TANPA ANTISIPATI PENGEMBANGAN PARIWISATA minat

TANPA ANTISIPATI, PENGEMBANGAN PARIWISATA PENUH POTENSI
BENCANA SOSIAL BAGI MASYARAKAT PACITAN
M. Fashihullisan

Kontributor Intelektual Muda NU
Email: fashihullisan1983@gmail.com

Ringkasan
Pariwisata merupakan aktivitas ekonomi yang cepat berkembang dan
menguntungkan bagi daerah-daerah destinasi wisata. Semua sektor ekonomi
bergerak, karena pariwisata adalah cara motivasi yang paling mudah bagi orang
dari daerah lain untuk membelanjakan uang lebihnya pada daerah destinasi
wisata. Godaan keuntungan ekonomi inilah yang menjadikan semua daerah
berlomba-lomba menjadikan daerahnya destinasi wisata yang ungul dan
menarik agar menjadi tujuan utama para wisatawan.
Kue manis pariwisata ternyata menyimpan racun berbahaya bagi
kehidupan sosial masyarakat. Migrasi, konsumerisme, perubahan nilai dan
kelembagaan sosial, prostitusi, penularan penyakit seks menular dan berbagai
macam masalah sosial lainnya merupakan segudang masalah dibalik glamoritas
pariwisata. Pemerintah daerah dan segenap masyarakat harus melakukan
langkah-langkah antisipatif agar legitnya pariwisata tidak berubah menjadi

bencana sosial yang sulit untuk diobati.

Pendahuluan
Pacitan merupakan daerah yang mayoritas masyarakatnya masih pedesaan dan agraris
sehingga sebagian besar penduduknya bertempat tinggal di pedesaan. Kondisi pedesaan juga
menjadikan masyarakat Pacitan sebagian besar berprofesi sebagai petani. Hanya sebagian
kecil masyarakat Pacitan yang berprofesi lain dan tinggal di perkotaan, sehingga warna sosial
pedesaan Pacitan cukup dominan.
Hayami dan Kikuchi (1987), mendefinisikan kehidupan masyarakat pedesaan sebagai
kehidupan yang penuh kebersamaan di suatu lokasi yang sama dengan ikatan kekerabatan
dan kerjasama yang kuat agar terjamin keamanan hidup dan kelangsungan hidupnya.
Masyarakat di Pacitan juga menunjukkan hal yang serupa karena mayoritas tinggal di tempat

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

yang sama yaitu pedesaan. Kekerabatan masyarakat Pacitan juga cukup tinggi karena mereka
harus sama-sama bekerjasama agar terjamin keamanan hidup dan kelangsungan hidupnya.
Sisi lain dari Pacitan yang merupakan daerah agraris pedesaan, Pacitan terkenal
dengan daerah seribu goa. Salah satu goa yaitu Goa Gong cukup terkenal tidak hanya di tingkat
nasional bahkan telah dikenal di tingkat international. Hal ini menjadi magnet bagi pariwisata

baik di tingkat nasional bahkan di tingkat global.
Selain keberadaan banyak goa indah di Pacitan, sebagai daerah yang berada langsung
menghadap ke pantai selatan Jawa dan juga Samodra Hindia, Pacitan memiliki pesona pantaipantai yang Indah. Pantai Soge, Watu Karung, Klayar, Pidaan, Teleng Ria dan spot-spot yang
lain menawarkan pesona keindahan, dengan karang-karang, pasir putih dan juga ombak yang
menggunung tinggi. Wisata pantai inilah yang menjadi magnet kuat bagi datangnya turis-turis
asing di Pacitan.
Kedatangan turis asing tersebut menjadikan munculnya kegiatan positif baru yaitu
selancar sehingga akhirnya mereka banyak yang menjadi bertempat tinggal cukup lama di
Pacitan. Aktivitas selancar juga mulai dilakukan oleh orang-orang lokal Pacitan dengan
pelatihan dari para turis tersebut. Hal iniliah yang menjadikan interaksi sosial yang cukup
intens di Pacitan, antara penduduk lokal Pacitan dan para turis.
Intensitas interaksi yang cukup tinggi antara turis asing dengan penduduk juga
disinyalir banyak yang akhirnya berpasangan dengan orang lokal, baik sampai pada ikatan
pernikahan maupun hanya pasangan tidak formal. Persinggungan yang cukup intens antara
turis asing dengan penduduk lokal inilah yang tentu akan berpengaruh pada pergeseranpergeseran dan perubahan sosial di Pacitan. Turis asing yang merupakan seseorang yang
sedang berwisata atau liburan tentu saja berbeda perilakunya dengan penduduk lokal. Turis
asing yang sedang libur ini akan membawa budaya konsumerisme dan juga budaya barat yang
dibawa dari negeri asalnya. Seks bebas, pergaulan bebas, individualisme merupakan salah
satu budaya yang banyak mereka anut dan tentu saja akan berpengaruh dengan perilaku
penduduk lokal Pacitan.

Selain interaksi dengan wisatawan dan turis asing, Pacitan sebagai daerah wisata juga
akhirnya memenuhi tuntutan wisata dalam penyediaan fasilitas seperti warung makan,
tempat-tempat hiburan dan hotel. Kondisi ini berdampak pada perubahan budaya dan
JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

perubahan ekonomi baru di Pacitan. Inilah yang kemudian juga menjadikan perubahan
struktur sosial, struktur ekonomi, dan juga perubahan kelas sosial. Ini yang menjadikan adanya
pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain juga berpotensi memunculkan konflik sosial.
Pacitan sebagai destinasi wisata baru tentu saja akan menyerap banyak tenaga kerja
baru di sektor hiburan dan pariwisata. Inilah yang kemudian menarik minat bagi pendatang
dari daerah lain untuk datang ke Pacitan. Peluang menjadi pekerja karaoke, wanita panggilan,
pedagang narkoba dan beberapa bentuk pekerjaan lain yang dianggap menguntungkan dalam
bisnis pariwisata. Sebagai pendatang yang intens di dunia hiburan dan pariwisata, serta tidak
ada beban sosial karena bukan penduduk asli, tentu saja nampak di permukaan membawa
juga budaya negatif seperti kebebasan berbusana, seks bebas, hura-hura, mabuk-mabukan,
dan hal lain yang nampak secara kasat mata. Ini akan membawa dampak yang cukup besar,
karena justru banyak penduduk asli Pacitan terutama remaja yang akhirnya ikut-ikutan.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Pariwisata yang semula diharapkan bagi
Pacitan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, justru berdampak sosial yang cukup besar dan
akan menjadikan beban ekonomi di kemudian hari. Bencana sosial akibat pergeseran sosial

yang mengarah ke hal negatif tentu saja sulit untuk disembuhkan dan beberapa dampaknya
justru menjadikan masyarakat terpuruk. Pariwisata yang semula disajikan untuk pengunjung
pada sangat berpotensi untuk dinikmati oleh penduduk asli Pacitan, sehingga hal ini
berdampak pada penurunan SDM karena rendahnya motivasi pendidikan, dan hal-hal lain
yang perlu diantisapasi. Oleh karena itulah diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum
pariwisata justru berubah menjadi bencana.

Diferensiasi Struktural Institusi Keluarga
Desa yang digambarkan sebagai gambaran kehidupan keluarga yang saling
berinteraksi, berkerabat dan bekerjasama oleh Hayami dan Kikuchi (1987), ternyata oleh
Popki

1

, dijelaska

e ga du g ko sekue si ada ya pe duduk se agai i sider” dan

outsider atau ora g luar. Inilah tatanan dalam desa yang masih alami dan sederhana
sebagaimana di mayoritas desa di Pacitan. Batas yang jelas antara insider dan out sider inilah

yang merupakan utama cermin dari tata nilai yang mapan dari suatu desa, termasuk juga tata
nilai dan kelembagaan keluarga.
JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

Desa sebagai satu kesatuan yang mewadahi insider, maka akan terjadi kesadaran
komunal diantara mereka untuk saling mendukung. Masalah bagi seseorang atau suatu
keluarga akan direspon oleh seluruh penduduk desa secara komunal dengan cara saling
mendukung dan menawarkan solusinya. Oleh karena itulah desa-desa secara komunal bisanya
memiliki aturan lokal yang akan ikut mengantisipasi terjadinya kegagalan keluarga inti dalam
pengelolaan keluarga. Popkin (1986), melihat ini sebagai manajamen komunal dalam bentuk
partisipasi sistematis yang kolektif.
Sebagai contoh saat salah seorang anggota keluarga mengalami penyimpangan sosial,
misalnya melalui perselingkuhan maka masyarakat desa secara bersama-sama akan
mengantisipasi dengan mulai melakukan pengendalian sosial dan pada saat pengendalian
sosial tersebut tidak lagi efektif segera melakukan sanksi sosial. Pengendalian sosial itu
biasanya dalam bentuk cemooh, pergunjingan atau nasehat, sedangkan sanksi sosial biasanya
dengan penggerebekan, pengasingan atau denda-denda. Inilah yang seringkali bermanfaat
bagi anggota keluarga inti untuk mengelola keluarga intinya untuk tidak mengalami kegagalan.
Suatu daerah yang berubah menjadi daerah wisata akan menjadi tidak terlalu jelas
batas antara insider dan out sider. Batas ini mulai luruh, karena penduduk asli harus berbagi

ruang hidup dengan pendatang, karena tanpa berbagi tentunya pariwisata tidak akan mampu
bekerja. Hal inilah yang menjadikan pergeseran yang luar biasa dalam kehidupan penduduk
pedesaan di Pacitan terutama dalam ikatan kekerabatan luas masyarakat sebagai penduduk
desa atau insider.
Lembaga keluarga akhirnya merampingkan diri, dari yang semula merupakan keluarga
besar, yaitu keluarga-keluarga di dalam desa yang saling berkerabata dan saling mendukung
menjadi unit keluarga mandiri. Kehancuran kekerabatan besar inilah yang kemudian
menjadikan keluarga inti harus membuat pemisah yang jelas dengan keluarga lain. Pergeseran
lembaga keluarga baru di pedesaan ini berdampak besar pada daya tahan mereka terhadap
hal-hal baru.
Suatu desa tradisional akan dijumpai kepedulian antar keluarga untuk saling menjaga,
karena mereka masih beranggapan sebagai kerabat besar. Transformasi menjadi keluarga
kecil inilah yang menjadikan masing-masing keluarga harus berjuang secara mandiri, karena
sudah sulit untuk berharap dukungan dari keluarga lain. Perubahan lembaga keluarga ini
JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

disampaikan oleh Suwarsono dan Y. So ( 1991) sebagai gejala differensiasi struktural institusi
keluarga.
Perubahan inilah yang menjadikan belum siapnya banyak keluarga di pedesaan
Pacitan, apalagi perkembangan pariwisata yang massif dengan cepat memporak-porandakan

tatanan kehidupan pedesaan dengan cepat termasuk juga cepatnya terjadi gejala differensiasi
struktural institusi keluarga. Banyak keluarga yang sebetulnya masih memerlukan dukungan
dari kerabat untuk membantu pengelolaan keluaga inti mereka, tetapi ternyata dukungan
komunal sudah tidak tersedia lagi. Masing-masing keluarga sudah berkonsentrasi pada diri
mereka sendiri sehingga tidak ada lagi kesadaran saling dukung secara komunal di masyarakat
desa.
Bagi keluarga yang sudah memiliki kesiapan infrastuktur maupun suprastruktur
kehidupan, misalnya pada keluarga yang sudah terdidik, mapan secara ekonomi menjadi hal
yang tidak terlalu bermasalah. Akan tetapi pada keluarga yang belum siap, mereka akhirnya
tidak mampu mengendalikan perilaku anggota keluarga utamanya ataupun anak-anak dalam
keluarga. Kondisi yang demikian biasanya menjadikan disharmoni dalam keluarga, perceraian
atau munculnya anak-anak yang menyimpang atau bahkan anak-anak terlantar. Benteng
pertahanan keluarga sudah tidak lagi mampu menjaga anggota keluarga untuk loncat pagar
sehingga tidak lagi selaras dengan kehidupan keluarga yang diharapkan.
Gejala ini salah satunya terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Fashihullisan dan
Martini (2014), dalam penelitian mengenai seks bebas pada remaja di Pacitan. Penelitian
tersebut memperlihatkan bahwa orang tua di Pacitan terlihat mulai tidak mampu
mengendalikan anaknya sehingga menjadi berperilaku seks bebas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketersediaan menjamurnya fasilitas hotel sebagai konsekuensi Pacitan
sebagai daerah wisata menjadi gempuran nyata bagi keluarga untuk menjaga anaknya dari

perilaku seks bebas. Sementara di sisi yang lain, masyarakat secara umum sudah tidak lagi
peduli dengan perilaku remaja yang melakukan seks bebas, sebagai akibat rusaknya
komunalisme desa akibat gejala diferensiasi struktural keluarga.
Penelitian yang dilakukan Fashihullisan ini kemungkinan hanya puncak dari gunung es
dari banyaknya akibat dari gejala diferensisasi struktural keluarga akibat dampak dari
perkembagnan pariwisata di Pacitan. Narkoba, prostitusi, penularan HIV/AIDS merupakan
JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

masalah-masalah lain yang terus menghantui dari gejala ini. Meskipun belum tersaji data
empiris secara nyata, kita bisa merasakan mayoritas keluarga inti di Pacitan belum siap
berhadapan langsung dengan fenomena-fenomena ini diantara gejala melemahnya
komunalisme desa tradisional.
Gejala ini sebuah keniscayaan untuk dihentikan, karena cepat atau lambat juga akan
terjadi. Hanya saja pariwisata membawa energi percepatan bagi gejala ini, sehingga
diperlukan langkah solutif untuk melakukan penanganan. Hal utama yang harus dilakukan
adalah keluarga-keluarga inti harus mulai dikuatkan untuk menghadapi faktor eksternal yang
masif tersebut, sehingga mampu menghadapi perubahan dengan mandiri. Mereka harus
segera disadarkan bahwa daya dukung komunal dari desa tradisional sudah hilang, sehingga
tidak ada pilihan lain untuk menjaga anggota keluarga ini secara mandiri agar tidak terjadi
kegagalan. Penyadaran ini harus dilakukan secara bersama-sama oleh pemangku kepentingan

di Pacitan, mulai dari tokoh masyarakat, sekolah, akademisi, peneliti, pemerintah daerah,
aparat keamanan, ormas, mahasiswa dan lembaga-lembaga lain yang memiliki otoritas dan
kekuatan untuk melakukan penyadaran dan dukungan.
Keluarga sebagai suatu lembaga sosial sebagaimana definisi dari Miller (2010),
institutions are used to refer to a miscellany of social forms, including conventions, rituals,
orga izatio s, a d syste s of orga izatio s”. Dari definisi tersebut maka penguatan lembaga
keluarga harus dilakukan pada penguatan keorganisasian keluarga inti melalui penguatan
formulasi sosial, kesepatakan-kesepakatan maupun ritual-ritual dalam keluarga. Hal ini tentu saja
sulit dilakukan apabila di Pacitan masih terdapat gejal pernikahan dini sebagaimana yang masih
sering terjadi akibat tradisionalisme atau pernikahan dini dari akibat seks bebas pada remaja.

Transformasi menuju Daerah Kapitalis
A i

1

, dala

tulisa


ya ya g erjudul Unequal Development: An Essay on the

Social Formation of Peripheral Capitalisme,
kapitalis e pi ggira . Tulisa i i

e ya paika teori te ta g teori peraliha

e ya paika gagasa

ahwa peru aha gencar dan

radikal dari masyarakat pra kapitalisme menuju masyaakat kapitalisme berdampak pada
kemunduran. Industri rumahan yang diusahakan oleh masyarakat kecil digantikan oleh indusri
besar yang memiliki kekuatan modal.
JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

Gejala ini tentu saja dapat dengan cepat terjadi di Pacitan melalui lokomotif
pariwisata-nisasi. Pariwisata yang semula berjalan secara tradisional dan kurang menarik bagi
investor menjadi menarik untuk dikembangkan karena menjanjikan keuntungan yang berlipat.
Pemodal melakukan segala cara untuk mengambil alih potensi-potensi keuntungan pariwisata

dan dengan cepat terjadi gejala penurunan partisipasi dan peminggiran masyarakat lokal pada
pariwisata.
Fenomena ini sudah mulai nampak gejala awalnya dengan kemunculan-kemunculan
pemilik kapital dari daerah lain atau bahkan dari orang asing yang menamkan modalnya di
sektor pariwisata di Pacitan. Pembelian tanah di sekitar obyek-obyek wisata dilakukan oleh
para pemodal, sehingga penduduk lokal Pacitan mulai tidak memiliki sumberdaya untuk ikut
berpartisipasi dan berkontribusi dalam perkembangan pariwisata di Pacitan. Perusahaan
global juga sudah ada yang mulai ikut menikmati pengelolaan pariwisata di Pacitan, sehingga
tidak ada lagi partisipasi dari masyarakat lokal Pacitan.
Masyarakat Pacitan sangat berpotensi hanya sekedar penonton dalam industri besar
pariwisata di Pacitan. Pengalaman yang masih terbatas dalam kewirausahaan di sektor
pariwisata menjadikan mereka hanya berada di pinggiran, sedangkan keuntungankeuntungan besar dari Pariwisata diboyong keluar dari Pacitan. Inilah lingkaran setan yang
kemungkinan akan dihadapi oleh masyarakat Pacitan, karena pada satu sisi faktor finansial
sangat berpengaruh pada pengembangan sumberdaya manusia akan tetapi pada sisi lain
akses finansial sulit untuk didapatkan karena adanya dominasi ekonomi oleh aktor-aktor di
luar Pacitan.
Penjelasan dalam istilah yang kasar, penduduk lokal hanya mendapatkan tetesan dari
pariwisata sehingga mereka menjadi buruh di daerah mereka sendiri sehingga tidak mampu
melepaskan diri dari ekonomi kapitalistik yang hegemonik pada pengelolaan Pariwisata.
Apabila ini terus terjadi maka akan mendorong mereka untuk terjebak dalam trafficking,
prostitusi, dan juga under capacity yang juga seringkali kita jumpai di sejumlah daerah-daerah
wisata, sehingga akan berdampak panjang bagi kehidupan masyarakat Pacitan.
Solusi dari masalah tersebut adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat di
sektor pariwisata. Pemberdayaan tersebut bertujuan agar terjadi peningkatan kapasitas
masyarakat sehingga semua lapisan masyarakat mengalami kemberdayaan ekonomi dan
JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

pemerintah daerah dapat juga mengambil manfaat dari pertumbuhan ekonomi masyarakat
Pacitan. Pemberdayaan sebagaimana teori dari Ife (2002) memiliki beberapa prinsip
diantaranya adalah: prinsip ekologis, prinsip keadilan sosial, prinsip kelokalan, prinsip
berorientasi proses, dan prinsip hubungan global-lokal.
Prinsip-prinsip pemberdayaan dalam pariwisata di Pacitan ini harus mampu diterapkan
oleh semua pemangku kepentingan, utamanya pemerintah daerah yang memiliki otoritas
dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata di Pacitan. Kelima prinsip ini harus mampu
ditegakkan dalam semua regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Begitu juga
kelima prinsip ini menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan
keberdayaan seluruh masyarakat Pacitan dalam sektor pariwisata.

Kesimpulan
Glamoritas pariwisata merupakan jalan pintas bagi daerah untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi sebagaimana juga di Pacitan. Pariwisata telah menyebabkan
perubahan yang sangat cepat dalam banyak hal sehingga diperlukan langkah-langkah
antisipasi. Tidak adanya antisipasi atau kegagalan antisipasi berdampak besar pada bencana
sosial yang sulit untuk disembuhkan dan berdimensi jangka panjang.
Terdapat dua aspek yang penting untuk dilakukan langkah antisipasi dalam
perkembangan pariwisata yang sangat cepat yaitu pada titik pangkal pergeseran struktur
institusi keluarga dan perubahan menuju daerah apitalistik. Kedua hal tersebut membawa
dampak ya g ukup esar sehi gga aka

e awarka dua piliha yaitu restrukturalisasi

atau destrukturalisasi . I ilah piliha ya g harus diperhitu gka oleh se ua pe a gku
kepentingan apabila suatu daerah berkembang menjadi daerah Pacitan, sebagaimana yang
terjadi juga di Pacitan.

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

Daftar Pustaka
Amin, Samir. 1976. Unequal Development: An Essay on the Social Formation of Peripheral
Capitalism. Monthly Review Press. New York.
Fashihullisan, M. & Martini. 2014. Model Pemberdayaan dalam Penanggulangan Perilaku Seks
Bebas Pelajar di Pacitan. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 6, No. 2, Desember 2014. Hal.
994-1004.
Hayami, Yujiro & Kikuchi, Masao. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi
Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ife, Jim. 2002. Community Development: Community-based Alternatives in Age of
Globalisation. Longman. Australia.
Miller, S. 2010. The Moral Foundation of Social Institutions A Philosophical Study. Cambridge
University Press. UK.
Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri.
Jakarta.
Suwarsono & Y So, Alvin. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia: Teori-teori
Modernisasi Dependensi dan Sistem Dunia. LP3ES. Jakarta.

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017