
hubungan antara laki-laki dan
perempuan tersebut sebagai “suatu
kobalorasi untuk memelihara sejarah
buruk” yang sama sekali tampak
ahistoris (2003: 15). Ia juga menganggap
bahwa kolaborasi antara perempuan dan
laki-laki ini hanya sebatas patner setara
dalam membuat “sexual arrangements”,
yang tanpa disadari tampak mengulang
perjuangan perempuan untuk
meresistensi opresi yang mereka alami
sebelumnya.
Dari kedua argumen ini, pertama
saya akan mengomentari pandangan
Dinnerstein terkait dengan pembagian
pengasuhan anak antara laki-laki dan
perempuan. Dalam membagi tugas
pengasuhan anak, Dinnerstein tampak
memosisikan hal tersebut diatur oleh
seks atau jenis kelamin. Dengan kata
lain, ketika tugas dikerjakan berdasarkan
kategori jenis kelamin, maka
pengasuhan anak dibagi atas tugas
sebagai ranah maskulin dilakukan oleh
laki-laki dan tugas yang dianggap
sebagai ranah feminin dilakukan oleh
perempuan. Sebagai contoh, pada
situasi ketika anak sedang kelaparan dan
meminta untuk dimasakkan makanan
yang diinginkannya, akan tetapi anak
tersebut hanya menemukan sosok ayah
yang beraada di rumah. Ayah yang
terbiasa mengerjakan tugas publik atau
maskulin tentu tidak dapat memenuhi
keinginan anaknya. Artinya, pekerjaan
“memasak” yang selama ini
distereotipekan pada perempuan dan
berada di ranah domestik, tidak mampu
di akses atau dikerjakan oleh laki-laki.
Dikarenakan sebagai laki-laki yang
diipaksa menjalani dan menikmati
ideologi patriarki tersebut tidak
diperkenalkan pada kegiatan di ranah
domestik, begitu juga sebaliknya.
Dari ilustrasi ini, tampak kolaborasi
antara suami dan istri dalam keluarga
tanpa disadari dapat mengopresi satu
sama lain, ketika suami dan istri tidak
mempunyai pilihan siapa yang harus
mengerjakan tugasnya. Binerisme tugas
dalam pembagian pengasuhan anak
terus menerus dijadikan landasan dalam
keluarga dan beredar dari masa ke
masa. Rich menyebutkan kolaborasi
yang digagas oleh Dinnerstein ini
sebagai patner setara yang membagi
tugas pengasuhan anak berdasarkan
aturan seksual, siapa yang harus
mengerjakan tugas maskulin dan siapa
yang harus mengerjakan tugas feminin.
Saya sepakat dengan solusi yang
ditawarkan oleh Prabasmoro (2006: 36)
bahwa tugas itu adalah merupakan
serangkaian pilihan siapa yang ingin
atau dapat mengerjakan apa, dan
bukannya siapa yang harus mengerjakan
apa. Artinya, tugas yang berkaitan
dengan keluarga, seperti memasak,
menidurkan anak, mengantar dan
menjemput anak ke sekolah dilakukan
atas pilihan yang diinginkan untuk
mengerjakannya, bukan sebuah
keharusan atau kewajiban.
Jika perempuan sebagai sumber
awal dalam pengasuhan anak dan
berperan dalam perkembangan psikologi
bagi anak laki-laki dan perempuannya,
hal ini tampak masuk akal bagi saya.
Seperti yang diistilah oleh Rich bahwa
perempuan mempunyai “double life”.
Namun, di beberapa tempat umum saya
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
3
sering menemukan beberapa laki-laki
yang sedang mengasuh, menggendong,
dan membawa tas perlengkapan untuk
anaknya. Hal ini juga yang disampaikan
oleh Rich bahwa peningkatan
pengasuhan anak oleh laki-laki dapat
meminimalisir antagonisme antara
binerisme seks, sedemikian sehingga
kuasa laki-laki yang menjadi sumber
ketidakseimbangan gender terhadap
perempuan dapat dikecilkan. Setidaknya,
konsep pengasuhan anak mencoba di
giring keluar dari wacana dominan,
sehingga antara laki-laki dan perempuan
yang berperan menjadi lebih fleksibel.
Oleh karena itu, jika heteroseksual yang
dijalani antara laki-laki dan perempuan
menerobos tatanan yang telah
distereotipekan dan berusaha
menemukan mekanisme yang lebih
nyaman, maka hubungan heteroseksual
tersebut dapat mengurangi opresi bagi
keduanya, terutama dalam perkawinan.
Lalu bagaimana dan mengapa relasi
heteroseksual tersebut di atur
berdasarkan ketentuan dan norma
tertentu terjadi?. Ketentuan yang
mengharuskan perempuan dan laki-laki
untuk melakukan segala sesuatu dengan
aturan, sehingga apabila keduanya tidak
melakukan hal tersebut akan mendapat
sanksi-sanksi sosial yang menjerat
mereka. Permasalahan inilah yang
menjadi kritik tajam oleh Rich dan Dyer.
Mereka tidak memprotes heteroseksual
itu sebagai “preference” atau “choose”
bagi laki-laki dan perempuan, melainkan
saat heteroseksual kemudian
dilembagakan atau sering disebut
dengan istilah heteronormativitas. Rich
menawarkan cara pandang yang
berbeda terhadap ketimpangan yang
terjadi pada heteroseksual. Baginya,
heteroseksualitas sebagai ketentuan
harus dicermati sebagai institusi politis
dan dipahami sesuai dengan konteks
dimana kita berada. Oleh karena itu,
menurut saya cara pandang ini ini dapat
membuka ruang dalam perspektif baru
bahwa apa yang dianggap atau diterima
oleh masyarakat selama ini, tidak
semata-mata sebagai sebuah takdir atau
alamiah, melainkan konsep ini dibangun
oleh konteks kultur dan sejarah yang
berlaku.
saling bekerja dan bertahan dalam
masyarakat. Pertama, perbedaan dalam
pemilihan pusat objek seksual. Artinya,
hubungan laki-laki dan perempuan selalu
di dasari pada objek seksual, yakni
gender, sedemikian sehingga perbedaan
gender itu terus menerus dierotisasi.
Sebagai contoh, dari pengalaman saya
dan pasangan saya memutuskan untuk
berkencan dengan sesama pasangan
lainnya atau sering diistilahkan sebagai
double date. Saat itu saya dan teman
perempuan saya sedang bersiap-siap
untuk pergi, saya memutuskan untuk
menggunakan pakaian yang lebih santai,
atasan kaos, jeans, dan sneakers,
sementara teman perempuan saya
memilih menggunakan rok, atasan yang
bermotif bunga dan juga menggunakan
sepatu berhak tinggi. Lalu teman
perempuan saya bertanya “kenapa
kamu menggunakan atasan kaos? kita
kan mau ngedate bareng pacar”.
Pertanyaan ini terus menerus mengusik
saya dan membuat saya berpikir ulang
untuk mengganti pakaian saya. Namun,
hal itu saya urungkan kembali, karena
saya merasa nyaman dengan style
seperti itu.
Di situasi berbeda, ketika pasangan
saya melihat padunan atasan kaos,
jeans, dan sneakers yang saya kenakan,
ia lalu memberikan satu argumen “kok
tumben hari ini boyish banget”.
Sepanjang situasi itu, pertanyaan “kok
tumben hari ini boyish banget” membuat
saya menanyakan kepada diri saya
sendiri, apakah ada yang salah dengan
tampilan saya?, apakah saya kelihatan
tidak seperti perempuan sesungguhnya
dan beda dari teman perempuan saya?
Apakah saya tidak diizinikan merasa
nyaman atas apa yang saya kenakan?
dan apakah setiap hari saya harus
dituntut untuk mengenakan pakaian
perempuan, sehingga tidak
diperbolehkan memakai pakaian yang
identik dengan laki-laki?.
Berdasarkan contoh ini, seperti yang
dikatakan oleh Dyer bahwa
heteroseksualitas selalu melibatkan
hubungan daya tarik antara laki-laki dan
perempuan, apapun jenis situasinya,
terutama selalu dibedakan hanya pada
satu kategori yaitu, gender (1997: 264).
Dalam tulisannya berjudul
Sedemikian sehingga, ketika saya yang
Heterosexuality (1997), Dyer mencoba
berjenis kelamin perempuan dan tidak
menganalisis lima karakteristik
berpenampilan feminin, maka gender
bagaimana mekanisme heteroseksual itu
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
4
saya terus menerus dierotisasi oleh
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
oleh sekeliling saya. Artinya,
heteroseksual menempatkan perempuan
yang sangat feminin dan laki-laki yang
sangat maskulin sebagai nilai tinggi,
sedangkan di luar wacana itu tidak di
nilai tinggi.
Kedua, mekanisme perbedaan
heteroseksual dikonseptualisasi sebagai
hal yang berlawanan. Dalam
heteroseksual, laki-laki dan perempuan
ditempatkan pada oposisi biner dalam
melakukan sesuatu yang dialamatkan
pada mereka. Misalnya, untuk dianggap
sebagai “perempuan” harus bersifat
lembut, lemah, penyayang, memelihara,
dan lainnya. Sedangkan untuk menjadi
“laki-laki” harus berani, gagah, kuat,
penyuka tantangan dan lainnya. Oleh
karena itu pada pola heteroseksualitas
menempatkan gender laki-laki di ranah
aktif dan perempuan di ranah pasif.
Misalnya, dari situasi yang saya ilustrasi
di atas, saya sebagai perempuan yang
bergender feminin dituntut oleh
lingkungan saya untuk menggunakan
atribut dan aksesoris perempuan setiap
hari──atasan bermotif bunga, kemeja
berwarna pink, rok, sepatu berhak tinggi,
lipstik, maskara dan lainnya. pada saat
yang bersamaan saya juga harus
menampilkan citra diri saya sebagai
orang yang sabar, pengasih, dan
penurut, sedemikian sehingga hal itu
yang mendefinisikan saya sebagai orang
yang heteroseksual yang normal. Akan
tetapi, ketika saya melawan,
menyimpang, dan tidak menggunakan
aksesoris dan atribut tersebut── atasan
kaos, jeans, dan sneakers, maka sanksisanksi sosial mempertanyakan gender
saya pun segera dialamatkan pada saya.
Begitu juga sebaliknya yang dialami oleh
laki-laki pada saat menggunakan atasan
berwarna pink. Oleh karena itu, Dyer
melihat bahwa binerisme merupakan
prinsip utama dalam heteroseksual,
ketika laki-laki dan perempuan dapat
saling melengkapi satu sama lainnya, ia
juga mengatakan pola seperti inilah
yang diterapkan dalam hubungan
homoseksual.
Jeffrey bahwa hasrat heteroseksualitas
selalu dierotisasi dengan
ketidakseimbangan kekuasaan.
Misalnya, gagasan untuk saling
melengkapi dalam perbedaan antara
laki-laki dan perempuan terus menerus
bertahan dan dipedomani dalam
kultural, sedemikian sehingga laki-laki
dan perempuan sudah tidak
mempermasalahkan posisi
ketidakseimbangan kekuasaan tersebut.
Hal ini dikarenakan bahwa gagasan
untuk saling melengkapi perbedaan
tersebut memberikan pleasure yang
tidak bisa didefinisikan. Akan tetapi, bagi
Dyer gagasan saling melengkapi dalam
perbedaan tidak selamanya dapat
bertahan dan memberikan pleasure
sepenuhnya. Saat laki-laki dan
perempuan menyadari identitas jenis
kelaminnya bahwa mereka tetap
dibedakan dan diposisikan sebagai
berlawanan.
Keempat, seksualitas hanya berguna
untuk menghasilkan keturunan. Secara
umum, tujuan dari hubungan coitus
dalam heteroseksualitas dimaknai
sebagai reproduksi untuk
mengembangkan spesies baru dan
melestarikan silsilah keluarga agar tidak
punah. Mekanisme ini terjalin terus
menerus dan selalu diingatkan melalui
pesan-pesan agama, tradisi serta sejarah
yang membuat heteroseksul berjalan
dan dilaksanakan. Masuk akal bagi saya,
ketika seksualitas digunakan sebagai
landasan untuk menghasilkan keturunan,
sedemikian sehingga hetersoeksual
menjadi dominan dan diasumsikan
sebagai yang paling benar. Akan tetapi,
jika seseorang memiliki kecenderungan
untuk menjadi homo, maka ideologi ini
akan menyadarkan mengurungkan
keinginan seseorang tersebut. Bahkan,
tidak hanya melalui agama dan tradisi
saja, pola ini juga dhadir dalam sebagai
pesan dalam iklan televisi, film, dan
media elektronik.
Kelima, praktik seksual adalah suatu
bentuk penegasan bahwa identitas
seorang dianggap normal. Bagi Dyer,
hasrat untuk diakui sebagai normal dan
tekanan dari lingkungan sekitar memiliki
Ketiga, perbedaan dalam
fungsi yang sangat kuat terhadap lakiketidakseimbangan kekuasaan telah
laki dan perempuan. Sebagai contoh,
memosisikan laki-laki di ranah dominan
ketika seseorang yang belum menikah di
dan perempuan di ranah subordinat. Pola
usia yang sudah cukup dewasa, ia
seperti ini didefinisikan oleh Sheila
diasumsikan tidak berada di wilayah
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
5
kenormalan, karena untuk dapat di akui
sebagai heteroseksual dan normal ia
harus memasuki dan menjalani
pernikahan. Tidak hanya itu, hal ini terus
menerus disanksikan oleh masyarakat
sekitar dengan berbagai pertanyaan
“kapan menikah? Kapan punya anak?
Kapan nambah momongan lagi?”.
Sedemikian sehingga praktik seksualitas
tersebut berperan besar dalam
membangun identitas seseorang dan
diterima oleh masyarakat sebagai yang
normal.
Berdasarkan dari lima karakteristik
yang telah dijabarkan oleh Dyer, asumsi
saya bahwa heteroseksualitas tidak
dibentuk oleh ideologi biologis,
kealamiahan, takdir dan tidak juga
berdiri sendiri tanpa konteks, melainkan
adanya peran kultur sangat kuat dalam
mempertahankan eksistensi
heteroseksual tersebut. Di lain pihak,
kultur membangun wacana dalam
menggiring orientasi manusia menuju
kebenaran. Heteroseksual yang normatif
ini juga akhirnya menyebabkan lahirnya
aturan-aturan yang bias dan seksis,
misalnya mengatur cara berpakaian
perempuan, diskriminasi, stereotipe,
stigmatisasi terhadap gender dan
identitas gender tertentu,
pengkriminalisasi orientasi seks dan
identitas gender diluar aturan
heterosentris. Permasalahan tersebut
tanpa disadari menjadi hegemoni yang
menyebabkan ketidakadilan pada suatu
kelompok dan menjadi landasan
sejumlah kritik yang dilontarkan oleh
kajian lesbian dan homoseksual.
feminis radikal kultural. Dari perspektif
feminis radikal libertarian menafsirkan
bahwa Koedt memberikan alasan kuat
bagi perempuan untuk hanya melibatkan
diri di dalam apa yang disebut sebagai
heteroseksualitas yang bukan
merupakan keharusan (Tong, 2010: 103)
Feminis radikal libertarian juga
menambahkan bahwa sebenarnya dalam
hubungan seksual perempuan tidak
bergantung pada tubuh laki-laki dalam
mencapai orgasme. Di samping itu,
perempuan tidak seharusnya terlibat di
dalam hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, kecuali jika ia
menginginkannya.
Dari perspektif feminis radikal
libertarian ini sedikit membingungkan
bagi pemikiran saya yang notabennya
telah dibentuk oleh ideologi bahwa
ketika vagina dan penis merupakan
sumber puncak orgasme antara
perempuan dan laki-laki, sedemikian
sehingga saya tidak cukup pengetahuan
untuk mengeksplorasi hal tersebut.
Namun, masuk akal bagi saya bahwa
tidak hanya vagina yang menjadi titik
puncak orgasme perempuan, melainkan
juga stimulasi klitoris dalam hubungan
seksual. Oleh karena itu, apabila
stimulasi klitoris diposisikan sebagai
orgasme utama perempuan, maka
hubungan seksual tidak menjadi
keharusan dan tubuh laki-laki dapat
tersingkirkan secara seksual. Akan
tetapi, hal ini berpotens juga bagi
perempuan untuk memilih tubuh
perempuan dalam mencapai orgasme
tersebut sesuai dengan alasan
psikologis.
Beberapa esai provokatif yang ditulis
oleh sejumlah feminis radikal sering
Hal berbeda di sampaikan oleh
mensituasikan perempuan dan
perspektif feminis radikal-kultural
mempertanyakan bentuk-bentuk opresi
bahwa tidak ada alasan psikologis bagi
yang diterima oleh perempuan serta
perempuan untuk berhubungan seksual
memungkinkan terciptanya hubungan
dengan laki-laki, tidak ada alasan
lesbian antar perempuan. Dalam tulisan
psikologis feminis bagi seorang
Ann Koedt berjudul The Myth of the
perempuan untuk menginginkan
Vaginal Orgasm sebagaimana yang
berhubungan seksual dngan seorang
dijelaskan oleh Tong (2010: 103)
laki-laki (Tong, 2010: 103). Feminis
mengatakan bahwa banyak perempuan
radikal kultural percaya bahwa seorang
merasa yakin bahwa orgasme yang
feminis yang sesungguhnya, ia harus
mereka rasakan selama hubungan
menjadi lesbian. Dalam kerangka
seksual heteroseksual adalah berasal
heteroseksual sebagai kekuasaan, lakidari vagina, padahal yang lebih tepat
laki merupakan sumber utama yang
adalah mereka mengalami stimulasi
menyebabakn opresi dan kekerasan
pada klitoris. Pernyataan ini banyak
yang dialamatkan kepada perempuan,
menuai perdebatan baik dari kalangan
sehingga ini menjadi salatu satu alasan
feminis radikal libertarian maupun
perempuan memutuskan sebagai
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
6
lesbian. Oleh sebab itu, Rich
mengatakan bahwa lesbian existence
berpotensi membebaskan seluruh
perempuan.
3. Kesimpulan
Tong, R. P. (2010). Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran
Feminis (A. P. Prabasmoro,
Trans.). Yogyakarta: Jalasutra.
Berdasarkan pembahasan yang saya
uraikan di atas bahwa heteroseksual
yang selama ini dianggap sebagai takdir
dan biologis tidak sepenuhnya menjadi
kebenaran mutlak, akan tetapi hal itu
justru dibentuk oleh norma agama,
budaya, dan sejarah yang berperan
besar serta bertahan dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, penting
bagi kita untuk mencermati kembali
apakah selama ini menjadi sebuah
keharusan dan takdir ternyata
merupakan suatu produk yang dibentuk
oleh budaya sekitar. Tidak hanya itu,
pembedaan seks dan gender juga
merupakan cara kerja yang efektif
dalam memetakan opresi yang terjadi
pada perempuan dan lakilaki.Sedemikian sehingga heteroseksual
normatif juga akhirnya menyebabkan
lahirnya aturan-aturan yang bias dan
seksis, misalnya mengatur cara
berpakaian perempuan, diskriminasi,
stereotipe, stigmatisasi terhadap gender
dan identitas gender tertentu,
pengkriminalisasi orientasi seks dan
identitas gender diluar aturan
heterosentris.
4. Bibliograpghy
Dyer, Richard (1997). Heterosexuality in
Medhurst (Andy & Munt, Sally,
Editor.). Lesbian and Gay Studies:
A Critical Introduction.
Foucault, Michel.(2008). Ingin Tahu
Sejarah Seksualitas. (Hidayat.
Rahayu S, Trans). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Prabasmoro, A.P. (2006). Kajian Budaya
Feminis: Tubuh, Sastra, dan
Budaya Pop. Yogyakarta:
Jalasutra.
Rich, Adrienne. (2003). Compulsory
Heterosexuality and Lesbian
Existence. Journal of Women’s
History: Vol. 15. No. 3.
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
7
Tugas Mata Kuliah Gender,
Seksualitas,
dan Hegemoni Kebudayaan
Heteroseksualitas Sebagai Norma
dan Institusi
(Sebuah Kajian Teoritis)
memaknai “seks” sebagai sesuatu yang
alamiah yang menjadi fakta biologis dan
“gender” sebagai suatu hasil konstruksi
masyarakat yang menempatkan dan
memosisikan subjek tubuh sesuai
dengan seks atau jenis kelaminnya.
Misalnya, laki-laki diharuskan menjadi
maskulin dan perempuan diharuskan
menjadi feminin, laki-laki tidak diizinikan
menangis dan perempuan diizinkan
menangis, serta laki-laki berada di ranah
publik dan perempuan berada di ranah
domestik.
Binerisme antara laki-laki dan
perempuan ini terus bergulir sedemikian
rupa dan menjadi ideologi dasar dalam
hubungan heteroseksual di masyarakat.
Alih- alih menjadi ideologi yang
menempatkan heteroseksual sebagai
normatif atau sering disebut sebagai
heteronormativitas, hal ini justru
menciptakan opresi dan jurang pemisah
dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Dalam esai yang ditulis oleh Adrienne
Rich (1929) dan Richard Dyer (1945),
mereka memprotes keras mengenai
wacana dominan yang menempatkan
heteroseksual sebagai norma dan
institusi yang mengharuskan laki-laki
dan perempuan untuk
melaksanakannya. Tidak hanya itu, jika
heteronormativitas yang dianggap paing
benar dan alamiah, justru
melipatkangandakan opresi terhadap
kelompok minoritas yang menyimpang,
seperti lesbian, gay dan biseksual. Rich
mengklaim bahwa selama ini para
feminis selalu menggunakan sudut
pandang heteroseksual untuk melihat
segala permasalahan opresi yang terjadi
pada perempuan, sehingga mereka telah
gagal dalam melihat dan membicarakan
opresi terhadap lesbian. Oleh karena itu,
baik identitas lesbian sebagai
perempuan sekaligus sebagai lesbian
maupun identitas homoseksual sebagai
laki-laki sekaligus sebagai gay
memungkinkan terjadinya opresi ganda,
ketika peran dan orientasi mereka
menyimpang dari wacana dominan.
1. Latar Belakang
Dewasa ini permasalahan
seksualitas mulai tampil tanpa henti
dalam wacana publik, yang semula telah
direpresi dan dianggap sebagai
persoalan ranah pribadi. Hal ini sejalan
dengan pandangan Foucault yang
menganjurkan bahwa seks harus
dibicarakan tidak hanya untuk dikutuk,
atau ditoleransi, tetapi untuk dikelola,
disisipkan dalam berbagai sistem
kegunaan, untuk diatur demi kebaikan
semua orang, untuk dibuat berfungsi
semaksimal mungkin (2008: 43).
Konteks seksualitas yang saya maksud
tidak hanya sebatas permasalahan
coitus antara laki-laki dan perempuan
saja, melainkan juga seksualitas disini
memiliki makna yang luas dalam aspek
kehidupan, misalnya permasalahan
tentang seks (jenis kelamin), gender,
identitas gender, peran gender, orientasi
seksual, erotisme, kesenangan,
keintiman, hingga permasalahan
reproduksi. Sedemikian sehingga
wacana seksualitas yang di alami dan
diekspresikan dalam pikiran, fantasi,
hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah
laku, dan kebiasaan pada masyarakat
dapat dimobilisasi sedemikian rupa
untuk kepentingan bersama.
Perbincangan seksualitas sendiri
membuka celah diskusi tentang
pembedaan seks dan gender yang
selama ini menjadi cikal-bakal opresi
bagi relasi perempuan dan laki-laki.
Bingkai pembedaan seks dan gender ini
dapat berguna untuk menjelaskan
bagaimana situasi kontruksi yang tejadi
di tengah masyarakat saat ini. Dengan
kata lain, pembedaan seks dan gender
Berdasarkan permasalahan
sebagai cara kerja yang efektif untuk
mengenai heteroseksual di atas, pada
membongkar dan menata kembali mana
tulisan ini saya menggunakan sudut
yang menjadi fakta alamiah dan mana
pandang feminis untuk membahas
yang hasil konstruksi dari kultural dan
permasalahan yang terjadi saat
historis. Permasalahan seks dan gender
heteroseksual mulai dilembagakan oleh
mulai diperdebatkan dalam esai Gayle
masyarakat. Dari hasil pembacaan saya
Rubin (1975) dengan istilah sex/gender
dari kedua tulisan Dyer dan Rich
distinction. Dalam konsepnya, Rubin
mengenai permasalahan
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
1
heteroseksualitas, saya fokus pada
beberapa gagasan yang mirip dalam
tulisan tersebut, yakni pertama,
mengenai isu binerisme seks dan gender
yang melanggengkan opresi terhadap
relasi laki-laki sebagai maskulin dan
perempuan sebagai feminin, sedemikan
sehingga laki-laki dan perempuan tidak
dapat melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan dirinya. Oleh sebab
itu, penting bagi saya untuk mengetahui
bagaimana mekanisme
heteroseksualitas itu saling bekerja dan
beredar dalam masyarakat. Kedua,
saya juga sedikit membahas mengenai
permasalahan atas relasi
heteronormativitas yang berdampak dan
membuka ruang terjadinya opresi ganda
terhadap eksistensi lesbian. Dengan kata
lain, secara tidak langsung wacana
kenormativitasan yang selama ini
menjadi ketentuan mutlak, tidak hanya
mengopresi hubungan antara laki-laki
dan perempuan saja, melainkan kaum
lesbian yang memiliki identitas sebagai
perempuan dan sebagai lesbian.
2. Pembahasan
Dewasa ini perdebatan dalam
menafsirkan perbedaan konstruksi lakilaki dan perempuan, yaitu konsep seks
dan gender menjadi isu sentral yang
hangat pada studi feminis. Banyak
teoritkus yang memberikan perspketif
berbeda berkenaan dengan
permasalahan seks dan gender ini. Seks
dan gender menjadi penting untuk
dibicarakan karena menjadi akar opresi
antara perempuan. Pembedaan ini
seperti yang dikatakan oleh Prabasmoro
merupakan bingkai pikir yang sangat
berguna untuk menjelaskan bahwa
situasi opresif yang dihadapi perempuan
bukanlah suatu takdir dan bukan juga
merupakan suatu hal yang “alamiah”
(2006: 51). Secara umum konsep “seks”
berkenaan dengan “jenis kelamin” yang
digunakan untuk membedakan
penubuhan──lelaki (male) atau
perempuan (female) berdasarkan unsur
biologis dan anatomi tubuh manusia.
Sementara gender merupakan sebuah
konstruksi yang bersifat kultural dan
historis. Akan tetapi, perlu dicermati
kembali dari pembedaan seks dan
gender, seolah-olah konsep ini secara
implisit membangun kerangka oposisi
biner yang menuntut laki-laki sebagai
maskulin dan perempuan sebagai
feminin. bahwa
Namun demikian, Prabasmoro
dengan lugas mengatakan wacana yang
mempertentangkan laki-laki dan
perempuan dalam oposisi biner sebagai
yang lebih tinggi dan lebih rendah,
pencari nafkah dan pengatur rumah
tangga, publik dan domestik, rasional
dan emosional, aktif dan pasif, dan
sebagainya sebenarnya adalah opresi
yang menimpa laki-laki juga (2006 :27).
Dari ilustrasi Prabasmoro, bagi saya
cukup masuk akal bahwa saat seks dan
gender distereotipekan sebagai
hubungan antara kutub utara dan
selatan, maka ideologi patriarki yang
menempatkan laki-laki di ranah publik
tentulah tidak mudah masuk ke dalam
wilayah domestik yang selama ini di
klaim sebagai ororitas perempuan,
sedemikan sehingga memungkinkan
bagi laki-laki mengalami opresi juga.
Perspektif berbeda ditawarkan oleh
Alice Rossi sebagaimana dikutip oleh
Rich yang mengatakan bahwa secara
biologis laki-laki hanya memiliki satu
orientasi keintiman── keintiman seksual
laki-laki yang mendorong mereka
kepada perempuan, sementara
perempuan mempunyai dua orientasi
keintiman, yaitu orientasi seksualnya
terhadap laki-laki dan terhadap anaknya
(2003: 12). Namun, Rich mengkritik
pandangan Rossi tesebut seolah-olah
memposisikan seksualitas perempuan
hanya tertuju pada laki-laki. Berdasarkan
argumentasi Rossi, asumsi saya bahwa
perbedaan “orientasi keintiman” laki-laki
dan perempuan merujuk pada
penubuhan.Tubuh yang dimilikinya
merupakan atribut yang selamanya
melekat pada setiap manusia dan
fungsinya tidak dapat dipertukarkan.
Organ tubuh tersebut bersifat permanen,
tidak berubah, dan menjadi ketentuan
biologis.
Tubuh laki-laki mempunyai pelbagai
ciri jenis kelamin yang membedakan
mereka dari perempuan. Sebagian dari
tubuh biologis laki-laki terdiri dari penis
dan sistem reproduksi yang
mengandung sperma, sedemikian
sehingga dalam kerangka coitus antara
laki-laki dan perempuan sperma tersebut
harus melewati rahim yang dimiliki oleh
perempuan. Sehingga dapat dikatakan
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
2
bahwa orientasi laki-laki
diinterpretasikan hanya pada
perempuan. Sementara, secara biologis
tubuh perempuan mempunyai perangkat
reproduksi──payudara, vagina, ovarium
(indung telur) dan lainnya. Sedemikian
sehingga perempuan menjadi sosok
yang berperan dalam pengasuhan dan
menyalurkan seluruh orientasi
seksualnya kepada anak. Misalnya,
ketika melakukan kegiatan menyusui,
perempuan bisa merasakan sisi erotik
atau keintiman terhadap anaknya──kulit
ibu bersentuhan dengan kulit bayi,
keintiman pelukan ibu dan air susu yang
dihisap anak melalui payudara ibunya
memberikan sebuah kenikmatan kepada
perempuan.
Yang menjadi pemasalahan adalah
jika pengasuhan anak menjadi tanggung
jawab penuh oleh perempuan tanpa
adanya kontribusi laki-laki di dalamnya
serta mengharuskan pembagian tugas
itu dengan sudut pandang seks atau
jenis kelamin. Dalam The Mermaid and
the Minotaur: Sexual Arrangements and
the Human Malaise, dengan penuh
semangat Dorothy Dinnerstein (1923)
membagi pengasuhan anak antara
perempuan dan laki-laki, yang akhirnya
membawa pandangannya dalam suatu
simbiosis male/female pada “gender
arrangements” yang ia rasa menuntut
spesifik lain, kekerasan dan kepunahan
diri lebih jauh. Berdasarkan pandangan
Dinnerstein, Rich melihat bahwa
hubungan antara laki-laki dan
perempuan tersebut sebagai “suatu
kobalorasi untuk memelihara sejarah
buruk” yang sama sekali tampak
ahistoris (2003: 15). Ia juga menganggap
bahwa kolaborasi antara perempuan dan
laki-laki ini hanya sebatas patner setara
dalam membuat “sexual arrangements”,
yang tanpa disadari tampak mengulang
perjuangan perempuan untuk
meresistensi opresi yang mereka alami
sebelumnya.
Dari kedua argumen ini, pertama
saya akan mengomentari pandangan
Dinnerstein terkait dengan pembagian
pengasuhan anak antara laki-laki dan
perempuan. Dalam membagi tugas
pengasuhan anak, Dinnerstein tampak
memosisikan hal tersebut diatur oleh
seks atau jenis kelamin. Dengan kata
lain, ketika tugas dikerjakan berdasarkan
kategori jenis kelamin, maka
pengasuhan anak dibagi atas tugas
sebagai ranah maskulin dilakukan oleh
laki-laki dan tugas yang dianggap
sebagai ranah feminin dilakukan oleh
perempuan. Sebagai contoh, pada
situasi ketika anak sedang kelaparan dan
meminta untuk dimasakkan makanan
yang diinginkannya, akan tetapi anak
tersebut hanya menemukan sosok ayah
yang beraada di rumah. Ayah yang
terbiasa mengerjakan tugas publik atau
maskulin tentu tidak dapat memenuhi
keinginan anaknya. Artinya, pekerjaan
“memasak” yang selama ini
distereotipekan pada perempuan dan
berada di ranah domestik, tidak mampu
di akses atau dikerjakan oleh laki-laki.
Dikarenakan sebagai laki-laki yang
diipaksa menjalani dan menikmati
ideologi patriarki tersebut tidak
diperkenalkan pada kegiatan di ranah
domestik, begitu juga sebaliknya.
Dari ilustrasi ini, tampak kolaborasi
antara suami dan istri dalam keluarga
tanpa disadari dapat mengopresi satu
sama lain, ketika suami dan istri tidak
mempunyai pilihan siapa yang harus
mengerjakan tugasnya. Binerisme tugas
dalam pembagian pengasuhan anak
terus menerus dijadikan landasan dalam
keluarga dan beredar dari masa ke
masa. Rich menyebutkan kolaborasi
yang digagas oleh Dinnerstein ini
sebagai patner setara yang membagi
tugas pengasuhan anak berdasarkan
aturan seksual, siapa yang harus
mengerjakan tugas maskulin dan siapa
yang harus mengerjakan tugas feminin.
Saya sepakat dengan solusi yang
ditawarkan oleh Prabasmoro (2006: 36)
bahwa tugas itu adalah merupakan
serangkaian pilihan siapa yang ingin
atau dapat mengerjakan apa, dan
bukannya siapa yang harus mengerjakan
apa. Artinya, tugas yang berkaitan
dengan keluarga, seperti memasak,
menidurkan anak, mengantar dan
menjemput anak ke sekolah dilakukan
atas pilihan yang diinginkan untuk
mengerjakannya, bukan sebuah
keharusan atau kewajiban.
Jika perempuan sebagai sumber
awal dalam pengasuhan anak dan
berperan dalam perkembangan psikologi
bagi anak laki-laki dan perempuannya,
hal ini tampak masuk akal bagi saya.
Seperti yang diistilah oleh Rich bahwa
perempuan mempunyai “double life”.
Namun, di beberapa tempat umum saya
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
3
sering menemukan beberapa laki-laki
yang sedang mengasuh, menggendong,
dan membawa tas perlengkapan untuk
anaknya. Hal ini juga yang disampaikan
oleh Rich bahwa peningkatan
pengasuhan anak oleh laki-laki dapat
meminimalisir antagonisme antara
binerisme seks, sedemikian sehingga
kuasa laki-laki yang menjadi sumber
ketidakseimbangan gender terhadap
perempuan dapat dikecilkan. Setidaknya,
konsep pengasuhan anak mencoba di
giring keluar dari wacana dominan,
sehingga antara laki-laki dan perempuan
yang berperan menjadi lebih fleksibel.
Oleh karena itu, jika heteroseksual yang
dijalani antara laki-laki dan perempuan
menerobos tatanan yang telah
distereotipekan dan berusaha
menemukan mekanisme yang lebih
nyaman, maka hubungan heteroseksual
tersebut dapat mengurangi opresi bagi
keduanya, terutama dalam perkawinan.
Lalu bagaimana dan mengapa relasi
heteroseksual tersebut di atur
berdasarkan ketentuan dan norma
tertentu terjadi?. Ketentuan yang
mengharuskan perempuan dan laki-laki
untuk melakukan segala sesuatu dengan
aturan, sehingga apabila keduanya tidak
melakukan hal tersebut akan mendapat
sanksi-sanksi sosial yang menjerat
mereka. Permasalahan inilah yang
menjadi kritik tajam oleh Rich dan Dyer.
Mereka tidak memprotes heteroseksual
itu sebagai “preference” atau “choose”
bagi laki-laki dan perempuan, melainkan
saat heteroseksual kemudian
dilembagakan atau sering disebut
dengan istilah heteronormativitas. Rich
menawarkan cara pandang yang
berbeda terhadap ketimpangan yang
terjadi pada heteroseksual. Baginya,
heteroseksualitas sebagai ketentuan
harus dicermati sebagai institusi politis
dan dipahami sesuai dengan konteks
dimana kita berada. Oleh karena itu,
menurut saya cara pandang ini ini dapat
membuka ruang dalam perspektif baru
bahwa apa yang dianggap atau diterima
oleh masyarakat selama ini, tidak
semata-mata sebagai sebuah takdir atau
alamiah, melainkan konsep ini dibangun
oleh konteks kultur dan sejarah yang
berlaku.
saling bekerja dan bertahan dalam
masyarakat. Pertama, perbedaan dalam
pemilihan pusat objek seksual. Artinya,
hubungan laki-laki dan perempuan selalu
di dasari pada objek seksual, yakni
gender, sedemikian sehingga perbedaan
gender itu terus menerus dierotisasi.
Sebagai contoh, dari pengalaman saya
dan pasangan saya memutuskan untuk
berkencan dengan sesama pasangan
lainnya atau sering diistilahkan sebagai
double date. Saat itu saya dan teman
perempuan saya sedang bersiap-siap
untuk pergi, saya memutuskan untuk
menggunakan pakaian yang lebih santai,
atasan kaos, jeans, dan sneakers,
sementara teman perempuan saya
memilih menggunakan rok, atasan yang
bermotif bunga dan juga menggunakan
sepatu berhak tinggi. Lalu teman
perempuan saya bertanya “kenapa
kamu menggunakan atasan kaos? kita
kan mau ngedate bareng pacar”.
Pertanyaan ini terus menerus mengusik
saya dan membuat saya berpikir ulang
untuk mengganti pakaian saya. Namun,
hal itu saya urungkan kembali, karena
saya merasa nyaman dengan style
seperti itu.
Di situasi berbeda, ketika pasangan
saya melihat padunan atasan kaos,
jeans, dan sneakers yang saya kenakan,
ia lalu memberikan satu argumen “kok
tumben hari ini boyish banget”.
Sepanjang situasi itu, pertanyaan “kok
tumben hari ini boyish banget” membuat
saya menanyakan kepada diri saya
sendiri, apakah ada yang salah dengan
tampilan saya?, apakah saya kelihatan
tidak seperti perempuan sesungguhnya
dan beda dari teman perempuan saya?
Apakah saya tidak diizinikan merasa
nyaman atas apa yang saya kenakan?
dan apakah setiap hari saya harus
dituntut untuk mengenakan pakaian
perempuan, sehingga tidak
diperbolehkan memakai pakaian yang
identik dengan laki-laki?.
Berdasarkan contoh ini, seperti yang
dikatakan oleh Dyer bahwa
heteroseksualitas selalu melibatkan
hubungan daya tarik antara laki-laki dan
perempuan, apapun jenis situasinya,
terutama selalu dibedakan hanya pada
satu kategori yaitu, gender (1997: 264).
Dalam tulisannya berjudul
Sedemikian sehingga, ketika saya yang
Heterosexuality (1997), Dyer mencoba
berjenis kelamin perempuan dan tidak
menganalisis lima karakteristik
berpenampilan feminin, maka gender
bagaimana mekanisme heteroseksual itu
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
4
saya terus menerus dierotisasi oleh
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
oleh sekeliling saya. Artinya,
heteroseksual menempatkan perempuan
yang sangat feminin dan laki-laki yang
sangat maskulin sebagai nilai tinggi,
sedangkan di luar wacana itu tidak di
nilai tinggi.
Kedua, mekanisme perbedaan
heteroseksual dikonseptualisasi sebagai
hal yang berlawanan. Dalam
heteroseksual, laki-laki dan perempuan
ditempatkan pada oposisi biner dalam
melakukan sesuatu yang dialamatkan
pada mereka. Misalnya, untuk dianggap
sebagai “perempuan” harus bersifat
lembut, lemah, penyayang, memelihara,
dan lainnya. Sedangkan untuk menjadi
“laki-laki” harus berani, gagah, kuat,
penyuka tantangan dan lainnya. Oleh
karena itu pada pola heteroseksualitas
menempatkan gender laki-laki di ranah
aktif dan perempuan di ranah pasif.
Misalnya, dari situasi yang saya ilustrasi
di atas, saya sebagai perempuan yang
bergender feminin dituntut oleh
lingkungan saya untuk menggunakan
atribut dan aksesoris perempuan setiap
hari──atasan bermotif bunga, kemeja
berwarna pink, rok, sepatu berhak tinggi,
lipstik, maskara dan lainnya. pada saat
yang bersamaan saya juga harus
menampilkan citra diri saya sebagai
orang yang sabar, pengasih, dan
penurut, sedemikian sehingga hal itu
yang mendefinisikan saya sebagai orang
yang heteroseksual yang normal. Akan
tetapi, ketika saya melawan,
menyimpang, dan tidak menggunakan
aksesoris dan atribut tersebut── atasan
kaos, jeans, dan sneakers, maka sanksisanksi sosial mempertanyakan gender
saya pun segera dialamatkan pada saya.
Begitu juga sebaliknya yang dialami oleh
laki-laki pada saat menggunakan atasan
berwarna pink. Oleh karena itu, Dyer
melihat bahwa binerisme merupakan
prinsip utama dalam heteroseksual,
ketika laki-laki dan perempuan dapat
saling melengkapi satu sama lainnya, ia
juga mengatakan pola seperti inilah
yang diterapkan dalam hubungan
homoseksual.
Jeffrey bahwa hasrat heteroseksualitas
selalu dierotisasi dengan
ketidakseimbangan kekuasaan.
Misalnya, gagasan untuk saling
melengkapi dalam perbedaan antara
laki-laki dan perempuan terus menerus
bertahan dan dipedomani dalam
kultural, sedemikian sehingga laki-laki
dan perempuan sudah tidak
mempermasalahkan posisi
ketidakseimbangan kekuasaan tersebut.
Hal ini dikarenakan bahwa gagasan
untuk saling melengkapi perbedaan
tersebut memberikan pleasure yang
tidak bisa didefinisikan. Akan tetapi, bagi
Dyer gagasan saling melengkapi dalam
perbedaan tidak selamanya dapat
bertahan dan memberikan pleasure
sepenuhnya. Saat laki-laki dan
perempuan menyadari identitas jenis
kelaminnya bahwa mereka tetap
dibedakan dan diposisikan sebagai
berlawanan.
Keempat, seksualitas hanya berguna
untuk menghasilkan keturunan. Secara
umum, tujuan dari hubungan coitus
dalam heteroseksualitas dimaknai
sebagai reproduksi untuk
mengembangkan spesies baru dan
melestarikan silsilah keluarga agar tidak
punah. Mekanisme ini terjalin terus
menerus dan selalu diingatkan melalui
pesan-pesan agama, tradisi serta sejarah
yang membuat heteroseksul berjalan
dan dilaksanakan. Masuk akal bagi saya,
ketika seksualitas digunakan sebagai
landasan untuk menghasilkan keturunan,
sedemikian sehingga hetersoeksual
menjadi dominan dan diasumsikan
sebagai yang paling benar. Akan tetapi,
jika seseorang memiliki kecenderungan
untuk menjadi homo, maka ideologi ini
akan menyadarkan mengurungkan
keinginan seseorang tersebut. Bahkan,
tidak hanya melalui agama dan tradisi
saja, pola ini juga dhadir dalam sebagai
pesan dalam iklan televisi, film, dan
media elektronik.
Kelima, praktik seksual adalah suatu
bentuk penegasan bahwa identitas
seorang dianggap normal. Bagi Dyer,
hasrat untuk diakui sebagai normal dan
tekanan dari lingkungan sekitar memiliki
Ketiga, perbedaan dalam
fungsi yang sangat kuat terhadap lakiketidakseimbangan kekuasaan telah
laki dan perempuan. Sebagai contoh,
memosisikan laki-laki di ranah dominan
ketika seseorang yang belum menikah di
dan perempuan di ranah subordinat. Pola
usia yang sudah cukup dewasa, ia
seperti ini didefinisikan oleh Sheila
diasumsikan tidak berada di wilayah
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
5
kenormalan, karena untuk dapat di akui
sebagai heteroseksual dan normal ia
harus memasuki dan menjalani
pernikahan. Tidak hanya itu, hal ini terus
menerus disanksikan oleh masyarakat
sekitar dengan berbagai pertanyaan
“kapan menikah? Kapan punya anak?
Kapan nambah momongan lagi?”.
Sedemikian sehingga praktik seksualitas
tersebut berperan besar dalam
membangun identitas seseorang dan
diterima oleh masyarakat sebagai yang
normal.
Berdasarkan dari lima karakteristik
yang telah dijabarkan oleh Dyer, asumsi
saya bahwa heteroseksualitas tidak
dibentuk oleh ideologi biologis,
kealamiahan, takdir dan tidak juga
berdiri sendiri tanpa konteks, melainkan
adanya peran kultur sangat kuat dalam
mempertahankan eksistensi
heteroseksual tersebut. Di lain pihak,
kultur membangun wacana dalam
menggiring orientasi manusia menuju
kebenaran. Heteroseksual yang normatif
ini juga akhirnya menyebabkan lahirnya
aturan-aturan yang bias dan seksis,
misalnya mengatur cara berpakaian
perempuan, diskriminasi, stereotipe,
stigmatisasi terhadap gender dan
identitas gender tertentu,
pengkriminalisasi orientasi seks dan
identitas gender diluar aturan
heterosentris. Permasalahan tersebut
tanpa disadari menjadi hegemoni yang
menyebabkan ketidakadilan pada suatu
kelompok dan menjadi landasan
sejumlah kritik yang dilontarkan oleh
kajian lesbian dan homoseksual.
feminis radikal kultural. Dari perspektif
feminis radikal libertarian menafsirkan
bahwa Koedt memberikan alasan kuat
bagi perempuan untuk hanya melibatkan
diri di dalam apa yang disebut sebagai
heteroseksualitas yang bukan
merupakan keharusan (Tong, 2010: 103)
Feminis radikal libertarian juga
menambahkan bahwa sebenarnya dalam
hubungan seksual perempuan tidak
bergantung pada tubuh laki-laki dalam
mencapai orgasme. Di samping itu,
perempuan tidak seharusnya terlibat di
dalam hubungan seksual dengan
seorang laki-laki, kecuali jika ia
menginginkannya.
Dari perspektif feminis radikal
libertarian ini sedikit membingungkan
bagi pemikiran saya yang notabennya
telah dibentuk oleh ideologi bahwa
ketika vagina dan penis merupakan
sumber puncak orgasme antara
perempuan dan laki-laki, sedemikian
sehingga saya tidak cukup pengetahuan
untuk mengeksplorasi hal tersebut.
Namun, masuk akal bagi saya bahwa
tidak hanya vagina yang menjadi titik
puncak orgasme perempuan, melainkan
juga stimulasi klitoris dalam hubungan
seksual. Oleh karena itu, apabila
stimulasi klitoris diposisikan sebagai
orgasme utama perempuan, maka
hubungan seksual tidak menjadi
keharusan dan tubuh laki-laki dapat
tersingkirkan secara seksual. Akan
tetapi, hal ini berpotens juga bagi
perempuan untuk memilih tubuh
perempuan dalam mencapai orgasme
tersebut sesuai dengan alasan
psikologis.
Beberapa esai provokatif yang ditulis
oleh sejumlah feminis radikal sering
Hal berbeda di sampaikan oleh
mensituasikan perempuan dan
perspektif feminis radikal-kultural
mempertanyakan bentuk-bentuk opresi
bahwa tidak ada alasan psikologis bagi
yang diterima oleh perempuan serta
perempuan untuk berhubungan seksual
memungkinkan terciptanya hubungan
dengan laki-laki, tidak ada alasan
lesbian antar perempuan. Dalam tulisan
psikologis feminis bagi seorang
Ann Koedt berjudul The Myth of the
perempuan untuk menginginkan
Vaginal Orgasm sebagaimana yang
berhubungan seksual dngan seorang
dijelaskan oleh Tong (2010: 103)
laki-laki (Tong, 2010: 103). Feminis
mengatakan bahwa banyak perempuan
radikal kultural percaya bahwa seorang
merasa yakin bahwa orgasme yang
feminis yang sesungguhnya, ia harus
mereka rasakan selama hubungan
menjadi lesbian. Dalam kerangka
seksual heteroseksual adalah berasal
heteroseksual sebagai kekuasaan, lakidari vagina, padahal yang lebih tepat
laki merupakan sumber utama yang
adalah mereka mengalami stimulasi
menyebabakn opresi dan kekerasan
pada klitoris. Pernyataan ini banyak
yang dialamatkan kepada perempuan,
menuai perdebatan baik dari kalangan
sehingga ini menjadi salatu satu alasan
feminis radikal libertarian maupun
perempuan memutuskan sebagai
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
6
lesbian. Oleh sebab itu, Rich
mengatakan bahwa lesbian existence
berpotensi membebaskan seluruh
perempuan.
3. Kesimpulan
Tong, R. P. (2010). Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran
Feminis (A. P. Prabasmoro,
Trans.). Yogyakarta: Jalasutra.
Berdasarkan pembahasan yang saya
uraikan di atas bahwa heteroseksual
yang selama ini dianggap sebagai takdir
dan biologis tidak sepenuhnya menjadi
kebenaran mutlak, akan tetapi hal itu
justru dibentuk oleh norma agama,
budaya, dan sejarah yang berperan
besar serta bertahan dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, penting
bagi kita untuk mencermati kembali
apakah selama ini menjadi sebuah
keharusan dan takdir ternyata
merupakan suatu produk yang dibentuk
oleh budaya sekitar. Tidak hanya itu,
pembedaan seks dan gender juga
merupakan cara kerja yang efektif
dalam memetakan opresi yang terjadi
pada perempuan dan lakilaki.Sedemikian sehingga heteroseksual
normatif juga akhirnya menyebabkan
lahirnya aturan-aturan yang bias dan
seksis, misalnya mengatur cara
berpakaian perempuan, diskriminasi,
stereotipe, stigmatisasi terhadap gender
dan identitas gender tertentu,
pengkriminalisasi orientasi seks dan
identitas gender diluar aturan
heterosentris.
4. Bibliograpghy
Dyer, Richard (1997). Heterosexuality in
Medhurst (Andy & Munt, Sally,
Editor.). Lesbian and Gay Studies:
A Critical Introduction.
Foucault, Michel.(2008). Ingin Tahu
Sejarah Seksualitas. (Hidayat.
Rahayu S, Trans). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Prabasmoro, A.P. (2006). Kajian Budaya
Feminis: Tubuh, Sastra, dan
Budaya Pop. Yogyakarta:
Jalasutra.
Rich, Adrienne. (2003). Compulsory
Heterosexuality and Lesbian
Existence. Journal of Women’s
History: Vol. 15. No. 3.
Gender, Seksualitas, dan Hegemoni Kebudayaan
7