IDENTIFIKASI KESENJANGAN DIGITAL DI INDONESIA_kopertis4

  

IDENTIFIKASI KESENJANGAN DIGITAL DI INDONESIA DAN

SOLUSINYA UNTUK KEMAJUAN PEREKONOMIAN BANGSA

  Miftah Andriansyah, Universitas Gunadarma

  Jl. Margonda Raya No. 100 16424, Depok, Indonesia

  ABSTRAK

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) yang sedemikian cepat, telah banyak

mempengaruhi dan menjangkau banyak bidang, tidak terkecuali bidang ekonomi yang sekaligus menjadi tujuan

dari perkembangan TIK itu sendiri. Ekonomi digital yang salah satu tujuan utamanya yaitu menintegrasikan

aspek-aspek yang menyangkut aktivitas perekonomian suatu negara menjadi lebih solid, transparan, efektif dan

efisien, perlu menjadi perhatian yang serius bagi setiap negara yang mau tak mau, cepat atau lambat akan

berevolusi menuju globalisasi. Perkembangan TIK khususnya ekonomi digital sepertinya masih ‘jalan di tempat’

perlu dilakukan eksplorasi terhadap kendala, peluang dan solusinya bagi setiap pihak yang terlibat TIK, baik pemerintah, komunitas penggiat dan pengguna TI dan pihak akademik dan pengusaha TIK, masyarakat keseluruhan. Tulisan ini mencoba memaparkan kendala, peluang dan solusi bagi serta model-model ekonomi yang dapat menjadi referensi pengembangan ekonomi digital di dunia khususnya di negara berkembang. Kata kunci: ekonomi digital, negara berkembang, model ekonomi

  A. PENDAHULUAN

  Perkembangan TIK yang sedemikian cepat, telah banyak mempengaruhi dan menjangkau banyak bidang, tidak terkecuali bidang ekonomi yang sekaligus menjadi tujuan dari perkembangan TIK itu sendiri. Selain itu tekanan kompetisi global mendorong pemerintah negara maju dan berkembang untuk dapat mengeksplorasi maksud dan tujuan dari penggunaan teknologi informasi terbaru di bidang jarinangan untuk mencapai keuntungan ekonomi dan sosial. Ekonomi yang merupakan salah satu bidang krusial yang akan mempengaruhi bidang-bidang lain akan selalu berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan TIK. Bukti dari laporan kebijakkan negara-negara selama dekade belakangan ini menunjukkan bahwa banyak negara telah memanfaatkan kesempatan baru yang ditawarkan Internet dan e-commerce (Analysys 2000) . Diprediksikan pada akhir tahun 2005, lebih dari 2 milyar orang akan terhubung alat komunikasi bergerak (mobile communication devices) seperti handphone dengan koneksi Internet, Notebook, pda (personel digital assistan), dll (Kirkman et al. 2001).

  Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk nomor lima di dunia, dan dengan kondisi geografis yang kepulauan dan banyaknya pegunungan, mempunyai potensi yang sangat besar dalam bidang ekonomi terutama dalam ekonomi digital. Hal tesebut dikarenakan biaya transportasi yang merupakan salah satu biaya yang cukup signifikan (mahal, pen.) dalam perhitungan biaya produksi.

  Faktor lainnya yaitu, sebagai negara yang baru mengalami euphoria demokrasi, transparansi dalam segala hal (administrasi, keuangan, dll. pen), ekonomi digital merupakan hal yang cukup signifikan untuk dilakukan dalam rangka untuk meminimalisasi dan atau menghindari kemungkinan negative yang dapat terjadi dalam hal-hal tersebut (mark-up biaya projek, overhead cost biaya pengurusan administrasi, percaloan, dll)

  Ekonomi digital adalah suatu usaha mendigitalisasi usaha-usaha yang terkait dengan perekonomian, produksi dan non-produksi (administrasi, pen.) dengan media komputer yang terkoneksi jaringan (intranet atau Internet), sedemikian hingga public dapat melihat arus, proses dan prosedur yang harus dilalui atau yang terjadi. Dengan demikian segala macam biaya yang keluar sebagai ongkos pruduksi dapat dikalkulasi dan diprediksi dengan jelas dan terukur sehingga tidak ada pihak – pihak (publik, pengusaha, dan pemerintah) yang dianaktirikan. Tulisan ini bertujuan memberikan masukkan mengenai langkah-langkah untuk digitalisasi ekonomi dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi aktivitas usaha di negar berkembang.

  B. INFORMASI DAN NILAI EKONOMI

  B.1. Kesenjangan Informasi dan kendala lainnya Dalam zaman Internet ini, berkembang istilah “kesenjangan informasi” atau “digital divide” yaitu adanya jarak antara individu satu dengan yang lainnya di dalam suatu komunitas dalam hal mendapatkan akses, kemampuan dan keahlian dan sumber daya dalam memanfaatkan teknologi digital/komputer dan informasi.

  Apabila dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika, Jepang, maupun tetangga dekat seperti Korea, Malaysia, Indonesia mempunyai kesenjangan informasi yang sangat jauh. Tahun 1997, akses elektronik Amerika meningkat sebesar 93.8 persen untuk penggunaan layanan telepon rumah tangga, 36.6 persen dilengkapi dengan

  personal computer, 26.3 persen terkoneksi dengan Internet. Bandingkan dengan Indonesia, dengan populasi

  penduduk mencapai 200 juta jiwa, penetrasi telepon hanya 3%- 4% total jumlah penduduk, sedangkan untuk akses Internet, Asosiasi Pengusaha Jasa Internet (APJII) akan tercapai peningkatan pelanggan sekitar 1 juta orang pada 2002, dengan asumsi kenaikan sekitar 72,12% dari 581 orang pada 2001. Tetapi tampaknya telah merevisi prediksi tersebut dengan menyatakan bahwa jumlah pelanggan Internet pada 2002 akan stagnan atau seperti tahun sebelumnya. Ditambah lagi semenjak krisis ekonomi di Asia tahun 1997 dan tambahan bencana alam yang terus menerus semakin menurunkan daya beli masyrakat terhadap barang atau layanan tertentu termasuk poduk komputer dan telekomunikasi. Sehingga semakin memperlebar kesenjangan informasi. Hal tersebut, bukannya dibiarkan saja, ada usaha yang dilakukan oleh komunitas telematika termasuk pemerintah, antara lain; program IGOS (Indonesia Goes Open Source) untuk menggunakan produk telematika yang murah bahkan gratis, program komputer murah oleh beberapa vendor perangkat komputer, usaha warung internet oleh beberapa pengusaha. Namun usaha tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat (a long an winding road) dan membutuhkan usaha yang keras dan keseriusan dari semua pihak, terutama pemerintah sebagai regulator dan aplikator (dengan kementerian Komunkasi dan Informasi dan provider TELKOM dan INDOSAT) untuk lebih dapat memaksimalkan kemampuan teknologi dan meminimalkan biaya komunikasi.

  Terhubung Internet (juta) Persentase Global Persentase dari Populasi Global

  Kanada dan USA 94.0 56.6% 5.1% Eropa

  40.1

  23.4

  13.7 Asia-Pasifik

  27.0

  15.8

  56.2 Amerika Latin

  5.3

  3.1

  8.4 Afrika

  1.1

  0.6

  12.9 Timur Tengah

  0.9

  0.5

  3.6 Tabel B.1: Akses Internet berdasarkan Wilayah, Juni 1994 B.2. Nilai Ekonomi

  Dunia sekarang yang berbeda dengan dunia beberapa dekade sebelumnya, yang hampir tidak mengenal batas-batas negara, geografis, dll. Hampir seluruhnya (kota-kota besar) terhubung dengan Internet dan layanan jaringan lainnya. Kemajuan teknologi dibidang hardware dan software, dari yang stand alone dan wired, menjadi mobile dan wireless, telah merubah dengan signifikan tatanan kehidupan baik ekonimi, politik hingga personel/individu (privacy, pen.). Nilai ekonomi yang begitu besar dari populasi penduduk dan sumber daya alam yang berlimpah, ekonomi digital merupakan peluang yang besar yang tidak bisa ditunda-tunda lagi untuk dikerjakan oleh bangsa ini, sebelum bangsa lain turut serta memakan ‘kue’ yang besar ini dalam globalisasi mendatang. Selain itu digital ekonomi bertujuan menjadikan biaya non teknis menjadi minimal dalam perhitungan biaya produksi. Sebagai contoh yang mungkin harus dilakukan oleh banyak institusi baik pemerintah ataupun swasta yaitu e- goverment dan turunannya, e-learning, e-commerce dan turunan seperti e-procurement, e-loan, e-marketing, dan lain sebagainya. Untuk e-commerce saja, menurut estimasi eMarketer Inc (penyedia data statistik bisnis yang berbasis di New York), revenue dari sektor e-commerce khusus untuk kawasan Asia-Pasifik saja akan membumbung tinggi, dari US$ 76,8 miliar pada akhir tahun 2001 lalu menjadi US$ 338,5 miliar di akhir 2004. Sektor business-to-business (B2B) merupakan penyumbang terbesar, dengan estimasi sekitar US$ 300,5 miliar.

  Sedangkan sektor business-to-customer (b2c) memiliki andil sebesar US$ 38 miliar. Estimasi tersebut didasarkan pula pada pertumbuhan jumlah pengguna Internet yang terus tumbuh. Pada akhir 2002, jumlah pengguna Internet di negara kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai 181,5 juta orang. Sedangkan nanti pada tutup tahun 2004, diperkirakan angka tersebut akan meningkat drastis menjadi 235,8 orang.

  Berangkat dari angka optimistik yang dilansir pada September 2002 tersebut, maka kawasan Asia Pasifik merupakan pangsa pasar terbesar industri e-commerce dunia. Jepang, Cina dan Korea Selatan adalah tiga negara terbesar jumlah pengguna Internetnya. Hal tersebut tidak mengherankan, berdasarkan data International Telecommunication Union (ITU) dan International Data Base (IDB) US Census Bureau yang dilansir pada 2002, tingkat penetrasi Internet di Korea Selatan yang berpenduduk sekitar 47 juta jiwa tersebut adalah 51,1% (sekitar 24 juta pengguna).

  Cina, meskipun penetrasi Internetnya hanya 2,6%, tetapi kuantitasnya menjadi besar karena jumlah penduduk Cina mencapai 1,2 miliar jiwa (lebih dari 31,2 juta pengguna). Sedangkan Jepang, dengan jumlah penduduk sekitar 127 juta jiwa, jumlah pengguna Internetnya mencapai 45,5% (sekitar 57,78 juta pengguna). Walaupun dibandingkan dengan Indonesia cukup jauh, yang berpenduduk lebih dari 231 juta jiwa dengan penetrasi Internet 1,9% (sekitar 4,38 juta pengguna), namun hal tersebut tidaklah terlalu siginifiakan apabila kondisi ekonomi dan keamanan terus membaik dan dengan pertumbuhan pengguna telpon seluler (ponsel) lebih dari 25 juta orang, yang berarti hanya 10 persen saja dari 220 juta jumlah penduduk, namun cukup besar jika Dengan asumsi di atas maka porsi kue telematika yang didapat sangatlah menjanjikan bagi Indonesia. Hal tersebut belum ditambah permintaan akan digital goods (cd player, mp3 player, dll) yang diyakini akan mengalami peningkatan untuk beberapa tahun ke depan.

  C. TAHAPAN IDENTIFIKASI, KENDALA, SOLUSI DAN PELUANG EKONOMI DIGITAL Dengan perkembangan yang sedemikian hebatnya, terdapat nilai ekonomi yang besar dan dapat dieksplorasi dan dimanfaatkan dengan maksimal untuk segala aktivitas kehidupan terutama aktivitas perekonomian. Namun untuk mendapatkan nilai ekonomis yang tinggi, diperlukan langkah-langkah yang jelas dan terukur baik teknis maupun non-teknis agar ekonomi digital berjalan dengan efektif.

  C.1. Langkah non-teknis. Langkah non-teknis dibahas terlebih dahulu, karena merupakan instrument yang penting dalam pengembangan telematika, diantarannya regulasi, dan edukasi (e-literacy). Kedua hal ini memerlukan perhatian yang khusus, karenanya akan menetapkan kebijakkan yang mantap dan mapan dan menjaga kelangsungan dan ketersedian sumber daya yang kontinu dan kompeten di bidangnya.

  C.1.1. Regulasi Sebagai negara yang sedang mengalamai euphoria demokrasi, kebijakan merupakan hal yang penting, tanpa adanya regulasi yang jelas, ‘permainan’ di telematika akan semakin bias. Regulasi sebagai setting dan

  starting point dalam menentukan arah dan visi telematika perlu diteguhkan sejak awal, untuk menghindari perubahan-perubahan prinsipal dikemudian hari (ganti pemerintah ganti kebijakan, pen.).

  Pemerintah seakan terperangah melihat transformasi sektor telekomunikasi yang sedemikian cepat. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan liberasi pasar menyebabkan peralihan peran, sehingga sudah saatnya swastalah yang memimpin. Lebih lagi, sejak krisis multidimensi yang menerpa Indonesia, pemerintah jelas semakin tak berdaya. UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi merupakan artikulasi proses liberalisasi sektor telekomunikasi maupun industri terkait lainnya, termasuk industri internet dan multimedia. Regulasi, bagaimanapun juga masih dipandang sebagai penyembuh dari segala bentuk market failure. Namun bagaimana jika regulasi inilah yang menjadi suatu regulasi yang gagal, bak seorang dokter yang sedang sakit?

  Setidaknya dalam pengalaman di Indonesia, ada dua penyebab kegagalan regulasi ini. Pertama, pihak yang menjadi sasaran regulasi memiliki posisi yang lebih menguntungkan. Misalnya, dalam hal pengaruh politis dan ketersediaan informasi. Hal ini dapat menyebabkan regulator dengan mudah dimanipulasi atau bahkan dipengaruhi oleh hasil lobi pada tingkatan pemerintah yang lebih tinggi di mana kebijakan berasal.

  Alasan kedua, kegagalan suatu regulasi dapat disebabkan pada kenyataan pihak regulator bukanlah suatu institusi yang sempurna. Kita sering lupa, saat membentuk suatu lembaga regulasi, kita memberikan tanggung jawab dan kewenangan. Hal ini berpotensi ke arah regulator yang bersifat autocratic sebagai suatu resiko dikarenakan adanya kekuasaan yang terkonsentrasi pada suatu lembaga saja.

  Tidaklah mengherankan jika kebijakkan publik lebih ditujukan melindungi produsen dibandingkan tarif yang berfokus pada cost base price. Hasilnya, masalah tarif seringkali menjadi komoditas tarik-tambang antar pemerintah dan DPR. Biasanya, diperoleh suatu jalan tengah yang lumayan melegakan. Lihat saja masalah kenaikan tarif telepon yang tadinya sudah mendapat restu DPR, terpaksa dibahas ulang karena mendapat penolakan sebagian masyarakat. Masalah lainnya yang klasik, khususnya di negara berkembang, yaitu tidak adanya transparansi dalam menentukan kebijakkan telematika dan masalah perizinan/lisensi. Acapkali kebijikkan disusun tanpa memperhatikan kepentingan orang banyak, dalam hal ini produsen, akibatnya kebijakkan yang kuat seringkali mendapat tentangan dari masyrarakat yang merupakan target pasarnya sendiri. Contohnya antara lain, SK Dirjen Postel No. 241 Tahun 2000 yang mengatur penggunaan bersama (sharing) pita frekuensi 2400-2483,5 MHz antara wireless LAN-akses internet bagi penggunaan di luar gedung (outdoor) dan microwave link.

  Regulasi lain yang yang bermasalah adalah soal tarif telepon sebagaimana ditetapkan oleh KM Perhubungan No. 19 Tahun 2001, dan Kepdirjen Postel No. 199 Tahun 2001 yang berkaitan dengan bisnis VoIP (Voice over Internet Protocol), serta Kepdirjen Postel No. 159 Tahun 2001 yang memberikan lisensi operator ITSP (Internet Teleponi Service Provider).

  Untuk mengatasi masalah di regulasi telematika, beberapa hal dapat dilakukan untuk mengatasinya yaitu, Untuk regulator, hendaknya dipilih individu yang kompeten yang benar-benar mengerti dan mengikuti perkembangan telematika dan dapat mengadopsinya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh pasarnya (masyarakat). Keterlibatan konsumen dalam mengikuti dan memberi masukkan untuk suatu kebijakkan telematika yang akan diterapkan. yang mandiri, bergerak impartial (memihak salah satu pihak). Badan tersebut sebenarnya bisa diterapkan, apabila kita melihat kembali dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pasal 4 (3) UU ini menentukan bahwa dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.

  Lebih lanjut, Pasal 5 (3) menegaskan pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk tujuan tersebut yang keanggotaannya adalah asosiasi bidang telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi, dan kalangan intelektual di bidang telekomunikasi. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, langkah pertama menuju pada IRB adalah dengan mengembangkan lembaga regulasi yang terbebas dari kepentingan para pihak berbisnis dalam bidang telekomunikasi. Hal ini penting untuk melahirkan suasana kompetisi sehat antar-pelaku bisnis yang ada. Dengan demikian pihak orang kebanyakan akan menentukan kepentingan, kebutuhan dan kemampuannya sendiri tanpa perlu didikte dan tidak bisa leluasa dalam memilih layanan telematika.

  C.1.2. Edukasi dan Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia (SDM) di telematika merupakan masalah yang cukup serius, karena akan menjaga kestabilan perkembangan dan pendayagunaan telematika itu sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang tersedia. Pendidikan telematika (e-literasi) bukan hanya pada penggunanya saja, tapi mencakup regulator/birokrat itu sendiri, dengan regulator yang berkualifikasi tinggi dan mengerti akan kebutuhan serta kemampuan yang tepat bagi kebanyakan konsumen, akan mempermudah perkembangan dan pemanfaatan telematika itu sendiri.

  SDM telematika sebenarnya mempunyai kuantitas yang cukup atau boleh disebut berlebih, apabila kita melihat semakin bertambahnya perguruan tinggi yang membuka program studi telematika, namun SDM yang bayak tersebut masih terkonsentrasi di wilayah tertentu (kota besar) saja. Kuantitas SDM yang tersedia masih perlu disortir lagi, dari segi kualitasnya, karena banyak pula SDM yang berijazah telematik tidak mampu memanfaatkan telematika tersebut dengan baik dan tepat guna. Peningkatan kualitas SDM sebenarnya dapat dilakukan dengan memberikan perhatian yang baik terhadap perkembangan perguruan tinggi sebagai sumber pencetak SDM. Perhatian yang fokus pada perguruan tinggi akan memberi peluang peningkatan kualitas SDM. Untuk mendidik masyarakat agar melek TIK (e-literacy) dapat dilakukan dengan menerpakan tiga strategi [5]:

  1. Menciptakan Konteks

  Yakni menciptakan atmosfir TIK agar masyarakat yang dalam keseharian-hariannya mengalami peristiwa positif maupun negatif yang berhubungan dnegan TIK sehingga dapat berfikir bahwa “since information is a part of the

  solution, it is also a part of the solution”.

  Cara menciptakan konteks bagi mereka beraneka ragam, sesuai dengan kondisi dan situasi dan budaya masyarakat yang misalnya dengan memberikan contoh, cerita sukses,analogi dan lain sebagainya. Pemberian atmosfir ini dilakukan oleh mereka yang telah memiliki e-literacy yang tinggi (mahasiswa sebagai pelaksana teknisnya, pen.)

  2. Melibatkan teknologi

  Yakni melibatkan penggunaan teknologi yang tepat manakala masyrakat yang telah menjalankan strategi pertama menjadi “sadar” dan percaya bahwa informasi merupkan jawaban atas permasalhan yang ada,individu tersebut akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan entitas tersebut. Seperti: pencarian informasi yang lebih cepat dan akurat, bertransaksi secara mudah dan murah, dan lain sebagainya.

  Setelah menjalani dua strategi sebelumnya, masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang dapat berfikir kritis dan lebih rasional dalam penggunaan dan pemanfaatan TIK. Strategi ini mempunyai pendekatan yang lebih

  

advance misalnya melakukan kalkulasi cost-benefit atau perbandingan antara biaya dan manfaat yang diperoleh,

  menceritakan kisah sukses tersebut ke orang lain (testimony), mencoba teknologi yang baru dan lebih variasitf dan sophisticated. Intinya, pada tahapan ini mereka telah berada pada kondisi “kecanduan” terhadap TIK.

  Kuantitas SDM yang berlebih, hendaknya dapat dimanfaatkan dengan baik dengan mendayagunakan mereka untuk disebar kedaerah-daerah yang punya potensi telematika yang baik dalam memberikan pendidikan telematika (melek telematika) kepada masyarakat calon pengguna telematika. Sebagai contoh, yaitu Kuliah Lapangan atau Kuliah Kerja Nyata dapat dimanfaatkan sebagai upaya penyebaran informasi dan pendidikan telematika masyarakat dibidang telematika. Dengan adanya program tersebut diharapkan SDM yang ada dapat memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki untuk kepentingan orang banyak sekaligus pengejewantahan pendidikan yang mereka dapat sebagai sarana peningkatan kualitas dan pengabdian kepada masyarakat.

  Setelah langkah non-teknis berhasil dilaksanakan dengan baik dimana rule of the game ditetapkan dengan imbang dan stabil. Begitu pula dengan penyerapan literatur TIK masyarakat berjalan baik, langkah selanjutnya yaitu melaksanakan langkah-langkah teknis di lapangan dengan melibatkan semua unsur, baik pemerintah, swasta, komunitas TIK, dan masyarakat. Ketiga unsure disebut terakhir yang akan lebih banyak bermain dalam kancah pelaksanakan teknis ekonomi digital. Untuk mempermudah pelaksanaan, perlu ditentukan dahulu komponen-komponen teknis yang digunakan pencarian alternatif-alternatif dan penentuan model atau sistem yang tepat untuk diterapkan dengan efektif dan efisien. C.2.1. Komponen dan parameter

  Setelah mengidentifikasi kesenjangan akses ke ekonomi digital, adalah penting untuk mempertimbangkan siginifikansi “kesenjangan informasi” ini. Secara teori, informasi dalaha hal yang kritis terhadapa kegiatan ekonomi dan social yang berhubungan dengan proses pengembangan. Jelas bahwa informasi adalah hal yang sentral bagi banyak kegiatan yang dikenal dengan sektor informasi termasuk penelitian dan pendidikan, media dan penerbitan, peralatan dan perangkat lunak informasi, pelayanana intensif informasi seperti layanan keuangan, konsultasi dan perdagangan. Namun informasi juga kritis bagi kegiatan ekonomi lainnya mulai dari manufaktur hingga agrikultur dan ekstraksi sumberdaya, untuk manajemen, logistik, pemasaran dan fungsi-fungsi lainnya. Informasi juga penting bagi pelayanan public dan perawatan kesehatan. Jika informasi adalah kritis bagi pengembangan, maka TIK sebagai akses, proses dan sharing informasi adalah suatau jaringan rantaidari proses pengembangan itu sendiri. Secara umum, kemampuan untuk mengakses dan membagi informasi berkontribusi bagi proses pengembangan dengan melakukan improvisasi komponen sebagai berikut: Efisiensi atau rasio input output, keefektifan atau kualitas produk dan pelayanan, ekuitas atau distribusi manfaat pembangunan ke masyarakat. Ketiga komponen tersebut sekaligus menjadi kendala dan tujuan dari pengembangan informasi. C.2.2. Parameter akses

  Istilah “akses universal” dan “layanan universal” sering dipakai secara bergantian dan tipikal merujuk pada jaringan telekomunikasi. Untuk mendapatkan parameter akses yang standar dan baik, diperlukan beberapa komponen dasar meliputi: Infrastrukur: jangkauan jariangan dan pelayanan, sebgai contoh, untuk daerah, populasi pendapatan rendah berpusat di tengah kota; ketersedian badwidth;

  Range pelayananan; Affordability: misal, telepon tetap; Reliability: kualitas layanan, misal atas penambahan jangkauan, kerusakan, degradasi sirkuit karena noise dan echoes.

  C.2.3. Kategori Pengguna ekonomi digital a. Publik:

  • Berdasarkan geografis: desa/kota, regional
  • Berdasarkan demografis: kelompok yang tidak diuntungkan, pendapatan rendah, penyandang cacat, suku, dan minoritas lainnya

  b. Perusahaan komersial:

  • Bisnis besar dan kecil, entrepreneur
  • Sektor kritis: pertanian, transportasi, manufaktur, turisme, dll

  c. Pelayanan Publik:

  • Pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan public lainnya
  • Organisasi nirlaba, yayasan, dan organisasi non pemerintah (ornop)

  D. STRATEGI DAN MODEL EKONOMI DIGITAL D.1. Strategi

  Strategi Penggunaan TIK dalam Ekonomi Digital yang diajukan oleh Michael Porter, dengan mempertimbangkan point-point utama untuk setiap entitasnya, dimodelkan sebagai berikut Gambar D.1: Strategi Penggunaan TIK dalam Ekonomi Digital

  D.2. Model Ekonomi Digital Untuk membuat pemahaman yang mudah mengenai ekonomi digital perlu kita bentuk dan tampilkan model ekonomi yang menjelaskan struktur dan hubungan dan interaksi antar entitas yang ada di dalamnya.

  Karakteristik utama dari ekonomi digital dapat di modelkan pada gambar di bawah ini: Gambar D.2: Model Struktur Karakteristik Utama Ekonomi Digital

  Beberapa model yang dapat dijadikan acuan dalam mendesign dan mengimplementasi ekonomi digital, yang sebagian telah diterpakan oleh institusi yang mendesainnya (Seperti Siemens ,dll) antara lain: D.2.a. Model Kompetisi antara firma On-line dan Tradisional

  Dalam model ini, pasar online dan tradisional direpresentasikan sebagai unit lingkaran. Ada tiga tipe firma - firma online: murni berlokasi penuh di online, tradisional berlokasi offline, dan hibrida sebagaian online dan sebagian offline. D.2.b. Model Bisnis untuk eServices

  Gambar D.2.b.: Model Bisnis untuk eServices D.2.c. Models Strategi Broker untuk Mass Customization berdasarkan E-Commerce

  Gambar D.2.c.:Models Strategi Broker untuk Mass Customization D.2.d. Model Bisnis Strategi Penggunaan IT (Siemens AG)

  Gambar D.2.d: Model Bisnis Strategi Penggunaan IT (Siemens AG) D.2.e. Platform commodity-trust antara pemerintah, industri dan perkembangan teknologi.

  Gambar D.2.e.: Platform commodity-trust Dari beberapa model yang diberikan, pemilihan model mana yang terbaik tergantung pada tingkat kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan juga dukungan dari sumber daya yang dimiliki dan dapat disediakan oleh institusi (pendidikan, pen).

  D. KESIMPULAN Ekonomi digital sebagai salah satu bagian dari perkembangan TIK menjadi suatu yang penting dan mau tidak mau, suka atau tidak suka akan menjadi bagian dari globalisasi. Negara berkembang sebagai bagian komunitas global harus mampu mengejar ketertinggalan TIK yang terjadi. Pemanfaatan ekonomi digital merupakan solusi yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas negara berkembang. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak kendala dan hambatan yang selalu menghadang. Komunitas TIK baik pemerintah, industri, akademis dan penggiat dan pengguna TIK harus mampu bersatu dan bekerjasama untuk menjalankan program ekonomi digital dalam satu platform yang utuh dan solid dalam mengidentifikasi kendala, mencari solusi, dan melihat peluang dan meminimumkan resiko dalam implementasi program tersebut. Dari sekian banyak model yang ditawarkan dalam mengimplementasikan ekonomi digital, pemilihan jenis model harusnya disesuaikan dengan kemampuan dan dukungan sumber daya yang dimiliki oleh tiap-tiap negara, sedemikian hingga menghasilkan manfaat ekonomis yang maksimal dan dapat dinikmati bukan hanya sebagian komunitas namun oleh semua masyarakatnya tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi.

  E. DAFTAR PUSTAKA [1] Kauffman Robert J., Techatassanasoontorn Angsana A. “DOES ONE WIRELESS STANDARD PROMOTE FASTER GROWTH? “ Carlson School of Management, University of Minnesota Minneapolis, MN 55455 Last revised: April 4, 2004 [2[Donny B.U., M.Si.., “Waspadai Pergeseran Tren Pengguna Internet Indonesia”.om. Terakses 12 April 2004 [3] Heather E. Hudson, “Access to Digital Economy: Issues for Rural and Develping Regions”. University of Sanfransisco. [4] Ifransah, Mukhlis, S.H, "Regulasi Telekomunikasi: Swaregulasi dan Kristalisasi ke Arah Independent Regulatory Body",rakses 12 April 2004. [5] Richardus, Indrajit E. , “Strategi danKiata Meningkatkan E-Literacy Masyarakat Indonesia”, Sekolah Tinggi Manajemen dan Komputer Perbanas, Prosiding Konferensi Nasional system Informasi 2005, Penerbit INFORMATIKA. [6]rakses 12 April 2004. [7] Klueber, Roland, “Business Model Design and Implementation for eServices”, Institute for Information Management, University of St. Gallen. [8] Reichwald, Ralf .,. Piller, Frank T ., Möslein, Kathrin., and Lohse, Christoph., “Broker Models For Mass

  Customization Based Electronic Commerce”, Dept. of General and Industrial Management, Technische

  Universität München. Terakses [9]Anonim, ”Strategic Use of Information Technology in the Digital Economy”. [10] Lockett, Nigel J. , .Brown, David H., “eClusters and the Role of Intermediaries in enabling Digital Enterprise Communities of SMEs”, Department of Management Science, Lancaster University. http:/erakses 12 April 2005 [11] Anonim, Chapter 1: Strategic Use of Information Technology in Digital Economy.